Tinjauan Yuridis Terhadap Perkawinan Tanpa Akta Nikah Menurut Undang-Undang No 1 Tahun 1974 Dan Kaitannya Dengan Hukum Islam

(1)

Mufidah Ulfah : Tinjauan Yuridis Terhadap Perkawinan Tanpa Akta Nikah Menurut Undang-Undang No 1 Tahun 1974 Dan Kaitannya Dengan Hukum Islam, 2008.

USU Repository © 2009

TINJAUAN YURIDIS TERHADAP PERKAWINAN TANPA AKTA

NIKAH MENURUT UNDANG-UNDANG NO 1 TAHUN 1974 DAN

KAITANNYA DENGAN HUKUM ISLAM

SKRIPSI

Diajukan Untuk Melengkapi Tugas-tugas dan Memenuhi Syarat Untuk Memperoleh Gelar

Sarjana Hukum

Oleh

MUFIDAH ULFAH

NIM : 040200105

Jurusan: Hukum Keperdataan Program Kekhususan : Perdata BW

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN


(2)

Mufidah Ulfah : Tinjauan Yuridis Terhadap Perkawinan Tanpa Akta Nikah Menurut Undang-Undang No 1 Tahun 1974 Dan Kaitannya Dengan Hukum Islam, 2008.

USU Repository © 2009

TINJAUAN YURIDIS TERHADAP PERKAWINAN TANPA AKTA NIKAH MENURUT UNDANG-UNDANG NO 1 TAHUN 1974 DAN KAITANNYA

DENGAN HUKUM ISLAM

SKRIPSI

Diajukan Untuk Melengkapi Tugas-tugas dan Memenuhi Syarat Untuk Memperoleh Gelar Sarjana Hukum

Oleh

Nama : Mufidah ulfah

NIM : 040200105

Jurusan : Hukum Keperdataan Program Kekhususan : Perdata BW

Disetujui, Ketua Jurusan

(Prof. DR. Tan Kamelo, SH, MS) NIP. 131764556

Pembimbing I, Pembimbing II,

(M. Hayat, SH)

2008

(Yefrizawati, SH, M.Hum) NIP. 130808994 NIP. 132300074

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN


(3)

Mufidah Ulfah : Tinjauan Yuridis Terhadap Perkawinan Tanpa Akta Nikah Menurut Undang-Undang No 1 Tahun 1974 Dan Kaitannya Dengan Hukum Islam, 2008.

USU Repository © 2009

ABSTRAK

Pasal 1 Undang-undang No 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan menyebutkan bahwa perkawinan adalah ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami isteri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Berdasarkan ketentuan Pasal 2 ayat (1) dan ayat (2) Undang-undang No 1 Tahun 1974 yang menyebutkan bahwa suatu perkawinan adalah sah apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu, dan tiap-tiap perkawinan dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku. Untuk menghindari pencatatan perkawinan, biasanya pihak-pihak yang akan melangsungkan perkawinan, melakukan perkawinan di bawah tangan.

Adapun yang menjadi permasalahan dalam skripsi ini adalah Bagaimana pandangan Undang-undang No 1 Tahun 1974 dan hukum Islam terhadap perkawinan tanpa akta nikah dan apa akibat hukumnya jika suatu perkawinan tidak mempunyai akta nikah menurut ketentuan Undang-undang No 1 Tahun 1974 dan ketentuan Hukum Islam serta apa upaya yang harus dilakukan agar suatu perkawinan tanpa akta nikah menjadi sah menurut hukum.

Penelitian pada skripsi ini dilakukan dengan menggunakan metode Library Research atau penelitian kepustakaan dengan mempelajari perundang-undangan, sejumlah buku, tulisan dan karya ilmiah yang berhubungan dengan materi yang dibahas dalam skripsi ini.

Menurut ketentuan Undang-undang No 1 Tahun 1974 bahwa suatu perkawinan dianggap sah apabila dilakukan menurut agama dan kepercayaannya serta dicatat oleh pejabat yang berwenang. Hal ini berarti bahwa perkawinan di bawah tangan adalah tidak sah menurut Undang-undang No 1 Tahun 1974. Sebaliknya, menurut hukum Islam, suatu perkawinan yang telah memenuhi rukun dan syarat perkawinan dianggap sebagai perkawinan yang sah walaupun tidak dicatat oleh Pegawai Pencatat Nikah sehingga akibat hukumnya sama dengan perkawinan pada umumnya, akibat hukum tersebut berbeda dengan akibat hukum perkawinan di bawah tangan menurut Undang-undang No 1 Tahun 1974. Oleh karena perkawinan tersebut tidak sah menurut hukum positif, maka perkawinan tersebut tidak mempunyai akibat hukum, tetapi terdapat dampak perkawinan di bawah terhadap status anak dan istri, yaitu dalam hal warisan dan pengakuan anak, sebab akan sulit untuk mendapatkan akte kelahiran anak apabila orang tuanya tidak mempunyai akta nikah. Untuk mengantisipasi hal tersebut,maka kepada mereka diberikan kesempatan untuk mengajukan permohonan itsbat nikah ke Pengadilan Agama, sedangkan bagi yang beragama non-Islam dapat melakukan perkawinan ulang dan kemudian mencatatkan perkawinan tersebut ke Kantor Catatan Sipil.


(4)

Mufidah Ulfah : Tinjauan Yuridis Terhadap Perkawinan Tanpa Akta Nikah Menurut Undang-Undang No 1 Tahun 1974 Dan Kaitannya Dengan Hukum Islam, 2008.

USU Repository © 2009

KATA PENGANTAR

Segala puji dan syukur penulis ucapkan kepada Allah SWT, hanya karena nikmat dan Karunia-Nya penulis dapat melaksanakan aktifitas sehari-hari khususnya dalam menyelesaikan skripsi ini.

Skripsi ini disusun guna melengkapi dan memenuhi tugas dan syarat untuk meraih gelar Sarjana Hukum yang merupakan kewajiban bagi setiap mahasiswa/i yang ingin menyelesaikan perkuliahannya.

Adapun judul Skripsi yang penulis kemukakan adalah“TINJAUAN YURIDIS TERHADAP PERKAWINAN TANPA AKTA NIKAH MENURUT UNDANG-UNDANG NO 1 TAHUN 1974 DAN KAITANNYA DENGAN HUKUM ISLAM ”. Penulis menyadari bahwa penulisan skripsi ini masih jauh dari kesempurnaan. Hal ini disebabkan oleh keterbatasan kemampuan dan pengetahuan penulis serta bahan-bahan referensi yang berkaitan dengan masalah dalam skripsi ini. Oleh karena itu, penulis mengharapkan kritik dan saran yang dapat membangun demi perbaikan dan penyempurnaan skripsi.

Didalam penyusunan skripsi ini, penulis mendapat bantuan dan bimbingan dari berbagai pihak. Oleh karena itu, pada kesempatan ini penulis ingin mengucapkan terima kasih kepada :

1. Bapak Prof. Dr. Runtung Sitepu, SH. M.Hum, selaku Dekan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.


(5)

Mufidah Ulfah : Tinjauan Yuridis Terhadap Perkawinan Tanpa Akta Nikah Menurut Undang-Undang No 1 Tahun 1974 Dan Kaitannya Dengan Hukum Islam, 2008.

USU Repository © 2009

2. Bapak Prof. DR. Tan Kamello, SH, MS, selaku Ketua Departemen Hukum Perdata.

3. Bapak M. Hayat, SH, selaku dosen pembimbing I yang telah banyak membantu dan memberikan masukan kepada penulis dalam menyusun skripsi ini.

4. Ibu Yefrizawati, SH, M.Hum, sebagai dosen pembimbing II yang juga memberikan begitu banyak masukan dan bantuan terhadap penyusunan skripsi ini, serta rela meluangkan waktunya agar skripsi ini dapat diselesaikan dengan baik. Atas semua kebaikan ibu, penulis mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya, semoga Allah SWT membalasnya dengan suatu kebaikan yang lebih. Amiin...

5. Ibu Rafiqoh Lubis, SH. M.Hum, selaku dosen wali penulis.

6. Kepada seluruh dosen Fakultas Hukum USU yang telah memberikan Ilmu dan Pengetahuan kepada penulis.

7. Teristimewa kepada yang tersayang dan terpenting dalam hidupku, ayahanda H. Maraenda Hrp, SH, M.H, dan ibunda Dra. Pitta Hara Siregar. Tak henti-hentinya penulis mengucapkan terima kasih atas segala dorongan semangat, spiritual, material, serta do’a yang selalu ayahanda dan ibunda panjatkan agar langkah serta usaha yang ditempuh dalam penulisan skripsi ini diberkahi oleh Allah SWT.

8. Terima kasih kepada keempat saudaraku tercinta, Kak Mawaddah, Cici, Lukman, dan Farhan atas kerelaan kehilangan sebagian besar waktu berkumpul serta atas canda tawa yang menemani pada saat skripsi ini disusun sehingga penulis selalu optimis dalam mengerjakan skripsi ini. Juga kepada Rida, Lia,


(6)

Mufidah Ulfah : Tinjauan Yuridis Terhadap Perkawinan Tanpa Akta Nikah Menurut Undang-Undang No 1 Tahun 1974 Dan Kaitannya Dengan Hukum Islam, 2008.

USU Repository © 2009

Jipa, Kak Nisa, terima kasih atas segala pengertiannya kepada penulis selama penyusunan skripsi ini.

9. Rekan-rekan seperjuangan yang bersama-sama memulai perjuangan dalam menempuh pendidikan di Fakultas Hukum USU, Bela, Siti, Teteh, Desi, Dara, Mami Kohati (Fitri), Kubo, Tyas, Erni, Putri, Heri, Yoa, Zaki, Yessy, Ulfa, Mala, Reja dan anak-anak Stambuk 04 yang tidak dapat disebutkan satu-persatu.

Medan, Mei 2008


(7)

Mufidah Ulfah : Tinjauan Yuridis Terhadap Perkawinan Tanpa Akta Nikah Menurut Undang-Undang No 1 Tahun 1974 Dan Kaitannya Dengan Hukum Islam, 2008.

USU Repository © 2009

DAFTAR ISI

Abstrak i

Kata Pengantar ii

Daftar Isi v

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah ...1

B. Perumusan Masalah...5

C. Tujuan dan Manfaat Penulisan...5

D. Keaslian Penulisan...7

E. Tinjauan Pustaka...7

F. Metode Penelitian...8

G. Sistematika Penulisan...9

BAB II TINJAUAN UMUM TERHADAP HUKUM PERKAWINAN DI INDONESIA A. Sejarah Huku m Perkawinan di Indonesia...11

B. Asas-asas dalam Undang-undang Perkawinan No 1 Tahun 1974……….29

C. Syarat-syarat Sahnya Suatu Perkawinan …………...……….…...…36

1. Syarat-syarat sahnya suatu perkawinan menurut Undang-undang No 1 Tahun 1974...36

2. Syarat-syarat sahnya suatu perkawinan menurut hukum Islam….43 3. Syarat-syarat sahnya perkawinan menurut Kompilasi Hukum Islam...46

BAB III KETENTUAN UMUM TERHADAP PERKAWINAN TANPA AKTA NIKAH A. Pengertian Perkawinan dan Akta Nikah…………..………....…………..51


(8)

Mufidah Ulfah : Tinjauan Yuridis Terhadap Perkawinan Tanpa Akta Nikah Menurut Undang-Undang No 1 Tahun 1974 Dan Kaitannya Dengan Hukum Islam, 2008.

USU Repository © 2009

1. Pengertian perkawinan...51

2. Pengertian akta nikah...53

B. Pengertian Perkawinan Tanpa Akta Nikah...58

C. Fungsi dan Pentingnya Akta Nikah dalam Perkawinan...59

D. Pengertian Itsbat Nikah...62

BAB IV TINJAUAN YURIDIS TERHADAP PERKAWINAN TANPA AKTA NIKAH A. Tinjauan Hukum terhadap Perkawinan Tanpa Akta Nikah...64

1. Menurut Undang-undang No 1 Tahun 1974...64

2. Menurut hukum Islam...66

3. Menurut Kompilasi Hukum Islam (KHI)...77

B. Akibat Hukum Perkawinan Tanpa Akta Nikah Ditinjau dari Undang-undang No 1 Tahun 1974...78

C. Akibat Hukum Perkawinan Tanpa Akta Nikah Ditinjau dari Ketentuan Hukum Islam...83

D. Akibat Hukum Perkawinan Tanpa Akta Nikah Ditinjau dari Ketentuan Kompilasi Hukum Islam...84

E. Kaitan Itsbat Nikah dengan Perkawinan Tanpa Akta Nikah...85

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN A. Kesimpulan...87

B. Saran...89


(9)

Mufidah Ulfah : Tinjauan Yuridis Terhadap Perkawinan Tanpa Akta Nikah Menurut Undang-Undang No 1 Tahun 1974 Dan Kaitannya Dengan Hukum Islam, 2008.

USU Repository © 2009

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Perkawinan adalah ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami isteri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Rumusan perkawinan di atas merupakan rumusan Undang-undang No 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan yang dituangkan dalam Pasal 1. Rumusan perkawinan tersebut pada dasarnya mengandung inti dan tujuan yang sama dengan rumusan-rumusan perkawinan yang dikemukakan oleh para ahli dan para sarjana.

