Polling dan Program Acara Kontes Pencari (1)

POLLING DAN PROGRAM ACARA KONTES
PENCARIAN BAKAT DI TELEVISI INDONESIA

Media dan Masyarakat

Disusun oleh:

Marisa Andreina
Melati Suma Paramita

1306410244
1306406606

DEPARTEMEN ILMU KOMUNIKASI
FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK
UNIVERSITAS INDONESIA

1

A. Metode Polling dan Televisi
Pengumpulan pendapat atau jajak pendapat yang biasa disebut dengan istilah polling,

merupakan teknik penelitian untuk mengukur pendapat umum. Bagaimana polling melihat
persepsi masyarakat tentang suatu masalah yang dikemukakan oleh penyelenggara polling
(Haryoseno, 2011)1. Cara mengekspresikan pendapat umum sebenarnya bermacam-macam.
Sebelum polling lahir, peradaban manusia menggunakan teknik orasi, kerumunan, petisi, ruang
diskusi, gerakan revolusi, pemogokan, pemilihan umum, straw poll atau pemungutan suara tak
resmi, dan surat kabar.
Menjadi penting dalam melaksanakan polling untuk penggunaan prinsip-prinsip ilmiah,
sesuai dengan metode penelitian sosial. Sebab, polling menerapkan prinsip probabilitas untuk
penarikan sampel dimana pengukuran dapat dilakukan dengan hanya melibatkan sedikit orang
atau bukan dari keseluruhan jumlah populasi. Hasil polling kerap menjadi bahan yang
digeneralisasikan sebagai representasi suara mayoritas. Pemilihan sampel dilakukan melalui
teknik sampling, sehingga tiap anggota populasi mempunyai peluang yang sama untuk dipilih
atau tidak dipilih sebagai responden polling.
Menurut Gallup World Poll2, polling memberikan kita gambaran atas proporsi populasi
yang memiliki sudut pandang spesifik. Polling menjadi alat ukur yang memberikan informasi
bagaimana persepsi dan pendapat sebuah populasi terhadap sebuah topik. Namun, polling tidak
dapat menjelaskan mengapa para responden percaya pada isu yang ada, atau alasan mengapa
responden mengubah pandangannya akan suatu isu. Jika informasi yang diinginkan lebih
dalam, metode yang digunakan adalah melalui riset ilmiah dengan bantuan akademisi. Metode
polling yang dilakukan umumnya melalui telepon, wawancara tatap muka, e-mail, sms, dan

survei daring. Dalam konteks media penyiaran di Indonesia, polling seringkali dilakukan dalam
acara-acara televisi. Mulai dari acara berita hingga acara dengan genre hiburan. Jenis polling
yang paling marak dilakukan adalah polling melalui sms berupa dukungan dalam acara televisi
ajang pencarian bakat.
Menurut Sudibyo (2004)3, polling adalah metodologi penelitian yang menuntut
kecermatan yang tinggi karena berurusan langsung dengan pengukuran opini publik. Akan

1

Haryoseno, Ricky. 2011. Layanan Pengumpulan Pendapat (Polling) Berbasis Dual Tone Multi Frekuensi.
Universitas Diponegoro.
2
http://media.gallup.com/muslimwestfacts/PDF/PollingAndHowToUseItR1drevENG.pdf
3
Sudibyo, Agus. 2004. Ekonomi Politik Media Penyiaran. Yogyakarta: LKIS.

2

menyesatkan jika hasil polling digunakan untuk melakukan klaim seakan-akan mewakili suara
seluruh masyarakat, seperti apa yang terjadi di televisi-televisi saat ini. Hasil polling kerap

