TUGAS PENGANTAR ILMU HUBUNGAN INTERNASIO (1)
TUGAS PENGANTAR ILMU HUBUNGAN
INTERNASIONAL
(IMPLEMENTASI DAN DAMPAK DARI PENERAPAN PERFEKTIF
UTAMA DALAM STUDY HUBUNGAN INTERNASIONAL)
DISUSUN OLEH
MAGHFIRA TRI MAULANI
1301113955
HUBUNGAN INTERNASIONAL
UNIVERSITAS RIAU
2013/2014
Kajian-kajian di dalam SHI
saling ketergantungan ekonomi (economic interdependence), hutang luar negeri Dunia
Ketiga dan ketergantungan (dependence), perdagangan internasional, bentuk-bentuk baru
identitas politik dan kewarganegaraan, rezim internasional, masyarakat internasional
(international society), anarki internasional, asosiasi ekonomi regional, perimbangan
kekuatan (balance of power), demokratisasi, keamanan pasca Perang Dingin,
transnasionalisme, perang, konflik, kerjasama negara (nation states), perusahaan
transnasional, pasar finansial, NGO, komunitas supra dan sub-nasional, pasukan penjaga
perdamaian, kelompok pemberontak, gerakan-gerakan sosial baru (misalnya gerakan
perempuan dan kelompok-kelompok pecinta lingkungan), organisasi internasional,
pengungsi, kelompok teroris
distribusi kekuatan militer, arms control, globalisasi dan fragmentasi, kesenjangan global,
hak asasi manusia, intervensi dan kedaulatan, bantuan luar negeri dan bantuan
kemanusiaan, pengungsian, etnisitas, isu-isu perempuan, jender, isu-isu yang terkait
dengan konservasi lingkungan, penyakit menular (seperti AIDS, flu burung), narkotika,
kejahatan transnasional, kemiskinan, peace keeping & peace building, just war, baik atau
tidaknya intervensi kemanusiaan, perdebatan tentang redistribusi kekuatan dan kekayaan,
kewajiban terhadap alam, saling menghormati perbedaan kebudayaan, hak-hak
perempuan dan anak-anak
Perkembangan Metodologi
Selain perdebatan mengenai isu-isu substantif, misalnya apa penyebab terjadinya perang
atau apakah demokrasi akan mengekalkan perdamaian, perdebatan penting lainnya di
dalam SHI adalah mengenai metodologi. Perdebatan metodologi biasanya membahas halhal filosofis tentang bagaimana penelitian baiknya dilakukan; apakah bisa menggunakan
pendekatan saintifik, apakah asumsi realis bahwa sifat dasar manusia agresif atau asumsi
liberalis bahwa manusia suka bekerja sama itu benar, dan lain sebagainya.31
30 Scott Burchill,
Ketika awal berdiri sebagai sebuah kajian, orang-orang liberalisme idealis yang meneliti
tentang HI kebanyakan berasal dari kalangan non akademik. Perhatian terhadap
metodologi tidak terlalu banyak diperhatikan, karena fokus tulisan mereka bukan pada
upaya menjelaskan, tapi lebih kepada hal-hal yang harusnya diterapkan di dunia agar
terhindar dari perang. Reaksi kelompok realis (dalam debat pertama), tidak melihat
kelemahan metodologi kelompok liberalisme idealis. Fokus kritikan kelompok realis ada
pada kelemahan-kelemahan pandangan kelompok idealis tentang bagaimana sistem
internasional seharusnya bekerja.32
Sumber: Scott Burchill, et al., Theories of International Relations, 3rd ed., New York: Palgrave Macmillan
et al., Theories of International Relations, 3rd ed., New York: Palgrave Macmillan, hal. 13 31 Jackson &
Sørensen, op.cit., hal:218
IMPLEMENTASI DAN DAMPAK DARI PENERAPAN
PERFEKTIF UTAMA DALAM STUDY HUBUNGAN
INTERNASIONAL
Perspektif dalam studi hubungan internasional merupakan suatu landasan atau sebagai
dasar untuk menganalisa masalah-masalah atau fenomena-fenomena yang terjadi di
dalam perkembangan hubungan internasional. Melalui perspektif-perspektif inilah para
ahli maupun para penstudi hubungan internasional dapat menjelaskan teori-teori
mengenai permasalahan-permasalahan tersebut. Ada beberapa perspektif dalam hubungan
internasional, diantaranya : realis, idealis, behavioralis dan strukturalis.
A. Perspektif Realis (Realism)
Perpektif realis memandang negara sebagai aktor yang bersifat rasional dan monolith
sehingga dapat memperhitungkan tindakan demi kepentingan keamanan nasional. Realis
menitik beratkan terhadap struggle of poweratau realpolitik. Menurut kaum realis ada
empat sifat dasar interaksi dalam hubungan internasional yakni : anarki, kompetitif, kerap
kali konflik dan kerjasama dalam jangka pendek. Ketertiban dan stabilitas hanya dapat
diperoleh melalui distribusi kekuasaan (power politics).
Paham realis jika dilihat dari sudut pandang pelaksanaan politik luar negeri suatu negara
bersifat unilateralis (unilateralism), nasionalis (nationalism), dengan strategi penangkalan
(deterrence), perimbangan kekuatan (ballance of powerI dan aliansi-aliansi pertahanan
(deffence alliances).
B. Perspektif Idealis (Idealism)
Dalam paham idealis, negara-negara saling bekerjasama dalam berbagai organisasi
internasional untuk mencapai tujuan-tujuan global dan kemanusian. Paham idealis
bersifat normatif, artinya semua yang terjadi itu sudah seharusnya, prinsip-prinsip,
hukum, organisasi dan pengaruh opini publik merupakan hal yang sangat penting
Dilihat dari politik luar negeri suatu negara, paham idealis bersifat multilateralis
(multilateralism), internasionalis (internationalism), liberalis (liberalism), humanis
(humanism) dengan strategi utama yang mengedepankan legalitas (legality), moralitas
(morality) dan demokrasi (democracy) melalui jalan-jalan damai seperti perundinganperundingan atau negosiasi untuk mencapai kesepakatan.
C. Perspektif Behavioralisme (Behavioralism)
Menurut pandangan kaum behavioralis, hubungan internasional merupakan bagian
dari ilmu-ilmu sosial secara umum. Perspektif behavioralis atau aliran prilaku banyak
mempengaruhi pendekatan-pendekatan terhadap teori dan logika serta metode
penelitian. Behavioralis sering disebut sebagai pendekatan ilmiah, ia sering menantang
model-model yang ada dalam mempelajari tingkah laku manusia dan basis-basis teori
tradisionalisme.
Behavioralis dalam penelitiannya condong kepada analisa komparatif lintas nasional
yang tidak hanya membahas mengenai studi kasus negara tertentu dalam waktu tertentu.
Perspektif ini menekankan perlunya metode pengumpulan data mengenai ciri khas suatu
negara dan hubungan-hubungannya dengan negara lain. Dan juga, aliran prilaku ini
banyak diwarnai oleh studi kuantitatif hubungan internasional.
D. Perspektif Struturalisme (Structuralism)
Strukturalisme muncul di Prancis tahun 1960. Perspektif strukturalisme merupakan
perspektif ilmu hubungan internasional yang dipengaruhi oleh paham marxisme.
Strukturalis memandang bahwa tata dunia kontemporer dikonstruksi oleh sistem kapitalis
global dan sistem antarnegara yang berhubungan. Ciri fundamental tata dunia adalah
ketidaksamaan dalam eksploitasi kapitalis. Dalam strukturalis, kelas merupakan aktor
yang paling dominan dalam hubungan internasional, dan negara sebagai perpanjangan
kepentingan kelas. Aktor-aktor institusional kemudian membantu melegitimasi dan
memelihara struktur yang ada.
Asumsi-asumsi dasar strukturalisme adalah sifat dasar manusia yang tidak tetap maupun
esensial terkondisikan melalui masyarakat, subjek dapat dikelompokkan menjadi
kolektivitas yang dapat diidentifikasi dan dapat pula dikatakan memiliki kepentingan
konkrit, struktualisme adalah sains dan yang terakhir adalah strukturalisme memandang
bahwa tata dunia kontemporer dikonstruksi oleh sistem kapitalis global dan sistem
antarnegara berhubungan. Perspektif strukturalis juga erat kaitannya dengan nasionalisme
ekonomi.
Kajian Ekonomi Politik Internasional muncul akibat semakin berkembangnya isu-isu
yang ada karena meningkatnya kompleksitas dari hubungan antar aktor internasional,
terutama dalam hal ekonomi politik internasional. Kajian ini menggeser isu politik
tradisional seperti isu perang kepada isu sosial ekonomi, yang utamanya berbicara
mengenai isu kekayaan dan kemiskinan dalam dunia internasional. Lebih jauh, kajian ini
membahas tentang siapa yang mendapatkan apa dan bagaimana dalam interaksi ekonomi
internasional.
Secara umum terdapat tiga pendekatan utama yang mampu menjelaskan fenomena
ekonomi politik internasional pada saat ini. Ekonomi Politik Internasional
mengemukakan bahwa terdapat tiga teori utama EPI, antara lain merkantilisme,
liberalisasi ekonomi, dan marxisme. Ketiganya memiliki cara yang berbeda satu sama
lain untuk menjelaskan fenomena ekonomi politik internasional, disebabkan ketiganya
muncul atas latar belakang yang berbeda-beda. Oleh karena adanya perbedaan tersebut,
fenomena ekonomi politik internasional tersebut dapat dijelaskan melalui beberapa sudut
pandang.1 Pendekatan yang pertama adalah Merkantilisme. Teori ini muncul sekitar abad
ke 16 dengan memandang pentingnya negara berdaulat sebagai elit politik yang utama.
Sehingga aktivitas ekonomi seharusnya tunduk pada tujuan utama dalam membangun
negara yang kuat, yang dengan kata lain, ekonomi merupakan alat politik dan dasar bagi
kekuasaan politik2 . Ketika kepentingan beberapa negara ini bertemu dalam arena
internasional, akan timbul konflik kepentingan nasional yang saling bertentangan dan
bertabrakan, dan berujung pada sistem zero-sum di mana yang kuat lah yang akan
mendominasi. Pandangan ini agaknya mirip dengan pandangan neorealis mengenai
persaingan antarnegara dalam dunia yang anarki. Penerapan perspektif ini dapat
memberikan dampak yang positif maupun negatif. Dampak yang positif adalah ketika
kepentingan ekonomi nasional dipandang penting sebagai bagian dari mempertahankan
keamanan nasional. Tetapi dampak yang negatif muncul ketika dalam penerapannya,
negara melakukan eksploitasi atau perilaku lain yang dapat merugikan negara lain demi
kepentingan ekonomi nasionalnya sendiri. Contohnya adalah pada praktik imperialisme
dan kolonialisme oleh negara-negara Eropa kepada wilayah-wilayah di Afrika dan Asia
sejak abad ke-16.
