LIBRARY RESEARCH Kekuatan Mengikat Putus

“Kekuatan Mengikat Putusan Mahkamah Internasional dalam
Praktik Hukum Nasional di Indonesia”

Nama

:SANTI DWI

WAHYUNI

(8111416122)
FIRA SAPUTRI

YANUARI (8111416181)
Rombel

: 005

Matakuliah
: Hukum Internasional
Hari, jam, dan tempat kuliah : Rabu, 13.00-16.20, K1.312
Dosen

: Ridwan Arifin, S.H.,LLM.

UNIVERSITAS NEGERI SEMARANG
SEMARANG
2017

Kata Pengantar
Puji syukur kami panjatkan kehadirat Allah SWT atas rahmat dan karuniaNya kepada kami sehingga kami berhasil menyelesaikan library research, yang
berjudul “Kekuatan Mengikat Putusan Mahkamah Internasional dalam
Praktik Hukum Nasional di Indonesia”. Dimana didalam judul tersebut
membahas tentang Internasional Court of Justice atau Mahkamah Internasional.
International Court Of Justice didirikan pada tahun 1945 berdasarkan
Piagam Perserikatan Bangsa-Bangsa. Didirikannya International Court Of Justice
adalah untuk menyelesaikan kasus-kasus persengketaan dengan cara damai dan
dilarang menggunakan cara kekerasan, sehingga Negara-negara yang sedang
bersengketa tidak perlu menyelesaikan sengketa dengan cara kekerasan.
Tugas utama dari International Court Of Justice adalah untuk menyelesaikan
sengketa-sengketa internasional mencakup bukan saja sengketa-sengketa antar
negara saja, melainkan juga kasus-kasus lain yang berada dalam lingkup
pengaturan


internasional,

dalam

menyelesaikan

sengketa

antar

negara,

Internasional Court of Justice mempunyai kewenangan atau yuridiksi yang
meliputi kewenangan untuk memutuskan perkara-perkara para pihak yang
bersengketa dan kewenangan untuk memberikan opini-opini/nasihat kepada
negara-negara yang meminta.
Diharapkan library research ini dapat membawa manfaat bagi kita semua,
memberikan informasi dan menambah wawasan kita semua tentang Kekuatan
Mengikat Putusan Mahkamah Internasional dalam Praktik Hukum Nasional di

Indonesia. Kami menyadari bahwa library research ini masih jauh dari kata
sempurna.
Sehubungan dengan hal ini kritik dan saran dari para pembaca yang
bersifat membangun tentu kami harapkan demi sempurna nya library research.
Akhir kata, kami sampaikan terimakasih kepada semua pihak yang berperan serta
dalam penyusunan library research ini dari awal sampai akhir. Semoga Allah SWT
senantiasa meridhoi segala usaha kita. Amin.
Semarang, 29 September 2017
2

Tim Penyusun
DAFTAR ISI
Halaman Sampul……………………………………………………………………… i
Kata Pengantar………………………………………………………………………... ii
Daftar Isi……………………………………………………………………………….

iii

Daftar Tabel/Gambar……………………………………………………………….... vi
Daftar Putusan/Kasus………………………………………………………………....


v

Bab I Pendahuluan………………………………………………………………….....1
A. Latar Belakang…………………………………………………………….. 1
B. Rumusan Masalah………………………………………………………… 3
C. Metode Penulisan…………………………………………………………. 3
Bab II Pembahasan……………………………………………………………............

4

A. Yuridiksi Mahkamah Internasional……………………………………….

4

B. Keterkaitan keputusan Mahkamah Internasional terhadap praktek
hukum nasional di Indonesia……………………………………….….......

7


C. Pengaruh Keputusan Mahkamah Internasional Dalam Sengketa
Pulau Sipadan dan Ligitan Terhadap Penetapan Garis Pangkal
Kepulauan Indonesia……………………...............................................

8

BAB III Kesimpulan…………………………………………………………………… 13
Daftar Pustaka…………………………………………………………………………..

3

14

DAFTAR TABEL/GAMBAR
Gedung Mahkamah Internasional

Gambar 1.1
Suasana Sidang Mahkamah Internasional

Gambar 1.2


Wilayah Sengketa Pulau Sipadan dan Pulau Ligitan

4

Gambar 1.3

DAFTAR PUTUSAN
Pada tahun 1998 masalah sengketa Pulau Sipadan dan Pulau Ligitan dibawa ke
ICJ, kemudian pada hari Selasa 17 Desember 2002 ICJ mengeluarkan keputusan
tentang kasus sengketa kedaulatan Pulau Sipadan-Ligitan antara Indonesia
dengan Malaysia. Hasilnya dalam voting di lembaga itu, Malaysia di menangkan
oleh 16 hakim, sementara hanya 1 orang yang berpihak kepada Indonesia. Dari
17 hakim itu, 15 merupakan hakim tetap dari MI, sementara satu hakim
merupakan pilihan Malaysia dan satu lagi dipilih oleh Indonesia. Kemenangan
Malaysia, oleh karena berdasarkan pertimbangan effectivity (tanpa memutuskan
pada pertanyaan dari perairan teritorial dan batas-batas maritim), yaitu
pemerintah inggris (penjajah Malaysia) telah melakukan tindakan administratif
secara nyata berupa penerbitan ordonansi perlindungan satwa burung, pungutan
pajak


terhadap

pengumpulan

telur

penyu

sejak

tahun

1930,

dan

operasi mercu suar sejak 1960-an. Sementara itu, kegiatan pariwisata yang
dilakukan Malaysia tidak menjadi pertimbangan, serta penolakan berdasarkan
chain of title (rangkaian kepemilikan dari sultan sulu akan tetapi gagal dalam

menentukan batas di perbatasan laut antara Malaysia dan Indonesia di selat
Makassa.
Perkembangan hukum laut yang pesat dengan dikeluarkannya UNCLOS 1982
yang telah diratifikasi oleh Indonesia mengakibatkan Undang-Undang No.4 Prp
Tahun 1960 tentang Perairan Indonesia tidak sesuai lagi dengan rezim hukum laut
yang baru dengan dimuatnya pengaturan rezim hukum negara kepulauan dalam
5

