Militer Dan Kekuatan Politik:Studi Tentang Keterlibatan TNI Dalam Perpolitikan Nasional Era 1945-1998

(1)

MILITER DAN KEKUATAN POLITIK:

STUDI TENTANG KETERLIBATAN TNI DALAM PERPOLITIKAN NASIONAL ERA 1945-1998

Skripsi

Diajukan kepada Fakultas Ushuluddin dan Filsafat untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Sosial (S. Sos)

Oleh: Hadi Nafis Kamil NIM: 206033201080

Pembimbing

Dr. Sirajudin Aly,MA. NIP :150318684

PROGRAM STUDI PEMIKIRAN POLITIK ISLAM FAKULTAS USHULUDDIN DAN FILSAFAT

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH

JAKARTA 1430 H/2009 M


(2)

MILITER DAN KEKUATAN POLITIK:

STUDI TENTANG KETERLIBATAN TNI DALAM PERPOLITIKAN NASIONAL ERA 1945-1998

Skripsi

Diajukan kepada Fakultas Ushuluddin dan Filsafat untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Sosial (S. Sos)

Oleh: Hadi Nafis Kamil NIM: 206033201080

Pembimbing

Dr. Sirajudin Aly,MA. NIP :150318684

PROGRAM STUDI PEMIKIRAN POLITIK ISLAM FAKULTAS USHULUDDIN DAN FILSAFAT

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH

JAKARTA 1430 H/2009 M


(3)

LEMBAR PERNYATAAN

Dengan ini saya menyatakan bahwa:

1. Skripsi ini merupakan hasil karya asli saya yang diajukan untuk memenuhi salah satu persyaratan memperoleh gelar Strata-1 di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

2. Semua sumber yang saya gunakan dalam penulisan in telah saya cantumkan dengan ketentuan yang berlaku di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

3. Jika dikemudian hari terbukti bahwa karya ini bukan hasil karya asli saya atau merupakan hasil jiplakan dari karya orang lain, maka saya bersedia menerima sanksi yang berlaku di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

Ciputat, 23 Mei 2009


(4)

KATA PENGANTAR

Dengan nama Allah Yang Maha Pengasih Lagi Maha Penyayang penulis panjatkan kehadirat Allah Swt, shalawat serta salam semoga senantiasa dilimpahkan kepada Rasulullah Saw. keluarga, sahabat, dan pengikutnya. Amin. Atas segala karunia-Nya, penulis masih diberi kesempatan dalam upaya menyelesaikan skripsi ini dalam rangka menyelesaikan studi di Fakultas Ushuluddin dan Filsafat UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

Sebagai manusia biasa, penulis menyadari sepenuhnya bahwa dalam menyelesaikan skripsi ini, masih banyak kekurangan dan kelemahan. Namun berkat bantuan dan dorongan dari semua pihak, akhirnya penulis dapat menyelesaikan penyusunan skripsi yang berjudul “Militer Dan Kekuatan Politik: Studi Tentang Keterlibatan TNI Dalam Perpolitikan Nasional Era 1945-1998.

Sebagai sebuah karya, rasanya skripsi ini akan tidak memiliki makna apa-apa apa-apabila di dalamnya tidak merajut untaian terima kasih kepada seluruh pihak yang telah membantu penyelesaian penulisan skripsi ini. Adapun ucapan terimakasih saya haturkan sebesar-besarnya kepada:

1. Bapak Prof. Dr. Komarudin Hidayat, MA selaku Rektor UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

2. Bapak Dr. Amin Nurdin, MA selaku Dekan Fakultas Ushuluddin dan Filsafat UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.


(5)

3. Bapak Drs. Agus Darmaji, M.Fils dan Ibu Dra. Wiwi Sajaroh, M. Ag selaku Ketua dan Sekretaris Program Studi Pemikiran Politik Islam Fakultas Ushuluddin dan Filsafat UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. 4. Bapak Drs. Harun Rasyid, M.A dan Drs. Rifqi Muchtar, M.A selaku

Ketua dan Sekretaris Program Non Reguler Fakultas Ushuluddin dan Filsafat UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

5. Bapak Dr. Sirajudin Aly, M.A dan keluarga selaku Dosen Pembimbing atas semua dedikasi dan perhatiannya dalam memberikan masukan dan arahan selama penulis menyelesaikan skripsi ini.

6. Ibu Haniah Hanafie, Bapak Agus Nugraha dan seluruh dosen serta staff pengajar pada Program Studi Pemikiran Politik Islam (PPI) yang telah sangat banyak mentransformasikan ilmu dan intelektualitas selama penulis duduk di bangku perkuliahan.

7. Seluruh jajaran, staff, dan petugas di Perpustakaan Utama UIN Jakarta, Perpustakaan Fakultas Ushuluddin dan Filsafat, Perpustakaan Pusat Universitas Indonesia, Perpustakaan Miriam Budiardjo (Fakultas FISIP UI), dan Perpustakaan Pusat Sejarah TNI, yang banyak memberikan kemudahan penulis dalam mengakses seluruh literatur yang tersedia.

8. Sebesar-besarnya kebanggaan ini penulis persembahkan kepada kedua orangtua, Ayahanda dan Ibunda , Kak dan , mereka semua tak pernah lelah memotivasi penulis untuk menjadi lebih baik. Dan mereka semua layak mendapat balasan surga dari Allah swt.


(6)

9. Kepada seluruh teman-teman kelas PPI Angkatan 2004 Extensi, Asep, Yusuf, Surono, dan lain-lain. Keyakinan dan kesungguhan merekalah yang menjadi sumber inspirasi penulis.

10.Rekan-rekan

Akhirnya kesempurnaan hanyalah milik-Nya, dan kita sebagai manusia sangat tidak layak untuk mengakui kesempurnaan itu. Begitu pula skripsi ini, yang tak luput dari kesalahan dan kekurangan. Penulis berharap dari ketidaksempurnaan itu, akan hadir kebaikan untuk semua.

Ciputat, 19 Februari 2009


(7)

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ... i

DAFTAR ISI ... iv

BAB I. PENDAHULUAN

... ... 1 A. Latar Belakang Masalah ...

... 1 B. Pembatasan dan Perumusan Masalah ...

... 13 C. Tujuan dan Manfaat Penelitian ...

... 13 D. Studi Kepustakaan...

... 14 E. Metodologi Penulisan...

... 16 F. Sistematika Penulisan ...

... 17 BAB II. LATAR BELAKANG KEMUNCULAN MILITER DI

INDONESIA ... ... 19 A. Definisi Militer ...


(8)

B. Berdirinya TNI Di Indonesia

... ... 21

C. Pola Hubungan Sipil Dan Militer Di Indonesia ... 28

D. Fungsi Militer Dalam Negara ... 44

BAB III. MILITER SEBAGAI KEKUATAN POLITIK ... ... 50

A. Definisi Kekuatan Politik ... ... 50

B. Penggolongan Kekuatan Kekuatan Politik ... ... 53

C. Kekuatan Politik Militer ... ... 55

D. Keterlibatan Militer Dalam Politik ... ... 66

E. Militer Profesional ... ... 69

BAB IV. KEKUATAN POLITIK MILITER PADA MASA ORDE LAMA DAN ORDE BARU... ... 75

A. Kekuatan Politik Militer Pada Masa Orde Lama... ... 75

1. Masa Demokrasi Parlementer (1950-1959)... ... 75


(9)

2. Masa Demokrasi Terpimpin (1959-1965) ... ... 84 3. Masa Pemberontakan PKI (Gerakan 30 September)...

... 92 B. Kekuatan Politik Militer Pada Masa Orde Baru ... 100

1. Dwi Fungsi ABRI... ... 101

BAB V. PENUTUP

... ... 117 A. Kesimpulan ... 117 B. Saran-Saran ... 119

DAFTAR PUSTAKA ... . 120


(10)

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Militer sebagai sebuah organisasi pertahanan, mutlak di perlukan oleh setiap negara yang ingin aman dari ancaman-ancaman yang dapat mengganggu eksistensi negara tersebut. Urgensi akan organisasi militer tersebut bagi negara yang baru merdeka dari kolonialisme adalah untuk mempertahankannya dari ancaman kembalinya bangsa kolonial. Sebagai kalangan yang merasa ikut berperan dalam proses pencapaian kemerdekaan di Indonesia, militer memang tidak dapat dipungkiri, walaupun bentuknya belum seperti saat ini. Sehingga tuntutan untuk ikut terlibat dalam perpolitikanpun harus dipertimbangkan. Beberapa manuver yang dilakukan militer untuk ke tujuan itupun terekam dalam sejarah, di antaranya pada “Peristiwa 17 Oktober 1952”1, dan yang tidak dapat dilupakan dan juga merupakan awal dari sejarah dominasi militer bangsa ini adalah pada peristiwa ”Gerakan 30 September 19652 sampai Supersemar”3. Dimana militer mengambil alih tandu kekuasaan demi keselamatan negara.

Geliat militer Indonesia dalam gelanggang politik tidak terjadi secara alami, tetapi merupakan konsekuensi sejarah sejak lahirnya tentara Indonesia. Mentalitas umum tentara Indonesia sebelum maupun setelah

1

Peristiwa 17 Oktober 1952 dibahas dalam Skripsi ini pada Bab IV h. 76.

2

Gerakan 30 September 1965 dibahas dalam Skripsi ini pada Bab IV h. 91.

3


(11)

kemerdekaan adalah peran langsungnya dalam perpolitikan. Harold Crouch mencatat, “dalam masa revolusi tahun 1945 sampai 1949, tentara terlibat di dalam perjuangan kemerdekaan di mana tindakan politik dan militer saling menjalin tak terpisahkan”.4

Apabila dalam keadaan mendesak di mana kedaulatan negara, keutuhan wilayah, dan keselamatan bangsa terancam, panglima TNI dapat menggunakan kekuatan TNI sebagai langkah awal mencegah kerugian negara lebih besar. Padahal, krisis dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) adalah krisis keadilan dan kemakmuran yang kian jauh, sehingga militer bukan solusinya. Meski dalam konteks Indonesia, militer pada dasarnya merupakan budaya politik yang kuat dalam kehidupan masyarakat.

Terdapat pula pendapat yang menolak keras peran sosial politik ABRI/TNI dikarenakan oleh dua hal,5 Pertama, peran sosial politik militer terlahir dalam keadaan perang atau keadaan darurat, sehingga untuk masa kini di mana kondisi darurat perang telah dilewati maka secara otomatis peran sosial politik akan hilang dengan sendirinya. Artinya meminjam istilah dalam kaidah “ushul fiqh” peran sosial politik di masa perang adalah sebuah ruqshoh (keringanan) yang masih bisa ditoleransi. Kedua, karena panduan politik yang diajukan dalam melihat peran sosial politik adalah konsep civilian supremacy. Dalam konsep ini fungsi sosial politik militer

4

Crouch, Militer dan Politik Di Indonesia, (Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 1999), h. 15.

5

A. Dinajani S.H. Mahdi, Peran Sosial Politik ABRI dalam Era Reformasi: Kertas Karya Perorangan (Taskap) Kursus Singkat Angkatan VII Lemhanas 1998 (Jakarta: Dept. Pertahanan Keamanan RI dan Lemhanas, 1998), h. 44-45.


(12)

akan berhadap-hadapan dengan demokrasi dan demokratisasi. Karena diyakini budaya militer akan menghambat laju dari demokrasi yang tengah diupayakan.

Bila kita ingin membenahi negara dan keluar dari krisis multidimensi, harus dilakukan demiliterisasi total dalam kehidupan politik dan bisnis. Apa yang diberitakan koran, maraknya penyelundupan dan perdagangan barang ilegal, karena ada backing (beking), dan biasanya oknum militer, karena desakan kebutuhan yang tak bisa ditutup oleh pendapatannya yang rendah. Ini menunjukkan betapa tidak mudahnya membenahi kehidupan militer menjadi profesional.

