Meneliti Kehidupan Sosial Budaya Masyarakat Etnis TiongHoa di Wilayah Pecinan ( Social Problem: Prasangka, dan Diskriminasi ) Makalah Disusun untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah Sistem Sosial Budaya Indonesia yang Diampu Oleh Suyatmi Dra, MS Oleh : Bayu Seti

  

Meneliti Kehidupan Sosial Budaya Masyarakat Etnis TiongHoa

di Wilayah Pecinan

  ( Social Problem: Prasangka, dan Diskriminasi )

  

Makalah

  Disusun untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah Sistem Sosial Budaya Indonesia yang

  Diampu Oleh Suyatmi Dra, MS Oleh :

  Bayu Setia Nugroho D0311014

  Sosiologi

  

Program Studi S1 Sosiologi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik

Universitas Sebelas Maret

Surakarta

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pecinan dan klenteng merupakan dua hal yang tidak dapat dipisahkan dalam

  kehidupan masyarakat Cina di Indonesia. Pecinan merupakan sebutan untuk kawasan pemukiman masyarakat Cina dengan ciri khas budaya dan tradisi yang masih asli dari negara asal mereka. Klenteng merupakan tempat peribadatan dan pemujaan dewa-dewi dalam kepercayaan atau agama Tri Dharma (Tao-Konfusius- Budha). Selain sebagai tempat peribadatan, klenteng juga berfungsi sebagai media ekspresi untuk menampilkan eksistensi budaya Cina. Jadi secara umum dapat dikatakan bahwa, pada awal masa pembentukan kawasan Pecinan sampai saat ini, identitas sekaligus sebagai citra atau ciri-ciri dari kawasan Pecinan ini adalah terdapatnya klenteng-klenteng yang berada diwilayah tersebut.

  Dan tehadap masyarakat Tionghoa sendiri masyarakat pribumi asli memiliki beragam sikap dan persepsi terhadap etnis tersebut. Kemudian dari persepsi tersebut dapat mnimbulkan prasangka yang hasil akhirnya dapt menimbulkan berbagai dampak baik negativ ataupun positif.

  Kemudian kawasan Pecinan Karena terdapat beragam keunikan yang dapat dijumpai dalam berbagai aspek, baik aspek sosial, budaya, agama, dan ekonomi yang ada di kawasan Pecinan inilah, kemudian dari hal tersebut maka penulis tertarik untuk mengambil judul “ Meneliti Kehidupan Sosial Budaya Masyarakat Etnis Tiong Hoa di Wilayah Pecinan “ dan lebih menekankan terhadap berbagai aspek yang mampu menimbulkan permalahan sosial, yang diharapkan dapat

  B. Perumusan Masalah

  1. Apa saja berbagai bentuk permasalahan sosial yang dapat dijumpai di kawasan Pecinan ?

  2. Apa saja dampak yang dapat timbul dari permasalahan sosial tersebut?

  C. Tujuan Penulisan Makalah

  Tujuan dari penulisan makalah ini antara lain :

  1. Untuk mengetahui berbagai bentuk permasalahan sosial yang ada di kawasan Pecinan.

  2. Serta untuk mengetahui berbagai dampak kemungkinan yang dapat timbul dari permasalahan sosial tersebut.

D. Manfaat Penulisan Makalah

  1. Manfaat Teoritik Memberikan informasi tentang adanya kawasan Pecinan serta mengetahui berbagai bentuk kehidupan sosial dan budaya di dalamnya yang mampu menghasilkan permasalahan sosial.

  2. Manfaat Aplikatif

  a. Meningkatkan pengetahuan masyarakat tentang permasalahan sosial yang ada dikawasan Pecinan.

  b. Memberikan wawasan kepada masyarakat tentang berbagai pola perilaku sosial masyarakat Tiong hoa di kawasan Pecinan.

  c. Memberikan kajian terhadap masyarakat tentang berbagai dampak yang dapat timbul dari permasalahan sosial tersebut.

BAB II LANDASAN TEORI A. Tinjauan Pustaka

1. Kehidupan

  Kehidupan merupakan ciri yang paling membedakan antara objek yang memiliki isyarat dan proses penopang diri (organisme hidup) dengan objek yang tidak memilikinya (organisme mati), baik karena fungsi-fungsi tersebut telah mati ataupun memang tidak ada.