Setelah berlakunya Undang-undang No 1 Tahun 1974, mulai dikenal dalam masyarakat, khususnya umat Islam, pernikahan yang dilakukan oleh anggota masyarakat yang tidak dicatat oleh Kantor Urusan Agama (KUA). Akad nikah dilaksanakan oleh pihak keluarga pengantin pria bersama pengantin wanita, tanpa dihadiri oleh pejabat KUA Departemen Agama RI. Hal ini biasanya terjadi di kalangan anggota masyarakat yang ingin berpoligami atau ingin beristri lebih dari satu secara diam- diam agar tidak diketahui oleh pihak istri dan atau anak-anak dari si suami. Pernikahan ini bertentangan dengan Undang-undang No 1 Tahun 1974 yang mengharuskan seorang suami apabila ingin beristri lebih dari satu, harus mendapat persetujuan dari istrinya atau istri-istrinya


(10)

Mufidah Ulfah : Tinjauan Yuridis Terhadap Perkawinan Tanpa Akta Nikah Menurut Undang-Undang No 1 Tahun 1974 Dan Kaitannya Dengan Hukum Islam, 2008.

USU Repository © 2009

dan mendapat izin dari Pengadilan Agama. Pernikahan ini di dalam masyarakat sering disebut dengan pernikahan di bawah tangan.1

Hal ini berarti bahwa suami diperbolehkan beristri lebih dari satu orang apabila hal itu dikehendaki oleh suami dan istrinya.

Latar belakang terjadinya pernikahan di bawah tangan ini disebabkan pihak pengantin pria dan wanita tersebut ingin menghindar dari Undang-Undang Perkawinan No 1 tahun 1974. Dalam Pasal 3 ayat (1) Undang-undang No 1 Tahun 1974 dinyatakan bahwa :

”Pada asasnya dalam suatu perkawinan, seorang pria hanya boleh mempunyai seorang istri. Seorang wanita hanya boleh mempunyai seorang suami”.

Jadi pada dasarnya Undang-undang No 1 Tahun 1974 menganut asas monogami. Dalam Pasal 3 ayat (2) Undang-undang No 1 Tahun 1974 dinyatakan pula bahwa:

”Pengadilan dapat memberi izin kepada seorang suami untuk beristri lebih dari seorang apabila dikehendaki oleh pihak-pihak yang bersangkutan”.

2

a. Istri tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai istri

Dalam Pasal 4 ayat (1) Undang-undang No 1 Tahun 1974 dinyatakan bahwa : ”Dalam hal seorang suami akan beristri lebih dari seorang sebagaimana disebut dalam Pasal 3 ayat (2) Undang-undang No 1 Tahun 1974, maka ia wajib mengajukan permohonan kepada Pengadilan di daerah tempat tinggalnya”.

Selanjutnya dalam pasal 4 ayat (2) dinyatakan bahwa :

”Pengadilan dimaksud dalam pasal 4 ayat 1 hanya memberikan izin kepada suami yang akan beristri lebih dari seorang (berpoligami) apabila:

b. Istri mendapat cacat badan atau penyakit yang tidak dapat disembuhkan

1

Mimbar Hukum, No 64 Tahun XV 2004, hlm 120.

2


(11)

Mufidah Ulfah : Tinjauan Yuridis Terhadap Perkawinan Tanpa Akta Nikah Menurut Undang-Undang No 1 Tahun 1974 Dan Kaitannya Dengan Hukum Islam, 2008.

USU Repository © 2009

c. Istri tidak dapat melahirkan keturunan”.

Jika syarat-syarat tersebut telah terpenuhi, si suami masih harus memenuhi persyaratan sebagaimana dimaksud dalam dalam Pasal 5 ayat (1) yang menyatakan bahwa :

”Untuk dapat mengajukan permohonan kepada Pengadilan sebagaimana dimaksud dalam pasal 4 ayat 1 UU ini, harus dipenuhi syarat-ayarat sebagai berikut:

a. Adanya persetujuan dari istri/ istri-istri

b. Adanya kepastian bahwa suami dapat menjamin keperluan-keperluan hidupistri-istri dan anak-anak mereka

c. Adanya kepastian bahwa suami mampu berlaku adil terhadap istri-istri dan anak-anak mereka.

Adanya persyaratan seperti di maksud dalam Pasal 5 ayat (1) butir b serta Pasal 5 ayat (1) butir c dipandang oleh masyarakat sebagai persyaratan yang seharusnya ada dan logis. Akan tetapi tentang persyaratan seperti yang dimaksud Pasal 5 ayat (1) butir a yang mengharuskan adanya izin atau persetujuan dari istri/istri-istrinya dipandang berlebihan karena sulit kemungkinan untuk mendapatkan izin untuk berpoligami atau menikah lagi.3

Namun dalam kenyataannya amat jarang wanita dalam keadaan bagaimanapun yang dengan sukarela mengizinkan suaminya untuk menikah lagi. Meskipun terdapat persyaratan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (2) Undang-undang No 1 Tahun 1974, namun masih ada saja istri yang keberatan untuk memberikan persetujuan kepada suaminya untuk menikah lagi, atau si suami tidak tega hati untuk meminta persetujuan untuk menikah lagi kepada istrinya. Oleh karena itu, si suami yang ingin sekali mendapatkan keturunan, atau yang istrinya menderita cacat fisik serta tidak dapat

3


(12)

Mufidah Ulfah : Tinjauan Yuridis Terhadap Perkawinan Tanpa Akta Nikah Menurut Undang-Undang No 1 Tahun 1974 Dan Kaitannya Dengan Hukum Islam, 2008.

USU Repository © 2009

melaksanakan kewajibannya kepada sang suami, menempuh cara menikah di bawah tangan.4

Di samping latar belakang seperti disebut di atas, banyak juga prilaku suami yang meskipun istrinya dapat melaksanakan kewajibannya kepada suami, istri berbadan sehat dan dapat memberikan keturunan kepada suami, namun si suami masih saja menginginkan beristri lagi karena berbagai alasan seperti membantu wanita miskin, tidak merasa cukup atau bosan dengan istrinya dan lain-lain. Karena si suami tersebut tidak berhasil mendapatkan persetujuan dari istri/istri-istrinya, atau tidak tega atau karena berbagai alasan tidak berani meminta persetujuan tersebut, maka si suami menempuh cara menikah di bawah tangan.5

Adapun pokok pembahasannya lebih menyoroti tentang bagaimana perkawinan tanpa akta nikah menurut pandangan Undang-undang No 1 Tahun 1974 dan dikaitkan dengan pandangan Hukum Islam serta bagaimana akibat hukumnya. Hal ini bertujuan untuk menjaga budaya perkawinan dalam masyarakat Indonesia agar perkawinan tersebut

Tertarik dengan adanya hal-hal tersebut di atas yang menentukan sah atau tidaknya suatu perkawinan, dan bagaimana pula jika perkawinan tersebut tidak mempunyai akta nikah, dan apa akibatnya menurut ketentuan hukum yang berlaku, maka penulis akan membahasnya dalam skripsi yang berjudul ” TINJAUAN YURIDIS TERHADAP PERKAWINAN TANPA AKTA NIKAH MENURUT UNDANG-UNDANG NO 1 TAHUN 1974 DAN KAITANNYA DENGAN HUKUM ISLAM ”.

4

Ibid, hlm 122. Ibid.


(13)

Mufidah Ulfah : Tinjauan Yuridis Terhadap Perkawinan Tanpa Akta Nikah Menurut Undang-Undang No 1 Tahun 1974 Dan Kaitannya Dengan Hukum Islam, 2008.

USU Repository © 2009

benar-benar sah menurut undang-undang yang pada akhirnya bertujuan untuk mendapatkan kepastian hukum.

B. Perumusan Masalah

Dari uraian-uraian dan latar belakang masalah seperti yang telah penulis uraukan di atas maka dapat dirumuskan masalah sebagi berikut:

1. Bagaimana pandangan Undang-undang No 1 Tahun 1974 dan hukum Islam terhadap perkawinan tanpa akta nikah?

2. Apakah akibat hukumnya jika suatu perkawinan tidak mempunyai akta nikah menurut ketentuan Undang-undang No 1 Tahun 1974 dan ketentuan Hukum Islam? 3. Apakah upaya yang harus dilakukan agar suatu perkawinan tanpa akta nikah

menjadi sah menurut hukum.

C. Tujuan dan Manfaat Penulisan

Adapun tujuan penulisan skripsi ini adalah:

1. Untuk mengetahui dan memberikan perbandingan pandangan antara Undang-undang No 1 Tahun 1974 dengan hukum Islam mengenai perkawinan tanpa akta nikah.

2. Untuk mengetahui bagaimana sebenarnya akibat hukum yang ditimbulkan dari perkawinan tanpa akta nikah yang ditinjau dari Undang-undang No 1 Tahun 1974 dan hukum Islam


(14)

Mufidah Ulfah : Tinjauan Yuridis Terhadap Perkawinan Tanpa Akta Nikah Menurut Undang-Undang No 1 Tahun 1974 Dan Kaitannya Dengan Hukum Islam, 2008.

USU Repository © 2009

3. Menjelaskan apa upaya yang harus dilakukan agar perkawinan tanpa akta nikah tersebut mempunyai kekuatan hukum, agar di masa yang akan datang perkawinan tersebut dapat dilindungi oleh hukum.

Manfaat penulisan yang ingin dikemukakan oleh penulis adalah: - Manfaat teoritis

1. Memberikan sumbangan ilmu pengetahuan khususnya di bidang hukum keluarga. 2. Memberikan masukan kepada pemerintah untuk menciptakan suatu peraturan yang

seragam terhadap status perkawinan di bawah tangan.

3. Sebagai bahan masukan kepada pihak-pihak yang belum melangsungkan perkawinan, agar mendaftarkan perkawinannya kelak.

- Manfaat praktis

1. Agar masyarakat Indonesia mengetahui bagaimana syarat-syarat sah nya suatu perkawinan menurut ketentuan Undang-undang No 1 Tahun 1974 dan bagaimana pula menurut ketentuan hukum Islam.

2. Agar masyarakat Indonesia mengetahui bagaimana akibat hukum dari suatu perkawinan yang tidak mempunyai akta nikah jika ditinjau dari hukum positif dan hukum Islam.

3. Agar masyarakat Indonesia mengetahui langkah apa yang harus ditempuh agar perkawinan yang tanpa akta nikah tersebut menjadi sah menurut ketentuan hukum positif yang berlaku.


(15)

Mufidah Ulfah : Tinjauan Yuridis Terhadap Perkawinan Tanpa Akta Nikah Menurut Undang-Undang No 1 Tahun 1974 Dan Kaitannya Dengan Hukum Islam, 2008.

USU Repository © 2009

Dalam rangka mengembangkan diri dan ilmu pengetahuan yang diperoleh selama masa perkuliahan di Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara, di samping belajar dan membaca buku yang berkaitan dengan penulisan skripsi ini, di samping mengingat pentingnya peranan hukum dalam perkawinan di Indonesia yang menentukan sah atau tidaknya suatu perkawinan, sehingga penulis mencoba menerapkan tinjauan yuridis terhadap perkawinan tanpa akta nikah, dimana penulis dalam mengambil judul ini telah meninjau ke sebuah perpustakaan USU bahwa judul tersebut di atas belum pernah ada yang membahasnya dan melakukan penelitian, sehingga penulis mencoba membahas dan menuangkannya ke dalam sebuah skripsi.

E. Tinjauan Pustaka

Perkawinan ialah ikatan lahir batin antara seorag pria dengan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk kelurga, rumah tangga yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.

Rumusan pengertian perkawinan dalam pasal 1 Undang-undang No 1 Tahun 1974 tersebut bukan saja memuat pengertian atau arti perkawinan itu sendiri, tetapi juga mencantumkan tujuan dan dasar perkawinan. Pengertian perkawinan adalah ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami istri, sedangkan tujuannya adalah untuk membentuk keluarga atau rumah tangga yang bahagia dan kekal yang didasarkan pada Ketuhanan Yang Maha Esa dan jika dihubungkan dengan pasal 2 ayat (1) Undang-undang No 1 Tahun 1974 adalah didasarkan kepada hukum agamanya atau kepercayaan agamanya masing-masing, sedangkan pasal 2 ayat (2) menentukan bahwa tiap-tiap perkawinan dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku.


(16)

Mufidah Ulfah : Tinjauan Yuridis Terhadap Perkawinan Tanpa Akta Nikah Menurut Undang-Undang No 1 Tahun 1974 Dan Kaitannya Dengan Hukum Islam, 2008.

USU Repository © 2009

Ketentuan pasal 2 ayat (1) dan (2) merupakan syarat sahnya suatu perkawinan menurut hukum positif.

Sedangkan perkawinan di bawah tangan adalah perkawinan yang dilakukan berdasarkan aturan agama atau adat istiadat dan tidak dicatatkan di kantor Pejabat Pencatat Nikah (KUA bagi yang beragama Islam, Kantor Catatan Sipil bagi non-Islam ).6

F. Metode Penelitian

Pengertian perkawinan yang ditentukan dalam Undang-undang No 1 Tahun 1974 sangat bertolak belakang dengan pengertian perkawinan di bawah tangan.

Metode yang digunakan dalam penulisan skripsi ini adalah metode yuridis normatif yaitu suatu bentuk penelitian yang tidak terlepas dari norma-norma dan asas-asas hukum yang ada. Pengumpulan data dilakukan dengan menggunakan metode Library Research atau penelitian kepustakaan dengan mempelajari perundang-undangan, sejumlah buku, tulisan dan karya ilmiah yang berhubungan dengan materi yang dibahas dalam skripsi ini. Sifat penelitian dalam skripsi ini adalah bersifat deskriptif yang memberikan gambaran dan memaparkan sebagian atau keseluruhan dari objek yang akan diteliti yang bersumber dari data primer dan skunder, dan selanjutnya data tersebut dianalisis secara kualitatif sehingga diperoleh hasil yang semaksimal mungkin.