Munculnya militer dipanggung politik, sosial dan ekonomi negara-negara berkembang, berpangkal dari lemahnya pihak sipil untuk mengendalikan unsur-unsur kehidupan masyarakat. Politisi sipil yang dengan relatif cepat dihadapkan kepada segala masalah seperti penyusunan suatu sistem politik yang sama sekali lepas dari kekuasaan asing, mengorganisisr masyarakat yang relatif tergesa-gesa berhadapan dengan tuntutan modernisasi, masih mencoba model-model yang mungkin dipergunakan untuk melayani tuntutan-tuntutan masyarakatnya sendiri.6

Kekuatan militer dalam dunia politik di Indonesia, sebenarnya mempunyai akar sejarah yang panjang dan tidak bisa dihapus begitu saja, bahkan akan menjadi sesuatu yang musykil. Pada era reformasi, saat partai-partai politik bermunculan, ternyata partai-partai-partai-partai politik mengundang militer

6

Arbi Sanit, Sistem Politik Indonesia: Kestabilan, Peta Kekuatan Politik, dan Pembangunan, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2003), h. 49.


(13)

masuk di dalamnya. Dianggapnya partai politik akan menjadi kuat bila ada militernya, apalagi yang sudah berpangkat jenderal. Akibatnya, hampir tidak ada satu partai pun yang di dalamnya tidak ada militernya.

Peran militer dalam kehidupan politik masih tetap dominan, meski kepala negara orang sipil, apalagi jika para militer di partai-partai politik "bermain mata", maka militer tetap akan mengendalikan kehidupan politik di suatu negara. Munculnya satgas-satgas (satuan tugas) di partai-partai politik, sebenarnya dapat ditengarai, budaya militer tetap besar dan mengakar kuat dalam kehidupan politik kita. Bahkan, satgas-satgas itu bisa menjadi dan bertindak lebih militer daripada militer sendiri. Penampakan lahiriahnya saja menunjukkan sikap over acting militernya, dengan memakai baju, topi, sepatu bak seorang militer sejati.

Jika kita ingin mengakhiri peran politik militer dan menjadikannya profesional, maka budaya militer yang telah berkembang kuat di masyarakat, harus dirombak lebih dulu. Budaya militer tidak hanya pada uniformitas berpakaian. Yang mendasar adalah cara berpikir militer yang ada pada politisi kita, yang suka memaksakan kehendak dan pendapat sendiri dengan cara mengerahkan massa guna mendukung sikap "pokoknya" dari para pemimpin partai politik. Bahkan, militer seolah menjadi simbol kepahlawanan bangsa, sehingga taman makam pahlawan seakan hanya haknya militer.

Merebaknya budaya militer dalam kehidupan partai politik, akan merusak kehidupan partai politik, dan menjadi pemicu munculnya


(14)

komunalisme, di mana partai politik selalu mengandalkan pengerahan massa guna melakukan tekanan politik. Komunalisme cenderung destruktif, dan melemahkan kekuatan akal budi untuk menyelesaikan masalah dengan cara-cara cerdas, komunikatif dan mencerahkan. Komunalisme dapat berkembang sebagai bentuk kepanikan politik yang biasanya berujung pada tindakan kekerasan tak terkendali.

Dalam dunia bisnis, peran militer harus diperkecil, apalagi untuk menjadi kekuatan beking dunia usaha dan bisnis, yang akan memunculkan premanisme bisnis dan menyuburkan perdagangan barang ilegal yang merusak kehidupan masyarakat. Pengurangan peran militer ini hanya mungkin diwujudkan, jika ada kekuatan hukum yang aktual dalam praktik hidup masyarakat. Jika hukum masih disubordinir kekuasaan dan kepentingan politik partai, maka militer akan menjadi tulang punggungnya. Kolaborasi penguasa, pengusaha, dengan militer akan memperparah dan menghambat proses demokratisasi dan penegakan hukum yang bertumpu pada law enforcement.

Dalam laporan Human Rights Watch bertajuk Too High A Price: The Human Rights Cost of Indonesian Military Economic Activities, fenomena militer sebagai businessmen dilihat terjadi sebagian karena minimnya anggaran negara untuk militer.7 Faktor ini pun sering dijadikan pembenaran bagi setiap aktivitas ekonomi, legal ataupun ilegal, yang dilakukan oleh militer. Kendati demikian, laporan yang sama juga membongkar mitos

7

Lisa Misol, “Kuasa Militer Indonesia: Antara Bisnis, Politik Dan Kekerasan,” Jakarta Post, 14 Maret, 2006.


(15)

minimnya anggaran untuk militer, karena bukti-bukti aktual yang ada justru berkata sebaliknya.

Fakta bahwa militer merupakan kekuatan yang menentukan dalam jagat perpolitikan kita adalah realitas yang tidak bisa ditolak siapa pun. Buktinya kejatuhan Presiden Soekarno karena berseberangan dengan militer, sehingga jenderal Soeharto menggantikannya, dan jenderal Soeharto pun lalu jatuh, karena militer menarik dukungan darinya. Begitu juga dengan kejatuhan presiden KH Abdurrahman Wahid. Bahkan, fenomena dukungan Megawati terhadap pencalonan Gubernur DKI Sutiyoso tidak bisa dipisahkan dari upaya melakukan konspirasi politik dengan militer guna mendukung dan memantapkan kekuasaannya. Tanpa dukungan militer, maka kekuasaan Megawati akan jatuh, apalagi di saat-saat seperti sekarang, banyak kelompok masyarakat menggugat kekuasaannya sebagai akibat kebijakannya yang tidak populis, seperti menaikkan harga BBM, tarif dasar listrik (TDL).8

Karena itu, yang menjadi persoalan adalah masih kuatnya budaya militer dalam jagat perpolitikan bangsa, yang ditandai kecenderungan menguatnya penyelesaian masalah dengan mengandalkan otot ketimbang nalar. Cara-cara pemaksaan kehendak secara sepihak, baik pemerintah maupun kelompok-kelompok masyarakat yang sedang terlibat konflik, dengan mengerahkan massanya dan tidak sabar dengan proses dialektika

8

M. Sadli, Bila Kapal Mempunyai Dua Nakhoda: Esai-Esai Ekonomi Politik Masa Transisi, (Jakarta: Alvabet, 2002), h. 129.


(16)

akal budi untuk mencari jalan keluarnya adalah pertanda kuatnya budaya militer dalam kehidupan politik kita.

Cara-cara premanisme yang hanya mengandalkan kekerasan dan kekuatan fisik tidak hanya subur dalam kehidupan masyarakat, tetapi juga dalam menjalankan pemerintahan, di mana pemerintah, di pusat maupun daerah, dalam usahanya meningkatkan pendapatannya, melakukan cara-cara preman, hanya mengandalkan kekuatan kekuasaan, yang sama sekali tidak cerdas dan mencari gampangnya, yaitu dengan menaikkan tarif dan menarik pungutan. Padahal, pemerintah seharusnya kreatif, berjiwa entrepreneur untuk mengelola kekayaan sumber daya alam yang dikuasainya. Jika tidak, bernapas pun suatu saat akan dikenai pungutan oleh pemerintah, jika sumber pungutan lain sudah dikuras habis.

Demokrasi pada hakikatnya bertumpu pada kekuatan akal budi guna mengatasi konflik dan pluralitas, yang sudah menjadi kodrat hidup masyarakat di mana pun dan kapan pun. Konflik dan pluralitas adalah realitas fundamental kehidupan masyarakat yang tidak mungkin berakhir, dan demokrasi adalah cara paling sehat untuk mengelola dan menyelesaikannya, dengan bertumpu proses dialektika akal budi. Jika kekuatan akal budi menjadi landasan kehidupan politik rendah dan jatuh, kekuatan otot yang mendasari budaya militer akan menguat. Demokrasi hanya mungkin dengan demiliterisasi budaya politik bangsa.

Pada dasarnya RUU TNI patut dikritisi, terutama dalam kaitan dengan kecenderungan mempersubur budaya militer yang ada dalam bawah sadar


(17)

pemikiran politik bangsa, yang sudah mulai letih dengan aneka konflik kekerasan yang tidak segera dapat diselesaikan. Akibatnya, militer dianggap sebagai satu-satunya solusi mengatasi krisis multidimensi yang melanda kehidupan bangsa. Padahal, kembalinya kekuasaan politik militer sebenarnya berlawanan secara fundamental dengan proses demokratisasi.

Dalam konteks ini, gonta-ganti kepala pemerintahan atau presiden bukan sesuatu yang negatif, justru akan menjadi political exercise bagi pendewasaan demokrasi, dan siapa saja yang jadi presiden harus melakukan kontrak kerja dengan rakyatnya untuk mewujudkan keadilan dan kemakmuran bagi seluruh rakyat. Jika dalam praktiknya tidak mampu mewujudkannya, ia harus bersedia turun atau diturunkan di tengah jalan, sepanjang law enforcement tetap terjaga dengan kian meningkatnya disiplin para aparat penegak hukum dan militer melepaskan diri dari kepentingan kekuasaan politik dan pemerintahan.

Karena itu, harus dilakukan perubahan konstitusi secara berkesinambungan, sesuai tuntutan dan tantangan perubahan. Dan, reformasi tidak akan dirusak akibat gonta-ganti presiden di tengah jalan, bahkan akan memperjelas arah untuk menegakkan keadilan dan kemakmuran bagi kehidupan seluruh rakyat, dan akan memacu lahirnya pemerintahan yang makin bersih dan efektif.

Di dalam suatu perubahan, apalagi suatu perubahan paradigmatis, selalu terdapat suatu kegelisahan yang muncul karena ketegangan antara kehendak yang maksimal dan ketersediaan energi politik untuk mewujudkan kehendak


(18)

itu. Langkah maju-mundur lalu tampak sebagai bentuk luar dari kegelisahan. Dan di dalam kegelisahan itulah potensi set back selalu membayangi proses politik. sebab, kekuatan status quo selalu menunggu di tikungan kegelisahan, apalagi bila kehendak perubahan ini menyangkut suatu fondasi yang selama ini menjadi tumpuan politik status quo, yaitu kedudukan tentara di dalam politik.9

Pada akhir tahun 1950-an ilmuwan politik barat menanggapi bahwa peranan militer yang memiliki peran bidang pemerintahan demokrasi barat akan memberikan kontribusi positif terhadap pembangunan politik di negara-negara Dunia Ketiga10 pada umumnya. Banyak negara-negara dunia mencoba mengupayakan sistem demokrasi dengan berlandaskan pada model yang terdapat di barat, senantiasa akhirnya melahirkan rezim otorian dimana pihak militer turut serta bermain didalamnya.

Dalam kasus Indonesia, hal ini bisa dijawab karena secara formal, ideologi sebagai konsepsi kenegaraan yang dipedomani militer Indonesia untuk mengarahkan posisi dan perannya dalam kedudukan kenegaraan ialah doktrin Tri Ubaya Cakti dan Catur Darma Eka Paksi. Di samping itu, karena militer juga berperan dalam menentukan pola kenegaraan serta cara mengisi kemerdekaan, maka konsep kenegaraan integralistik yang dipedomani dan dipertahankan militer juga bisa disebut sebagai bagian dari ideologi militer.

9

Rocky Gerung, “Tentara, Politik, dan Perubahan,” dalam Lukas Luwarso dan Imran Hasibuan, Indonesia di Tengah Transisi (Jakarta: Propatria, 2000), h.178.

