BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang - Pelanggaran Hak Kekebalan Diplomatik Atas Duta Besar Itali Yang Ditahan Di India Ditinjau Dari Hukum Internasional

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pertumbuhan dan Perkembangan hubungan antara satu negara

  dengan negara yang lain dewasa ini sudah semakin pesat. Hubungan tersebut disebut dengan hubungan internasional. Dengan meningkatnya sarana transportasi, teknologi, dan pendidikan memudahkan setiap negara-negara di dunia untuk melakukan hubungan internasional.

  Setiap negara-negara di dunia memiliki perbedaan, baik itu perbedaan filsafat, sejarah, struktur pemerintahan, kekuatan ekonomi, pendidikan, kebudayaan, dan perbedaan sumber daya alam yang dihasilkan tiap negara. Perbedaan inilah yang membuat setiap negara-negara di dunia itu satu sama lain melakukan hubungan internasional, hal ini dikarenakan adanya ketergantungan satu dengan yang lain. Hubungan Internasional ini pun dilakukan tidak lain demi meningkatkan kesejahteraan dan demi kepentingan negara itu sendiri.

  Ketergantungan dan kebutuhan terhadap satu negara dengan negara yang lain, maka terjadilah hubungan internasional tersebut. Hubungan Internasional yang dilakukan oleh negara dapat dilakukan dengan berbagai cara baik itu dengan perjanjian internasional, membentuk suatu organisasi internasional maupun mengirimkan perwakilannya ke negara lain yang sering disebut perwakilan diplomatik. Meskipun cara yang dilakukan tiap negara untuk melakukan hubungan internasional tersebut dengan banyak cara namun tujuan dari hubungan internasional itu tetaplah untuk mencapai kesejahteraan negara itu masing-masing.

  Adapun skripsi yang ingin saya bahas disini mengenai hubungan internasional yang dilakukan dengan mengirimkan perwakilan diplomatik ke suatu negara. Hubungan Internasional semakin terwujud dengan mengirimkan perwakilannya ke suatu negara.

  Negara dalam mengirimkan perwakilan diplomatiknya ke suatu negara menginginkan supaya perwakilan diplomatiknya mendapatkan perlakuan yang baik oleh negara penerima. Untuk itu negara pengirim juga harus memberikan perlakuan yang baik kepada perwakilan-perwakilan diplomatik yang dikirim ke negaranya. Disamping penghormatan yang dilakukan antara kedua negara diperlukan juga ketentuan yang dapat melindungi perwakilan diplomat dalam melaksanakan tugasnya di negara penerima, maka dibuat ketentuan hak-hak kekebalan kepada para diplomatik.

  Sudah terdapat beberapa ketentuan yang mengatur tentang hubungan diplomatik diantaranya:

  1. The Final Act of the Congress of Vienna on Diplomatik Rank

  2. Vienna Convention on Diplomatik Relation and Optional Protocol 1961

  3. Vienna Convention on Consular Relations and Optional Protocol 1963

  4. Convention on Special Missions and Optional Protocol 1969

  5. Convention on the Prevention and Punishment of Crimes against Internationally Protected Persons, including Diplomatik Agents 1973

  6. Vienna Convention on the Representation of State in Their Relations with International Organization of a Universal Character (1975)

  Namun dari ketentuan-ketentuan diatas, yang mengatur tentang kekebalan dan keistimewaan diplomatik terdapat dalam Konvensi Wina 1961.

  Dengan dikeluarkannya konvensi-konvensi yang mengatur hubungan diplomatik ini, terutama mengenai hak kekebalan diplomatik, negara-negara di dunia dapat menjadikan ketentuan dasar aturan main dalam melakukan hubungan diplomatik. Namun yang masih menjadi persoalan ialah apakah dengan telah ditetapkannya berbagai konvensi tersebut, telah dapat dijamin keselamatan para diplomat? Apakah pada ketentuan-ketentuan di dalam konvensi tersebut dapat dijamin kekebalan-kekebalan dan keistimewaan yang dinikmati oleh para diplomat dalam rangka menunaikan tugas diplomatik mereka.

  Meskipun telah diciptakannya beberapa konvensi yang mengatur kekebalan Diplomatik, namun dewasa ini masih banyak terdapat kasus yang melakukan pelanggaran kekebalan diplomatik dan yang mengancam keselamatan para diplomatik di dalam menjalankan tugas dan misi diplomatiknya.