1
Robert Jackson & Georg Sorensen (2009:231)
2
Jackson & Sorensen, 2009:231
Beberapa tokoh merkantilisme ini antara lain Alexander Hamilton, salah satufounding
fathers Amerika Serikat; dan Friedrich List, seorang ekonom yang berasal dari Jerman.
Singkatnya, merkantilisme memandang bahwa kepentingan negara merupakan hal
terpenting, sehingga segala aktivitas ekonomi berada dibawah kendali kepentingan
politik, yang dalam konteks negara adalah pemerintah. Sebab negara bertanggung jawab
atas atas tercapainya kepentingan nasional. Untuk menjaga supaya kepentingan tersebut
tidak terpecah antara kepentingan keamanan dan kepentingan ekonomi, maka sebisa
mungkin negara menghindari ketergantungan kepada negara lain (Jackson & Sorensen,
2009:234).
Pendekatan yang kedua adalah Liberalisme. Teori ini muncul sebagai kritik atas
merkantilisme, yang dianggapnya akan menghalangi tercapainya kesejahteraan
masyarakat negara (Jackson & Sorensen, 2009:235). Pemikiran liberalisme ekonomi
berasal dari Adam Smith melalui bukunyaWealth of Nations (1776), yang meyakini
bahwa untuk mencapai efisiensi dan pertumbuhan ekonomi yang tinggi, pemerintah tidak
seharusnya ikut campur dan justru membiarkan pasar berjalan pada mekanismenya
sendiri. Kemudian pendapat ini dikuatkan dengan konsep keunggulan komparatif milik
David Ricardo, di mana proses produksi ekonomi akan lebih efisien ketika setiap aktor
mengkhususkan produksinya yang menghasilkan keuntungan terbesar. Dengan demikian
dalam aktivitas perdagangan bebas yang lintas batas, setiap negara akan memperoleh
keuntungan yang maksimal melalui efisiensi, dan kesejahteraan global akan meningkat
(Jackson & Sorensen, 2009:235). Dan oleh karena perspektif dasarnya yang liberal, maka
ia mengedepankan kebebasan individu untuk mengeksplor lebih jauh kesempatan untuk
turut terlibat dalam pasar. Sehingga dalam perspektif liberalisme ini setiap individu akan
memperoleh keuntungan ketika ia terlibat dalam pasar, dan kesejahteraan individu akan
lebih terjamin. Dengan demikian, perekonomian internasional seharusnya didasarkan
pada perdagangan bebas (Jackson & Sorensen, 2009:234).
Pendekatan yang ketiga yaitu Marxisme. Pendekatan ini muncul sebagai kritik atas
liberalisme ekonomi. Pandangan liberalisme bahwa kebebasan akan mengarah
pada positive sum game justru dipandang oleh kaum marxis sebagai eksploitasi individu
yang akan menimbulkan perbedaan kelas. Asumsi dasar marxisme berpandangan bahwa
dalam sistem ekonomi kapitalis, masyarakat terbagi dalam dua kelas utama, yaitu kelas
borjuis, yakni mereka yang memiliki faktor-faktor produksi; dan kelas proletar, yakni
mereka yang memiliki kekuatan kerja yang harus dijual pada kaum borjuis (Jackson &
Sorensen, 2009:239). Dalam praktisnya kelas borjuis yang menguasai faktor produksi
akan mendominasi perekonomian kapitalis yang dengan demikian juga akan
mendominasi perpolitikan. Pandangan marxisme ini jika diaplikasikan dalam kerangka
studi Ekonomi Politik Internasional, dapat dianalisis bahwa (1) negara tidak otonom, ia
digerakkan oleh kelas borjuisnya dalam menerapkan kepentingan ekonominya; (2) sifat
ekonomi kapitalisme yang ekspansif akan cenderung mencari pasar baru yang lebih
menguntungkan, sehingga gelombang kapitalisme akan meluas ke seluruh dunia (Jackson
& Sorensen, 2009:240). Dalam prakteknya, perluasan pasar yang ekspansif dan
eksploitatif berada pada bentuk imperialisme yang pada masa kolonialisme berada pada
formasi yang lebih tradisional dibandingkan sekarang, yaitu bentuk globalisasi ekonomi
yang didominasi oleh perusahaan multinasional raksasa yang mendominasi
perekonomian internasional.
Bentuk pembagian kelas dalam konsep marxisme yang dapat dilihat pada dunia
internasional adalah adanya bentuk-bentuk tingkatan negara berdasarkan tingkat
kesejahteraan dan kemajuannya, yaitu negara dunia pertama (core), adalah negara kayamaju seeperti Amerika Serikat dan negara di Eropa Barat; dunia kedua (semi periphery),
adalah negara sedang seperti Jepang; dan dunia ketiga (periphery), adalah negara miskinberkembang seperti negara di Afrika dan Asia. Adanya bentuk kelas ini menunjukkan
adanya ketergantungan mereka yang berada pada wiayahperiphery terhadap mereka
yang core. Jackson & Sorensen (2009:75) juga menyebutkan adanya paham Neo-Marxis,
yang dapat menjelaskan fenomena tersebut. Keduanya berpendapat bahwa negara kaya
menggunakan sistem perekonomian yang kapitalis global untuk memiskinkan negara
miskin di dunia, dengan menekankan konsep ketergantungan. Agar dapat ikut serta dalam
perekonomian kapitalis global, negara miskin tersebut harus menjual bahan mentah pada
tingkat harga murah dan membelinya dalam bentuk barang jadi dengan harga yang mahal
(Jackson & Sorensen, 2009:75).
Dari penjabaran di atas dapat disimpulkan bahwa ketiga pendekatan tersebut menjelaskan
konsep ekonomi politik internasional dari sudut pandang yang berbeda-beda. Dalam
hal hubungan antara ekonomi dan politik, merkantilisme berpendapat bahwa politik-lah
yang mendominasi sehingga menentukan jalannya ekonomi, sementara liberalisme
menganggap bahwa ekonomi secara otonom terpisah dengan politik negara, dan
marxisme beranggapan bahwa ekonomi-lah yang menentukan jalannya politik.
Sedangkan dalam hal aktor utama dalam perekonomi-politikan internasional menurut
merkantilisme adalah negara, menurut liberalisme adalah individu serta perusahaan
privat/swasta, dan menurut marxisme adalah kelas-kelas. Dalam hal sifat hubungan
ekonomi, merkantilisme dan marxisme sama-sama menganggap kondisi yang ada
konfliktual dan berujung pada zero sum game, sementara liberalisme menganggap
kondisi yang ada koopeatif dan berujung pada positive sum game. Terakhir, dalam
hal tujuan ekonomis, pandangan merkantilisme adalah demi tercapainya kekuatan negara,
pandangan liberalisme adalah kesejahteraan maksimal individu dan sosial, dan
pandangan marxisme adalah kepentingan masing-masing kelas.
Salah satu perspektif dalam ilmu Hubungan Internasional yang mengalami banyak
perkembangan adalah Realisme. Perspektif realis banyak membahas tentang perang dan
keamanan yang berkaitan dengan militer dan power. Realisme berkembang dan mendasar
pada pemikiran bahwa man is evil. Aktor dalam perspektif realisme adalah negara,
sebagai satu individual yang tidak akan bekerjasama dengan aktor lain tanpa ada maksud
tertentu (self-interested) dan akan selalu berusaha untuk memperkuat dirinya sendiri.
Berawal dari sejarah studi Hubungan Internasional yang muncul antara Perang Dunia I
dan II, realisme hadir sebagai arus utama pendekatan hubungan internasional akibat
ketidaksempurnaan pendekatan idealis. Pandangan-pandangan yang menjadi fundasi
aliran ini posisinya berseberangan dengan pemikiran para penganut idealisme. Adapun
pandangan atau asumsi dasar dari prespektif realisme, antara lain
(1) memandang secara pesimistis terhadap sifat dasar manusia yang cenderung berbuat
baik. Prespektif ini berkeyakinan bahwa manusia itu bersifat jahat, berambisi untuk
berkuasa, bereperang, dan tidak mau bekerjasama;
(2) bersikap skeptis terhadap kemajuan politik internasional dan politik domestik;
(3) meyakini bahwa hubungan internasional bersifat konfliktual atau berpotensi
menghasilkan konflik. Dan konflik-konflik internasional yang terjadi hanya bisa
diselesaikan dengan jalan perang;
(4) menjunjung tinggi nilai-nilai keamanan nasional dan eksistensi atau kelangsungan
hidup negara.
Para pemikir realis juga menempatkan keamanan nasional sebagai prioritas atau fokus
utama dalam prespektif realisme. Dalam kacamata realis, keamanan militer dan isu-isu
strategis tergolong kepentingan utama dan mengacu ke dalam kategori high politics.
Sedangkan ekonomi dan isu-isu sosial dilihat oleh kaum realis sebagai hal yang biasa,
yang termasuk ke dalam kategori low politics. Realisme juga memfokuskan analisisnya
pada power dan otonomi dalam interaksi internasional serta tentang tidak adanya
keharmonisan diantara negara-negara, sehingga konsep self-help di sini menjadi penting.
Dan kemampuan yang paling relevan, yaitu kemampuan di bidang militer. Realis tidak
menolak prinsip-prinsip moral, Hanya saja dalam prakteknya, moralitas individual
dikalahkan oleh kepentingan akan kelangsungan hidup negara dan penduduknya dan
tentu saja kepentingan nasional itu sendiri Bagi kaum realis, negara merupakan aktor
utama dalam panggung internasional. Sebagai aktor utama, negara berkewajiban
mempertahankan kepentingan nasionalnya dalam kancah politik internasional. Negara
dalam konteks ini diasumsikan sebagai entitas yang bersifat tunggal dan rasional.
Maksudnya adalah dalam tataran negara, perbedaan pandangan politis telah diselesaikan
hingga menghasilkan satu suara. Sedangkan negara dianggap rasional karena mampu
mengkalkulasikan bagaimana cara mencapai kepentingan agar mendapat hasil maksimal.
Seorang realis juga biasanya memusatkan perhatian pada potensi konflik yang ada di
antara aktor negara, dalam rangka memperhatikan atau menjaga stabilitas internasional,
mengantisipasi kemungkinan kegagalan upaya penjagaan stabilitas, memperhitungkan
manfaat dari tindakan paksaan sebagai salah satu cara pemecahan terhadap perselisihan,
dan memberikan perlindungan terhadap tindakan pelanggaran wilayah perbatasan. Oleh
karena itu, power adalah konsep kunci dalam hal ini. Dasar Normatif realisme adalah
keamanan nasional dan kelangsungan hidup negara: ini merupakan nilai-nilai yang
menggerakkan doktrin kaum realis dan kebijakan luar negeri kaum realis.
Negara dipandang esensial bagi kehidupan warganegaranya: tanpa negara yang menjamin
alat-alat dan kondisi-kondisi keamanan dan yang memajukan kesejahteraan, kehidupan
manusia dibatasi menjadi seperti, seperti yang tersurat dalam pernyataan Thomas Hobbes
yang
terkenal
terpencil,miskin,
dan
sangat
tidak
menyenangkan,
tidak
berperikemanusiaan, dan singkat. dengan demikian negara dipandang sebagai pelindung
wilayahnya, penduduknya, dan cara hidupnya yang khas dan berharga. Kepentingan
nasional adalah wasit terakhir dalam menentukan kebijakan luar negeri. Masyarakat dan
moralitas manusia dibatasi pada Negara dan tidak meluas pada hubungan internasional
yang merupakan arena politik dari kekacauan yang besar, perselisihan, konflik antar
Negara-negara yang berkekuatan besar mendominasi pihak-pihak lain.
