Peran komisis yudisial dalam reformasi peradilan di Indonesia menurut hukum Islam

(1)

PERAN KOMISI YUDISIAL DALAM REFORMASI PERADILAN DI INDONESIA MENURUT HUKUM ISLAM

Skripsi

Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Syariah (S.Sy)

Disusun Oleh:

Tsuaibatul Aliah (107045202136)

JURUSAN SIASAH S

AR’IYAH

FAKULTAS SYARI’AH DAN HUKUM

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI

SYARIF HIDAYATULLAH

JAKARTA


(2)

MENURUT HUKUM ISLAM

Skripsi

Di ajukan kepada Fakultas Syariah dan Hukum Untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh

Gelar Sarjana Syari‟ah (S.Sy) Oleh :

Tsuaibatul Aliah NIM : 107045202136

Di bawah Bimbingan

Pembimbing I Pembimbing II

Dr. Asmawi, M.Ag. Dedy Nursamsi, SH, M.Hum.

NIP. 197210101997031008 NIP. 196111011993031002

KONSENTRASI SIYASAH SIYASYAH PROGRAM STUDI JINAYAH SIYASYAH

FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA


(3)

Skripsi berjudul PERAN KOMISI YUDISIAL DALAM REFORMASI PERADILAN DI INDONESIA MENURUT HUKUM ISLAM telah diujikan dalam Sidang Munaqasyah Fakultas Syari‟ah dan Hukum Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta pada 20 September 2011. Skripsi ini telah diterima sebagai salah satu syarat memperoleh gelar Sarjana Syari‟ah (S.Sy) pada Program Studi Siyasah Syar‟iyyah.

Jakarta, 20 September 2011 Mengesahkan

Dekan Fakultas Syari‟ah dan Hukum

Prof. DR. H. Muhammad Amin Suma, SH, MA, MM NIP. 195505051982031012

PANITIA UJIAN

1. Ketua : Dr. Asmawi, M. Ag NIP. 197210101997031008

2. Sekretaris : Afwan Faizin, M. Ag

NIP. 197210262003121001

3. Pembimbing I : Dr. Asmawi, M. Ag NIP. 197210101997031008

4. Pembimbing II : Dedy Nursamsi, SH, M.Hum NIP. 196111011993031002

5. Penguji I : Prof. Dr. H. Masykuri Abdillah NIP. 195812221989031001

6. Penguji II : Afwan Faizin, M. Ag


(4)

Dengan ini saya menyatakan bahwa:

1. Skripsi ini merupakan hasil karya asli saya yang diajukan untuk memenuhi salah satu persyaratan untuk memperoleh gelar Strata 1 di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.

2. Semua sumber yang saya gunakan dalam penulisan ini telah saya cantumkan sesuai dengan ketentuan yang berlaku di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta. 3. Jika dikemudian hari terbukti bahwa karya ini bukan hasil karya asli saya atau merupakan

hasil jiplakan dari karya orang lain, maka saya bersedia menerima sanksi yang berlaku di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.

Jakarta, 20 September 2011


(5)

i

Alhamdulillah puji dan syukur senantiasa penulis panjatkan kepada ALLAH SWT. Yang telah melimpahkan rahmat dan karunianya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini, shalawat dan salam semoga selalu tercurahkan kepada Rasulullah SAW. Serta keluarganya dan sahabatnya serta kepada kita semua seluruh umatnya, mudah-mudahan kita semua mendapatkan syafa‟at beliau dihari akhir nanti. Amin.

Salah satu syarat untuk menyelesaikan studi untuk mencapai Gelar Sarjana Starata Satu (S1) di perguruan tinggi termaksud di Universitas Islam Negeri “Syarif Hidayatullah” Jakarta adalah membuat karya ilmiah dalam bentuk skripsi. Dalam rangka itu penulis membuat skripsi dengan judul: PERAN KOMISI YUDISIAL DALAM REFORMASI PERADILAN DI INDONESIA MENURUT HUKUM ISLAM.

Dalam penulisan skripsi ini, tidak sedikit kesulitan dan hambatan yang penulis hadapi. Namun syukur Alhamdulillah berkat Rahmat dan hidayah Nya, kesungguhan dan kerja keras disertai dukungan dan bantuan dari pihak baik langsung maupun tidak langsung, segala kesulitan serta hambatan dapat diatasi dengan sebaik-baiknya yang pada akhirnya skripsi ini dapat diselesaikan.

Oleh sebab itu pada kesempatan kali ini penulis akan mengucapkan terima kasih yang sedalam-dalamnya kepada yth :


(6)

ii

1. Bapak Prof. Dr. H. Muhammad Amin Suma, SH. MA. MM. Dekan Fakultas Syari‟ah dan Hukum Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.

2. Bapak Dr. Asmawi, M. Ag, dan Bapak Afwan Faizin, MA. Selaku Ketua Program Studi dan Sekertaris Program Studi Jinayah Siyasah Fakultas Syari‟ah dan Hukum Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.

3. Bapak Dr. Asmawi, M. Ag, dan Bapak Dedy Nursyamsi, SH, M. Hum. Selaku Dosen Pembimbing yang telah banyak memberikan inspirasi, saran dan arahannya dalam membimbing peulis untuk dapat menyelesaikan skripsi ini.

4. Teristimewa ucapan terima kasih ini dihanturkan untuk kedua orang tuaku; Ayahanda H. Akhmad Kabir dan Mamahanda Hj. Mukhlisatul. Ulum. Yang tak henti-hentinya selalu memberikan dukungan moril, dan do‟anya.

5. Adik-adik, Om, Tante, dan Tunanganku. Yang selalu memberikan dukungan dan do‟anya.

6. Bapak Nur Habibi Ilya‟ SHI, Mh. Yang selalu memberikan masukkan, saran, dan bimbingannya dalam penulisan skripsi ini.

7. Bapak/Ibu pimpinan Perpustakaan Fakultas Syari‟ah dan Hukum Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, yang telah memberikan kesempatan dan fasilitasnya kepada penulis untuk menunjang penelitian dalam mengadakan studi perpustakaan. 8. Bapak/Ibu pimpinan Perpustakaan Nasional, dan Perpustakaan Komisi Yudisial. Yang

telah memberikan kesempatan dan fasilitasnya kepada penulis untuk menunjang penelitian dalam mengadakan studi perpustakaan.


(7)

iii

9. Bapak Agus sektor 4 (empat) dan Ibu Wati Seksi Humas di Komisi Yudisial. Yang telah memberikan kesempatan waktu untuk bisa wawancara dalam penambahan data skripsi penulis.

10.Untuk sahabat-sahabatku di kostan maupun di Luar, Ratna, Ulfa, Ta‟a, Ade, Dewi, Bela, Uli, Martha, Fiqih, Syifa, Lela, Windy. Yang selalu memberi saran dan dorongannya yang baik moril maupun intelektualitas dalam menunjang skripsi.

11.Untuk Teman-teman seperjuangan di Siyasah Syar‟iyyah (SS) Angkatan 2007 yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu. Yang banyak sekali saran dan dorongan yang diberikan baik moril maupun intelektualitas dalam menunjang skripsi.

Semoga amal dan kebaikan mereka senantiasa mendapatkan balasan rahmat dari Allah S.W.T. Dengan segala kerendahan hati, penulis menyadari bahwa skripsi ini masih jauh dari sempurna, baik dari segi pembahasan persoalan yang ada maupun dipenyajian materi. Oleh karena itu penulis mengharapkan segala kritik dan saran yang membangun untuk perbaikan skripsi ini. Akhirnya harapan penulis tidak lain adalah agar skripsi ini dapat bermanfaat bagi penulis khususnya dan pembaca umumnya.

Jakarta, 20 September 2011

Penulis,


(8)

iv

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ... i

DAFTAR ISI ... iv

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah ... 1

B. Perumusan dan Pembatasan Masalah ... 7

C. Tujuan dan Manfaat Penalitian ... 8

D. Tinjauan Pustaka ... 8

E. Metode Penelitian ... 10

F. Sistematika Penulisan ... 11

BAB II PERADILAN DALAM ISLAM A. Sejarah Peradilan Islam ... 13

B. Fungsi Peradilan Islam ... 28

C. Tugas dan Kewenangan Lembaga Peradilan dalam Islam ... 31

D. Konsep Pengawasan Hakim dalam Peradilan Islam ... 32

BAB III KOMISI YUDISIAL DALAM REFORMASI PERADILAN DI INDONESIA A. Reformasi Peradilan di Indonesia... 35

B. Pembentukan Komisi Yudisial ... 41

C. Pelembagaan Komisi Yudisial di Indonesia ... 50


(9)

v

BAB IV ANALISA HUKUM ISLAM TENTANG PERAN KOMISI YUDISIAL DALAM REFORMASI PERADILAN

A. Analisa Hukum Islam Terhadap Reformasi Peradilan ... 64 B. Analisa Hukum Islam Terhadap Komisi Yudisial ... 77 C. Menerangkan hubungan antara rumusan Undang-undang Nomor 22

Tahun 2004 dan Ketatanegaraan Islam... 83

BAB V PENUTUP

A. Kesimpulan ... 95 B. Saran ... 96

DAFTAR PUSTAKA ... 98


(10)

Universitas Islam Negeri


(11)

1

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Undang-Undang Dasar Republik Indonesia Tahun 1945 menegaskan, bahwa Negara Kesatuan Republik Indonesia adalah Negara hukum. Kaidah ini mengandung makna, bahwa hukum di Negara Indonesia ditempatkan pada posisi strategis di dalam konstelasi ketatanegaraan. Suatu konsekuensi logis bahwa Negara Kesatuan Republik Indonesia sebagai Negara hukum adalah terjaminnya kekuasaan kehakiman yang merdeka untuk menjalankan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan berdasarkan Undang-Undang Dasar Republik Indonesia Tahun 1945.

Upaya kearah independensi kekuasaan kehakiman tersebut dilakukan dengan cara : (1) penataan ulang perundang-undangan yang berlaku; (2) mengadakan penataan ulang lembaga yudisial; dan (3) meningkatkan kualifikasi hakim. Reformasi di bidang hukum yang terjadi sejak tahun 1998 tersebut pada akhirnya telah dilembagakan melalui pranata perubahan UUD 1945. Disamping perubahan yang menyangkut kelembagaan penyelenggaraan kekuasaan-kekuasaan kehakiman, amandemen UUD 1945 telah mengintroduksi pula suatu lembaga Negara baru yang berkaitan dengan penyelenggaraan kekuasaan kehakiman yang disebut Komisi Yudisial (selanjutnya disebut KY).1

1

Titik Triwulan Tutik, Eksistensi, Kedudukan dan Wewenang Komisi Yudisial Sebagai Lembaga Negara dalam Sistem Ketatanegaraan Republik Indonesia Pasca Amandemen UUD 1945, (Jakarta: Prestasi Pustaka Publisher, 2007), Cet. Pertama, hlm. 3-5.


(12)

Salah satu amanat reformasi adalah amandemen terhadap UUD 1945 yang sudah demikian rapuh dan tidak lagi mampu menjawab semua persoalan masyarakat. Dan tuntutan itu termanifestasi dengan amandemen UUD 1945 sebanyak empat kali yang ternyata telah mengubah secara serius dan substansial ketatanegaraan Indonesia. Mafia berjalan beriringan dengan rusaknya moral sebagia besar hakim yang ternyata telah meretakkan sendi perekonomian bangsa Indonesia. Kita hidup di abad para maling yang bersekongkol dengan para hakim yang tidak memiliki komitmen moral sedikitpun untuk memberantas seluruh kejahatan di negeri ini. Pascareformasi, kerusakan moral para pejabat Negara berbarengan dengan kerusakan moral para hakim yang menjual hukum dengan transaksi ynag semakin “gila” di pengadilan.mafia peradian adalah bentuk dari resistensi moral yang semakin retak, hati yang semakin beku dan kepedulian yang semakin meragukan dari sebagian aparatur hukum kita.

