KEARIFAN LOKAL SEBAGAI ASET BUDAYA BANGS

KEARIFAN LOKAL SEBAGAI ASET BUDAYA BANGSA
Dari sisi etnis dan budaya daerah sejatinya menunjuk kepada karaktreristik masing-masing
keragaman bangsa Indonesia. Pada sisi yang lain, karakteristik itu mengandung nilai-nilai luhur
memiliki sumber daya kearifan, di mana pada masa-masa lalu merupakan sumber nilai dan
inspirasi dalam strategi memenuhi kebutuhan hidup, mempertahankan diri dan merajut
kesejehteraan kehidupan mereka. Artinya masing-masing etnis itu memiliki kearifan lokal
sendiri, seperti etnis Lampung yang dikenal terbuka menerima etnis lain sebagai saudara (adat
muari, angkon), etnis Batak juga terbuka, Jawa terkenal dengan tata-krama dan perilaku yang
lembut, etnis Madura dan Bugis memiliki harga diri yang tinggi, dan etnis Cina terkenal dengan
keuletannya dalam usaha. Demikian juga etnis-etnis lain seperti, Minang, Aceh, Sunda, Toraja,
Sasak, Nias, juga memiliki budaya dan pedoman hidup masing yang khas sesuai dengan
keyakinan dan tuntutan hidup mereka dalam upaya mencapai kesejehtaraan berasma. Beberapa
nilai dan bentuk kearifan lokal, termasuk hukum adat, nilai-nilai budaya dan kepercayaan yang
ada sebagian bahkan sangat relevan untuk diaplikasikan ke dalam proses pembangunan
kesejahteraan masyarakat.
Kearifan lokal itu mengandung kebaikan bagi kehidupan mereka, sehingga prinsip ini mentradisi
dan melekat kuat pada kehidupan masyarakat setempat. Meskipun ada perbedaan karakter dan
intensitas hubungan sosial budayanya, tapi dalam jangka yang lama mereka terikat dalam
persamaan visi dalam menciptakan kehidupan yang bermartabat dan sejahtera bersama. Dalam
bingkai kearifan lokal ini, antar individu, antar kelompok masyarakat saling melengkapi, bersatu
dan berinteraksi dengan memelihara nilai dan norma sosial yang berlaku.

Keanekaragaman budaya daerah tersebut merupakan potensi sosial yang dapat membentuk
karakter dan citra budaya tersendiri pada masing-masing daerah, serta merupakan bagian penting
bagi pembentukan citra dan identitas budaya suatu daerah. Di samping itu, keanekaragaman
merupakan kekayaan intelektual dan kultural sebagai bagian dari warisan budaya yang perlu
dilestarikan. Seiring dengan peningkatan teknologi dan transformasi budaya ke arah kehidupan
modern serta pengaruh globalisasi, warisan budaya dan nilai-nilai tradisional masyarakat adat
tersebut menghadapi tantangan terhadap eksistensinya. Hal ini perlu dicermati karena warisan
budaya dan nilai-nilai tradisional tersebut mengandung banyak kearifan lokal yang masih sangat
relevan dengan kondisi saat ini, dan seharusnya dilestarikan, diadaptasi atau bahkan
dikembangkan lebih jauh.
Namun demikian dalam kenyataannya nilai-nilai budaya luhur itu mulai meredup, memudar,
kearifan lokal kehilangan makna substantifnya. Upaya-upaya pelestarian hanya nampak sekedar
pernyataan simbolik tanpa arti, penghayatan dan pengamalan dalam kehidupan sehari-hari.
Sebagaimana diketahui bahwa pada tahun terakhir, budaya masyarakat sebagai sumber daya
kearifan lokal nyaris mengalami reduksi secara menyeluruh, dan nampak sekadar pajangan
formalitas, bahkan seringkali lembaga-lembaga budaya pada umumnya dimanfaatkan untuk
komersialisasi dan kepentingan kekuasaan.
Kenyataaan tersebut mengakibatkan generasi penerus bangsa cenderung kesulitan untuk
menyerap nilai-nilai budaya menjadi kearifan lokal sebagai sumber daya untuk memelihara dan
meningkatkan martabat dan kesejahtaraan bangsa. Generasi sekarang semakin kehilangan

kemampuan dan kreativitas dalam memahami prinsip kearifan lokal. Khusus kearifan lokal
Lampung adalah prinsip hidup “Piil Pesenggiri”. Hal ini disebabkan oleh adanya penyimpangan
kepentingan para elit masyarakat dan pemerintah yang cenderung lebih memihak kepada
kepentingan pribadi dan golongan dari pada kepentingan umum. Kepentingan subyektivitas
kearifan lokal ini selalu dimanfaatkan untuk mendapatkan status kekuasaan dan menimbun harta
dunia. Para elit ini biasanya melakukan pencitraan ideal kearifan lokal di hadapan publik seolah
membawa misi kebaikan bersama. Akan tetapi sebagaimana diketahui bahwa pada realisasinya
justeru nilai-nilai luhur yang terkandung di dalamnya tidak lebih hanya sekedar alat untuk
memperoleh dan mempertahan kekuasaan. Pada gilirannya, masyarakat luas yang struktur dan
hubungan sosial budayanya masih bersifat obyektif sederhana makin tersesat meneladani sikap
dan perilaku elit mereka, juga makin lelah menanti janji masa depan, sehingga akhirnya mereka
pesimis, putus asa dan kehilangan kepercayaan.

Materi Budaya local, hasil Donlud

1

Namun demikian, meski masyarakat cemas bahkan ragu terhadap kemungkinan nilai-nilai luhur
budaya itu dapat menjadi model kearifan lokal, akan tetapi upaya menggali kearifan lokal tetap
niscaya dilakukan. Masyarakat adat daerah memiliki kewajiban untuk kembali kepada jati diri

mereka melalui penggalian dan pemaknaan nilai-nilai luhur budaya yang ada sebagai sumber
daya kearifan lokal. Upaya ini perlu dilakukan untuk menguak makna substantif kearifan lokal,
di mana masyarakat harus membuka kesadaran, kejujuran dan sejumlah nilai budaya luhur untuk
sosialisasikan dan dikembangkan menjadi prinsip hidup yang bermartabat. Misalnya nilai budaya
“Nemui-Nyimah” sebagai kehalusan budi diformulasi sebagai keramahtamahan yang tulus dalam
pergaulan hidup. Piil Pesenggiri sebagai prinsip hidup niscaya terhormat dan memiliki harga diri
diletakkan dalam upaya pengembangan prestasi, kreativitas dan peranan yang bermanfaat bagi
masyarakat, demikian juga dengan makna-makna kearifan lokal nilai-nilai budaya lainnya.
Kemudian pada gilirannya, nilai-nilai budaya ini harus disebarluaskan dan dibumikan ke dalam
seluruh kehidupan masyarakat agar dapat menjadi jati diri masyarakat daerah. Keberadaan Piil
Pesenggiri merupakan aset (modal, kekayaan) budaya bangsa yang perlu dilindungi dan
dilestarikan untuk meningkatkan kesadaran jatidiri bangsa untuk diteruskan kepada generasi
berikutnya dalam keadaan baik.
Dalam proses kompromi budaya, kearifan lokal bukan hanya berfungsi menjadi filter ketika
terjadi benturan antara budaya lokal dengan tuntutan perubahan. Lebih jauh, nilai-nilai budaya
lokal berbicara pada tataran penawaran terhadap sumberdaya nilai-nilai kearifan lokal sebagai
pedoman moral dalam penyelesaian masalah ketika sebuah kebudayaan berhadapan dengan
pertumbuhan antagonis berbagai kepentingan hidup.
Sebagaimana contoh pada kehidupan masyarakat lokal, proses kompromi budaya selalu
memperhatikan elemen-elemen budaya lokal ketika berhadapan dengan budaya-budaya yang