10

Dunia Ketiga (Third World): 1) Kelompok negara-negara yang belum maju, misal: negara-negara Non-Blok; 2) Kelompok minoritas dari suatu negara atau masyarakat. Dalam Save M. Dogan, Kamus Besar Ilmu Pengetahuan (Lembaga Pengkajian Kebudayaan Nusantara, 1997), h. 191.


(19)

Di dalam doktrin pertahanan negara dan perjuangan militer, dikenal dua konsep utama yang secara langsung akan melibatkan militer dalam proses demokratisasi, yakni konsepsi tentang perang dan konsepsi tentang musuh. Doktrin militer di Indonesia mengajarkan konsep "perang rakyat semesta" dimana atas perintah pimpinan militer, seluruh rakyat harus ikut berperang. Implikasi dari pelaksanaan doktrin ini adalah11:

1. Militer bisa menentukan arah kebijakan politik yang bukan saja harus dipatuhi oleh kalangan prajurit militer, tetapi juga oleh seluruh komponen masyarakat sipil.

2. Karena mencakup semua komponen bangsa maka otomatis menutup peluang bagi pemimpin sipil untuk mengambil kebijakan-kebijakan politik yang memberikan kebebasan pada rakyat untuk menyalurkan aspirasi sesuai dengan bisikan hati nuraninya karena yang ada dan berhak disalurkan hanyalah aspirasi pimpinan militer. Hal ini sangat erat kaitannya dengan konsepsi militer mengenai "musuh".

Dalam doktrin militer Indonesia terdapat rumusan "ancaman, gangguan, hambatan, dan tantangan" (AGHT) yang merupakan strategi yang lahir dari rumusan fungsi hankam ABRI yang menyatakan bahwa tugas militer adalah "memelihara dan memperkuat ketahanan, kewaspadaan, dan kesiapsiagaan nasional untuk secara defensif aktif mempertahankan dan mengamankan kedaulatan serta integritas negara, wilayah, dan bangsa Indonesia.".12 Lewat

11

Bilveer Singh, Dwi Fungsi ABRI: Asal Usul, Aktualisasi, dan Implikasinya bagi Stabilitas dan Pembangunan, Robert Hariono Imam (penerjemah), (Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama, 1996), h. 56.

12


(20)

konsep AGHT-nya militer bisa dengan mudah merumuskan siapa "kawan" dan "lawan". Dengan begitu akan dengan mudah membungkam setiap aspirasi yang bernada kritis baik terhadap pemerintah maupun pimpinan militer. Apalagi dalam konteks Indonesia, antara kepala pemerintahan dan panglima tertinggi militer berada dalam satu lembaga kepresidenan. Jadi, sempurnalah otoritas dan kewenangan menentukan "lawan" dan "musuh" itu dalam satu tangan: presiden.

Di samping itu, konsepsi tentang negara integralistik yang menyatukan rakyat dengan negara berdampak pada subordinasi seluruh kepentingan dan aspirasi rakyat pada negara yang sudah diidentifikasi dengan kekuasaan militer. Dalam konsep ini sulit dibedakan mana militer yang merupakan bagian dari negara dengan militer yang dikuasai negara. Kosepsi kenegaraan seperti itu akan membenarkan militer untuk berperan atas nama negara dan rakyat sekaligus. Di sinilah letak akutnya hubungan antara peran militer dengan otoritarianisme negara dan dengan demikian berarti demokrasi yang sejati otomatis akan menjauh dari peran sosial politik militer.

Setelah melalui pergulatan mengenai peristiwa pembentukan organisasi militer di Indonesia, yang telah berganti-ganti nama, yang tentunya mempengaruhi terhadap sifat serta orientasi militer. Ketika bernama TNI, nasionalisme yang tercermin dari nama itu menandakan anggota militer tidak terbatas pada satu etnis atau suku tertentu, tetapi seluruh warga negara Indonesia dipersilahkan menjadi anggota militer.


(21)

Peran politik yang diperoleh militer dengan susah payah mereka peroleh, melalui berbagai peristiwa yang terekam dalam sejarah bangsa ini, menandakan bahwa militer sebagai salah satu unsur yang mutlak dalam suatu negara keberadaannya tidak dapat dipandang sebelah mata. Fakta bahwa militer merupakan kekuatan yang menentukan dalam jagat perpolitikan kita adalah realitas yang tidak bisa ditolak siapa pun. Buktinya kejatuhan Presiden Soekarno karena berseberangan dengan militer, sehingga jenderal Soeharto menggantikannya, dan jenderal Soeharto pun lalu jatuh, karena militer menarik dukungan kepadanya.

Apabila kita melihat proses di atas secara lebih jernih, persoalan peranan dan keterlibatan TNI dalam konteks dunia politik pada saat itu adalah awal mula keberagaman proses politik di Indonesia dimana militer menjadi ornament politik yang diperhitungkan. Melalui pertimbangan-pertimbangan yang telah diungkapkan, penulis menganggap betapa pentingnya dilakukan penelitian atas keterlibatan politik TNI di era orde lama. Penelitian skripsi ini akan menyoroti proses peranan TNI menjadi sebuah kekuatan politik sekaligus mencoba melihat seberapa besar pengaruhnya terhadap stabilitas negara Indonesia. Untuk itu skripsi ini mengambil judul “ Militer Dan Kekuatan Politik: Studi Tentang Keterlibatan TNI Dalam Perpolitikan Nasional Era 1945-1998”.


(22)

B. Pembatasan dan Perumusan Masalah

1. Pembatasan Masalah

Untuk lebih memfokuskan pembahasan tentang Militer Dan Kekuatan Politik: Studi Tentang Keterlibatan TNI Dalam Perpolitikan Nasional (1945-1998), maka pembatasan masalah dalam tulisan ini memiliki titik tekan seperti seberapa besar keterlibatan politik militer pada masa Orde Lama (1950-1965) dan masa Orde Baru (1965-1998). Periodesasi dikarenakan pada saat itulah awal mula militer mulai berkecimpung dalam dunia politik. Yaitu penyelesaian-penyelesaian konflik yang melibatkan militer baik dalam masalah sosial maupun politik dalam pentas Nasional.

2. Perumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang dan batasan masalah di atas, maka permasalahan penelitan ini dirumuskan sebagai berikut:

a. Bagaimana konsep militer sebagai kekuatan politik?

b. Bagaimana keterlibatan dan peranannya terhadap proses politik di Indonesia era Orde Lama dan Orde Baru?

C. Tujuan Dan Manfaat Penulisan 1. Tujuan Penulisan

Tujuan yang ingin dicapai dalam penelitian yang dilakukan ini adalah : a. Mempelajari konsep-konsep yang berkembang mengenai militer

dan politik.

b. Menganalisa keterlibatan militer dalam percaturan politik Indonesia era orde lama dan orde baru.


(23)

2. Manfaat Penulisan

Penelitian ini diharapkan mampu meningkatkan dan menambah khazanah dan kepustakaan relasi militer dan politik. Selain itu, hasil penelitian ini juga diharapkan mampu memberikan kontribusi akademis dan ilmiah mengenai dunia politik di lingkungan jurusan Pemikiran Politik Islam Fakultas Ushuluddin dan Filsafat, Civitas Academica Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta dan masyarakat umum.

D. Studi Kepustakaan

Kajian mengenai militer dan politik, khususnya mengenai sepak terjang TNI di pentas politik nasional bukanlah hal yang baru dalam khazanah kepustakaan politik Indonesia. Jika kita telusuri kepustakaan mengenai militer di Indonesia, telah banyak penulis asing maupun lokal yang mengupas masalah tersebut, baik dalam bentuk buku, artikel, maupun makalah. Namun demikian, kajian komprehensif yang mengupas secara menyeluruh mengenai perkembangan reformasi internal TNI –khususnya dalam lingkup UIN Syarif Hidayatullah– masih belum banyak dilakukan.

Di bawah ini akan penulis sebutkan beberapa literatur (baik dalam bentuk buku atau skripsi) yang pernah membahas perihal perkembangan militer Indonesia dengan reformasi internalnya.

1. Abdoel Fatah dengan judul buku Demiliterisasi Tentara: Pasang Surut Politik Militer 1945-2004, adalah judul disertasi S-3 di Universitas Kebangsaan Malaysia yang kemudian diterbitkan menjadi buku oleh LKIS pada tahun 2005. Buku ini dalam membicarakan sepak terjang TNI


(24)

dalam peta perpolitikan Indonesia hingga reformasi internal yang dilakukan TNI dapat dikatakan lengkap. Namun saya menilai, kekurangan buku ini adalah dalam hal keseimbangan informasi, data dan fakta mengenai banyak peristiwa yang dibahas. Karena buku ini terlalu banyak melihat dari sudut pandang kalangan internal militer. Hal ini dapat dimaklumi mengingat penulis dari buku ini adalah seorang anggota TNI Angkatan Laut. Dan dapat dipastikan kesan subjektif sangat kental dalam pembahasan buku ini.

2. Untuk judul skripsi yang pernah mengulas permasalahan militer Indonesia di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta adalah skripsi yang ditulis oleh Ahmad Syauki dengan judul Konsep Hubungan Sipil-Militer di Indonesia Menurut A.H. Nasution dan ditulis pada tahun 2006. Dalam skripsi ini lebih banyak dibicarakan mengenai hubungan sipil-militer khususnya dalam pandangan A.H. Nasution. Yang menjadi titik tekan dalam skripsi ini adalah mengenai fakta sejarah yang ada, di mana militer sejak dahulu kala dapat memainkan peranan penting dalam setiap perebutan kekuasaan hingga Orde Baru. Dan Nasution adalah pelaku sejarah yang turut mengotaki terbentuknya kekuatan politik militer di Indonesia. Menurut saya skripsi ini belum menyinggung perihal reformasi internal TNI.

3. Skripsi kedua yang saya ketahui dan menjadikan militer sebagai latar belakang permasalahan utama adalah Saipul Umam dengan judul skripsi Militer dan Politik: Analisis Terhadap Peran Politik Militer Dalam


(25)

Birokrasi Orde Baru pada tahun 2006. Skripsi ini menjadikan salah satu cabang yang dikuasai lembaga TNI secara penuh pada era Orba, yakni sistem birokrasi. Keterlibatan militer dalam politik yang sudah terlalu melebihi ambang kewajaran dapat dilihat dalam skripsi ini. Fokus utama Saipul adalah birokasi Orde Baru yang sudah dirasuki tangan-tangan militer dan bagaimana dampak terhadap bangsa Indonesia. Sama halnya seperti skripsi yang pertama disebutkan, skripsi ini belum menyinggung persoalan aktual dari perkembangan TNI yakni tentang reformasi internal TNI.

Walaupun sudah cukup banyak literatur yang berbicara mengenai politik militer, tetapi dalam studi yang ditulis dalam lingkup UIN perihal kekuatan politik militer pada masa orde lama khususnya masih sangat terbatas. Dalam kerangka itulah penulis berusaha menempatkan penelitian skripsi yang dilakukan ini. Penulis meyakini bahwa persoalan yang akan diteliti dalam skripsi ini merupakan masalah yang aktual, relevan, dan belum secara khusus dikaji oleh penulis dalam lingkup UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

E. Metodologi Penulisan

Pembahasan tentang Peran Militer Sebagai Kekuatan Politik Pada Masa Orde Lama menggunakan metode kualitatif atau kepustakaan (library research), pengumpulan datanya adalah melalui dokumentasi, yaitu pengumpulan data dilakukan dengan mencari literatur dalam bentuk buku, surat kabar, jurnal, majalah dan sebagainya yang bertemakan seputar kekuatan politik dan politik militer era orde lama dan orde baru.