  Kasus krisis penyanderaan 52 Diplomat AS di Teheran. Peristiwa ini terjadi sebagai reaksi diijinkannya Syah Iran masuk ke Amerika Serikat untuk mendapatkan perawatan medis. Syah Iran merupakan diktator bengis di Iran, melihat tindakan Amerika pihak Iran meminta untuk mengembalikan Syah Iran untuk diadili di Iran. Namun Amerika tidak melakukan tindakan apapun yang menyebabkan para mahasiswa Iran melakukan aksi menduduki Kedutaan Amerika dan menyandera 52 Diplomat Amerika. Tindakan mahasiswa itu pun mendapat dukungan dari pemerintah Iran. Mahasiswa Iran tersebut juga menuding Amerika melakukan tindakan memata-matai dan melakukan kejahatan. Namun dikarenakan penyanderaan yang dilakukan oleh diplomat yang mendapatkan kekebalan diplomatik maka permasalahan yang dibawa ke Mahkamah Internasional ini diputuskan agar penyaderaan yang mulai beraksi 4 November 1979 itu, dibebaskan seluruh para sandera dalam keadaan hidup. Namun permintaan Iran untuk memulangkan Syah Iran tidak terlaksana.

  Kasus-kasus diatas masih sering terjadi di negara-negara lain, salah satu yaitu kasus Penahanan Diplomatik Italia di India, dimana kasus ini dipicu dengan tidak dipulangkannya marinir Italia ke India untuk diadili atas kasus penembakan kedua nelayan India. Hal ini mempengaruhi rasa saling percaya antara kedua negara ini. Yang memicu penahanan Diplomat Italia yang melakukan perjanjian terhadap India untuk memulangkan marinir tersebut kembali ke India, India pun melakukan tindakan penahanan terhadap Diplomat Italia itu untuk tidak meninggalkan wilayah India tanpa persetujuan India dan melakukan pemutusan hubungan diplomatik sementara dengan menarik diplomatnya dari negara Italia. Sesuai dengan ketentuan yang terdapat dalam Konvensi Wina 1961 tentang Hubungan Diplomatik maka tentunya hal ini bertentangan dengan hak kekebalan diplomatik.

  B. Rumusan Masalah

  Perwakilan diplomatik merupakan peranan yang sangat penting di dalam suatu bentuk terjadinya kerja sama antara kedua negara dalam melakukan misi diplomatik.

  Perwakilan diplomatik yang dikirim dalam menjalankan tugasnya memiliki hak-hak selama menjalankan tugasnya, namun perwakilan diplomatik tersebut juga harus menghormati hukum negara penerima.

  Adapun yang menjadi permasalahan disini adalah:

  1. Bagaimana pengakuan hak-hak Diplomatik dalam Hukum Internasional?

  2. Bagaimana penyelesaian pelanggaran hak kekebalan dan keistimewaan perwakilan diplomatik ditinjau dari Hukum Internasional?

  3. Bagaimana kasus pelanggaran hak kekebalan dan keistimewaan yang dimiliki seorang duta besar Itali di India?

  C. Tujuan Penulisan Hukum Diplomatik merupakan bagian dari hukum internasional.

  Hukum Diplomatik memiliki peranan yang sangat penting untuk setiap negara di dalam melakukan hubungan internasional.

  Negara yang mengirimkan perwakilan diplomatiknya ke negara lain merupakan wujud nyata kedua negara tersebut melakukan hubungan diplomatik. Adapun yang merupakan tujuan dari penulisan ini yaitu:

  1. Untuk mengetahui secara teoritis dan faktual bagaimana pengakuan hak-hak Diplomatik dalam hukum Internasional

  2. Untuk mengetahui lebih dalam cara penyelesaian yang dilakukan apabila terjadi pelanggaran hak-hak kekebalan diplomatik ditinjau menurut hukum internasional

  3. Untuk mengetahui bagaimana penanganan kasus penahanan Duta Besar Italia di India di tinjau menurut hukum diplomatik.

D. Keaslian Penulisan

  Penulisan skripsi ini yang berjudul: “PELANGGARAN HAK KEKEBALAN DIPLOMATIK ATAS DUTA BESAR ITALIA YANG DITAHAN DI INDIA DI TINJAU DARI HUKUM DIPLOMATIK” merupakan hasil pemikiran dari penulis sendiri tanpa ada unsur penjiplakan dari hasil karya orang lain yang dapat merugikan pihak-pihak tertentu dan judul skripsi ini belum pernah ditulis di Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara. Dengan demikian keaslian dari pada penulisan dapat dipertanggungjawabkan oleh penulis, terutama secara ilmiah maupun akademik.