baru. Elemen-elemen itu dipertimbangkan, dipilah dan dipilih mana yang relevan dan mana pula
yang bertentangan. Hasilnya selalu menunjukkan wajah sebuah kompromi yang elegan, setiap
elemen mendapatkan tempat dan muncul dalam bentuknya yang baru sebagai sebuah kesatuan
yang harmonis.
Tentu saja terbentuknya kesatuan yang harmonis itu tidak lepas dari hasil kompromi keadilan
yang menyentuh kepentingan berbagai pihak. Kepentingan-kepentingan yang dimaksud sangat
luas cakupannya, tetapi secara garis besar meliputi berbagai permasalahan yang berhubungan
dengan kelangsungan hidup manusia, terutama yang bersifat primer dan praktis. Bagi pembuat
kebijakan harus mampu memilah dan memilih proses kompromi yang menguntungkan semua
pihak, kemudian menyikapi, menata, menindak¬lanjuti arah perubahan kepetingan-kepentingan
itu agar tetap dalam prinsip kebersarnaan. Kebudayaan sebagai lumbung nilai-nilai budaya lokal
bisa menjadi sebuah pedoman dalam upaya rnerangkai berbagai kepentingan yang ada secara
harmonis, tanpa ada pihak yang dikorbankan.
Oleh karena itu, dalam makalah ini perlu dikaji tentang pengertian kearifan lokal piil pesenggiri
dan implementasinya yang berkaitan dengan regulasi penataan harmonisasi kehidupan
masyarakat, dapat diakomodasikan dengan baik dalam perencanaan, pelaksanaan pembangunan
kesejehtaraan dan keadilan sosial.

KEARIFAN LOKAL DAN IMPLENTASINYA DALAM KEHIDUPAN
MASYARAKAT

1. Pengertian Kearifan Lokal
Secara etimologis, kearifan (wisdom) berarti kemampuan seseorang dalam menggunakan akal
pikirannya untuk menyikapi sesuatu kejadian, obyek atau situasi. Sedangkan lokal, menunjukkan
ruang interaksi di mana peristiwa atau situasi tersebut terjadi. Dengan demikian, kearifan lokal
secara substansial merupakan nilai dan norma yang berlaku dalam suatu masyarakat yang
diyakini kebenarannya dan menjadi acuan dalam bertindak dan berperilaku sehari-hari. Dengan
kata lain kearifan lokal adalah kemampuan menyikapi dan memberdayakan potensi nilai-nilai
luhur budaya setempat. Oleh karena itu, kearifan lokal merupakan entitas yang sangat
menentukan harkat dan martabat manusia dalam komunitasnya (Geertz, 2007). Perilaku yang
Materi Budaya local, hasil Donlud

2

bersifat umum dan berlaku di masyarakat secara meluas, turun temurun, akan berkembang
menjadi nilai-nilai yang dipegang teguh, yang selanjutnya disebut sebagai budaya. Kearifan lokal
didefinisikan sebagai kebenaran yang telah mentradisi atau ajeg dalam suatu daerah (Gobyah,
2003). Kearifan lokal (local wisdom) dapat dipahami sebagai usaha manusia dengan
menggunakan akal budinya (kognisi) untuk bertindak dan bersikap terhadap sesuatu, objek, atau
peristiwa yang terjadi dalam ruang tertentu (Ridwan, 2007).
2. Piil Pesenggiri dan Implentasinya

Bentuk kearifan lokal Lampung yang khas mengandung nilai budaya luhur adalah Piil
Pesenggiri. Piil Pesenggiri ini mengandung pandangan hidup masyarakat yang diletakkan
sebagai pedoman dalam tata pergaulan untuk memelihara kerukunan, kesejahteraan dan keadilan.
Piil Pesenggiri merupakan harga diri yang berkaitan dengan perasaan kompetensi dan nilai
pribadi, atau merupakan perpaduan antara kepercayaan dan penghormatan diri. Seseorang yang
memiliki Piil Pesenggiri yang kuat, berarti mempunyai perasaan penuh keyakinan, penuh
tanggungjawab, kompeten dan sanggup mengatasi masalah-masalah kehidupan.
Etos dan semangat kelampungan (spirit of Lampung) piil pesenggiri itu mendorong orang untuk
bekerja keras, kreatif, cermat, dan teliti, orientasi pada prestasi, berani kompetisi dan pantang
menyerah atas tantangan yang muncul. Semua karena mempertaruhkan harga diri dan martabat
seseorang untuk sesuatu yang mulya di tengah-tengah masyarakat.
Unsur-unsur piil pesenggiri (prinsip kehormatan) selalu berpasangan, juluk berpasangan dengan
adek, nemui dengan nyimah, nengah dengan nyappur, sakai dengan sambai. Penggabungan itu
bukan tanpa sebab dan makna. Juluk adek (terprogram, keberhasilan), nemui nyimah (prinsip
ramah, terbuka dan saling menghargai), nengah nyappur (prinsip suka bergaul, terjun dalam
masyarakat, kebersamaan, kesetaraan), dan sakai sambaian (prinsip kerjasama, kebersamaan).
Sementara itu bagi masyarakat adat Lampung Saibatin menempatkan Piil Pesenggiri dalam
beberapa unsur, yaitu: ghepot delom mufakat (prinsip persatuan); tetengah tetanggah (prinsip
persamaan); bupudak waya (prinsip penghormatan); ghopghama delom beguai (prinsip kerja
keras); bupiil bupesenggiri (prinsip bercita-cita dan keberhasilan).

Unsur-unsur Piil Pesenggiri itu bukan sekedar prinsip kosong, melainkan mempunyai nilai-nilai
nasionalisme budaya yang luhur yang perlu di dipahami dan diamalkan dalam kehidupan
bermasyarakat dan bernegara. Sejatinya Piil Pesenggiri tidak diungkapkan melalui pemujaan diri
sendiri dengan mengorbankan orang lain atau dengan mengagungkan seseorang yang jauh lebih
unggul dari orang lain, atau menyengsarakan orang lain utk membahagiakan seseorang. Seorang
yang memiliki harga diri akan lebih bersemangat, lebih mandiri, lebih mampu dan berdaya,
sanggup menerima tantangan, lebih percaya diri, tidak mudah menyerah dan putus asa, mudah
memikul tanggung jawab, mampu menghadapi kehidupan dengan lebih baik, dan merasa sejajar
dengan orang lain.
Karakteristik orang yang memiliki harga diri yang tinggi adalah kepribadian yang memiliki
kesadaran untuk dapat membangkitkan nilai-nilai positif kehormatan diri sendiri dan orang lain,
yaitu sanggup menjalani hidup dengan penuh kesadaran. Hidup dengan penuh kesadaran berarti
mampu membangkitkan kondisi pikiran yang sesuai kenyataan yang dihadapi, bertanggung
jawab terhadap setiap perbuatan yang dilakukan. Arogansi dan berlebihan dalam mengagungkan
kemampuan diri sendiri merupakan gambaran tentang rendahnya harga diri atau runtuhnya
kehormatan seseorang (Abdul Syani, 2010: http://blog.unila.ac.id/abdulsyani/).
Secara ringkas unsur-unsur Piil Pesenggiri itu dapat dijelaskan sebagai berikut:
a. Juluk-Adek
Secara etimologis Juluk-adek (gelar adat) terdiri dari kata juluk dan adek, yang masing-masing
mempunyai makna; Juluk adalah nama panggilan keluarga seorang pria/wanita yang diberikan

pada waktu mereka masih muda atau remaja yang belum menikah, dan adek bermakna
gelar/nama panggilan adat seorang pria/wanita yang sudah menikah melalui prosesi pemberian
gelar adat. Akan tetapi panggilan ini berbeda dengan inai dan amai. Inai adalah nama panggilan
keluarga untuk seorang perempuan yang sudah menikah, yang diberikan oleh pihak keluarga
Materi Budaya local, hasil Donlud