bab tersendiri. Oleh karena itu, Indonesia mengeluarkan Undang-Undang Nomor 6
Tahun 1996 tentang Perairan Indonesia sebagai penggantinya sekaligus mencabut
keberadaan Undang-undang yang lama.
Undang-undang yang baru menyesuaikan dengan UNCLOS 1982 yang telah
mengatur secara khusus tentang negara kepulauan. Undang-undang ini tidak lagi
hanya menggunakan satu sistem penarikan garis pangkal tapi merupakan
kombinasi dari ketiga cara penarikan garis pangkal yang ada dalam UNCLOS
1982.
Dengan demikian, kejelasan posisi garis pangkal dalam mengatur batas laut
antar negara menjadi sangat penting. karena dalam Pasal 48 UNCLOS 1982
menetapkan bahwa pengukuran lebar laut wilayah, zona tambahan, Zona
Ekonomi Eksklusif dan Landas Kontinen diukur dari garis pangkal. Namun, hasil

resmi putusan Mahkamah Internasional menjadikan Indonesia berpeluang kecil
untuk menjadikan kedua pulau tersebut sebagai titik dasar pengukuran garis
pangkal kepulauan. Dikarenakan Malaysia juga berkepentingan untuk menjadikan
kedua pulau tersebut sebagai titik dasar pengukuran garis pangkal negaranya.
Apabila terjadi tumpang tindih, maka diselesaikan secara bersama berdasarkan
ketentuan Pasal 67 Settlements of Disputes and Advisory Opinions, khususnya di
landas kontinen.
Indonesia harus menggunakan titik garis pangkal yang selama ini ada dalam
peraturan perundang-undangannya dengan menghapus posisi Pulau Sipadan dan
Pulau Ligitan. Sehingga garis pangkal ditarik dari ujung-ujung pulau terluar di
sekitar Pulau Sipadan dan Pulau Ligitan yang masih termasuk wilayah Indonesia.
Dengan tidak boleh ditariknya garis pangkal dengan menggunakan kedua pulau
tersebut sebagai titiknya maka jelas bahwa perairan Indonesia yang ada dalam
Undang-undang Nomor 6 Tahun 1996 sebagai tindak lanjut peratifikasian UNCLOS
1982 mengalami perubahan. Karena yang dimaksud dengan perairan Indonesia
adalah laut territorial Indonesia beserta perairan kepulauan dan perairan
pedalamannya.

6


7

BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
International Court Of Justice (ICJ) atau Mahkamah Internasional adalah
lembaga kehakiman Perserikatan Bangsa-Bangsa yang berkedudukan di Den
Haag Belanda, lembaga peradilan ini didirikan pada tahun 1945 berdasarkan
Piagam Perserikatan Bangsa-Bangsa dan resmi bersidang pada tahun 1946.1
International Court Of Justice dibentuk berdasarkan Bab IV pasal 92 sampai
dengan pasal 96 Piagam Perserikatan Bangsa-Bangsa yang dirumuskan di San
Fransisco. Pada pasal 92 disebutkan bahwa International Court Of Justice
adalah organ utama dari Perserikatan Bangsa-Bangsa.2
Tugas

utama

menyelesaikan

dari


International

sengketa-sengketa

Court

Of

internasional

Justice
mencakup

adalah
bukan

untuk
saja

sengketa-sengketa antar negara saja, melainkan juga kasus-kasus lain yang
berada dalam lingkup pengaturan internasional. Yakni beberapa kategori
sengketa tertentu antara negara di satu pihak dan individu- individu, badanbadan korporasi serta badan-badan bukan negara di pihak lain. Sebagaimana
diketahui bahwa didirikannya International Court Of Justice adalah untuk
menyelesaikan kasus-kasus persengketaan dengan cara damai dan dilarang
menggunakan kekerasan dalam menyelesaiakan suatu sengketa internasional.
Seperti yang telah dibahas sebelumnya, Mahkamah Internasional adalah
institusi pengadilan yang memutuskan kasus berdasarkan hukum internasional
yang ada saat pengambilan keputusan tersebut. Sehingga yuridiksi yang
dimiliki Mahkamah Internasional yaitu tidak dapat membuat hukum secara
resmi karena bukan merupakan organ legislatif. Mahkamah Internasional telah
menegaskan bahwa “it states the existing law and does not legislate. This is so
even if, in stating and applying the law, the court necessarily has to specify it
is scope and sometimes note it is general trend”.3
1J.G. Starke. (1992). Pengantar Hukum Internasional edisi kesepuluh. Jakarta: Sinar Grafika. p.269.
2Damos Dumoli Agusman. (2014). Indonesia dan Hukum Internasional: Dinamika Posisi Indonesia
Terhadap Hukum Internasional. Jurnal Ilmu Hukum, 15, 15.
3Malcolm N. Shaw QC. (2013). Hukum Internasional. Bandung: Nusa Media. p.1070.

1

Maka berdasar atas penjelasan tersebut tugas Mahkamah Internasional
harus merespon berdasarkan hukum internasional, sengketa hukum yang
diajukan kepadanya. Sambil menginterpretasikan dan menerapkan hukum,
Mahkamah Internasional harus menyadari dan memperhatikan konteks, tetapi
tugasnya tidak lebih dari itu. Dengan demikian yuridiksi dari Mahkamah
Internasional meliputi sengketa-sengketa hukum seperti4:
1. Interpretasi dari perjanjian internasional.
2. Masalah hukum internasional.
3. Fakta-fakta yang merupakan pelanggaran kewajiban internasional.
4. Ganti rugi untuk pelanggaran kewajiban internasional.
Didalam menangani kasus-kasus tersebut Mahkamah Internasional akan
menerapkan5:
1. Konvensi Internasional, aturan-aturan yang nyata-nyata diakui oleh pihak yang
bersengketa.
2. Kebiasaan internasional sebagai bukti praktek umum yang diterima sebagai
hukum.
3. Asas-asas hukum umum.
Sebagai sumber-sumber tambahan untuk menentukan aturan hukum,
Mahkamah