  Organisme yang hidup mengalami metabolisme, mempertahankan homeostatis, memiliki kapasitas untuk tumbu, menanggapi rangsangan, bereproduksi, dan mampu melalui seleksi alam, atau dapat dikatakan mampu untuk beradaptasidengan lingkungan mereka dari generasi ke generasi berikutnya secara berturut-turut. Organisme hidup yang lebih kompleks dapat berkomunikasi melalui berbagai cara. Sebua susunan beragam dari organisme hidup dapat ditemukan di biosfer di bumi, dan sifat umum dari organisme ini adalah bentuk sel berbasis karbon dan air, dengan organisasi kompleks dan informasi genetik yang dapat diwariskan.

  Dalam filsafat agama, konsepsi kehidupan beserta sifatnya sangat bervariasi. Keduanya menawarkan interpretasi mengenai bagaimana kehidupan berkaitan dengan keberadaan dan kesadaran, dan keduanya menyentuh isu-isu

  Jadi dapat disimpulkan bahwa kehidupan merupakan sebua konsep luas dari setiap aktifitas ataupun kegiatan makluk hidup sehari-hari dan kegiatan tersebut berlangsung secara terus-menerus, dalam waktu lama dan dapat diteruskan dari generasi satu ke generasi berikutnya.

2. Sosial

  Istilah kata sosial (social) dalam ilmu sosial memiliki banyak arti yang berbeda-beda, menurut Soerjono Soekanto istilah ‘sosial’ lebih menunjuk kepada objeknya yaitu masyarakat. Selain itu beliau juga mengemukakan bahwa ‘sosial’ juga dapat berkenaan dengan perilaku dalam diri seorang individu yang meliputi proses-proses sosial. Sedangkan pada Departemen Sosial, ‘sosial’ berarti kegiatatn-kegiatan yang ditujukan untuk mengatasi permasalahan dalam masyarakat. Kemudian secara keilmuan, jika masyarakat yang menjadi objek kajian ilmu-ilmu sosial, dapat dilihat sebagai sesuatu yang terdiri dari berbagai segi. Yaitu dari segi ekonomi yang akan berhubungan mengenai proses produksi, distibusi, dan konsumsi. Dari segi politik, sosial lebi berhubungan dengan penggunaan kekuasaan dalam masyarakat. Kemudian dari segi antropologi budaya, maka akan menekankan sosial sebagai sesuatu yang ada pada masyarakat yang nantinya kana menciptakan sebuah kebudayaan, begitu seterusnya untuk ilmu-ilmu sosial lainnya, seperti geografi sosial, sejarah maupun pada sosiologi sendiri. Berikut merupakan definisi sosial dari beberapa ahli, antaralain :

  a. Lewis, Sosial merupakan sesuatu yang telah dicapai, dihasilkan dan ditetapkan dalam interaksi sehari-hari antara warga negara dan pemerintahnya.

  b. Keith Jacobs, Sosial adalah sesuatu yang dibangun dan terjadi c. Engin Fahri I., Sosial adalah sebuah inti dari bagaimana para individu berhubungan walaupun masih juga diperdebatkan tentang pola berhubungan para individu tersebut.

  d. Philip Whexler, Sosial adalah sifat dasar dari setiap individu . Kemudian menurut Penulis sendiri sosial dapat diartikan sebagai segala sesuatu yang berkaitan dengan sistem hidup bersama atau hidup barmasyarakat dari orang ataupun sekelompok orang yang didalamnya sudah tercakup struktur, organisasi, nilai-nilai sosial, dan aspirasi atau tujuan hidup serta cara untuk mencapainya.

3. Budaya

  Budaya atau kebudayaan berasal dari bahasa Sansekerta yaitu

  buddhayah, yang merupakan bentuk jamak dari buddhi (budi atau akal) diartikan sebagai hal-hal yang berkaitan dengan budi dan akal manusia.

  Dalam bahasa Inggris, kebudayaan disebut culture, yang berasal dari kata Latin Colere, yang berarti mengolah atau mengerjakan. Kata culture kadang dalam bahasa Indonesia diterjemahkan sebagai ‘kultur’.

  Budaya merupakan cara hidup yang berkembang dan dimiliki bersama oleh sebuah kelompok orang dan diwariskan dari generasi ke generasi. Budaya terbentuk dari banyak unsur rumit, termasuk sisterm agama, politik, adat istiadat, bahasa, perkakas, pakaian, bangunan, dan karya seni.

  Bahasa sebagaimana sebagai wujud budaya, merupakan bagian yang tak terpisahkan dari diri manusia sehingga cenderung banyak yang menganggap budaya merupakan warisan secara genetis. Ketika seseorang berusaha berkomunikasi dengan orang yang berbeda budaya dan menyesuaikan perbedaan-perbedaannya, membuktikan bahwa budaya tersebut dipelajari. komunikatif. Unsur-unsur sosio-budaya ini tersebar dan meliputi banyak kegiatan sosial manusia.