(26)

Adapun metode pembahasan yang digunakan, yaitu deskriptif-analisis. Sebagaimana yang ditunjukkan oleh namanya, pembahasan deskriptif ini bertujuan untuk memberikan gambaran mengenai data-data dalam rangka menguji hipotesa atau menjawab pertanyaan dalam rumusan masalah (pokok masalah).13 Sedangkan analisis secara harfiah berarti uraian, namun dalam hal ini analisis berarti suatu bahasan dengan cara mengolah data, memberikan interpretasi terhadap data-data yang terkumpul dan tersusun. Jadi metode deskriptif-analisis adalah suatu pembahasan yang bertujuan untuk membuat gambaran terhadap data-data yang telah terkumpul dan tersusun dengan cara memberikan inpretasi terhadap data tersebut.14

Untuk pedoman penulisan skripsi, Penulis menggunakan buku Pedoman Penulisan Karya Ilmiah (Skripsi, Tesis, dan Disertasi) yang diterbitkan oleh Universitas Islam Negeri Syarif Hidyatullah Jakarta tahun 2007.

F. Sistematika Penulisan

Sistematika dalam tulisan akan terdiri dari beberapa bab. Bab pertama, berisikan tentang latar belakang masalah, pembatasan dan perumusan masalah, tujuan penilitian, methodologi penelitian, serta sistematika penulisan. Bab dua akan mengupas tentang sejarah berdirinya militer di Indonesia, yang berisi tentang latar belakang berdirinya militer, fungsi serta definisi militer, urgensinya pembentukan milter di Indonesia. Bab tiga, mencoba mengeksplorasi kajian teori miiliter sebagai kekuatan politik dan

13

Sunardi Suryabrata, Metodologi Penelitian (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1995), h. 18

14

Masri Singarinbun dan Sofian Effendi (ed), Metode Penelitian Survai (Jakarta: LP3ES, 1989), h. 63.


(27)

keterlibatannya. Bab empat, mencoba menguraikan tentang peran kekuatan politik militer di pentas nasional. Bab ini akan mengulas serta melacak gerakan-gerakan militer, keterlibatan-keterlibatan militer dalam menyelesaikan konflik yang terjadi pada masa orde lama dan orde baru. Sedang Bab lima yang merupakan bab terakhir dalam tulisan ini adalah penutup sebagai konklusi dai keseluruhan analisa skripsi ini, yang berisikan kesimpulan.

BAB II

LATAR BELAKANG KEMUNCULAN MILITER DI INDONESIA

A. Definisi Militer

Di dalam bukunya Amos Perlmutter menyebutkan bahwa organisasi militer adalah sebuah organisasi yang paling sering melayani kepentingan umum tanpa menyertakan orang-orang yang menjadi sasaran usaha-usaha


(28)

organisasi itu. Profesi militer disebut sebagai suatu profesi sukarela karena setiap individu bebas memilih suatu pekerjaan di dalamnya, namun ia juga bersifat memaksa karena para anggotanya tidak bebas untuk membentuk suatu perkumpulan sukarela melainkan terbatas kepada suatu hirarki birokrasi.15 Lebih lanjut dapat pula diidentifikasi bahwa dalam diri para prajurit militer terdapat tiga ciri khas sekaligus, yaitu koorporatis (dalam hal ekskulusifitas), birokratis (dalam hal hirarki), dan profesional (dalam hal semangat misi).16 Militer adalah organisasi kekerasan fisik yang sah untuk mengamankan negara atau bangsa dari ancaman luar negeri maupun dalam negeri. Dalam hal ini, militer berfungsi sebagai alat negara yang menjunjung tinggi supremasi sipil.17

Ketika kita hendak membahas hubungan sipil-militer, ada baiknya kita mendefinisikan terlebih dahulu apa yang dimaksud dengan terminologi sipil dan militer, yang sudah umum diketahui. Banyak pengamat militer memberikan batasan sipil secara beragam, dalam buku Pertahanan Negara dan Postur TNI Ideal, sipil didefinisikan sebagai masyarakat umum, lembaga pemerintahan, swasta, para politisi, dan negarawan. Sipil dibatasi hanya pada masyarakat politik yang diwakili partai politik. Menurut buku ini masyarakat politik adalah sebuah area di mana masyarakat bernegara

15

Amos Perlmutter, Militer dan Politik (Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada, 2000), h. 3.

16

Perlmutter, Militer dan Politik, h. 4.

17

http://ahmadfathulbari.multiply.com/journal/item/40/Catatan_Kuliah_Peranan_Militer_da lam_Politik_


(29)

secara khusus mengatur dirinya sendiri dalam konstes politik guna memperoleh fungsi kontrol atas kekuasaan pemerintah dan aparat negara.18

Sedangkan dalam mendefinisikan militer, Amos perlmutter19 mengatakan bahwa ketika ia menyebut militer, maka yang dimaksud adalah:

1. kebanyakan perwira tinggi senior (di atas tingkat kolonel); 2. perwira yang berorientasi pada lembaga (pada tiap rank); 3. perwira profesional (tiap rank);

4. perwira yang rank, status, kedudukan, dan orientasinya menghubungkan mereka dengan sektor sipil dalam masalah garis kebijaksanaan politik.

Melalui definisi di atas, Perlmutter membatasi konsep militer hanya pada semua perwira yang duduk dalam jabatan yang menuntut kecakapan politik, aspirasi, dan memiliki orientasi yang bersifat politik, serta tidak memandang kepangkatan, apakah perwira tinggi, menengah, atau pertama. Sedangkan Cohen mendefinisikan militer sebagai personel militer, lembaga militer, atau hanya para perwira senior. Dan Letjen TNI (Purn) Sayidiman Suryohadiprojo yang dikutip Connie mendefinisikan militer sebagai organisasi kekuatan bersenjata yang bertugas menjaga kedaulatan negara.20

Kecenderungan tentara untuk campur tangan dalam politik dan dalam pembuatan keputusan dikaitkan dengan peranan-peranan dan orientasi koorporasi dan birokrasinya. Sebagai sebuah korporasi organisasi militer

18

Connie Rahakundini Bakrie, Pertahanan Negara Dan Postur TNI Ideal (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2007), h. 41.

19

Amos Perlmutter, Militer dan Politik (Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada, 2000),h. 12.

20


(30)

berusaha melaksanakan pengawasan intern terhadap profesinya dan melindunginya dari pengawasan politik dari luar, ini dimaksudkan untuk meningkatkan derajat otonomi organisasi militer. Kaum militer berusaha mencapai otonomi yang maksimal, dengan konsekuen melancarkan pengaruh politik, baik melalui lembaga-lembaga dan rezim politik. Sebagai suatu profesi birokrasi, tentara berkecimpung dalam politik hingga mampu menjadi partner vital bagi politisi sipil dan birokrat lain di dalam perumusan dan penerapan kebijaksanaan keamanan nasional.21

B. Berdirinya TNI Di Indonesia

Terdapat semacam kenyataan bahwa TNI adalah tentara yang lahir di tengah krisis revolusi. Fakta tersebut oleh banyak kalangan dikatakan telah menjadi sebuah identitas sesungguhnya dari tentara Indonesia, maka tidaklah terlalu mengherankan jika pada perkembangan selanjutnya watak Angkatan Bersenjata Indonesia, sekalipun asal-usulnya revolusioner, sangat dipengaruhi oleh ciri-ciri pemerintahan kolonial Belanda dan Jepang.22

Akar pembentukan militer di Indonesia bukanlah hal yang disengaja, kita harus menyadari bahwa militer Indonesia adalah tentara yang muncul secara spontan. Tentara bukanlah dibentuk oleh pemerintah, tidak juga oleh partai politik maupun pemerintahan kolonial. Artinya tentara membentuk

21

Perlmutter, Militer dan Politik, h. 4

22

Peter Britton, Profesionalisme dan Ideologi Militer Indonesia Perspektif Tradisi-Tradisi Jawa dan Barat (Jakarta: LP3ES, 1996), h. 37.


(31)

dirinya sendiri, karena elit politik ragu-ragu untuk membentuk tentara pada hari-hari awal setelah proklamasi kemerdekaan.23

Militer yang membentuk dirinya sendiri ini mengumpulkan anggotanya dari berbagai organisasi, sebagian diantaranya telah terlibat politik, pada hari-hari disekitar proklamasi kemerdekaan. Pada dasarnya, terdapat empat sumber rekruitmen militer pada saat itu, yaitu:

1. PETA (Tentara Sukarela Pembela Tanah Air), PETA merupakan pasukan pembantu yang terdiri dari orang-orang Indonesia yang dibentuk oleh Jepang guna melawan kekuatan Sekutu.24

2. KNIL(Koninklijke Nederlandshe Indische Leger), KNIL didirikan sebagai tanggapan langsung terhadap perang Jawa. Selama bagian akhir abad ke-19 dan awal ke-20 KNIL menjadi suatu kekuatan utama dalam menegakkan ketenteraman di Jawa dan penaklukan di daerah-daerah Hindia Belanda lainnya. KNIL adalah tentara yang dibentuk oleh penjajah Belanda untuk kepentingannya.25

3. Laskar, Laskar merupakan para pemuda yang mendapat pelatihan militer dari Jepang selama masa pendudukan.26

4. Orang-orang yang tidak berasal dari ketiga kelompok yang telah disebutkan diatas.

23

Said Salim, Militer Indonesia dan Politik: Dulu, Kini, dan Kelak, (Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 2001), h. 30.

24

Britton, Profesionalisme, h. 38.

25

Abdoel Fatah, Demiliterisasi Tentara: Pasang Surut Politik Militer 1945-2004 (Yogyakarta: LKiS, 2005), h. 45.

26


(32)

Ketika Indonesia memproklamasikan kemerdekaannya pada tanggal 17 Agustus 1945, para tentara eks-KNIL dan PETA merupakan dua sumber utama bagi korps perwira Republik Indonesia.27

Idealnya pembentukan sebuah kekuatan bersenjata disaat-saat awal kemerdekaan dipandang sangat penting. Karena, angkatan bersenjata merupakan alat vital yang menentukan tegak rubuhnya serta timbul tenggelamnya negara. Tetapi hal ini tidak dilakukan pada saat-saat awal Indonesia merdeka, bahkan oleh A.H. Nasution hal ini dianggap sebagai suatu kesalahan dan kekeliruan yang akan menjadi sumber pelbagai kesulitan-kesulitan negara di kemudian hari.

Setelah Proklamasi Kemerdekaan Indonesia, pemerintahan baru tidak segera membentuk tentara kebangsaan. Pada sidang Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) ke-2 tanggal 19 Agustus 1945 diputuskan antara lain untuk membentuk Kabinet Presidensil, terdiri dari dua belas departemen. Salah satu diantaranya ialah Departemen Keamanan Rakyat. Dalam sidang pada tanggal 19 Agustus 1945 itu, Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) memutuskan untuk membentuk sebuah tentara kebangsaan.28 Namun keputusan itu diralat kembali dalam sidang PPKI ke-3 tanggal 23 Agustus 1945, dan pemerintah hanya mengumumkan pembentukan Badan Keamanan Rakyat (BKR).

27

Mabes ABRI, Sukardi S. Hadi Handojo, ed., 30 tahun Angkatan bersenjata republik Indonesia (Jakarta: Pusjarah ABRI, 1976), hal. 17.

28

Soebijono, dkk., Dwi Fungsi ABRI: Perkembangan dan Peranannya dalam Kehidupan Politik di Indonesia (Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, 1995), h. 10.