3

suami atau laki-laki. Sedangkan amai adalah nama panggilan keluarga untuk seorang laki-laki
yang sudah menikah dari pihak keluarga isteri.
Juluk-adek merupakan hak bagi anggota masyarakat Lampung, oleh karena itu juluk-adek
merupakan identitas utama yang melekat pada pribadi yang bersangkutan. Biasanya penobatan
juluk-adek ini dilakukan dalam suatu upacara adat sebagai media peresmiannya. Juluk adek ini
biasanya mengikuti tatanan yang telah ditetapkan berdasarkan hirarki status pribadi dalam
struktur kepemimpinan adat. Sebagai contoh; Pengiran, Dalom, Batin, Temunggung, Radin,
Minak, Kimas dst. Dalam hal ini masing-masing kebuwaian tidak selalu sama, demikian pula
urutannya tergantung pada adat yang berlaku pada kelompok masyarakat yang bersangkutan.
Karena juluk-adek melekat pada pribadi, maka seyogyanya anggota masyarakat Lampung harus
memelihara nama tersebut dengan sebaik-baiknya dalam wujud prilaku pergaulan
kemasyarakatan sehari-hari. Juluk-adek merupakan asas identitas dan sebagai sumber motivasi

bagi anggota masyarakat Lampung untuk dapat menempatkan hak dan kewajibannya, kata dan
perbuatannya dalam setiap perilaku dan karyanya.
b. Nemui-Nyimah
Nemui berasal dari kata benda temui yang berarti tamu, kemudian menjadi kata kerja nemui
yang berarti mertamu atau mengunjungi/silaturahmi. Nyimah berasal dari kata benda “simah”,
kemudian menjadi kata kerja “nyimah” yang berarti suka memberi (pemurah). Sedangkan secara
harfiah nemui-nyimah diartikan sebagai sikap santun, pemurah, terbuka tangan, suka memberi
dan menerima dalam arti material sesuai dengan kemampuan. Nemui-nyimah merupakan
ungkapan asas kekeluargaan untuk menciptakan suatu sikap keakraban dan kerukunan serta
silaturahmi. Nemui-nyimah merupakan kewajiban bagi suatu keluarga dari masyarakat Lampung
umumnya untuk tetap menjaga silaturahmi, dimana ikatan keluarga secara genealogis selalu
terpelihara dengan prinsip keterbukaan, kepantasan dan kewajaran.
Pada hakekatnya nemui-nyimah dilandasi rasa keikhlasan dari lubuk hati yang dalam untuk
menciptakan kerukunan hidup berkeluarga dan bermasyarakat. Dengan demikian, maka elemen
budaya nemui-nyimah tidak dapat diartikan keliru yang mengarah kepada sikap dan perbuatan
tercela atau terlarang yang tidak sesuai dengan norma kehidupan sosial yang berlaku.
Bentuk konkrit nemui nyimah dalam konteks kehidupan masyarakat dewasa ini lebih tepat
diterjemahkan sebagai sikap kepedulian sosial dan rasa setiakawan. Suatu keluarga yang
memiliki keperdulian terhadap nilai-nilai kemanusiaan, tentunya berpandangan luas ke depan
dengan motivasi kerja keras, jujur dan tidak merugikan orang lain.

c. Nengah-Nyappur
Nengah berasal dari kata benda, kemudian berubah menjadi kata kerja yang berarti berada di
tengah. Sedangkan nyappur berasal dari kata benda cappur menjadi kata kerja nyappur yang
berarti baur atau berbaur. Secara harfiah dapat diartikan sebagai sikap suka bergaul, suka
bersahabat dan toleran antar sesama. Nengah-nyappur menggambarkan bahwa anggota
masyarakat Lampung mengutamakan rasa kekeluargaan dan didukung dengan sikap suka bergaul
dan bersahabat dengan siapa saja, tidak membedakan suku, agama, tingkatan, asal usul dan
golongan. Sikap suka bergaul dan bersahabat menumbuhkan semangat suka bekerjasama dan
tenggang rasa (toleransi) yang tinggi antar sesamanya. Sikap toleransi akan menumbuhkan sikap
ingin tahu, mau mendengarkan nasehat orang lain, memacu semangat kreativitas dan tanggap
terhadap perkembangan gejala-gejala sosial. Oleh sebab itu dapat diambil suatu konklusi bahwa
sikap nengah-nyappur menunjuk kepada nilai musyawarah untuk mufakat. Sikap nengah
nyappur melambangkan sikap nalar yang baik, tertib dan seklaigus merupakan embrio dari
kesungguhan untuk meningkatkan pengetahuan serta sikap adaptif terhadap perubahan. Melihat
kondisi kehidupan masyarakat Lampung yang pluralistik, maka dapat dipahami bahwa penduduk
daerah ini telah menjalankan prinsip hidup nengah-nyappur secara wajar dan positif.
Sikap nengah-nyappur juga menunjukkan sikap ingin tahu yang tinggi, sehingga menumbuhkan
sikap kepeloporan. Pandangan atau pemikiran demikian menggabarkan bahwa anggota