Internasional

juga

mempertimbangkan

keputusan-keputusan

pengadilan dan tulisan-tulisan ahli-ahli hukum terkenal. Di samping keputusan
atas

kasus-kasus

perselisihan,

Mahkamah

Internasional

juga

berfungsi

memberikan advis opini dari masalah-masalah hukum majelis umum, dewan
keamanan dan organ-organ lain PBB termasuk badan-badan khusus 6, misalnya
tentang interpretasi dari suatu perjanjian internasional.
Disamping juridiksi terhadap permasalahan pokok, Mahkamah Internasional
juga memiliki juridiksi insidental berkenaan dengan tiga hal, dengan melalui
proses-proses perkara secara interlokutor (rekan dialog). Hal yang pertama
adalah “preliminary objection”. Apabila suatu pihak mempertanyakan juridiksi
Mahkamah, maka hal ini ditangani oleh Mahkamah sebagai tambahan pada

4Pasal 36 Statuta Mahkamah Internasional.
5Chairul Anwar. (1989). Hukum Internasional. Jakarta: Djambatan. p.116.
6Pasal 96 Piagam PBB.

2

putusan

nya

dan

tanpa

mengurangi

arti

keputusan

mengenai

pokok

permasalahan yang sebenarnya.7
Hal yang kedua adalah permohonan campur tangan. Menurut pasal 63
statuta terdapat hak untuk campur tangan bagi negara peserta suatu
perjanjian dimana penafsiran perjanjian itu menjadi pokok perkara dalam suatu
sengketa. Semua permohonan untuk campur tangan lain nya dikabulkan atau
tidak bergantung pada kebijakan mahkamah berdasarkan pasal 62 statuta.
Bentuk

interlocutory

proceeding

ketiga

adalah

permohonan

untuk

memerintahkan tindakan-tindakan sementara untuk melindungi hak-hak para
pihak berdasarkan atas pasal 41 statuta.
B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana bentuk yuridiksi mahkamah internasional?
2. Bagaimana

keterkaitan

keputusan

Mahkamah

Internasional

terhadap

praktek hukum nasional di Indonesia?
3. Apa

contoh

konkrit

dari

keputusan

Mahkamah

Internasional

dalam

penyelesaian kasus sengketa yang putusan nya memiliki kekuatan hukum
mengikat?
C. Metode Penulisan
1) Sumber dan Jenis Data
Data-data yang dipergunakan dalam penyusunan makalah ini berasal
dari berbagai literatur kepustakaan yang berkaitan dengan permasalahan
yang dibahas. Beberapa jenis referensi utama yang digunakan adalah buku
tentang ilmu hukum, jurnal nasional dan jurnal internasional edisi online,
dan jurnal yang diterbitkan oleh FH Unnes. Jenis data yang diperoleh
bersifat kualitatif.
2) Pengumpulan Data
Metode penulisan bersifat studi pustaka. Informasi didapatkan dari
berbagai literatur dan disusun berdasarkan hasil studi dari informasi yang
7Firdaus. (2014). Kedudukan Hukum Internasional dalam Sistem Perundang-undangan Nasional.
Jurnal Ilmu Hukum, 8, 14.

3

diperoleh. Penulisan diupayakan saling terkait antar satu sama lain dan
sesuai dengan topik yang dibahas.
3) Analisis Data
Data yang terkumpul diseleksi dan diurutkan sesuai dengan topik
kajian. Kemudian dilakukan penyusunan makalah berdasarkan data yang
telah dipersiapkan secara logis dan sistematis.
4) Penarikan Kesimpulan
Simpulan didapatkan setelah merujuk kembali pada rumusan masalah
serta

pembahasan.

Simpulan

yang

ditarik

mempresentasikan

pokok

bahasan makalah dengan bahasa yang singkat, padat, dan jelas.

BAB II
PEMBAHASAN
A. Yuridiksi Mahkamah Internasional
Tinjauan Umum
Telah ditegaskan bahwa “fungsi Mahkamah ialah menyatakan hukum” 8 dan
Mahkamah hanya dapat mengambil keputusan berdasarkan hukum saja.
Disebutkan bahwa ketika memilih di antara berbagai dasar yang melandasi
penerimaan atau penolakan terhadap yurisdiksi, ada tiga kriteria yang dapat
digunakan untuk pedoman Mahkamah Internasional.
Pertama,

konsistensi

dengan

hukum

kasus

sebelumnya

demi

meneteapkan prediktabilitas sebab “konsistensi adalah hakikat penalaran
yudisial”; kedua, kepastian, yaitu, Mahkamah harus memilih dasar yang paling
meyakinkan di dalam hukum; dan ketiga, sebagai organ yudisial utama
Perserikatan Bangsa-Bangsa, Mahkamah Internasional harus 9 “menyadari dan
menaruh perhatian akan kemungkinan implikasi dan konsekuensi terhadap
kasus-kasus lain yang masih menunggu putusan”.
8J.G. Starke. (1992). Pengantar Hukum Internasiona edisi kesembilanl. Jakarta: Aksara Persada
Indonesia. p.183.
9Jawahir Thontowi. (2002). Hukum Internassional di Indonesia. Yogyakarta: Madyan Press. p. 40.