E. Tinjauan Kepustakaan

  1. Sejarah Hubungan Diplomatik Pada masa Kerajaan Romawi kuno untuk keperluan tentaranya, telah membangun jalan-jalan untuk mengamankan daerah-daerah kekuasaannya. Jalan-jalan tersebut sangat penting tidak hanya untuk keperluan militer, tetapi juga diperlukan oleh kaum pedagang pada masa itu. Pemerintah kerajaan romawi kemudian mengijinkan juga para pedagang tersebut untuk melintasi jalan-jalan yang mereka buat, asal menggunakan surat yang telah disediakan untuk itu. Surat yang

  1 dikeluarkan pemerintah kerajaan romawi itu disebut diploma.

  Dari uraian diatas dapat ditegaskan bahwa hukum diplomatik sudah ada lama sekali sejak jaman kerajaan romawi. Para pedagang yang berada dari luar wilayah Kerajaan Romawi dewasa ini disebut perwakilan diplomatik, guna melakukan perundingan perdagangan, dimana perundingan disini harus memiliki surat yang disebut diplomasi yang dewasa ini disebut dengan paspor. Meskipun pada jaman dahulu belum terdapat peraturan yang mengatur tentang Diplomatik.

  Sampai dengan tahun 1815 ketentuan-ketentuan yang bertalian tentang hubungan diplomatik diatur berdasarkan hukum kebiasaan. Pada Kongres Wina tahun 1815 raja-raja ikut dalam konferensi sepakat untuk mengkodifikasikan hukum kebiasaan kedalam hukum tertulis. Namun 1 tidak banyak yang dihasilkan dari Kongres Wina tersebut dan hanya

  Syahmin,Ak, S.H,M.H., Hukum Diplomatik, penerbit PT RajaGrafindo Parsada, Jakarta, 2008, hal.3 mencapai 1 naskah saja yaitu hirarki diplomat yang kemudian dilengkapi

  2 dengan Protocol Aix –La-Capelle tanggal 21 November 1818.

  Kongres Wina substansinya tidak menambah apa-apa dari prakteknya dan belum sempurna, namun mengenai hubungan diplomatik sudah terdapat aturan yang terkodifikasi sebagai aturan tertulis yang dapat digunakan sebagai pedoman dan dipergunakan secara internasional.

  2. Pengertian Hukum Diplomatik Berbicara tentang pengertian hukum diplomatik, ternyata masih banyak keseragaman pendapat oleh para ahli hukum dan para sarjana, mungkin hal inilah yang melatarbelakangi disebutnya hukum diplomatik ini tidak lebih dari hanya bagian dari hukum internasional publik.

  3 Namun tidak dapat dipungkiri pendapat dari Eileen Denza mengenai

  hukum diplomatik tidak sekedar dari komentar konvensi wina 1961

  4

  mengenai hukum diplomatik. Sementara, menurut Jan Osmanczyk : “Hukum diplomatik merupakan cabang dari hukum kebiasaan internasional yang terdiri dari seperangkat aturan-aturan dan norma-norma hukum yang menetapkan kedudukan dan fungsi para diplomat, termasuk bentuk-bentuk organisasional dan dinas diplomatik.”

  2 Boer Mouna, Hukum Internasional Pengertian, Peranan dan Fungsi dalam Era Dinamika Global, Penerbit Alumni, Bandung, 2000, hal.467 3 Eileen Denza, Diplomatic law, Commentary on The Vienna Convention on Diplomatic Relations, Oceania Publication,Inc, Dobbs Ferry, New York, 1976, lihat pula, Sumaryo

  Suryokusumo, Hukum Diplomatik: Teori dan Kasus, (Bandung: PT Alumni,1995), hal 1. 4 Edmund Jan Osmaczyk, Encyclopedia of The United Nations and Internasional Agreement, (London, Taylor and Francis), 1995

  Beberapa pendapat dari para ahli hukum maupun para sarjana tentang pengertian dari diplomasi, yang penggunaan istilahnya itu berbeda-beda menurut pemakaiannya:  Ada yang menyamakan kata “Diplomasiitu dengan “ politik luar negeri”, umpamanya jika dikatakan “ Diplomasi Republik Indonesia di Australia perlu lebih ditingkatkan.”