disajikan dengan komentar dari para ahli mengenai suatu isu di acara-acara televisi. Hal
tersebut menjadi kritik bagi polling yang dilakukan oleh media penyiaran, maupun lembagalembaga polling swasta yang disiarkan melalui acara televisi.
Sudibyo (2004) juga menyebutkan mengenai empat prinsip dasar polling yang
dilakukan oleh televisi. Pertama, populasi dan sampel dalam polling harus jelas. Pihak yang
menyelenggarakan polling harus memetakan masyarakat yang ingin diteliti sebagai populasi,
serta bagian masyarakat yang dipilih sebagai sampel. Kedua adalah pernyataan bahwa setiap
anggota dari masyarakat atau populasi memiliki kesempatan yang sama untuk menjadi
responden. Ketiga, dalam polling televisi kerap dijumpai pertanyaan yang cenderung
tendensius. Sehingga khalayak cenderung tergiring untuk memberikan dukungan. Padahal,
pertanyaan-pertanyaan dalam polling harus menunjukkan independensi khalayak yang
memberikan pendapatnya. Terakhir, hasil sementara polling kerap ditampilkan dan dibahas
oleh presenter acara televisi secara langsung. Responden yang belum memberikan suaranya
dapat terpengaruh oleh hal ini. Kemungkinan besar mereka yang belum memberikan suaranya
akan tergiring untuk mengikuti suara mayoritas.
Gallup World Poll pun menuliskan bahwa saat media penyiaran seperti televisi
meminta khalayaknya untuk melakukan telepon interaktif maupun mengirimkan sms berupa
dukungan, aktivitas tersebut bukan merupakan polling ilmiah karena tidak dianggap
representatif. Sampel yang diambil hanya merefleksikan khalayak yang kebetulan sedang
menonton acara televisi tersebut, dan khalayak yang termotivasi untuk ikut serta dalam polling.
Polling seperti ini yang banyak ditemukan dalam sejumlah acara-acara hiburan, tidak dapat

digeneralisir untuk merepresentasikan keseluruhan populasi karena respondennya tidak
diseleksi menggunakan metode sampling. Maka tidak dapat dikatakan sebagai representasi
pendapat publik.

B. Fenomena Kontes Pencarian Bakat di Televisi Indonesia
Hingga saat ini, kita masih dapat menemukan berbagai jenis program televisi dengan
tema atau nuansa ajang kontes pencarian bakat. Perkembangnya berawal pada salah satu
program fenomenal yakni Akademi Fantasi Indosiar (AFI) yang disiarkan oleh salah satu
stasiun televisi nasional Indonesia di sekitar tahun 2003. AFI itu sendiri sesungguhnya
3

merupakan suatu ajang pencarian bakat yang diadaptasi dari acara yang berjudul La Academia
di Meksiko. Menariknya, AFI merupakan program pencarian bakat pertama di Indonesia yang
mampu menarik banyak perhatian pemirsanya dan merupakan pelopor bagi munculnya
berbagai jenis ajang pencarian bakat lainnya di Indonesia.
Kesuksesan yang diperoleh AFI ini pula yang kemudian memunculkan program
Indonesian Idol pada tahun 2004 yang disiarkan oleh RCTI. Indonesian Idol pun menampilkan
program di bidang tarik suara, sama seperti AFI. Eksistensi Indonesian Idol pun masih terus
bertahan hingga saat ini. Seolah tidak mau kalah dengan AFI dan Indonesian Idol, adapun
MNC TV yang juga membuat program serupa bernama Kontes Dangdut Indonesia (KDI) pada

tahun 2004. Hanya saja, kali ini yang membedakan KDI dengan dua ajang pencarian bakat
sebelumnya terletak pada pengangkatan tema yang diambil, yakni musik dangdut. Hingga
tahun 2010, KDI pun berhasil menjadi kontes dangdut terbesar di Indonesia.
Hingga saat ini pun, berbagai jenis ajang pencarian bakat terus mewarnai wajah
pertelevisian Indonesia. Berbagai jenis program ajang kontes di bidang tarik suara terus
bermunculan, seperti Dangdut Akademi atau D’Academy, X Factor Indonesia, dan Voice of
Indonesia. Bahkan perkembangannya semakin meningkat melihat bahwa ajang yang diadakan
tidak hanya di bidang tarik suara, namun juga mulai merambah ke bidang komedi, kompetisi
sulap, memasak, dan menari. Beberapa program tersebut antara lain: Akademi Pelawak
Indonesia (API), Stand Up Comedy, The Next Mentalist, Indonesia Got Talent, dan Master
Chef Indonesia.
Ajang pencarian bakat yang disiarkan di televisi memang merupakan salah satu
program yang menarik dan mengundang perhatian penonton. Melihat fenomena menjamurnya
berbagai jenis ajang pencarian bakat di berbagai jenis stasiun televisi nasional yang ada di
Indonesia pula yang semakin memperlihatkan bagaimana program ini mampu merebut hati
masyarakat. Bahkan banyak yang rela meluangkan wakutnya untuk sekedar menonton siapa
yang akan tereleminasi di setiap episodenya. Tidak sedikit pula masyarakat yang mau
menyisihkan pulsa handphone dalam upaya untuk memberi dukungan melalui polling SMS.
Bahkan banyak yang secara sukarela juga datang ke studio dan menonton secara langsung acara
ajang pencarian bakat. Berbagai upaya yang dilakukan pun semata-mata sebagai bentuk