Akibat dari pintalan-pintalan persoalan yang seperti inilah yang menyebabkan Komisi Yudisial harus ada dan “wajib” diberi kewenangan yang besar untuk mengontrol prilaku hakim yang nakal dan suka memanipulasi kebenaran. Kewenangan-kewenangan yang dimiliki oleh Komisi ini harus merepresentasikan sebagai lembaga yang merevitalisasi dan mengembalikan keborokan moral para hakim yang terlalu jauh melanggar etik hukum dan mencederai makna kebebasan dan otonomi moral yang dimilikinya. Komisi Yudisial adalah penjaga sekaligus pemegang urat nadi moral hakim supaya tidak nakal, dan hakim itu bukan hanya hakim dalam lingkungan pengadilan tinggi dan pengadilan negeri, sebagaimana keputusan Mahkamah Konstitusi yang menyebut bahwa Hakim Konstitusi dan Hakim Agung


(13)

bukanlah hakim sebagaimana yang disebutkan dalam UUD, tetapi juga adalah Hakim Konstitusi dan Hakim Agung.

Komisi Yudisial muncul adalah untuk menjaga otonomi moral hakim, mendorong progresivitas keputusan dari aparat hukum. Aparat hukum diharapkan untuk menjaga moral para hakim ini, karena hakim dianggap telah terlalu jauh melanggar etika dan moral individunya. Karena kode etik hakim tidak mampu mengontrol dan mereduksi rusaknya moral hakim, maka Komisi Yudisial harus menjadi tembok untuk menjaga moral hakim tersebut.2

Pembaharuan peraturan perundang-undangan di bidang peradilan merupakan salah satu langkah yang perlu ditempuh untuk membangun kembali lembaga peradilan Indonesia. langkah dan upaya penting yang lain dalam rangka menyinergikan reformasi peradilan di Indonesia adalah dengan pembentukan sebuah lembaga yang bernama Komisi Yudisial melalui Perubahan Ketiga Undang Dasar 1945 (Pasal 24B) dan Pengesahan Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2004 tentang Komisi Yudisial.3

Dalam konteks inilah, UUD1945 Pasal 24B pada satu sisi memberikan amanat pada Komisi Yudisial, sebagai komisi yang diberi mandat melakukan seleksi calon hakim agung dan mengawasi jalannya proses penegakan hukum yang selalu menimbulkan persoalan dalam pelaksanaannya.

Transformasi dan reformasi peradilan dengan segala dampak positif dan konstruktifnya bagi penciptaan peradilan yang jujur, bersih, transparan dan akuntabel, merupakan prasyarat

2

Fajlurrahman, Jurdi, Komisi Yudisial dari Delegitimasi hingga Revitalisasi Moral Hakim, (Jakarta: PUKAP, 2007), Cet. Pertama, hlm. 29,105-108.

3

Sirajuddin dan Zulkarnain, Komisi Yudisial dan Eksaminasi Publik Menuju Peradilan yang Bersih dan Berwibawa, (Bandung: PT Citra Aditya Bakti, 2006), Cet. Pertama, hlm. 70-71.


(14)

tegaknya hukum diatas kepatuhan atas nilai-nilai agama, etika, dan moral. Hanya dengan peradilan yang seperti ini – yang ini menjadi agenda besar Komisi Yudisial sekarang dan kedepan- maka korupsi dan illegal logging serta pelanggaran hukum HAM berat akan dapat diproses melalui peradilan dengan dimulai dari proses penyelidikan, penyidikan, dakwaan, tuntutan hingga putusan yang bernafas pada hokum progresif, yang memiliki muatan-muatan moralitas keberpihakan pada rakyat dan penyejahteraan masyarakat, memerangi korupsi dan menuju pada good governance serta clean government.4

Ketentuan-ketentuan internasional yang berkaitan dengan gagasan kekuasaan yang merdeka (independent judiciary) tidak melarang adanya peran pihak eksekutif (pemerintah) dalam perekrutan hakim (agung) dengan syarat-syarat tertentu.

Sementara itu, Deklarasi Universal tentang kemerdekaan (kekuasaan) kehakiman ini pada prinsipnya tidak melarang adanya keterlibatan pihak kekuasaan pemerintah dalam proses perekrutan hakim.

Salah satu ketentuan internasional yang memberikan apresiasi terhadap kehadiran Komisi Yudisail dalam proses perekrutan hakim adalah : Beijing Statement of Principles of the Independent of the Judiciary in the Law Asia Region.

Beijing Statement of Principles of the Independent of the Judiciary in the Law Asia Region menggarisbawahi bahwa didalam masyarakat yang mengenal Judicial Service Commission, pengangkatan hakim-hakim oleh, dengan persetujuan, atau setelah berkonsultasi terlebih dahulu dengan Judicial Service Commission dianggap sebagai

4

Komisi Yudisial RI, Komisi Yudisial dan Keadilan Sosial, (Jakarta: Komisi Yudisial Republik Indonesia, 2008), Cet. Pertama, hlm. 224-225,237.


(15)

mekanisme untuk menjamin bahwa hakim-hakim yang terpilih adalah hakim-hakim yang pantas atau sesuai untuk tujuan-tujuan yang akan dicapai.

Obyek pertama penelitian ini adalah lembaga yang di Indonesia dikenal dengan nama Komisi Yudisial. Dewasa ini diskursus tentang Komisi Yudisial diberbagai belahan dunia masih sangat aktual, karena Komisi Yudisial merupakan kecenderungan (trend) yang terjadi di abad ke-20 sebagai bagian dari paket reformasi peradilan.5

Dalam Islam, sebagaimana kita ketahui bahwa dalam salah satu prinsip dasar dari sistem Negara Islam adalah Negara Hukum. Sebagai Negara Hukum, maka tegaknya keadilan merupakan suatu kewajiban yang harus diwujudkan didalam kehidupan bernegara, ketentuan masalah ini telah diatur dalam al-Qur‟an dan Hadits.

Kemudian untuk mewujudkan hukum yang adil, tidak mungkin dicapai tanpa adanya lembaga peradilan (Yudikatif) yang berfungsi untuk melaksanakan semua ketentuan hukum yang konsekuen. Karenanya kehadiran lembaga yudikatif dalam sistem Negara Islam merupakan syarat mutlak yang harus dipenuhi. Oleh karena itu, sejak awal kehadiran Negara Islam, lembaga yudikatif ini telah ada dan berfungsi sebagaimana mestinya.

Peradilan telah lama dikenal sejak dari zaman purba dan dia merupakan satu kebutuhan hidup bermasyarakat. Tidak dapat suatu pemerintahan tanpa adanya peradilan. Karena peradilan itu adalah untuk menyelesaikan segala sengketa diantara para penduduk.

Peradilan ini adalah suatu tugas suci yang diakui oleh seluruh bangsa, baik mereka tergolong bangsa-bangsa yang telah maju ataupun belum.didalam peradilan itu terkandung menyeluruh ma‟ruf dan mencegah munkar, menyampaikan hak kepada yang harus

5

Ahsin, Thohari, Komisi Yudisial dan Reformasi Peradilan, (Jakarta: ELSAM-Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat, 2004), Cet. Pertama, hlm. 11-14.


(16)

menerimanya dan menghalangi orang yang zalim daripada berbuat aniaya, serta mewujudkan perbaikan umum. Dengan peradilanlah dilindungi jiwa, harta dan kehormatan. apabila peradilan tidak terdapat dalam suatu masyarakat, maka masyarakat itu menjadi masyarakat yang kacau balau.6

Pada masa pemerintahan Rasulullah dan Khulafah rassyidun, kegiatan peradilan itu dilakukan oleh individu yang secara khusus diserahi kewenangan hukum atau sebagai hakim untuk penunjukkan Muadz bin Jabal dan Ali bin Abi Thalib untuk bertindak sebagai hakim di wilayah Yaman pada masa Rasulullah, atau penunjukkan Abu Darda sebagai Hakim Madinah, Syuaraih untuk wilayah Basrah, dan Abu Musa Al-Asy‟ari untuk daerah Kufa pada masa Umar bin Khatab. Seiring dengan perkembangan dan semakin kompleksnya kehidupan manusia, penyerahan kekuasaan kepada individu tertentu untuk melaksanakan tugas peradilan dianggap tidak lagi memadai.

Dimungkinkan bahwa proses peradilan atau upaya mewujudkan keadilan dan memberikan perlindungan hukum itu terlaksana dengan baik melalui individu yang diberi kewenangan hukum, namun aspek efektifitas, spesialisasi, tertib administrasi, dan kepastian hukum akan lebih memungkinkan jika dilakukan melalui lembaga peradilan. Suatu lembaga yang secara khusus dibentuk untuk melaksanakan fungsi yudisial. Oleh karena itu, pasca pemerintahan Rasulullah dan Khulafah rasyidun, pelaksanaan fungsi yudisial itu tidak lagi dijalankan oleh individu yang secara khusus ditunjuk oleh Khalifah tetapi melalui lembaga peradilan yang kemudian dikenal dengan nama al-nidham al-madhalim, yakni suatu lembaga

6

Teungku Muhammad Hasbi Ash Shidieqy, Peradilan dan Hukum Acara Islam, (Semarang: PT. Pustaka Rizki Putra, 2001), Cet. Kedua, hlm. 3.


(17)

yang bertugas memberikan penerangan dan pembinaan hukum, menegakkan hukum, dan memutus perkara.7

Dengan adanya Deklarasi Universal, ketentuan internasional (Beijing Statement of Principles of the Independent of the Judiciary in the Law Asia Region), dan ketetapan dalam Undang-Undang serta dalam al-Qur‟an tentang lembaga yudikatif ataupun yudisial, maka penulis memilih judul: “Peran Komisi Yudisial dalam Reformasi Peradilan di Indonesia Menurut Hukum Islam”.

B. Perumusan dan Pembatasan Masalah

Sejauh mengenai isu Komisi Yudisial dalam reformasi Peradilan dapat diidentifikasi sejumlah masalah yang harus dijawab/diteliti, antara lain, yaitu:

1. Bagaimana konsep Peradilan dalam hukum Islam? 2. Bagaimana konsep Reformasi Peradilan di Indonesia?

3. Bagaimana pandangan hukum Islam terhadap peran Komisi Yudisial dalam reformasi Peradilan?

Dengan mengacu kepada identifikasi masalah diatas, penelitian ini menjadikan masalah yang terakhir sebagai fokus masalahnya, yakni bagaimana pandangan hukum Islam terhadap peran Komisi Yudisial dalam reformasi Peradilan?.

Dalam studi ini, isu Komisi Yudisial dibatasi pada aspek reformasi Peradilan, yakni dalam hal ini, yang menjadi fokus kajian ialah UU Komisi Yudisial, UU Peradilan di Indonesia, dan hukum Islam.

7

Ridwan, Fiqih Politik: Gagasan, Harapan, dan Kenyataan, (Yogyakarta: FH UIIPERSS, 2007), Cet. Pertama, hlm. 286-287.


(18)

C. Tujuan dan Manfaat Penalitian

1. Tujuan Penelitian

Secara umum, studi ini bertujuan, pertama, merumuskan dan menjelaskan tentang Komisi Yudisial, dan kedua, merumuskan dan menjelaskan tentang bagaimana pandangan hukum Islam tentang Komisi Yudisial. Secara spesifik, studi ini bertujuan:

a) Menjelaskan konsep Peradilan dalam hukum Islam; b) Menjelaskan konsep reformasi Peradilan di Indonesia;

c) Menjelaskan pandangan hukum Islam terhadap peran Komisi Yudisial; 2. Manfaat penelitian

Adapun signifikasi penelitian ini dapat dikemukakan sebagai berikut:

a) Hasil penelitian ini bermanfaat untuk menambah pengetahuan bagi penulis, pembaca, serta masyarakat tentang peran Komisi Yudisial dalam reformasi Peradilan di Indonesia menurut hukum Islam.

b) Hasil penelitian ini diharapkan punya nilai signifikan bagi upaya transformasi hukum Peradilan Islam kedalam tata hukum Peradilan di Indonesia.

c) Hasil penelitian ini juga bermanfaat bagi Fakultas Syari‟ah dan Hukum pada umumnya, serta konsentrasi Siyasah Syar‟iyyah pada khususnya, adalah untuk menambah referensi tentang peran Komisi Yudisial dalam reformasi Peradilan di Indonesia menurut hukum Islam.

D. Tinjauan Pustaka

Sejumlah penelitian tentang topik Komisi Yudisial telah dilakukan, baik yang mengkaji secara spesifik isu tersebut maupun yang menyinggung secara umum dalam tema pokok


(19)

Komisi Yudisial. Berikut ini paparan tinjauan umum atas sebagian karya-karya penelitian tersebut.