G. Sistematika Penulisan

BAB I : tentang Pendahuluan. Pada bab ini diuraikan pokok permasalahan skripsi yang mencakup mengapa penulis tertarik memilih judul tersebut sehingga membuatnya

6


(17)

Mufidah Ulfah : Tinjauan Yuridis Terhadap Perkawinan Tanpa Akta Nikah Menurut Undang-Undang No 1 Tahun 1974 Dan Kaitannya Dengan Hukum Islam, 2008.

USU Repository © 2009

dalam bentuk skripsi, dengan menguraikan latar belakang permasalahan, perumusan masalah, tujuan dan manfaat penulisan, keaslian penulisan, metode penulisan, tinjauan pustaka, sistematika penulisan yang bertujuan untuk memberikan penjelasan terhadap perkawinan yang tidak mempunyai akta nikah.

BAB II : tentang Tinjauan Umum Terhadap Hukum Perkawinan di Indonesia. Pada bab ini diuraikan materi pokok mengenai hukum perkawinan di Indonesia, yang meliputi sejarah hukum perkawinan di Indonesia, asas-asas dalam Undang-undang Perkawinan No 1 Tahun 1974 serta syarat-syarat sahnya suatu perkawinan menurut Undang-undang No 1 Tahun 1974 dan hukum Islam

BAB III : tentang Ketentuan Umum terhadap Perkawinan Tanpa Akta Nikah. Pada bab ini diuraikan materi tentang perkawinan tanpa akta nikah, yang meliputi pengertian perkawinan dan akta nikah, pengertian perkawinan tanpa akta nikah, fungsi dan pentingnya akta nikah dalam perkawinan dan pengertian Itsbat nikah.

BAB IV : tentang Tinjauan Yuridis terhadap Perkawinan Tanpa Akta. Pada bab ini diuraikan materi tentang tinjauan hukum terhadap perkawinan tanpa akta nikah menurut Undang-undang No 1 Tahun 1974 dan hukum Islam, akibat hukum perkawinan tanpa akta nikah ditinjau dari Undang-undang No 1 Tahun 1974, akibat hukum perkawinan tanpa akta nikah ditinjau dari ketentuan hukum Islam, kaitan itsbat nikah dengan perkawinan tanpa akta nikah.

BAB V Pada bab ini hanya memuat tentang kesimpulan mengenai tinjauan hukum terhadap perkawinan tanpa akta nikah dan mencoba memberi saran-saran yang dianggap penting dalam pendaftaran perkawinan.


(18)

Mufidah Ulfah : Tinjauan Yuridis Terhadap Perkawinan Tanpa Akta Nikah Menurut Undang-Undang No 1 Tahun 1974 Dan Kaitannya Dengan Hukum Islam, 2008.

USU Repository © 2009

BAB II

TINJAUAN UMUM TERHADAP HUKUM PERKAWINAN DI INDONESIA

D. Sejarah Hukum Perkawinan di Indonesia

Sejarah perkembangan hukum Islam di Indonesia tidak dapat dipisahkan dari sejarah Islam itu sendiri. Islam masuk ke Indonesia pada abad VII M yang dibawa oleh pedagang-pedagang arab. Perkembangan hukum Islam di Indonesia menjelang abad XVII, XVIII, XIX, baik dalam tatanan intelektual dalam bentuk kitab-kitab dan pemikiran juga dalam praktek-praktek keagamaan dapat dikatakan cukup baik. Dikatakan cukup baik karena hukum Islam dipraktekkan oleh masyarakat dalam bentuk yang hampir dapat dikatakan sempurna, yang mencakup masalah muamalah (perkawinan,


(19)

Mufidah Ulfah : Tinjauan Yuridis Terhadap Perkawinan Tanpa Akta Nikah Menurut Undang-Undang No 1 Tahun 1974 Dan Kaitannya Dengan Hukum Islam, 2008.

USU Repository © 2009

perceraian, warisan), peradilan, dan tentu saja dalam masalah ibadah. Bukan hanya itu, hukum Islam menjadi suatu sistem hukum yang mandiri yang digunakan di kerajaan-kerajaan Islam nusantara. Tidaklah salah jika dikatakan bahwa pada masa itu jauh sebelum Belanda menancapkan kakinya di Indonesia, hukum Islam menjadi hukum yang positif di Indonesia.7

Perkembangan hukum Islam di Indonesia pada masa penjajahan Belanda dapat dilihat dalam dua bentuk. Pertama, adanya toleransi pihak Belanda melalui VOC (Vereenigde Oots-Indische Compagnie) yang memberikan ruang yang agak luas bagi perkembangan hukum Islam. Kedua, adanya upaya intervensi Belanda terhadap hukum Islam dengan menghadapkannya dengan hukum adat. Berangkat dari kekuasaan yang dimiliki VOC bermaksud menerapkan hukum Belanda di Indonesia, namun tetap saja tidak berhasil karena umat Islam tetap saja menjalankan syari’atnya. Dapatlah dikatakan pada saat VOC berkuasa di Indonesia (1602-1800 M) hukum Islam dapat berkembang dan dipraktekkan oleh umatnya tanpa adanya hambatan apapun dari VOC. Bahkan bisa dikatakan VOC ikut membantu untuk menyusun suatu peraturan yang memuat hukum perkawinan dan hukum kewarisan Islam dan berlaku di kalangan umat Islam.8

Setelah kekuasaan VOC berakhir dan digantikan oleh Belanda, maka seperti yang terlihat bahwa sikap Belanda berubah terhadap hukum Islam, kendati perubahan itu terjadi secara perlahan-lahan. Setidaknya perubahan itu dapat dilihat dari tiga sisi. Pertama, menguasai Indonesia sebagai wilayah yang mempunyai sumber daya alam yang cukup kaya. Kedua, menghilangkan pengaruh Islam dari sebagian besar orang Indonesia

7

Amiur Nuruddin dan Azhari Akmal Tarigan, Hukum Perdata Islam di Indonesa, Prenada Media, 2004, hlm 8.

8


(20)

Mufidah Ulfah : Tinjauan Yuridis Terhadap Perkawinan Tanpa Akta Nikah Menurut Undang-Undang No 1 Tahun 1974 Dan Kaitannya Dengan Hukum Islam, 2008.

USU Repository © 2009

dengan proyek Kristenisasi. Ketiga, keinginan Belanda untuk menerapkan apa yang disebut dengan politik hukum yang sadar terhadap Indonesia. Maksudnya, Belanda ingin menata dan mengubah kehidupan hukum di Indonesia dengan hukum Belanda.9

Kendatipun terbatas pada pelaksanaan hukum keluarga, hukum Islam telah teraplikasi dalam kehidupan masyarakat Islam walaupun masih dalam lingkup yang sangat terbatas yaitu hukum kekeluargaan saja. Menarik untuk dicermati, ternyata pemerintah Belanda memberikan perhatian yang serius terhadap perjalanan hukum Islam. Hal ini terlihat dari instruksi-instruksi yang diterbitkannya kepada bupati dan sultan-sultan berkenaan dengan pelaksanaan hukum Islam tersebut. Sebagai contoh: melalui Stabl. No 22 Pasal 13, diperintahkan kepada bupati untuk memperhatikan soal-soal agama Islam dan untuk menjaga supaya pemuka agama dapat melakukan tugas mereka sesuai dengan adat kebiasaan orang Jawa seperti dalam soal perkawinan, pembagian pusaka dan yang sejenis.

10

Sedangkan perkawinan menurut hukum adat berlaku bagi golongan Pribumi, yang tidak memeluk agama Islam maupun Kristen. Peraturan tentang perkawinan adat inipun merupakan konsekuensi politik hukum pemerintah Belanda. Sampai abad XIX istilah hukum adat ini tidak dikenal. Pada akhir abad tersebut barulah istilah hukum adat ini dikenal. Istilah ini timbul dalam pikiran seorang warga Belanda yaitu Snouck Hurgronje yang mendalami kesusilaan dan kebiasaan berbagai penduduk di Indonesia.

11

9

Ibid.

10

Ibid, hlm 10.

11

Wila Chandrawila Supriadi, Hukum Perkawinan Indonesia dan Belanda, Mandar Maju, Bandung, 2002, hlm 73.


(21)

Mufidah Ulfah : Tinjauan Yuridis Terhadap Perkawinan Tanpa Akta Nikah Menurut Undang-Undang No 1 Tahun 1974 Dan Kaitannya Dengan Hukum Islam, 2008.

USU Repository © 2009

Perkawinan adat merupakan suatu hidup bersama yang langgeng dan lestari antara seorang pria dengan seorang perempuan yang diakui oleh persekutuan adat yang diarahkan pada pembentukan sebuah keluarga. Perkawinan adat ini dibagi atas tiga kategori, yaitu:

1. Tatanan Patrilineal, yaitu pengaturan menurut hukum ayah yang merupakan sistem pengaturan kemasyarakatan dimana hanya nenek moyang pria dalam garis pria yaitu ayah, ayah dari ayah (kakek) dan seterusnya yang dipandang menentukan dalam menetapkan keturunan dari individu. Melalui pengaturan yang seperti ini, maka di dalam keluarga, kekuasaan dan pengaruh yang lebih berada pada kaum pria dan bahkan dari pihak ayah.

2. Tatanan Matrilineal, yaitu pengaturan menurut hukum ibu terhadap penentuan keturunan yang justru merupakan kebalikan dari tatanan patrilineal. Ikatan keturunan keluarga hanya ada pada ibu, ibu dari ibu (nenek) dan seterunya.

3. Tatanan Parental, yaitu hubungan kekeluargaan dilihat dari kedua belah pihak yaitu ayah dan ibu.12

Sejak tahun dua puluhan pada masa di bawah kepemimpinan Belanda, dari golongan Bumiputera diajukan permohonan dengan hormat agar diadakan pembaharuan hukum perkawinan. Kongres pertama kaum Perempuan Indonesia, yang diselenggarakan di Yogyakarta dari tanggal 22 sampai 24 Desember 1928, telah dihadiri oleh wakil-wakil dari 30 Organisasi Perempuan Bumiputra (antara lain Wanito Oetomo, Putri Indonesia,

12


(22)

Mufidah Ulfah : Tinjauan Yuridis Terhadap Perkawinan Tanpa Akta Nikah Menurut Undang-Undang No 1 Tahun 1974 Dan Kaitannya Dengan Hukum Islam, 2008.

USU Repository © 2009

Wanita Katolik, Moehammadiyah bagian Wanita, Sarikat Islam bagian Wanita). Kongres ini telah berhasil mendirikan Perikatan Perkumpulan Perempuan Indonesia (PPPI).13

Kongres pertama PPPI (Perikatan Perkumpulan Perempuan Indonesia) yang berlangsung sejak tanggal 29 sampai 31 Desember 1929, telah mencurahkan perhatian yang cukup besar pada masalah-masalah perkawinan. Topik yang dibicarakan adalah antara lain tentang kewajiban perempuan untuk menentang poligami, perkawinan paksa maupun perkawinan anak-anak. Di sini telah diterima resolusi yang memuat antara lain permohonan untuk mendesak pemerintah Belanda agar melarang poligami.14

Pada kongres PPPI yang kedua, yang diadakan pada tanggal 20 sampai 24 Juli 1935 di Batavia, kembali masalah perkawinan menjadi topik utama. Pada kongres ini, diputuskan bahwa PPPI akan mengadakan penelitian tentang posisi perempuan menurut Hukum Islam, dan memperbaiki posisi perempuan tanpa menyampingkan Agama Islam. Pada kongres PPPI yang ketiga yang diadakan di Bandung pada bulan Juli 1938, telah menghasilkan keputusan untuk membentuk sebuah komisi yang diberi tugas untuk merancang Peraturan Perkawinan yang paling adil dan patut. Pada kongres PPPI yang keempat yang berlangsung di Semarang pada bulan Juli 1941 yang membahas tentang upaya peningkatan perempuan di dalam masyarakat, menyediakan ruang dan peluang bagi perkawinan berikut seluk beluknya. Kongres ini memutuskan untuk membentuk empat buah komisi kerja yang salah satu diantaranya akan membahas masalah perkawinan yang berhubungan dengan Agama Islam.15

13

Ibid, hlm 192.

14

Ibid.

15


(23)

Mufidah Ulfah : Tinjauan Yuridis Terhadap Perkawinan Tanpa Akta Nikah Menurut Undang-Undang No 1 Tahun 1974 Dan Kaitannya Dengan Hukum Islam, 2008.

USU Repository © 2009

Sehubungan dengan kongres-kongres tersebut dapat disimpulkan bahwa gerakan Perempuan Indonesia yang dimulai pada masa pemerintahan Belanda, di era pemerintahan Presiden Soekarno sampai pada masa pemerintahan Presiden Soeharto merupakan kelompok penekan yang tidak kenal menyerah terhadap pembentukan perundang-undangan perkawinan.16

Ketika Negara Kesatuan Republik Indonesia memperoleh tempat berpijak yang semakin kokoh, maka desakan untuk membentuk Undang-undang Perkawinan bukan hanya datang dari pergerakan perempuan saja, tetapi dari kalangan penegak hukum seperti hakim, advokat dan lain-lain juga dengan alasan bahwa undang-undang buatan Belanda yang sampai saat itu masih berlaku dianggap tidak sesuai dengan tatanan hukum Indonesia dan Pancasila.17

Pada akhir tahun 1950 dengan Surat Keputusan Menteri Agama Nomor B/2/4299 tertanggal 1 Oktober 1950 oleh pemerintah dibentuklah Panitia Penyelidik Peraturan dan Hukum Perkawinan, Talak, dan Rujuk bagi umat Islam. Panitia ini bertugas meninjau kembali semua peraturan perkawinan dan menyusun suatu RUU Perkawinan yang dapat menampung semua kenyataan hukum yang hidup dan berkembang dalam masyarakat pada waktu itu. Anggotaannya terdiri dari orang-orang yang dianggap ahli mengenai hukum umum, hukum Islam dan Kristen dari berbagai aliran yang diketuai oleh Mr. Tengku Hasan.18

16

Ibid.