Fakta bahwa semua negara harus mengejar kepentingan nasionalnya sendiri berarti
bahwa negara dan pemerintahan lainnya tidak akan pernah dapat diharapkan sepenuhnya.
Seluruh kesepakatan internasional bersifat sementara dan kondisional atas dasar
keinginan negara-negara untuk mematuhinya. Semua negara harus siap mengorbankan
kewajiban internasionalnya yang berdasar pada kepentingannya sendiri jika dua negara
terlibat dalam konflik. Hal itu menjadikan perjanjian-perjanjian dan semua persetujuan,
konvensi, kebiasaan, aturan dan hukum lainnya, antara negara-negara hanyalah berupa
pengaturan yang bijaksana yang dapat dan akan dikesampingkan jika semua itu
berseberangan dengan kepentingan negara. Tidak ada kewajiban internasional dalam
pengertian moral dari kata itu (yaitu terikat kewajiban timbal balik) antara negara-negara
merdeka. Seperti yang telah disinggung sebelumnya, satu-satunya tanggung jawab
mendasar warga negara adalah meningkatkan dan mempertahankan kepentingan nasional
Klasifikasi Realisme dan Neorealisme : Kemunculan
Mazhab realisme terbagi menjadi dua bagian, yakni realisme atau sering juga disebut
dengan realisme klasik dan neo-realisme atau realisme kontemporer. Apa yang secara
eksplisit diakui sebagai teori hubungan internasional tidak dikembangkan sampai setelah
Perang Dunia I, Namun, teori HI memiliki tradisi panjang menggunakan karya ilmu-ilmu
sosial lainnya Penggunaan huruf besar “H” dan “I” dalam hubungan internasional
bertujuan untuk membedakan disiplin Hubungan Internasional dari fenomena hubungan
internasional Banyak yang mengutip Sejarah Perang Peloponnesia karya Thucydides
sebagai inspirasi bagi teori realis, dengan Leviathan karya Hobbes dan The Prince karya
Machiavelli
memberikan
pengembangan
lebih
lanjut.
Pengklasifikaiannnya bisa berdasarkan pada tahun kemunculannya, yaitu klasik (hingga
abad 20) dengan Hobbes, Kaum realis klasik hidup dalam banyak periode sejarah yang
berbeda; dari Yunani kuno sampai saat ini. Key Thinkerspada jaman itupun sudah banyak
mengungkapkan teori tentang realisme politik yang menjadi haluan bagi pemikir-pemikir
kunci realisme pada masa sekarang. pemikiran mereka sudah diawali sejak jaman
Thucydides (The Melian Dialogue 460-406BC), Nicollo Machiavelli (1496-1527),
Thomas. Hobbes (1588-1679) dan J.J. Rosseau (1712-78), yang disebut classic-realism.
Realisme klasik menawarkan konsep raison d’etat (state excuse), dimana negara
memiliki dalih untuk melindungi negaranya (Sebagaimana doktrin militer preemptative strike
Amerika
Serikat
pada
masapostcontaintment Perang
Dingin).
Machiavelli dan Thucydides sebagai tokohnya yang setuju bahwa kondisi manusia tidak
aman dan penuh konflik, adanya kumpulan pengetahuan politik/ kebijaksanaan untuk
menghadapi masalah keamanan, dan tidak ada solusi permanen atau akhir dari masalah
politik.
Hans J. Morgenthau adalah pencetus utama realisme neoklasik. Kutipan yang terkenal
mengenai substansi pemikiran Morgenthau adalah “Politik adalah perjuangan untuk
kekuasaan atas manusia, dan apapun tujuan akhirnya, kekuasaan adalah tujuan
terpentingnya, dan cara-cara memperoleh, memelihara, dan menunjukan kekuasaan
menentukan teknik aksi politik” . Disini Morgenthau banyak mengungkapkan kritisisme
mengenai
kepercayaan
Woodrow
Wilson
mengenai
kepercayaanya
dalam
menganalogikan dan “menyarankan” untuk mengaplikasikan etika pribadi kedalam etika
politik. Realisme neoklasik sendiri di definisikan oleh Baylis sebagai drive for power and
the will to dominate that are held to be fundamental aspects of human nature realisme
neo-klasik dengan Hans Morgenthau sebagai tokoh yg berpendapat, politik dianggap
berakar dalam sifat manusia yang self-(centered, regarding, dan interested), pemimpin
politik tidak mempunyai kebebasan melakukan yang benar seperti rakyatnya, dan rasa
pesimis muncul karena keterbatasan manusia. Neo Klasik Realisme pada dasarnya
merupakan pendekatan ilmiah dan memfokuskan pada struktur atau sistem internasional.
Doktrin ini pada awalnya berawal dan meluas di Amerika (meskipun tidak secara
khusus). memfokuskan analisisnya pada pengejaran terhadap power dan otonomi dalam
interaksi internasional dan tidak adanya keharmonisan interest diantara negara-negara
sehingga konsep self help menjadi penting dan kemampuan yang paling relevan adalah
kemampuan dibidang militer. Realis tidak menafikan prinsip-prinsip moral, hanya saja
dalam prakteknya moralitas individual dikalahkan oleh kelangsungan hidup negara dan
penduduknya serta pencapaian kepentingan nasional.
Neo-realisme mengasumsikan sistem internasional yang anarki memberikan pengaruh
terhadap perilaku Negara. Neo-realisme (1979-sampai sekarang) yang merupakan karya
Kenneh Waltz. Perbedaannya dengan realis adalah tidak menyetujui penjelasan perilaku
dalam hubungan internasional,dan tentu saja berusaha ilmiah dan lebih positivis karena
neo-realis ingin mensistemasikan realisme politik ke dalam teori sistem yang kuat dan
deduktif dari politik internasional. Neo-Realisme (Disebut juga sebagai Structural
Realism)
Pada dasarnya substansi pemikiran kaum realis (klasik) masih menjadi dasar dalam
pemikiran realisme baru (Neo Realisme) ini. Perbedaanya dengan realisme klasik
maupun realisme neoklasik adalah pendekatan dari dua paham realisme sebelum
neorealis adalah pendekatan yang non-sistemik. Pendekatan non-sistemik yang dimaksud
adalah, yang “dipersalahkan” atas segala chaos yang terjadi di dunia internasional adalah
actor (baik state sebagai aktor utama maupun sifat dasar manusia Animus Dominandi).
Berbeda dengan pendahulunya, kaum neorealis lebih cenderung “mempersalahkan”
sistem, sebagai faktor utama yang mendorong state-actor. Hal serupa juga diungkapkan
oleh Kenneth Waltz dalam bukunya Theory of International Politics. Waltz
menyatakan the international structure acts as a constraint on state behaviour, so that
only states whose outcomes fall within an expected range survive. Jadi menurut hemat
neorealis. Sistem internasional yang menentukan perilaku negara. Oleh karena sistem
internasional (pada saat ini) dalam kondisi ketidakadaan government above the states,
maka keadaan anarki yang menetukan perilaku setiap actor-aktornya, dalam perspektif
realisme disebut sebagai state.
Dari sini neo-realisme berpandangan bahwa dimungkinkan adanya kerjasama didalam
sistem yang anarki namun relative gain adalah tujuan dari negara-negara yang terlibat di
dalamnya bukan absolute gain . Mengapa demikian? karena dalam suatu kerjasama
dalam sistem anarki tidak ada badan supranasional yang bisa memberikan jaminan bahwa
anggotanya tidak melakukan kecurangan satu dengan yang lainnya juga negara-negara
yang terlibat didalamnya tidak dapat meramalkan apakah teman di masa sekarang tetap
menjadi teman di masa yang akan datang, ada kemungkinan teman kita hari ini menjadi
musuh kita dikeesokan hari.
Maka dengan demikian negara yang terlibat dalam kerjasama tersebut tidak akan rela
apabila negara lain mengambil keuntungan yang lebih besar dari apa yang ia dapatkan,
terutama bagi negara-negara yang memiliki power kuat, dia akan mempertahankan
kondisi anarki dan kerjasama yang sedemikian, karena ia diuntungkan. Persamaannya
dengan realis kontemporer yaitu anarki dan ketiadaaan lembaga sentral menjadi ciri
struktur sistem, negara sebagai aktor utama, bertindak dengan prinsip menolong diri
sendiri dan mengusahakan agar bisa bertahan dengan kekuatannya, karena itu negara
sama dalam tugas yang dihadapinya,
yang berbeda
adalah
dalam mendefinisikan
kapabilitas
sistem
posisi
struktur.
negara dalam
Perubahan
dalam
sistem
dan
distribusi
distribusi
kapabilitas
merangsang perubahan dalam struktur sistem seperti konfigurasi kekuatan multipolar ke
bipolar atau menuju unipolar. Namun merebut kekuasaan dengan usaha internal seperti
meningkatkan ekonomi, militer, strategi yang lebih pintar serta usaha eksternal
seperti memperluas aliansi atau membubarkan aliansi musuhnya. tidak dianggap tujuan
dan tidak lagi dilihat sebagai karakter manusia yang sangat dasar seperti dalam realisme
klasik. Asumsinya adalah bahwasanya Keseimbangan
kekuatan muncul
secara
otomatis dari instink kebutuhan dasar untuk bertahan.
Kritik Terhadap Realisme
Great Debate : Titik Perdebatan Liberalisme dan Realism
Titik perdebatan kedua pendangan ini dapat dilihat dalam dua garis permasalahan
besar. Permasalahan pertama ialah mengenai sifat dasar manusia. Kaum realis
beranggapan bahwa pada dasarnya manusia itu bersifat egois dan menghalalkan segala
cara untuk mencapai kepentingannya, meskipun itu artinya harus mengorbankan orang
lain. Hal ini diilustrasikan oleh cerita stag hunt yang dikemukakan oleh Waltz mengutip
Rousseau. Dikisahkan ada lima orang yang tersesat di pegunungan. Mereka kelaparan
dan kemudian sepakat untuk bekerjasama menangkap rusa dewasa agar cukup untuk
berlima. Kemudian muncul seekor rusa dengan anaknya. Karena berada dalam
jangkauannya, salah seorang dari mereka menangkap anak rusa tersebut, dan tidak
mempedulikan bahwa akibat perbuatannya sang rusa dewasa akhirnya lepas. Dia hanya
mementingkan diri sendiri dan lupa dengan perjanjian sebelumnya.