Karya Fajlurrahman Jurdi yang berjudul “Komisi Yudisial dari Delegitimasi hingga Revitalisasi Moral Hakim”. Penelitian ini menjelaskan tentang Negara Hukum Indonesia, Reformasi parlement Indonesia dan pengaruhnya, otonomi moral hakim Mahkamah Agung dan kehadiran Komisi Yudisial, Mahkamah Konstitusi dan Komisi Yudisial, delegitimasi

atas Komisi Yudisial, menuju revisi Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2004, dan Komisi Yudisial atau Mahkamah Yudisial.8

Karya Bunga Rampai Komisi Yudisial dan Reformasi Peradilan yang berjudul “Komisi Yudisial Republik Indonesia”. Penelitian ini menjelaskan Komisi Yudisial dalam mosaic ketatanegataan kita, Komisi Yudisial pengawal reformasi pengadilan, peran hakim Agung dalam penemuan hukum (Rechtsvinding) dan penciptaan hukum (Rechtsschepping), hakim Agung dan penemuan hukum, Komisi Yudisial yang dicita-citakan masyarakat, sinkronisasi sistem perundang-undangan lembaga peradilan dalam menciptakan peradilan yang lebih baik.9

Karya Titik Triwulan Tutik yang berjudul “Eksistensi, Kedudukan dan Wewenang Komisi Yudisial Sebagai Lembaga Negara dalam Sistem Ketatanegaraan Republik Indonesia Pasca Amandemen UUD 1945”. Penelitian ini menjelaskan Upaya kearah independensi kekuasaan kehakiman tersebut dilakukan dengan cara : (1) penataan ulang perundang-undangan yang berlaku; (2) mengadakan penataan ulang lembaga yudisial; dan (3)

8

Fajlurrahman Jurdi, Komisi Yudisial dari Delegitimasi hingga Revitalisasi Moral Hakim, (Jakarta: PUKAP, 2007), Cet. Pertama, hlm. i.

9

Komisi Yudisial Republik Indonesia, Bunga Rampai Komisi Yudisial dan Reformasi Peradilan, (Jakarta: Komisi Yudisial Republik Indonesia, 2007), Cet. Pertama, hlm. xiii.


(20)

meningkatkan kualifikasi hakim. Reformasi di bidang hukum yang terjadi sejak tahun 1998 tersebut pada akhirnya telah dilembagakan melalui pranata perubahan UUD 1945. Disamping perubahan yang menyangkut kelembagaan penyelenggaraan kekuasaan-kekuasaan kehakiman, amandemen UUD 1945 telah mengintroduksi pula suatu lembaga Negara baru yang berkaitan dengan penyelenggaraan kekuasaan kehakiman yang disebut Komisi Yudisial (selanjutnya disebut KY).10

E. Metode Penelitian

1. Jenis Penelitian

Jenis penelitian skripsi ini adalah studi kepustakaan dengan pendekatan normatif. Adapun dengan pendekatan normatif diharapkan dapat menemukan data akurat yang dibutuhkan tentang Komisi Yudisial RI terutama yang berkaitan dengan Undang-Undang Komisi Yudisial.

2. Tehnik Pengumpulan Data

Penulis dalam penelitian ini menggunakan tehnik studi dokumenter, yakni tehnik penelitian dengan penelusuran dokumen, dengan mengadakan kajian, menelaah, dan menelusuri literature yang berkenaan dengan masalah yaitu berupa buku, majalah, koran, artikel, dan lain-lain. Dengan metode ini penulis berusaha mengungkap peran Komisi Yudisial dalam reformasi Peradilan di Indonesia menurut hukum Islam.

Sedangkan untuk memperoleh data yang berkenaan dengan judul penelitian, penulis menggunakan metode pengumpulan data yang bersumber sebagai berikut: (a) data primer: data ini dikumpulkan secara langsung dari buku-buku, Undang-undang yang berkaitan,

10

Titik Triwulan Tutik, Eksistensi, Kedudukan dan Wewenang Komisi Yudisial Sebagai Lembaga Negara dalam Sistem Ketatanegaraan REPUBLIK INDONESIA Pasca Amandemen UUD 1945, (Jakarta : Prestasi Pustaka Publisher, 2007), Cet. Pertama, hlm 3-5.


(21)

al-Qur‟an dan Hadits, dan juga dengan sumber primer masalah yang ingin dibahas oleh penulis; (b) data sekunder: data ini dikumpulkan dari artikel-artikel,jurnal ilmiah, serta ditambah dengan komentar orang mengenai peran Komisi Yudisial dalam reformasi Peradilan di Indonesia menurut hukum Islam.

3. Tehnik Analisis Data

Dalam menganalisa data, peneliti menggunakan metode analisis deskriptif. Peneliti mencoba melakukan perbandingan diantara data-data yang terkumpul dalam penelitian ini. 4. Tehnik Penulisan

Dalam penulisan skripsi ini, penulis mengacu pada buku “Pedoman Penulisan Skripsi Fakultas Syari‟ah dan Hukum yang diterbitkan oleh Fakultas Syari‟ah dan Hukum Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta Tahun 2007”.

F. Sistematika Penulisan

Dalam penulisan skripsi ini, penulis membagi masalah kedalam beberapa bab yang pada dasarnya menjadi suatu kesatuan yang saling berkesinambungan agar lebih memperjelas dan mempertajam arah pembahasan materi yang sedang diteliti. Adapun sistematika penulisan dari isi ringkasan bab demi bab dalam skripsi ini dibagi menjadi 6 (enam) bab. Bab petama berisi “pendahuluan”. Di dalam bab ini diuraikan pokok-pokok pikiran yang melatar belakangi penelitian ini, yang diorganisir menjadi 6 (enam) sub-bab, yaitu (1) latar belakang masalah, (2) perumusan dan pembatasan masalah, (3) tujuan dan manfaat penelitian, (4) tinjauan pustaka, (5) metode penelitian, dan (6) sistematika pembahasan.

Bab kedua berjudul “Peradilan dalam Hukum Islam”. Bab ini menyajikan uraian mengenai Peradilan dalam Hukum Islam. Paparan konsep Peradilan pada bab ini akan


(22)

diposisikan sebagai optik atau pisau analisis dalam rangka menyoroti konstruksi hukum Peradilan Islam. Bab ini terdiri atas 3 (tiga) sub-bab utama, yaitu (1) Sejarah Peradilan Islam, (2) Fungsi Peradilan Islam, (3) Konsep Pengawasan Hakim dalam Peradilan Islam.

Bab ketiga berjudul “Komisi Yudisial dalam Reformasi Peradilan di Indonesia”. Dalam bab ini diuraikan analisis dengan pemikiran konsep Komisi Yudisial yang dipandu dengan konsep Reformasi Peradilan di Indonesia. Sehingga dapat diperjelas dengan Undang-undang Komisi Yudisial dan Undang-undang Peradilan. Bab ini menyajikan 4 (empat) sub-bab utama, yaitu (1) Reformasi Peradilan di Indonesia, (2) Pembentukan Komisi Yudisial, (3) Pelembagaan Komisi Yudisial di Indonesia, (4) Tugas dan Kewenangan Komisi Yudisial.

Bab keempat berjudul “Analisa Hukum Islam tentang Peran Komisi Yudisial dalam Reformasi Peradilan”. Dalam bab ini juga diuraikan analisis dengan menerapkan pemikiran konsep hukum Islam yang dipandu dengan konsep peran Komisi Yudisial, serta konsep Peradilan. Sehingga akan menghasilkan analisa hukum Islam tentang peran Komisi Yudisial dalam reformasi Peradilan. Bab ini menyajikan 2 (dua) sub-utama, yaitu (1) Pandangan Hukum terhadap Reformasi Peradilan, dan (2) Pandangan Hukum terhadap Komisi Yudisial.

Bab kelima merupakan “Penutup”, yang memuat kesimpulan dan saran. Dalam bab ini disajikan pokok-pokok penelitian yang dihasilkan dan konstelasinya dengan komunitas akademik lain. Disamping itu, dimuat pula saran terkait tindak lanjut atas penelitian tersebut.


(23)

Universitas Islam Negeri


(24)

13

PERADILAN DALAM ISLAM

A. Sejarah Peradilan Islam

Kata “peradilan” berasal dari kata “adil”, dengan awalan “per” dan imbuhan “an”. Kata “peradilan” terjemahan dari “qadha”, yang berarti “memutuskan”, “menyelesaikan”. Dan umumnya kamus tidak membedakan antara peradilan dengan pengadilan.11

Dalam Islam peradilan disebut qadha artinya menyelesaikan, seperti firman Allah:

Dan (ingatlah), ketika kamu berkata kepada orang yang Allah telah melimpahkan ni'mat kepadanya dan kamu (juga) telah memberi ni'mat kepadanya: "Tahanlah terus isterimu dan bertakwalah kepada Allah", sedang kamu menyembunyikan di dalam hatimu apa yang Allah akan menyatakannya, dan kamu takut kepada manusia, sedang Allah-lah yang lebih berhak untuk kamu takuti. Maka tatkala Zaid telah mengakhiri keperluan terhadap istrinya (menceraikannya), Kami kawinkan kamu dengan dia supaya tidak ada keberatan bagi orang mu'min untuk (mengawini) isteri-isteri anak-anak angkat mereka, apabila anak-anak angkat itu telah menyelesaikan keperluannya daripada isterinya. Dan adalah ketetapan Allah itu pasti terjadi”. (Q.S. al-Ahjab: 37)

Ada juga yang berarti menunaikan seperti firman Allah SWT :

11


(25)

Apabila telah ditunaikan shalat, maka bertebaranlah kamu di muka bumi; dan carilah karunia Allah dan ingatlah Allah banyak-banyak supaya kamu beruntung”. (Q.S. al -Jumu‟ah: 10)

Kata “Peradilan” menurut istilah ahli figh adalah sebagai berikut: (a) Lembaga hukum (tempat dimana seseorang mengajukan mohon keadilan), (b) Perkataan yang harus dituruti yang diucapkan oleh seseorang yang mempunyai wilayah hukumn atau menerangkan hukum agama atas dasar harus mengikutinya.

Dari pengertian tersebut membawa kita pada kesimpulan bahwa tugas peradilan berarti menampakkan hukum agama, tidak tepat bila dikatakan menetapkan suatu hukum. Karena hukum itu sebenarnya telah ada dan dalam hal yang dihadapi hakim. Bahkan dalam hal ini kalau hendak dibedakan dengan hukum umum, dimana hukum Islam itu (syariat) telah ada sebelum manusia ada. Sedang hukum umum baru ada setelah manusia ada. Sedangkan hakim dalam hal ini hanya menerapkan hukum yang sudah ada itu dalam kehidupan, bukan menetapkan sesuatu yang belum ada.12

Peradilan memiliki dasar hukum yang bersumber dari firman Allah SWT. Surat Shad (38) ayat 26, yaitu:

12


(26)

Wahai Daud, sesungguhnya Kami menjadikan kamu khalifah (penguasa) di muka bumi, maka berilah keputusan (perkara) di antara manusia dengan adil dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu, karena ia akan menyesatkan kamu dari jalan Allah. Sesungguhnya orang-orang yang sesat dari jalan Allah akan mendapat azab yang berat, karena mereka melupakan hari perhitungan.”

Firman Allah SWT dalam Surat al-Maidah (5) ayat 49:

Dan hendaklah kamu memutuskan perkara di antara mereka menurut apa yang diturunkan Allah, dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu mereka. Dan berhati-hatilah kamu terhadap mereka, supaya mereka tidak memalingkan kamu dari sebahagian apa yang telah diturunkan Allah kepadamu. Jika mereka berpaling (dari hukum yang telah diturunkan Allah), maka ketahuilah bahwa sesungguhnya Allah menghendaki akan menimpakan mushibah kepada mereka disebabkan sebahagian dosa-dosa mereka. Dan sesungguhnya kebanyakan manusia adalah orang-orang yang fasik.”13

Dari kedua dalil di atas jelaslah bahwa sebenarnya peradilan merupakan kebutuhan yang telah ditetapkan dasar hukumnya melalui al-Qur‟an. Dalam peradilan terdapat rukun-rukun yang harus ditetapkan, yaitu: (1) Hakim, yaitu orang yang diangkat oleh penguasa untuk menyelesaikan dakwaan-dakwaan, karena penguasa tidak mampu melaksanakan sendiri semua tugas itu, (2) Hukum, yaitu suatu keputusan produk qadhi, untuk menyelesaikan perselisihan dan memutuskan persengketaan, (3) Al-Mahkum bih, yaitu hak, kalau pada qadha al-ilzam, yaitu penetapan qadhi atas tergugat, dengan memenuhi tuntutan penggugat apa yang menjadi haknya, sedangkan qadha al-tarki (penolakan) yang berupa penolakan atas

13

Alaiddin Koto, Sejarah Peradilan Islam, ( Jakarta, PT. Raja Grafindo Persada, 2011), Cet. Pertama, hlm. 11-12.