17

Ibid.

18

Rachmadi Usman, Aspek-Aspek Hukum Perorangan dan Kekeluargaan di Indonesia, Sinar Grafika, Jakarta, 2006, hlm 234.


(24)

Mufidah Ulfah : Tinjauan Yuridis Terhadap Perkawinan Tanpa Akta Nikah Menurut Undang-Undang No 1 Tahun 1974 Dan Kaitannya Dengan Hukum Islam, 2008.

USU Repository © 2009

Pada akhir tahun 1952 panitia tersebut selesai membuat suatu Rancangan Undang-undang (RUU) Perkawinan yang terdiri atas peraturan umum, yang berlaku untuk semua golongan dan agama, dan peraturan-peraturan khusus yang mengatur hal-hal yang hanya mengenai golongan agama masing-masing. Selanjutnya pada tanggal 1 Desember 1952 Panitia menyampaikan RUU Perkawinan Umum serta daftar pertanyaan umum yang mengenai undang-undang tersebut kepada organisasi-organisasi dengan permintaan supaya masing –masing memberikan pendapat atau pandangan tentang soal-soal tersebut.19

1. Perkawinan harus didasarkan kemauan bulat dari kedua belah pihak, untuk mencegah kawin paksaan dan ditetapkan batas umur 18 tahun bagi laki-laki dan 15 tahun bagi perempuan.

RUU Perkawinan yang dimajukan itu selain berusaha ke arah kodifikasi dan unifikasi, juga telah mencoba memperbaiki keadaaan masyarakat dengan menetapkan antara lain :

2. Suami isteri mempunyai hak dan kedudukan yang seimbangdalam kehidupan rumah tangga dan pergaulan hidup bersama dalam masyarakat.

3. Poligagmi diizinkan bila diperbolehkan oleh hukum agama / perdata yang berlaku bagi orang yang bersangkutan dan diatur sedemikian sehingga dapat memenuhi syarat keadilan.

4. Harta pembawaan dan harta yang diperoleh masing-masing, sendiri tetap menjadi milik masing-masing dan harta benda yang diperoleh selama perkawinan menjadi harta bersama.

5. Perceraian diatur dengan keputusan pengadilan negeri, berdasarkan alasan-alasan tertentu, mengenai talak dan rujuk diatur dalam peraturan yang khusus Islam.

6. Kedudukan anak sah atau tidak, pengakuan anak, mengangkat dan mengesahkan anak, hak dan kewajiban orang tua terhadap anak, pencabutan kekuasaan orang tua dan perwalian.20

19

Ibid.

20


(25)

Mufidah Ulfah : Tinjauan Yuridis Terhadap Perkawinan Tanpa Akta Nikah Menurut Undang-Undang No 1 Tahun 1974 Dan Kaitannya Dengan Hukum Islam, 2008.

USU Repository © 2009

Dalam Rancangan-rancangan yang diajukan oleh komisi ini, terdapat pendapat-pendapat yang menyatakan perlunya suatu Undang-undang umum yang mengatur perkawinan-perkawinan seluruh warga negara Indonesia dan sekaligus mengatur secara khusus perkawinan berbagai kelompok agama. Walaupun RUU Perkawinan ini telah berhasil diselesaikan, namum dalam pembahasannya di Parlemen mengalami penundaan. Atas suatu inisiaif yang diprakarsai oleh sekelompok anggota Parlemen di bawah pimpinan Ny. Soemarnie, maka akhirnya RUU Perkawinan mulai dibahas dalam Parlemen. Pada saat itu telah ada tiga buah RUU Perkawinan yaitu dua buah RUU berasal dari Komisi yang diketua oleh Mr. Tengku Hasan dan satu buah RUU dari Ny. Soemarnie dan kawan-kawan. Pada prinsipnya masih ada persamaan antara RUU Perkawinan yang diusulkan oleh Komisi Hasan dan RUU Perkawinan dari DPR, namun ada dua perbedaan penting antara pengusulan-pengusulan tersebut:

- RUU Perkawinan yang berasal dari Komisi Hasan menyatakan bahwa di samping sebuah RUU Perkawinan yang berlaku bagi setiap warga negara, juga peraturan-peraturan yang berlaku bagi kelompok-kelompok keagamaan yang di dalamnya poligami diperkenankan.

- Sedangkan dari kelompok Ny. Soemarnie meliputi hanya pemberlakuan suatu Undang-undang Umum yang di dalamnya semata-mata hanya mengakui adanya monogami (kendatipun demikian RUU Perkawinan yang disebut terakhir juga memberi ruang dan peluang bagi suatu peraturan perundang-undangan perkawinan


(26)

Mufidah Ulfah : Tinjauan Yuridis Terhadap Perkawinan Tanpa Akta Nikah Menurut Undang-Undang No 1 Tahun 1974 Dan Kaitannya Dengan Hukum Islam, 2008.

USU Repository © 2009

untuk kelompok- kelompok keagamaan yang berbeda-beda, namun semuanya tidak boleh bertentangan dengan Undang-undang yang berlaku bagi setia (warga negara).21

Satu tahun setelah pengajuan pengusulan, dalam bulan Oktober 1959, RUU Ny. Soemarnie tersebut ditarik kembali oleh para pengajunya, karena kendati pun memperoleh perhatian besar oleh sejumlah besar anggota DPR, rancangan tersebut nampaknya tidak berpeluang untuk dibicarakan. Para anggota dari partai Islam mengadakan perlawanan, terutama terhadap asas monogami yang dikandung rancangan ini. Nampaknya perlu dikemukakan di sini apa yang menjadi alasan salah seorang dari kelompok Islam. 22

Mengenai dua buah RUU, yang disusun oleh Komisi Hasan, sementara belum ada keputusan yang diambil oleh Parlemen. Kemudian dalam tahun 1963 sebuah Seminar tentang Hukum Nasional diselenggarakan dan disponsori berturut-turut oleh Lembaga Pembinaan Hukum Nasional (LPHN), yakni sebuah badan penguasa untuk meningkatkan perundang-undangan nasional, dan Persatuan Hakim Indonesia (Persahi) yang cukup berpengaruh pula. Di dalam seminar ini diterima sebuah resolusi mengenai keharusan adanya pembentukan suatu Undang-undang Perkawinan yang seragam. Bagi Lembaga Pembinaan Hukum Nasional itu sendiri nampaknya pertemuan ini merupakan dorongan penting, yaitu untuk menyibukkan diri dengan problema terbentuknya suatu perundang-undangan perkawinan Indonesia sendiri. 23

Setelah setahun lamanya LPHN tersebut telah menyiapkan sebuah peraturan perkawinan bagi kaum muslimin, dan pada tahun 1968 telah dirampungkan sebuah

21

Wila Chandrawila Supriadi, Op. Cit., hlm 196.

22

Ibid.

23


(27)

Mufidah Ulfah : Tinjauan Yuridis Terhadap Perkawinan Tanpa Akta Nikah Menurut Undang-Undang No 1 Tahun 1974 Dan Kaitannya Dengan Hukum Islam, 2008.

USU Repository © 2009

rancangan tentang asas-asas dasar perkawinan. Sampai dengan berahirnya tahun parlementer 1971, dua buah rancangan tersebut termuat dalam agenda DPR, akan tetapi kembali anggota-anggota Parlemen ini tidak berhasil mengambil keputusan.24

Hampir selama dua dasawarsa telah diikhtiarkan menghasilkan pembentukan sebuah perundang-undangan perkawinan nasional, yang oleh DPR selama beberapa tahun telah diterima pengusulan dari tiga pihak yang berlainan (Komisi Hasan, Kelompok Soemarie dan LPHN), telah ditimbang sebagaimana mestinya, namun dipandang belum memadai adanya. Ketidakberhasilan selama dua puluh tahun penuh itu untuk membentuk sebuah Undang-undang Perkawinan Indonesia sendiri, terutama diakibatkan oleh pihak Islam di dalam DPR yang tetap mempertahankan dengan gigih asas poligami tersebut.25

Pada tahun 1972 telah dimulai kembali dengan upaya percobaan keempat pembentukan RUU Perkawinan yang diharapkan memperoleh persetujuan dari DPR. Dalam hal ini pekerjaan tersebut dilakukan oleh pejabat-pejabat Departemen Kehakiman. Pada pertengahan tahun 1973 RUU yang baru tersebut telah selesai dan pada tanggal 31 Juli 1973, Presiden Republik Indonesia menyampaikannya kepada DPR, bersamaan dengan hal tersebut, RUU tahun 1967 dan 1968 ditarik kembali. Rancangan yang diajukan pada tanggal 31 Juli 1973 tersebut menyebabkan sedikit keributan dalam masyarakat. Kelompok-kelompok dan individu-individu menyatakan kepuasan maupun keberatan terhadap RUU tersebut, sehingga perlu diadakan pembicaraan yaitu pembicaraan pada tingkat I yang dilakukan pada tanggal 30 Agustus 1973 di mana pemerintah diwakili oleh dua menteri yaitu Menteri Kehakiman dan Menteri Agama.

24

Ibid.

25


(28)

Mufidah Ulfah : Tinjauan Yuridis Terhadap Perkawinan Tanpa Akta Nikah Menurut Undang-Undang No 1 Tahun 1974 Dan Kaitannya Dengan Hukum Islam, 2008.

USU Repository © 2009

Kemudian pada pembicaraan tingkat II tanggal 17 dan 18 September 1973, di mana para anggota DPR memberikan pandangan umumnya atas RUU Perkawinan yang diajukan pemerintah tesebut. Berbicara pada kesempatan itu sebanyak 9 orang anggota masing-masing seorang dari anggota Fraksi Angkatan Bersenjata, dua orang dari Fraksi Karya Pembangunan, seorang dari Fraksi Partai Demokrasi Pembangunan dan lima orang dari Fraksi Persatuan Pembangunan. Pemerintah menanggapi pandangan umum para anggota DPR ini dan tanggapannya disampaikan oleh Menteri Agama pada tanggal 27 September 1973.26

Dalam rapatnya pada tanggal 30 November 1973, Badan Musyawarah DPR memutuskan pembicaraan tingkat III akan dilakukan oleh gabungan Komisi III dan Komisi IX. Dari gabungan Komisi III dan Komisi IX akan dibentuk suatu Panitia Kerja yang bertugas sebagai suatu komisi dengan jumlah anggota sebanyak 10 orang. Panitia Kerja ini dibentuk oleh Rapat Gabungan Komisi III dan Komisi IX pada tanggal 6 Desember 1973 dengan anggota sebanyak 10 orang yakni dua orang dari Fraksi Angkatan Bersenjata, dua oran dari Fraksi Karya Pembangunan, dua orang dari Fraksi Partai Demokrasi Indonesia dan empat orang dari Fraksi Persatuan Pembangunan, komisi gabungan ini diketuai oleh Djamal Ali, S.H.

27

Sebelum tanggal 8 Oktober 1973 Komisi III dan Komisi IX telah mengadakan Rapat Gabungan untuk membicarakan prosedur teknis pembahasan RUU Perkawinan tersebut. Kemudian pada tanggal 15 Oktober 1973, pimpinan Komisi III dan Komisi IX

26

Ibid, hlm 198.

27


(29)

Mufidah Ulfah : Tinjauan Yuridis Terhadap Perkawinan Tanpa Akta Nikah Menurut Undang-Undang No 1 Tahun 1974 Dan Kaitannya Dengan Hukum Islam, 2008.

USU Repository © 2009

mengadakan inventarisasi persoalan yang muncul dari RUU Perkawinan di bawah koordinator Wakil Ketua DPR Domo Pranoto.28

Dari tanggal 6 sampai dengan 20 Desember 1973 diadakan pembicaraan tingkat III, di mana panitia kerja yang dibentuk pada tanggal 6 Desember 1973 lalu mempunyai status seperti komisi guna mengadakan pembicaraan bersama dengan pemerintah. Panitia kerja dalam melaksanakan tugasnya melakukan rapat-rapat intern panitia untuk menjajaki pendirian masing-masing fraksi sejauh mungkin untuk membulatkan pendapat dalam kalangan panitia dan jika hal tersebut tercapai maka masalah tersebut akan dibawa ke rapat kerja dengan pemerintah yang sifatnya terbuka. Rapat kerja ini dilakukan apabila hal-hal yang akan dibahas adalah hal-hal yang bersifat umum. Selanjutnya apabila hal ini telah selesai maka kemudian dilakukan rapat kerja bersama yang bersifat tertutup, mengenai perumusan-perumusan yang sifatnya konkret dalam bentuk pasal demi pasal. Cara-cara tersebut tercapai dengan baik karena adanya suasana kerja yang baik, toleransi yang besar, dan kesediaan saling memberi dan menerima dalam musyawarah. Hal ini didukung pula oleh fraksi-fraksi yang menyadari akan pentingnya masalah yang dibahas dan tanggung jawab sebagai salah satu badan kelengkapan. Anggota panitia kerja, baik perorangan maupun atas nama fraksinya mendapat kesempatan yang besar untuk mengemukakan pendapatnya masing-masing dan semua pembicaraan disemangati oleh cita-cita yang sama, yakni mewujdkan Undang-undang Perkawinan yang sejauh mungkin dapat memenuhi aspirasi hukum yang hidup di dalam masyarakat sekaligus memberi pengarahan bagi perkembangan hukum di masa depan.29

28

Ibid.