  Komponen utama penyusun kebudayaan :

  a. Kebudayaan Material, yaitu segala sesuatu yang mengacu pada semua ciptaan manusia yang konkret.

  b. Kebudayaan Nonmaterial, yaitu ciptaan-ciptaan abstrak yang diwarisi dari generasi ke generasi.

  Tingakatan-tingkatan Kebudayaan :

  a. Tingkat Formal, budaya merupakan sebuah tradisi atau kebiasaan yang dilakukan dalam sebuah masyarakat secara turun-temurun dari satu geneerasi ke generasi berikutnya.

  b. Tingkat Informal, pada tingkatan ini budaya banyak diteruskan oleh suatu masyarakat dari generasi ke generasi berikutnya melalui apa yang didengar, dilihat, dipakai, dan dilakukan yang tanpa diketahui alasannya mengapa hal tersebut dilakukan.

  c. Tingkat Teknis, pada tingkatan teknis ini, bukti-bukti dan aturan- aturan tentang budaya tersebut merupakan hal yang paling penting.

  Sehingga terdapat penjelasan logis mengapa sesuatu tersebut harus dilakukan dan yang lainnya tidak boleh untuk dilakukan.

4. Masyarakat

  Sebagai mahkluk cipaan Tuhan yang paling mulia, manusia telah dikaruniai Akal dan Pikiran kita pun paham bahwa hal tersebut menjadi pembeda diantara manusia dengan mahkluk ciptaan lainnya. Manusia memiliki 3 aspek pokok yang diberikan oleh Sang Pencipta, aspek tersebut antara lain : Manusia dikatakan sebagai mahkluk individu atau mahkluk biologis ini dikarenakan manusia selalu ingin memenuhi kebutuhan hidupnya, kebutuhan tersebut berupa kebutuhan jasmani dan kebutuhan rohani yang masing-masing harus dipenuhi oleh tiap-tiap individu. (Needy Creatures, menurut Epicurus) 2.Manusia sebagai mahkluk budaya.

  Dikatakan manusia sebagai mahkluk yang berbudaya karena manusia telah dianugerahi akal dan pikiran, dan secara terus-menerus akal dan pikiran manusia tersebut mampu berkembang untuk menciptakan sesuatu yang akhirnya nanti dinamakan Budaya.

  3.Manusia sebagai mahkluk sosial.

  Berawal dari manusia sebagai mahkluk individu yang perlu untuk memenuhi kebutuhan hidupnya, maka manusia tersebut bergabung kedalam sebuah Masyarakat. Didalam masyarakat inilah manusia mampu memenuhi kebutuhannya hingga mencapai kemakmuran, dan secara tidak langsung manusia juga akan memenuhi kebutuhan selain kebutuhan jasmaninya tadi seperti kebutuhan untuk saling menolong, saling mencintai,saling menginformasikan suatu, yang kebutuhan tersebut memang secara kodrati akan muncul sendiri dalam diri manusia. Atau secara garis besarnya yang berarti manusia ingin berinteraksi dengan sekitarnya, atau manusia adalah mahkluk sosial. (Zoon-Politicon, menurut Aristoteles)

  Selanjutnya setelah mengenai konsep awal tentang aspek-aspek yang ada dalam diri manusia, yang pada akhirnya akan bergabung kedalam sebuah Masyarakat, dan Masyarakat itu sendiri dapat diartikan sebagai kesatuan hidup manusia yang berinteraksi sesuai dengan sistem adat-istiadat tertentu yang

5. Tionghoa

  Suku bangsa Biasanya mereka menyebut dirinya dengan istilah Tenglang Dalam bahasa

  唐人, "orang Tang"). Hal ini sesuai dengan kenyataan bahwa orang Tionghoa-Indonesia mayoritas berasal dari Cina selatan yang menyebut diri mereka sebagai orang Tang, sementara orang Cina utara menyebut diri mereka sebagai orang (Hanzi:

  漢 人 , hanren, "orang Han").

  Leluhur orang Tionghoa-Indonesia berimigrasi secara bergelombang sejak ribuan tahun yang lalu melalui kegiatan perniagaan. Peran mereka beberapa kali muncul dalam bahkan sebelum Republik Indonesia dideklarasikan dan terbentuk. Catatan-catatan dari Cina menyatakan bahwa kerajaan-kerajaan kuno di telah berhubungan erat dengan dinasti-dinasti yang berkuasa di Faktor inilah yang kemudian menyuburkan perdagangan dan lalu lintas barang maupun manusia dari Cina ke Nusantara dan sebaliknya.