Sedangkan kaum idealis lebih optimistis dalam melihat sifat dasar manusia. Mereka
beranggapan manusia sebagai makhluk sosial, senang bekerjasama dan memiliki rasa
kemanusiaan terhadap sesamanya. Seperti misalnya, dikisahkan seorang pria sedang
bersama kekasihnya mengalami kecelakaan. Mobil yang mereka naiki berada dibibir
jurang yang dalam dan hampir terjatuh. Pria itu kemudian berusaha sekuat tenaga untuk
menolong sang kekasih tercinta. Sang kekasih akhirnya dapat terselamatkan dengan
didorong keluar oleh pria tersebut. Tetapi malang, si pria itu tidak sempat keluar dan
akhirnya tewas, jatuh ke jurang bersama Ferrari Maranello yang baru dibelinya…Dari
cerita tersebut bisa disimpulkan bahwa ketika compassion (perasaan) seperti cinta dan
kasih sayang terlibat, maka manusia dapat mengorbankan kepentingan dirinya
sendiri.
Perbedaan pandangan dasar inilah yang kemudian mempengaruhi analisis kedua aliran
ini. Realisme mengedepankan survival (usaha untuk mempertahankan kelangsungan
hidup) dan self help (hanya mengandalkan diri sendiri dalam mencapai tujuannya di
dunia yang anarkis). Sedangkan idealisme mengutamakan kerjasama dengan pihak lain
dalam mencapai tujuan bersama seperti menciptakan perdamaian, dengan berusaha
membentuk
organisasi
internasional.
Sementara itu garis besar permasalahan kedua terletak pada masalah diplomasi
dan collective security. Woodrow Wilson mengemukakan dalam Fourteen Points-nya
bahwa hendaknya praktik diplomasi dilakukan secara terbuka dan menggantikan praktik
diplomasi rahasia, yang menghasilkan kesepakatan-kesepakatan rahasia antar-negara
mengenai siapa yang akan mendapatkan wilayah apa pasca Perang Dunia Pertama.
Wilson juga meyakini bahwa perang dapat dihindari dengan menciptakan sebuah
organisasi internasional, yang berlandaskan prinsip collective security. Skema yang ia
bangun untuk League of Nations(LBB) bertumpu pada negara-negara anggota yang ‘cinta
damai’ yang menganggap setiap ancaman terhadap perdamaian dunia sebagai tindakan
agresi yang mengancam mereka semua, dan oleh karenanya harus direspon secara
kolektif.
Aliran realis tidak setuju dengan pendapat yang disampaikan oleh Wilson ini. Mereka
berpendapat bahwa dalam dunia politik internasional akan selalu ada kesepakatankesepakatan tertutup demi mencapai kepentingan nasional. Bahkan sampai sekarang
praktik spionase masih terus berlangsung, meski dikategorikan sebagai tindakan yang
buruk, tetapi dianggap bukan sesuatuyangsalah. Kemudian realis juga tidak percaya
bahwa organisasi internasional dan hukum internasional dapat mewujudkan perdamaian.
Menurut mereka, negara-negara turut serta dalam organisasi internasional selama masih
sejalan dengan kepentingan nasionalnya, bila tidak sejalan pasti akan mereka tinggalkan.
Mengenai kegagalan organisasi internasional ini terbukti dengan kegagalan yang dialami
oleh LBB itu sendiri.
Referensi
1.
^ Columbia Encyclopedia: international relations
2.
^ Barry Buzan, Richard Little. International Systems in World History:
Remaking the Study of International Relations. published 2000
3.
^ Stéphane Beaulac: “The Westphalian Model in defining International
Law: Challenging the Myth”, Australian Journal of Legal History Vol. 9
(2004),http://www.austlii.edu.au/au/journals/AJLH/2004/9.html; Krasner, Stephen D.:
“Westphalia and all that” in Judith Goldstein & Robert Keohane (eds): Ideas and
Foreign Policy(Ithaca, NY: Cornell UP, 1993), pp.235-264
4.
^ http://www.aber.ac.uk/en/interpol/ Department of International Politics,
Aberystwyth University
5.
^ The “Inherent Bad Fatih Model” Reconsidered: Dulles, Kennedy, and
Kissinger, Douglas Stuart and Harvey Starr, Political Psychology, [1]
6.
^ “…the most widely studied is the inherent bad faith model of one’s
opponent...", The handbook of social psychology, Volumes 1-2, edited by Daniel T.
Gilbert, Susan T. Fiske, Gardner Lindzey
7.
^ “…the most widely studied is the inherent bad faith model of one’s
opponent”, The handbook of social psychology, Volumes 1-2, edited by Daniel T.
Gilbert, Susan T. Fiske, Gardner Lindzey
8.
^ Adam Chapnick, The Middle Power.
9.
^ http://www.amnesty.org/en/library/info/POL10/014/2005/en>
10.
^ Eg, Donald Markwell, John Maynard Keynes and International
Relations: Economic Paths to War and Peace, Oxford University Press, 2006. Donald
Markwell, Keynes and International Economic and Political Relations, Trinity Paper
33, Trinity College, University of Melbourne. [2]
11.
^ http://www.culturology.com/definition/Fabrice Rivault,
(1999) Culturologie Politique Internationale : Une approche systémique et matérialiste
de la culture et du système social global, McGill Dissertation, Montréal, publiée par
Culturology Press
12.
^Xintian, Yu (2005) “Cultural Factors In International Relations”, Chinese
Philosophical Studies.
13.
^ Xintian, Yu (2009),"Combining Research on Cultural Theory and
International Relations"
Norman Angell The Great Illusion (London: Heinemann, 1910)
Hedley Bull Anarchical Society (New York: Columbia University Press, 1977)
Robert Cooper The Post-Modern State
Goodin, Robert E., and Hans-Dieter Klingemann, eds. A New Handbook of Political
Science (1998) ch 16-19 pp 401–78 excerpt and text search
Robert Keohane After Hegemony
Hans Köchler, Democracy and the International Rule of Law. Vienna/New York:
Springer, 1995
Andrew Linklater Men and citizens in the theory of international relations
Reinhold Niebuhr Moral Man and Immoral Society 1932
Joseph Nye Soft Power: The Means to Success in World Politics, Public Affairs Ltd
2004
Paul Raskin The Great Transition Today: A Report from the Future
J. Ann Tickner Gender in International Relations (New York: Columbia University
Press, 1992)
Kenneth Waltz Man, the State, and War
Kenneth Waltz Theory of International Politics (1979), examines the foundation of By
Bar
Michael Walzer Just and Unjust Wars 1977
Alexander Wendt Social Theory of International Politics 1999
J. Martin Rochester Fundamental Principles of International Relations (Westview Press,
2010)
Baylis, John, Steve Smith, and Patricia Owens. The Globalization of World Politics: An
Introduction to International Relations (2011)
Mingst, Karen A., and Ivan M. Arreguín-Toft. Essentials of International Relations (5th
ed. 2010)
Nau, Henry R. Perspectives on International Relations: Power, Institutions,
Ideas (2008)
Roskin, Michael G., and Nicholas O. Berry. IR: The New World of International
Relations (8th ed. 2009)
New Cambridge Modern History (13 vol 1957-79), thorough coverage from 1500 to
1900
Black, Jeremy. A History of Diplomacy (2010)
Calvocoressi, Peter. World Politics since 1945 (9th Edition, 2008) 956pp excerpt and
text search
E. H. Carr Twenty Years Crisis (1940), 1919–39
Kennedy, Paul. The Rise and Fall of the Great Powers Economic Change and Military
Conflict From 1500-2000 (1987), stress on economic and military factors
Kissinger, Henry. Diplomacy (1995), not a memoir but an interpretive history of
international diplomacy since the late 18th century
Schroeder, Paul W. The Transformation of European Politics 1763-1848 (Oxford
History of Modern Europe) (1994) 920pp; history and analysis of major diplomacy
Taylor, A.J.P. The Struggle for Mastery in Europe 1848–1918 (1954) (Oxford History
of Modern Europe) 638pp; history and analysis of major diplomacy
Stéphane Beaulac: “The Westphalian Model in defining International Law: Challenging
the Myth”, Australian Journal of Legal History Vol. 9
(2004),http://www.austlii.edu.au/au/journals/AJLH/2004/9.html
Krasner, Stephen D.: “Westphalia and all that” in Judith Goldstein & Robert Keohane
(eds): Ideas and Foreign Policy (Ithaca, NY: Cornell UP, 1993), pp.235-264
[1] Jill Steans dan Lloyd Pettiford, “Strukturalisme” dalam Hubungan Internasional:
Perspektif dan Tema, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2009), hal. 151.
[2]David Weigall, “Structural Determinist” dalam International Relations: A Concise
Companion, (New York: Oxford University Press Inc., 2002), hal. 214.
[3] Stephen P. Elliott dan Alan Isaacs, “Structuralism” dalam New Webster’s Universal
Encyclopedia, (New York: Bonanza Books, 1987), hal. 940.
[4] Miriam Budiardjo, “Berbagai Pendekatan dalam Ilmu Politik” dalam Dasar-Dasar
Ilmu Politik, (Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama, 2008), hal. 85. Untuk bacaan lebih
lanjut mengenai “Kiri Baru” lihat Ahmad Suhelmi, Pemikiran Politik Barat, Jakarta: PT.
Gramedia Pustaka Utama, 2008, hal. 363-381.
[5] Ibid.
[6] Jill Steans dan Lloyd Pettiford, Ibid., hal. 152-155.
[7] Hana Nurhasanah, “Strukturalisme”, Catatan Perkuliahan, (Jakarta: FISIP UNAS, 22
Oktober 2009)
[8] Miriam Budiardjo, Ibid., hal. 90-91.
[9] “Marxisme
dan
Teori
Hubungan
Internasional”,http://andre.pinkynet.web.id/2009/03/31/marxisme-dan-teori-hubunganinternasional/, diakses 20 November 2009.
DAFTAR PUSTAKA
Amitav Acharya, & Barry Buzan, ed. 2010, Non-Western International Relations
Theory: Perspectives on Beyond Asia. New York: Routledge.
Barry Buzan & Ole Waever, 2003. Regions of Powers The Structure of
International Security. Cambridge: Cambridge University Press.
Caeshung Chun, “Why is There No Non-Western International Relations Theory?
Reflections on and from Korea” di dalam Acharya, A. & Buzan, B. ed. 2010, NonWestern International Relations Theory: Perspectives on Beyond Asia. New York:
Routledge.
Chris Brown, 2001. Understanding International Relations, 2nd ed., New York:
Palgrave.
Daniel Maliniak, et al., 2007. The International Relations Discipline, 1980-2006,
Makalah pertemuan tahunan American Political Science Association Agustus/September
2007.
Department of International Politics, 2011. The Legacy of One Man’s Vision,
University of Aberystwyth, diakses dari , pada
tanggal 5 November 2011.
J.C. Johari, 1985. International Relations and Politics (Theoritical Perspectives),
New Delhi: Sterling Publishers Private Limited.
Leonard C. Sebastian, & Irman G. Lanti, “Perceiving Indonesian Approaches to
International Relations Theory” di dalam Acharya, A. & Buzan, B. ed. 2010, NonPerkembangan Studi Hubungan International (Yessi)Jurnal Transnasional, Vol. 3, No. 2,
Februari 2012
Western International Relations Theory: Perspectives on Beyond Asia. New York:
Routledge.