4

Mahkamah sendiri memiliki fungsi-fungsi hukum, sehingga, kedua organ
sama-sama dapat menjalankan fungsi secara sendiri-sendiri tetapi saling
melengkapi menyangkut peristiwa yang sama. Fungsi esensial Mahkamah
Internasional
kepadanya

ialah
sesuai

menyelesaikan
dengan

sengketa-sengketa

hukum

internasional10

yang
dan

diajukan

menghindari

memutuskan persoalan-persoalan yang tidak termasuk usulan akhir para
pihak.11 Ketentuan perihal hukum internasional itu berhubungan dengan
sumber-sumber hukum yang akan diterapkan Mahkamah, dan ketentuan itu
baru dipertimbangkan kemudian.
Bentuk Sengketa Hukum
Pasal 36 ayat (2) Statuta Mahkamah mewajibkan agar perkara yang dibawa
ke hadapannya harus sengketa hukum.12 Sengketa hukum harus dibedakan
dari situasi yang mungkin menimbulkan friksi internasional atau menimbukan
sengketa. Perbedaannya halus tetapi penting, sebab demi proses penyelesaian
dapat berjalan dengan baik, harus ada isu khusus atau isu-isu khusus yang
dapat segera dikenali untuk diselesaikan.
Agar sengketa dapat menarik perhatian Mahkamah Internasional, para
pihak harus mencantumkan pandangan-pandangannya, terutama penggugat
di dalam gugatannya, tetapi Mahkamah sendirilah yang akan menentukan
subjek perkara pada sengketa yang diperiksanya. Hal ini dilakukan dengan tak
hanya memperhitungkan usulan tetapi juga gugatan tersebut sebagai satu
keseluruhan,

argumen-argumen

dokumen-dokumen

lain

yang

penggugat
disebutkan,

di

hadapan

termasuk

Mahkamah

pernyataan

dan

publik

penggugat. Jika Mahkamah menyimpulkan bahwa sengketa yang bersangkutan
telah sirna saat Mahkamah sedang membuat keputusannya, karena tujuan
klaim telah tercapai dengan cara

lain, misalnya, maka

“konsekuensi-

konsekuensi yang perlu” akan ditarik dan tidak ada keputusan yang
dikeluarkan.13
10Mochtar Kusumaatmadja. (1976). Pengantar Hukum Internasional Buku I: Bagian Umum.
Bandung: Bina Cipta. p.55.
11Ibid.
12D.W. Bowett. (1995). Hukum Organisasi Internasional. Jakarta: Sinar Grafika. p.345.
13D.J. Harris. (2004). Cases And Materials on International Law. Journal of Law, 6, 157.

5

Yuridiksi yang menimbulkan Sengketa
Yuridiksi

Mahkamah

Internasional

terbagi

dua:

kapasitasnya

untuk

memutuskan sengketa di antara negara-negara, dan kapasitasnya untuk
memberikan advisory opinion bila diminta demikian oleh entitas yang
memenuhi syarat. Mahkamah mengaskan bahwa persoalan tentang penetapan
yuridiksi adalah persoalan yang harus diputuskan oleh Mahkamah sendiri.
Diselesaikan Mahkamah berdasarkan fakta-fakta yang relevan.

Mahkamah

punya kebebasan untuk memilih dengan dasar apa akan menjatuhkan
putusan, dan jika

yuridiksinya

dipertanyakan dengan berbagai alasan,

Mahkamah bebas mendasarkan keputusannya pada satu dasar atau lebih
pilihannya sendiri, terutama “dasar yang menentukan putusannya lebih
langsung dan konklusif”.14

Begitu Mahkamah Internasional sudah membuat

keputusan mengenai, yuridiksi, keputusan itu bersifat res judicata, yaitu,
menjadi tidak dapat diubah lagi dan mengikat atas para pihak. Tunduk hanya
pada kemungkinan revisi di bawah Pasal 61 Statuta Internasional.
Bukti
Mahkamah punya kompetensi inter alia untuk menentukan keberadaan
fakta apa pun yang jika diresmikan akan merupakan pelanggaran suatu
kewajiban internasional.15 Mahkamah dapat membuat kesepakatan apa pun
yang menyangkut pengambilan bukti, meminta para wakil membuatkan
dokumen apa pun atau memberikan penjelasan yang mungkin diperlukan, atau
sewaktu-waktu mengadakan mekanisme penyelidikan atau meminta pendapat
pakar. Mahkamah bahkan dapat melakukan kunjungan langsung (on-site visit).
Namun, Mahkamah tidak punya wewenang untuk memaksakan pembuatan
bukti pada umumnya, juga tidak dapat memerintahkan para saksi agar
memberikan bukti, pun tidak ada pandangan untuk proses hukum karena
menghina pengadilan (contempt of court).

14I Wayan Farthian. (1990). Ekstradisi dalam Hukum Internasional dan Hukum Nasional Indonesia.
Bandung: Mandar Maju.p.170.
15Ibid.

6

Beban pembuktian terletak pada pihak yang berusaha menegaskan fakta
atau fakta-fakta khusus, tetapi Mahkamah juga menyatakan bahwa dalam
perkara yuridiksi tidak ada pengecualian beban pembuktian. Di lain pihak,
beban pembuktian dan beban pembuktian yang relative tinggi, terletak pada
negara penggugat yang ingin mengintervensi. Negara seperti itu “harus
membuktikan secara meyakinkan

pernyataannya, dan oleh karena itu …

memikul beban pembuktian”, meski hanya diwajibkan membuktikan bahwa
kepentingannya mungkin terpengaruh, bukan bahwa negara itu hendak
terpengaruh atau harus terpengaruh demikian. Negara penggugat harus
mengenali kepentingan bersifat hukum yang dipersoalkan dan membuktikan
pengaruh yang dialami kepentingannya itu.16
Intervensi pihak ketiga
Tidak ada yang namanya hak umum melakukan intervensi oleh pihak ketiga
di dalam kasus-kasus yang diperiksa Mahkamah Internasional, tidak ada
prosedur penggabungan pihak baru dari Mahkamah sendiri, juga tidak ada
kewenangan yang dapat dikendalikan

Mahkamah agar negara pihak ketiga

dapat dijadikan pihak yang melakukan proses hukum.
Pada dasaranya, Mahkamah mengizinkan intervensi oleh pihak ketiga
meskipun

satu

pihak

atau

kedua

belah

pihak

pada

kasus

tersebut

menentangnya. Tujuan intervensi dibatasi dengan cermat dan didefinisikan
dengan teliti dalam hal perlindungan kepentingan hukum suatu negara yang
mungkin terpengaruh oleh keputusan dalam suatu kasus yang ada, dan
karenanya intervensi tidak dapat digunakan sebagai pengganti proses hukum
sengketa, yang didasarkan perjanjian.
B. Keterkaitan

keputusan

Mahkamah

Internasional

terhadap

praktek

hukum nasional di Indonesia
Kenyataan bahwa pengadilan-pengadilan nasional hatus mengutamakan
hukum nasional dalam hal adanya pertentangan dengan hukum internasional,
16Mochtar Kusumaatmadja, et.al. (2003). Pengantar Hukum Internasional. Bandung: P.T. Alumni.
p.101.