(27)

gugatannya, (4) Al-Mahkum „alaih, yaitu orang yang dijatuhi putusan atasnya, (5) Al-Mahkum lah, yaitu penggugat suatu hak yang merupakan hak manusia semata-mata.14

Kemudian selain dalil yang diatas, ada hadits pula yang menjadi dasar bagi keharusan adanya qadha, bahkan menunjukkan kepada kepentingan banyak, diantaranya:

Apabila seseorang hakim berijtihad dan tepat ijtihadnya, maka dia memperoleh dua pahala. Dan apabila dia berijtihad tetapi ijtihadnya itu salah, maka dia memperoleh satu pahala.”

Dalam fiqih Islam ada tiga bentuk wilayah peradilan, yaitu: (1) Wilayah al-Qadha, yaitu lembaga peradilan dengan kekuasaan menyelesaikan berbagai kasus, disebut juga peradilan biasa, (2) Wilayah al-Mazalim, yaitu lembaga peradilan yang menangani berbagai kasus penganiayaan pengusa terhadap rakyat dan penyalahgunaan wewenang oleh penguasa dan perangkatnya, (3) Wilayah al-Hisbah, yaitu lembaga peradilan yang menangani berbagai kasus pelanggaran moral dalam rangka amar ma‟ruf nahi munkar.15

Kemudian kata sulthanah sebuah kata yang berasal dari bahasa Arab yang berarti pemerintahan. Dalam kamus al-Munawir sama dengan al-Qudrah yang berarti kekuasaan, kerajaan, pemerintahan.16

Menurut Lois Ma‟luf dalam kamusnya Al-Munjid fi al-Lughah wa al-A‟lam berarti al-malik al-qudrah, yakni kekuasaan pemerintah.17 Sedangkan Al-qadhaiyyah berarti putusan,

14

Alaiddin Koto, Sejarah Peradilan Islam, ( Jakarta, PT. Raja Grafindo Persada, 2011), Cet. Pertama, hlm. 13-14.

15

Alaiddin Koto, Sejarah Peradilan Islam, ( Jakarta, PT. Raja Grafindo Persada, 2011), Cet. Pertama, hlm. 15.

16

Abdul Mukthie Fajar, Hukum Konstitusi Mahkamah Konstitusi, (Jajarta: Konstitusi Press, 2006), Cet. Pertama, hlm. 118.


(28)

penyesaian perselisihan, atau peradilan. Kekuasaan yang berkaitan dengan peradilan dan kehakiman. Secara terminology, berarti kekuasaan untuk mengawasi atau menjamin jalannya proses perundang-undangan sejak penyusunannya sampai pelaksanaannya serta mengadili perkara perselisihan, baik yang menyangkut perkara perdata maupun pidana. Dalam bahasa Indonesia, istilah ini dikenal dengan nama kekuasaan yudikatif.18

Dalam sejarah ketatanegaraan Islam, ketiga badan kekuasaan Negara yaitu Sultah Tanfiziyyah (kekuasaan penyelenggara undang-undang), Sultah Qadhaaiyyah (kekuasaan kehakiman) itu belum dipisahkan dari wilayah kekuasaan yang ada tetapi masih berada dalam satu tangan yaitu penguasa atau kepala Negara. Pada masa berikutnya, ketiga badan kekuasaan Negara tersebut masing-masing melembaga dan mandiri.19

Peradilan telah lama dikenal sejak dari zaman purba dan dia merupakan satu kebutuhan hidup bermasyarakat. Tidak dapat suatu pemerintahan berdiri tanpa adanya suatu peradilan. Karena peradilan itu adalah untuk menyelesaikan segala sengketa diantara para penduduk. Peradilan itu adalah suatu tugas suci yang diakui oleh seuruh bangsa, baik mereka tergolong bangsa-bangsa yang telah maju ataupun yang belum. Didalam peradilan itu terkandung menyuruh ma‟ruf dan mencegah munkar. Menyampaikan hak kepada yang harus menerimanya dan menghalangi orang yang zalim daripada berbuat aniaya, serta mewujudkan peradilan umum. Dengan peradilanlah dilindungi jiwa, harta dan kehormatan. Apabila

17

Ahmad Warsono Munawir, kamus Al-Munawir: Kamus Arab Indonesia Terlengkap, (Surabaya: Pustaka Progresif, 1997),Cet. Pertama, hlm. 650.

18

Abdul Aziz Dahlan, Ensiklopedi Hukum Islam, (Jakarta: PT. Ichtiar Baru Van Hoeve, 1996), Cet. Pertama, hlm. 16567.

19

Salim Ali Al-Bahansi, wawasan Sistam Politik Islam, (Jakarta: Pustaka Al-Kautsar, 1996), Cet. Pertama, hlm.53.


(29)

peradilan tidak terdapat dalam suatu masyarakat, maka masyarakat itu akan menjadi masyarakat yang kacau balau.20

Kekuasaan peradilan adalah suatu kekuasaan yang mempunyai undang-undang dan aturan-aturan yang wajib dipatuhin oleh para hakim didalam pemerintahan Romawi, Persia dan lain-lain. Hal-hal yang sangat dipentingkan oleh bangsa-bangsa yang telah lalu dalam menyusun peradilan, ialah kecakapan hakin dan kebaikan budi pekertinya. Karena itu mereka tidak mengangkat seseorang untuk menjadi hakim kecuali orang yang mempunyai kemampuan yang sempurna untuk menjadi hakim serta mempunyai kepribadian yang tinggi. Dan hakim itu dilindungi dengan berbagai aturan yang memungkinkan hakim bergerak secara bebas.21

Bangsa Arab di zaman Jahiliyah, tidak mempunyai Sulhtahtasyri‟iyah (badan legislatif) yang menyusun dan membuat Undang-undang atau aturan-aturan. Mereka pada umumnya berpegang pada tradisi yang diwarisi dari nenek moyang mereka. Kepala-kepala kabilah memutuskan hukum antara anggota kabilah dengan adat kebiasaan mereka. Adat-adat kebiasaan itu diambil dari pengalaman atau dari kepercayaan atau dari bangsa-bangsa yang berdiam disekitar mereka, seperti bangsa Romawi, Persia dan sebagainya, atau yang berdiam bersama-sama didaerah tersebut, yaitu orang-orang Yahudi dan Nasrani.22

Perkembangan kekuasaan peradilan pada dasarnya tidak lepas dari sejarah perkembangan masyarakat dan politik Islam. Oleh karena itu sebagaimana dijelaskan Muhammad Salam

20

Muhammad Hasbi Ash Shiddieqy. Peradilan dan Hukum Acara Islam, (Semarang: PT.Pustaka Rizki Putra, 2001), Cet. Kedua, hlm. 3.

21

Muhammad Hasbi Ash Shiddieqy. Peradilan dan Hukum Acara Islam, (Semarang: PT.Pustaka Rizki Putra, 2001), Cet. Kedua, hlm. 4.

22

Muhammad Hasbi Ash Shiddieqy. Peradilan dan Hukum Acara Islam, (Semarang: PT.Pustaka Rizki Putra, 2001), Cet. Kedua, hlm. 4-5.


(30)

Madkur (Guru Besar Hukum Islam, Universitas Cairo) para ahli, membagi sejarah peradilan Islam kedalam beberapa masa dengan cirri-ciri atau tandanya masing-masing.23

Setelah Nabi Muhammad S.A.W diangkat menjadi Rasul, mulailah beliau menyampaikan risalah dakwah kepada penduduk Makkah, terutama masalah aqidah selama 13 tahun. Kondisi umat Islam masih lemah, baik dari segi kuantitas maupun kekuatan. Berbeda dengan Makkah, kondisi Madinah relatif stabil dan jumlah umat Islam semakin banyak, sementara Rasulullah S.A.W dijadikan sebagai pemimpin oleh masyarakat Madinah baik umat Islam maupun non-Islam, sehingga sangat memungkinkan untuk melaksanakan berbagai ketentuan agama dan tuntutan syari‟ah.24

Masa Rasulullah S.A.W. Kedudukan Rasulullah S.A.W, disamping sebagai pemegang kekuasaan eksekutif, juga menangani langsung urusan yang berkaitan dengan kekuasaan yudikatif; artinya, kekuasaan peradilan belum dipisahkan dari kekuasaan Nabi S.A.W sebagai pelaksana perundang-undangan. Segala urusan yang menjadi kewenangan as-Sulthah al-Qadhaiyyah semuanya tertumpu ditangan penguasa. Setelah wilayah kekuasaan Islam semakin luas, penanganan kekuasaan ini dibantu oleh beberapa orang sahabat yang dikirim ke beberapa daerah untuk bertindak sebagai penguasa sekaligus sebagai pemegang kekuasaan dalam bidang peradilan. Disamping itu, ada diantara sahabat yang diperbantukan oleh Rasulullah S.A.W untuk menangani tugas-tugas peradilan ini yang ditempatkan dipusat pemerintahan, seperti Umur bin Khatab (w.23H/644M), atau yang diutus kedaerah atas nama Rasulullah S.A.W, seperti Ali bin Abi Thalib (w.40H/661M) dan Mu‟as bin Jabal

23

Abdul Aziz Dahlan, Ensiklopedi Hukum Islam, (Jakarta, PT. Ichtiar Baru Van Hoeve, 1996), Cet. Pertama, hlm. 16568.

24

Alaiddin Koto, Sejarah Peradilan Islam, ( Jakarta, PT. Raja Grafindo Persada, 2011), Cet. Pertama, hlm. 37.


(31)

(w.18H/639M) ke Yaman. Sumber hukum bagi peradilan pada masa ini hanya Al-Qur‟an dan Hadits Nabi S.A.W.25

Setelah Nabi Muhammad S.A.W. Sahabat, sebagai generasi Islam pertama, meneruskan ajaran dan misi kerasulan. Berita meninggalnya Nabi Muhammad S.A.W. merupakan peristiwa yang mengejutkan sahabat. Sebalum jenazah Nabi dikubur, sahabat telah berusa memilih pengggantinya sebagai pemimpin Negara. Abu Bakar adalah sahabat pertama yang terpilih menjadi pemimpin umat Islam. Abu Bakar digantikan oleh Umar bin Khatab, Umar bin Khatab digantikan oleh Utsman bin Affan, dan Utsman bin Affan digantikan dengan Ali bin Abi Thalib. Empat pemimpin umat tersebut dikenal sebagai Khulafah al-Rasyidun (para pemimpin yang diridhai).26

Abu Bakar adalah ahli hukum yang tinggi mutunya. Ia memerintah dari tahun 632 sampai 634M. Sebelum masuk Islam, ia terkenal sebagai orang yang jujur dan disegani, ikut aktif mengembangkan dan menyiarkan Islam. Atas usaha dan seruannya banyak orang terkemuka banyak orang memeluk agama Islam yang kemudian terkenal sebagai pahlawan-pahlawan Islam ternama. Dan karenahubungnnya yang sangat dekat dengan Nabi Muhammad Saw., beliau mempunyai pengertian yang dalam tentang jiwa Islam lebih dari yang lainnya. Karena itu pula pemilihannya sebagai khalifah pertama adalah tepat sekali.27

Di masa Abu Bakar tidak tampak ada suatu perubahan dalam lapangan peradilan ini, karena kesibukannya memerangi sebagian kaum muslimin yang murtad, sepeninggal

25

Abdul Aziz Dahlan, Ensiklopedi Hukum Islam, (Jakarta, PT. Ichtiar Baru Van Hoeve, 1996), Cet. Pertama, hlm. 16568.

26

Alaiddin Koto, Sejarah Peradilan Islam, ( Jakarta, PT. Raja Grafindo Persada, 2011), Cet. Pertama, hlm. 57.

27

Alaiddin Koto, Sejarah Peradilan Islam, ( Jakarta, PT. Raja Grafindo Persada, 2011), Cet. Pertama, hlm. 59.