INTERNASIONAL
(IMPLEMENTASI DAN DAMPAK DARI PENERAPAN PERFEKTIF
UTAMA DALAM STUDY HUBUNGAN INTERNASIONAL)
DISUSUN OLEH
MAGHFIRA TRI MAULANI
1301113955
HUBUNGAN INTERNASIONAL
UNIVERSITAS RIAU
2013/2014
Kajian-kajian di dalam SHI
saling ketergantungan ekonomi (economic interdependence), hutang luar negeri Dunia
Ketiga dan ketergantungan (dependence), perdagangan internasional, bentuk-bentuk baru
identitas politik dan kewarganegaraan, rezim internasional, masyarakat internasional
(international society), anarki internasional, asosiasi ekonomi regional, perimbangan
kekuatan (balance of power), demokratisasi, keamanan pasca Perang Dingin,
transnasionalisme, perang, konflik, kerjasama negara (nation states), perusahaan
transnasional, pasar finansial, NGO, komunitas supra dan sub-nasional, pasukan penjaga
perdamaian, kelompok pemberontak, gerakan-gerakan sosial baru (misalnya gerakan
perempuan dan kelompok-kelompok pecinta lingkungan), organisasi internasional,
pengungsi, kelompok teroris
distribusi kekuatan militer, arms control, globalisasi dan fragmentasi, kesenjangan global,
hak asasi manusia, intervensi dan kedaulatan, bantuan luar negeri dan bantuan
kemanusiaan, pengungsian, etnisitas, isu-isu perempuan, jender, isu-isu yang terkait
dengan konservasi lingkungan, penyakit menular (seperti AIDS, flu burung), narkotika,
kejahatan transnasional, kemiskinan, peace keeping & peace building, just war, baik atau
tidaknya intervensi kemanusiaan, perdebatan tentang redistribusi kekuatan dan kekayaan,
kewajiban terhadap alam, saling menghormati perbedaan kebudayaan, hak-hak
perempuan dan anak-anak
Perkembangan Metodologi
Selain perdebatan mengenai isu-isu substantif, misalnya apa penyebab terjadinya perang
atau apakah demokrasi akan mengekalkan perdamaian, perdebatan penting lainnya di
dalam SHI adalah mengenai metodologi. Perdebatan metodologi biasanya membahas halhal filosofis tentang bagaimana penelitian baiknya dilakukan; apakah bisa menggunakan
pendekatan saintifik, apakah asumsi realis bahwa sifat dasar manusia agresif atau asumsi
liberalis bahwa manusia suka bekerja sama itu benar, dan lain sebagainya.31
30 Scott Burchill,
Ketika awal berdiri sebagai sebuah kajian, orang-orang liberalisme idealis yang meneliti
tentang HI kebanyakan berasal dari kalangan non akademik. Perhatian terhadap
metodologi tidak terlalu banyak diperhatikan, karena fokus tulisan mereka bukan pada
upaya menjelaskan, tapi lebih kepada hal-hal yang harusnya diterapkan di dunia agar
terhindar dari perang. Reaksi kelompok realis (dalam debat pertama), tidak melihat
kelemahan metodologi kelompok liberalisme idealis. Fokus kritikan kelompok realis ada
pada kelemahan-kelemahan pandangan kelompok idealis tentang bagaimana sistem
internasional seharusnya bekerja.32
Sumber: Scott Burchill, et al., Theories of International Relations, 3rd ed., New York: Palgrave Macmillan
et al., Theories of International Relations, 3rd ed., New York: Palgrave Macmillan, hal. 13 31 Jackson &
Sørensen, op.cit., hal:218
IMPLEMENTASI DAN DAMPAK DARI PENERAPAN
PERFEKTIF UTAMA DALAM STUDY HUBUNGAN
INTERNASIONAL
Perspektif dalam studi hubungan internasional merupakan suatu landasan atau sebagai
dasar untuk menganalisa masalah-masalah atau fenomena-fenomena yang terjadi di
dalam perkembangan hubungan internasional. Melalui perspektif-perspektif inilah para
ahli maupun para penstudi hubungan internasional dapat menjelaskan teori-teori
mengenai permasalahan-permasalahan tersebut. Ada beberapa perspektif dalam hubungan
internasional, diantaranya : realis, idealis, behavioralis dan strukturalis.
A. Perspektif Realis (Realism)
Perpektif realis memandang negara sebagai aktor yang bersifat rasional dan monolith
sehingga dapat memperhitungkan tindakan demi kepentingan keamanan nasional. Realis
menitik beratkan terhadap struggle of poweratau realpolitik. Menurut kaum realis ada
empat sifat dasar interaksi dalam hubungan internasional yakni : anarki, kompetitif, kerap
kali konflik dan kerjasama dalam jangka pendek. Ketertiban dan stabilitas hanya dapat
diperoleh melalui distribusi kekuasaan (power politics).
Paham realis jika dilihat dari sudut pandang pelaksanaan politik luar negeri suatu negara
bersifat unilateralis (unilateralism), nasionalis (nationalism), dengan strategi penangkalan
(deterrence), perimbangan kekuatan (ballance of powerI dan aliansi-aliansi pertahanan
(deffence alliances).
B. Perspektif Idealis (Idealism)
Dalam paham idealis, negara-negara saling bekerjasama dalam berbagai organisasi
internasional untuk mencapai tujuan-tujuan global dan kemanusian. Paham idealis
bersifat normatif, artinya semua yang terjadi itu sudah seharusnya, prinsip-prinsip,
hukum, organisasi dan pengaruh opini publik merupakan hal yang sangat penting
Dilihat dari politik luar negeri suatu negara, paham idealis bersifat multilateralis
(multilateralism), internasionalis (internationalism), liberalis (liberalism), humanis
(humanism) dengan strategi utama yang mengedepankan legalitas (legality), moralitas
(morality) dan demokrasi (democracy) melalui jalan-jalan damai seperti perundinganperundingan atau negosiasi untuk mencapai kesepakatan.
C. Perspektif Behavioralisme (Behavioralism)
Menurut pandangan kaum behavioralis, hubungan internasional merupakan bagian
dari ilmu-ilmu sosial secara umum. Perspektif behavioralis atau aliran prilaku banyak
mempengaruhi pendekatan-pendekatan terhadap teori dan logika serta metode
penelitian. Behavioralis sering disebut sebagai pendekatan ilmiah, ia sering menantang
model-model yang ada dalam mempelajari tingkah laku manusia dan basis-basis teori
tradisionalisme.
Behavioralis dalam penelitiannya condong kepada analisa komparatif lintas nasional
yang tidak hanya membahas mengenai studi kasus negara tertentu dalam waktu tertentu.
Perspektif ini menekankan perlunya metode pengumpulan data mengenai ciri khas suatu
negara dan hubungan-hubungannya dengan negara lain. Dan juga, aliran prilaku ini
banyak diwarnai oleh studi kuantitatif hubungan internasional.
D. Perspektif Struturalisme (Structuralism)
Strukturalisme muncul di Prancis tahun 1960. Perspektif strukturalisme merupakan
perspektif ilmu hubungan internasional yang dipengaruhi oleh paham marxisme.
Strukturalis memandang bahwa tata dunia kontemporer dikonstruksi oleh sistem kapitalis
global dan sistem antarnegara yang berhubungan. Ciri fundamental tata dunia adalah
ketidaksamaan dalam eksploitasi kapitalis. Dalam strukturalis, kelas merupakan aktor
yang paling dominan dalam hubungan internasional, dan negara sebagai perpanjangan
kepentingan kelas. Aktor-aktor institusional kemudian membantu melegitimasi dan
memelihara struktur yang ada.
Asumsi-asumsi dasar strukturalisme adalah sifat dasar manusia yang tidak tetap maupun
esensial terkondisikan melalui masyarakat, subjek dapat dikelompokkan menjadi
kolektivitas yang dapat diidentifikasi dan dapat pula dikatakan memiliki kepentingan
konkrit, struktualisme adalah sains dan yang terakhir adalah strukturalisme memandang
bahwa tata dunia kontemporer dikonstruksi oleh sistem kapitalis global dan sistem
antarnegara berhubungan. Perspektif strukturalis juga erat kaitannya dengan nasionalisme
ekonomi.
Kajian Ekonomi Politik Internasional muncul akibat semakin berkembangnya isu-isu
yang ada karena meningkatnya kompleksitas dari hubungan antar aktor internasional,
terutama dalam hal ekonomi politik internasional. Kajian ini menggeser isu politik
tradisional seperti isu perang kepada isu sosial ekonomi, yang utamanya berbicara
mengenai isu kekayaan dan kemiskinan dalam dunia internasional. Lebih jauh, kajian ini
membahas tentang siapa yang mendapatkan apa dan bagaimana dalam interaksi ekonomi
internasional.
Secara umum terdapat tiga pendekatan utama yang mampu menjelaskan fenomena
ekonomi politik internasional pada saat ini. Ekonomi Politik Internasional
mengemukakan bahwa terdapat tiga teori utama EPI, antara lain merkantilisme,
liberalisasi ekonomi, dan marxisme. Ketiganya memiliki cara yang berbeda satu sama
lain untuk menjelaskan fenomena ekonomi politik internasional, disebabkan ketiganya
muncul atas latar belakang yang berbeda-beda. Oleh karena adanya perbedaan tersebut,
fenomena ekonomi politik internasional tersebut dapat dijelaskan melalui beberapa sudut
pandang.1 Pendekatan yang pertama adalah Merkantilisme. Teori ini muncul sekitar abad
ke 16 dengan memandang pentingnya negara berdaulat sebagai elit politik yang utama.
Sehingga aktivitas ekonomi seharusnya tunduk pada tujuan utama dalam membangun
negara yang kuat, yang dengan kata lain, ekonomi merupakan alat politik dan dasar bagi
kekuasaan politik2 . Ketika kepentingan beberapa negara ini bertemu dalam arena
internasional, akan timbul konflik kepentingan nasional yang saling bertentangan dan
bertabrakan, dan berujung pada sistem zero-sum di mana yang kuat lah yang akan
mendominasi. Pandangan ini agaknya mirip dengan pandangan neorealis mengenai
persaingan antarnegara dalam dunia yang anarki. Penerapan perspektif ini dapat
memberikan dampak yang positif maupun negatif. Dampak yang positif adalah ketika
kepentingan ekonomi nasional dipandang penting sebagai bagian dari mempertahankan
keamanan nasional. Tetapi dampak yang negatif muncul ketika dalam penerapannya,
negara melakukan eksploitasi atau perilaku lain yang dapat merugikan negara lain demi
kepentingan ekonomi nasionalnya sendiri. Contohnya adalah pada praktik imperialisme
dan kolonialisme oleh negara-negara Eropa kepada wilayah-wilayah di Afrika dan Asia
sejak abad ke-16.
1
Robert Jackson & Georg Sorensen (2009:231)
2
Jackson & Sorensen, 2009:231
Beberapa tokoh merkantilisme ini antara lain Alexander Hamilton, salah satufounding
fathers Amerika Serikat; dan Friedrich List, seorang ekonom yang berasal dari Jerman.