   “Diplomasi” dapat pula diartikan sebagai “perundingan”, seperti sering dinyatakan “Masalah Timor-Timur hanya dapat diselesaikan melalui jalur dipplomasi”.  Dapat Pula “ Diplomasi” diartikan sebagai dinas luar negeri, seperti dalam ungkapan Selama ini ia bekerja untuk diplomasi.

   Ada juga yang mengungkapkan secara kiasan dalam kalimat “dia pandai berdiplomasi”, yang dapat diartikan dia pandai bersilat lidah.

   Diplomasi merupakan suatu cara komunikasi yang dilakukan antara berbagai pihak termasuk negosiasi antara wakil-wakil yang sudah diakui. Praktik negara semacam itu sudah melembaga sejak dahulu

  5 dan menjelma sebagai aturan-aturan hukum internasional.

   Diplomasi multitrack, istilah ini menjadi populer di kalangan para diplomat seiring dengan munculnya beberapa peraturan perundang- undangan mengenai hubungan luar negeri dan otonomi daerah. Istilah itu sendiri muncul dalam kata sambung Menlu-RI, 5 Dr.N.Hassan Wirajuda, dalam acara sosialisasi buku (bedah buku) Sumaryo Suryokusumo, Op.Cit, hal 2.

  Panduan Umum Tata Cara Hubungan Luar Negeri oleh Pemerintah

  6 Daerah, Jakarta, 29 Oktober 2003. Sehubungan dengan Visi Total Diplomacy dari penggunaan seluruh upaya dan aktor hubungan luar

  negeri dalam pelaksanaan politik luar negeri, keterlibatan daerah sebagai salah satu track dan actor dari pelaksanaan diplomacy sangatlah penting untuk mewujudkan kepentingan dan cita-cita nasional Indonesia. Terlebih dalam kerangka kerja sama internal yang erat antara semua komponen kebangsanaan dan kenegaraan demi tujuan bersama menciptakan masyarakat yang taat hukum (Law

  Abiding society), keadilan, social dan kesejahteraan rakyat.

  Untuk lebih memahami pengertian daripada “diplomasi” maka kita lihat pendapat dari Sir Ernest Satow dan Ian Brownlie, sebagai berikut:

  Diplomacy is the application of intelligence and tact to the conduct of official relations between the Governments of independent States, extending sometimes also their relations with vassal States, or more briefly still, the conduct of business States

  7 by peaceful means.

  Sedangkan menurut Ian Brownlie dalam bukunya Principles of

  Public International Law, menyebutkan bahwa:

  “…Diplomacy comprisesany means by which States establish

  

or maintain mutual relations, communicate with each other, or

  6 Untuk membaca Teks lengkap sambutan Menlu-RI, Dr.N.Hassan Wirajuda tertanggal

  29 Oktober 2003 ini, dapat dilihat dalam buku panduan tata cara Hubungan Luar Negeri oleh Pemerintah Daerah, Deplu-RI, 2004, hal ii. 7 th Gore-Booth,D.Pakenham, Satow’s Guide to Diplomatic Practice, 5 .ed. Logmann Group Ltd, London,1979, hal 3, Lihat pula Sumaryo Suryokusumo, Op.Cit, hal 3.

  

carry out political or legal transactions, in each case through

  8 their authorized agents.”

  Dengan demikian, pengertian hukum diplomatik pada hakikatnya merupakan ketentuan atau prinsip-prinsip hukum internasional yang mengatur hubungan diplomatik antarnegara yang dilakukan atas dasar prinsip persetujuan bersama secara timbal balik (reciprosity principles), dan ketentuan ataupun prinsip-prinsip tersebut dimuat dalam instrumen- instrumen hukum baik berupa piagam, statuta, maupun konvensi- konvensi sebagai hasil kodifikasi hukum kebiasaan internsional dan

  9 pengembangan kemajuan hukum internasional secara progresif.

  Didalam hukum diplomatik memiliki materi meluas hingga

  10

  mencakup beberapa ketentuan , berikut: 1) Hubungan Luar Negeri dalam Bidang Tertentu, Antara lain:

  a) Kerja sama Kota/Provinsi Kembar (Sister city);

  b) Kerja sama dengan NGO’s Luar Negeri;

  c) Pendirian Lembaga Kebudayaan, Lembaga Persahabatan, Badan Promosi, atau Badan lainnya di luar negeri;

  d) Pendirian Perhimpunan Persahabatan di luar negeri;

  e) Pengamatan Misi Diplomatik/Konsuler; dan

  f) Kegiatan Jurnalistik Bagi Wartawan Asing 8 2) Masalah Keprotokolan dan Konsuleran, seperti: rd

  Ian Brownlie, Priciples of Public International Law, (Oxford: University Press,3 , ed, 1979),hal 345. Et seq 9 10 Syahmin, AK,S.H, M.H, Op.Cit, hal 11.

