BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang - Pelaksanaan Perkawinan Terhadap Nikah Mut’ah Berdasarkan Undang-Undang No 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan dan Hukum Islam

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Perkawinan merupakan suatu peristiwa penting dalam kehidupan

  masyarakat Indonesia karena ia tidak saja menyangkut pribadi kedua calon suami

   istri saja tetapi menyangkut urusan keluarga dan urusan masyarakat.

  Pengertian perkawinan di dalam KUHPerdata, hal ini dapat dilihat dalam

  Pasal 26 KUHPerdata, dikatakan bahwa Undang-Undang memandang soal perkawinan hanya dalam hubungan-hubungan perdata saja. Ratio Pasal ini menunjukkan bahwa KUHPerdata memandang perkawinan bukan suatu perbuatan religius yang berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa, melainkan bersifat materi atau kebendaan (zakelijk). Tujuan perkawinan hanya memfokuskan hubungan suami isteri dengan nilai-nilai kebendaan dan serba duniawi. Hubungan suami isteri lebih mengganggu sifat sosiologis dari pada religi. Religi tidak mendapat tempat dalam hubungan perdata pada soal-soal perkawinan. Hal ini didasarkan pada filosofi bahwa KUHPerdata menganut paham serba materi saja dengan

   mengagungkan individual-liberalistis.

  Tata tertib dan kaidah-kaidah perkawinan telah dirumuskan dalam suatu Undang-Undang Pokok Perkawinan, yaitu Undang-Undang No.1 Tahun 1974 yang di dalam Pasal 1 Undang-Undang No.1 Tahun 1974 berbunyi : “Perkawinan ialah ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami 1 Asmin SH, Status Perkawinan Antar Agama ditinjau dari Undang-Undang perkawinan

  No.1 tahun 1974 , Cetakan pertama, PT.Dian Rakyat, 1986, Jakarta, hlm.11 2 Prof.Dr.Tan Kamello.SH.MS dan Syarifah Lisa Andriati SH.M.Hum: Hukum Orang dan Keluarga ,ttp, 2010, Medan, hlm.66-67 isteri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal

  

berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa”.

  Perkawinan menurut Islam adalah pernikahan, yaitu akad yang sangat kuat atau mitsaqan ghalizhan untuk menaati perintah Allah dan melaksanakannya

   merupakan ibadah.

  Arti perkawinan yang dikehendaki oleh Hukum Islam, dapat kita lihat di

   Al-Qur’an Surah Ar-Rum ayat 21, yang berbunyi :

  “Dan diantara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan untukmu isteri-isteri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan dijadikan-Nya diantaramu rasa kasih dan sayang. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berpikir”.

  Faedah yang terbesar dalam perkawinan ialah, untuk menjaga dan memelihara perempuan yang bersifat lemah itu dari pada kebinasaan. Sebab seorang perempuan, apabila ia sudah kawin, maka nafkahnya (belanjanya) jadi wajib atas tanggungan suaminya. Perkawinan juga berguna untuk memelihara kerukunan anak cucu (turunan), sebab kalau tidak dengan nikah tentulah anak tidak berketentuan siapa yang akan mengurusnya dan siapa yang akan bertanggung jawab atasnya. Nikah juga dipandang sebagai kemaslahatan umum, karena kalau tidak ada perkawinan tentu manusia akan menurunkan sifat kebinatangan, dan dengan sifat itu akan timbul perselisihan, bencana dan

  3 Soedharyo Soimin.SH, Hukum Orang dan Keluarga ( Persfektif Hukum Barat/BW,

Hukum Islam, dan Hukum Adat) , Edisi Revisi, Cetakan Pertama, Sinar Grafika Offset, 2002, Jakarta, hlm.4 4 Mardani, Hukum Perkawinan Islam di Dunia Islam Modern, Edisi Pertama, Cetakan Pertama, Graha Ilmu, 2011, Yogyakarta, hlm.5 5 Al-Jumanatul Ali, Al-Qur’an dan Terjemahannya, ttp, tth, hlm.406 permusuhan antara sesamanya, yang mungkin juga sampai menimbulkan

   pembunuhan yang maha dahsyat.