Singkatnya, merkantilisme memandang bahwa kepentingan negara merupakan hal
terpenting, sehingga segala aktivitas ekonomi berada dibawah kendali kepentingan
politik, yang dalam konteks negara adalah pemerintah. Sebab negara bertanggung jawab
atas atas tercapainya kepentingan nasional. Untuk menjaga supaya kepentingan tersebut
tidak terpecah antara kepentingan keamanan dan kepentingan ekonomi, maka sebisa
mungkin negara menghindari ketergantungan kepada negara lain (Jackson & Sorensen,
2009:234).
Pendekatan yang kedua adalah Liberalisme. Teori ini muncul sebagai kritik atas
merkantilisme, yang dianggapnya akan menghalangi tercapainya kesejahteraan
masyarakat negara (Jackson & Sorensen, 2009:235). Pemikiran liberalisme ekonomi
berasal dari Adam Smith melalui bukunyaWealth of Nations (1776), yang meyakini
bahwa untuk mencapai efisiensi dan pertumbuhan ekonomi yang tinggi, pemerintah tidak
seharusnya ikut campur dan justru membiarkan pasar berjalan pada mekanismenya
sendiri. Kemudian pendapat ini dikuatkan dengan konsep keunggulan komparatif milik
David Ricardo, di mana proses produksi ekonomi akan lebih efisien ketika setiap aktor
mengkhususkan produksinya yang menghasilkan keuntungan terbesar. Dengan demikian
dalam aktivitas perdagangan bebas yang lintas batas, setiap negara akan memperoleh
keuntungan yang maksimal melalui efisiensi, dan kesejahteraan global akan meningkat
(Jackson & Sorensen, 2009:235). Dan oleh karena perspektif dasarnya yang liberal, maka
ia mengedepankan kebebasan individu untuk mengeksplor lebih jauh kesempatan untuk
turut terlibat dalam pasar. Sehingga dalam perspektif liberalisme ini setiap individu akan
memperoleh keuntungan ketika ia terlibat dalam pasar, dan kesejahteraan individu akan
lebih terjamin. Dengan demikian, perekonomian internasional seharusnya didasarkan
pada perdagangan bebas (Jackson & Sorensen, 2009:234).
Pendekatan yang ketiga yaitu Marxisme. Pendekatan ini muncul sebagai kritik atas
liberalisme ekonomi. Pandangan liberalisme bahwa kebebasan akan mengarah
pada positive sum game justru dipandang oleh kaum marxis sebagai eksploitasi individu
yang akan menimbulkan perbedaan kelas. Asumsi dasar marxisme berpandangan bahwa
dalam sistem ekonomi kapitalis, masyarakat terbagi dalam dua kelas utama, yaitu kelas
borjuis, yakni mereka yang memiliki faktor-faktor produksi; dan kelas proletar, yakni
mereka yang memiliki kekuatan kerja yang harus dijual pada kaum borjuis (Jackson &
Sorensen, 2009:239). Dalam praktisnya kelas borjuis yang menguasai faktor produksi
akan mendominasi perekonomian kapitalis yang dengan demikian juga akan
mendominasi perpolitikan. Pandangan marxisme ini jika diaplikasikan dalam kerangka
studi Ekonomi Politik Internasional, dapat dianalisis bahwa (1) negara tidak otonom, ia
digerakkan oleh kelas borjuisnya dalam menerapkan kepentingan ekonominya; (2) sifat
ekonomi kapitalisme yang ekspansif akan cenderung mencari pasar baru yang lebih
menguntungkan, sehingga gelombang kapitalisme akan meluas ke seluruh dunia (Jackson
& Sorensen, 2009:240). Dalam prakteknya, perluasan pasar yang ekspansif dan
eksploitatif berada pada bentuk imperialisme yang pada masa kolonialisme berada pada
formasi yang lebih tradisional dibandingkan sekarang, yaitu bentuk globalisasi ekonomi
yang didominasi oleh perusahaan multinasional raksasa yang mendominasi
perekonomian internasional.
Bentuk pembagian kelas dalam konsep marxisme yang dapat dilihat pada dunia
internasional adalah adanya bentuk-bentuk tingkatan negara berdasarkan tingkat
kesejahteraan dan kemajuannya, yaitu negara dunia pertama (core), adalah negara kayamaju seeperti Amerika Serikat dan negara di Eropa Barat; dunia kedua (semi periphery),
adalah negara sedang seperti Jepang; dan dunia ketiga (periphery), adalah negara miskinberkembang seperti negara di Afrika dan Asia. Adanya bentuk kelas ini menunjukkan
adanya ketergantungan mereka yang berada pada wiayahperiphery terhadap mereka
yang core. Jackson & Sorensen (2009:75) juga menyebutkan adanya paham Neo-Marxis,
yang dapat menjelaskan fenomena tersebut. Keduanya berpendapat bahwa negara kaya
menggunakan sistem perekonomian yang kapitalis global untuk memiskinkan negara
miskin di dunia, dengan menekankan konsep ketergantungan. Agar dapat ikut serta dalam
perekonomian kapitalis global, negara miskin tersebut harus menjual bahan mentah pada
tingkat harga murah dan membelinya dalam bentuk barang jadi dengan harga yang mahal
(Jackson & Sorensen, 2009:75).
Dari penjabaran di atas dapat disimpulkan bahwa ketiga pendekatan tersebut menjelaskan
konsep ekonomi politik internasional dari sudut pandang yang berbeda-beda. Dalam
hal hubungan antara ekonomi dan politik, merkantilisme berpendapat bahwa politik-lah
yang mendominasi sehingga menentukan jalannya ekonomi, sementara liberalisme
menganggap bahwa ekonomi secara otonom terpisah dengan politik negara, dan
marxisme beranggapan bahwa ekonomi-lah yang menentukan jalannya politik.
Sedangkan dalam hal aktor utama dalam perekonomi-politikan internasional menurut
merkantilisme adalah negara, menurut liberalisme adalah individu serta perusahaan
privat/swasta, dan menurut marxisme adalah kelas-kelas. Dalam hal sifat hubungan
ekonomi, merkantilisme dan marxisme sama-sama menganggap kondisi yang ada
konfliktual dan berujung pada zero sum game, sementara liberalisme menganggap
kondisi yang ada koopeatif dan berujung pada positive sum game. Terakhir, dalam
hal tujuan ekonomis, pandangan merkantilisme adalah demi tercapainya kekuatan negara,
pandangan liberalisme adalah kesejahteraan maksimal individu dan sosial, dan
pandangan marxisme adalah kepentingan masing-masing kelas.
Salah satu perspektif dalam ilmu Hubungan Internasional yang mengalami banyak
perkembangan adalah Realisme. Perspektif realis banyak membahas tentang perang dan
keamanan yang berkaitan dengan militer dan power. Realisme berkembang dan mendasar
pada pemikiran bahwa man is evil. Aktor dalam perspektif realisme adalah negara,
sebagai satu individual yang tidak akan bekerjasama dengan aktor lain tanpa ada maksud
tertentu (self-interested) dan akan selalu berusaha untuk memperkuat dirinya sendiri.
Berawal dari sejarah studi Hubungan Internasional yang muncul antara Perang Dunia I
dan II, realisme hadir sebagai arus utama pendekatan hubungan internasional akibat
ketidaksempurnaan pendekatan idealis. Pandangan-pandangan yang menjadi fundasi
aliran ini posisinya berseberangan dengan pemikiran para penganut idealisme. Adapun
pandangan atau asumsi dasar dari prespektif realisme, antara lain
(1) memandang secara pesimistis terhadap sifat dasar manusia yang cenderung berbuat
baik. Prespektif ini berkeyakinan bahwa manusia itu bersifat jahat, berambisi untuk
berkuasa, bereperang, dan tidak mau bekerjasama;
(2) bersikap skeptis terhadap kemajuan politik internasional dan politik domestik;
(3) meyakini bahwa hubungan internasional bersifat konfliktual atau berpotensi
menghasilkan konflik. Dan konflik-konflik internasional yang terjadi hanya bisa
diselesaikan dengan jalan perang;
(4) menjunjung tinggi nilai-nilai keamanan nasional dan eksistensi atau kelangsungan
hidup negara.
Para pemikir realis juga menempatkan keamanan nasional sebagai prioritas atau fokus
utama dalam prespektif realisme. Dalam kacamata realis, keamanan militer dan isu-isu
strategis tergolong kepentingan utama dan mengacu ke dalam kategori high politics.
Sedangkan ekonomi dan isu-isu sosial dilihat oleh kaum realis sebagai hal yang biasa,
yang termasuk ke dalam kategori low politics. Realisme juga memfokuskan analisisnya
pada power dan otonomi dalam interaksi internasional serta tentang tidak adanya
keharmonisan diantara negara-negara, sehingga konsep self-help di sini menjadi penting.
Dan kemampuan yang paling relevan, yaitu kemampuan di bidang militer. Realis tidak
menolak prinsip-prinsip moral, Hanya saja dalam prakteknya, moralitas individual
dikalahkan oleh kepentingan akan kelangsungan hidup negara dan penduduknya dan
tentu saja kepentingan nasional itu sendiri Bagi kaum realis, negara merupakan aktor
utama dalam panggung internasional. Sebagai aktor utama, negara berkewajiban
mempertahankan kepentingan nasionalnya dalam kancah politik internasional. Negara
dalam konteks ini diasumsikan sebagai entitas yang bersifat tunggal dan rasional.
Maksudnya adalah dalam tataran negara, perbedaan pandangan politis telah diselesaikan
hingga menghasilkan satu suara. Sedangkan negara dianggap rasional karena mampu
mengkalkulasikan bagaimana cara mencapai kepentingan agar mendapat hasil maksimal.
Seorang realis juga biasanya memusatkan perhatian pada potensi konflik yang ada di
antara aktor negara, dalam rangka memperhatikan atau menjaga stabilitas internasional,
mengantisipasi kemungkinan kegagalan upaya penjagaan stabilitas, memperhitungkan
manfaat dari tindakan paksaan sebagai salah satu cara pemecahan terhadap perselisihan,
dan memberikan perlindungan terhadap tindakan pelanggaran wilayah perbatasan. Oleh
karena itu, power adalah konsep kunci dalam hal ini. Dasar Normatif realisme adalah
keamanan nasional dan kelangsungan hidup negara: ini merupakan nilai-nilai yang
menggerakkan doktrin kaum realis dan kebijakan luar negeri kaum realis.
Negara dipandang esensial bagi kehidupan warganegaranya: tanpa negara yang menjamin
alat-alat dan kondisi-kondisi keamanan dan yang memajukan kesejahteraan, kehidupan
manusia dibatasi menjadi seperti, seperti yang tersurat dalam pernyataan Thomas Hobbes
yang
terkenal
terpencil,miskin,
dan
sangat
tidak
menyenangkan,
tidak
berperikemanusiaan, dan singkat. dengan demikian negara dipandang sebagai pelindung
wilayahnya, penduduknya, dan cara hidupnya yang khas dan berharga. Kepentingan
nasional adalah wasit terakhir dalam menentukan kebijakan luar negeri. Masyarakat dan
moralitas manusia dibatasi pada Negara dan tidak meluas pada hubungan internasional
yang merupakan arena politik dari kekacauan yang besar, perselisihan, konflik antar
Negara-negara yang berkekuatan besar mendominasi pihak-pihak lain.