29


(30)

Mufidah Ulfah : Tinjauan Yuridis Terhadap Perkawinan Tanpa Akta Nikah Menurut Undang-Undang No 1 Tahun 1974 Dan Kaitannya Dengan Hukum Islam, 2008.

USU Repository © 2009

Dengan kesadaran dan tujuan yang sama itulah kemudian dimusyawarahkan dengan sungguh-sungguh isi RUU Perkawinan agar dapat menampung menampung segala aspirasi dari masyarakat dan memberikan formulasinya secara teknis yuridis. Dalam membentuk isi dari RUU Perkawinan tersebut diusahakan dapat mempertemukan aspirasi hukum yang berbeda-beda, namun hal tersebut tidak dapat dilakukan, maka kemungkinan dengan melakukan suatu pengecualian dilakukan sebagai suatu pola untuk mengatasi kesulitan tersebut, apabila hal tersebut juga tidak dapat dilakukan maka materi yang menjadi permasalahan tadi akan dicabut dari RUU Perkawinan. RUU Perkawinan yang telah disetujui oleh DPR tersebut telah mengalami perubahan, penambahan, dan penghapusan beberapa pasal dari naskah asli yang disampaikan oleh pemerintah. Pasal-pasal yang mengalami perubahan meliputi Pasal 1 dan Pasal 2, dan Pasal-pasal-Pasal-pasal yang mengalami penghapusan adalah Pasal 11 ayat (1) dan ayat (2), asal 13, 14, 43, dan 62. Mengenai asas poligami telah dipertahankan dalam arti masih dimungkinkan dalam hal-hal tertentu dan dimintakan putusan pengadilan. Demikian juga masalah perceraian hanya dimungkinkan apabila alasan-alasannya cukup dan harus melalui prosedur pengadilan.30

Akhirnya pada tanggal 22 Desember 1973, pada pembicaraan tingkat IV, DPR mengambil keputusan dengan didahului pendapat akhir dari fraksi-fraksi di DPR, yang menyetujui disahkanannya RUU Perkawinan dengan perubahan perumusan dan dihapuskan beberapa pasal yang merupakan hasil panitia kerja RUU tentang Perkawinan untuk menjadi Undang-undang tentang Perkawinan. Selanjutnya pada tanggal 2 Januari 1974 RUU tentang Perkawinan yang telah disetujui oleh DPR tersebut disahkan dan diundangkan menjadi Undang-undang No 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, yang baru

30


(31)

Mufidah Ulfah : Tinjauan Yuridis Terhadap Perkawinan Tanpa Akta Nikah Menurut Undang-Undang No 1 Tahun 1974 Dan Kaitannya Dengan Hukum Islam, 2008.

USU Repository © 2009

berlaku secara efektif sejak tanggal 1 Oktober 1975 karena masih diperlukan langkah-langkah persiapan dan serangkaian petunjuk-petunjuk pelaksanaan Undang-undang No 1 Tahun 1974 agar dapat berjalan dengan aman, tertib dan lancar.31

Dengan berlakunya Undang-undang No 1 Tahun 1974, maka telah terjadi perubahan fundamental terhadap kodifikasi hukum barat. Karena Undang-undang No 1 Tahun 1974 menyatakan bahwa ketentuan-ketentuan perkawinan yang diatur dalam Burgerlijk Wetboek tidak berlaku lagi. Pernyataan ini membawa pengaruh di mana sebagian ketentuan dalam pasal-pasal dari Buku I Burgerlijk Wetboek yang mengatur tentang perkawinan dinyatakan dicabut dan tidak berlaku lagi. Undang-undang No 1 Tahun 1974 memuat kaedah-kaedah hukum yang berkaitan dengan perkawinan dalam garis besar secara pokok, yang selanjutnya akan ditindaklanjuti dalam berbagai peraturan pelaksananya. Hal ini berarti Undang-undang Perkawinan akan menjadi sumber pokok bagi pengaturan hukum perkawinan, perceraian dan rujuk yang berlaku bagi semua warga negara Indonesia.32

Undang-undang No 1 Tahun 1974 pada mulanya dimaksudkan untuk mengkodifikasi hukum perkawinan yang bersifat nasional, disamping mengunifikasikan hukum perkawinan. Akan tetapi setelah disahkan, bukan hukum perkawinan yang bersifat nasional yang tercapai, melainkan kompilasi hukum perkawinan nasional yang bersifat nasional yang belum tuntas dan menyeluruh, sebab Undang-undang Perkawinan masih merujuk dan memberlakukan berbagai peraturan perundang-undangan yang lama yang ada sebelumnya, termasuk ketentuan hukum adat dan hukum agama atau kepercayaan

31

Ibid.

32


(32)

Mufidah Ulfah : Tinjauan Yuridis Terhadap Perkawinan Tanpa Akta Nikah Menurut Undang-Undang No 1 Tahun 1974 Dan Kaitannya Dengan Hukum Islam, 2008.

USU Repository © 2009

masing-masing yang mengatur mengenai perkawinan dan segala sesuatu yang berkaitan dengan perkawinan. Rumusan ketentuan dalam pasal-pasal Undang-undang Perkawinan mencerminkan teknik kompilasi hukum sebagai modifikasi pelaksanaan unifikasi hukum perkawinan yang bersifat nasional.33

Dengan demikian, Undang-undang Perkawinan bermaksud mengadakan unifikasi dalam bidang hukum perkawinan tanpa menghilangkan Kebhinekaan yang masih harus dipertahankan, karena masih berlakunya ketentuan-ketentuan perkawinan yang beraneka ragam dalam masyarakat hukum Indonesia. Dengan sendirinya Undang-undang Perkawinan mengadakan perbedaan kebutuhan hukum perkawinan, yang berlaku secara khusus bagi golongan penduduk warga negara Indonesia tertentu yang didasarkan pada hukum masing-masing agamanya itu. Bagi umat beragama selain tunduk pada Undang-undang No 1 Tahun 1974, juga tunduk pada ketentuan hukum agamanya atau kepercayaan agamanya sepanjang belum diatur dalam Undang-undang Perkawinan. Apa yang diatur dalam Undang-undang Perkawinan terbatas pada mengatur soal-soal perkawinan yang belum diatur oleh hukum masing-masing agamanya atau kepercayaan agamanya tersebut.34

1. Pencatatan perkawinan.

Untuk melaksanakan Undang-undang No 1 Tahun 1974 yang telah diundangkan pada tanggal 2 Januari 1974 secara efektif, maka masih diperlukan peraturan-peraturan pelaksanaan, antara lain yang menyangkut tentang masalah-masalah:

2. Tata cara pelaksanaan perkawinan.

33

Ibid.

34


(33)

Mufidah Ulfah : Tinjauan Yuridis Terhadap Perkawinan Tanpa Akta Nikah Menurut Undang-Undang No 1 Tahun 1974 Dan Kaitannya Dengan Hukum Islam, 2008.

USU Repository © 2009

3. Tata cara perceraian.

4. Cara mengajukan gugatan perceraian.

5. Tenggang waktu bagi wanita yang mengalami putus perkawinan. 6. Pembatalan perkawinan.

7. Ketentuan dalam hal seorang suami beristri lebih dari seorang.35

Sebagai tindak lanjutnya, pada tanggal 1 April 1975 oleh pemerintah ditetapkan Peraturan Pemerintah No. 9 Tahun 1975 tentang Pelaksanaan Undang-undang No 1 Tahun 1974. Dalam Peraturan Pemerintah ini, memuat ketentuan tentang masalah-masalah yang dikemukakan di atas, yang diharapkan akan dapat memperlancar pelaksanaan Undang-undang No 1 Tahun 1974.36

1. Meletakkan beberapa pengertian yang digunakan dalam Peraturan Pemerintah No 9 Tahun 1975 (Pasal 1).

Apabila dikaji secara seksama, maka kandungan materi Peraturan Pemerintah No. 9 Tahun 1975 mengatur pokok persoalan sebagai berikut:

2. Mengatur pejabat pegawai pencatat perkawinan (Pasal 2), pemberitahuan kehendak pelaksanaan perkawinan (Pasal 3 sampai dengan Pasal 5), penelitian syarat-syarat perkawinan oleh pegawai pencatat perkawinan (Pasal 6 dan Pasal 7), dan pengumuman kehendak melangsungkan perkawinan (Pasal 8 dan Pasal 9).

3. Hal-hal yang berkaitan dengan tata cara perkawinan dan pencatatan perkawinan, termasuk kewajiban penandatanganan akta perkawinan (Pasal 10 dan Pasal 11).

4. Mengatur hal-hal yang harus dimuat dalam akta perkawinan (Pasal 12 dan Pasal 13).

35

Ibid, hlm 251.

36


(34)

Mufidah Ulfah : Tinjauan Yuridis Terhadap Perkawinan Tanpa Akta Nikah Menurut Undang-Undang No 1 Tahun 1974 Dan Kaitannya Dengan Hukum Islam, 2008.

USU Repository © 2009

5. Mengatur mengenai tata cara pemeriksaan cerai talak atau perceraian (Pasal 14 sampai dengan Pasal 18), alasan-alasan perceraian (Pasal 19), tata cara pemeriksaan cerai gugat (Pasal 20 sampai dengan Pasal 36).

6. Mengatur mengenai pembatalan perkawinan oleh pengadilan (Pasal 37, 38). 7. Mengatur mengenai waktu tunggu bagi seorang janda (Pasal 39).

8. Mengatur mengenai kewajiban mengajukan permohonan beristri lebih dari seorang kepada pengadilan dalam hal-hal yang berkaitan dengan pemeriksaan permohonan beristri lebih dari seorang oleh pengadilan dan larangan pegawai pencatat perkawinan untuk melakukan pencatatan perkawinan seorang suami yang beristri lebih dari seorang sebelum adanya izin dari pengadilan (Pasal 40 sampai dengan Pasal 44). 9. Mengatur ancaman sanksi pidana bagi pihak mempelai atau pejabat pencatat

perkawinan yang melanggar ketentuan Pasal-pasal Peraturan Pemerintah No 9 Tahun 1975 (Pasal 45).

10.Mendelegasikan kewenangan untuk mengatur secara khusus ketentuan perkawinan dan perceraian bagi anggota Angkatan Bersenjata oleh Menteri Hankam/Pangab (Pasal 46).

11.Pernyataan tidak berlakunya ketentuan-ketentuan peraturan perundang-undangan yang mengatur tentang perkawinan sejauh telah diatur di dalam Peraturan Pemerintah No 9 Tahun 1975 (Pasal 47).

12.Mendelegasikan kewenangan untuk mengatur petujuk-petunjuk pelaksanaan bagi kelancaran pelaksanaan Peraturan Pemerintah No 9 Tahun 1975 kepada Menteri Kehakiman, Menteri Dalam Negeri, Menteri Agama, baik bersama-sama maupun secara sendiri-sendiri dalam bidang masing-masing (Pasal 48).


(35)

Mufidah Ulfah : Tinjauan Yuridis Terhadap Perkawinan Tanpa Akta Nikah Menurut Undang-Undang No 1 Tahun 1974 Dan Kaitannya Dengan Hukum Islam, 2008.

USU Repository © 2009

13.Pernyataan mulai berlakunya dan perintah pengundangan Peraturan Pemerintah No 9 Tahun 1975).37

Selama ini, dalam menyelesaikan perkara-perkara muamalah, hakim Pengadilan Agama selalu berpedoman pada kitab fiqih yang penggunaannya tergantung pada kemampuan hakim-hakim Pengadilan Agama yang bersangkutan dalam memahami secara utuh dan menyeluruh terhadap kitab-kitab fiqih tersebut. Sehingga dampaknya tidak tertutup kemungkinan timbul putusan yang berbeda-beda terhadap perkara-perkara yang sama. Untuk itu, sudah seyogianya bangsa Indonesia memiliki hukum materil berupa hukum Islam yang berbentuk kodifikasi yang dapat dijadikan landasan hakim dalam memutuskan suatu perkara. Berdasarkan Keputusan Bersama Ketua Mahkamah Agung dan Menteri Agama Nomor 7/KMA/1985 dan Nomor 25 Tahun 1985, maka dibentuk suatu Tim Proyek Pembangunan Hukum Islam melalui Yurisprudensi. Dalam rangka melaksanakan tugas pokoknya, tim tersebut mengadakan penelaahan dan pengkajian kitab-kitab fiqih dari berbagai sumber dan wawancara terhadap para ulama, yang kemudian hasilnya diseminarkan melalui loka karya yang diadakan di Jakarta dari tanggal 2 sampai dengan 5 Februari 1988. Loka karya ini telah menerima dengan baik tentang tiga Rancangan buku Kompilasi Hukum Islam, yang terdiri atas Buku I tentang hukum perkawinan, Buku II tentang hukum kewarisan, dan Buku III tentang hukum perwakafan. Dengan Instruksi Presiden No 1 Tahun 1991 tanggal 10 Juni 1991, maka disebarluaskan Kompilasi Hukum Islam tersebut untuk dapat digunakan oleh instansi pemerintah dan masyarakat sebagai pedoman dalam menyelesaikan masalah-masalah di

37


(36)

Mufidah Ulfah : Tinjauan Yuridis Terhadap Perkawinan Tanpa Akta Nikah Menurut Undang-Undang No 1 Tahun 1974 Dan Kaitannya Dengan Hukum Islam, 2008.