7

tidak mempengaruhi kewajiban negara

itu untuk menunaikan kewajiban-

kewajiban internasioalnya.17 Kedudukan hukum Internasioanal dalam peradilan
nasional terkait dengan doktrin “Inkorporasi” dan doktrin “Transformasi”.
Ada bermacam-macam isu yang kini dihadapi Mahkamah. Mengenai
akses untuk mencapai Mahkamah, misalnya, telah diusulkan agar Sekertaris
Jenderal PBB, negara-negara dan pengadilan-pengadilan nasional juga diberi
kewenangan untuk meminta advisory opinion, sementara itu peluang yang
mengizinkan organisasi internasional menjadi pihak dalam proses hukum
sengketa pun bertambah. Barangkali yang lebih utama, isu hubungan di antara
Mahkamah dan organ-organ politik PBB, terutama Dewan Keamanan, muncul
kembali sebagai konsekuensi revitalisasi Dewan Keamanan dalam tahun-tahun
terakhir dan peningkatan aktivitasnya.
Peran keputusan dan advisory opinion ICJ (dan PCIJ sebelumnya) amat
sangat diperlukan dalam perkembangan hukum Internasional. 18 Lebih lanjut,
meningkatnya jumlah permohonan dalam tahun-tahun terakhir ini menegaskan
bahwa kini Mahkamah memiliki peran yang lebih sentral di dalam sistem
hukum internasional dari pada yang pernah terbayangkan dalam dua
dasawarsa lalu.

Tentu saja, mungkin ada banyak konflik internasional yang

sangat serius belum pernah di hadapan Mahkamah

karena besarnya

keengganan negara-negara untuk meletakan kepentingan vitalnya di tangan
pengambil keputusan pihak ketiga yang mengikat, tetapi, pertumbuhan sarana
resolusi sengketa regional dan global lain juga tidak dapat diabaikan.
Keputusan-keputusan Mahkamah adalah keputusan tunggal (single
judgment) dan, berbeda dengan praktek dalam pengadilan internasional biasa,
tidak ada keputusan-keputusan terpisah atau penolakan/perbedaan pendapat
yang diperkenakan.19 Mahkamah Internasional dalam mengadili suatu perkara,
berpedoman pada perjanjian-perjanjian internasional (traktat-traktat dan
kebiasaan-kebiasaan internasional) sebagai sumber-sumber hukum. Keputusan
Mahkamah Internasional, merupakan keputusan terakhir walaupun dapat
17G. Starke. (1989). Pengantar Hukum Internasional edisi ketujuh. Jakarta: P.T. Aksara Persada
Indonesia. P.78
18Ibid.
19Bour Mauna. (2005). Hukum Internasional, Pengertian Peranan Dan Fungsi dalam Era Dinamika
Global. Bandung: P.T. Alumni. p.70.

8

diminta banding. Di samping pengadilan Mahkamah Internasional, terdapat
juga pengadilan arbitrasi internasional. Arbitrasi internasional hanya untuk
perselisihan hukum, dan keputusan para arbitet tidak perlu berdasarkan
peraturan hukum.
Dalam

mengeluarkan

keputusannya,

MI

juga

menerapkan

hukum

internasional yang berasal dari traktat, praktik-praktik yang dapat diterima
secara luas sebagai hukum (kebiasaan), dan prinsip-prinsip umum yang
ditemukan dalam sistem hukum utama dunia. Selain itu, MI juga merujuk pada
keputusan hukum di masa lalu atau tulisan para ahli dalam bidang hukum
internasional. Keputusan Mahkamah Internasional ini bersifat mengikat, final
dan tanpa banding. Artinya mengikat para pihak yang bersengketa dan hanya
untuk perkara yang disengketakan.
Ada beberapa dampak yang akan diterima suatu negara yang tidak
mematuhi keputusan dari Mahkamah Internasional. Adapun dampak

tersebut

adalah sebagai berikut: Dikucilkan dari pergaulan internasional, Diberlakukan
Travel Warning (peringatan bahaya berkunjung ke negara tertentu terhadap
warga

negaranya,

Pemutusan

Pengalihan

hubungan

investasi

diplomatik,

atau

penanaman

Pengurangan

modal

bantuan

asing,

ekonomi,

Pengurangan tingkat kerjasama, Pemboikotan produk ekspor, dan Embargo
ekonomi yang menganggu kegiatan perekonomian.
Tiap-tiap

negara

anggota

PBB

harus

melaksanakan

keputusan

mahkamah internasional dalam penyelesaian sengketa, termasuk Indonesia.
Jika negara yang bersengketa tidak melaksanakan kewajiban-kewajiban yang
dibebankan oleh mahkamah kepadanya, negara pihak lain dapat mengajukan
persoalannya

kepada

Dewan

Keamanan.

Kalau

perlu,

dapat

membuat

rekomendasi-rekomendasi atau memasukkan tindakan-tindakan yang akan
diambil supaya keputusan tersebut dilaksankan.
C. Pengaruh Keputusan Mahkamah Internasional Dalam Sengketa Pulau
Sipadan dan Ligitan Terhadap Penetapan
Indonesia
9

Garis Pangkal Kepulauan

1. Keputusan

Mahkamah

Internasional

Pengaruhnya

Terhadap

Penetapan Garis Pangkal Kepulauan Indonesia
Berdasarkan pada UNCLOS 1982 dalam Bab IV Tentang Negara Kepulauan
Pasal 46 menyatakan Negara Kepulauan berarti suatu negara yang seluruhnya
terdiri dari suatu gugus kepulauan atau lebih dan dapat meliputi pulau-pulau
lainnya.