  Setelah negara Indonesia merdeka, orang Tionghoa yang berkewarganegaraan Indonesia digolongkan sebagai salah satu suku dalam lingkup nasional Indonesia, sesuai Pasal 2 UU Nomor 12 Tahun 2006 tentang Kewarganegaraan Republik Indonesia. Tionghoa atau tionghwa, adalah istilah kata zhonghua dalam Zhonghua dalam dialek Hokkian dilafalkan sebagai Tionghoa.Wacana Cung Hwa setidaknya sudah dimulai sejak tahun 1880, yaitu adanya keinginan dari orang-orang di Cina untuk terbebas dari kekuasaan dinasti kerajaan dan membentuk suatu negara yang lebih demokratis dan kuat. Wacana ini sampai terdengar oleh orang asal Cina yang bermukim di yang ketika itu dinamakan Orang

  

Cina.Sekelompok orang asal Cina yang anak-anaknya lahir di Hindia Belanda,

  merasa perlu mempelajari kebudayaan dan bahasanya. Pada tahun mereka mendirikan sekolah di Hindia Belanda, di bawah naungan suatu badan yang dinamakan yang bila lafalnya diindonesiakan menjadi Tiong Hoa Hwe Kwan (THHK). THHK dalam perjalanannya bukan saja memberikan pendidikan bahasa dan kebudayaan Cina, tapi juga menumbuhkan rasa persatuan orang-orang Tionghoa di Hindia Belanda, seiring dengan perubahan istilah "Cina" menjadi Hindia Belanda.

  Berdasarkan Volkstelling di masa Hindia Belanda, populasi Tionghoa-Indonesia mencapai 1.233.000 (2,03%) dari penduduk Indonesia di tahun 1930. Tidak ada data resmi mengenai jumlah populasi Tionghoa di Indonesia dikeluarkan pemerintah sejak Indonesia merdeka. Namun ahli antropologi Amerika, G.W. Skinner, dalam risetnya pernah memperkirakan populasi masyarakat Tionghoa di Indonesia mencapai 2.505.000 (2,5%) pada tahun 1961.

  Dalam pada tahun 2000, ketika untuk pertama kalinya responden sensus ditanyai mengenai asal etnis mereka, hanya 1% dari jumlah keseluruhan populasi Indonesia mengaku sebagai Tionghoa. Perkiraan kasar yang dipercaya mengenai jumlah suku Tionghoa-Indonesia saat ini ialah berada di antara kisaran 4% - 5% dari seluruh jumlah populasi Indonesia. Pecinan atau Kampung Cina (atau Chinatown dalam merujuk kepada sebuah wilayah kota yang mayoritas penghuninya adalah orang Pecinan banyak terdapat di kota-kota besar di berbagai negara di mana orang Tionghoa merantau dan kemudian menetap seperti di

  

Pecinan pada

dasarnya terbentuk karena 2 faktor yaitu faktor politik dan faktor sosial.

  a. Faktor politik berupa peraturan pemerintah lokal yang mengharuskan masyarakat Tionghoa dikonsentrasikan di wilayah- wilayah tertentu supaya lebih mudah diatur karena pemerintah kolonial melakukan segregasi berdasarkan latar belakang rasial. Di waktu-waktu tertentu, malah diperlukan izin masuk atau keluar dari pecinan semisal di pecinan Batavia.

  b. Faktor sosial berupa keinginan sendiri masyarakat Tionghoa untuk hidup berkelompok karena adanya perasaan aman dan dapat saling bantu-membantu. Ini sering dikaitkan dengan sifat ekslusif orang Tionghoa, namun sebenarnya sifat ekslusif ada pada etnis dan bangsa apapun, semisal adanya kampung Madras/ Indonesia; kampung Prasangka dan diskriminasi merupakan dua hal yang saling memiliki relevansi. Kedua tindakan tersebut dapat merugikan pertumbuhan, perkembangan, dan bahkan integrasi dalam masyarakat. Dari peristiwa kecil yang menyangkut antara individu, individu terhadap kelompok, hingga mencapai kelompok dengan kelompok yang disertai dengan tindakan kekerasan dan destruktif yang merugikan.

  Prasangka memiliki dasar pribadi, yang setiap orang memilikinya. Sejak manusia masih kecil, unsur sikap bermusuhan mulai nampak. Melalui proses belajar dan semakin besarnya manusia, cenderung timbul untuk membeda-bedakan. Perbedaan yang secara sosial dilaksanakan antara lembaga atau kelompok dapat menyebabkan prasangka. Kerugiannya prasangka melalui hubungan pribadi akan menjalar, bahkan melembaga (turun-temurun) sehingga tidak mengherankan jika prasangka ada pada mereka yang cara berpikirnya sederhana dan masyarakat tergolong cendekiawan, sarjana, pemimpin, atau negarawan. Jadi prasangka dasarnya pribadi dan dimiliki bersama. Oleh karena itu perlu mendapatkan perhatian dengan seksama mengingat bangsa Indonesia terdiri dari berbagai suku bangsa dan masyarakat multietnik.