  Demikianlah maksud perkawinan yang sejati dalam Islam. Dengan singkat untuk kemaslahatan dalam rumah tangga dan turunan, juga untuk kemaslahatan

   masyarakat.

  Oleh karenanya perkawinan dapat dilaksanakan setelah semua pihak yang telah memenuhi persyaratan dan rukun dari perkawinan yang telah ditetapkan dalam hukum Islam. Akan tetapi mencul permasalahan perkawinan yang sering terjadi di tengah-tengah kehidupan masyarakat, perkawinan tersebut dikenal dengan istilah kawin kontrak, di kalangan pemuka Islam dikenal dengan istilah nikah mut’ah, yang telah dikenal sejak zaman Rasulullah. Bagaimana pelaksanaan dan pandangan hukum Islam terhadap sebuah perkawinan yang dilakukan secara mut’ah.

  Adapun istilah kawin kontrak sama dengan istilah nikah mut’ah dalam Islam yang sering digunakan oleh para pemuka agama Islam, secara etimologis mut’ah berarti bersenang-senang atau menikmati. Nikah mut’ah disebut juga

   kawin sementara waktu atau kawin yang terputus.

  Menurut hukum Islam perkawinan kontrak adalah suatu “kontrak” atau “akad”, antara seorang laki-laki dan wanita yang tidak bersuami serta ditentukan akhir periode perkawinan dengan dan mas kawin yang harus diserahkan kepada keluarga wanita. Adapun syarat kawin kontrak diantaranya melakukan ijabqobul, 6 H.Sulaiman Rasjid, Fiqh Islam, Cetakan Kelimabelas, Attahirijah Djatinegara, tth,

  Jakarta, hlm.356 7 8 Ibid.

  Mardani, Op.Cit., hlm.15 ada mas kawin dan batas waktu berakhirnya perkawinan yang telah ditentukan antara kedua belah pihak sesuai dengan kesepakatan. Dalam perkawinan mut’ah masa perkawinan akan berakhir dengan berakhirnya masa perjanjian yang telah disepakati oleh kadua belah pihak dengan tanpa adanya perceraian dan tidak ada kewajiban bagi si laki-laki untuk memberi nafkah, tempat-tinggal serta kewajiban

   lainnya.

  Nikah mut’ah atau nikah yang sifatnya sementara ini merupakan suatu bentuk perkawinan terlarang yang dijalin dalam tempo yang singkat untuk mendapatkan perolehan yang ditetapkan. Ia diperkenalkan pada masa awal

   pembentukan ajaran Islam, sebelum syariat Islam ditetapkan secara lengkap.

  Setelah syariat Islam mencapai kesempurnaannya, maka ia pun diharamkan, izin sementara keadaan memaksa yang telah diberikan Nabi SAW itu, segera diharamkan setelah pembukaan kota Makkah sebagaimana diriwayatkan oleh Ali bin Abi Thalib, yang terdapat didalam buku Prof.Abdur

11 Rahman I.Doi,Ph.D :

  “Sesungguhnya dia beserta Nabi SAW pada saat terjadinya pertempuran untuk membuka kota Makkah. Nabi SAW telah mengizinkan para sahabat untuk kawin Mut’ah. Lalu Ali itu berkata:””Maka Nabi SAW tidak keluar dari kota Makkah itu sampai Beliau mengharamkannya”.

  Menurut riwayat yang lain lagi, Nabi SAW telah bersabda :

9 Ahmad Roviq, Hukum Islam di Indonesia, PT. Raja Grafindo Persada, 2000, Jakarta,

  hlm.156 10 Prof.Abdur Rahman I.Doi,Ph.D, Perkawinan dalam Syariat Islam, Cetakan Kedua, PT.Rineka Cipta, 1992, Jakarta, hlm.62 11 Ibid, hlm.63

   “Dan sesungguhnya Allah telah mengharamkannya sampai Hari Akhir”.

  Nikah mut’ah pernah dihalalkan dan Islam kemudian diharamkan kembali karena bertentangan dengan kemaslahatan manusia. Nikah mut’ah sudah ada sejak

  

  masa pra Islam (Jahiliyah). Namun begitu, beberapa ulama mazhab hukum Syi’ah masih membolehkannya bahkan hingga saat ini, sekalipun ia jarang

   diperaktekkan.