Dengan diterimanya konsep negara kepulauan ini maka Indonesia

mempunyai dasar hukum sebagai dasar pengaturan hukum laut sebagai
negara kepulauan. Sebagai negara kepulauan, maka pengaturan garis pangkal
Indonesia juga mendasarkan pada pengaturan garis pangkal kepulauan. 20
Undang-undang yang baru ini mengakui garis pangkal lurus kepulauan,
disamping garis pangkal biasa dan garis pangkal lurus sebagai cara
pengukuran garis pangkal kepulauan Indonesia. Hal ini karena Undang-undang
yang baru menyesuaikan dengan UNCLOS 1982 yang telah mengatur secara
khusus tentang negara kepulauan. Undang-undang ini tidak lagi hanya
menggunakan satu sistem penarikan garis pangkal tapi merupakan kombinasi
dari ketiga cara penarikan garis pangkal yang ada dalam UNCLOS 1982.21
Garis-garis pangkal yang digunakan Indonesia secara resmi tertuang dalam
Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 38 Tahun 2002 tentang Daftar
Koordinat Titik-titik Geografis Garis Pangkal Kepulauan Indonesia sebagai
peraturan penjelas dari Undang-undang Nomer 6 Tahun 1996 tentang Perairan
Indonesia. Selain jenis-jenis garis pangkal, Peraturan Pemerintah ini juga
memuat titik-titik dasar pengukuran garis pangkal.
Dengan demikian, kejelasan posisi garis pangkal dalam mengatur batas laut
antar negara menjadi sangat penting. karena dalam Pasal 48 UNCLOS 1982
menetapkan bahwa pengukuran lebar laut wilayah, zona tambahan, zona
ekonomi eksklusif dan landas kontinen diukur dari garis pangkal. Namun, hasil
resmi putusan Mahkamah Internasional menjadikan Indonesia berpeluang kecil
untuk menjadikan kedua pulau tersebut sebagai titik dasar pengukuran garis
20Adi Sumardiman. (1982). Beberapa Catatan tentang Penetapan Batas Wilayah Laut dalam
wawasan Nusantara. Jakarta: Surya Indah. p.88.
21Dino Pati Djalal. (1996). The Geopolitics of Indonesia’s Maritime Territorial Policy. Jakarta:CSIS.
p.68.

10

pangkal

kepulauan.

Dikarenakan

Malaysia

juga

berkepentingan

untuk

menjadikan kedua pulau tersebut sebagai titik dasar pengukuran garis pangkal
negaranya. Apabila terjadi tumpang tindih, maka diselesaikan secara bersama
berdasarkan ketentuan Pasal 67 Settlements of Disputes and Advisory
Opinions, khususnya di landas kontinen.22
Indonesia harus menggunakan titik garis pangkal yang selama ini ada
dalam peraturan perundang-undangannya dengan menghapus posisi Pulau
Sipadan dan Pulau Ligitan. Sehingga garis pangkal ditarik dari ujung-ujung
pulau terluar di sekitar Pulau Sipadan dan Pulau Ligitan yang masih termasuk
wilayah Indonesia. Dengan tidak boleh ditariknya garis pangkal dengan
menggunakan kedua pulau tersebut sebagai titiknya maka jelas bahwa
perairan Indonesia yang ada dalam Undang-undang Nomor 6 Tahun 1996
sebagai tindak lanjut peratifikasian UNCLOS 1982 mengalami perubahan.
Karena yang dimaksud dengan perairan Indonesia adalah laut teritorial
Indonesia beserta perairan kepulauan dan perairan pedalamannya.
Pengaruh perubahan posisi garis pangkal ini juga akan berpengaruh pada
pengaturan batas laut yang lain yang masing-masing diuraikan sebagai
berikut23 :
1) Wilayah Laut Territorial
Setiap negara mempunyai hak untuk menentukan lebar laut teritorialnya
sampai batas tidak melebihi 12 mil laut diukur dari garis pangkal. Batas terluar
laut teritorial adalah garis yang setiap titik-titiknya ada pada suatu jarak yang
terdekat dengan titik-titik garis pangkal sejauh lebar laut territorial yang telah
ditentukan. Lebar laut teritorial yang seharusnya diukur maksimal 12 mil laut
dari Pulau Sipadan dan Pulau Ligitan tersebut menjadi bukan hak Indonesia
lagi. Luas wilayah laut yang didasari Undang-Undang Nomer 6 Tahun 1996 dan
peraturan penjelasnya menjadi berkurang.

22Agis Ardiansyah.(2011). Pembakuan Nama Pulau di Indonesia Sebagai Upaya untuk Menjaga
Kedaulatan Negara Republik Indonesia. Jurnal Pandecta, 6, 3.
23Made Andi Arsana. (2007). Batas Maritim Antar Negara. Yogyakarta: Gadjah Mada University
Press. p.107.

11

2) Perairan Kepulauan Indonesia dan Perairan Pedalaman Indonesia
Kedaulatan negara kepulauan meliputi perairan yang dikelilingi oleh garisgaris pangkal tersebut, termasuk udara di atasnya serta dasar laut di
bawahnya (Pasal 49). Namun tidak dapat disimpulkan bahwa perairan
kepulauan ini sama dengan perairan pedalaman. Konsep perairan kepulauan
adalah sesuatu yang baru dalam hukum laut internasional. Perairan seperti ini
bersifat sui generis, dimana tidak termasuk perairan pedalaman maupun laut
territorial. Perbedaannya adalah bahwa perairan kepulauan tunduk kepada
suatu rezim khusus tentang pelayaran dan lintas penerbangan.24
Pada kasus sengketa ini, jika Pulau Sipadan dan Pulau Ligitan menjadi
pengukuran titik garis pangkal, maka perairan yang ada pada sisi dalam dari
garis-garis pangkal yang terhubung akan termasuk dalam perairan Indonesia.
Dengan tidak dapat dijadikannya sebagai titik penetapan garis pangkal, maka
perairan yang tadinya menjadi perairan Indonesia menurut Undang-undang
Nomer 6 tahun 1996 menjadi laut teritorial Malaysia. Hal ini jelas suatu
kerugian bagi posisi Indonesia.
3) Batas Landas Kontinen
Landas kontinen suatu negara pantai adalah dasar laut dan tanah di
bawahnya yang merupakan kelanjutan daratan wilayahnya sampai jarak 200
mil dari garis dasar dan dalam hal tertentu dapat sampai 350 mil laut,
tergantung jarak tepian kontinennya (continental margin). Ketentuan ini
terdapat dalam Pasal 76 Konvensi. Negara pantai mempunyai hak untuk
melaksanakan kedaulatannya atas landas kontinen untuk tujuan eksplorasi dan
eksploitasi sumber alamnya. Hak tersebut ekslusif dalam arti apabila negara
pantai