  

PEMBAHASAN

A. Pengantar

  Indonesia merupakan negara sebagai muara persinggahan beragam bangsa atau etnis yang ada di dunia, seperti Arab, India, China, dan lainnya. Karena munculnya bangsa-bangsa baru tersebut maka mengahadirkan kebudayaan yang dibawa dari negara mereka masing-masing. Kemudian dari kehadiran budaya tersebut masyarakat Indonesia juga akan melakukan beberapa perombakan dalam bidang sosial ataupun budaya.

  Kemudian dari makalah ini Penulis memaparkan lebih rinci tentang pencampuran aspek-aspek tersebut, terkhusus pada etnis Tionghoa yang berdiam bercampur bersama dengan masyarakat Pribumi dalam wilayah Pecinan. Dari pencampuran tersebut mampu menghasilkan sebuah integrasi yang mengarah pada sisi positif ataupun disintegrasi yang condong kearah negativ. Dapat kita lihat bahwa telah terjadi beberapa bentrokan rasial yang menghubungkan perbedaan ras sebagai penyebab utamanya.

  Sebelum mempelajari lebih dalam tentang kasus rasial tersebut Penulis ingin menjelaskan tentang beberapa peranan bangsa Tionghoa yang berdiam di Indonesia. Pada Orde Lama, terdapat beberapa menteri dari keturunan Tionghoa seperti dll. Bahkan Oei

  

Pada masa ini hubungan Ir. Soekarno dengan beberapa tokoh dari

  kalangan Tionghoa dapat dikatakan sangat baik. Walau pada Orde Lama terdapat beberapa kebijakan politik yang diskriminatif seperti Peraturan Pemerintah No. 10 tahun 1959 yang melarang WNA Tionghoa untuk berdagang eceran di daerah di luar ibukota provinsi dan kabupaten. Hal ini menimbulkan dampak yang luas terhadap distribusi barang dan pada akhirnya menjadi salah satu sebab keterpurukan ekonomi menjelang tahun 1965 dan lainnya.

  Selama Orde Baru dilakukan penerapan ketentuan tentang atau yang lebih populer disebut SBKRI, yang utamanya ditujukan kepada warga negara Indonesia (WNI) etnis Tionghoa beserta keturunan-keturunannya. Walaupun ketentuan ini bersifat administratif, secara esensi penerapan SBKRI sama artinya dengan upaya yang menempatkan WNI Tionghoa pada posisi status hukum WNI yang "masih dipertanyakan". Pada Orde Baru Warga keturunan juga dilarang berekspresi. Sejak tahun 1967, warga keturunan dianggap sebagai warga negara asing di Indonesia dan kedudukannya berada di bawah warga pribumi, yang secara tidak langsung juga menghapus hak-hak asasi mereka. Kesenian barongsai secara terbuka, perayaan hari raya Imlek, dan pemakaian dilarang, meski kemudian hal ini diperjuangkan oleh komunitas terutama dari komunitas pengobatan Tionghoa tradisional karena pelarangan sama sekali akan berdampak pada resep obat yang mereka buat yang hanya bisa ditulis dengan bahasa Mandarin. Mereka pergi hingga ke Mahkamah Agung dan akhirnya Jaksa Agung Indonesia waktu itu memberi izin dengan catatan bahwa Tionghoa Indonesia berjanji tidak menghimpun kekuatan untuk memberontak dan menggulingkan pemerintahan Indonesia.

  Satu-satunya surat kabar berbahasa Mandarin yang diizinkan terbit adalah Harian Indonesia yang sebagian artikelnya ditulis dalam bahasa Indonesia. Harian ini beberapa orang Tionghoa Indonesia bekerja juga di sana. Agama tradisional Tionghoa dilarang. Akibatnya agamahilangan pengakuan pemerintah.