Materi Budaya local, hasil Donlud


4

masyarakat Lampung merupakan bentuk kehidupan yang memiliki jiwa dan semangat kerja
keras dan gigih untuk mencapai tujuan masa depannya dalam berbagai bidang kehidupan.
Nengah-nyappur merupakan pencerminan dari asas musyawarah untuk mufakat. Sebagai modal
untuk bermusyawarah tentunya seseorang harus mempunyai pengetahuan dan wawasan yang
luas, sikap toleransi yang tinggi dan melaksanakan segala keputusan dengan rasa penuh
tanggung jawab. Dengan demikian berarti masyarakat Lampung pada umumnya dituntut
kemampuannya untuk dapat menempatkan diri pada posisi yang wajar, yaitu dalam arti sopan
dalam sikap perbuatan dan santun dalam tutur kata. Makna yang lebih dalam adalah harus siap
mendengarkan, menganalisis, dan harus siap menyampaikan informasi dengan tertib dan
bermakna.
d. Sakai-Sambaiyan
Sakai bermakna memberikan sesuatu kepada seseorang atau sekelompok orang dalam bentuk
benda dan jasa yang bernilai ekonomis yang dalam prakteknya cenderung menghendaki saling
berbalas. Sedangkan sambaiyan bermakna memberikan sesuatu kepada seseorang, sekelompok
orang atau untuk kepentingan umum secara sosial berbentuk benda dan jasa tanpa mengharapkan
balasan.
Sakai sambaiyan berarti tolong menolong dan gotong royong, artinya memahami makna
kebersamaan atau guyub. Sakai-sambayan pada hakekatnya adalah menunjukkan rasa partisipasi
serta solidaritas yang tinggi terhadap berbagai kegiatan pribadi dan sosial kemasyarakatan pada
umumnya.
Sebagai masyarakat Lampung akan merasa kurang terpandang bila ia tidak mampu berpartisipasi
dalam suatu kegiatan kemasyarakatan. Perilaku ini menggambarkan sikap toleransi kebersamaan,
sehingga seseorang akan memberikan apa saja secara suka rela apabila pemberian itu memiliki
nilai manfaat bagi orang atau anggota masyarakat lain yang membutuhkan. Sakai sembayan
senantiasa menjaga sikap kebersamaan, termasuk di dalamnya sikap saling tolong menolong,
terutama terhadap kaum yang lemah dalam pengertian menyeluruh, baik lahir maupun batin.
Ternyata bukan hanya orang Lampung memiliki piil pesenggiri, di Batak ada dalihan na tolu, di
Padang ada adat basendi syara, syara bersendi Kitabullah, Banten ada kiyai dan jawara, di
Madura ada carok, di Bugis ada syiri.
Di Jawa, lebih banyak lagi ragam nilai-nilai budaya yang senantiasa dijadikan pedoman hidup;
ada 2 (dua) pedoman hidup orang jawa yang populer dari sekitar 10 (sepuluh) lebih yang ada,
yaitu:
1. tri ojo (ojo kagetan/jangan gampang kaget/tawaqkal, ojo gumunan/jangan mudah
eran/arif/bijak, dan ojo dumeh/jangan mentang2/rendah hati).
2. sugih tampo bondo (kaya tanpa didasari kebendaan), digdoyo/sekti tanpo aji (berwibawa tanpa
mengandalkan kekuasaan/kekuatan), ngluruk tampo bolo (berjuangan tanpa perlu membawa
massa), dan menang tampo ngasorake (menang tanpa mempermalukan/merendahkan yang lain).
Oleh karena itu, maka para aparat pemerintah tidak boleh pamer kekayaan (sugih tampo bondo),
jangan unjuk kekuasaan (digdoyo tampo aji), jangan terlalu demonstratif dalam tindakan
persuasif (ngluruk tampo bolo), dan jangan terlalu unjuk kemenangan (menang tampo
ngasorake). Konsep ini dirumuskan para bangsawan, tetapi apa arti kebangsawanannya tanpa
rakyat. Karena itu, rakyat tidak boleh disakiti. Tetapi kenyataannya banyak rakyat ditekan
sedemikian rupa, dilarang unjuk pendapat, unjuk rasa, atau protes atas kebijakan yang sepihak.
Di pihak lain ada budaya pepe dalam kehidupan masyarakat jawa, apabila ada resi yang protes
atas kebijakan orang istana, ia harus menjemur dirinya (pepe), menentang matahari di alun alun
dan jalan menuju istana. Nanti akan datang hulubalang yang akan menanyakan, protes perihal
apa hingga ia menjemur diri, menentang mata hari. Barulah disampaikan protes dan ujuk
pendapat secara baik. Maka, muncul istilah di kultur Jawa yaitu jo ngidoni Srengenge (jangan
meludahi mata hari).

Materi Budaya local, hasil Donlud

5

Karena itu apa yang dimaksud kebudayaan secara ideal pasti berkaitan dengan cita-cita hidup,
sikap mental, semangat tertentu seperti semangat belajar, ethos kerja, motif ekonomi, politik dan
hasrat-hasrat tertentu dalam membangun jaringan organisasi, komunikasi dan pendidikan dalam
semua bidang kehidupan. Kebudayaan merupakan jaringan kompleks dari symbol-ssimbol
dengan maknanya yang dibangun masyarakat dalam sejarah suatu komunitas yang disebut etnik
atau bangsa.
Dengan cara pandang seperti itu, dapat dipahami mengapa negara dituntut memenuhi
kewajibannya untuk merawat, memelihara, mengembangkan dan menghidupkan kebudayaan
yang telah ada dalam sejarah masyarakat. Pemeliharan dan pengembangan itu
diimplementasikan dalam pendidikan formal dan non-formal, dalam bentuk kebijakan-kebijakan,
serta bantuan keuangan, sarana dan prasarana, serta dalam bentuk jaminan hukum dan politik
agar kebudayaan berkembang dan selalu tumbuh dengan sehat.
Dalam prakteknya kearifan lokal itu harus memiliki keinginan yang membumi untuk memerangi
semua bentuk penyelewengan, ketidakadilan, perlakuan yang melanggar HAM. Artinya, harus
berusaha mempertahankan eksistensi bangsa dan negara dari kehancuran akibat korupsi dan
penyalahgunaan kekuasaan. Perilaku korupsi, menggelapkan uang negara, memanfaatkan segala
fasilitas dalam lingkup kekuasaannya demi memperkaya diri, berprilaku sewenang-wenang
dalam menjalankan roda kekuasaan, tidak menghormati harkat dan martabat orang lain
contohnya gemar menerima sogokan, dan bentuk-bentuk kecurangan lainnya.

SIMPULAN
Keanekaragaman nilai sosial budaya masyarakat yang terkandung di dalam kearifan lokal itu
umumnya bersifat verbal dan tidak sepenuhnya terdokumentasi dengan baik. Di samping itu ada
norma-norma sosial, baik yang bersifat anjuran, larangan, maupun persyaratan adat yang
ditetapkan untuk aktivitas tertentu yang perlu dikaji lebih jauh. Dalam hal ini perlu
dikembangkan suatu bentuk knowledge management terhadap berbagai jenis kearifan lokal
tersebut agar dapat digunakan sebagai acuan dalam proses perencanaan, pembinaan dan
pembangunan kesejahteraan masyarakat secara berkesinambungan.
Modal dasar bagi segenap elit dan segenap agen pembaharu bangsa adalah perlu adanya
ketulusan untuk mengakui kelemahan, ikhlas membuang egoisme, keserakahan, bersedia
menggali kekuatan nilai-nilai budaya yang ada pada kelompok masyarakat daerah masingmasing, dan bersedia berbagi dengan pihak lain sebagai entitas dari bangsa yang sama. Para elit
di berbagai tingkatan harus mampu menjadi garda depan, bukan sekedar bisa berbicara dalam
janji, tapi harus mampu memberikan bukti tindakan nyata dalam bentuk keberpihakan pada
kepentingan masyarakat. Harapannya adalah untuk menyatukan gerak langkah antara satu sama
lain, masyarakat bersama-sama menggali sumber kehidupan secara arif dan bijak, sehingga ada
jalan menuju kehidupan yang lebih baik, damai, adil dan sejahtera.
Upaya yang perlu dilakukan adalah menguak makna substantif nilai-nilai kearifan lokal.
Keterbukaan dikembangkan menjadi kejujuran dalarn setiap aktualisasi pergaulan, pekerjaan dan
pembangunan, beserta nilai-nilai budaya lain yang menyertainya. Budi pekerti dan norma
kesopanan diformulasi sebagai keramahtamahan yang tulus. Harga diri diletakkan dalam upaya
pengembangan prestasi, bukan untuk membangun kesombongan. Ketulusan, memang perlu
dijadikan modal dasar bagi segenap unsur bangsa. Ketulusan untuk mengakui kelemahan diri
masing-masing, dan ketulusan untuk membuang egoisme, keserakahan, serta mau berbagi
dengan yang lain sebagai entitas dari bangsa yang sama. Dari ketulusan, seluruh elemen bangsa
yang majernuk masing-masing merajut kebhinnekaan, kemudian menjadikannya sebagai
semangat nasionalisme yang kokoh. Pada saat yang sama, hasil rekonstruksi ini perlu dibumikan
dan disebarluaskan ke dalam seluruh masyarakat sehingga menjadi identitas kokoh bangsa,
bukan sekadar menjadi identitas suku atau masyarakat tertentu.
Kemudian diperlukan proses pelembagaan yang harus dikembangkan agar proses pembangunan
nasional dapat melahirkan keseimbangan, pemerataan dan pertumbuhan ekonomi, memberi
keleluasaan terhadap partisipasi masyarakat, mendukung proses komunikasi dan membuka ruang
publik, mendorong munculnya pernerintah yang terorganisasi dengan baik dan sangat responsif,
serta mempercepat lahirnya elit yang matang dan fleksibel dalam berpolitik.