dukungan terhadap idola yang menjadi favorit.
Biasanya, dalam setiap acara pencarian bakat akan terdapat juri yang menilai setiap
penampilan dari peserta ajang tersebut. Namun kemudian di setiap akhir penampilan para
4

peserta akan dilanjutkan oleh pembawa acara yang mengajak partisipasi khalayak untuk
mendukung kontestan dalam bentuk SMS premium dan polling telepon. Tidak hanya itu,
ajakan ini pun selalu disertai dengan pengulangan kata-kata ajakan yang dilakukan oleh setiap
peserta untuk mau mendukung agar tidak tereliminasi. Pada mekanisme ini pula yang juga
sekaligus memberikan kesempatan bagi khalayak untuk memberikan pendapat atau penilaian
terhadap siapa yang di rasa layak dan tidak layak untuk tampil di minggu berikutnya.
Dapat disimpulkan bahwa pemenang ajang kontes biasanya adalah mereka yang
mendapat dukungan terbanyak melalui mekanisme polling tersebut. Dan mereka yang gugur
adalah mereka yang dianggap tidak memiliki kemampuan dalam menarik perhatian masyarakat
untuk mendukung mereka agar tidak tereliminasi. Hal ini pula yang diakui oleh salah seorang
peserta The Voice of Indonesia yang meminta dukungan warga setempat agar mampu bertahan
dalam ajang kompetisi tersebut. Dirinya menaruh harapan yang besar terhadap warga
Pekanbaru, daerah tempat ia berasal, untuk dapat melaju menjadi pemenang karena semuanya
tergantung dari polling SMS4.


C. Kontes Pencarian Bakat di Televisi Indonesia dan Sistem Polling
Ajang kontes pencarian bakat merupakan suatu program yang menarik dan seharusnya
mampu menjadi wadah yang positif bagi media massa penyiaran, seperti televisi, untuk
menemukan bakat atau talenta yang ada pada generasi Indonesia. Menjadi penting ketika media
yang menjadi mediumnya sehingga penyebaran dapat bersifat masif dan dapat menghibur.
Seperti pada perhelatan Bintang Radio Indonesia dan ASEAN 2015 yang merupakan sebuah
ajang diselenggarakan sebagai bentuk komitmen untuk menciptakan penyanyi muda
berkualitas5. Festival ini pun bertujuan untuk menciptakan penyanyi radio yang tidak hanya
pandai bernyanyi, namun juga mampu menghibur dengan kualitas suara yang juga luar biasa.
Menjadi unik dan positif ketika ajang ini justru murni mengutamakan pada unsur kemampuan.
Berbeda pada ajang bakat di berbagai stasiun televisi pada umunya, pada perhelatan ini
pemilihan pemenang tidak dilakukan melalui polling SMS ataupun bentuk lainnya. Sehingga
sang juara ialah mereka yang memang memiliki kualitas vokal yang terbaik.

4
5

http://www.antaranews.com/berita/558540/peserta-the-voice-asal-pekanbaru-minta-dukungan
http://www.koran-sindo.com/news.php?r=0&n=1&date=2015-11-29