  Para pelaku kawin kontrak beranggapan bahwa perkawinan yang mereka lakukan adalah sah walaupun kawin kontrak tidak sesuai dengan maksud dan tujuan dari perkawinan yang tertuang dalam Undang-undang No 1 Tahun 1974 dan Kompilasi Hukum Islam.

  Sedangkan maksud dan tujuan dari nikah mut’ah hanya untuk memperoleh kesenangan seksual, dan tidak ada tujuan untuk membentuk rumah tangga yang abadi, kekal, sakinah, mawaddah wa rahmah, dan itu bertentangan tujuan

   pernikahan yang disyariatkan dalam Islam.

  Jika perkawinan tersebut dilaksanakan dengan sungguh – sungguh, maka tidak menimbulkan masalah yang berarti, oleh karena secara umum hal ini lazim terjadi. Dan memang sebaiknya suatu perkawinan dilaksanakan dengan kesungguhan hati kedua mempelai untuk bersatu membina bahtera rumah tangga.

  Namun bagaimana halnya perkawinan dengan perkawinan mut’ah yang lebih dikenal dengan istilah kawin kontrak.

  12 13 Ibid. 14 Mardani, Op.Cit. 15 Prof. Abdur Rahman I. Doi, Ph.D, Op.Cit., hlm.64 Mardani, Loc.Cit., hlm.16

  Bertitik tolak dari latar belakang tersebut mendorong penulis melihat lebih jauh, mengapa nikah mut’ah itu dilarang, sejauh mana tingkat pelarangannya dan dimana pelaksanaan nikah mut’ah itu sendiri diatur, yang selanjutnya penulis tuangkan dalam skripsi ini.

  Berdasarkan uraian tersebut di atas, maka penulis memilih judul sebagai berikut : “Pelaksanaan Perkawinan Terhadap Nikah Mut’ah Berdasarkan

  Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan Dan Hukum Islam”.

B. Perumusan Masalah

  Perumusan masalah diperlukan untuk memperjelas dan mempermudah pelaksanaan agar sasaran penelitian menjadi runtut, jelas, dan tegas guna mencapai hasil yang diharapkan. Berdasarkan latar belakang masalah diatas, maka yang menjadi rumusan masalah adalah sebagai berikut:

  1. Bagaimanakah awal hukum perkawinan di Indonesia berdasarkan Undang- undang No 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan?

2. Bagaimanakah pelaksanaan perkawinan terhadap nikah mut’ah berdasarkan

  Undang-undang No 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan dan hukum Islam? 3. Bagaimana akibat hukum dan hukum nikah mut’ah menurut ulama di

  Indonesia dalam bentuk fatwa dan Undang-undang No 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan?

C. Tujuan dan Manfaat Penulisan

  Adapun tujuan dari penulisan skripsi ini adalah:

  1. Untuk mengetahui awal perkembangan hukum di Indonesia.

  2. Untuk mengetahui pelaksanaan perkawinan terhadap nikah mut’ah berdasarkan Undang-undang No 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan dan hukum Islam.

  3. Untuk mengetahui akibat hukum dan hukum nikah mut’ah menurut ulama di Indonesia dan Undang-undang No 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan.

  Adapun manfaat dari penulisan skripsi ini adalah: 1. Secara Teoritis, hasil dari penulisan skripsi ini diharapkan dapat menambah pengetahuan tentang ilmu hukum secara umum dan terhadap perkembangan ilmu pengetahuan hukum perdata khususnya hukum perkawinan.

  2. Secara Praktis, dari adanya penulisan skripsi ini diharapkan dapat menambah pengetahuan mengenai pelaksanaan perkawinan terhadap nikah mut’ah berdasarkan Undang-undang No 1 Tahun 1974 tentang perkawinan dan hukum Islam.

D. Keaslian Penulisan

  Skripsi ini berjudul “Pelaksanaan Perkawinan Terhadap Nikah Mut’ah Berdasarkan Undang-Undang No 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan dan Hukum Islam”.