(32)

Rasulullah S.A.W., dan kaum pembangkang menunaikan zakat dan urusan-urusan politik dan pemerintahan lainnya disamping belum melusnya wilayah kekuasaan Islam pada masa itu. Dalam masalah peradilan, Abu Bakar mengikuti jejak Nabi Muhammad S.A.W., yakni ia sendirilah yang memutuskan hukum diantara umat Islam di Madinah. Sedangkan para Gubernurnya memutuskan hukum diantara manusia didaerah masing-masing diluar Madinah. Adapun sumber hukum pada Abu Bakar adalah Al-Qur‟an, Sunnah, dan Ijtihad seteh pengkajian dan musyawarah dengan para sahabat. Dapat dikatakan bahwa pada masa pemerintahan Abu Bakar ada tiga kekuatan, (1) Quwwat al-Syari‟ah (legislatif), (2) Quwwat al-Qadhaiyyah (yudikatif didalamnya masuk peradilan) dan (3), Quwwat al-Tanfiziyyah (eksekutif).28

Di masa pemerintahan Umar bin Khatab, daerah Islam telah luas, tugas-tugas yang dihadapi oleh pemerintahan dalam bidang politik, sosial, dan ekonomi, telah berbagai corak ragamnya dan pergaulan orang-orang Arab dengan orang lain pun sudah sangat erat. Karena itu Khalifah Umar tidak dapat menyelesaikan sendiri perkara-perkara yang diajukan kepadanya. Maka Umar mengangkat beberapa orang hakim untuk menyelesaikan perkara, dan mereka pun digelari hakim (qadhi). Khalifah Umar mengangkat Abu Darda‟ untuk menjadi hakim di Madinah, Syuraih di Basrah, Abu Musa Al-Asy‟ari di Kufah, Utsman Ibn Qais Ibn Abil „Ash di Mesir, sedang untuk daerah Syam diberi pula hakim sendiri. Umar lah yang mula-mula memisahkan kekuasaan yudikatif dan eksekutif.29

Pemerintahan Utsman bin Affan dan Ali bin Abi Thalib, pada masa masing-masing dalam bidang kekuasaan yudikatif ini, meneruskan kebijakan yang telah ditetapkan oleh

28

Alaiddin Koto, Sejarah Peradilan Islam, ( Jakarta, PT. Raja Grafindo Persada, 2011), Cet. Pertama, hlm. 59-60.

29

Muhammad Hasbi Ash Shiddieqy. Peradilan dan Hukum Acara Islam. (Semarang: PT.Pustaka Rizki Putra, 2001), Cet. Kedua, hlm. 15-16.


(33)

Umar sebagai khalifah pendahulunya. Sumber hukum lembaga peradilan pada masa ini adalah Al-Qur‟an, Hadits, dan Ijtihad.30

Masa Daulah Umayyah, kekuasaan yudiklatif mengalami kemajuan lagi, khususnya dalam bidang administrasi peradilan dan proses berperkara (yang menyangkut hukum acara atau hokum formil), yang sebelumnya belum diterbitkan. Pada masa ini diadakan pencatatan terhadap putusan pengadilan sebagai dokumen resmi pemerintah. Meskipun situasi politik pada masa ini baru saja mengalami perubahan dari system demokrasi kesistem monarki, pemegang kekuasaan yudikatif dalam menyelesaikan urusannya tidak terpengaruh oleh kecenderungan-kecenderungan pribadi politik khalifah. Bahkan khalifah dalam ini menegaskan (melalui ancaman pemecatan bagi yang menyelenggarakan tugasnya) agar kekuasaan yudikatif melaksanakan tugas dengan sebaik-baiknya. Sumber hukum untuk masa ini pun adalah Al-Qur‟an, Hadits, dan Ijtihad.31

Masa Daulah Bani Abbasiyah, disamping terus meningkatkan pembinaan yang berkaitan dengan administrasi kelembagaannya, khalifah juga membentuk lembaga-lembaga yang mendukung dan memiliki kewenangan khusus yang juga berkaitan dengan kekuasaan yudikatif ini. Tidak hanya pembenahan terhadap sarana peradilan, akan tetapi sudah mulai hukum materil yang akan disusun oleh hakim sebagai dasar pengambilan keputusan. Awalnya, yang digunakan adalah kitab al-Muwatha‟ karya Imam Malik. Namun Imam Malik sendiri menolak dengan alasan masih banyak Hadits Rasulullah S.A.W., yang tersebar diberbagai kota. Kemudian atas ulum Ibnu al-Muqaffa‟ kepada Khalifah al-Mansur agar menyusun pedoman trentang penerapan hukum materil, sehingga perbedaan pendapat dapat

30

Abdul Aziz Dahlan, Ensiklopedi Hukum Islam, (Jakarta, PT. Ichtiar Baru Van Hoeve, 1996), Cet. Pertama, hlm. 16568.

31

Abdul Aziz Dahlan, Ensiklopedi Hukum Islam, (Jakarta, PT. Ichtiar Baru Van Hoeve, 1996), Cet. Pertama, hlm. 16569.


(34)

dihindari, akhirnya disusunlah Kompilasi Hukum Islam yang dijadikan oleh hakim dalam memutus perkara.32

Selain itu, di zaman dinasti Abbasiyah, kekuasaan yudikatif (sulthah qadhaaiyyah) semakin lengkap.perkembangan mencapai puncak kesempurnaan pada masa pemerintahan Harun al-Rasyid (170-193), saat dia mengangkat Ya‟qub bin Ibrahim al-Anshari yang lebih terkenal dengan Abu Yusuf, sebagai kepala dari seluruh kepala hakim, yang dinamakan qaadhii qudhaah (Hakim Agung). Diantara tugas pentingnya adalah menangani perkara-perkara diperadilan umum dan diiwaan al-madzaalim. Kewenangan lainnya adalah, mengangkat hakim-hakim yang akan ditetapkan diseluruh provinsi.33

Perkembangan lainnya menyangkut kekuasaan kehakiman periode keempat ini, terjadi terutama pada masa pemerintahan Sultan az-Zahir Biibars (665H/1267M), dimana ia membentuk sistem peradilan yang menggabungkan empat mazhab besar dan dikepalai oleh masing-masing Hakim Agung. Untuk Hakim Agung mazhab Syafi‟I mempunyai kedudukan yang lebih tinggi dari yang lain. Karena selain menangani urusan yudiksinya, juga diserahi tanggung jawab mengawasi penyantunan terhadap yatim piatu, perwakafan, dan menangani masalah Baitul Mall. Sedangkan Hakim Agung yang lainnya, mengurusi peradilan dan fatwa bagi rakyat dari masing-masing mazhabnya.34

Dengan demikian pada masa tersebut, HakimAgung tidak hanya memilikitugas memutus perkara pada tingkat kasasi, akan tetapi juga memiliki tugas-tugas lain diluar yuridiksinya.

32

Jaenal Arifin, Peradilan Agama Dalam Bingkai Reformasi Hukum Di Indonesia, (Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2008), Cet. Pertama, hlm. 152.

33

Jaenal Arifin, Peradilan Agama Dalam Bingkai Reformasi Hukum Di Indonesia, (Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2008), Cet. Pertama, hlm. 152.

34

Jaenal Arifin, Peradilan Agama Dalam Bingkai Reformasi Hukum Di Indonesia, (Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2008), Cet. Pertama, hlm. 152.


(35)

Bahkan menurut Carl F. Petry, semua Hakim Agung pada masa tersebut memegang tiga jabatan sekaligus. Termasuk untuk jabatan hakim ditingkat yang lebih rendah, dapat memegang seluruh jabatan administrasi, tak terkecuali dilingkungan militer. Meskipun demikian, kedudukan dan kewenangannya kuat, ia berpegang teguh pada syari‟at tanpa dapat dipengaruhi oleh siapapun.35

Masa khalifah Turki Usmani dan masa sesudahnya. Kekuasaan yudikatif mengalami banyak perubahan, khususnya setelah masa Tanzimat. Pada masa ini, disamping lembaga peradilan yang khusus mengadili orang-orang Islam, juga didirikan lembaga peradilan yang khusus menangani orang non-Muslim (kafir zimi: kafir yang dilindungi) dan orang-orang asing yang tinggal di wilayah kekuasaannya, yang sumber hukumnya adalah agama masing-masing dan undang-undang asing. Pemerintah menetapkan mazhab Hanafi sebagai mazhab resminya. Oleh karena itu, hakim utama diangkat dari mazhab ini. Sumber hukum setelah masa Tanzimat ini kebanyakan diambil dari hukum Eropa, kecuali dalam masa keperdataan. Keadaan ini mempengaruhi negara Islam lainnya, khususnya negara-negara yang cukup terbuka terhadap pembaruan dalam bidang hukum dan peradilan seperti Mesir, Suriah, dan Tunisia.sumber hukumlembaga peradilan pada masa ini sudah berubah dan beragam sesuai dengan beragamnya jenis lembaga peradilan dimasa itu.36

Peradilan pada Arab Saudi, al-Qur‟an merupakan Undang-undang Dasar Negara dan Syari‟ah sebagai hukum dasar yang dilaksanakan oleh Mahkamah-mahkamah Syari‟ah sebagai hukum dan Ulama sebagai hakim dan penesehat-penasehat hukumnya. Kepala negara adalah Raja yang dipilih oleh dan dari keluarga besar Saudi. Terbentuknya peradilan

35

Jaenal Arifin, Peradilan Agama Dalam Bingkai Reformasi Hukum Di Indonesia, (Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2008), Cet. Pertama, hlm. 152.

36

Abdul Aziz Dahlan, Ensiklopedi Hukum Islam, (Jakarta, PT. Ichtiar Baru Van Hoeve, 1996), Cet. Pertama, hlm. 1658.


(36)

Arab Saudi dengan berlakunya Syari‟at Islam adalah tidak lepas dari jasa Raja Abdul Aziz bin Abdul Rahman Al-Saud yang membai‟at wilayah-wilayah.37

Kemudian pada abad ke-7 M, Islam telah masauk Indonesia dan telah dianut oleh sebagian orang Indonesia. Penerapan hukum Islam bukan hanya pada pelaksanaan ibadah-ibadah tertentu melainkan juga diterapkan pula dalam masalah-masalah muamalat, munakahat, dan uqubat (jinayah/hudud).38

Dalam pengkajian Peradilan Islam di Indonesia, dan peradilan pada umumnya, dikenal berbagai istilah khusus yang menjadi lambang dari suatu konsep, diantaranya Peradilan Agama, Peradilan Agama Islam, Peradilan Islam, Islamic Judiciary, Badan Kehakiman, Badan Peradilan Agama, Badan Peradilan Agama Islam, Pengadilan Agama, Mahkamah Syari‟ah, Kerapatan Qadhi, Pengadilan Agama Islam, dan Islamic Court. Pada masa penjajahan Belanda dan Jepang juga dikenal beberapa istilah, diantaranya Priesterraad, Penghoeloe gerech, Godsdientige rechtspraak, Rechtspraak, Raad agama, dan Sooryoo hooin. Selain itu, terdapat juga istilah lain yang berhubungan dengan istilah-istilah itu, baik yang bermakna sejenis maupun yang berhubungan dengannya dan menjadi penjelas posisi dari setiap istilah itu.39

Peradilan Islam mengalami perkembangan pasang surut, sejalan dengan perkembangan masyarakat Islam di berbagai kawasan dan negara. Sedangkan masyarakat Islam basis utama dalam melakukan artikulasi dan perumusan hukum diberbagai kawasan dan negara tersebut.

37

Basiq Djalil, Peradilan Islam, (Jakarta: UIN Syarifhidayatullah, 2007), Cet. Pertama, hlm. 83-84. 38

Alaiddin Koto, Sejarah Peradilan Islam, (Jakarta, PT. Raja Grafindo Persada, 2011), Cet. Pertama, hlm. 190.

39

Cik Hasan Bisri, Peradilan Islam dalam Tatanan Masyarakat Indonesia, (Bandung, PT. Remaja Rosdakarya, 1977), Cet. Pertama, hlm. 35.


(37)

Peradilan Islam pada masa Rosulullah S.A.W. bersifat sederhana, baik dalam pengorganisasiannya maupun prosedurnya.40

Pertumbuhan dan perkembangan Peradilan Islam di Indonesia dapat dideskripsikan sebagaimana dikemukakan oleh Lev (1972: ix) dalam kata pengantar bukunya, Islamic Court in Indonesia. “Peradilan di Indonesia yang kelihatannya ganjil, tidak hanya mampu bertahan hidup, tetapi dalam berbagai hal mengalami perkembangan yang semakin kuat. Sedangkan di negeri-negeri Islam lainnya, pranata-pranata hukum keagamaan banyak yang dihapus dan dibatasi”.