5

Antusiasme masyarakat terhadap ajang ini pun terbilang cukup besar, terbukti dengan
angka pendaftaran yang mencapai 7000 orang peserta dari Sabang hingga Merauke. Selain itu
menjadi menarik pula ketika ajang pencarian bakat berdasarkan kemampuan dan kualitas ini
telah dirintis oleh Radio Republik Indonesia (RRI) sejak lama dan berhasil mencetak berbagai
jenis penyanyi legendaris seperti Titiek Puspa, Bing Slamet, Hetty Koes Endang, dan Rafika
Duri6. Tidak hanya itu, RRI pun berjanji akan mengirimkan pemenang pertama bintang Radio
Indonesia ini untuk kemudian kembali berlomba di ajang Internasional ABU Radio Song
Festival yang diselenggarakan pada 2016 di Korea Selatan.
Tentunya hal serupa tidak akan kita temukan pada ajang kontes pencarian bakat yang
ada di pertelevisian Indonesia. Berbeda dengan ajang kontes yang dirintis oleh RRI dimana
acara tidak dibuat secara episodik setiap minggunya dan juga tidak tayang secara fenomenal di
berbagai media pada umumnya seperti di televisi. Program-program ajang pencarian bakat
seperti Indonesian Idol, D’Academy, atau The Voice of Indonesia merupakan ajang yang masih
dipertanyakan kemurnian tujuan program dalam pencarian bakat. Akan menjadi sangat berbeda
ketika kita melihat contoh acara yang disebutkan sebelumnya, ketika para pemenang memang
secara adil dinilai berdasarkan atas kemampuan mereka masing-masing.
Sementara yang banyak terjadi pada ajang kontes pencarian bakat di televisi pada
umumnya lebih menekankan pada mekanisme polling yang mengandung banyak bias. Dimana

penilaian yang diberikan oleh penonton dapat bersifat sangat subjektif berdasarkan preferensi
khalayaknya masing-masing. Semua dapat menilai, tanpa melihat latar belakang, usia, dan
kemampuan. Bahkan mereka yang memberikan penilaian dalam bentuk polling pun belum
tentu paham betul dalam menilai kemampuan suara mana yang layak untuk bertahan dan yang
mana yang tidak.
Poin penting lainnya terletak pada transparansi data hasil polling SMS dan polling
telepon. Khalayak tidak pernah mengetahui berapa jumlah total SMS atau telepon dukungan
yang telah diterima. Kita hanya diperlihatkan siapa yang tereliminasi pada minggu ini, atau
biasanya dua kontenstan yang berada pada posisi tidak aman. Tidak aman artinya mereka
memperoleh hasil polling yang terendah. Lalu ada pula istilah wild card atau hak veto yang
merujuk pada bentuk penyelamatan salah satu peserta yang terancam tereliminasi. Disini
barulah juri memiliki otoritas dalam memberikan kesempatan terhadap konsestan dengan
polling terendah untuk tampil di kesempatan berikutnya. Disinilah menjadi isu ketika justru
6

Idem

6

program acara tersebut telah melakukan bentuk kecurangan terhadap hasil polling. Pilihan juri

kemudian yang pada akhirnya menjadi penentu sehingga mengabaikan dukungan SMS dan
telepon berdasarkan polling tadi. Menjadi sia-sia ketika penonton telah memberikan dukungan
ke dalam bentuk polling namun kemudian tidak ada kontestan yang pulang atau bahkan yang
pulang justru bukan mereka yang berada di posisi terendah karena terselamatkan oleh para juri.
Menjadi isu yang penting karena hal ini menyangkut sebuah kebohongan publik dimana
tidak ada bentuk transparansi yang jelas. Tanpa dipungkiri, jumlah SMS dan telepon yang
dikapitalisasi dalam nominal pulsa ini telah menjadi keuntungan tersendiri bagi setiap stasiun
televisi penyelenggaranya. Khalayak kemudian seolah-olah telah ditenggelamkan dalam
dukungan palsu, tanpa kesadaran bahwa hilang sejumlah uang dalam bentuk pulsa. Kondisi ini
pula yang kemudian semakin membuktikan pernyataan

D. Ekonomi Politik dalam Acara Televisi Kontes Pencarian Bakat
Arianto (2011)7 dalam jurnalnya mengemukakan bahwa konsep ekonomi politik
dipengaruhi oleh pemikiran Marxis tentang ekonomi, yang membahas sebuah proses dan cara
basis (base) ekonomi masyarakat menjadi penentu struktur sehingga berpengaruh pada ruang
budaya dan politik masyarakat, tenaga kerja, pembagian kerja, kepemilikan, mode produksi,
serta struktur kelas dan perjuangan. Sedangkan Mosco (1996)8 berpendapat bahwa ekonomi
politik merupakan sebuah studi hubungan sosial, khususnya hubungan kekuasaan, yang
meliputi produksi, distribusi, dan konsumsi sumber daya. Hal ini mencakup sumber daya
komunikasi.