(33)

Baru setelah dua bulan Indonesia merdeka dibentuklah organisasi ketentaraan yang bernama “Tentara Keamanan Rakyat” (TKR) yang dikepalai pertama kali oleh Mayor Urip Sumohardjo, dan Supriadi sebagai menteri keamanan rakyat. Pembentukan TKR ini segera diikuti oleh perintah mobilisasi TKR yang dikeluarkan oleh KNIP, sebagai organ yang membawahi TKR, pada tanggal 9 oktober, yaitu untuk lebih menyatukan bekas-bekas tentara PETA, KNIL, Heiho, Laskar-laskar, serta barisan-barisan rakyat yang lainnya.29 Dalam masa itu, barisan-barisan pemuda bersenjata yang bersifat setengah organisasi militer dan setengah organisasi politik (laskar-laskar), tetap diperbolehkan berdiri tanpa diperintah untuk melebur diri ke dalam TKR. Karena itu bebarapa lama kemudian, yaitu tanggal 6 Desember 1945, untuk menghilangkan kesimpang siuran, Markas Besar TKR mengeluarkan sebuah Maklumat yang antara lain menyatakan, bahwa disamping tentara resmi (TKR) diperbolehkan juga tetap adanya laskar-laskar sebab hak dan kewajiban mempertahankan negara bukanlah monopoli tentara.30

Keberadaan TKR ternyata masih menyimpan rasa kecewa dikalangan orang-orang yang pernah mendapatkan pendidikan atau latihan kemiliteran (seperti KNIL atau PETA), karena TKR yang masih bersifat kerakyatan atau masih mengutamakan sekali keamanan di dalam negeri. Mereka yang merasa kecewa mengatakan bahwa Indonesia lebih membutuhkan suatu alat dan organisasi pertahanan nasional untuk menghadapi sekutu, terutama

29

Yahya A. Muhaimin, Perkembangan Militer dalam Politik di Indonesia 1945-1966, (Jakarta: Gajah Mada University Press, 1982), h. 24.

30


(34)

menghadapi Belanda yang berusaha menjajah Indonesia kembali. Jadi menurut mereka TKR seharusnya tidak hanya mengutamakan segi “keamanan” (polisionil), tetapi tentara yang benar-benar bersifat “pertahanan” (militer).31

Atas prakarsa dari Markas Tinggi TKR (yang dibentuk pada November 1945), pada tanggal 1 Januari 1946, pemerintah mengeluarkan “Penetapan Pemerintah No. 2/S.D.1946” yang mengubah Tentara Keamanan Rakyat menjadi “Tentara Keselamatan Rakyat”,32 dan Kementrian Keamanan Rakyat menjadi Kementrian Pertahanan. Dua puluh hari kemudian, keluarlah “Maklumat Pemerintah 26 Januari 1946” yang mengganti nama Tentara Keselamatan Rakyat menjadi Tentara Republik Indonesia (TRI). Di dalam Maklumat itu antara lain disebutkan, bahwa TRI bersifat kebangsaan (nasional) dan merupakan satu-satunya organisasi militer di Indonesia. Akan tetapi di dalam maklumat tersebut pemerintah tidak menegaskan dan tidak menentukan tentang bagaimana status dan kedudukan organisasi bersenjata di luar TRI, seperti Laskar-laskar dan Barisan Rakyat, yang sejak bulan Desember 1945 diakui hak hidupnya oleh Markas Tinggi TKR.33 Ditetapkan bahwa TRI adalah satu-satunya organisasi militer di Negara Republik Indonesia dan akan disusun atas dasar militer internasional.34

Pada tanggal 19 Juli 1946 terbentuk Angkatan Laut Republik Indonesia , yang disingkat dengan ALRI. Kemudian, berdasarkan “Penetapan

31 Muhaimin, Perkembangan Milite, h. 25. 32

A. Hasnan Habib, “Hubungan Sipil Militer Pasca Orde baru dan Prospeknya di Masa Depan.” Progresif, Vol II No. 1, (Jakarta Political Science Forum FISIP UI, 2002), h. 15.

33

Ulf Sundhaussen, Politik Militer Indonesia 1945-1967, (Jakarta: LP3ES, 1982), h. 17.

34


(35)

Pemerintah No. 6/S.D. 1946” tanggal 9 April, terbentuk TRI bagian udara yang dikenal dengan nama “Angkatan Udara Republik Indonesia”, disingkat AURI, dan mengangkat R. Suriadi Surjadarma menjadi kepala stafnya. Dan untuk menciptakan adanya kesatuan pimpinan militer, pada tanggal 26 Juni 1946, pemerintah (Presiden dengan Menteri Pertahanan) mengangkat Jendral R. Sudirman menjadi Panglima Besar Angkatan Perang Republik Indonesia yang meliputi tentara darat, laut, dan udara.35

Pada tanggal 5 Mei 1947, Presiden mengeluarkan Dekrit guna membentuk suatu panitia yang dipimpin oleh Presiden sendiri. Panitia negara ini kemudian bernama “Panitia Pembentukan Organisasi Tentara Nasional Indonesia” dengan beranggotakan sebanyak 21 orang dari pemimpin pasukan-pasukan bersenjata, termasuk di dalamnya pemimpin-pemimpin beberapa laskar yang paling berpengaruh kuat. Setelah beberapa lama bekerja dengan beberapa kesulitannya, pada tanggal 7 Juni 1947, keluar sebuah penetapan Presiden yang membentuk satu organisasi tentara, bernama “Tentara Nasional Indonesia” disingkat TNI,36 sebagai penyempurnaan dari TRI. Di dalam penetapan itu antara lain diputuskan, bahwa mulai tanggal 3 Juni 1947, dengan resmi berdiri Tentara Nasional Indonesia, dan segenap Angkatan Perang yang ada serta anggota laskar yang bersenjata, baik yang sudah atau tidak bergabung dalam biro perjuangan di masukkan serentak ke dalam Tentara Nasional Indonesia.37

35

Muhaimin, Perkembangan Militer., h. 27.

36

Fatah, Demiliterisasi Tentara, h. 51.

37


(36)

Dari perkembangan yang berlangsung sejak poklamasi dan sejak terbentuknya BKR hingga terbentuknya TNI, dapatlah disimpulkan bahwa TNI lahir dan berdiri dari tiga elemen pokok atau unsur pokok yang masing-masing memiliki karakteristik yang berlainan dan bahkan dengan sifat yang heterogen, yaitu bekas tentara KNIL, PETA, dan Laskar.

Pada masa perang kemerdekaan di tahun 1945-1949 kepemimpinan serta komando militer Indonesia sangat carut-marut dan simpang siur. Salah satunya dikarenakan berlakunya sistem parlementer sejak dikeluarkannya “Maklumat Wakil Presiden No. X, maka jabatan Presiden sebagai panglima Tertinggi sebenarnya tidak berwenang lagi; tetapi prakteknya panglima tertinggi itu tetap dianggap sebagai atasannya langsung oleh Panglima Besar. Menteri Pertahanan yang seharusnya bertanggung jawab dalam segala hal atas pimpinan militer, pada hakekatnya hanya menjadi pimpinan administratif belaka; sedangkan de facto atas pimpinan militer berada pada tangan Panglima Besar APRI (Angkatan Perang Republik Indonesia) yang merangkap sebagai Panglima Angkatan Darat, beserta Staf Umumnya dan gabungan kepala stafnya. Ada lagi lembaga yang bernama Dewan Pertahanan Nasional yang dipimpin oleh Perdana Menteri yang dapat disamakan sebagai pemegang kekuasaan militer. disamping itu adanya Dewan Siasat Militer yang diketuai oleh Presiden sendiri menambah terpencarnya kepemimpinan militer Indonesia di mana duduk panglima tiap angkatan. 38

38


(37)

Pada masa 10 tahun pertama Indonesia merdeka persoalan tentang militer selalu timbul, terutama mengenai peran politik yang ingin dimiliki oleh militer, karena mereka merasa juga perlu ikut berperan aktif dalam perpolitikan bangsa ini. Tetapi, pola hubungan sipil-militer pada masa-masa ini kurang harmonis, asumsi mengenai peran militer dalam perpolitikan harus dibatasi, berkembang berbarengan dengan keinginan pihak militer yang menginginkan berperan dalam perpolitikan.

C. Pola Hubungan Sipil Dan Militer Di Indonesia

Hubungan sipil militer merupakan tema dan agenda utama yang dibicarakan oleh para ilmuan politik dan pegiat demokrasi. Tentu saja dengan tujuan untuk menemukan sebuah konsep yang komprehensif yang bisa membuat relasi sipil-militer berjalan secara sehat, sehingga demokratisasi bisa benar-benar tumbuh dan berkembang dengan sehat pula. Di Indonesia, upaya ini dilakukan pertama-tama dengan penghapusan dwifungsi atau reposisi TNI.

Tentang profesionalisme militer, Huntington menggunakan analogi yang sederhana. Jika tanggung jawab pokok dari seorang dokter adalah kepada pasiennya, dan seorang pengacara kepada kliennya, maka tanggung jawab pokok seorang perwira militer adalah kepada negara. Seperti dokter dan pengacara, perwira hanya mengurusi satu segmen dari berbagai kegiatan kliennya. Ia hanya menjelaskan kepada kliennya mengenai kebutuhan dalam


(38)

bidang ini, menyarankan hal-hal yang dapat memenuhi segala kebutuhan klien tersebut, dan setelah kliennya tersebut mengambil keputusan, membantu klien tersebut menerapkan itu semua.

Pada batasan tertentu, perilaku seorang perwira militer terhadap negara dituntun oleh suatu kode yang tersurat dalam hukum yang setara dengan norma-norma etika profesional para dokter dan pengacara. Sebagian besar kode etik perwira diungkapkan dalam kebiasaan, tradisi, dan semangat profesi yang berkesinambungan. Huntington menambahkan bahwa profesionalisme tidak hanya dimaknai sebagai kemampuan, skill, dan expertise seseorang atau lembaga terhadap pekerjaan yang menjadi bidangnya saja, tetapi juga memiliki ciri-ciri khusus lain. Salah satu hal yang bisa disebut sebagai ciri khusus di sini adalah responsibility.39

Begitu pula dalam dunia militer, profesionalitas tidak hanya dimaknai sebagai kemahiran atau kemampuan dalam menggunakan senjata, tetapi tanggung jawab akan tugasnya sebagai lembaga yang bertugas dalam masalah pertahanan negara. Dalam pandangan Huntington, profesionalitas militer tidak hanya dalam konteks mahir dalam menggunakan senjata dan dilatih dalam tugasnya saja, tetapi juga harus dapat menggunakan kemampuan analisis, pandangan luas, imajinasi dan pertimbangan.

Karena itu, masih dalam pandangan Huntington, militer profesional mempunyai tiga karakter atau ciri40, yaitu:

39

Samuel P. Huntington, The Soldier and the State: The Theory and Politics Civil-Military Relation, (Cambridge: Harvard University Press, 2003), h. 13.

40


(39)

1) Keahlian sebagai karakter utama yang karena keahlian ini profesi militer kian menjadi spesifik serta perlu pengetahuan dan keterampilan. Militer memerlukan pengetahuan yang mendalam untuk mengorganisasi, merencanakan, dan mengarahkan aktivitasnya, baik dalam kondisi perang maupun damai.

2) Militer profesional mempunyai tanggung jawab sosial yang khusus. Selain mempunyai nilai-nilai moral yang harus terpisah sama sekali dari insentif ekonomi, perwira militer mempunyai tanggung jawab kepada negara. Ini berbeda dengan paradigma yang lazim sebelumnya bahwa militer seakan-akan ”milik pribadi” komandan dan harus setia kepadanya, yang dikenal dengan sebutan ”disiplin mati”. Sebaliknya, pada profesionalisme, perwira militer berhak mengontrol dan mengoreksi komandannya, jika komandan melakukan hal-hal yang bertentangan dengan kepentingan rasional. 3) Militer profesional memiliki karakter korporasi yang melahirkan rasa esprit de corps yang kuat. Ketiga ciri militer profesional tersebut melahirkan apa yang disebut oleh Huntington dengan the military mind, yang menjadi dasar bagi hubungan militer dan negara.