Materi Budaya local, hasil Donlud

6

Budaya Lokal
Pada awal pembentukan disiplin antropologi di Indonesia, para ahli etnografi berusaha untuk
mendeskripsikan berbagai macam kebudayaan yang tersebar luas di tanah air. Penelitian tersebut
ditulis dalam buku Manusia dan Kebudayaan di Indonesia karangan Koentjaraningrat yang berisi
esai atau kumpulan tulisan mengenai laporan etnografi kebudayaan suku bangsa di Indonesia.

Konsep Budaya Lokal
Budaya lokal biasanya didefinisikan sebagai budaya asli dari suatu kelompok masyarakat
tertentu. Menurut J.W. Ajawaila, budaya lokal adalah ciri khas budaya sebuah kelompok
masyarakat lokal. Akan tetapi, tidak mudah untuk merumuskan atau mendefinisikan konsep
budaya lokal. Menurut Irwan Abdullah, definisi kebudayaan hampir selalu terikat pada batasbatas fisik dan geografis yang jelas. Misalnya, budaya Jawa yang merujuk pada suatu tradisi
yang berkembang di Pulau Jawa. Oleh karena itu, batas geografis telah dijadikan landasan untuk
merumuskan definisi suatu kebudayaan lokal. Namun, dalam proses perubahan sosial budaya
telah muncul kecenderungan mencairnya batas-batas fisik suatu kebudayaan. Hal itu dipengaruhi
oleh faktor percepatan migrasi dan penyebaran media komunikasi secara global sehingga tidak
ada budaya lokal suatu kelompok masyarakat yang masih sedemikian asli.
Menurut Hildred Geertz dalam bukunya Aneka Budaya dan Komunitas di Indonesia, di
Indonesia saat ini terdapat lebih 300 dari suku bangsa yang berbicara dalam 250 bahasa yang
berbeda dan memiliki karakteristik budaya lokal yang berbeda pula. Wilayah Indonesia memiliki
kondisi geografis dan iklim yang berbeda-beda. Misalnya, wilayah pesisir pantai Jawa yang
beriklim tropis hingga wilayah pegunungan Jayawijaya di Provinsi Papua yang bersalju.
Perbedaan iklim dan kondisi geografis tersebut berpengaruh terhadap kemajemukan budaya lokal
di Indonesia.
Pada saat nenek moyang bangsa Indonesia datang secara bergelombang dari daerah Cina Selatan
sekitar 2000 tahun sebelum Masehi, keadaan geografis Indonesia yang luas tersebut telah
memaksa nenek moyang bangsa Indonesia untuk menetap di daerah yang terpisah satu sama lain.
Isolasi geografis tersebut mengakibatkan penduduk yang menempati setiap pulau di Nusantara
tumbuh menjadi kesatuan suku bangsa yang hidup terisolasi dari suku bangsa lainnya. Setiap
suku bangsa tersebut tumbuh menjadi kelompok masyarakat yang disatukan oleh ikatan-ikatan
emosional serta memandang diri mereka sebagai suatu kelompok masyarakat tersendiri.
Selanjutnya, kelompok suku bangsa tersebut mengembangkan kepercayaan bahwa mereka
memiliki asal-usul keturunan yang sama dengan didukung oleh suatu kepercayaan yang
berbentuk mitos-mitos yang hidup di dalam masyarakat.
Kemajemukan budaya lokal di Indonesia tercermin dari keragaman budaya dan adat istiadat
dalam masyarakat. Suku bangsa di Indonesia, seperti suku Jawa, Sunda, Batak, Minang, Timor,
Bali, Sasak, Papua, dan Maluku memiliki adat istiadat dan bahasa yang berbeda-beda. Setiap
suku bangsa tersebut tumbuh dan berkembang sesuai dengan alam lingkungannya. Keadaan
geografis yang terisolir menyebabkan penduduk setiap pulau mengembangkan pola hidup dan
adat istiadat yang berbeda-beda. Misalnya, perbedaan bahasa dan adat istiadat antara suku
bangsa Gayo-Alas di daerah pegunungan Gayo-Alas dengan penduduk suku bangsa Aceh yang
tinggal di pesisir pantai Aceh.
Menurut Soekmono dalam Pengantar Sejarah Kebudayaan Indonesia I, masyarakat awal pada
zaman praaksara yang datang pertama kali di Kepulauan Indonesia adalah ras Austroloid sekitar
20.000 tahun yang lalu. Selanjutnya, disusul kedatangan ras Melanosoid Negroid sekitar 10.000
tahun lalu. Ras yang datang terakhir ke Indonesia adalah ras Melayu Mongoloid sekitar 2500
tahun SM pada zaman Neolithikum dan Logam. Ras Austroloid kemudian bermigrasi ke
Australia dan sisanya hidup di di Nusa Tenggara Timur dan Papua. Ras Melanesia Mongoloid
berkembang di Maluku dan Papua, sedangkan ras Melayu Mongoloid menyebar di Indonesia
bagian barat. Ras-ras tersebut tersebar dan membentuk berbagai suku bangsa di Indonesia.
Kondisi tersebut juga mendorong terjadinya kemajemukan budaya lokal berbagai suku bangsa di
Indonesia. Materi Budaya local, hasil Donlud

7

Menurut James J. Fox, di Indonesia terdapat sekitar 250 bahasa daerah, daerah hukum adat,
aneka ragam kebiasaan, dan adat istiadat. Namun, semua bahasa daerah dan dialek itu
sesungguhnya berasal dari sumber yang sama, yaitu bahasa dan budaya Melayu Austronesia. Di
antara suku bangsa Indonesia yang banyak jumlahnya itu memiliki dasar persamaan sebagai
berikut.
a. Asas-asas yang sama dalam bentuk persekutuan masyarakat, seperti bentuk rumah dan adat
perkawinan.
b. Asas-asas persamaan dalam hukum adat.
c. Persamaan kehidupan sosial yang berdasarkan asas kekeluargaan.
d. Asas-asas yang sama atas hak milik tanah.