USU Repository © 2009

bidang hukum perkawinan, hukum kewarisan, hukum perwakafan di samping peraturan perundang-undangan lainnya.38

E. Asas-asas Perkawinan dalam Undang-undang No 1 Tahun 1974 1. Asas Sukarela

Dalam Pasal 1 Undang-undang No 1 Tahun 1974 dijelaskan bahwa yang dimaksud dengan perkawinan adalah ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami isteri dengan tujuan untuk membentuk keluarga yang sejahtera, kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Perkawinan dianggap sah apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu. Sehubungan dengan hal tersebut di atas agar perkawinan terlaksana dengan baik, maka perkawinan yang dilaksanakan itu haruslah didasarkan dengan persetujuan kedua mempelai. Agar suami isteri dapat membentuk keluarga bahagia, sejahtera dan kekal, maka diwajibkan bagi calon mempelai untuk saling mengenal terlebih dahulu. Perkenalan yang dimaksud dalam hal ini adalah perkenalan atas dasar moral dan tidak menyimpang dari norma agama yang dianutnya. Orang tua dilarang memaksa anak-anaknya untuk dijodohkan dengan pria atau wanita pilihan orangtua, melainkan diharapkan dapat membimbing dan menuntun anak-anaknya untuk memilih pasangan hidup yang serasi bagi mereka yang sesuai dengan anjuran agama. Sesuai dengan prinsip hak asasi manusia, maka kawin paksa sangat dilarang oleh Undang-undang Perkawinan ini. 39

38

Ibid, hlm 255-256.

39

Abdul Manan, Hukum Perdata Islam di Indonesia, Kencana Prenada Media Group, Jakarta, 2006, hlm 6-7.


(37)

Mufidah Ulfah : Tinjauan Yuridis Terhadap Perkawinan Tanpa Akta Nikah Menurut Undang-Undang No 1 Tahun 1974 Dan Kaitannya Dengan Hukum Islam, 2008.

USU Repository © 2009

Batas umur yang dikehendaki Undang-undang ini adalah minimal 16 tahun bagi wanita dan 19 tahun bagi pria. Penyimpangan dari batas umur yang ditentukan dalam Undang-undang ini harus mendapat dispensasi terlebih dahulu dari pengadilan. Pengajuan dispensasi dapat diajukan oleh orang tua atau wali dari calon mempelai yang belum mencapai batas umur minimal yang telah ditentukan tersebut. Antara kedua mempelai harus ada kerelaan yang mutlak untuk melangsungkan perkawinan berdasarkan kesadaran dan keinginan bersama secara ikhlas untuk mengadakan akad sesuai dengan hukum agama dan kepercayaannya.40

2. Asas Partisipasi Keluarga

Meskipun calon mempelai diberi kebebasan untuk memilih pasangan hidupnya berdasarkan asas sukarela, tetapi karena perkawinan itu merupakan suatu peristiwa yang penting dalam kehidupan seseorang, maka partisipasi keluarga sangat diharapkan di dalam pelaksanaan akad perkawinan tersebut. Pihak keluarga masing-masing diharapkan memberikan restu perkawinan kepada kedua mempelai. Hal ini sesuai dengan sifat dan kepribadian bangsa Indonesia yang penuh dengan etika sopan santun dan religius. Sehubungan dengan hal tersebut di atas bagi para mempelai yang belum mencapai umur 21 tahun harus mendapat izin terlebih dahulu dari orang tuanya sebelum melaksanakan perkawinannya. Dalam keadaan orang tuanya tidak ada atau tidak mampu menyatakan kehendaknya, maka izin tersebut dapat diperoleh dari walinya, atau keluarga dalam garis lurus ke atas. Seandainya pihak-pihak tersebut keberatan, maka izin untuk melangsungkan perkawinan tersebut dapat diperoleh dari Pengadilan Umum bagi

40


(38)

Mufidah Ulfah : Tinjauan Yuridis Terhadap Perkawinan Tanpa Akta Nikah Menurut Undang-Undang No 1 Tahun 1974 Dan Kaitannya Dengan Hukum Islam, 2008.

USU Repository © 2009

orang yang nonmuslim dan Pengadilan Agama bagi yang beragama Islam (Pasal 6 ayat (4) dan (5) Undang-undang No 1 Tahun 1974).41

Partisipasi keluarga diharapkan dalam peminangan dan dalam hal pelaksanaan perkawinan. Dengan demikian diharapkan dapat terjalin hubungan silaturrahmi antar pihak keluarga mempelai, dan dengan harapan agar dapat membimbing pasangan yang baru menikah itu supaya dapat menciptakan rumah tangga yang baik sesuai dengan norma-norma yang berlaku.42

Undang-undang No 1 Tahun 1974 berusaha menekan angka perceraian pada titik yang paling rendah. Hal ini didasarkan pada pandangan bahwa perceraian yang dilakukan tanpa kendali dan sewenang-wenang dapat mengakibatkan kehancuran bukan hanya pada pasangan suami isteri tersebut, juga kepada anak-anak mereka yang mestinya harus diasuh dan dipelihara dengan baik. Oleh karena itu, pasangan suami isteri yang telah menikah secara sah harus bertanggung jawab dalam membina keluarga agar perkawinan yang telah dilangsungkan itu dapat utuh sampai maut memisahkan. Banyak sosiolog menyatakan bahwa berhasil atau tidaknya dalam membina masyarakat sangat ditentukan oleh masalah perkawinan yang merupakan salah satu faktor diantara beberapa faktor yang lain. Kegagalan membina rumah tangga bukan hanya membahayakan rumah tangga itu sendiri, tetapi juga berpengaruh bagi kehidupan masyarakat. Sebagian kenakalan remaja yang terjadi di beberapa negara disebabkan oleh keluarga yang berantakan.

3. Perceraian Dipersulit

43

41

Ibid.

42

Ibid, hlm 8.

43


(39)

Mufidah Ulfah : Tinjauan Yuridis Terhadap Perkawinan Tanpa Akta Nikah Menurut Undang-Undang No 1 Tahun 1974 Dan Kaitannya Dengan Hukum Islam, 2008.

USU Repository © 2009

Penggunaan hak cerai dengan sewenang-wenang dengan dalih bahwa perceraian itu adalah hak suami harus segera dihilangkan. Pemikiran yang keliru ini harus segera diperbaiki. Hak cerai tidak dipegang oleh suami saja, tetapi isteri juga dapat menggugat cerai suaminya apabila ada hal-hal yang menurut keyakinannya rumah tangga yang telah dibina tersebut sudah tidak dapat diteruskan. Untuk itu Undang-undang Perkawinan merumuskan bahwa perceraian itu harus dilakukan di depan pengadilan. Perceraian yang dilaksanakan di luar pengadilan dianggap tidak mempunyai kekuatan hukum, dengan demikian tidak diakui kebenarannya. Pengadilan berusaha semaksimal mungkin untuk mendamaikan kedua belah pihak untuk rukun kembali. Undang-undang Perkawinan tidak melarang perceraian tetapi mempersulit pelaksanaannya, artinya tetap dimungkinkan perceraian jika seandainya memang benar-benar tidak dapat dihindarkan, dan harus dilakukan secara baik-baik di hadapan sidang pengadilan. Perceraian yang demikian merupakan hal yang baru dalam masyarakat Indonesia, yang sebelumnya hak cerai sepenuhnya berada di tangan suami yang pelaksanaannya dapat dilakukan semaunya yang sama sekali tidak memperhatikan hak-hak isteri dan anak-anaknya.44

4. Poligami Dibatasi dengan Ketat

Menurut Undang-undang No 1 Tahun 1974, perkawinan adalah bersifat monogami, namun demikian mempunyai istri lebih dari satu orang dapat dibenarkan asalkan tidak bertentangan dengan hukum agama yang dianutnya, serta memenuhi alasan dan persyaratan tertentu yang ditetapkan dengan Undang-undang Perkawinan lebih dari satu orang dapat dilaksanakan apabila ada izin dari istrinya dan baru dapat dilaksanakan apabila ada izin dari Pengadilan Agama terlebih dahulu. Dalam Pasal 4 dan 5

44


(40)

Mufidah Ulfah : Tinjauan Yuridis Terhadap Perkawinan Tanpa Akta Nikah Menurut Undang-Undang No 1 Tahun 1974 Dan Kaitannya Dengan Hukum Islam, 2008.

USU Repository © 2009

undang No 1 Tahun 1974 dijelaskan bahwa seorang pria yang bermaksud kawin lebih dari satu orang harus dengan alasan bahwa istri tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai istri, istri mendapat cacat badan atau penyakit yang tidak dapat disembuhkan dan istri tidak dapat melahirkan keturunan. Dalam hal ini tidak dijelaskan secara rinci apakah ketentuan tersebut bersifat kumulatif atau alternatif. Oleh karena itu, penggunaan alasan-alasan tersebut diserahkan kepada hakim.45

Apabila alasan-alasan sebagaimana disebut di atas sudah terpenuhi, maka Pengadilan Agama juga meneliti apakah ada atau tidaknya syarat-ayarat tersebut secara kumulatif yaitu (1) persetujuan dari istri atau istri-istrinya, kalau ada harus diucapkan di muka Majelis Hakim; (2) kemampuan material dari orang yang bermaksud menikah lebih dari satu orang; (3) jaminan berlaku adil terhadap istri-istrinya apabila ia sudah menikah, jaminan berlaku adil ini dibuat di dalam persidangan Majelis Hakim. Apabila syarat-syarat ini sudah dipenuhi secara kumulatif, maka barulah pengadilan memberikan izin kepada pemohon untuk melaksanakan pologami. Apabila perkawinan lebih dari satu orang tidak dilaksanakan sebagaimana ketentuan tersebut di atas, maka perkawinan tersebut tidak berdasarkan hukum dan kepada pelakunya dapat dikenakan sanksi sebagaimana tersebut dalam Pasal 44 dan 45 Undang-undang No 1 Tahun 1974.46

Poligami atau perkawinan lebih dari satu orang merupakan suatu hal yang sangat ditakuti oleh setiap kaum wanita. Perkawinan lebih dari satu orang atau poligami tanpa dibatasi oleh peraturan secara ketat dapat menimbulkan hal-hal yang bersifat negatif dalam menjalankan rumah tangganya. Biasanya hubungan dengan istri muda menjadi

45

Ibid, hlm 10.

46


(41)

Mufidah Ulfah : Tinjauan Yuridis Terhadap Perkawinan Tanpa Akta Nikah Menurut Undang-Undang No 1 Tahun 1974 Dan Kaitannya Dengan Hukum Islam, 2008.

USU Repository © 2009

tegang, sementara itu anak-anak yang berlainan ibu itu akan menjurus kepada pertentangan yang dapat membahayakan hidup mereka, dan hal ini biasanya terjadi jika ayah mereka telah meninggal dunia. Agar hal-hal yang bersifat negatif tersebut tidak terjadi dalam rumah tangga orang-orang yang melakukan poligami tersebut maka Undang-undang No 1 Tahun 1974 membatasi secara ketat pelaksanaan perkawinan poligami dengan menentukan alasan-alasan dan syarat-syarat tertentu. Undang-undang No 1 Tahun 1974 memberikan suatu harapan bahwa perkawinan yang dilaksanakan itu benar-benar bermanfaat bagi mereka yang melaksanakannya.47

5. Kematangan Calon Mempelai

Undang-undang No 1 Tahun 1974 mempunyai hubungan yang erat dengan masalah kependudukan. Dengan adanya pembatasan usia untuk melakukan perkawinan bagi wanita dan pria, maka diharapkan lajunya angka kelahiran dapat ditekan seminimal mungkin. Dengan demikian program Keluarga Berencana (KB) Nasional dapat berjalan seiring dengan undang-undang. Sehubungan dengan hal tersebut, perkawinan di bawah umur dilarang keras dan harus dicegah pelaksanaannya. Pencegahan ini semata-mata didasarkan agar kedua mempelai dapat memenuhi tujuan luhur yaitu untuk mewujudkan rumah tangga yang bahagia dan sejahtera dengan mewujudkan suasana rukun dan damai dalam rumah tangga. Agar hal ini dapat terlaksana, maka kematangan calon mempelai sangat diharapkan yaitu dalam hal kematangan usia, kematangan dalam berfikir dan

47


(42)

Mufidah Ulfah : Tinjauan Yuridis Terhadap Perkawinan Tanpa Akta Nikah Menurut Undang-Undang No 1 Tahun 1974 Dan Kaitannya Dengan Hukum Islam, 2008.

USU Repository © 2009

bertindak sehingga tujuan perkawinan sebagaimana tersebut di atas dapat terlaksana dengan baik.48

Dengan lahirnya Undang-undang No 1 Tahun 1974, maka diharapkan dapat memperbaiki dan meningkatkan derajat kaum wanita, sebab sebelum berlakunya Undang-undang No 1 Tahun 1974, banyak para suami yang memperlakukan istrinya dengan tindakan sewenang-wenang, menceraikan istrinya begitu saja tanpa alasan yang jelas sehingga banyak kaum wanita yang menderita. Para istri harus mencari nafkah hidup untuk membiayai dirinya dan juga anak-anaknya yang seharusnya menjadi tanggung jawab suaminya. Secara lahiriah, wanita adalah makhluk yang paling membutuhkan perlindungan, pengayoman dan kasih sayang. Tindakan seorang suami yang tidak bertanggung jawab kepada istrinya merupakan pukulan moril bagi seorang istri. Dengan kehadiran Undang-undang No 1 Tahun 1974 diharapkan pada masa yang akan datang para suami akan lebih bertanggung jawab sepenuhnya kepada istri dan anak-anaknya. Perceraian tidak boleh dilakukan seorang suami dengan sembarangan, tetapi harus dengan cara yang baik setelah mendapat persetujuan dari pengadilan. Di dalam sidang pengadilan akan ditetapkan kewajiban-kewajiban yang harus dipikul oleh suami baik sebelum dan sesudah perceraian dilakukan. Demikian juga dalam hal poligami, harus dilakukan secara tertib sehingga para isrti dalam keluarga itu mendapatkan perlindungan dan tidak merasa dirugikan sebagai akibat dari perkawinan tersebut. Oleh karena itu, poligami baru dapat dilaksanakan setelah mendapat izin dari pengadilan.