tidak

mengambilnya,

tidak

satupun

negara

diperkenankan

melakukannya.
Dengan adanya perubahan posisi garis pangkal indonesia setelah
keluarnya putusan Mahkamah Internasional, maka lebar landas kontinen
Indonesia juga mengikuti perubahan garis pangkal tersebut. Indonesia
mengalami pengurangan lebar landas kontinen sebagaimana jika diukur
24Sri Seianingsih Suwardi. (2006). Penyelesaian Sengketa Internasional. Jakarta: UI Press. p.60.

12

dengan Undang-undang Nomor 6 tahun 1996 yang mencantumkan kedua
pulau tersebut sebagai titik pengukuran. Hal inilah yang sebenarnya tidak
diinginkan Indonesia karena kekayaan dilandas kontinen sangat besar artinya.
4) Zona Ekonomi Eksklusif
Zona Ekonomi Ekslusif (ZEE) diartikan sebagai suatu daerah diluar laut
teritorial yang lebarnya tidak boleh melebihi 200 mil diukur dari garis pangkal
yang digunakan untuk mengukur lebar laut teritorial (Pasal 55 dan Pasal 57).
Pengaturan tentang penetapan batas-batas ZEE antara negara-negara yang
pantainya berhadapan maupun berdampingan diatur dalam Pasal 74 Konvensi.
Penetapan

batas

tersebut

harus

ditetapkan

melalui

perjanjian

dengan

didasarkan pada hukum internasional untuk mendapatkan penyelesaian yang
adil.
Apabila tidak dicapai suatu persetujuan, maka negara-negara yang
bersangkutan harus menyelesaikan melalui prosedur yang ditetapkan konvensi
mengenai penyelesaian sengketa. Dengan adanya perubahan posisi garis
pangkal Indonesia setelah keluarnya putusan Mahkamah Internasional, maka
lebar ZEE Indonesia juga mengikuti perubahan garis pangkal tersebut.
Indonesia mengalami pengurangan lebar sebagaimana jika diukur dengan
Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1996 yang mencantumkan kedua pulau
sebagai titik-titik pengukuran. Artinya, hak-hak yang diterima Indonesia di
wilayah ini juga mengalami perubahan.
2. Konsekuensi

yang

Harus

Dilakukan

Indonesia

Pasca

Keputusan

Mahkamah Internasional
1. Revisi PP No.38 tahun 2002
Dalam Undang-undang perairan Indonesia yang terbaru yakni Undangundang Nomor 6 tahun 1996. Pengaturan penjelas dari undang-undang ini
adalah Peraturan Pemerintah Nomor 38 tahun 2002 tentang Daftar Koordinat
Geografis. Titik-titik garis pangkal kepulauan indonesia. Dalam PP tersebut
pulau Sipadan dan pulau Ligitan dijadikan sebagai salah satu titik garis pangkal
kepulauan

Indonesia.

Dengan

demikian
13

maka

daftar

koordinat

yang

mencantumkan posisi Pulau Sipadan dan Pulau Ligitan tidak boleh lagi
digunakan sebagai titik pengukuran garis pangkal Indonesia. Keduanya tidak
boleh lagi dicantumkan dalam daftar resmi titik pangkal kepulauan Indonesia.
2. Membuat rencana lebar laut territorial
Pasal 3 ayat (2) Undang-undang Nomor 6 Tahun 1996 tentang Perairan
Indonesia menetapkan lebar laut territorial Indonesia adalah jalur selebar 12
mil yang diukur dari garis pangkal kepulauan Indonesia. Hal ini sesuai pasal 4
UNCLOS lebar maksimum laut teritorial yang diperkenankan bagi suatu negara
adalah 12 mil laut.25
Dengan ditemukannya posisi garis pangkal yang baru maka pengukuran
garis pangkal di perairan Sulawesi lebih mudah untuk ditentukan, yang perlu
diperhatikan,

posisi

negara

Indonesia

dan

Malaysia

yang

pantainya

berhadapan di sekitar Pulau Sipadan dan Pulau Ligitan, mengharuskan
penentuan lebar laut territorial ini melibatkan dua negara. Sesuai Pasal 15
UNCLOS Indonesia dan Malaysia harus membuat suatu persetujuan penentuan
batas laut territorial kedua negara.
3. Menentukan rencana posisi titik-titik garis pangkal yang baru disekitar perairan
Sulawesi (disekitar pulau Sipadan dan Pulau Ligitan)
Rencana perubahan yang harus dilakukan tetap mengacu pada PP Nomor
38 tahun 2002 tentang daftar koordinat geografis titik-titik garis pangkal
kepulauan Indonesia. Jika kita hubungkan dengan Pulau Sipadan dan Ligitan,
maka seharusnya titik-titik dasar perairan Sulawesi (di sekitar Pulau Sipadan
dan Ligitan) adalah titik pulau Sipadan, Ligitan, Tanjung Arang, Pulau Maratua
dan Pulau Sambit. Karena pulau Sipadan dan Ligitan tidak lagi termasuk
wilayah Indonesia, maka titik-titik yang dipakai adalah Tanjung Arang, Pulau
Maratua dan Pulau Sambit.
Dengan diperoleh titik-titik dasar pengukuran maka dapat ditentukan
posisi garis pangkal. Garis pangkal Indonesia sebagai negara kepulauan ditarik
dari Pulau Sebatik menuju Tanjung Arang lalu ke Pulau Maratua. Garis pangkal
yang diterapkan pada titik-titik tadi adalah garis pangkal lurus kepulauan. Hal
ini sesuai dengan ketentuan Pasal 47 UNCLOS. Garis pangkal ditarik dari titik25United Nations Konventions The Law of The Sea 1982.