Gambar – Berbagai suku bangsa di Indonesia

Ciri Budaya Lokal
Ciri-ciri budaya lokal dapat dikenali dalam bentuk kelembagaan sosial yang dimiliki oleh suatu
suku bangsa. Kelembagaan sosial merupakan ikatan sosial bersama di antara anggota masyarakat
yang mengoordinasikan tindakan sosial bersama antara anggota masyarakat. Lembaga sosial
memiliki orientasi perilaku sosial ke dalam yang sangat kuat. Hal itu ditunjukkan dengan
orientasi untuk memenuhi kebutuhan anggota lembaga sosial tersebut. Dalam lembaga sosial,
hubungan sosial di antara anggotanya sangat bersifat pribadi dan didasari oleh loyalitas yang
tinggi terhadap pemimpin dan gengsi sosial yang dimiliki. Bentuk kelembagaan sosial tersebut
dapat dijumpai dalam sistem gotong royong di Jawa dan di dalam sistem banjar atau ikatan adat
di Bali. Gotong royong merupakan ikatan hubungan tolong-menolong di antara masyarakat desa.
Di daerah pedesaan pola hubungan gotong royong dapat terwujud dalam banyak aspek
kehidupan. Kerja bakti, bersih desa, dan panen bersama merupakan beberapa contoh dari
aktivitas gotong royong yang sampai sekarang masih dapat ditemukan di daerah pedesaan. Di
dalam masyarakat Jawa, kebiasaan gotong royong terbagi dalam berbagai macam bentuk. Bentuk
itu di antaranya berkaitan dengan upacara siklus hidup manusia, seperti perkawinan, kematian,
dan panen yang dikemas dalam bentuk selamatan.
Antropologia
Clifford Geertz, seorang antropolog dari Amerika Serikat yang banyak menulis mengenai
kebudayaan Bali dan Jawa menguraikan gambaran acara selamatan dalam masyarakat Jawa
dalam karya monumentalnya The Religion of Java (Abangan, Santri, dan Priyayi). Karya ini
memberikan gambaran bahwa salah satu aspek dari kebudayaan masyarakat Jawa yang tak
lekang dimakan usia adalah budaya selamatan. Sampai sekarang, kita masih bisa menemukan
acara selamatan meskipun dalam kemasan yang berbeda di daerah perkotaan dan pedesaan.
Karyanya mengenai kebudayaan Bali yang begitu detail dan kaya akan data lapangan serta
interpretasi yang mengagumkan ditulis dalam buku NEGARA The Theatre State in Nineteenth
Century Bali (Negara Teater: Kerajaan-Kerajaan di Bali Abad Sembilan Belas).

Di dalam masyarakat Jawa, pelaksanaan selamatan ada yang dilakukan secara individual ataupun
secara kolektif. Tujuannya adalah untuk memperkuat ikatan sosial masyarakat yang dilakukan
oleh suatu kelompok sosial tertentu. Misalnya, keraton Yogyakarta dan Surakarta adalah
kelompok masyarakat yang paling sering melakukan ritual selamatan sebagai ungkapan rasa
syukur kepada Tuhan, seperti gerebeg, sedekah bumi, upacara apeman, dan gunungan yang
masih dilaksanakan sampai sekarang.
Di daerah Bali, beberapa bentuk kebudayaan lokal masih dilaksanakan sampai saat ini. Misalnya,
mebanten atau membuat sesaji setiap hari sebanyak tiga kali oleh masyarakat Bali sebagai
perwujudan rasa syukur, hormat, dan penyembahan kepada Tuhan. Konsep kepercayaan
Materi Budaya local, hasil Donlud

8

masyarakat Bali yang menjadi budaya adalah adat untuk melilitkan kain berwarna hitam dan
putih pada batang pohon yang besar, tiang, dan bangunan di setiap daerah di Pulau Bali. Selain
itu, contoh budaya lokal adalah upacara Ngaben yang saat ini menjadi tontonan para wisatawan
yang datang ke Bali. Ngaben adalah upacara tradisi membakar jenazah orang yang sudah
meninggal sebagai bentuk penghormatan terhadap orang yang sudah meninggal.

Upacara Ngaben di Pulau Bali

Salah satu aktivitas masyarakat Bali yang diikat oleh prinsip kebudayaan lokal adalah sistem
pengairan di Bali yang disebut Subak. Subak adalah salah satu bentuk gotong royong atau sistem
pengelolaan air untuk mengairi lahan persawahan berbentuk organisasi yang anggotanya diikat
oleh pura subak. Di dalam sistem subak terdapat pembagian kerja berdasarkan hak dan
kewajiban sebagai anggota subak. Oleh karena itu, apabila ada warga yang tidak menjadi
anggota maka ia tidak berhak atas jatah air untuk mengairi sawahnya dan mengurus pura serta
bebas dari semua kewajiban di sawah dan pura.
Budaya lokal di Indonesia mempunyai berbagai perbedaan. Sukusuku bangsa yang sudah banyak
bergaul dengan masyarakat luar dan bersentuhan dengan budaya modern, seperti suku Jawa,
Minangkabau, Batak, Aceh, dan Bugis memiliki budaya lokal yang berbeda dengan suku bangsa
yang masih tertutup atau terisolasi seperti suku Dayak di pedalaman Kalimantan atau suku
bangsa Wana di Sulawesi Tengah. Perbedaan budaya tersebut bisa menimbulkan konflik sosial
akibat adanya perbedaan perilaku yang dilandasi nilai-nilai budaya yang berbeda. Oleh karena
itu, diperlukan konsep budaya yang mengandung nilai kebersamaan, saling menghormati,
toleransi, dan solidaritas antarwarga masyarakat yang hidup dalam komunitas yang sama.
Misalnya, para mahasiswa yang tinggal di rumah indekos di Yogyakarta. Para mahasiswa
tersebut berasal dari berbagai daerah di Indonesia yang memiliki budaya dan adat istiadat yang
berbeda-beda. Perbedaan budaya tersebut bisa menimbulkan konflik sosial dalam kehidupan
sehari-hari apabila tidak dikelola dengan baik. Oleh karena itu, diperlukan rasa toleransi dan
saling menghormati antarpenghuni rumah indekos. Sikap toleransi antarpenghuni rumah indekos
tersebut akan muncul apabila didasari prinsip relativisme budaya yang memandang bahwa setiap
kebudayaan tersebut berbeda dan unik serta tidak ada nilai-nilai budaya suatu kelompok yang
dianggap lebih baik atau buruk dibanding kelompok lainnya.

Konsep Budaya Lokal
Secara umum budaya diartikan sebagai hal-hal yang berkaitan dengan budi dan akal
manusia. Jadi budaya daerah adalah suatu sistem atau cara hidup yang berkembang dan dimiliki
bersama oleh sebuah daerah dan diwariskan dari generasi ke generasi. Budaya daerah terbentuk
dari berbagai unsur, termasuk sistem agama dan politik, adat istiadat, bahasa,
perkakas, pakaian, bangunan, dan karya seniserta bahasa.
Kearifan Lokal secara umum diartikan sebagai gagasan-gagasan, nilai-nilai-nilai,
pandangan-pandangan setempat (lokal) yang bersifat bijaksana, penuh kearifan, bernilai baik,
yang tertanam dan diikuti oleh anggota masyarakatnya.
Ciri-cirinya adalah:
1)
2)
3)
4)
5)

Mampu bertahan terhadap budaya luar
Memiliki kemampuan mengakomodasi unsur-unsur budaya luar
Mempunyai kemampuan mengintegrasikan unsur budaya luar ke dalam budaya asli
Mempunyai kemampuan mengendalikan
Mampu memberi arah pada perkembangan budaya

Materi Budaya local, hasil Donlud

9

Dengan demikian budaya dan kearifan lokal adalah hal yang saling berkaitan satu sama lain.

2.2.