6. Memperbaiki Derajat Kaum Wanita

49

48

Ibid, hlm 11.

49


(43)

Mufidah Ulfah : Tinjauan Yuridis Terhadap Perkawinan Tanpa Akta Nikah Menurut Undang-Undang No 1 Tahun 1974 Dan Kaitannya Dengan Hukum Islam, 2008.

USU Repository © 2009

F. Syarat-syarat Sahnya Suatu Perkawinan

1. Syarat-syarat sahnya suatu perkawinan menurut Undang-undang No 1 Tahun 1974

Perkawinan adalah persetujuan kekeluargaan, yang menghendaki adanya asas kebebasan kata sepakat antara calon suami istri. Hal ini menunjukkan bahwa adanya sifat tidak dipaksakan, bahwa persetujuan perkawinan harus lahir oleh karena adanya persamaan kehendak. Kekuatan mengikat dari persetujuan perkawinan adalah lebih luas jika dibandingkan persetujuan umumnya sebab perkawinan harus diindahkan oleh setiap orang. Sifat perkawinan menurut Undang-undang No 1 Tahun 1974 kiranya sama dengan sifat perkawinan menurut KUH Perdata, jika kita kaitkan dengan tujuan perkawinan (pasal 1 Undang-undang No 1 Tahun 1974), maka sifat tersebut adalah logis dan layak, sebab kebahagiaan akan tercapai jika ikatan lahir dan batin betul-betul didasarkan atas kesepakatan, tidak ada unsur paksaan dalam bentuk apapun dan dari siapa pun juga. Jadi adanya persamaan kehendak merupakan dasar harapan terwujudnya tujuan dari perkawinan.50

Adapun syarat-syarat yang harus dipenuhi untuk melangsungkan perkawinan menurut Undang-undang No 1 Tahun 1974 adalah sebagai berikut:

Undang-undang No 1 Tahun 1974 telah menentukan secara tegas bahwa suatu perkawinan adalah sah apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu (Pasal 2 ayat (1)) dan tiap-tiap perkawinan dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku (Pasal 2 ayat (2)).

50


(44)

Mufidah Ulfah : Tinjauan Yuridis Terhadap Perkawinan Tanpa Akta Nikah Menurut Undang-Undang No 1 Tahun 1974 Dan Kaitannya Dengan Hukum Islam, 2008.

USU Repository © 2009

1. Adanya persetujuan kedua mempelai.51

Syarat perkawinan ini diatur secara jelas dalam Undang-undang No 1 Tahun 1974 Pasal 6 ayat (1) yang menyatakan bahwa :

”Perkawinan harus didasarkan atas persetujuan kedua mempelai” Pada penjelasannya disebutkan bahwa:

”Oleh karena perkawinan mempunyai maksud agar suami dan istri dapat membentuk keluarga yang kekal dan bahagia, dan sesuai pula dengan hak asasi manusia, maka perkawinan harus disetujui oleh kedua belah pihak yang melangsungkan perkawinan tersebut, tanpa ada paksaan dari pihak yang manapun”.

Syarat perkawinan ini memberikan jaminan agar tidak terjadi lagi perkawinan paksa dalam masyarakat. Ketentuan ini sudah selayaknya diterapkan, mengingat masalah perkawinan merupakan urusan pribadi seseorang yang merupakan hak asasi manusia. Oleh karena itu, sudah seharusnya apabila urusan perkawinan itu lebih banyak diserahkan kepada keinginan masing-masing pribadi untuk menentukan pilihan sendiri siapa yang akan dijadikan kawan hidupnya dalam berumah tangga. Pilihan ini harus benar-benar dilakukan secara bebas tanpa ada paksaan dari pihak manapun.

2. Adanya izin dari kedua orangtua/wali bagi calon mempelai yang belum berusia 21 tahun.52

Syarat perkawinan ini diatur secara tegas dalam Undang-undang No 1 Tahun 1974 Pasal 6 ayat (2), (3), (4), (5) dan (6), yaitu:

(2) Untuk melangsungkan perkawinan seorang yang belum mencapai umur 21 (dua puluh satu) tahun harus mendapat izin kedua orang tuanya.

(3) Dalam hal salah seorang dari kedua orang tua telah meninggal dunia atau dalam keadaan tidak mampu menyatakan kehendaknya, maka izin dimaksud

51

Riduan Syahrani, Seluk Beluk dan Asas-asas Hukum Perdata, P.T Alumni, Bandung, 2004, hlm 64.

52


(45)

Mufidah Ulfah : Tinjauan Yuridis Terhadap Perkawinan Tanpa Akta Nikah Menurut Undang-Undang No 1 Tahun 1974 Dan Kaitannya Dengan Hukum Islam, 2008.

USU Repository © 2009

ayat (2) pasal ini cukup diperoleh dari orang tua yang masih hidup atau dari orang tua yang mampu menyatakan kehendaknya.

(4) Dalam hal kedua orang tua telah meninggal dunia atau dalam keadaan tidak mampu menyatakan kehendaknya maka izin diperoleh dari wali, orang yang memelihara atau keluarga yang mempunyai hubungan darah dalam garis keturunan lurus ke atas selama mereka masih hidup dan dalam keadaan dapat menyatakan kehendaknya.

(5) Dalam hal ada perbedaan pendapat antara orang-orang yang disebut dalam ayat (2), (3), dan (4) pasal ini, atau salah seorang atau lebih diantara mereka tidak menyatakan pendapatnya, maka pengadilan dalam daerah hukum tempat tinggal orang yang akan melangsungkan perkawinan atas permintaan orang tersebut dapat memberikan izin setelah lebih dahulu mendengar orang-orang tersebut dalam ayat (2), (3), dan (4) pasal ini.

(6) Ketentuan tersebut ayat (1) sampai dengan ayat (5) pasal ini berlaku sepanjang hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu dari orang yang bersangkutan tidak menentukan lain.

Ketentuan Undang-Undang No 1 Tahun 1874 yang mensyaratkan adanya izin dari kedua orang tua/wali untuk melangsungkan perkawinan bagi yang belum berusia 21 tahun ini memang sudah selayaknya dan ini sesuai dengan tatakrama masyarakat Indonesia sebagai orang Timur. Walaupun suatu perkawinan dipandang dan diakui sebagai urusan pribadi, tetapi masyarakat Indonesia mempunyai rasa kekeluargaan yang masih kuat terutama dalam hal hubungan antara anak dengan orang tuanya. Yang dimaksud dengan izin dari kedua orang tua dalam hal ini adalah izin kedua orang tua/wali sebagai realisasi dari adanya doa restu mereka terhadap perkawinan yang akan dilangsungkan.53

3. Usia calon mempelai pria sudah mencapai 19 tahun dan usia calon mempelai wanita sudah mencapai 16 tahun.

Syarat perkawinan tersebut diatur dalam Undang-undang No 1 Tahun 1974 Pasal 7 ayat (1) yang menyatakan bahwa:

53


(46)

Mufidah Ulfah : Tinjauan Yuridis Terhadap Perkawinan Tanpa Akta Nikah Menurut Undang-Undang No 1 Tahun 1974 Dan Kaitannya Dengan Hukum Islam, 2008.

USU Repository © 2009

”Perkawinan hanya diizinkan jika pihak pria sudah mencapai umur 19 (sembilan belas) tahun dan pihak wanita sudah mencapai 16 (enam belas) tahun”.

Ketentuan ini adalah untuk mencegah terjadinya perkawinan anak-anak yang masih di bawah umur, dengan tujuan agar calon suami istri yang akan melangsungkan perkawinan sudah matang jiwa dan raganya sehingga dapat membina rumah tangganya dengan sebaik-baiknya tanpa berakhir dengan perceraian serta mendapatkan keturunan yang baik dan sehat. Selain itu, juga dimaksudkan untuk menjaga kesehatan suami istri serta sebagai pengendalian angka kelahiran. Seperti yang dinyatakan dalam penjelasan umum angka 4 sub d Undang-undang No 1 Tahun 1974, bahwa:

”...perkawinan mempunyai hubungan dengan masalah kependudukan. Ternyatalah bahwa batas umur yang lebih rendah bagi seorang wanita untuk kawin, mengakibatkan laju kelahiran yang lebih tinggi. Berhubungan dengan itu, maka undang-undang ini menentukan batas umur untuk kawin baik bagi pria maupun wanita, ialah 19 (sembilan belas) tahun bagi pria dan 16 (enam belas) tahun bagi wanita”.

4. Antara calon mempelai pria dan calon mempelai wanita tidak dalam hubungan darah/keluarga yang tidak boleh kawin

Hubungan darah/keluarga yang tidak boleh kawin menurut Undang-undang No 1 Tahun 1974 Pasal 8 adalah sebagai berikut:

a. Berhubungan darah dalam garis keturunan lurus ke bawah dan ke atas.

b. Berhubungan darah dalam garis keturunan menyamping yaitu antara saudara, antara seorang dengan saudara orang tua dan antara seorang dengan saudara nenek.

c. Berhubungan semenda yaitu mertua, anak tiri, menantu dan ibu/bapak tiri. d. Berhubungan susuan yaitu orang tua susuan, anak susuan, saudara susuan dan

bibi/paman susuan.

e. Berhubungan saudara dengan istri atau sebagai bibi atau kemenakan dari istri, dalam hal seorang suami beristri lebih dari seseorang.

f. Mempunyai hubungan yang oleh agamanya dan peraturan lain yang berlaku, dilarang kawin.


(47)

Mufidah Ulfah : Tinjauan Yuridis Terhadap Perkawinan Tanpa Akta Nikah Menurut Undang-Undang No 1 Tahun 1974 Dan Kaitannya Dengan Hukum Islam, 2008.

USU Repository © 2009

Pada dasarnya, larangan untuk melangsungkan perkawinan karena hubungan darah/keluarga yang dekat seperti yang disebut dalam Pasal 8 di atas, terdapat juga dalam sistem hukum lain, seperti hukum Islam. Akan tetapi, karena dalam Pasal 8 tersebut dinyatakan bahwa hubungan yang dilarang kawin juga adalah hubungan yang oleh agamanya dan peraturan lain yang berlaku untuk larangan kawin, maka larangan kawin dalam Undang-undang No 1 Tahun 1974 tersebut mungkin akan bertambah dengan larangan-larangan kawin menurut hukum agama atau peraturan lain.54

5. Tidak berada pada ikatan perkawinan dengan pihak lain

55

Syarat untuk melangsungkan perkawinan ini diatur dalam Pasal 9 Undang-undang No 1 Tahun 1974 yang menyatakan bahwa:

”Seorang yang masih terikat tali perkawinan dengan orang lain tidak dapat kawin lagi, kecuali dalam hal yang tersebut pada Pasal 3 ayat (2) dan Pasal 4 undang-undang ini”.

Pasal 3 ayat (2) Undang-undang No 1 Tahun 1974 menyatakan bahwa:

” Pengadilan dapat memberi izin kepada seorang suami untuk beristri lebih dari seorang apabila dikehendaki dari pihak-pihak yang bersangkutan”.

Hal ini ditegaskan dalam penjelasan umum Undang-undang No 1 Tahun 1974 angka c yang menyatakan bahwa:

”Hanya apabila dikehendaki yang bersangkutan, karena hukum dan agama dari yang bersangkutan mengizinkannya, seorang suami dapat beristri lebih dari seorang. Namun demikian, perkawinan seorang suami dengan lebih dari seorang istri, meskipun hal itu dikehendaki oleh pihak-pihak yang bersangkutan, hanya dapat dilakukan apabila dipenuhi berbagai persyaratan tertentu dan diputuskan oleh pengadilan”.

54

Ibid, hlm 69.

55


(48)

Mufidah Ulfah : Tinjauan Yuridis Terhadap Perkawinan Tanpa Akta Nikah Menurut Undang-Undang No 1 Tahun 1974 Dan Kaitannya Dengan Hukum Islam, 2008.

USU Repository © 2009

Sebagaimana telah disebutkan dalam Pasal 3 ayat (2) Undang-undang No 1 Tahun 1974, kini poligami tidak dapat dilakukan oleh setiap orang dengan sekehendak hati atau asalkan dikehendaki oleh pihak-pihak yang bersangkutan saja, tetapi poligami hanya dapat dilakukan setelah ada izin dari pengadilan. Untuk itu yang bersangkutan wajib terlebih dahulu mengajukan permohonan secara tertulis kepada pengadilan di daerah tempat tinggal pemohon. Pengadilan hanya memberi izin kepada seorang suami untuk melakukan poligami apabila ada alasan yang dapat dibenarkan dan telah memenuhi syarat-syarat yang ditentukan.56

a. Istri tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai istri.

Alasan yang dapat dijadikan dasar oleh suami untuk melakukan poligami telah ditentukan dalam Pasal 4 ayat (2) Undang-undang No 1 Tahun 1974, yaitu:

b. Istri mendapat cacat badan atau penyakit yang tidak dapat disembuhkan. c. Istri tidak dapat melahirkan keturunan.