Dimmick dan Rothenbuhler dalam Agung (2011)9 mengemukakan bahwa ada tiga
sumber kehidupan bagi media. Pertama, content atau isi yang disajikan media. Contohnyai
program acara televisi dengan format berita maupun format hiburan. Kedua adalah capital,
yang berhubungan dengan sumber dana atau modal bagi media untuk menjalankan
manajemennya. Ketiga adalah audience atau khalayak, yang menjadi segmen yang dituju oleh
media. Tiga sumber tersebut kemudian menjadi pertimbangan bagi media untuk membuat

7
8
9

Arianto. 2011. Ekonomi Politik Lembaga Media Komunikasi.
Mosco, Vincent. 1996. The Political Economy of Communication. London: Sage Publication.
Agung, Machyudin. 2011. Ekonomi Politik Media Televisi Swasta Nasional.

7

kebijakan atau langkah strategis dalam manajemennya. Termasuk dalam pembuatan program
acara yang menguntungkan.

E. Komersialisasi Acara Televisi Kontes Pencarian Bakat
Adorno dan Horkheimer (1993)10 dalam The Culture Industry menjelaskan bahwa
produksi produk budaya kini menyamai produksi yang dilakukan di pabrik-pabrik untuk
memproduksi mobil, menghasilkan produk-produk yang identik satu sama lain berdasarkan
sebuah kesepakatan mengenai yang mana yang paling menguntungkan secara ekonomi.
Adorno dalam Reksa (2015)11, berpendapat bahwa industri budaya mengakibatkan perubahan
dalam karakter seni. Budaya dalam konteks industri budaya, didefinisikan sebagai komoditas
yang melunturkan nilai-nilai seni. Budaya dikomodifikasi oleh industri karena industri ingin
mendapatkan keuntungan besar. Akan berbeda nilai keuntungan yang didapatkan jika budaya
diperlakukan sebagai sebagai hal kritis dan ekspresi kebebasan manusia. Adorno melihat
dikomodifikasi dari yang tadinya merupakan budaya tinggi, menjadi budaya rendah atau low
culture. Akibatnya, nilai-nilai artistik seni direduksi sehingga menjadi komersial.

Dalam industri budaya, produksi budaya mengalami perubahan dari nilai guna menjadi
nilai tukar. Produksi budaya hanya memiliki nilai sejauh komoditas teserbut dapat ditukarkan.
Individu dilihat tidak berdaya menghadapi kekuatan ekonomi. Manusia bukan lagi dipandang
sebagai subjek, tetapi kemudian dieksploitasi, kadang tanpa kesadaran, sebagai objek yang
digunakan untuk mencapai tujuan para pemilik modal. Kondisi ini membuat pemilik modal
lebih banyak diuntungkan dibandingkan masyarakat yang ditargetkan menjadi konsumen.
Konsep industri budaya yang dituliskan Adorno dan Horkheimer, berkaitan dengan
industri media massa sebagai medium produk-produk seni. Baik di radio, televisi, sinema atau
layar lebar, maupun portal-portal berita internet. Tidak dipungkiri bahwa industri di bidang
seni melalui media massa dipandang sebagai usaha yang mendatangkan keuntungan. Ditinjau
dari fenomena maraknya ajang pencarian bakat di televisi Indonesia dan sistem polling SMS
maupun telepon yang digunakan untuk mendapatkan keuntungan, menggunakan mekanisme
polling yang mengandung banyak bias. Dimana penilaian yang diberikan oleh penonton dapat

Ador o, TW da Horkhei er, M 1993, ―The Culture I dustry: E lighte e t as Mass Deceptio ‖ dala
Adorno, TW dan Horkheimer, M, Dialectic of Enlightenment, New York, Continuum
11
Reksa, Abdul Fikri Angga. 2015. Tinjauan Buku Kritik Terhadap Modernitas: Dialectic of Enlightment.
Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia.
10