Perkembangan itu lebih nyata selama dua puluh tahun terakhir, terutama sejak disahkan dan diundangkannya undang Nomor 14 Tahun 1970. Kemudian menyusul Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 dan Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975, Peraturan Pemerintah Nomor 28 Tahun 1977, Undang-undang Nomor 7 Tahun 1989, dan Instruksi Presiden Nomor 1 Tahun 1991.41

Ada empat aspek yang berkenaan dengan perkembangan Peradilan Islam di Indonesia. Pertama, berkenaan dengan kedudukan peradilan dalam tatanan hukum dan peradilan nasional. Kedua, berkenaan dengan susunan badan peradilan, yang mencangkup hirarki dan struktur organisasi pengdilan, termasuk komponen manusia didalamnya. Ketiga, berkenaan dengan kekuasaan pengadilan, baik kekuasaan mutlak maupun kekuasaan relatif. Keempat,

40

Cik Hasan Bisri, Peradilan Islam dalam Tatanan Masyarakat Indonesia, (Bandung, PT. Remaja Rosdakarya, 1977), Cet. Pertama, hlm. 42.

41

Cik Hasan Bisri, Peradilan Islam dalam Tatanan Masyarakat Indonesia, (Bandung, PT. Remaja Rosdakarya, 1977), Cet. Pertama, hlm. 43.


(38)

berkenaan dengan hukum acara yang dijadilkan landasan dalam penerimaan, pemeriksaan, pemutusan, dan penyelesaian perkara.42

Islam adalah kehakiman, sebagaimana yang telah disebutkan oleh Al-Imam Syahid Hasan Al-Banna, maksudnya adalah bahwa salah satu dari manhaj Islam ialah mengatur antara sesama manusia, karena manusia sangat memerlukan seorang hakim yang dapat mengatur dan menyelesaikan perselisihan mereka serta dapat mengembalikan hak kepada pemiliknya.

Kesimpulan dalam masalah kehakiman ini dapatlah kita katakana bahwa Islam telah menganggap masalah kehakiman sebagai fardhu, karena itulah kita lihat bahwa Rasulullah saw mengangkat para hakim untuk bertugas di tempat-tempat yang jauh dari Madinah. Dan hakim muslim ini disyaratkan mempunyai pengetahuan yang luas terutama tentang hukum-hukum Islam. Atas dasar ini pula kita lihat bahwa salah satu dari syarat kelayakan seseorang hakim ialah kemampuannya untuk melakukan ijtihad, karena tugas mengatur adalah termasuk dalam pengertian wilayah dan sultan. Orang kafir tidak layak dan tidak berhak menjadi wali atau hakim atas orang Islam. Karena Allah SWT berfirman:

42

Cik Hasan Bisri, Peradilan Islam dalam Tatanan Masyarakat Indonesia, (Bandung, PT. Remaja Rosdakarya, 1977), Cet. Pertama, hlm. 123.


(39)

Artinya: “(yaitu) orang-orang yang menunggu-nunggu (peristiwa) yang akan terjadi pada dirimu (hai orang-orang mu'min). Maka jika terjadi bagimu kemenangan dari Allah mereka berkata : "Bukankah kami (turut berperang) beserta kamu ?" Dan jika orang-orang kafir mendapat keberuntungan (kemenangan) mereka berkata : "Bukankah kami turut memenangkanmu, dan membela kamu dari orang-orang mu'min ?" Maka Allah akan memberi keputusan di antara kamu di hari kiamat dan Allah sekali-kali tidak akan memberi jalan kepada orang-orang kafir untuk memusnahkan orang-orang yang beriman.

Seorang hakim yang Muslim mesti mengatur hukum dan permasalahannya menurut hukum-hukum Islam dan haram hukumnya menggunakan hukum-hukum yang lain. Terutama pada saat mengatur undang-undang Islam, sebagaimana juga harus memiliki kehati-hatian dan teliti, dan berusaha semampunya untuk melaksanakan dan menerapkan keadilan. Karena seandainya yang dilakukan adalah betul dan tepat maka baginya dua ganjaran, namun jika seandainya beliau keliru atau tersalah maka tetap akan balasan beliau diberikan satu ganjaran.43

B. Fungsi Peradilan dalam Islam

Pembentukkan Lembaga Peradilan adalah dimaksudkan untuk merealisir keadilan di tengah kehidupan masyarakat. Telah disebutkan bahwa dalam suatu negara, lembaga peradilan ini difungsikan untuk menegakkan hukum di wilayah kekuasaan negara, atau sebagai media untuk mengimplementasikan ajaran Islam dibidang penegakkan dan perlindungan hukum. Didalam al-Qur‟an disebutkan beberapa ayat yang mengatur tentang keadilan dan penegakkan hukum, diantaranya:

43

http://www.al-ikhwan.net/syarah-ushul-isyrin-imam-syahid-hasan-al-banna-islam-adalah-agama-universal-2-3613/, tanggal 21 September 2011, Pukul 06.18.


(40)

Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyampaikan amanat kepada yang berhak menerimanya, dan (menyuruh kamu) apabila menetapkan hukum di antara manusia supaya kamu menetapkan dengan adil. Sesungguhnya Allah memberi pengajaran yang sebaik-baiknya kepadamu. Sesungguhnya Allah adalah Maha Mendengar lagi Maha Melihat”. (QS. An-Nisa’: 58)44

Kemudian Surah An-Nisa‟ Ayat 135:

Wahai orang-orang yang beriman, jadilah kamu orang yang benar-benar penegak keadilan, menjadi saksi karena Allah biarpun terhadap dirimu sendiri atau ibu bapa dan kaum kerabatmu. Jika ia kaya ataupun miskin, maka Allah lebih tahu kemaslahatannya. Maka janganlah kamu mengikuti hawa nafsu karena ingin menyimpang dari kebenaran. Dan jika kamu memutar balikkan (kata-kata) atau enggan menjadi saksi, maka sesungguhnya Allah adalah Maha Mengetahui segala apa yang kamu kerjakan”. (QS. An-Nisa’: 135)

Kemudian juga disebutkan dalam Surah Al-Maidah Ayat 49 bahwa:

44

Ridwan, Fiqih Politik: Gagasan, Harapan, dan Kenyataan, (Yogyakarta, FH UII PRESS, 2007), Cet. Pertama, hlm. 285.


(41)

Dan hendaklah kamu memutuskan perkara di antara mereka menurut apa yang diturunkan Allah, dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu mereka. Dan berhati-hatilah kamu terhadap mereka, supaya mereka tidak memalingkan kamu dari sebahagian apa yang telah diturunkan Allah kepadamu. Jika mereka berpaling (dari hukum yang telah diturunkan Allah), maka ketahuilah bahwa sesungguhnya Allah menghendaki akan menimpakan mushibah kepada mereka disebabkan sebahagian dosa-dosa mereka. Dan sesungguhnya kebanyakan manusia adalah orang-orang yang fasik”. (QS. Al-Maidah: 49)45

Lembaga peradilan bertugas menyelesaikan persengkatan dan memutuskan hukum.dengan peradilan Allah memelihara keseimbangan dan kedamaian dalam masyarakat luas. Landasan dari fungsi peradilan adalah terpeliharanya kepastian hukum. Lembaga peradilan mempunyai fungsi utama untuk menciptakan ketertiban, keamanan, dan ketentraman masyarakat melalui tegaknya hukum dan keadilan. Di samping itu untuk menciptakan kemaslahatan umat dengan tetaptegaknya hukum Allah. Oleh sebab itu peradilan Islam mempunyai fungsi yang sangat mulia, di antaranya: Mendamaikan dua belah pihak yang bersengketa dengan berpedoman kepada hukum Allah, Menetapkan sanksi dan melaksanakannya atas setiap perbuatan yang melanggar hukum.46

45

Ridwan, Fiqih Politik: Gagasan, Harapan, dan Kenyataan, (Yogyakarta, FH UII PRESS, 2007), Cet. Pertama, hlm. 286.

46

http://shoimnj.blogspot.com/2011/07/peradilan-dalam-islam.html, tanggal 11 september 2011,


(42)

C. Tugas dan Kewenangan Lembaga Peradilan dalam Islam

Tugas lembaga yudikatif adalah memutuskan perselisihan yang dilaporkan kepadanya dari orang-orang yang berseteru dan menerapkan hukum perundang-undangan kepadanya dalam rangka menerapkan keadilan di muka bumi dan menerapkan kebenaran diantara orang-orang yang meminta peradilan.47

Secara garis besar tugas dan kewenangan lembaga peradilan ialah untuk menjamin pelaksanaan Undang-undang oleh pihak eksekutif, untuk mengontrol atau mengawasi fungsi dan pelaksanaan kekuasaan legislatif, dan untuk mengadili dan menyelesaikan berbagai persoalan hukum dan perselisihan yang diajukan dan yang menjadi kewenangannya. Tujuan adanya kekuasaan yudikatif dalam Islam bukannya untuk membongkar kesalahan agar dapat dihukum, tetapi yang menjadi tujuan pokok yaitu untuk menegakkan kebenaran, supaya yang benar dinyatakan benar dan yang salah dinyatakan salah tanpa menghiraukan maslahat.48

Tujuan adanya kekuasaan yudikatif dalam Islam bukannya untuk membongkar kesalahan agar dapat di hukum, tetapi yang menjadi tujuan pokok yaitu untuk menegakkan kebenaran; supaya yang benar dinyatakan benar dan yang salah dinyatakan salah tanpa menghiraukan maslahat. Selain menegakkan kebenaran dan menjamin terlaksananya keadilan, kekuasaan yudikatif dalam Islam yudikatif dalam Islam juga bertujuan untuk menguatkan Negara dan menstabilkan kedudukan hukum kepala Negara.49

47

Samir Aliyah, Sistem Pemerintahan, Peradilan, dan Adat dalam Islam,(Jakarta, KHALIFA Pustaka Al-Kautsar Grup, 2004), Cet. Pertama, hlm. 73.

48

Abdul Aziz Dahlan, Ensiklopedi Hukum Islam, (Jakarta, PT. Ichtiar Baru Van Hoeve, 1996), Cet. Pertama, hlm. 1658.

49

Imam Al-Mawardi, Terj. Al-Ahkam Al-Sulthaniyah: Prinsip-prinsip Penyelenggaraan Negara Islam, (Jakarta, Darul Falah, 2000), Cet. Pertama, hlm. 130.


(43)

Imam Al-Mawardi dalam bukunya Al-Ahkam Al-Sulthaniyah menyebutkan sembilan tugas kekuasaan yudikatif yaitu: (1) memutuskan atau menyelesaikan perselisihan, pertengkaran, dan konflik. Dengan mendamaikan kedua belah pihak yang berperkara secara sukarela atau memaksakeduanya berdamai; (2) membebaskan orang-orang yang tidak bersalah dari sanksi dan hukuman, serta memberikan sanksi kepada yang salah, baik dengan (dari) pengakuan maupun dengan dilakukannya sumpah; (3) menetapkan penguasa harta benda orang-orang yang tidak menguasai sendi karena gila, masih kanak-kanak atau idiot; (4) mengelola harta wakaf dengan menjaga harta pokoknya, mengembangkan cabang-cabang, menahannya dan mengalokasikan ke posnya; (5) melaksanakan wasiat-wasiat berdasarkan syarat-syarat pemberian wasiat dalam hal-hal yang diperbolehkan syari‟at dan tidak melanggarnya; (6) menikahkan gadis-gadis dengan orang-orang sekufu‟ (selevel), jika merdeka tidak mempunyai wali dan sudah memasuki usia menikah; (7) melaksanakan hudud (hukuman syar‟i) kepada orang-orang yang berhak menerimanya; (8) memikirkan kemaslahatan umum diwilayah kerjanya dengan melarang semua gangguan dijalan-jalan dan halaman-halaman rumah dan meruntuhkan bangunan-bangunan illegal; (9) mengawasi para saksi dengan pegawainya, serta memilih orang-orang yang mewakilinya.50

D. Konsep Pengawasan Hakim dalam Peradilan Islam

Pada masa awal, kekuasaan peradilan berada sepenuhnya pada tangan Rasul. Beliau disamping sebagai kepala Negara juga berfungsi sebagai hakim tunggal. Namun, setelah wilayah negeri Islam berkembang dan meluas ke luar Madinah, beliau memberikan mandat kepada beberapa orang sahabat untuk bertindak sebagai hakim. Rujukan yang digunakan

50

Imam Al-Mawardi, Terj. Al-Ahkam Al-Sulthaniyah: Prinsip-prinsip Penyelenggaraan Negara Islam, (Jakarta, Darul Falah, 2000), Cet. Pertama, hlm. 132.