  Judul skripsi ini telah terlebih dahulu dikonfirmasikan kepada Ketua Departemen Hukum Perdata Universitas Sumatera Utara serta melakukan pemeriksaan pada Perpustakaan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara sehubungan dengan keaslian judul skripsi ini, dan hasilnya bahwa judul skripsi tersebut belum ada terdapat di Perpustakaan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

  Apabila dikemudian hari terdapat judul skripsi yang sama atau telah ditulis oleh orang lain sebelum skripsi ini saya buat, maka hal itu menjadi tanggung jawab saya sendiri.

E. Tinjauan Kepustakaan

1. Pengertian Perkawinan

  Istilah yang digunakan dalam bahasa Arab pada istilah-istilah fiqih tentang perkawinan adalah munakahat/nikah, sedangkan dalam bahasa Arab pada perundang-undangan tentang perkawinan, yaitu Ahkam Al-Zawaj atau Ahkam

   izwaj . Kedua kata ini yang terpakai dalam kehidupan sehari-hari orang arab dan

  

  banyak terdapat dalam Al-Qur’an dan hadis Nabi. Dan dalam bahasa Inggris, baik dalam buku-buku maupun perundang-undangan tentang perkawinan digunakan istilah Islamic Marriage Law, dan Islamic Marriage Ordinance. Sementara dalam bahasa Indonesia digunakan istilah Hukum Perkawinan. Yang dimaksud dengan munakahat, yaitu hukum yang mengatur hubungan

   antaranggota keluarga.

  Nikah atau kawin menurut arti asli adalah hubunga seksual tetapi menurut arti majazi (mathaporic) atau arti hukum adalah akad (perjanjian) yang 16 17 Ibid, hlm.3

  Prof.Dr.Amir Syarifuddin, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia Antara Fiqh

Munakahat dan Undang-Undang Perkawinan, Edisi Pertama, Cetakan Kedua, Kencana, 2007, Jakarta, hlm.35 18 Mardani, Op.Cit. menjadikan halal hubungan seksual sebagai suami istri antara seorang pria dengan

   seorang wanita.

  Pengertian perkawinan dalam Pasal 1 Undang-undang No 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan ialah suatu ikatan lahir bathin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah

  

  tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Dan perkawinan menurut hukum Islam adalah akad yang sangat kuat atau mitsaqan

  

ghalidzan untuk mentaati perintah Allah dan melaksanakannya merupakan

   ibadah.

  Secara etimologis perkawinan dalam bahasa Arab berarti nikah atau zawaj. Kedua kata ini yang terpakai dalam kehidupan sehari-hari orang Arab dan banyak terdapat dalam Al-Qur’an dan hadis Nabi. Nikah mempunyai arti Al-Wath’i, Al-

  

Dhommu, Al-Tadakhul, Al-jam’u atau ibarat ‘an al-wath wa al aqd yang berarti

   bersetubuh, hubungan badan, berkumpul, jima’, dan akad.

  Secara terminologis perkawinan (nikah) yaitu akad yang memperbolehkan terjadinya istimta’ (persetubuhan) dengan seorang wanita, selama seorang wanita tersebut bukan dengan wanita yang diharamkan baik dengan sebab keturunan atau

   seperti sebab susuan.

  19 Moh.Idris Ramulyo,SH.MH, Hukum Perkawinan Islam suatu Analisis dari Undang-

Undang No.1 Tahun 1974 dan Kompilasi Hukum Islam, Edisi Kedua, Cetakan Kelima, PT.Bumi

Akasara, 2004, Jakarta, hlm.1 20 Prof.R.Subekti,SH dan R.Tjitrosudibio, Kitab Undang-Undang Hukum Perdata/BW, Cetakan Ketiga puluh empat, PT.Pradnya Paramita, 2004, Jakarta, hlm.537 21 Tim Redaksi Nuansa Aulia, Kompilasi Hukum Islam, Cetakan Pertama, CV.Nuansa Aulia, 2008, Bandung, hlm.2 22 23 Mardani, Op.Cit., hlm.4 Ibid.