Permasalahan Budaya Lokal
Dalam permasalahan pada budaya lokal, telah di analisiskan dengan analisis SWOT sebagai
berikut:

A.
1)

Kekuatan (Strength)
Kekuatan dari suatu nilai kearifan dalam berbudaya lokal adalah perlu adanya bimbingan
terhadap generasi muda kita agar nilai dalam unsur kebudayaan yang ada di indonesia tetap
melekat pada diri generasi muda kita sehingga tidak hilang suatu ajaran yang bernilai positif
pada kebudayaan yang ada di indonesia.
2) Nilai Bhineka Tunggal Ika sebagai sikap social yang menyadari akan kebersamaan ditengah
perbedaan, dan perbedaan dalam kebersamaan. Semangat ini sangat penting untuk
diaktualisasikan dalam tantanan kehidupan social yang multicultural.
3) Nilai moral sosial itu terkait hubungan manusia dengan manusia yang lain dalam kehidupan
bermasyarakat. Dalam melakukan hubungan tersebut, manusia perlu memahami norma-norma
yang berlaku agar hubungannya dapat berjalan lancar atau tidak terjadi kesalah pahaman.
4) Nilai kearifan lokal menyama braya; mengandung makna persamaan dan persaudaraan dan
pengakuan social bahwa kita adalah bersaudara. Sebagai satu kesatuan sosial persaudaraan maka
sikap dan prilaku dalam memandang orang lain sebagai saudara yang patut diajak bersama dalam
suka dan duka
B.
1)

Kelemahan (Weakness)
Kurang adanya partisipasi kepada seluruh kalangan masyarakat ataupun generasi muda untuk
mempertahankan suatu kebudayaan yang ada di indonesia, kebudayaan yang turunan dari leluhur
kita dan banyak sekali mengandung arti tersendiri bagi bangsa indonesia yaitu nilai arti dalam
kehidupan sosial baik dalam bertutur kata yang baik ataupun tingkah laku.
2) Seiring dengan perkembangan pesatnya suatu zaman sehingga nilai dari kearifan kebudayaan
yang ada maka tertinggalah suatu nilai kebudayaan di indonesia sehingga sedikit sekali
masyarakat indonesia yang masih melestarikan budaya indonesia yang ada pada saat ini.
3) Kurang dapat perhatian dari pemerintah sekitar mengenai kearifan kebudayaan yang ada
disekitarnya sehingga masyarakat sekitarnya kurang begitu mau mempelajarinya sehingga
norma-norma yang terkandung dalam suatu kearifan kebudayaan yang ada di indonesia sedikit
terlupakan.
4) Lemahnya bangsa indonesia akan pentingnya pelestarian kebudayaan yang telah dimiliki karena
bangsa indonesia sendiri memiliki banyak kekayaan budaya sehingga banyak wisatawan asing
yang ingin berkunjung ke indonesia untuk melihat langsung kebudayaan ataupun kesenian yang
ada di indonesia.
C.
1)

Peluang (Opportunity)
Indonesia mampu bersaing dengan negara lain mengenai suatu unsur kearifan dalam
kebudayaannya karena indonesia itu memiliki suatu nilai norma kehidupan yang terkandung
dalam karakteristik setiap seseorang sehingga terciptalah suatu arti bihneka tunggal ika.
2) Mampu menciptakan daya tarik tersendiri kepada wisatawan mancanegara untuk datang ke
indonesia, karena indonesia itu sendiri memiliki keaneka ragaman suku bangsa dan budaya serta
memiliki norma-norma kehidupan yang baik dalam berperilaku sehari-hari sehingga banyak
wisatawan asing mencontoh nilai kebudayaan bangsa indonesia untuk dikembangkan lagi
dinegaranya pada saat dia kembali.
3) Mempunyai nilai tersendiri bagi bangsa indonesia untuk bersaing dalam kemajuan teknologi
yang terjadi pada zaman sekarang sehingga nilai karakteristik yang terdapat pada bangsa
indonesia tidak hilang karena indonesia dikenal oleh negara lain dengan negara yang mempunyai
kebubayaan yang banyak dan mempunyai kekayaan alam yang dapat mencukupi kehidupan
setiap warga negaranya.
4) Dapat memajukan nilai kearifan kebudayaan indonesia dengan suatu tindakan atau perilaku
yang baik dan mencerminkan bahwa bangsa indonesia dalam bertutur kata atau dalam kehidupan
keseharian mempunya sifat ramah tamah sehingga mempunyai daya tarik tersendiri untuk negara
lain sehingga mereka mau berkujung ke indonesia

Materi Budaya local, hasil Donlud

10

D.

Tantangan/Hambatan (Threats)
1) Tantang bagi seluruh kalangan masyarakat indonesia adalah bagaimana caranya melestarikan
budaya indonesia agar kebudayaan dan cerminan perilaku bangsa indonesia dalam berbudaya
tidak punah dan tidak pula ketinggalan zaman.
2) Kemajuan pesat teknologi pada saat ini sehingga sedikit sekali masyarakat indonesia
mempunyai peranan penting dalam tanggung jawab bersama sebagai dalam memajukan
kebudayaan yang ada di indonesia.
3) Terlalu mengesampingkan perihal mengenai kebudayaan yang ada di indonesia dan
masyarakat indonesia juga terlalu mengikuti perkembangan zaman jadi sedikit sekali
perhatian terhadap setiap warga negara indonesia dalam berpartisipasi memajukan budaya
indonesia.
4) Kearifan dalam sifat perilaku manusia dalam kehidupan sehari-hari perlu mendapatkan
perhatian khusus karena pada dasarnya ini semua kembali kepada masyarakat indonesianya
juga untuk melestarikan kebudayaan yang ada di indonesia.

2.3.

Pengertian Generasi Muda
Generasi muda sekarang ini menjadi bahan pembicaraan oleh semua kalangan masyarakat,
karena generasi muda adalah generasi penerus bangsa yang nantinya sebagai pemegang nasib
bangsa ini, maka generasi mudalah yang menentukan semua apa yang dicita-citakan bangsa dan
Negara ini.
Kata ”Generasi” sebagaimana sering diungkapkan dengan istilah “angkatan “seperti ;
angkatan 66, angkatan 45, dan lain sebagainya. Pengertian generasi menurut Prof. Dr Sartono
Kartadiharjo : “ditinjau dari dimensi waktu, semua yang ada pada lokasi sosial itu dapat
dipandang sebagai generasi, sedangkan menurut Auguste Comte ( Pelopor sosiologi modern ) :
“generasi adalah jangka waktu kehidupan sosial manusia yang didasarkan pada dorongan
keterikatan pada pokok-pokok pikiran yang asasi”.
Dalam pola pembinaan dan pengembangan generasi muda ( Menteri Muda Urusan Generasi
muda Jakarta 1982) secara umum generasi muda diartikan sebagai golongan manusia yang
berusia muda.25 Pengertian generasi muda dalam lokakarya tentang generasi muda yang
diselenggarakan tanggal 4 – 7 Oktober 1978, dibedakan dalam beberapa kategori :
a) Biologi : generasi muda adalah mereka yang berusia 12-15 tahun ( remaja ) dan 15-30
tahun ( generasi muda ).
b) Budaya, generasi muda adalah mereka yang berusia 13-14 tahun.
c) Angkatan kerja, yang dibuat oleh Depkaner adalah yang berusia 18-22 tahun.
d) Kepentingan perencanaan pembangunan, yang disebut sebagai sumber daya manusia
muda adalah yang berusia 0-18 tahun
e) Idiologi politik, generasi muda yang menjadi pengganti adalah mereka yang berusia 18-40
tahun.
f) Lembaga dan lingkungan hidup sosial, generasi muda dibedakan menjadi 3 kategori :
- Siswa, yakni usia 6-8 tahun
- Mahasiswa, yakni usia 18-25 tahun
- Pemuda yang berada diluar sekolah / PT berusia 15-30 tahun
Dalam pengertian GBHN 1993 telah dijelaskan menjadi anak, remaja, dan pemuda,
sedangkan ditinjau dari segi usia adalah sebagai berikut :
1) Usia 0-5 tahun di sebut balita
2) Usia 5-12 tahun di sebut anak usia sekolah
3) Usia 12-15 tahun di sebut remaja
4) Usia 15-30 tahun di sebut pemuda, dan
5) Usia 0-30 tahun di sebut generasi muda.
Mengenai persepsi tentang generasi muda sampai sekarang ini belum ada kesepakatan
para ahli, namun pada dasarnya ada kesamaan mengenai pengertian generasi muda tersebut,
yaitu beralihnya seseorang dari masa kanak-kanak menuju masa remaja atau muda dengan
disertai perkembangan fisik dan non fisik (jasmani, emosi, pola pikirannya dan sebagainya ).
Jadi generasi muda itu adalah sebagai generasi peralihan. Dan dalam pandangan orang tua
belum dewasa generasi muda merupakan generasi penerus bangsa yang harus dipersiapkan
dalam mencapai cita-cita bangsa, bila generasi muda telah dipercaya dan mempunyai rasa
Materi Budaya local, hasil Donlud