  Ibid, hal 12-13. a) Perlindungan Kepentingan WNI dan Badan Hukum Indonesia di Luar Negeri;

  b) Penanganan WNA yang terlibat tindak pidana di Indonesia;

  c) Penanganan Pencari Suaka, Pengungsi, dan Imigran Gelap dari Luar Negeri; d) Pelayanan Fasilitas Diplomatik;

  e) Pelayanan Keprotokolan Kunjungan Pejabat Asing ke Daerah dan Pejabat Daerah ke luar negeri; dan f) Pelayaran Kekosuleran.

  3) Hal-hal Khusus, seperti:

  a) Hubungan Luar Negeri Republik Indonesia – Israel; dan

  b) Hubungan Luar Negeri RI-Cina Taipei (Taiwan); c) Dan lain sebagainya.

  3. Prinsip-Prinsip dan Asas Hukum Diplomatik

  a) Prinsip Tidak Diganggu-gugat (Inviolability) Prinsip tidak dapat diganggu-gugat (inviolability), ini terdapat dalam Konvensi Wina 1961 pasal 24, yaitu: “The archives and Documents of the mission shall be

  inviolable at any time and where ever they may be.”

  (arsip-arsip dan dokumen-dokumen missi tidak dapat diganggu-gugat, kapanpun dan di manapun benda-benda itu berada) Prinsip ini juga masih tetap berlaku walaupun sudah terjadi pemutusan hubungan diplomatik atau bahkan sedang terjadi konflik bersenjata sekalipun.

  Prinsip ini juga diatur dalam Konvensi Wina 1961 pasal 27, yaitu: “The receiving States shall permit and protect free

  

communication on the part of the mission for all official

purposes..etc.”

  Yang pada pokoknya melarang korespondensi tersebut sebagai barang bukti di pengadilan negara penerima. Demikian pula dalam Konvensi Wina 1961 pasal 29, yaitu:

  “The person of a diplomatic agent shall be inviolable. He

  

shall not be liable to any from of arrest or detention. The

receiving state shall treat him with due respect and shall take

all appropriate steps to prevent any attack on his person,

freedom, or dignity.”

  (seseorang agent diplomatik tidak dapat diganggu-gugat, ia tidak dapat ditangkap dan ditahan. Negara penerima harus memperlakukannya dengan hormat dan harus mengambil semua langkah yang tepat untuk mencegah setiap serangan terhadap para diplomat, kebebasannya atau martabatnya) Dengan demikian apabila seorang diplomat terkena kasus pidana di negara penerima seperti spionase (memata-matai), menurut prinsip ini negara penerima tidak dapat melakukan penangkapan dan penahanan terhadap diplomat ini, melainkan hanya dapat melakukan tindakan pengusiran seperti Persona non-Grata.

  11 Menurut Ko Swan Sik , terhadap pengertian tidak dapat

  diganggu-gugat (inviolability), sebagai berikut:

  a) Mencakup asas pokok, yang berisi semua kekebalan diplomatik 11 dalam arti keseluruhan hak-hak kekebalan.

  Ko.Swan Sik, “Hukum Internasional hak-hak Istimewan dan Kekebalan”, disusun oleh A.budiman dan Alimudin, Fakultas Hukum UI Jakarta, hal 97. b) Untuk menunjukkan perlindungan atas kebebasan dari tindakan kekuasaan dan paksaan dari alat-alat perlengkapan negara.

  c) Negara penerima melakukan segala tindakan agar wakil diplomatik terhindar dari segala macam tindakan yang tidak sah dari pihak lain, jadi negara penerima memberikan perlindungan istimewa kepada wakil diplomatik.

  Bila kita bandingkan pengertian dari kekebalan dan tidak dapat diganggu-gugat, kekebalan berarti negara penerima harus membebaskan perwakilan diplomatik dari tindakan yang menurut hukum yang sebenarnya sah, sedang prinsip tidak dapat diganggu- gugat berarti bahwa polisi harus bertindak secara positif untuk mencegah perbuatan-perbuatan yang melanggar hukum.