  Pada umumnya, perkawinan dianggap sebagai sesuatu yang suci dan karenanya setiap agama menghubungkan kaedah-kaedah perkawinan dengan ajaran-ajaran agama. Begitu pula dengan Undang-undang Perkawinan No.1 Tahun 1974, dengan menunjuk kepada hukum agamanya dan kepercayannya dari yang bersangkutan sebagai syarat sahnya suatu perkawinan, secara tidak langsung juga menganggap perkawinan sebagai sesuatu yang suci. Akibatnya setiap perkawinan yang menyimpang dari norma-norma agama dipandang sebagia sesuatu yang menyalahi hukum agama dan umumnya semua agama melarang perkawinan

   semacam itu.

  Perkawinan menurut perundangan ialah ikatan antara seorang pria dengan seorang wanita. Berarti perkawinan sama halnya dengan perikatan (verbindtenis).

  Dalam hal ini dapat dilihat dalam pasal 26 KUHPerdata dikatakan undang-undang

   memandang soal perkawinan hanya dalam hubungan perdata.

  Perkawinan menurut hukum agama adalah perbuatan yang suci (sakramen, samskara), yaitu suatu perikatan antara dua pihak dalam memenuhi perintah dan ajaran Tuhan Yang Maha Esa, agar kehidupan berkeluarga dan berumahtangga serta bekerabat tetangga berjalan dengan baik sesuai dengan ajaran agama

   masing-masing.

   Perkawinan dalam Islam secara luas adalah: a.

  Merupakan alat untuk memenuhi kebutuhan emosi dan seksual yang sah dan benar 24 25 Asmin.SH, Op.Cit., hlm.75 Prof. H. Hilman Hadikusumo.SH, Hukum Perkawinan Indonesia menurut: Perundang-

  undangan,Hukum Adat,Hukum Agama, Cetakan Kedua, CV. Mandar Maju, 2003, Bandung, hlm.7 26 27 Ibid , hlm.10 Prof.Abdul Rahman I.Doi.Ph.D., Op.Cit., hlm.7

  b.

  Suatu mekanisme untuk mengurang ketegangan c. Cara untuk memperoleh keturunan yang sah d. Menduduki fungsi sosial e. Mendekatkan hubungan antar keluarga dan solidaritas kelompok f. Merupakan perbuatan menuju ketaqwaan g.

  Merupakan suatu bentuk ibadah, yaitu pengabdian kepada Allah mengikuti sunnah Rasulullah SAW.

2. Pengertian Mut’ah

  Nikah mut’ah ialah suatu perkawinan yang jangka waktunya ditetapkan,

   baik dalam akad nikah ataupun dalam perjanjian sebelum atau sesudahnya.

  Secara etimologi mut’ah berarti bersenang-senang atau menikmati. Kawin

   mut’ah disebut juga kawin sementara waktu atau kawin yang terputus.

  Secara terminologi mut’ah yaitu perkawinan yang dilaksanakan semata- mata untuk melampiaskan hawa nafsu dan bersenang-senang untuk sementara waktu (kawin kontrak) atau akad perkawinan yang dilakukan seorang laki-laki terhadap wanita untuk satu hari, satu minggu, atau satu bulan. Disebut nikah mut’ah, karena dengan perkawinan tersebut laki-laki dapat menikmat sepuas-

   puasnya sampai saat yang telah ditentukan dalam akad.

  28 Drs.H.Saidus Syahar SH, Undang-Undang Perkawinan dan Masalah Pelaksanaannya Ditinjau dari Segi Hukum Islam, Penerbit alumni, 1976, Bandung, hlm.72 29 30 Mardani, Op.Cit., hlm.15 Ibid .

  Kata mut’ah dalam term bahasa Arab yang berasal dari kata ma-ta-‘a yang secara etimologi mengandung beberapa arti di antaranya : Kesenangan, Alat

   pelengkapan, dan Pemberian.

  Secara bahasa, mut’ah berarti kesenangan atau kenikmatan. Nikah mut’ah disebut pula nikah mu’aqqat (nikah dalam jangka waktu/ durasi tertentu). Sayyid

   Sabiq menjelaskan bahwa yang dimaksud dengan nikah mu’aqqat adalah :

  “Seorang laki-laki melakukan akad nikah dengan seorang perempuan yang berlaku selama sehari, seminggu, atau sebulan”.