  Pemerintah Orde Baru berdalih bahwa warga Tionghoa yang populasinya ketika itu mencapai kurang lebih 5 juta dari keseluruhan rakyat Indonesia dikhawatirkan akan menyebarkan pengaruh komunisme di Tanah Air. Padahal, kenyataan berkata bahwa kebanyakan dari mereka berprofesi sebagai pedagang, yang tentu bertolak belakang dengan apa yang diajarkan oleh komunisme, yang sangat mengharamkan perdagangan dilakukan.Orang Tionghoa dijauhkan dari kehidupan politik praktis. Sebagian lagi memilih untuk menghindari dunia politik karena khawatir akan keselamatan dirinya.Pada masa akhir dari Orde Baru, terdapat peristiwa kerusuhan rasial yang merupakan peristiwa terkelam bagi masyarakat Indonesia terutama warga Tionghoa karena kerusuhan tersebut menyebabkan jatuhnya banyak korban bahkan banyak di antara mereka mengalami pelecehan seksual, penjarahan, kekerasan, dan lainnya.

  Walau belum 100% perubahan tersebut terjadi, namun hal ini sudah menunjukkan adanya tren perubahan pandangan pemerintah dan warga pribumi terhadap masyarakat Tionghoa. Bila pada masa Orde Baru aksara, budaya, ataupun atraksi Tionghoa dilarang dipertontonkan di depan publik, saat ini telah menjadi pemandangan umum hal tersebut dilakukan. Di ataupun memajang aksara Tionghoa di toko atau rumahnya. Selain itu, pada Pemilu 2004 lalu, kandidat presiden dan wakil presiden menggunakan aksara Tionghoa dalam selebaran kampanyenya untuk menarik minat warga Tionghoa.

B. Peran Etnis Tionghoa Terhadap Indonesia

  Beberapa peran yang telah dilakukan oleh etnis Tionghoa terhadap Indonesia antaralain, didirikannya sekolah-sekolah Tionghoa oleh organisasi Tiong Hoa Hwee Koan (THHK) sejak 1900, mendorong berkembangnya pers dan Tionghoa. Maka dalam waktu 70 tahun telah dihasilkan sekitar 3000 buku, suatu prestasi yang luar biasa bila dibandingkan dengan sastra yang dihasilkan oleh angkatan angkatan 45, 66 dan pasca 66 yang tidak seproduktif itu. Dengan demikian komunitas ini telah berjasa dalam membentuk satu awal perkembangan bahasa Indonesia.Sumbangsih warga Tionghoa Indonesia juga terlihat dalam koranahun 1928.

  Nama memang sangat jarang didengar oleh masyarakat merupakan seorang warga Tionghoa yang menyewakan rumahnya bagi para pemuda dalam menyelenggarakan Sumpah Pemuda. Hanya sedikit catatan mengenai Sie Kok Liong, seiring dengan tumbuhnya sekolah-sekolah pada awal abad ke-20 di Jakarta tumbuh pula pondokan-pondokan pelajar untuk menampung mereka yang tidak tertampung di asrama sekolah atau untuk mereka yang ingin hidup lebih bebas di luar asrama yang ketat. Salah satu di antara pondokan pelajar itu adalah Gedung Kramat 106 milik Di Gedung Kramat 106 inilah sejumlah pemuda pergerakan dan pelajar sering berkumpul. Gedung itu, selain menjadi tempat tinggal dan sering digunakan sebagai tempat latihan kesenian Langen Siswo juga sering dipakai untuk tempat diskusi tentang politik para pemuda dan pelajar. Terlebih lagi setelah Perhimpunan Pelajar PPPI dan kantor redaksi majalah Indonesia Raya yang diterbitkan oleh PPPI, berbagai organisasi pemuda sering menggunakan gedung ini sebagai tempat kongres. Bahkan pada 1928 Gedung Kramat 106 jadi salah satu tempat penyelenggaraan Kongres Pemuda II tanggal 27 - 28 Oktober 1928.

  yang kini menjadi salah satu universitas terkenal di Indonesia juga merupakan salah satu sumbangsih warga Tionghoa di Indonesia. Pada tahun 1958, universitas ini didirikan oleh para petinggi yang kebanyakan keturunan Tionghoa salah satunya yaitu pada tahun 1962 oleh Presiden nama universitas ini diganti menjadi Universitas Res Publika hingga 1965, dan sejak Orde Baru, universitas ini beralih nama menjadi Universitas Trisakti hingga sekarang.

  Di Medan dikenal kedermawanan rasa hormatnya terhadap Rumah peninggalan Tjong A Fie sampai sekarang masih ada di kota Medan walaupun bangunannya terlihat tidak terurus lagi.

  Di sangat diandalkan pemerintah daerah setempat sebagai daya tarik wisata daerah dimana setiap tahunnya menyedot puluhan ribu kunjungan wisatawan baik dalam maupun luar negeri.Saat ini di Pembangunan taman ini direncanakan akan selesai sebelum tahun 2012 dengan biaya kurang lebih 50 milyar rupiah.