  Prinsip tidak dapat diganggu-gugat ini bertujuan agar para diplomat dilindungi hal ini untuk menghormati kedudukan dan jabatannya yang sebagai perwakilan negaranya di negara penerima dan untuk membantu diplomat dalam menjalankan tugas-tugas dan missi diplomatiknya.

  b) Prinsip Exterritoriality atau Extraterritoriality.

  Salah satu prinsip yang melatarbelakangi munculnya kekebalan dan keistimewaan diplomatik. Prinsip ini mencerminkan bahwa para diplomat hampir dalam segala hal harus diperlakukan sebagai mana mereka tidak berada di wilayah negara penerima.

  Asas ini beranggapan para diplomat tidak berada di negara penerima, melainkan berada di wilayah negara pengirim, sehingga para diplomat tidak dapat dikuasai oleh hukum negara penerima melainkan hanya tunduk pada hukum dan yuridiksi negara pengirim.

  Terhadap gedung/ tempat kediaman para diplomat sesuai asas ini, dianggap merupakan wilayah maupun perpanjangan negara pengirim. Gedung yang dipakai oleh suatu perwakilan diplomatik baik gedung itu milik negara pengirim atau kepala perwakilan maupun disewa perorangan biasanya tidak dapat diganggu-gugat oleh para penguasa negara penerima, dan dibebaskan dari perpajakan

  12 kecuali bagi pajak-pajak dalam bentuk biaya pelayanan khusus.

  Di dalam perkembangannya asas ini banyak disalahgunakan dengan banyaknya kasus gedung diplomatik banyak dijadikan tempat persembunyian para penjahat. Maka ahli hukum Vattel pun menuliskan pendapatnya bahwa negara pengirim tidak mempunyai hak untuk memberikan asylum ditempat perwakilannya. Apabila pemberian asylum telah membahayakan bagi negara penerima maka atas perintah penegak hukum negara penerima dapat memasuki tempat perwakilan diplomatik dan menangkap penjahat yang mendapatkan asylum.

  Asas ini pun berdasarkan perkembangan zaman mulai 12 menurun dan mulainya prinsip kewajiban negara penerima untuk

  Dehaussy, The Inviolability of Diplomatic Residences, Journal du Drolt Internasional (cluent), 597, 1956. memberikan perlindungan kepada perwakilan diplomatik maupun tempat kediamannya.

  Dapat kita simpulkan prinsip ini hanya ingin menunjukkan bahwa negara penerima tidak memiliki kewenangan untuk menegakkan kedaulatan hukumnya di tempat kediaman perwakilan asing.

  c) Asas Komunikasi Bebas bagi para Diplomat Seorang diplomat mempunyai kekebalan untuk mengadakan komunikasi guna untuk menjalankan tugas-tugas diplomatnya, tanpa mendapatkan halangan baik berupa tindakan pemeriksaan maupun penggeledahan dari negara-negara lain.

  Komunikasi ini dapat dilakukan antara para diplomat dengan negara pengirim dan dengan perwakilan diplomatik dan perwakilan konsuler lainnya dari negara penerima, dimana saja para diplomat ini dapat melakukan berbagai upaya untuk melakukan komunikasi baik diplomatik bag, korespondensi resmi ataupun korespondensi yang dilakukan dengan cara biasa, maupun komunikasi melalui transmisi.

  4. Latar Belakang Timbulnya Kekebalan dan Keistimewaan Diplomatik

  A. Dasar-dasar Teoritis Suatu negara yang mengirimkan perwakilan diplomatik ke suatu negara lain menginginkan wakil diplomatiknya diberikan perlakuan yang istimewa terhadap negara penerima, dengan demikian negara pengirim juga akan memperlakukan wakil-wakil diplomatik dinegaranya dengan istimewa pula.

  Adapun teori-teori mengenai mengapa diberikannya kekebalan-kekebalan dan hak istimewa kepada pejabat-pejabat diplomatik, di dalam hukum internasional terdapat tiga teori yaitu antara lain :

  1. Teori Exterritoriality yaitu seorang wakil diplomatik itu karena

  Exterritorialiteit dianggap tidak berada di wilayah negara

  penerima, tetapi berada di wilayah negara pengirim, meskipun kenyataannya di wilayah negara penerima. Oleh karena itu, maka dengan sendirinya seorang wakil diplomatik itu tidak takluk kepada hukum negara penerima. Begitu pula ia tidak dapat dikuasai oleh hukum negara penerima dan tidak takluk pada segala peraturan negara penerima.