  Nikah mut’ah dalam istilah hukum biasa disebutkan “perkawinan untuk masa tertentu”, dalam arti pada waktu akad dinyatakan berlaku ikatan perkawinan sampai masa tertentu yang bila masa itu telah datang, perkawinan terputus dengan sendirinya tanpa melalui proses perceraian. Nikah mut’ah itu waktu ini masih dijalankan oleh masyarakat yang bermazhab Syi’ah Imamiyah yang tersebar di seluruh Iran dan sebagian Irak. Nikah mut’ah itu disebut juga dengan nikah

  

munqati’ . Sedangkan perkawinan biasa yang tidak ditentukan batas masa

   berlakunya disebut nikah daim.

  Nikah mut’ah bertujuan hanya untuk memperoleh kesenangan seksual, dan tidak ada tujuan untuk membentuk rumah tangga yang abadi, kekal, sakinah

  

mawaddah wa rahmah , dan itu bertentangan dengan tujuan pernikahan yang

   disyariatkan dalam Islam. 31 32 Prof.Dr.Amir Syarifuddin, Op.Cit., hlm.100 Dr. Jaih Mubarok. M.Ag., Modernisasi Hukum Perkawinan di Indonesia, Cetakan Pertama, Pustaka Bani Quraisy, 2005, Bandung, hlm.134 33 34 Prof. Dr. Amir Syarifuddin, Loc.Cit.

  Mardani, Op.Cit., hlm.16 Mut’ah merupakan suatu bentuk perkawinan terlarang yang dijalin dalam tempo yang singkat untuk mendapatkan perolehan yang ditetapkan. Ia diperkenankan pada masa awal pembentukan ajaran Islam, sebelum syariat Islam ditetapkan secara lengkap. Ia diperbolehkan pada hari-hari permulaan sewaktu seseorang melakukan suatu perjalanan atau ketika orang-orang sedang bertempur

   melawan musuh.

  Nikah mut’ah sudah menjadi kebiasaan pada masyarakat Arab di zaman Jahiliyah untuk memperistrikan seorang wanita buat waktu yang singkat, untuk sementara waktu saja. Sangat hinalah tindakan terhadap wanita, diperbuat oleh kaum pria untuk menjadi alatnya diwaktu yang singkat saja. Seorang pedagang umpamanya, atau seorang petugas berpindah dari satu kota ke kota yang lain.

  Pada setiap kota yang disinggahinya, dinikahinya seorang wanita, nanti setelah selesai urusannya dikota itu, wanita itu diceraikannya dan ia pergi ke kota berikutnya, mengawini perempuan dikota itu pula, yang nanti sesudah pekerjaannya selesai akan ditalaqnya pula. Begitulah seterusnya. Pada mulanya Islam membiarkan ini, tapi belakangan keluarlah larangan melakukannya. “Hai sekalian manusia, aku telah memberikan bermut’ah dengan wanita, sesungguhnya

   Allah telah mengharamkan demikian sampai hari kiamat”.

  Alasan mengapa mut’ah diperkenankan adalah bahwa orang-orang yang baru memeluk agama Islam tengah mulai masa peralihan dari Jahiliyah kepada Islam. Pada masa Jahiliyah, perzinahan merupakan hal yang sangat wajar sehingga ia tidak dianggap sebagai dosa. Lalu turunlah larangan Islam tentang 35 36 Prof. Abdul Rahman I.Doi.Ph.D, Op.Cit., hlm.62 Abdul Wahid Salayan, Segi-segi Kemasyarakatan dalam Hukum Islam II, I.A.I.N, tth,

  Padang, hlm.151 bunga (Al-Riba) dan minuman keras (Al-Khamar) secara bertahap, karena masyarakat telah telah sangat akrab dengan hal-hal tersebut, sedangkan mut’ah hanya diperkenankan pada masa-masa awal karena orang-orang berjuang di medan tempur atau “Gihazwat”. Meraka yang imannya masih lemah mencoba melakukan zina semasa perang itu. Sedangkan orang yang kuat imannya menahan

   keinginanya dengan keras untuk mengendalikan hawa nafsunya.