(44)

ketika itu adalah Al-qur‟an, Sunnah Nabi, dan Ijtihad mereka sendiri, ketika mereka tidak menemukannya didua rujukan pertama.51

Kemudian, setelah masa Khulafah al-Rasyidin, terutama pada masaUmar bin Khattab, tata laksana peradilan mulai diatur antara lain dengan mengadakan penjara, dan pengangkatan sejumlah hakim serta menyusun risalah al-qadha (semacam hukum acara peradilan) sebagai acuan bagi hakim. Namun demikian, para hakim bekerja sendiri tanpa ada “katib” (panitera) dan tanpa registrasi dan administrasi peradilan, bahkan pada awalnya mereka bersidang dirumah mereka sendiri dan kemudian pindah ke masjid, serta mereka sendiri yang melaksanakan eksekusi keputusan pengadilannya.52

Pada masa Umayyah peradilan terus berkembang, diantaranya adalah jabatan Qadhi yang mulai berkembang menjadi profesi tersendiri dan dilakoni oleh orang yang ahli dibidangnya. Pada masa Bani Umayyah ini juga dilakukan pembukuan serta penulisan perkara-perkara yang diputuskan dengan merancang sistem pengawasan dan pengadilan serta prinsipnya. Sebab pada masa Rasulullah S.A.W. Dan dan Khulafa al-Rasyidin belum ada perselisihan pendapat tentang hukum-hukum yang telah menjadi putusan. Dalam permulaan Islam peradilan merupakan sebuah sistem yang selain mencangkup proses peradilan, juga mencangkup hal-hal atau lembaga lainnya yang saling mendukung satu sama lain.53

Adapun bentuk “lembaga pengawasan” terhadap peradilan juga bisa ditemukan dalam sejarah peradilan di zaman Nabi Muhammad Saw. Fungsi pengawasan itu dilakukan oleh Wahyu Allah S.W.T. terhadap Nabi Muhammad S.A.W. Rasulullah S.A.W. juga melakukan

51

Alaiddin Koto, Sejarah Peradilan Islam, ( Jakarta, PT. Raja Grafindo Persada, 2011), Cet. Pertama, hlm. 2-3.

52

Alaiddin Koto, Sejarah Peradilan Islam, ( Jakarta, PT. Raja Grafindo Persada, 2011), Cet. Pertama, hlm. 3. 53

Alaiddin Koto, Sejarah Peradilan Islam, ( Jakarta, PT. Raja Grafindo Persada, 2011), Cet. Pertama, hlm. 3-4.


(45)

pengawasan secara evaluasi terhadap sahabat yang ditunjukkannya untuk menjalankan peradilan. Jika putusan sahabat itu salah, tentu Nabi Muhammad S.A.W. pun akan segera mengoreksinya.54

Karena setiap keputusan hakim tentang suatu perkara kadangkala diperdebatkan dasar hukum dan keshahihannya oleh para mujtahid yang mengetahui kasus tersebut beserta hukum yang mungkin benar menurut pendapatnya, pada akhirnya khalifah melepaskan diri dari campur tangan terhadap lembaga peradilan itu, karena sesungguhnya pendapat hakim itu kebanyakan bukan murni keputusan hukum, melainkan berupa pesan-pesan yang diinginkan oleh khalifah untuk maksud-maksud tertentu. Demikianlah dapat dikatakan bahwa pada awalnya Dinasti Abbasiyah berusaha mengendalikan setiap putusan yang dijatuhkan oleh peradilan, akan tetapi pada masa-masa berikutnya karena berbagai faktor campur tangan itu akhirnya ditinggalkan. Khalifah hanya membuat regulasi yang sifatnya umum dan formalitas belaka, seperti pengangkatan hakim-hakim daerah yang setiap hakim itu pada akhirnya memiliki otoritas dan independenitas yang tinggi. 55

54

Alaiddin Koto, Sejarah Peradilan Islam, ( Jakarta, PT. Raja Grafindo Persada, 2011), Cet. Pertama, hlm. 6-7.

55

Alaiddin Koto, Sejarah Peradilan Islam, ( Jakarta, PT. Raja Grafindo Persada, 2011), Cet. Pertama, hlm. 3-7.


(46)

Universitas Islam Negeri


(47)

35

KOMISI YUDISIAL DALAM REFORMASI PERADILAN DI INDONESIA

A. Reformasi Peradilan di Indonesia

Reformasi, barasal dari kata “re” dan “formasi”. “Re” berarti “kembali” dan “formasi” berarti “susunan”. Reformasi berarti pembentukkan atau penyusunan kembali. Kata “reform” diartikan sebagai; membentuk, menyusun, mempersakutukan kembali. Reformasi juga berarti; perubahan secara drastis untuk perbikan (bidang sosial, politik, atau agama) dalam suatu masyarakat atau negara.56

Dengan demikian, istilah era reformasi diartikan sebagai suatu era perubahan atau penyusunan kembali terhadap suatu konsep, strategi, dan kebijakan yang berkaitan dengan berbagai aspek kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara. Dan apabila dihubungkan dengan reformasi dibidang hukum dan peradilan, maka dapat ditarik pengertian “melakukan suatu perubahan dengan penyusunan kembali terhadap suatu konsep, strategi, atau kebijakan yang berkaitan dengan hukum dan peradilan dengan berbagai aspeknya dalam kehidupan berbangsa, dan bernegara”.57

Berdasarkan pengertian tersebut, reformasi sesungguhnya bisa bermakna perubahan atau pembaharuan menuju pada tatanan kehidupan yang lebih baik. Dalam arti pembaharuan, reformasi bisa dipadankan dengan beberapa kata dalam wacana Islam, yang secara substansi memilki kesamaan dengan reformasi, yakni; tajdid dan islah. Tajdid mengandung arti “membangun kembali, menghidupkan kembali, menyusun kembali, atau memperbaikinya

56

Jaenal Aripin, Peradilan Agama dalam Bingkai Reformasi Hukum di Indonesia, (Jakarta, Kencana Prenada Media Group, 2008), Cet. Pertama, hlm. 39.

57

Jaenal Aripin, Peradilan Agama dalam Bingkai Reformasi Hukum di Indonesia, (Jakarta, Kencana Prenada Media Group, 2008), Cet. Pertama, hlm. 39-40.


(48)

agar dapat digunakan sebagaimana yang diharapkan”. Sedangkan kata islah, diartikan dengan “perbaikan atau memperbaiki”. Kedua kata tersebut, sering dipakai secara berdampingan dengan pengertian yang sama yaitu “pembaharuan”.58

Ada tiga dimensi atau lapisan reformasi yang secara analistis harus dibedakan. Pertama, perbaikan terhadap semua penyimpangan yang terjadi, (penyimpangan artinya sesuatu yang sejak lama secara hukum dan ideologis serta sense of propriety telah dianggap tidak benar dan tidak pantas). Kedua, penghapusan segala faktor, baik yang berupa perundangan dan hukum serta kelembagaan, maupun sistem politik, yang telah memungkinkan penyimpangan itu terjadi. Dan Ketiga, peletakan dasar baru dari kehidupan kenegaraan.59

Berawal pada tahun 1968 muncul ide pembentukan Majelis Pertimbangan Penelitian Hakim (MPPH) yang berfungsi untuk memberikan pertimbangan dalam mengambil keputusan akhir mengenai saran-saran dan atau usul-usul yang berkenaan dengan pengangkatan, promosi, kepindahan, pemberhentian, dan tindakan? Hukum jabatan para hakim. Namun ide tersebut tidak berhasil dimasukkan dalam undang-undang tentang kekuasaan hakim. Baru kemudian tahun 1998-an muncul kembali dan menjadi wacana yang semakin kuat dan solid sejak adanya desakan penyatuan atap bagi hakim, yang tentunya memerlukan pengawasan eksternal dari lembaga yang mandiri agar cita-cita untuk mewujudkan peradilan yang jujur, bersih, transparan, dan profesional dapat tercapai. Seiring dengan tuntutan reformasi peradilan, pada sidang Tahunan MPR Tahun 2001 yang membahas amandemen ketiga UUD 1945, disepakati beberapa perubahan dan penambahan pasal yang berkenaan dengan kekuasaan kehakiman, termasuk didalamnya Komisi Yudisial

58

Jaenal Aripin, Peradilan Agama dalam Bingkai Reformasi Hukum di Indonesia, (Jakarta, Kencana Prenada Media Group, 2008), Cet. Pertama, hlm. 40.

59


(49)

RI yang berwenang mengusulkan pengangkatan Hakim Agung dan mempunyai wewenang lain dalam rangka menjaga dan menegakkan kehormatan hakim.60

Kemunculan Komisi Yudisial RI adalah akibat langsung dari amanat reformasi 1998 untuk menegakkan supremasi hukum dan agar para hakim tidak melakukan pelanggaran atas hukum. Sekaligus agar hakim tidak menjadi aparat penguasa. Dan ini semua berangkat dari kekecewaan masa lalu, yaitu dimana kekuasaan kehakiman dikooptasi oleh kekuasaan, sehingga kebebasan hakim dalam memutus perkara terbelenggu oleh kekuasaan tersebut. Keinginan kuat untuk keluar dari belenggu kekuasaan inilah yang menyebabkan adanya keinginan kuat untuk membuat Komisi Yudisial RI.61

Independensi kekuasaan lembaga peradilan tidak dapat dilepaskan dari perdebatan teoritis tentang pemisahan kekuasaan (separation of pwers) karena pemisahan kekuasaan dari cabang-cabang kekuasaan negara dimaksudkan untuk menjamin adanya independensi kekuasaan lembaga peradilan sekaligus untuk menjamin terlaksananya kebebasan politik (politic liberty) anggota masyarakat dalam negara, maka adanya jaminan kekuasaan lembaga peradilan yang independen merupakan satu elemen penting dari konsep negara hukum. Keterkaitan antara pemisahan kekuasan dengan konsep negara hukum terletak pada pengaturan batas-batas kekuasaan yudikatif, eksekutif, dan legislatif ataupun hubangan diantara cabang-cabang kekuasaan tersebut dalam konstitusi. Bagi sebuah negara yang

60

Komisi Yudisial Republik Indonesia, Hukum Sebagai Pelindung Rakyat Bukan Tameng Penguasa, (Jakarta: Komisi Yudisial RI, 2007), Cet. Pertama, hlm. 3.

61

Komisi Yudisial Republik Indonesia, Hukum Sebagai Pelindung Rakyat Bukan Tameng Penguasa, (Jakarta: Komisi Yudisial RI, 2007), Cet. Pertama, hlm. 4.


(50)

menerapkan paradigma hukum modern (rule of law), independensi kekuasaan lembaga peradilan, merupakan fondasi dan pilar utama yang sangat penting.62

Alexis de Tocqueville memberikan tiga ciri bagi pelaksanaan kekuasaan lembaga peradilan yang independen, yakni; pertama, kekuasaan lembaga peradilan disemua negara merupakan pelaksana fungsi peradilan, dimana lembaga peradilan hanya bekerja kalau ada pelanggaran hukum atau hak warga negara tanpa ada satu kekuasaan lainnya yang dapat melakukan intervensi. Kedua, fungsi lembaga peradilan hanya berlang sung kalau ada kasus pelanggaran hukum yang khusus. Ketiga, kekuasaan lembaga peradilan hanya berfungsi jika diperlukan dalam haladanya sengketa yang diatur dalam hukum.63

Pemahaman tentang asas kekuasaan lembaga peradilan yang merdeka tidak terlepas dari ajaran Montesquieu mengenai tujuan dan perlunya “pemisahan” kekuasaan, yaitu untuk menjamin adanya dan terlaksananya kebebasan politik (political liberty) anggota masyarakat negara.64

Asas kekuasaan lembaga peradilan yang merdeka menurut Bagir Manan, terkandung tiga unsur pengertian yaitu; pertama, kekuasaan lembaga peradilan yang merdeka adalah kebebasan dalam urusan peradilan atau kebebasan menyelenggarakan fungsi peradilan (fungsi yustisial), kebebasan ini mencangkup kebebasan memeriksa, mengadili, dan memutus perkara. Kedua, kekuasaan peradilan yang merdeka mengandung makna larangan bagi kekuasaan ekstra yustisial, maka kekuasaan peradilan tertentu dimungkinkan mencampuri pelaksanaan fungsi peradilan lainnya. Ketiga, kekuasaan lembaga peradilan

62

Jaenal Aripin, Peradilan Agama dalam Bingkai Reformasi Hukum di Indonesia, (Jakarta, Kencana Prenada Media Group, 2008), Cet. Pertama, hlm. 102.