Huntington melihat bahwa intervensi politik militer terjadi sehubungan dengan adanya instabilitas politik dan kemunduran yang berasal dari politisasi kekuatan-kekuatan sosial serta tidak adanya partai-partai politik yang melembaga. Ia juga melihat bahwa prajurit profesional klasik lahir


(40)

apabila suatu koalisi sipil memperoleh supremasi terhadap militer. Militer dengan pengetahuan dan keahlian profesionalnya menjadi pelindung tunggal negara. Sebab itu, di negara-negara yang telah maju, militer berada di bawah supremasi sipil.

Sistem politik yang telah mapan, pendapatan per kapita yang tinggi, tingkat industrialisasi yang tinggi, ditambah dengan kesadaran politik dan hukum rakyat yang tinggi telah mengurangi kemungkinan terjadinya intervensi militer. Hal ini bukan berarti bahwa di negara-negara maju tidak ada keikutsertaan militer dalam politik. Militer tetap ikut berpolitik dalam proses pembuatan kebijakan politik, seperti pembuatan kebijakan politik luar negeri dan pertahanan.

Militer di negara-negara maju juga ikut dalam mengatasi masalah-masalah sosial ekonomi yang dihadapi oleh negara-negara maju, seperti aktivitas civic missions untuk menanggulangi bencana alam atau bencana lainnya. Namun demikian, kadar keikutsertaan militer dalam politik itu amatlah rendah. Keikutsertaannya dalam bidang-bidang nonmiliter hanyalah menjalankan fungsi bantuan yang bersifat sementara dan dalam kondisi darurat. Akhirnya, militer adalah sangat diperlukan dalam sebuah negara. Negara kuat jika mempunyai kekuatan militer yang hebat dan bisa diandalkan. Tetapi kekuatan militer ini berada dalam frame work sebagai alat negara yang profesional yang tidak turut campur dalam masalah-masalah politik dan menyerahkan sepenuhnya menjadi otoritas sipil.


(41)

Intervensi militer ke wilayah politik akan menghambat proses demokratisasi dan bahkan membunuh demokrasi itu sendiri.41

Masalah yang menyangkut hubungan sipil dan militer adalah soal yang muncul sebagai akibat lahirnya profesi perwira sebagai keahlian tersendiri. Fenomena ini mulai tampil pada awal abad ke-19 di Eropa. Ketika profesi perwira masih merupakan monopoli para kerabat istana, maka tidak ada masalah antara pimpinan politik dengan para perwira sebagai pengelola kekerasan (manage of violence). Tetapi ketika posisi perwira terbuka untuk siapa saja yang memenuhi syarat untuk itu, dan pimpinan tentara terpisah dari pimpinan politik, maka timbullah soal di sekitar hubungan antara pimpinan politik dan pimpinan tentara.42

Secara empiris, dalam hubungan sipil-militer ada beberapa pola yang dapat diamati dari sistem pemerintahan suatu negara. Negara-negara liberal demokratis, biasanya menganut sistem supremasi sipil. Sedangkan negara-negara rezim pemerintahan otoriter, biasanya cenderung menggunakan pola supremasi militer. Pola lainnya adalah gabungan dari kedua pola di atas, yakni tidak supremasi sipil atau militer (pola campuran) di mana kedua pihak sepakat dalam kesetaraan dan kesehjateraan untuk menjalankan pemerintahan. Hubungan sipil-militer dapat juga diamati melalui misi atau peran militer yang dijalankan, apakah misinya dalam menghadapi ancaman terhadap kedaulatan negara berorientasi ke dalam atau keluar atau kedua-duanya. Hubungan sipil-militer dalam masa transisi menuju demokrasi juga

41

Huntington, The Soldier and the State, h. 18.

42


(42)

dapat dilihat dari dua dimensi penting, yaitu kontestasi militer dan hak-hak istimewa kelembagaan militer.43

Namun sekali lagi dapat dikatakan bahwa pemikiran tentang hubungan sipil-militer dengan segala varian-variannya yang ada, memang memiliki perbedaan-perbedaan, sesuai dengan rezim pemerintahannya atau sistem politik yang dianut oleh suatu negara. Jika pola yang berkembang adalah supremasi sipil, maka pada akhirnya dalam model seperti ini akan memberikan dampak pada peran militer yang hanya sebagai alat negara, yang mengurusi masalah pertahanan ataupun melebur menjadi sub-ordinasi pemerintahan sipil. Tetapi jika yang terjadi sebaliknya, dimana supremasi militer yang lebih menonjol, maka peran militer tidak hanya berfungsi sebagai alat negara, akan tetapi juga menjadi alat kekuasaan. Pada pola ini, kekuatan militer akan diarahkan untuk mendominasi semua peran yang ada, termasuk pula mengambil alih peran-peran yang seharusnya merupakan ranah orang-orang sipil.

Pada umumnya di negara-negara barat, terdapat model hubungan sipil-militer yang menekankan “supremasi sipil atas sipil-militer” (civilian supremacy upon the military) atau militer adalah sub-ordinat dari pemerintahan sipil yang dipilih secara demokratis melalui pemilihan umum.44 “supremasi sipil atas militer” merupakan konsep yang melekat dalam pengertian demokrasi di mana sebuah masyarakat yang demokratis hanya akan mungkin tumbuh

43

Bakrie, Pertahanan Negara.

44

Dewi Fortuna Anwar. Dkk, Gus Dur Versus Militer: Studi tentang Hubungan Sipil-Militer di Era Transisi. (Jakarta: PT. Grasindo, 2002), h. 19.


(43)

jika setiap komponen bangsa, terutama militer karena monopoli formalnya atas penggunaan kekerasan, tunduk pada institusi kenegaraan yang dihasilkan secara demokratis beserta kebijakan dan keputusan yang dikeluarkannya. Model ini juga banyak dianut oleh negara-negara sedang berkembang yang menerapkan sistem demokrasi liberal.

Konsep tentang “kontrol sipil” lahir “dalam ketakutan abad 18 dan kebencian terhadap tentara sebagai suatu ancaman terhadap kebebasan-kebebasan rakyat”.45 Teori-teori yang membahas soal hubungan sipil-militer ini pada umumnya bertolak dari pengalaman negara-negara demokrasi yang salah satu cirinya adalah secara tegas menempatkan tentara di bawah kendali kepemimpinan sipil. Secara khusus mengenai hubungan sipil-militer di negara industri yang demokratis, Perlmutter yang mengutip Huntington menyebut dengan istilah objective civilian control (pengendalian sipil objektif) dan subjective civilian control (pengendalian sipil subjektif).46

Dalam penjelasannya, karakteristik yang terkandung dalam pengertian objective civilian control (pengendalian sipil objektif) adalah:

1. Profesionalisme militer yang tinggi dan pengakuan dari pejabat akan batas-batas profesionalisme yang menjadi bidang mereka; 2. Sub-ordinasi yang efektif dari militer kepada pemimpin politik

yang membuat keputusan pokok tentang kebijakan luar negeri dan militer;

45

Bilveer Singh, Dwi Fungsi ABRI: Asal Usul, Aktualisasi, dan Implikasinya bagi Stabilitas dan Pembangunan, (Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama, 1996), h. 2.

46


(44)

3. Pengakuan dan persetujuan dari pihak pemimpin politik tesebut atas kewenangan profesional dan otonomi bagi militer;

4. Akibatnya, minimalisasi intervensi militer dalam politik dan minimalisasi politik dalam militer.47

Dapat pula dijelaskan bahwa dalam model kontrol sipil objektif ini biasanya dilakukan dengan cara militarizing the military.48 Hal ini dapat dicapai dengan memperbesar profesionalisme kelompok militer di satu sisi, dan pada sisi yang lain kekuasaan militer harus mengalami pengurangan yang sedemikian rupa. Namun yang perlu dipertegas dalam hal ini adalah bahwa kekuasaan militer tersebut tidak serta-merta hilang sama sekali, melainkan tetap diberikan tetapi dalam bentuk kekuasaan yang terbatas. Kekuasaan yang diberikan hanya berfungsi untuk digunakan dalam hal-hal yang terkait dengan permasalahan profesinya. Apabila ada hal yang berada di luar kepentingan profesinya, dan sama sekali tidak dimaksudkan untuk meningkatkan profesionalisme militer, maka secara otomatis kekuasaan militer harus dipangkas.

Sebaliknya, menurut Salim Said model subjective civilian control adalah keadaan ketika salah satu dari sejumlah kekuatan berkompetisi dalam masyarakat berhasil mengontrol tentara dan menggunakannya untuk tujuan dan kepentingan politik mereka.49 Lebih lanjut bahwa pengendalian sipil

47

Anwar, Gus Dur Versus Militer, h. 20.

48

P. Anthonius Sitepu, “Militer dan Politik: Suatu Tinjauan terhadap Peranan Militer dalam Konfigurasi Politik Indonesia Kontemporer,” dalam POLITEIA Jurnal Ilmu Politik (Medan: Departemen Ilmu Politik dan Labotarium Politik Fisip Universitas Sumatera Utara, 2006), h. 46.

49


(45)

subjektif lazimnya dilakukan dengan cara memperbesar kekuasaan sipil (maximing civilian power) dibandingkan dengan kekuasaan militer.50 Pengendalian sipil subjektif (subjective civilian control) merujuk pada upaya politisi sipil untuk mengontrol militer dengan mempolitisasi mereka dan membuat mereka lebih dekat kepada para politisasi sipil tersebut (civilianizing the military), baik politisasi pro maupun anti pemerintah, khususnya di parlemen dan di partai-partai politik. Model kontrol sipil subjektif ditengarai akan melahirkan pola hubungan sipil dan militer yang kurang sehat.

Huntington dalam Salim Said menekankan bahwa esensi Objective civilian control adalah pengakuan pada otonomi profesi militer, sedangkan subjective civilian control menolak adanya otonomi profesi militer. Dengan bahasa lain mungkin dapat dikatakan, pada objective civilian control otonomi yang dimiliki tentara menyebabkan mereka menjadi golongan profesional yang hanya menjalankan tugas negara. sedang pada subjective civilian control, tidak adanya otonomi tentara menjadikan mereka hanya alat bagi penguasa.51

Namun demikian, di beberapa negara berkembang termasuk Indonesia,

52

dikotomi sipil-militer tersebut dianggap –oleh kalangan militer atau sipil yang tak mau berkonfrontasi dengan militer– kurang menggambarkan realitas sesungguhnya, karena dikotomi tersebut hanya akan melahirkan

50

Bakrie, Pertahanan Negara, h. 42.

51

Said, Militer Indonesia dan Politik, h. 275.

52

Syahdatul Kahfie, “Peran Militer Indonesia: Tuntutan atau Kepentingan” dalam PROGRESSIF Vol. II, No. 1 (Jakarta: Political Science Forum FISIP UI, 2002), h. 34.


(46)

konfrontasi.53 Oleh sebab itu, kalangan ini lebih menginginkan terjadinya “kerja sama”, “hubungan kemitraan” atau “harmoni/keselarasan” antara sipil dan militer. Dalam model tersebut, dapat saja terjadi militer merupakan “the first among equals” (pertama di antara yang sederajat) dalam hubungannya dengan institusi-institusi sipil. Ini khususnya terjadi apabila mitra sipilnya lemah. Namun, bila institusi-institusi sipil cukup kuat, maka muncullah gagasan dari militer untuk melakukan “pembagian peran” (role sharing). Di sini sangat tampak, kalangan militer tidak memandang demokrasi dalam hubungan vertikal antara sipil dan militer, yang sebenarnya lebih mengedepankan supremasi sipil atas militer. Pada posisi tersebut, para tentara lebih senang pada pola hubungan yang setara (equal relationship).