  2. Teori Representative Character yaitu pemberian kekebalan- kekebalan diplomatik dan hak-hak istimewa kepada sifat perwakilan dari seorang diplomat, karena ia mewakili kepala negara atau negaranya di luar negeri.

  3. Teori Functional Necessity yaitu dasar kekebalan dan hak-hak keistimewaan seorang wakil diplomatik adalah bahwa seorang wakil diplomatik harus dan perlu diberi kesempatan seluas-

  13 luasnya untuk melakukan tugasnya dengan sempurna.

  B. Dasar-dasar Yuridis Didalam perkembangan pergaulan internasional dirasakan perlu dibuat konvensi internasional, yang merupakan dasar hukum tertulis yang umumnya dapat digunakan oleh semua negara secara timbal balik. Kecenderungan ini akhirnya menghasilkan Konvensi Wina 1961 tentang hubungan diplomatik. Dengan demikian masalah hubungan diplomatik tersebut tidak hanya menurut hukum kebiasaan namun terdapat hukum secara tertulis.

  Ketentuan-ketentuan mengenai kekebalan dan keistimewaan pun tidak terlepas masuk dalam hasil konvensi Wina 1961, dimana dapat kita jumpai dalam pasal 22 sampai pasal 31, hal mana dapat dapat diklasifikasi dalam :

  1. Ketentuan-ketentuan hak-hak istimewa dan kekebalan gedung- gedung perwakilan beserta arsip-arsip, kita jumpai dalam pasal 22, 24, dan30.

  2. Ketentuan-ketentuan hak-hak istimewa dan kekebalan mengenai pekerjaan atau pelaksanaan tugas wakil diplomatik, kita jumpai dalam pasal-pasal 25, 26, dan27.

13 Edi suryono, SH dan Moenir Arisoendha, SH, Hukum Diplomatik Kekebalan dan Keistimewaannya, Angkasa, Bandung, 1986, hal.31-36.

  3. Ketentuan-ketentuan hak-hak istimewa dan kekebalan mengenai pribadi wakil diplomatik, kita jumpai dalam pasal-pasal 29

  14 dan31.

  Selain dari pada Konvensi Wina 1961 juga telah dilakukan pembagian tentang kekebalan dan keistimewaan diplomatik oleh Law Commision, dalam 3 hal yang pokok :

  1. Immunities relating to the premises of the mission and to its archives

2. Those concerning the work of the mission

  15

  3. Personal immunities and privileges of the envoy Mengenai hak-hak diplomatik itu sendiri bukanlah dari hukum internasional itu sendiri melainkan dari hukum kebiasaan internasional. seperti pendapat dari Oppenheim:

  “The privileges which according to International Law, once

  

preserved by envoy are not rights given to them by

International La, but rights given by Municipal law of

receiving states in compliance with an international right

belonging to their home states. However, as right are

accorded to the by Municipal Law, the distinctions is without

  16 substantial significance.”

  Dengan demikian hal diatas yang menjadi dasar yuridis dari pelaksanaan dan pengakuan hak-hak kekebalan dan keistimewaan 14 Ibid diplomatik, dalam pergaulan internasional. 15 , hal 39-40.

B. Sen-Sir Gerald Fitzmaurice GCMG, A. Diplomat’s Hand Book of Internasional law and Practice, Martinus Nijhoff, The Hague, Hal. 89.

16 Oppenheim, L. MA, International Law, A Treaties, vol. I, peace eight edition, Longmans,

  green and co Itd, 1958, hal. 705-706

  5. Lingkup Kekebalan dan Keistimewaan Diplomatik

  a. Kekebalan bagi para pejabat diplomatik:  Kekebalan terhadap alat-alat kekuasaan negara penerima  Hak mendapatkan perlindungan terhadap gangguan dan serangan atas kebebasan dan kehormatannya  Kekebalan terhadap yurisdiksi pengadilan  Kekebalan dari kewajiban menjadi saksi

  b. Keistimewaan bagi para pejabat diplomatik:  Pembebasan dari pajak-pajak

  Pembebasan dari Bea Cukai dan Bagasi   Pembebasan dari kewajiban keamanan sosial  Pembebasan dari pelayanan pribadi, pelayanan umum dan militer