Fakta bahwa semua negara harus mengejar kepentingan nasionalnya sendiri berarti
bahwa negara dan pemerintahan lainnya tidak akan pernah dapat diharapkan sepenuhnya.
Seluruh kesepakatan internasional bersifat sementara dan kondisional atas dasar
keinginan negara-negara untuk mematuhinya. Semua negara harus siap mengorbankan
kewajiban internasionalnya yang berdasar pada kepentingannya sendiri jika dua negara
terlibat dalam konflik. Hal itu menjadikan perjanjian-perjanjian dan semua persetujuan,
konvensi, kebiasaan, aturan dan hukum lainnya, antara negara-negara hanyalah berupa
pengaturan yang bijaksana yang dapat dan akan dikesampingkan jika semua itu
berseberangan dengan kepentingan negara. Tidak ada kewajiban internasional dalam
pengertian moral dari kata itu (yaitu terikat kewajiban timbal balik) antara negara-negara
merdeka. Seperti yang telah disinggung sebelumnya, satu-satunya tanggung jawab
mendasar warga negara adalah meningkatkan dan mempertahankan kepentingan nasional
Klasifikasi Realisme dan Neorealisme : Kemunculan
Mazhab realisme terbagi menjadi dua bagian, yakni realisme atau sering juga disebut
dengan realisme klasik dan neo-realisme atau realisme kontemporer. Apa yang secara
eksplisit diakui sebagai teori hubungan internasional tidak dikembangkan sampai setelah
Perang Dunia I, Namun, teori HI memiliki tradisi panjang menggunakan karya ilmu-ilmu
sosial lainnya Penggunaan huruf besar “H” dan “I” dalam hubungan internasional
bertujuan untuk membedakan disiplin Hubungan Internasional dari fenomena hubungan
internasional Banyak yang mengutip Sejarah Perang Peloponnesia karya Thucydides
sebagai inspirasi bagi teori realis, dengan Leviathan karya Hobbes dan The Prince karya
Machiavelli
memberikan
pengembangan
lebih
lanjut.
Pengklasifikaiannnya bisa berdasarkan pada tahun kemunculannya, yaitu klasik (hingga
abad 20) dengan Hobbes, Kaum realis klasik hidup dalam banyak periode sejarah yang
berbeda; dari Yunani kuno sampai saat ini. Key Thinkerspada jaman itupun sudah banyak
mengungkapkan teori tentang realisme politik yang menjadi haluan bagi pemikir-pemikir
kunci realisme pada masa sekarang. pemikiran mereka sudah diawali sejak jaman
Thucydides (The Melian Dialogue 460-406BC), Nicollo Machiavelli (1496-1527),
Thomas. Hobbes (1588-1679) dan J.J. Rosseau (1712-78), yang disebut classic-realism.
Realisme klasik menawarkan konsep raison d’etat (state excuse), dimana negara
memiliki dalih untuk melindungi negaranya (Sebagaimana doktrin militer preemptative strike
Amerika
Serikat
pada
masapostcontaintment Perang
Dingin).
Machiavelli dan Thucydides sebagai tokohnya yang setuju bahwa kondisi manusia tidak
aman dan penuh konflik, adanya kumpulan pengetahuan politik/ kebijaksanaan untuk
menghadapi masalah keamanan, dan tidak ada solusi permanen atau akhir dari masalah
politik.
Hans J. Morgenthau adalah pencetus utama realisme neoklasik. Kutipan yang terkenal
mengenai substansi pemikiran Morgenthau adalah “Politik adalah perjuangan untuk
kekuasaan atas manusia, dan apapun tujuan akhirnya, kekuasaan adalah tujuan
terpentingnya, dan cara-cara memperoleh, memelihara, dan menunjukan kekuasaan
menentukan teknik aksi politik” . Disini Morgenthau banyak mengungkapkan kritisisme
mengenai
kepercayaan
Woodrow
Wilson
mengenai
kepercayaanya
dalam
menganalogikan dan “menyarankan” untuk mengaplikasikan etika pribadi kedalam etika
politik. Realisme neoklasik sendiri di definisikan oleh Baylis sebagai drive for power and
the will to dominate that are held to be fundamental aspects of human nature realisme
neo-klasik dengan Hans Morgenthau sebagai tokoh yg berpendapat, politik dianggap
berakar dalam sifat manusia yang self-(centered, regarding, dan interested), pemimpin
politik tidak mempunyai kebebasan melakukan yang benar seperti rakyatnya, dan rasa
pesimis muncul karena keterbatasan manusia. Neo Klasik Realisme pada dasarnya
merupakan pendekatan ilmiah dan memfokuskan pada struktur atau sistem internasional.
Doktrin ini pada awalnya berawal dan meluas di Amerika (meskipun tidak secara
khusus). memfokuskan analisisnya pada pengejaran terhadap power dan otonomi dalam
interaksi internasional dan tidak adanya keharmonisan interest diantara negara-negara
sehingga konsep self help menjadi penting dan kemampuan yang paling relevan adalah
kemampuan dibidang militer. Realis tidak menafikan prinsip-prinsip moral, hanya saja
dalam prakteknya moralitas individual dikalahkan oleh kelangsungan hidup negara dan
penduduknya serta pencapaian kepentingan nasional.
Neo-realisme mengasumsikan sistem internasional yang anarki memberikan pengaruh
terhadap perilaku Negara. Neo-realisme (1979-sampai sekarang) yang merupakan karya
Kenneh Waltz. Perbedaannya dengan realis adalah tidak menyetujui penjelasan perilaku
dalam hubungan internasional,dan tentu saja berusaha ilmiah dan lebih positivis karena
neo-realis ingin mensistemasikan realisme politik ke dalam teori sistem yang kuat dan
deduktif dari politik internasional. Neo-Realisme (Disebut juga sebagai Structural
Realism)
Pada dasarnya substansi pemikiran kaum realis (klasik) masih menjadi dasar dalam
pemikiran realisme baru (Neo Realisme) ini. Perbedaanya dengan realisme klasik
maupun realisme neoklasik adalah pendekatan dari dua paham realisme sebelum
neorealis adalah pendekatan yang non-sistemik. Pendekatan non-sistemik yang dimaksud
adalah, yang “dipersalahkan” atas segala chaos yang terjadi di dunia internasional adalah
actor (baik state sebagai aktor utama maupun sifat dasar manusia Animus Dominandi).
Berbeda dengan pendahulunya, kaum neorealis lebih cenderung “mempersalahkan”
sistem, sebagai faktor utama yang mendorong state-actor. Hal serupa juga diungkapkan
oleh Kenneth Waltz dalam bukunya Theory of International Politics. Waltz
menyatakan the international structure acts as a constraint on state behaviour, so that
only states whose outcomes fall within an expected range survive. Jadi menurut hemat
neorealis. Sistem internasional yang menentukan perilaku negara. Oleh karena sistem
internasional (pada saat ini) dalam kondisi ketidakadaan government above the states,
maka keadaan anarki yang menetukan perilaku setiap actor-aktornya, dalam perspektif
realisme disebut sebagai state.
Dari sini neo-realisme berpandangan bahwa dimungkinkan adanya kerjasama didalam
sistem yang anarki namun relative gain adalah tujuan dari negara-negara yang terlibat di
dalamnya bukan absolute gain . Mengapa demikian? karena dalam suatu kerjasama
dalam sistem anarki tidak ada badan supranasional yang bisa memberikan jaminan bahwa
anggotanya tidak melakukan kecurangan satu dengan yang lainnya juga negara-negara
yang terlibat didalamnya tidak dapat meramalkan apakah teman di masa sekarang tetap
menjadi teman di masa yang akan datang, ada kemungkinan teman kita hari ini menjadi
musuh kita dikeesokan hari.
Maka dengan demikian negara yang terlibat dalam kerjasama tersebut tidak akan rela
apabila negara lain mengambil keuntungan yang lebih besar dari apa yang ia dapatkan,
terutama bagi negara-negara yang memiliki power kuat, dia akan mempertahankan
kondisi anarki dan kerjasama yang sedemikian, karena ia diuntungkan. Persamaannya
dengan realis kontemporer yaitu anarki dan ketiadaaan lembaga sentral menjadi ciri
struktur sistem, negara sebagai aktor utama, bertindak dengan prinsip menolong diri
sendiri dan mengusahakan agar bisa bertahan dengan kekuatannya, karena itu negara
sama dalam tugas yang dihadapinya,
yang berbeda
adalah
dalam mendefinisikan
kapabilitas
sistem
posisi
struktur.
negara dalam
Perubahan
dalam
sistem
dan
distribusi
distribusi
kapabilitas
merangsang perubahan dalam struktur sistem seperti konfigurasi kekuatan multipolar ke
bipolar atau menuju unipolar. Namun merebut kekuasaan dengan usaha internal seperti
meningkatkan ekonomi, militer, strategi yang lebih pintar serta usaha eksternal
seperti memperluas aliansi atau membubarkan aliansi musuhnya. tidak dianggap tujuan
dan tidak lagi dilihat sebagai karakter manusia yang sangat dasar seperti dalam realisme
klasik. Asumsinya adalah bahwasanya Keseimbangan
kekuatan muncul
secara
otomatis dari instink kebutuhan dasar untuk bertahan.
Kritik Terhadap Realisme
Great Debate : Titik Perdebatan Liberalisme dan Realism
Titik perdebatan kedua pendangan ini dapat dilihat dalam dua garis permasalahan
besar. Permasalahan pertama ialah mengenai sifat dasar manusia. Kaum realis
beranggapan bahwa pada dasarnya manusia itu bersifat egois dan menghalalkan segala
cara untuk mencapai kepentingannya, meskipun itu artinya harus mengorbankan orang
lain. Hal ini diilustrasikan oleh cerita stag hunt yang dikemukakan oleh Waltz mengutip
Rousseau. Dikisahkan ada lima orang yang tersesat di pegunungan. Mereka kelaparan
dan kemudian sepakat untuk bekerjasama menangkap rusa dewasa agar cukup untuk
berlima. Kemudian muncul seekor rusa dengan anaknya. Karena berada dalam
jangkauannya, salah seorang dari mereka menangkap anak rusa tersebut, dan tidak
mempedulikan bahwa akibat perbuatannya sang rusa dewasa akhirnya lepas. Dia hanya
mementingkan diri sendiri dan lupa dengan perjanjian sebelumnya.