Sambil mengkritik teori Huntington yang dianggapnya lebih bertolak dari pengalaman tentara di negara-negara maju, Alfred Stepan54 juga memperkenalkan peranan baru tentara. Peranan baru yang terutama terlihat di negara-negara baru merdeka bagi Stepan menyebabkan lahirnya konsep “the new profesionalism of internal security and national development”. Contoh yang dikemukakan Stepan untuk mendukung teorinya adalah Brazil dan Peru. Secara teknis militer tingkat profesionalitas tentara Brazil dan Peru sangat tinggi, tetapi pada saat yang sama keterlibatan mereka ke dalam urusan keamanan dalam negeri, mereka akhirnya terseret ke urusan politik.

53

Sitepu, Militer dan Politik, h. 46.

54

Alfred C Stepan, Bambang Cipto (Penerjemah), Militer dan Demokrasi: Pengalaman Brasil dan Beberapa Negara Lain (Jakarta: Pustaka Utama Grafiti, 1996).


(47)

Dalam hubungannya dengan konsep relasi sipil-militer di sebuah sistem pemerintahan, maka menurut Eric A. Nordlinger, bentuk pemerintahan sipil dibagi dalam tiga model, yakni: Model Tradisional, Model Liberal, dan Model Panetrasi atau Serapan.55

1. Model Tradisional adalah model kontrol sipil di negara monarki. Bentuk pemerintahan sipil tradisional ini sangat berpengaruh dalam sistem pemerintahan kerajaan abad ke-17 dan abad ke-18 di Eropa. Hal itu terjadi karena golongan aristokrat Eropa merupakan elit sipil dan juga elit militer. Walaupun kedua golongan elit ini berbeda, akan tetapi dalam kepentingan dan pandangannya hampir sama karena keduanya berasal dari golongan aristokrat. Golongan bangsawan tidak bisa memanfaatkan kedudukan militer mereka untuk menentang raja karena raja masih sangat dihormati sebagai kepala negara sekaligus kepala pemerintahan. Tindakan menentang raja justru akan melemahkan kedudukan politik, ekonomi, dan sosial mereka yang sangat bergantung kepada raja. Dalam model ini biasanya tidak terjadi konflik antara sipil dan militer. Ketika terjadi konflik, mereka lebih memilih untuk mempertahankan statusnya sebagai sipil atau bangsawan yang memiliki previlege. Dalam model ini, militer dianggap sebagai golongan amatir. Model ini mulai runtuh di Eropa Barat setelah tahun 1800-an ketika pendidikan dan kemahiran dijadikan parameter utama

55


(48)

dibandingkan status dan kekayaan warisan. bentuk pemerintahan sipil di mana tidak ada perbedaan yang mencolok antara sipil dan militer. Bentuk pemerintahan sipil tradisional ini berpengaruh sekali di bawah sistem pemerintahan kerajaan pada abad ketujuh belas dan delapan belas. Golongan aristokrat Eropa (elit Eropa) dan elit militernya lebih mengutamakan kekuasaan, kekayaan, dan status sebagai seorang sipil. Bentuk pemerintahan sipil tradisional ini dapat mempertahankan legitimasi pihak sipil yang disebabkan oleh tidak adanya perbedaan antara sipil dan militer.

2. Model Liberal. Model ini dengan jelas mendasarkan pada diferensiasi tugas dan wewenang sipil dan militer. Militer hanya bertugas menjaga keamanan dan pertahanan negara. Selain itu, militer diberikan kemampuan manajemen militer yang mumpuni. Seluruh kebutuhan militer dipenuhi dengan sebaik-baiknya oleh sipil. Singkat kata, model ini berupaya melakukan depolitisasi semaksimal mungkin terhadap militer. Semua hak militer yang diberikan untuk sipil bukan berarti memberikan kewenangan yang seenaknya kepada sipil untuk melakukan apapun terhadap militer. Dalam hal ini, sipil dituntut untuk memiliki civilian ethic. Ada beberapa etika sipil yang harus dilakukan, antara lain sipil harus menghormati kehormatan militer, keahlian, dan otonomi, serta harus menunjukkan sikap netral. Selain itu, sipil tidak boleh melakukan intervensi ke dalam profesi militer apalagi


(49)

menyusupkan ide-ide politik bahkan menggunakan militer untuk kepentingan politik tertentu. Model liberal ini sebenarnya memiliki banyak kelebihan, tetapi segalanya bisa bermasalah ketika sipil tidak konsisten dalam setiap etika yang harus dipenuhi. Model ini secara jelas mendasarkan diri pada pemisahan para elit militer dan sipil sesuai dengan keahlian dan tanggung jawab masing-masing dalam jabatan pemerintahan, baik mereka dipilih melalui pemilihan umum ataupun diangkat. Elit sipil sesuai dengan kemampuannya menjalankan tanggungjawab di bidang pembangunan politik, ekonomi, sosial-budaya, mengawasi dan melaksanakan undang-undang, serta menyelesaikan konflik antar-kelompok. Sedangkan militer sesuai dengan keahliannya, mengelola, dan menggunakan kekerasan serta bertanggungjawab mempertahankan negara dari serangan luar dan kekacauan yang timbul dalam negeri. Kelompok militer juga tidak dapat mencampuri urusan di luar keamanan nasional. Secara singkat, model liberal menutup kemungkinan militer ikut campur dalam kegiatan politik. Model pemerintahan sipil liberal juga didasarkan pada prinsip pihak sipil harus menghormati pihak militer. Di dalam tindakan dan pelaksanaannya, pemerintah menghargai kedudukan, kepakaran, dan netralitas pihak militer. Pemerintah tidak merendahkan peran para perwira militer ataupun mencampuri urusan profesional militer dan memasukkan pertimbangan politik ke dalam angkatan


(50)

bersenjata, seperti menaikkan pangkat perwira karena alasan kesetiaan mereka di bidang politik atau melibatkan militer untuk kepentingan politik domestik. Jika pihak sipil menghargai keabsahan militer, maka semakin kecil alasan militer untuk melakukan intervensi.

3. Model Serapan, adalah suatu model kontrol sipil yang melakukan penebaran ide-ide politik terhadap perwira militer yang masuk dalam partai-partai politik. Dalam hal ini, sipil dan militer adalah satu perangkat ideologi. Model ini hanya bisa diterapkan di suatu negara yang menerapkan sistem partai tunggal. Kontrol sipil terhadap militer dilakukan melalui dua struktur yaitu struktur militer itu sendiri dan struktur partai politik. Militer yang masuk dalam partai politik harus melepaskan semua aturan militernya dan masuk dalam aturan partai politik sehingga semua tunduk dalam aturan partai. Hal ini membuat tidak dominannya peran militer. Kalaupun ada dominasi militer dalam partai hanya mungkin terjadi sebatas faksi. Model panetrasi ini biasanya diterapkan di negara komunis. Apabila model ini diterapkan, ia akan sangat memperlihatkan supremasi sipil. Akan tetapi dalam keadaan tertentu, pelaksanaan yang kurang baik akan menimbulkan resiko yang cukup tinggi. Sama seperti model liberal, dalam model panetrasi ini akan berakibat buruk ketika setiap aksi kelompok sipil mengganggu wilayah otonom militer. Dalam model ini


(51)

pemerintahan sipil memperoleh pengabdian dan kesetiaan dengan cara menanamkan ide-ide politik ke dalam tubuh angkatan bersenjata. Sepanjang hidupnya, militer senantiasa didoktrinasi dengan ide-ide politik sipil. Baik di dalam akademi militer, pusat latihan, tempat kursus, sekolah dasar dan lanjutan militer, ataupun diskusi formal dan informal. Hal ini sering dilakukan untuk membentuk ide dan sikap politik militer dengan asumsi bahwa ide dan persamaan politik pihak sipil dan pihak militer yang muncul kemudian akan menghapuskan gejala konflik sipil-militer. Penerimaan para perwira militer terhadap ide-ide politik ortodok juga digunakan sebagai satu syarat penting dalam kenaikan pangkat, di samping kemampuan militer.

Dalam konteks mewujudkan militer yang mempunyai profesionalisme tinggi di bidangnya pada era modern seperti sekarang ini, model liberal Nordlinger patut diapresiasi oleh semua komponen negara sebagai pilihan yang terbaik. Hubungan Sipil–Militer yang ideal, tentunya kembali pada porsi profesionalisme-nya, dimana Militer mengemban tugas utamanya menjaga Kedaulatan Negara, Pertahanan dan Keamananan, yang tidak mencampuri urusan atau wilayah Politik Sipil.56

Konsep pengabdian kepada Negara adalah Rakyat yang berdaulat, Pemerintahan yang sah dan Wilayah kedaulatan Nasional. Militer harus sadar benar akan Profesionalisme-nya, Netralitasnya sebagai alat Negara

56

http://ahmadfathulbari.multiply.com/journal/item/40/Catatan_Kuliah_Peranan_Militer_ dalam_Politik_


(52)

bukan alat Kekuasaan. Sedangkan kalangan Sipil bertanggungjawab melakukan fungsi-fungsi ke-Negara-an yang menjadi wilayah Politik-Publik, pelayanan masyarakat, menegakan Supremasi Hukum dan mengembangkan kesejahteraan. Hubungan Sipil-Militer yang Ideal ditandai oleh rasa saling menghormati Wilayah Kewenangannya, saling percaya didasarkan atas system peraturan dan perundangan yang telah disepakati bersama. Dengan demikian, Militer dapat menata dirinya lebih mandiri, tanpa kekhawatiran di-Intervensi oleh pihak diluar Militer, sehingga para personil Militer tidak perlu menjadi Opurtunis yang sibuk mendekati penguasa untuk kedudukannya, sebagai konsekuensi logis penghormatan Kekuasaan Sipil kepada Institusi Militer.

Secara Teoritis-historis, seperti dikemukakan diatas, Supremasi Sipil atau Masyarakat Sipil hanya akan dapat menempatkan posisi peran Militer secara tepat sesuai fungsinya “Profesional”, bila Kepemimpinan Sipil tersebut memiliki : Managerial State’s Capability (kemampuan mengelola Negara), Integritas moral, Dukungan Partai Politik yang kuat dan Legitimasi Konstitusional. Bila salah satu saja dari indikator tersebut hilang, maka Militer masih memiliki peluang untuk mempermainkan proses Civil Society. Dan apabila hal itu terjadi, adalah suatu kerugian besar bagi Bangsa Indonesia mengalami kemunduran dari suatu proses perjuangan menegakan Demokrasi-Masyarakat Sipil yang telah lama diimpikan.


(1)

DAFTAR PUSTAKA

Anwar, Dewi Fortuna. dkk. Gus Dur Versus Militer: Studi tentang Hubungan Sipil-Militer di Era Transisi. Jakarta: PT. Grasindo, 2002.

Arikunto, Suharsimi. Prosedur Penelitian: Suatu Pendekatan Praktek. Jakarta: Rineka Cipta, 2002.

Azca, M. Najib. Ketika Moncong Senjata Ikut Berniaga: Laporan Penelitian Tim Kontras Mengenai Keterlibatan Militer Di Bojonegoro, Boven Digoel dan Poso. Jakarta: Kontras, 2004.

Bachtiar, Harsja. Siapa Dia? Perwira Tinggi Tentara Nasional Indonesia Angkatan Darat. Jakarta: Djembatan, 1988.

Bakrie, Connie Rahakundini. Pertahanan Negara Dan Postur TNI Ideal. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2007.

Bhakti, Ikrar Nusa, “Militer dan Parlemen di Indonesia.” dalam Panduan Parlemen Indonesia. Jakarta: Yayasan API, 2001.