C. Kerusuhan Rasial yang Menimpa Etnis Tionghoa di Indonesia

  Kerusuhan-kerusuhan yang menimpa etnis Tionghoa antara lain pembunuhan massal di Jawa 1946-1948, peristiwa rasialis 10 Mei 1963 di Bandung, 5 Agustus 1973 di Jakarta, Malari 1974 di Jakarta, Kerusuhan Mei 1998 di beberapa kota besar seperti Jakarta, Medan, Bandung, Solo ,dll. serta berbagai kerusuhan rasial lainnya. Beberapa contoh kerusuhan rasial yang terjadi yaitu :

  Bandung, 10 Mei 1963

  Kerusuhan anti suku peranakan Tionghoa terbesar di Jawa Barat. Awalnya, terjadi keributan di kampus Institut Teknologi Bandung antara mahasiswa pribumi dan non-pribumi. Keributan berubah menjadi kerusuhan yang menjalar ke mana- mana, bahkan ke kota-kota lain seperti Yogyakarta, Malang, Surabaya, dan Medan.

  Pekalongan, 31 Desember 1972 Terjadi keributan antara orang-orang Arab dan peranakan Tionghoa.

  Awalnya, perkelahian yang berujung terbunuhnya seorang pemuda Tionghoa. Keributan terjadi saat acara pemakaman.

  Palu, 27 Juni 1973

  Sekelompok pemuda menghancurkan toko Tionghoa. Kerusuhan muncul karena pemilik toko itu memakai kertas yang bertuliskan huruf Arab sebagai pembungkus dagangan.

  Bandung, 5 Agustus 1973

  perkelahian. Kebetulan penumpang mobil orang-orang Tionghoa. Akhirnya, kerusuhan meledak di mana-mana.

  Ujungpandang, April 1980

  Suharti, seorang pembantu rumah-tangga meninggal mendadak. Kemudian beredar desas-desus: Ia mati karena dianiaya majikannya seorang Tionghoa. Kerusuhan rasial meledak. Ratusan rumah dan toko milik suku peranakan Tionghoa dirusak.

  Medan, 12 April 1980

  Sekelompok mahasiswa USU bersepeda motor keliling kota, sambil memekikkan teriakan anti suku peranakan Tionghoa. Kerusuhan itu bermula dari perkelahian.

  Solo, 20 November 1980

  Kerusuhan melanda kota Solo dan merembet ke kota-kota lain di Jawa Tengah. Bermula dari perkelahian pelajar Sekolah Guru Olahraga, antara Pipit Supriyadi dan Kicak, seorang pemuda suku peranakan TiongHoa. Perkelahian itu berubah menjadi perusakan dan pembakaran toko-toko milik orang-orang TiongHoa.

  Surabaya, September 1986

  Pembantu rumah tangga dianiaya oleh majikannya suku peranakan TiongHoa. Kejadian itu memancing kemarahan masyarakat Surabaya. Mereka melempari mobil dan toko-toko milik orang-orang TiongHoa.

  Pekalongan, 24 November 1995

  Yoe Sing Yung, pedagang kelontong, menyobek kitab suci Alquran. Akibat ulah penderita gangguan jiwa itu, masyarakat marah dan menghancurkan toko-toko milik orang-orang Tiong Hoa.

  Bandung, 14 Januari 1996

  Massa mengamuk seusai pertunjukan musik Iwan Fals. Mereka melempari toko-toko milik orang-orang TiongHoa. Pemicunya, mereka kecewa tak bisa masuk pertunjukan karena tak punya karcis.

  Rengasdengklok, 30 Januari 1997

  Mula-mula ada seorang suku peranakan Tiong Hoa yang merasa terganggu suara beduk Subuh. Percekcokan terjadi. Masyarakat mengamuk, menghancurkan rumah dan toko TiongHoa.

  Ujungpandang, 15 September 1997

  Benny Karre, seorang keturunan Tiong Hoa dan pengidap penyakit jiwa, membacok seorang anak pribumi, kerusuhan meledak, toko-toko TiongHoa dibakar dan dihancurkan.

  Februari 1998

  Salah satu contoh kerusuhan rasial yang paling dikenang masyarakat Tionghoa Indonesia yaitu Kerusuhan Mei 1998.

  Pada kerusuhan ini banyak toko-toko dan perusahaan-perusahaan dihancurkan oleh amuk massa — terutama milik warga Indonesia keturunan Tionghoa. Konsentrasi kerusuhan terbesar terjadi di Jakarta, Bandung, dan Solo. Terdapat ratusan wanita keturunan Tionghoa yang diperkosa dan mengalami pelecehan seksual dalam kerusuhan tersebut. Sebagian bahkan diperkosa beramai-ramai, dianiaya secara sadis, kemudian dibunuh. Dalam kerusuhan tersebut, banyak warga Indonesia keturunan Tionghoa yang terbunuh, terluka, mengalami pelecehan seksual, penderitaan fisik dan batin serta banyak warga keturunan Tionghoa yang meninggalkan Indonesia.