8

bersifat sangat subjektif berdasarkan preferensi khalayaknya masing-masing. Semua dapat
menilai, tanpa melihat latar belakang, usia, dan kemampuan. Bahkan mereka yang memberikan
penilaian dalam bentuk polling pun belum tentu paham betul dalam menilai kemampuan atau
bakat yang layak untuk bertahan dan yang mana yang tidak. Acara televisi berupa kontes
pencarian bakat kerap dikomersialisasi untuk keuntungan rating dan pendapatan statiun televisi
melalui pulsa yang dibayarkan oleh khalayak lewat polling SMS.
Terkait hal tersebut, menjadi sebuah kritik bagi acara televise berupa kontes pencarian
bakat yang merupakan bagian dari industri budaya yang bersifat komersil. Menurut Sudibyo
(2004), memang polling di acara televisi Indonesia kerap menggunakan batasan populasi dan
sampel yang umumnya tidak jelas. Presenter televisi kerap menyebutkan hasil polling sebagai
representasi dari keseluruhan suara masyarakat, tanpa menjelaskan masyarakat mana yang
dimaksud. Polling televisi juga dianggap tidak representatif, dan alasannya bukan karena
metodologi yang tidak akurat. Namun, dilatarbelakangi alasan bahwa penyelenggara polling
atau polster tidak menyatakan bahwa polling yang diselenggarakan merupakan gambaran dari
suara publik yang terbatas. Dengan terang-terangan melalui presenter dan komentator di
televisi, hasil polling di klaim sebagai opini publik secara umum dan dijadikan acuan sebagai
apa yang dikehendaki oleh masyarakat. Padahal masyarakat butuh transparansi data, dan
dengan adanya transparansi seharusnya dapat bersifat kritis dalam memberikan dukungan
maupun pendapatnya dalam polling. Namun yang terjadi, khalayak televisi yang menonton
kontes pencarian bakat hanya semakin terjerat dalam kesadaran palsu.

F. Kontes Pencarian Bakat di Televisi dan Kesadaran Palsu
Melalui kasus dalam ajang pencarian bakat yang ada di Indonesia, kita dapat melihat
bentuk nyata bagaimana pada akhirnya industri budaya juga mampu menciptakan kesadaran
palsu bagi khalayaknya. Konsep industri budaya itu sendiri merupakan kondisi ketika manusia
dilihat sebagai massa dan modal dalam upaya akumulasi kekayaan terhadap mereka yang
ekonomi paling kuat. Manusia pun pada akhirnya dijadikan objek modal dalam bentuk
konsumen. Tanpa disadari, mereka para pemilik modal, dalam hal ini ialah industri budaya
menghegemoni sudut pandang masyarakat terhadap budaya untuk mengonsumsi kenikmatan
semu. Terlihat nyata akan bagimana para penonton di setiap ajang pencarian bakat yang secara
sukarela memberikan dukungannya dalam bentuk polling SMS dengan mengorbankan
pulsanya.
9

Tebukti bagaimana kemudian penonton secara tidak langsung dan tanpa disadari telah
dipaksa untuk berpartisipasi aktif dalam mengikuti produk budaya massa, dalam konteks
bahasan tulisan ini yakni program ajang pencarian bakat di televisi. Sebagai imbalannya, para
penonton kemudian akan mendapatkan rasa kepuasan serta kebanggan apabila melihat
kontestan favorit mereka berhasil bertahan hingga menang menjadi juara. Menurut Adorno
dalam Reksa (2015)12, saat itulah penonton tanpa disadari telah mengalami euforia semu dan
kesadaran palsu. Mereka dijebak dan dikurung dalam lingkaran pemujaan sehingga mereka
menjadi pasif, lemah, dan rentan terhadap manipulasi dan eksploitasi.
Hal ini juga didasari pada asumsi bahwa masyarakat sebagai konsumen industri budaya
mendapat pengaruh yang sering kali berada di luar nalarnya. Khalayak atau penonton
menikmati suatu produk budaya sebagai representasi kehidupan nyata, dimana mereka dapat
turut merasakan emosi dan empati yang sama sehingga masyarakat sebagai penonton akan
kehilangan nalar kritisnya. Banyak penonton yang kemudian terjebak dalam fanatisme yang
berlebihan terhadap kontestan favorit mereka yang juga dibangun oleh budaya industri.
Sehingga menjadi tidak mengherankan apabila kemudian mereka menjadi secara sukarela mau
menyisihkan uang untuk mendukung kontestan favorit mereka ke dalam bentuk polling SMS
tanpa mempertanyakan transparansi di dalamnya.
Masyarakat kemudian tidak sadar bahwa para pemilik modal, yakni mereka di stasiun
televisi, sedang secara halus memperoleh keuntungan dengan mengkapitalisasi hasrat dan
memanfaatkan partisipasi publik melalui polling SMS dalam kontes pencarian bakat. Sasaran
mereka ialah kesenangan dan bentuk aktualisasi diri yang kemudian terlihat seolah-oah
terwujud dalam dukungan SMS atau polling.