________________. dkk. Tentara Mendamba Mitra: Hasil Penelitian LIPI tentang Pasang Surut Keterlibatan ABRI dalam Kehidupan Kepartaian di Indonesia. Bandung: Mizan, 1999.

________________. dkk. Tentara Yang Gelisah: Hasil Penelitian YIPIKA Tentang Posisi ABRI Dalam Gerakan Reformasi. Jakarta: Mizan, 1999. Britton, Peter. Profesionalisme dan Ideologi Militer Indonesia Perspektif

Tradisi-Tradisi Jawa dan Barat. Jakarta: LP3ES, 1996.

Cholisin. Militer dan Gerakan Prodemokrasi, Studi Analisis tentang Respons Militer terhadap Gerakan Prodemokrasi di Indonesia. Yogyakarta: Tiara Wacana Yogya, 2002.

Chrisnandi, Yuddy. Kesaksian Para Jenderal: Sekitar Reformasi Internal dan Profesionalisme TNI. Jakarta: Pustaka LP3ES Indonesia, 2006.

Crouch, Harold. Militer dan Politik Di Indonesia. Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 1999.

Desch, Michael C. Politisi VS Jenderal: Kontrol Sipil atas Militer di Tengah Arus yang Bergeser. Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada, 2002.

Diamond, Larry. Developing Democracy: Toward Consolidation, terjemahan dengan judul yang sama, Yogyakarta: IRE, 2003.

Dogan, Save M. Kamus Besar Ilmu Pengetahuan. Lembaga Pengkajian Kebudayaan Nusantara, 1997.


(2)

Eko, Sutoro, “Demiliterisasi dan Demokratisasi.” dalam Arie Sujitno dan Sutoro Eko, ed. Demiliterisasi, Demokratisasi, dan Desentralisasi. Yogyakarta: IRE Press, 2002.

Fatah, Abdoel. Demiliterisasi Tentara: Pasang Surut Politik Militer 1945-2004. Yogyakarta: LKiS, 2005.

Feith, Herbert, Tim PSH, Terj. Soekarno dan Militer dalam Demokrasi Terpimpin. Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 1995.

Gerung, Rocky. “Tentara, Politik, dan Perubahan.” dalam Lukas Luwarso dan Imran Hasibuan. Indonesia di Tengah Transisi. Jakarta: Propatria, 2000.

Habib, A. Hasnan. “Hubungan Sipil Militer Pasca Orde baru dan Prospeknya di Masa Depan.” Progresif, Vol II No. 1. Jakarta Political Science Forum FISIP UI, 2002.

_______________, “Peranan ABRI Selama Perjuangan Reformasi.” dalam Selo Soemardjan, ed. Kisah Perjuangan Reformasi. Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 1999.

Hadiz, Vedi R. Dinamika Kekuasaan, Ekonomi-Politik Indonesia Pasca-Soeharto. Jakarta: Pustaka LP3ES Indonesia, 2005.

Hanafie, Haniah. Hand Out Mata Kuliah: Kekuatan-Kekuatan Politik. Jakarta: 2007

Handojo, Sukardi S. Hadi, ed. 30 tahun Angkatan bersenjata republik Indonesia. Jakarta: Pusjarah ABRI, 1976.

Huntington, Samuel P. Gelombang Demokratisasi Ketiga. Jakarta: Pustaka Utama Grafiti, 1995.

__________________, “Mereformasi Hubungan Sipil-Militer.” dalam Larry Diamond dan F. Plattner ed. Hubungan Sipil Militer dan Konsolidasi Demokrasi. Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada, 2000.

Kadi, Saurip. TNI- AD: Dahulu, Sekarang dan Masa Depan. Jakarta: Pustaka Utama Grafiti, 2000.

Kahfie, Syahdatul. “Peran Militer Indonesia: Tuntutan atau Kepentingan.” PROGRESSIF Vol. II, no. 1 Jakarta: Political Science Forum FISIP UI, 2002.

Karim, Muhammad Rusli. Peranan ABRI dalam Politik dan Pengaruhnya terhadap Pendidikan Politik di Indonesia 1965-1979. Jakarta: Haji Masagung, 1989.

Lane, Max. Bangsa Yang Belum Selesai: Indonesia, Sebelum dan Sesudah Soeharto. Jakarta: Reform Institute, 2007.


(3)

Mabes ABRI, Sukardi S. Hadi Handojo, ed. 30 tahun Angkatan bersenjata republik Indonesia. Jakarta: Pusjarah ABRI, 1976.

Mahdi, A. Dinajani S.H. Peran Sosial Politik ABRI dalam Era Reformasi: Kertas Karya Perorangan (Taskap) Kursus Singkat Angkatan VII Lemhanas 1998. Jakarta: Dept. Pertahanan Keamanan RI dan Lemhanas, 1998.

Makalah Hasil Seminar ABRI. Peran ABRI Abad XXI: Redefinisi, Reposisi, dan Reaktualisasi Peran ABRI dalam Kehidupan Bangsa. Bandung: Mabes TNI, 1998.

Markas Besar TNI. Bunga Rampai Paradigma Baru. Jakarta: Staff Komunikasi TNI, 2003.

Markas Besar TNI. Implementasi Paradigma Baru TNI dalam Berbagai Keadaan Mutakhir. Jakarta: Mabes TNI, 2001.

Muhaimin, Yahya. Perkembangan Militer dalam Politik di Indonesia 1945-1966. Yogyakarta: Gadjah Mada University, 1982.

Nasikun. ”Konsosiasionalisme dan Transisi Demokrasi dalam Masyarakat Majemuk.” dalam A. E. Priyono, Stanley Adi Prasetyo, dan Olle Tornquist ed. Gerakan Demokrasi di Indonesia Pasca Soeharto. Jakarta: Demos, 2003.

Nasution, A.H. Memenuhi Panggilan Tugas. Jakarta: Gunung Agung, 1982. Nasution, Adnan Buyung. Aspirasi Pemerintahan Konstitusional di Indonesia:

Studi Sosio-Legal atas Konstituante 1956-1959. Jakarta: Grafiti, 1995. Nordlinger, Eric A. Militer dalam Politik. Jakarta: Rineka Cipta, 1990.

Notosusanto, Nugroho ed. Pejuang dan Prajurit, Konsepsi dan Implementasi Dwifungsi ABRI. Jakarta: Sinar Harapan, 1984.

Perlmutter, Amos. Militer dan Politik. Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada, 2000.

Rinakit, Sukardi. dalam “Tentara Nasional Indonesia Sudah Melempar Dadu.” sebagai Kata Pengantar Buku Yuddy Chrisnandi. Kesaksian Para Jenderal: Sekitar Reformasi Internal dan Profesionalisme Tentara Nasional Indonesia. Jakarta: Pustaka LP3ES Indonesia, 2006.

Sadli, M. Bila Kapal Mempunyai Dua Nakhoda: Esai-Esai Ekonomi Politik Masa Transisi. Jakarta: Alvabet, 2002.

Said, Salim. Militer Indonesia dan Politik: Dulu, Kini dan Kelak. Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 2001.


(4)

Said, Salim. Tumbuh dan Tumbangnya Dwifungsi: Perkembangan Pemikiran Politik Militer Indonesia 1958-2000. Jakarta: Aksara Kurnia, 2002. Samego, Indria. TNI Di Era Perubahan. Jakarta: Erlangga, 2000.

Sanit, Arbi. Partai, Pemilu dan Demokrasi. Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1997.

, Sistem Politik Indonesia: Kestabilan, Peta Kekuatan Politik, dan Pembangunan. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2003

Schmitter, Philippe C, dan Guillermo O’Donnell. Transisi Menuju Demokrasi: Rangkaian Kemungkinan dan Ketidakpastian. Jakarta: LP3ES., 1993.

Sejarah TNI Jilid II 1950-1959. Jakarta: Pusat Sejarah dan Tradisi TNI, 2000.

Sejarah TNI Jilid III 1960-1965. Jakarta: Pusat Sejarah dan Tradisi TNI, 2000.

Singh, Bilveer. Dwi Fungsi ABRI: Asal Usul, Aktualisasi, dan Implikasinya bagi Stabilitas dan Pembangunan. Robert Hariono Imam penerjemah, Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama, 1996.

Sitepu, P. Anthonius. “Militer dan Politik: Suatu Tinjauan terhadap Peranan Militer dalam Konfigurasi Politik Indonesia Kontemporer.” dalam POLITEIA Jurnal Ilmu Politik Medan: Departemen Ilmu Politik dan Labotarium Politik Fisip Universitas Sumatera Utara, 2006.

Soebijono, dkk. Dwi Fungsi ABRI: Perkembangan dan Peranannya dalam Kehidupan Politik di Indonesia. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, 1995.

Soebiyanto. Catatan-catatan tentang Dwifungsi dan kekaryaan ABRI. dalam Diktat Kursus Pembinaan Mental ABRI. Dephankam: Pusat pembinaan mental ABRI, 1976.

Stepan, Alfred C dan Linz, Juan J. “Mendefinisikan dan Membangun Demokrasi.” dalam Ikrar Nusa Bhakti. dan Riza Sihbudi. ed. Menjauhi Demokrasi Kaum Penjahat. Bandung: Mizan-LIPI-Ford Foundation, 2001.

Stepan, Alfred C. Bambang Cipto Penerjemah, Militer dan Demokrasi: Pengalaman Brasil dan Beberapa Negara Lain. Jakarta: Pustaka Utama Grafiti, 1996.

Sundhansen, Ulf. Politik Militer Indonesia 1945-1967: Menuju Dwi Fungsi ABRI. Jakarta: LP3ES, 1986.


(5)

Suryadinata, Leo. Golkar dan Militer: Studi tentang Budaya Politik. Jakarta: LP3ES, 1992.

Widodo, Cerdik Menyusun Proposal Penelitian Skripsi, Tesis, dan Disertasi. Jakarta: Magna Script, 2004.

Widoyoko, Danang, dkk. Bisnis Militer Mencari Legitimasi. Jakarta: Indonesian Corruption Watch, 2003.

Wirahadikusumah, Agus. “Reformasi TNI.” dalam Agus Wirahadikusumah, dkk. Indonesia Baru dan Tantangan TNI: Pemikiran Masa Depan. Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 1999.

Zen, Kivlan. Konflik dan Integrasi TNI-AD. Jakarta: Institue for Policy Studies, 2004.

Berita, artikel koran dan website

Chrisnandi, Yuddy. “Hubungan Sipil-Militer dan 'Otoritas' TNI yang Dikebiri.” Republika, 5 Oktober 2004.

________________. “Militer Ditengah Kemelut Politik.” diakses dari www. dephan.go.id.

Fathulbari, Ahmad. “Peranan Militer Dalam Politik”. Diakses dari http://ahmadfathulbari.multiply.com/journal/item/40/Catatan_Kuliah_Peran an_Militer_dalam_Politik_

Haramain, A. Malik. “Demokrasi dan Supremasi Sipil.” Kompas, Kamis, 8 November 2001.

Misol, Lisa. “Kuasa Militer Indonesia: Antara Bisnis, Politik Dan Kekerasan,” Jakarta Post, 14 Maret, 2006.

Prasetyono, Edy. “Supremasi Sipil dan Profesionalisme TNI.” Kompas, Selasa, 05 Oktober 2004.

Suyanto, Djoko. “TNI Profesional dan Dedikatif.” Kompas, 5 Oktober 2006. “KSAD: Anggota TNI Jangan Berpolitik Praktis.” artikel dimuat pada

Rabu 16 April 2008, dari www.okezone.com.

“Presiden: TNI Jangan Berpolitik Selasa: Hak pilih TNI masih diperdebatkan.” Republika,14 Februari 2006.

“Supremasi Sipil atas Militer Bukan Balas Dendam Politik.” Kompas, Minggu, 23 April 2000.


(6)