63

Jaenal Aripin, Peradilan Agama dalam Bingkai Reformasi Hukum di Indonesia, (Jakarta, Kencana Prenada Media Group, 2008), Cet. Pertama, hlm. 103.

64

Jaenal Aripin, Peradilan Agama dalam Bingkai Reformasi Hukum di Indonesia, (Jakarta, Kencana Prenada Media Group, 2008), Cet. Pertama, hlm. 105.


(1)

LAMPIRAN

Pertanyaan Wawancara:

1. Bagaimana peran Komisi Yudisial dalam reformasi Peradilan di Indonesia? 2. Bagaimana bentuk rumusan UU No. 22 Tahun 2004?

3. Bagaimana awal pembentukan Komisi Yudisial sebelum dan sesudah reformasi? 4. Bagaimana susunan pelembagaan di Komisi Yudisial tersebut?

5. Sejauh mana Komisi Yudisial menjalankan tugas dan fungsinya di lingkungan peradilan?

Jawaban Wawancara:

1) Keberadaan Komisi Yudisial tidak bisa di lepaskan dengan era reformasi yang lahir semenjak runtuhnya kekuasaan Orde Baru pada 1998. Mundurnya Presiden Soeharto yang sudah memimpin selama 32 tahun, pada tahun 1998menandai era reformasi yang berdampak pada perubahan dalam sistem perpolitikan hingga ketatanegaraan Indonesia. Salah satu perubahan yang cukup signifikan adalah pada pergeseran sistem kekuasaan kehakiman yang mendorong terwujudnya reformasi peradilan. Beberapa hal yang menjadi fakta keberadaan reformasi peradilan antara lain: Pertama, pada tahun 1999 lahir Undang-undang Nomor 35 Tahun 1999 tentang Perubahan atas Undang-undang Nomor 14 Tahun1970 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman. Melalui ketentuan itu, terdapat perubahan penting dimana kekuasaan kehakiman menjadi satu atap dalam pengelolaan organisatoris, administratif, dan finansial berada dibawah kendali Mahkamah Agung. Sebelumnya pengelolaan organisatoris, administratif, dan financial Pengadilan Agama berada di Departemen Agama, sementara secara organisasi berada dibawah kendali Mahkaamh Agung. Kedua, system satu atap Mahkamah Agung


(2)

2) dikhawatirkan menjadikan kekuasaan yudikatif tidak terbatas. Hal ini menjadi pemikiran untuk menelurkan inisiatif bentuk nyata dan reformasi peradilan dengan melahirkan institusi baru bernama Mahkamah Konstitusi dan Komisi Yudisial. Ketiga, seleksi Hakim Agung dilakukan lebih terbuka dengan membuka partisipasi dari masyarakat untuk mencalonkan diri sebagai Hakim Agung. Anggota masyarakat yang memiliki latar belakang hukum dengan kualifikasi tertentu dapat dicalonkan oleh KY sebagai calon Hakim Agung. Posisi Hakim Agung menjadi terbuka dan tidak dimonopoli oleh Hakim Karir.

3) Sebelum menerangkan Rumusan Undang-undang Nomor 22 Tahun 2004, ada baiknya mengupas tentang Hukum Islam terlebih dahulu. Hukum Islam adalah hukum yang bersumber pada nilai-nilai keislaman yang dibentuk dari sumber dalil-dalil agama Islam yaitu Al-Qur‟an, Al-Hadits, Ijma Ulama, dan Qiyas. Hukum Islam yang berlaku di Indonesia hanya sebatas persoalan hukum perdata dan mu‟amalah saja, seperti pernikahan, perceraian, jula beli, dan sewa gadai. Ruang lingkup tersebut menjadi wewenang Hakim dilingkungan pengadilan agama dalam memeriksa dan memutuskan perkara. Sementara Undang-undang Nomor 22 Tahun 2004 TentangKomisi Yudisial merupakan penjabaran dari pasal 24B UUD 1945 dalam Amandemen III pada Tahun 2011. Adapun bunyi Pasal 24 tersebut adalah: (1) Komisi Yudisial bersifat mandiri yang berwenang mengusulkan pengangkatan Hakim Agung dan mempunyai wewenang lain dalam rangka menjaga dan menegakkan kehormatan, keluhuran martabat, serta perilaku hakim. (2) Anggota Komisi Yudisial harus mempunyai pengetahuan dan pengalaman dibidang hukum serta memiliki intergritas dan kepribadian yang tidak tercela. (3) Anggota Komisi Yudisial diangkat dan diberhentikan oleh Presiden dengan persetujuan


(3)

4) Dewan Perwakilan Rakyat. (4) Susunan, kedudukan, dan keanggotaan Komisi Yudisial diatur dengan undang. Merujuk kepada pasal diatas maka lahirlah Undang-undang Nomor 22 Tahun 2004 yang mengatur Komisi Yudisial secara lebih terinci. Undang-undang tersebut menjadi wujud kelembagaan Komisi Yudisial. Keberadaan Komisi Yudisial tidak terlepas dari konsep Check and Balance kekuasaan kehakiman. Bahwa kekuasaan apapun termasuk kekuasaan kehakiman bukan tidak terbatas sehingga dibutuhkan mekanisme pengawasan. Pertimbangan utama keberadaan Komisi Yudisial sebagai lembaga pengawas eksternal hakim dimaksudkan sebagai penyeimbang kekuasaan kehakiman karena telah diberikan kekuasaan independensi/kemandirian yang kuat dalam memerikasa dan memutus perkara. Perlu kembali diketahui bahwa ranah Komisi Yudisial adalah pengawasan hakim agar menjalankan perannya dalam professional dan adil. Komisi Yudisial tidak berhak menilai bahwa putusan hakim termasuk hakim agama salah maupun benar. Artinya, Komisi Yudisial tidak akan masuk pada materi perkara namun menilai apakah hakim telah melaksanakan amanatnya secara baik atau tidak. Terkait dengan hal tersebut, Islam juga mengajarkan bahwa kekuasaan bukan tanpa batas. Batasan-batasan yang digariskan oleh Islam kepada manusia ataupun penguasa adalah sumber-sumber agama Islam terutaman Al-Qur‟an dan Al-Hadits. Selain itu, Islam juga mewajibkan hakim untuk menjaga prinsip keadilan dan kebenaran. Sehingga dapat disimpulkan tugas Komisi Yudisial agar hakim menjalankan tugasnya dengan adil, jujur, professional, dan transparan sesuai dengan hukum Islam.

5) Sejarah Pembentukan Komisi Yudisial Berawal pada tahun 1968 muncul ide pembentukan Majelis Pertimbangan Penelitian Hakim (MPPH) yang berfungsi untuk memberikan pertimbangan dalam mengambil keputusan akhir mengenai saran-saran dan


(4)

6) atau usul-usul yang berkenaan dengan pengangkatan, promosi, kepindahan, pemberhentian dan tindakan/hukuman jabatan para hakim. Namun ide tersebut tidak berhasil dimasukkan dalam undang-undang tentang Kekuasaan Kehakiman. Baru kemudian tahun 1998-an muncul kembali dan menjadi wacana yang semakin kuat dan solid sejak adanya desakan penyatuan atap bagi hakim, yang tentunya memerlukan pengawasan eksternal dari lembaga yang mandiri agar cita-cita untuk mewujudkan peradilan yang jujur, bersih, transparan dan profesional dapat tercapai. Seiring dengan tuntutan reformasi peradilan, pada Sidang Tahunan MPR tahun 2001 yang membahas amandemen ketiga Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, disepakati beberapa perubahan dan penambahan pasal yang berkenaan dengan kekuasaan kehakiman, termasuk di dalamnya Komisi Yudisial yang berwenang mengusulkan pengangkatan hakim agung dan mempunyai wewenang lain dalam rangka menjaga dan menegakkan kehormatan, keluhuran martabat, serta perilaku hakim. Komisi Yudisial dibentuk berdasarkan Pasal 24B Perubahan Ketiga Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUDNRI Tahun 1945) yang menyatakan bahwa Komisi Yudisial bersifat mandiri yang berwenang mengusulkan pengangkatan hakim agung dan mempunyai wewenang lain dalam rangka menjaga dan menegakkan kehormatan, keluhuran martabat, serta perilaku hakim. Dalam perkembangannya, meskipun keberadaan Komisi Yudisial diatur secara eksplisit dalam Undang-Undang Dasar 1945, namun tidak serta-merta menjadi sebuah lembaga negara yang memiliki kewenangan super, khususnya setelah adanya Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 005/PUU-IV/2006, yang diucapkan pada 23 Agustus 2006.


(5)

7) Susunan kelembagaan baru Komisi Yudisial terbagi menjadi dua bagian. Pertama, unsur Anggota Komisi Yudisial yang berjumlah tujuh orang yaitu Ketua (Prof. Dr. H. Eman Suparman, S.H., M.H.), Wakil Ketua (H. Imam Anshori Saleh, S.H., M.Hum.), Ketua Bidang Rekrutmen Hakim (Dr. Taufiqurrohman Syahuri, S.H., M.H.), Ketua Bidang Pengawas Hakim dan Investigasi (Dr. Suparman Marzuki, S.H., M.Si.), Ketua Bidang Pencegahan dan Pelayanan Masyarakat (H. Abbas Said, S.H., M.H.), Ketua Bidang Sumber Daya Manusia, Penelitian, dan Pengembangan (Dr. Jaja Ahmad Jayus, S.H., M.Hum.), dan Ketua Hubungan Antar Lembaga (Dr. Ibrahim, S.H., LL.M.). Anggota Komisi Yudisial dipilih oleh DPR melalui mekanisme panitia seleksi yang dibentuk oleh Pemerintah terlebih dahulu. Kedua, unsure Sekretariat Jenderal. Hal ini sesuai dengan Pasal 11 UU No. 22 Tahun 2004 dikatakan bahwa: (1) Komisi Yudisial dibantu oleh Sekretariat Jenderal yang dipimpin oleh Sekretaris Jenderal, (2) Sekretaris Jederal dijabat oleh pejabat pegawai negeri sipil. Adapun tugas Sekretaris Jenderal sebagaimana Pasal 12 adalah memberikan dukungan teknis administrative kepada Komisi Yudisial. Dalam menjalankan tugasnya, Sekretaris Jenderal sebagai eleson I dibantu oleh lima orang eleson II dan pejabat lain.

8) Komisi Yudisial merupakan lembaga Negara yang bersifat mandiri dan dalam pelaksanaan wewenangnya bebas dari campur tangan atau pengaruh kekuasaan lainnya. Komisi Yudisial memiliki dua wewenang utama yaitu: (1) mengusulkan pengangkatan Hakim Agung kepada DPR; dan (2) menegakkan kehormatan dan keluhuran martabat serta menjaga perilaku hakim. Adapun tugas Komisi Yudisial merupakan pengejawantahan dari dua wewenang diatas. Sejauh ini Komisi Yudisial telah melaksanakan wewenang pertama dengan baik. Sampai saat ini Komisi Yudisial telah


(6)

9) menyelenggarakan tujuh kali seleksi Hakim Agung dan sudah menghasilkan 20 Hakim Agung. Saat ini Komisi Yudisial sudah menyelesaikan penyelenggaraan seleksi HakimAgung pada tahun 2011 dan menyerahkan 18 nama ke DPR untuk dilakukan fit and proper test. Nama-nama tersebut sudah diserahkan ke pimpinan DPR pada awal Agustus 2011. Berbeda dengan wewenang pertama, dalam menyelenggarakan wewenang kedua Komisi Yudisial masih memiliki kendala lantaran belum ada kesepahaman dengan Mahkamah Agung. Meski demikian, sejak Komisi Yudisial berdiri telah memanggil 412 hakim untuk dimintai keterangan. Hasilnya sebanyak 123 hakim direkomendasikan ke Mahkamah Agung untuk dijatuhi sanksi berupa teguran tertulis, pemberhentian sementara, dan pemberhentian tetap dari jabatan hakim. Prosentase rekomendasi tersebut 55% mendapatkan teguran tertulis, 32% direkomendasikan pemberhentian sementara, dan 13% berupa pemberhentian tetap.