F. Metode Penulisan

  Metode penelitian menjelaskan mengenai bagaimana data dan informasi diperoleh dalam melaksanakan penelitian. Adapun metode penelitian hukum yang digunakan penulis dalam mengerjakan skripsi ini antara lain: 1.

  Jenis penelitian Penelitian yang digunakan adalah penelitian hukum normatif (legal

research ), jenis penelitiannya adalah penelitian terhadap sistematika hukum.

  Penelitian terhadap sistematika hukum dapat dilakukan pada peraturan perundang–undangan tertentu atau hukum tertulis. Tujuan pokoknya adalah untuk mengadakan identifikasi terhadap pengertian-pengertian pokok atau dasar dalam hukum yaitu masyarakat hukum, subjek hukum, hak dan

   kewajiban, peristiwa hukum, hubungan hukum dan objek hukum.

  Penelitian ini penting artinya karena masing-masing pengertian pokok atau dasar tersebut mempunyai arti tertentu dalam kehidupan hukum, misalnya pengertian pokok atau dasar “peristiwa hukum” yang mempunyai arti penting 37 38 Prof. Abdul Rahman I.Doi.Ph.D, Op.Cit.

  Bambang Sunggono, Metode Penelitian Hukum, PT.Raja Grafindo Persada, 2010, Jakarta, hlm.93 dalam kehidupan hukum, mencakup keadaan (omstandigheden), kejadian (gebeurtenissens) dan perilaku atau sikap tindak (gedragingen).

   2.

  Metode Pengumpulan Data Data yang digunakan adalah data sekunder. Data sekunder merupakan ukuran-ukuran resmi tentang pengertian dari unsur-unsur yang diteliti.

   Sumber data diperoleh dari:

  Alat pengumpulan data yang dipergunakan dalam penelitian ini adalah penelitian kepustakaan (library research). Alat yang dipergunakan untuk mengumpulkan data adalah studi dokumen.

  

  a) Bahan hukum primer, yaitu bahan-bahan hukum yang mengikat, yaitu:

  (1) Kitab Undang-Undang Hukum Perdata

  (2) Undang-Undang No.1 Tahun 1974 tentang Perkawinan

  (3) Peraturan Pemerintah No. 9 Tahun 1975 tentang Peraturan Pelaksana

  Undang-undang No. 1 Tahun 1974 (4)

  Intruksi Presiden No. 1 Tahun 1991 tentang Kompilasi Hukum Islam (KHI).

  b) Bahan hukum sekunder, yaitu memberikan penjelasan mengenai bahan hukum primer, seperti : buku-buku bacaan terkait perkawinan, karya dari kalangan hukum, dan sebagainya.

  c) Bahan hukum tersier atau bahan hukum penunjang, yaitu bahan-bahan yang memberi petunjuk-petunjuk maupun penjelasan terhadap hukum 39 Ibid. 40 Tampil Anshari Siregar, Metode Penelitian Hukum Penulisan Skripsi, Pustaka Bangsa

  Press, 2007, Medan, hlm.75 41 Bambang Sunggono, Op.Cit., hlm.185 primer dan sekunder, seperti : kamus hukum dan artikel-artikel yang berasal dari internet.

3. Analisis data

  Analisis data yang digunakan pada skripsi ini adalah analisis kualitatif, yaitu mengikhtiarkan hasil pengumpulan data selengkap mungkin serta

  

  memilah-milahnya dalam satuan konsep, kategori atau tema tertentu. Untuk mengungkapkan secara mendalam tentang pandangan dan konsep yang diperlukan dan akan diuraikan secara konfrehensif sehingga dapat menjawab permasalahan-permasalahan yang ada dalam skipsi ini.