G. Kesimpulan

12

Idem.

10

Melihat bagaimana industri budaya mengkomodifikasi produk budaya di media massa
seperti kontes pencariaan bakat di televise Indonesia, memperlihatkan bagaimana media pada
dasarnya mengekploitasi khalayak untuk mendapatkan keuntungan. Salah satunya
menggunakan polling SMS maupun telepon, yang sebenarnya bersifat komersil dan hanya
menempatkan khalayak sebagai objek, dan menjeratnya dalam kesadaran palsu. Hal inilah yang
diutarakan oleh McQuail (2005)13, bahwa sebagian besar media didirikan dengan motif
ekonomi yang bertujuan untuk memenuhi kebutuhan media itu sendiri dan bukan kepentingan
publik. Program ajang pencarian bakat di televisi Indonesia, melalui polling, hanya bersifat
profit oriented yang menguntungkan pihak pemilik modal itu sendiri.

Sejauh mana media menghargai metode polling dengan akurasi dalam prosesnya serta
transparansi data setelah hasil polling selesai, menjadi sebuah gambaran untuk melihat
hubungan antara media massa dan pendapat publik. Menurut Sudibyo (2004), transparansi
dalam penyiaran hasil polling dapat menjadi tolak ukur sejauh mana media menghargai opini
publik dan menjaga ruang publik untuk tidak dikotori dengan bias dan klaim-klaim sepihak,
dengan tujuan politik tertentu. Tanpa terbawa arus bias dan tendensius, masyarakat sebagai
khalayak media dapat secara aktif menggunakan haknya untuk bersuara melalui polling secara
independen.

13

McQuail, Denis. 2005. McQuail’s Mass Co

u icatio Theory. SAGE.

11

Referensi
Haryoseno, Ricky. 2011. Layanan Pengumpulan Pendapat (Polling) Berbasis Dual Tone Multi
Frekuensi. Universitas Diponegoro.

Arianto. 2011. Ekonomi Politik Lembaga Media Komunikasi.
Mosco, Vincent. 1996. The Political Economy of Communication. London: Sage Publication.
Agung, Machyudin. 2011. Ekonomi Politik Media Televisi Swasta Nasional.
Adorno, TW dan Horkheimer, M. 1993. The Culture Industry: Enlightenment as Mass
Deception dalam Adorno, TW dan Horkheimer, M, Dialectic of Enlightenment, New York,
Continuum.
Reksa, Abdul Fikri Angga. 2015. Tinjauan Buku Kritik Terhadap Modernitas: Dialectic of
Enlightment. Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia.

Sudibyo, Agus. 2004. Ekonomi Politik Media Penyiaran. Yogyakarta: LKIS.
McQuail, Denis. 2005. McQuail’s Mass Communication Theory. SAGE.
http://media.gallup.com/muslimwestfacts/PDF/PollingAndHowToUseItR1drevENG.pdf
http://www.antaranews.com/berita/558540/peserta-the-voice-asal-pekanbaru-minta-dukungan
http://www.koran-sindo.com/news.php?r=0&n=1&date=2015-11-29
http://www.mediadangdut.com/2921/dila-karawang-yang-terhenti-di-babak-10-besardacademy-3.html
http://klikseru.com/7-ajang-pencarian-bakat-terkeren-di-indonesia-mana-favoritmu/
https://www.academia.edu/11192310/Fenomena_Popularitas_Ajang_Pencarian_Bakat_Pertel
evisian_Indonesia
http://sumsel.tribunnews.com/2015/08/23/suporter-antusias-dukung-peserta-grand-finalaudisi-bintang-radio
http://www.rri.co.id/post/berita/84969/budaya/94_kontestan_ikuti_pemilihan_bintang_radio_
tingkat_ntt_di_kupang.html
12