11

tanggung jawab yang tinggi dalam memperjuangkan amanah itu maka suatu bangsa tidak
akan sia-sia dalam mendidik generasi tersebut, maka dari itu nilai yang dibangun dalam
membentuk generasi muda ini adalah untuk menyiapkan penerus bangsa untuk melanjutkan
perjuangan para pahlawan.
2.4. Krisis Identitas dan Jati Diri Krisis identitas dan jati diri telah menyebabkan sebagian
generasi muda Indonesia mudah mengekor dan ikut-ikutan terhadap apapun yang dijejalkan
kepada mereka. Barat sebagai pihak yang mendominasi globalisasi dianggap unggul, sehingga
apapun yang datang dari barat dianggap baik dan diadopsi begitu saja tanpa disikapi secara kritis.
Budaya membeo dan mengekor ini telah menyebabkan sebagian generasi muda terlihat kebaratbaratan, ke-jepang-jepangan, ke-korea-koreaan atau bahkan berideologi marx, komunis dan
sebagainya.
Krisis identitas juga telah menyebabkan bangsa Indonesia kehilangan ‘kharisma’ dan
‘pengakuan’ dari negara lain. Bangsa Indonesia seakan kehilangan ciri khusus, keunikan dan
partikularitas. Dalam pergaulan Internasional, misalnya, ketika berbicara mengenai Islam maka
yang menjadi sorotan adalah negara-negara sekitar wilayah Timur Tengah. Meskipun pada
kenyataannya, Indonesia adalah negara berpenduduk muslim terbesar di dunia dengan ciri
keislaman yang unik dan khas, yang seharusnya turut mewarnai wacana keislaman secara global.
Sebaliknya, wacana Islam keindonesiaan tidak tampak di situ.
Sebagai tambahan, krisis identitas juga dapat mengurangi atau bahkan menghilangkan rasa
nasionalisme pemuda. Budaya asing yang terbawa bersama globalisasi tidak membentuk pola
pikir, namun menawarkan nilai. Tidak membebaskan namun menghilangkan kesadaran.
Sehingga pemuda yang terbiasa dengan nilai budaya asing akan menentang nilai-nilai budaya
lokal. Menganggap segala yang berbau lokal terbelakang, tertinggal dan perlu diubah. Dari sini
nasionalisme akan tergerus, terkikis bahkan pada akhirnya akan hilang.
2.5. Perlunya Nilai Budaya Lokal Pada Generasi Muda
Rasa bangga akan nilai-nilai budaya dan kearifan lokal seharusnya mulai dipupuk sejak dini
untuk menghindari krisis identitas dan jati diri generasi muda.
Nilai-nilai primordial tidak selalu berarti bersikap eksklusif dan memandang segala hal
secara konservatif tanpa menerima nilai budaya lain. Berideologi lokal berarti menjadikan nilainilai lokal sebagai filter dalam menerima nilai budaya asing. Berkearifan lokal juga berarti
bersikap terbuka dan terus menerima masukan dari budaya manapun dalam rangka memperkaya
dan mengaktualisasikan nilai-nilai budaya lokal.
Pemuda yang telah mengenal dan mengadopsi nilai-nilai kearifan lokal sejak dini akan
menggunakannya sebagai pisau analisis dalam membedah dan memisahkan unsur nilai dari
unsur teknologi. Ia akan bisa menentukan mana hal yang perlu diadopsi dan mana yang perlu
dintinggalkan. Ia akan selalu bersikap kritis dalam menyikapi setiap fenomena yang dihadapinya.
Dengan identitas yang jelas, pemuda semacam ini tidak akan mudah mengekor dan ikut-ikutan
mengadopsi nilai budaya lain. Sehingga, ia akan tetap menjadi manusia Indonesia modern berciri
lokal.
Selain terjaminnya nasionalisme pemuda, identitas yang jelas juga akan memberikan rasa
percaya diri kepada generasi muda untuk membawa dan memperkenalkan partikularitas yang
melekat kuat pada tradisi bangsa dalam pergaulan internasional. Nantinya ciri khusus ini akan
tersebar, dikenal dan dihargai sebagai bagian integral dari bangsa Indonesia. Dengan begitu,
Indonesia akan punya kharisma dan nilai khusus yang bisa dibanggakan di mata dunia
internasional.
2.6. Peran Generasi Muda Terhadap Budaya Lokal
Generasi Muda memiliki peran yang sangat penting dalam memajukan budaya daerah.
Dalam konteks keberlanjutan budaya apabila Generasi Muda sudah tidak lagi peduli terhadap
budaya daerahnya maka budaya tersebut akan mati. Namun jika generasi mudanya memilki
kecintaan dan mau ikut serta dalam melestarikan budaya daerahnya budaya tersebut akan tetap
ada disetiap generasi.
Generasi muda juga harus menjadi aktor terdepan dalam memajukan budaya daerah,
sehingga budaya asing yang masuk yang ke daerah tidak merusak atau mematikan budaya
daerah tersebut.
Besarnya pengaruh budaya asing terhadap budaya daerah ini yang membuat para generasi
muda yang peduli terhadap budaya daerahnya harus bekerja keras dan memfilter setiap budaya

Materi Budaya local, hasil Donlud

12

a.

b.

c.

d.

yang masuk ke daerah. Jangan sampai generasi muda lengah dan bahkan mengikuti budaya
budaya yang bertentangan dengan budaya daerahnya.
Setidaknya ada beberapa peran generasi muda dalam memajukan budaya daerah ,diantaranya :
Memperkuat Akidah
Akidah merupakan pondasi dasar yang harus dimiliki oleh para generasi muda untuk
meneruskan nilai budaya luhur bangsa Indonesia. Kuat dan tidaknya pondasi ini juga akan
menetukan seberapa kuat character suatu bangsa.
Bila para generasi mudanya sudah tidak memiliki jati diri yang kuat maka budaya asing pun
akan mudah dengan leluasanya menggeser budaya suatu daerah.dan sebaliknya jika suatu daerah
memiliki jatidiri yang kuat maka akan sangat sulit budaya asing untuk bisa masuk, apalagi
mengantikan buadaya daerah tersebut.
Maka dari itu generasi muda seharusnya lebih menguatkan jatidiri dan kecintaanya pada
suatu budaya yang akan mereka warisi nantinya.
Meningkatkan Intelektualitas
Intelektualitas menjadi sesuatu yang di anggap penting karena melalui intelektualitas ini
para generasi muda bisa menyelamatkan memajukan budaya daerah di mana mereka tinggal dan
melalui intelektualitas ini akan lahir moral dan eti