G. Sistematika Penulisan

  Keseluruhan sistematika yang ada dalam penulisan skripsi ini merupakan satu kesatuan yang saling berhubungan antara satu dengan lainnya dan tidak dapat terpisahkan. Pembagian sub bab ini dimaksudkan untuk mempermudah penulis dalam menguraikan permasalahan secara teoritis hingga akhinya diperoleh kesimpulan dan saran. Sistematika penulisan skripsi ini adalah sebagai berikut:

  BAB I : Pendahuluan, yang terdiri dari: latar belakang, perumusan masalah, tujuan dan manfaat penulisan, keaslian penulisan, tinjauan kepustakaan, metode penelitian, sistematika penulisan.

  BAB II : Pembahasan tentang tinjauan umum terhadap perkawinan berdasarkan Undang-undang No 1 Tahun 1974 tentang 42 Perkawinan dan hukum islam, yang terdiri dari: sejarah hukum

  Burhan Bungin, Analisis Data Penelitian Kualitatif: Pemahaman Filosofis dan

Metodologis kearah Penguasaan Model Aplikasi, PT.Raja Grafindo Persada, 2003, Jakarta, hlm.68-69 perkawinan di Indonesia, asas-asas hukum perkawinan, syarat sahnya perkawinan, tujuan melakukan perkawinan.

  BAB III : Pembahasan tentang pelaksanaan perkawinan terhadap nikah mut’ah berdasarkan Undang-undang No 1 Tahun 1974 tentang perkawinan dan hukum islam, yang terdiri dari: hukum melakukan perkawinan, bentuk-bentuk perkawinan menurut hukum islam, dasar dan batasan nikah mut’ah, tata cara melangsungkan perkawinan.

  BAB IV : Pembahasan tentang akibat hukum dan hukum nikah mut’ah menurut ulama di indonesia dalam bentuk fatwa dan Undang- undang No 1 Tahun 1974 tentang perkawinan, yang terdiri dari: hukum nikah mut’ah menurut ulama di Indonesia dalam bentuk fatwa dan peraturan perundang-undangan, bahaya nikah mut’ah terhadap kehidupan beragama dan bermasyarakat, akibat hukum nikah mut’ah.

  BAB V : Penutup, yang terdiri dari: kesimpulan seluruh tulisan atau pemabahasan dan saran-saran.

Dokumen yang terkait

Perkawinan Campuran Menurut Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan Tentang Perkawinan

2 93 97

Pelaksanaan Perkawinan Terhadap Nikah Mut’ah Berdasarkan Undang-Undang No 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan dan Hukum Islam

3 111 109

Persintuhan Hukum Perkawinan Adat Minangkabau Dengan Hukum Perkawinan Islam Dikaitkan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan

2 32 140

Tinjauan Yuridis Terhadap Perkawinan Tanpa Akta Nikah Menurut Undang-Undang No 1 Tahun 1974 Dan Kaitannya Dengan Hukum Islam

3 34 94

BAB 1 PENDAHULUAN A. Latar Belakang - Pelaksanaan Perkawinan Sebagai Sanksi Bagi Pelaku Khalwat Dalam Persepektif Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan dan Kompilasi Hukum Islam (Atudi di Kota Langsa)

0 0 13

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang - Tinjauan Yuridis Terhadap Sita Marital Atas Sengketa Harta Bersama Dalam Perkawinan Menurut Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan Dan Kitab Undang-Undang Hukum Perdata

1 0 21

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang - Aspek Hukum Perkawinan Antar Agama Menurut Perspektif Undang- Undang No 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan Dan Kompilasi Hukum Islam

0 0 8

BAB II PENGATURAN PERKAWINAN DI INDONESIA A. Pengaturan Perkawinan Sebelum Lahirnya Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan - Perkawinan Dibawah Umur Ditinjau dari Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan dan Hukum Adat Serta Kompil

0 0 38

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang - Perkawinan Dibawah Umur Ditinjau dari Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan dan Hukum Adat Serta Kompilasi Hukum Islam

0 0 12

BAB II TINJAUAN UMUM TERHADAP PERKAWINAN BERDASARKAN UNDANG-UNDANG NO 1 TAHUN 1974 TENTANG PERKAWINAN DAN HUKUM ISLAM A. Sejarah Hukum Perkawinan di Indonesia - Pelaksanaan Perkawinan Terhadap Nikah Mut’ah Berdasarkan Undang-Undang No 1 Tahun 1974 Tentang

0 0 35