  Pembebasan dari kewarganegaraan 

  c. Kekebalan dan Keistimewaan bagi Keluarga Para Pejabat DiplomatikTermasuk Anggota Staf Diplomatik dan Pelayan:  Kekebalan terhadap anggota keluarga  Kekebalan terhadap anggota staf teknis dan administrasi  Anggota staf pelayan

  Pembantu rumah tangga pribadi 

  d. Kekebalan dan Keistimewaan Diplomatik di Negara Ketiga:  Kekebalan para pejabat diplomatik pada waktu transit

   Perjalanan karena Force Maejure

  e. Kekebalan Gedung Perwakilan dan Pembebasan Pajak: Gedung Perwakilan

   Pembebasan Gedung Perwakilan dari pajak

    Tidak dapat diganggu gugatnya komunikasi dan arsip 17 perwakilan.

  F. Metode penelitian

  Agar didapat hasil penulisan yang semaksimalnya. Maka penulisan skripsi ini mengunakan metode studi kepustakaan (Library Research). Dari studi kepustakaan ini, dipergunakan literatur-literatur, diktat-diktat, majalah- majalah, naskah konvensi, serta catatan-catatan lainya yang berhubungan dengan penulisan skripsi ini dan seterusnya akan dijadikan landasan pikiran serta landasan pembahasan. Metode ini menggunakan, pengumpulan bahan tulisan, mempelajari, memahami, dan menuangkannya kedalam bentuk tulisan ilmiah yang dimana penulis berusaha sebaik-baiknya menghasilkan tulisan ilmiah yang lengkap, faktual dan akurat.

  G. Sistematika Penulisan

  Sistematika penulisan ini dibagi dalam beberapa bab dan didalam bab terdiri dari atas sub bab demi bab. Adapun gambaran isi penulisan ini sebagai berikut:

17 Skripsi Ricardo Pardede, Kajian Hukum Internasional Dalam Kasus Sengketa Tanah Kedutaan Besar Malaysia,Fakultas Hukum USU, Medan, 2011, hal 10- 11.

  BAB I : PENDAHULUAN Bab ini merupakan pengantar untuk penulisan pada bab-bab

  berikutnya, dalam pembahasan yang terdiri dari : Latar Belakang, Perumusan Masalah, Tujuan Penulisan, Keaslian Penulisan, Tinjauan Kepustakaan, Metode Penelitian, Sistematika penulisan.

  BAB II : TINJAUAN TENTANG DIPLOMATIK DAN PELAKSANAAN HUKUM DIPLOMATIK Pada bab ini menguraikan tentang Tinjauan Umum Tentang Diplomatik dan Pelaksanaan Hukum Diplomatik, yang

  terdiri atas : Sejarah Diplomatik,Sumber Hukum Diplomatik serta Pelaksanaan Hukum Diplomatik, Pengangkatan dan Penerimaan Perwakilan Diplomatik, serta Tugas dan Fungsi Pejabat Diplomatik.

  BAB III : KEKEBALAN DAN KEISTIMEWAAN DIPLOMATIK Pada bab ini yang akan dibahas mengenai Kekebalan dan Keistimewaan Diplomatik, yang terdiri atas : Latar Belakang Timbulnya Kekebalan dan Keistimewaan Diplomatik, Dasar Teoritis dan Yuridis dari Kekebalan dan

  Keistimewaan Diplomatik, Ruang Lingkup Kekebalan dan Keistimewaan Diplomatik bagi Para Pejabat Diplomatik.

  BAB IV : PENYELESAIAN KASUS PENAHANAN DUTA BESAR ITALIA DI INDIA. Dalam bab ini memaparkan tentang Tinjauan Permasalahan

  dan Penyelesaian Kasus Penahanan Duta Besar Italia Di India, yang berisi tentang : Latar Belakang Kasus Penahanan Duta Besar Italia di India, Tanggapan Pihak Italia dan India atas Kasus Penahanan Duta Besar Italia di India, Tinjauan Mengenai Penanganan dan Penyelesaian Kasus Penahanan Duta Besar Italia di India.

  BAB V : KESIMPULAN DAN SARAN Dalam bab ini merupakan penutup, yang merupakan pokok-

  pokok kesimpulan dari semua permasalahan dalam pembahasan yang dilakukan dalam tulisan ini, serta saran- saran yang dikemukakan yang semoga dapat membantu dan bermanfaat bagi kita semua serta membantu kita lebih memahami tentang Hukum Diplomatik khususnya Kekebalan dan Keistimewaan Diplomatik.