14

titik terluar pulau terluar Indonesia. Panjang maksimal garis pangkal tadi tidak
boleh melebihi 100 mil laut. Selain itu, penarikan garis pangkal juga tidak
boleh menyimpang terlalu jauh dari konfigurasi kepulauan.26
BAB III
KESIMPULAN
Dari pembahasan diatas dapat disimpulkan bahwa International Court
Of Justice (ICJ) atau Mahkamah Internasional adalah lembaga kehakiman
Perserikatan Bangsa-Bangsa yang berkedudukan di Den Haag Belanda,
lembaga peradilan ini didirikan pada tahun 1945 berdasarkan Piagam
Perserikatan Bangsa-Bangsa dan resmi bersidang pada tahun 1946.
Mahkamah Internasional mempunyai kebebasan untuk memilih dengan
dasar apa akan menjatuhkan putusan, dan jika yuridiksinya dipertanyakan
dengan berbagai alasan, Mahkamah bebas mendasarkan keputusannya
pada satu dasar atau lebih pilihannya sendiri, terutama “dasar yang
menentukan putusannya lebih langsung dan konklusif.
Salah satu kasus yang melibatkan Indonesia, kemudian dibawa ke
Mahkamah Internasional yaitu kasus perebutan wilayah Pulau Sipadan dan
Pulau Ligitan dengan Malaysia. Hingga kemudian hasil keputusannya
dimenangkan oleh Malaysia. Hal ini berdampak bahwa apabila Mahkamah
Internasional sudah membuat keputusan mengenai, yuridiksi, keputusan itu
bersifat res judicata, yaitu, menjadi tidak dapat diubah lagi dan mengikat
atas para pihak. Tunduk hanya pada kemungkinan revisi di bawah Pasal 61
Statuta Internasional.

DAFTAR PUSTAKA
Buku

26M. Dimyati Hartono.(1983). Hukum Laut Internasional, Yurisdiksi Nasional Indonesia Sebagai
Negara Nusantara. Bandung: Bina Cipta. p.144.

15

Arsana, Made Andi. (2007). Batas Maritim Antar Negara. Yogyakarta: Gadjah Mada
University Press.
Bowett, D.W. (1995). Hukum Organisasi Internasional. Jakarta: Sinar Grafika.
Djalal, Dino Pati. (1996). The Geopolitics of Indonesia’s Maritime Territorial Policy.
Jakarta:CSIS.
Farthian, I Wayan. (1990). Ekstradisi dalam Hukum Internasional dan Hukum
Nasional Indonesia. Bandung: Mandar Maju.
Hartono, M. Dimyati. (1983) . Hukum Laut Internasional, Yurisdiksi Nasional
Indonesia Sebagai Negara Nusantara. Bandung: Bina Cipta.
Kusumaatmadja, Mochtar. (1976). Pengantar Hukum Internasional Buku I: Bagian
Umum. Bandung: Bina Cipta.
Kusumaatmadja, Mochtar (2003). Pengantar Hukum Internasional. Bandung: P.T.
Alumni.
Mauna, Bour. (2005). Hukum Internasional, Pengertian Peranan Dan Fungsi dalam
Era Dinamika Global. Bandung: P.T. Alumni.
Shaw, Malcolm. (2013). Hukum Internasional. Bandung: Nusa Media.
Starke, G. (1989). Pengantar Hukum Internasional edisi ketujuh. Jakarta: P.T.
Aksara Persada Indonesia.
Starke, G. (1992). Pengantar Hukum Internasiona edisi kesembilan. Jakarta:
Aksara Persada Indonesia.
Starke, G. (1992). Pengantar Hukum Internasional edisi kesepuluh. Jakarta: Sinar
Grafika.
Sumardiman, Adi. (1982). Beberapa Catatan tentang Penetapan Batas Wilayah
Laut dalam wawasan Nusantara. Jakarta: Surya Indah.
Suwardi, Sri Seianingsih. (2006). Penyelesaian Sengketa Internasional. Jakarta: UI
Press.
Thontowi, Jawahir. (2002). Hukum Internassional di Indonesia. Yogyakarta:
Madyan Press. Z
Peraturan
Pasal 92 Piagam PBB
Pasal 36 Statuta Mahkamah Internasional.
16

Pasal 96 Piagam PBB
Pasal 63 Statuta Mahkamah Internasional
Pasal 62 Statuta Mahkamah Internasional
Pasal 41 Statuta Mahkamah Internasional
Pasal 36 ayat (2) Statuta Mahkamah
Pasal 61 Statuta Internasional
Pasal 46 UNCLOS 1982 dalam Bab IV Tentang Negara Kepulauan
-Undang Nomor 6 Tahun 1996 tentang Perairan Indonesia
Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 38 Tahun 2002 tentang Daftar
Koordinat Titik-titik Geografis Garis Pangkal Kepulauan Indonesia
Pasal 48 UNCLOS 1982
Jurnal
Agusman, Damos. (2014). Indonesia dan Hukum Internasional: Dinamika Posisi
Indonesia Terhadap Hukum Internasional. Jurnal Ilmu Hukum, Vol 15.
Ardiansyah, Agis (2011). Pembakuan Nama Pulau di Indonesia Sebagai Upaya
untuk Menjaga
Kedaulatan Negara Republik Indonesia. Jurnal Pandecta, Vol 6.
Firdaus. (2014). Kedudukan Hukum Internasional dalam Sistem Perundangundangan Nasional.
Jurnal Ilmu Hukum, Vol 8.
Harris, D.J. (2004). Cases And Materials on International Law. Journal of Law, Vol 6.

17