  Sampai bertahun-tahun berikutnya Pemerintah Indonesia belum mengambil tindakan apapun terhadap nama-nama besar yang dianggap provokator kerusuhan Mei 1998. Bahkan pemerintah mengeluarkan pernyataan berkontradiksi dengan fakta yang sebenarnya yang terjadi dengan mengatakan sama sekali tidak ada pemerkosaan massal terhadap wanita keturunan Tionghoa disebabkan tidak ada bukti-bukti konkret tentang pemerkosaan tersebut.

  Sebab dan alasan kerusuhan ini masih banyak diliputi ketidakjelasan dan kontroversi sampai hari ini. Namun demikian umumnya orang setuju bahwa peristiwa ini merupakan sebuah lembaran hitam sejarah Indonesia, sementara beberapa pihak, terutama pihak Tionghoa, berpendapat ini merupakan tindakan pembasmian orang- orang tersebut.

  Medan, 5-8 Mei 1998

  Belawan, Pulobrayan, Lubuk-Pakam, Perbaungan, Tebing-Tinggi, Pematang- Siantar, Tanjungmorawa, Pantailabu, Galang, Pagarmerbau, Beringin, Batangkuis, Percut Sei Tuan: Ketidakpuasan politik yang berkembang jadi anti Tionghoa.

  Jakarta, 13-14 Mei 1998

  Kemarahan massa akibat penembakan mahasiswa Universitas Trisakti yang dikembangkan oleh kelompok politik tertentu jadi kerusuhan anti Cina. Peristiwa ini merupakan persitiwa anti Cina paling besar sepanjang sejarah Republik Indonesia. Sejumlah perempuan keturunan Tionghoa diperkosa.

  Solo, 14 Mei 1998

  Ketidakpuasan politik yang kemudian digerakkan oleh kelompok politik tertentu menjadi kerusuhan anti Tionghua.

  

PENUTUP

A. Kesimpulan

  Dari Pembahasan Makalah dengan judul “Meneliti Kehidupan Sosial Budaya Masyarakat Etnis Tiong Hoa di Wilayah Pecinan”, maka didapat kesimpulan :

  1. Kehidupan terdiri dari berbagai aspek atau bidang yang mengisinya, antara lain adalah aspek Sosial dan Budaya.

  2. Dalam sebuah masyarakat terjadi perubahan atau perombakan yang disebabkan karena semakin berkembangnya paradigma manusia.

  3. Indonesia merupakan negara yang multi ras, terdapat beragam ras yang ada didalamnya sehingga menyulitkan dalam memadukan segala pemikiran tentang segala aspek, yang pada akhirnya nanti mampu memberikan berbagai dampak terhadap diri masyarakat sendiri.

  4. Etnis Tionghoa merupakan suku pendatang yang paling banyak dijumpai Di Indonesia, mereka hidup bersama dengan masyarakat Pribumi dalam kawasan Pecinan.

  5. Etnis Tionghoa mampu berperan positif terhadap Indonesia, baik dalam aspek sosial, ekonomi, dan pendidikan.

  6. Beberapa prasangka dan diskriminasi antara individu dalam masyarakat memulai beberapa kerusuhan rasial yang begitu merugikan pada etnis Tionghoa ataupun pemerintahan.

  Pada masa-masa ini hendaklah lebih bijaksana untuk menghindari prasangka buruk terhadap perbedaan, menghilangkan sikap diskriminasi antar kelompok untuk menciptakan Negara Kesatuan Republik Indonesia yang kuat dengan beragam kekayaan yang terpadu didalamnya, bersatu dalam keBhinekaan.

DAFTAR PUSTAKA

  Allport, Godon W., The Nature of Prejudice, Doubleday Anchor Books, Garden City, New York, 1958

  Gerungan, W.A.,Psykologi Sosial, cetakan V, PT Eresco, Bandung-Jakarta, 1980 Harsya W, Bachtiar, “Bhineka Tunggal Ika dalam Kebudayaan dan Masalah

  Kesatuan Bangsa Indonesia”, Analisis Kebudayaan, Tahun I No. 1, Dept. P dan K, 1980

  Saeful Hadi, “ Integrasi Nasional di Indonesia” pada Penataran MKDU Ilmu Sosial Dasar Universitas Padjajaran, 1980 http: www.tiongoa–indonesia.com