Sedangkan kaum idealis lebih optimistis dalam melihat sifat dasar manusia. Mereka
beranggapan manusia sebagai makhluk sosial, senang bekerjasama dan memiliki rasa
kemanusiaan terhadap sesamanya. Seperti misalnya, dikisahkan seorang pria sedang
bersama kekasihnya mengalami kecelakaan. Mobil yang mereka naiki berada dibibir
jurang yang dalam dan hampir terjatuh. Pria itu kemudian berusaha sekuat tenaga untuk
menolong sang kekasih tercinta. Sang kekasih akhirnya dapat terselamatkan dengan
didorong keluar oleh pria tersebut. Tetapi malang, si pria itu tidak sempat keluar dan
akhirnya tewas, jatuh ke jurang bersama Ferrari Maranello yang baru dibelinya…Dari
cerita tersebut bisa disimpulkan bahwa ketika compassion (perasaan) seperti cinta dan
kasih sayang terlibat, maka manusia dapat mengorbankan kepentingan dirinya
sendiri.
Perbedaan pandangan dasar inilah yang kemudian mempengaruhi analisis kedua aliran
ini. Realisme mengedepankan survival (usaha untuk mempertahankan kelangsungan
hidup) dan self help (hanya mengandalkan diri sendiri dalam mencapai tujuannya di
dunia yang anarkis). Sedangkan idealisme mengutamakan kerjasama dengan pihak lain
dalam mencapai tujuan bersama seperti menciptakan perdamaian, dengan berusaha
membentuk
organisasi
internasional.
Sementara itu garis besar permasalahan kedua terletak pada masalah diplomasi
dan collective security. Woodrow Wilson mengemukakan dalam Fourteen Points-nya
bahwa hendaknya praktik diplomasi dilakukan secara terbuka dan menggantikan praktik
diplomasi rahasia, yang menghasilkan kesepakatan-kesepakatan rahasia antar-negara
mengenai siapa yang akan mendapatkan wilayah apa pasca Perang Dunia Pertama.
Wilson juga meyakini bahwa perang dapat dihindari dengan menciptakan sebuah
organisasi internasional, yang berlandaskan prinsip collective security. Skema yang ia
bangun untuk League of Nations(LBB) bertumpu pada negara-negara anggota yang ‘cinta
damai’ yang menganggap setiap ancaman terhadap perdamaian dunia sebagai tindakan
agresi yang mengancam mereka semua, dan oleh karenanya harus direspon secara
kolektif.
Aliran realis tidak setuju dengan pendapat yang disampaikan oleh Wilson ini. Mereka
berpendapat bahwa dalam dunia politik internasional akan selalu ada kesepakatankesepakatan tertutup demi mencapai kepentingan nasional. Bahkan sampai sekarang
praktik spionase masih terus berlangsung, meski dikategorikan sebagai tindakan yang
buruk, tetapi dianggap bukan sesuatuyangsalah. Kemudian realis juga tidak percaya
bahwa organisasi internasional dan hukum internasional dapat mewujudkan perdamaian.
Menurut mereka, negara-negara turut serta dalam organisasi internasional selama masih
sejalan dengan kepentingan nasionalnya, bila tidak sejalan pasti akan mereka tinggalkan.
Mengenai kegagalan organisasi internasional ini terbukti dengan kegagalan yang dialami
oleh LBB itu sendiri.
Referensi
1.
^ Columbia Encyclopedia: international relations
2.
^ Barry Buzan, Richard Little. International Systems in World History:
Remaking the Study of International Relations. published 2000
3.
^ Stéphane Beaulac: “The Westphalian Model in defining International
Law: Challenging the Myth”, Australian Journal of Legal History Vol. 9
(2004),http://www.austlii.edu.au/au/journals/AJLH/2004/9.html; Krasner, Stephen D.:
“Westphalia and all that” in Judith Goldstein & Robert Keohane (eds): Ideas and
Foreign Policy(Ithaca, NY: Cornell UP, 1993), pp.235-264
4.
^ http://www.aber.ac.uk/en/interpol/ Department of International Politics,
Aberystwyth University
5.
^ The “Inherent Bad Fatih Model” Reconsidered: Dulles, Kennedy, and
Kissinger, Douglas Stuart and Harvey Starr, Political Psychology, [1]
6.
^ “…the most widely studied is the inherent bad faith model of one’s
opponent...", The handbook of social psychology, Volumes 1-2, edited by Daniel T.
Gilbert, Susan T. Fiske, Gardner Lindzey
7.
^ “…the most widely studied is the inherent bad faith model of one’s
opponent”, The handbook of social psychology, Volumes 1-2, edited by Daniel T.
Gilbert, Susan T. Fiske, Gardner Lindzey
8.
^ Adam Chapnick, The Middle Power.
9.
^ http://www.amnesty.org/en/library/info/POL10/014/2005/en>
10.
^ Eg, Donald Markwell, John Maynard Keynes and International
Relations: Economic Paths to War and Peace, Oxford University Press, 2006. Donald
Markwell, Keynes and International Economic and Political Relations, Trinity Paper
33, Trinity College, University of Melbourne. [2]
11.
^ http://www.culturology.com/definition/Fabrice Rivault,
(1999) Culturologie Politique Internationale : Une approche systémique et matérialiste
de la culture et du système social global, McGill Dissertation, Montréal, publiée par
Culturology Press
12.
^Xintian, Yu (2005) “Cultural Factors In International Relations”, Chinese
Philosophical Studies.
13.
^ Xintian, Yu (2009),"Combining Research on Cultural Theory and
International Relations"
Norman Angell The Great Illusion (London: Heinemann, 1910)
Hedley Bull Anarchical Society (New York: Columbia University Press, 1977)
Robert Cooper The Post-Modern State
Goodin, Robert E., and Hans-Dieter Klingemann, eds. A New Handbook of Political
Science (1998) ch 16-19 pp 401–78 excerpt and text search
Robert Keohane After Hegemony
Hans Köchler, Democracy and the International Rule of Law. Vienna/New York:
Springer, 1995
Andrew Linklater Men and citizens in the theory of international relations
Reinhold Niebuhr Moral Man and Immoral Society 1932
Joseph Nye Soft Power: The Means to Success in World Politics, Public Affairs Ltd
2004
Paul Raskin The Great Transition Today: A Report from the Future
J. Ann Tickner Gender in International Relations (New York: Columbia University
Press, 1992)
Kenneth Waltz Man, the State, and War
Kenneth Waltz Theory of International Politics (1979), examines the foundation of By
Bar
Michael Walzer Just and Unjust Wars 1977
Alexander Wendt Social Theory of International Politics 1999
J. Martin Rochester Fundamental Principles of International Relations (Westview Press,
2010)
Baylis, John, Steve Smith, and Patricia Owens. The Globalization of World Politics: An
Introduction to International Relations (2011)
Mingst, Karen A., and Ivan M. Arreguín-Toft. Essentials of International Relations (5th
ed. 2010)
Nau, Henry R. Perspectives on International Relations: Power, Institutions,
Ideas (2008)
Roskin, Michael G., and Nicholas O. Berry. IR: The New World of International
Relations (8th ed. 2009)
New Cambridge Modern History (13 vol 1957-79), thorough coverage from 1500 to
1900
Black, Jeremy. A History of Diplomacy (2010)
Calvocoressi, Peter. World Politics since 1945 (9th Edition, 2008) 956pp excerpt and
text search
E. H. Carr Twenty Years Crisis (1940), 1919–39
Kennedy, Paul. The Rise and Fall of the Great Powers Economic Change and Military
Conflict From 1500-2000 (1987), stress on economic and military factors
Kissinger, Henry. Diplomacy (1995), not a memoir but an interpretive history of
international diplomacy since the late 18th century
Schroeder, Paul W. The Transformation of European Politics 1763-1848 (Oxford
History of Modern Europe) (1994) 920pp; history and analysis of major diplomacy
Taylor, A.J.P. The Struggle for Mastery in Europe 1848–1918 (1954) (Oxford History
of Modern Europe) 638pp; history and analysis of major diplomacy
Stéphane Beaulac: “The Westphalian Model in defining International Law: Challenging
the Myth”, Australian Journal of Legal History Vol. 9
(2004),http://www.austlii.edu.au/au/journals/AJLH/2004/9.html
Krasner, Stephen D.: “Westphalia and all that” in Judith Goldstein & Robert Keohane
(eds): Ideas and Foreign Policy (Ithaca, NY: Cornell UP, 1993), pp.235-264
[1] Jill Steans dan Lloyd Pettiford, “Strukturalisme” dalam Hubungan Internasional:
Perspektif dan Tema, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2009), hal. 151.
[2]David Weigall, “Structural Determinist” dalam International Relations: A Concise
Companion, (New York: Oxford University Press Inc., 2002), hal. 214.
[3] Stephen P. Elliott dan Alan Isaacs, “Structuralism” dalam New Webster’s Universal
Encyclopedia, (New York: Bonanza Books, 1987), hal. 940.
[4] Miriam Budiardjo, “Berbagai Pendekatan dalam Ilmu Politik” dalam Dasar-Dasar
Ilmu Politik, (Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama, 2008), hal. 85. Untuk bacaan lebih
lanjut mengenai “Kiri Baru” lihat Ahmad Suhelmi, Pemikiran Politik Barat, Jakarta: PT.
Gramedia Pustaka Utama, 2008, hal. 363-381.
[5] Ibid.
[6] Jill Steans dan Lloyd Pettiford, Ibid., hal. 152-155.
[7] Hana Nurhasanah, “Strukturalisme”, Catatan Perkuliahan, (Jakarta: FISIP UNAS, 22
Oktober 2009)
[8] Miriam Budiardjo, Ibid., hal. 90-91.
[9] “Marxisme
dan
Teori
Hubungan
Internasional”,http://andre.pinkynet.web.id/2009/03/31/marxisme-dan-teori-hubunganinternasional/, diakses 20 November 2009.
DAFTAR PUSTAKA
Amitav Acharya, & Barry Buzan, ed. 2010, Non-Western International Relations
Theory: Perspectives on Beyond Asia. New York: Routledge.
Barry Buzan & Ole Waever, 2003. Regions of Powers The Structure of
International Security. Cambridge: Cambridge University Press.
Caeshung Chun, “Why is There No Non-Western International Relations Theory?
Reflections on and from Korea” di dalam Acharya, A. & Buzan, B. ed. 2010, NonWestern International Relations Theory: Perspectives on Beyond Asia. New York:
Routledge.
Chris Brown, 2001. Understanding International Relations, 2nd ed., New York:
Palgrave.
Daniel Maliniak, et al., 2007. The International Relations Discipline, 1980-2006,
Makalah pertemuan tahunan American Political Science Association Agustus/September
2007.
Department of International Politics, 2011. The Legacy of One Man’s Vision,
University of Aberystwyth, diakses dari , pada
tanggal 5 November 2011.
J.C. Johari, 1985. International Relations and Politics (Theoritical Perspectives),
New Delhi: Sterling Publishers Private Limited.
Leonard C. Sebastian, & Irman G. Lanti, “Perceiving Indonesian Approaches to
International Relations Theory” di dalam Acharya, A. & Buzan, B. ed. 2010, NonPerkembangan Studi Hubungan International (Yessi)Jurnal Transnasional, Vol. 3, No. 2,
Februari 2012
Western International Relations Theory: Perspectives on Beyond Asia. New York:
Routledge.