Sedangkan syarat-syarat yang harus dipenuhi seluruhnya oleh seorang suami untuk melakukan poligami diatur dalam Pasal 5 ayat (1) Undang-undang No 1 Tahun 1974, yaitu:

”Untuk dapat mengajukan permohonan kepada pengadilan, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1) undang-undang ini, harus dipenuhi syarat-syarat sebagai berikut:

1. Adanya persetujuan dari istri/istri-istri.

2. Adanya kepastian bahwa suami mampu menjamin keperluan-keperluan hidup istri-istri dan anak-anak mereka.

3. Adanya jaminan bahwa suami akan berlaku adil terhadap istri-istri dan anak-anak mereka”.

56


(49)

Mufidah Ulfah : Tinjauan Yuridis Terhadap Perkawinan Tanpa Akta Nikah Menurut Undang-Undang No 1 Tahun 1974 Dan Kaitannya Dengan Hukum Islam, 2008.

USU Repository © 2009

6. Bagi suami istri yang telah bercerai, lalu kawin lagi satu sama lain dan bercerai lagi untuk kedua kalinya, agama dan kepercayaan mereka tidak melarang mereka kawin untuk ketiga kalinya.57

Syarat perkawinan yang ke enam ini disebutkan dalam Undang-undang No 1 Tahun 1974 Pasal 10, yang menyatakan bahwa:

”Apabila suami dan istri yang telah bercerai kawin lagi satu dengan yang lain dan bercerai lagi untuk kedua kalinya, maka di antara mereka tidak boleh dilangsungkan perkawinan lagi, sepanjang hukum masing-masing agama dan kepercayaan itu dari yang bersangkutan tidak menentukan lain”.

Dalam penjelasan Pasal 10 Undang-undang No 1 Tahun 1974, menyebutkan bahwa:

”Oleh karena perkawinan mempunyai maksud agar suami dan istri dapat membentuk keluarga yang kekal, maka suatu tindakan yang mengakibatkan putusnya suatu perkawinan harus benar-benar dapat dipertimbangkan dan dipikirkan masak-masak. Ketentuan ini dimaksudkan untuk mencegah tindakan kawin cerai berulang kali, sehingga suami maupun istri benar-benar saling menghargai satu sama lain.

7. Tidak berada dalam waktu tunggu bagi calon mempelai wanita yang janda.

Dalam Pasal 11 Undang-undang No 1 Tahun 1974 ditentukan bahwa wanita yang putus perkawinannya, tidak boleh begitu saja kawin lagi dengan lelaki lain, tetapi harus menunggu sampai waktu tunggu itu habis.58

2. Syarat-syarat sahnya suatu perkawinan menurut hukum Islam.

Sejak berlakunya Undang-undang No 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, maka sahnya suatu perkawinan menurut hukum agama di Indonesia sangat menentukan.

57

Ibid, hlm 74.

58


(1)

Mufidah Ulfah : Tinjauan Yuridis Terhadap Perkawinan Tanpa Akta Nikah Menurut Undang-Undang No 1 Tahun 1974 Dan Kaitannya Dengan Hukum Islam, 2008.

USU Repository © 2009

BAB V PENUTUP

A. Kesimpulan

1. Undang-undang No 1 Tahun 1974 telah menentukan secara tegas bahwa suatu perkawinan adalah sah apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu (Pasal 2 ayat (1)) dan tiap-tiap perkawinan dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku (Pasal 2 ayat (2)).Dengan demikian sahnya suatu perkawinan menurut Undang-undang No 1 Tahun 1974 adalah apabila telah memenuhi ketentuan Pasal 2 ayat (1) dan (2). Ketentuan Pasal 2 ayat (1) dan (2) tersebut merupakan syarat kumulatif, oleh karena itu, suatu perkawinan yang dilakukan menurut hukum agama tanpa dicatat oleh Pegawai Pencatat Nikah (PPN), belum dianggap sebagai perkawinan yang sah menurut hukum positif yang berlaku di Indonesia yaitu Undang-undang No 1 Tahun 1974. Perkawinan inilah yang disebut dengan perkawinan di bawah tangan. Sedangkan menurut hukum Islam yang berdasarkan dalil-dalil dalam Al-Qur’an dan Sabda Rasulullah yang membolehkan poligami, maka membuka kesempatan bagi para kaum laki-laki untuk mempunyai istri lebih dari satu orang dengan syarat-syarat yang telah ditentukan khususnya


(2)

Mufidah Ulfah : Tinjauan Yuridis Terhadap Perkawinan Tanpa Akta Nikah Menurut Undang-Undang No 1 Tahun 1974 Dan Kaitannya Dengan Hukum Islam, 2008.

USU Repository © 2009

dalam hal keadilan. Untuk menghindari ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku yaitu Undang-undang No 1 Tahun 1974. Dalam Pasal 3 ayat (1) yang menyatakan bahwa :

”pada asasnya dalam suatu perkawinan, seorang pria hanya boleh mempunyai seorang istri. Seorang wanita hanya boleh mempunyai seorang suami”.

Maka biasanya calon suami istri melangsungkan perkawinan tersebut hanya dengan melalui tata cara dan syarat-syarat yang ditentukan oleh hukum Islam saja, sebab hukum Islam sudah jelas membolehkan poligami. Jadi berdasarkan hal tersebut, maka perkawinan tanpa akta nikah tetap dianggap sah menurut ketentuan hukum Islam, dengan ketentuan bahwa perkawinan tersebut telah memenuhi rukun dan syarat-syarat sahnya perkawinan seperti yang telah dijelaskan pada bab sebelumnya.

2. Apabila dilihat dari teori hukum, suatu tindakan yang dilakukan menurut hukum baru dapat dikatakan sebagai perbuatan hukum, dan oleh karena itu maka berakibat hukum yaitu akibat dari perbuatan itu mendapat pengakuan dan perlindungan hukum. Sebaliknya suatu tindakan yang dilakukan tidak menurut aturan hukum, maka tidak dapat dikatakan sebagai perbuatan hukum sekalipun tindakan itu tidak melawan hukum, dan karenanya sama sekali belum mempunyai akibat hukum yang diakui dan dilindungi oleh hukum. 99

99

Mimbar Hukum, No 23 Tahun VI 1995, Loc., Cit.

. Dengan demikian, berdasarkan teori tersebut, maka suatu perkawinan di bawah tangan tidak mempunyai akibat hukum, tetapi hanya mempunyai dampak terhadap anak, istri maupun suami sepeti yang dijalaskan pada bab IV di atas. Sedangkan menurut hukum Islam, perkawinan di bawah tangan mempunyai akibat hukum yang sama dengan perkawinan yang mempunyai akta


(3)

Mufidah Ulfah : Tinjauan Yuridis Terhadap Perkawinan Tanpa Akta Nikah Menurut Undang-Undang No 1 Tahun 1974 Dan Kaitannya Dengan Hukum Islam, 2008.

USU Repository © 2009

nikah, baik dalam hal warisan, hak istri dan anak, dan lain-lain. Hanya saja apabila terjadi sesuatu hal yang berhubungan dengan hukum positif di Indonesia, maka perkawinan tersebut akan mengalami kesulitan, seperti membuat akta kelahiran bagi anak hasil perkawinan tersebut, dan apabila hendak bercerai, maka perceraian itu hanya dapat dilakukan sesuai dengan ketentuan hukum Islam saja.

3. Upaya yang harus di tempuh agar perkawinan di bawah tangan menjadi sah menurut ketentuan hukum positif di Indonesia adalah bagi yang beragama Islam dengan cara mengajukan permohonan itsbat nikah ke Pengadilan Agama seperti yang diatur dalam Pasal 7 KHI, tetapi untuk perkawinan di bawah tangan hanya dimungkinkan mengajukan permohonan itsbat nikah dengan alasan untuk menyelesaikan perceraian, sedangkan pengajuan itsbat nikah dengan alasan lain hanya dimungkinkan jika sebelumnya pihak yang mengadakan perkawinan telah memiliki akta nikah.

B. Saran

1. Sebaiknya masyarakat Indonesia melakukan perkawinan sesuai dengan ketentuan hukum yang berlaku supaya perkawinan tersebut mempunyai kekuatan hukum, dan di masa yang akan datang perkawinan tersebut dapat dilindungi oleh hukum.

2. Diharapkan kepada masyarakat Indonesia khususnya yang beragama Islam, agar perkawinannya tidak hanya berdasarkan ketentuan hukum Islam saja, walaupun sah menurut hukum Islam, tetapi apabila tidak dicatat oleh pejabat yang berwenang,maka perkawinan tersebut tidak sah menurut hukum positif.


(4)

Mufidah Ulfah : Tinjauan Yuridis Terhadap Perkawinan Tanpa Akta Nikah Menurut Undang-Undang No 1 Tahun 1974 Dan Kaitannya Dengan Hukum Islam, 2008.

USU Repository © 2009

DAFTAR PUSTAKA

I. Buku

Al-Habsyi, Muhammad Bagir, Fiqih Praktis menurut Al-Qur’an, As-Sunnah, dan

Pendapat Para Ulama, Mizan, Bandung, 2002

Ali, M. Ma’sum Ibn’, Al Amsilatu at Tasrifiyyatu, Surabaya, Maktabu Wa Matba’ati Salim Nabhan

Hadikusuma, Hilman, Hukum Perkawinan Indonesia menurut Perundangan, Hukum

Adat, Hukum Agama, Mandar Maju, Bandung, 1990

Hamidjo, Soetojo Prawiro dan Azis Sofiodin, Hukum Orang dan Keluarga, Alumni, Bandung, 1979

Manan, Abdul, Hukum Perdata Islam di Indonesia, Kencana Prenada Media Group, Jakarta, 2006

Nuruddin, Amiur dan Azhari Akmal Tarigan, Hukum Perdata Islam di Indonesa, Kencana Prenada Media Group, 2004

Ramulyo, Mohd. Idris, Hukum Perkawinan Islam, Bumi Aksara, Jakarta, 2004

Tinjauan Beberapa Pasal UU No.1 Tahun 1974 dari Segi

Hukum Perkawinan Islam, Jakarta, Ind, Co., 1990

Saleh, K. Wantjik Hukum Perkawinan Indonesia, Ghalia Indonesia, Jakarta, 1975

Situmorang, Viktor M dan Cormentya Sitanggang, Aspek Hukum Catatan Sipil di

Indonesia, Sinar Grafika, Jakarta, 1991


(5)

Mufidah Ulfah : Tinjauan Yuridis Terhadap Perkawinan Tanpa Akta Nikah Menurut Undang-Undang No 1 Tahun 1974 Dan Kaitannya Dengan Hukum Islam, 2008.

USU Repository © 2009

Suhardana, F.X, Hukum Perdata I, Prenhallindo, Jakarta, 1990

Supriadi, Wila Chandrawila, Hukum Perkawinan Indonesia dan Belanda, Mandar Maju, Bandung, 2002

Syahrani, Riduan, Seluk Beluk dan Asas-asas Hukum Perdata, Alumni, Bandung, 2004 Usman, Rachmadi, Aspek-Aspek Hukum Perorangan dan Kekeluargaan di Indonesia,

Sinar Grafika, Jakarta, 2006

II. Jurnal

Mimbar Hukum, No. 26 Tahun VII 1996 Mimbar Hukum, No. 62 Tahun XIV 2003 Mimbar Hukum No 23 Tahun VI 1995 Mimbar Hukum, No 64 Tahun XV 2004 Mimbar Hukum, No 23 Tahun VI 1995

III. Peraturan Perundang-undangan

Undang-undang No 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan

Instruksi Presiden No 1 Tahun 1999 tentang Kompilasi Hukum Islam

Peraturan Pemerintah No 9 Tahun 1975 tentang Pelaksanaan Undang-undang Perkawinan

IV. Internet

http://www.gtzggpas.or.id/news/mc/art280306.htm http://www.lbh-apik.or.id/fact51-bwh%20tangan.htm


(6)

Mufidah Ulfah : Tinjauan Yuridis Terhadap Perkawinan Tanpa Akta Nikah Menurut Undang-Undang No 1 Tahun 1974 Dan Kaitannya Dengan Hukum Islam, 2008.


Dokumen yang terkait

Pelaksanaan Perkawinan Terhadap Nikah Mut’ah Berdasarkan Undang-Undang No 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan dan Hukum Islam

3 111 109

Undang Undang Nomor I Tahun 1974 dan kaitannya dengan perkawinan antar orang yang berlainan agama: studi tentang praktek pelaksanaannya di DKI Jakarta

0 5 91

Anak luar nikah dalam undang-undang perkawinan No.1 Tahun 1974: analisis putusan MK tentang status anak luar nikah

0 3 86

NIKAH TAFWIDH MENURUT HUKUM ISLAM DIKAITKAN DENGAN UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1974 TENTANG PERKAWINAN DAN KOMPILASI HUKUM ISLAM.

1 5 1

TINJAUAN YURIDIS TERHADAP PENGURUS PANTI ASUHAN SEBAGAI WALI NIKAH TERHADAP PERKAWINAN ANAK ASUHNYA MENURUT HUKUM ISLAM DIKAITKAN DENGAN UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1974 TENTANG PERKAWINAN DAN KHI.

0 1 1

TINJAUAN HUKUM TERHADAP DISAHKANNYA PERKAWINAN BEDA AGAMA MENURUT ALIRAN ISLAM LIBERAL DIKAITKAN DENGAN HUKUM ISLAM DAN UNDANG-UNDANG NO.1 TAHUN 1974 TENTANG PERKAWINAN.

0 0 1

PENERAPAN ITSBAT NIKAH DALAM PERKAWINAN POLIGAMI MENURUT HUKUM ISLAM DAN UNDANG-UNDANG NO 1 TAHUN 1974 TENTANG PERKAWINAN.

0 0 2

TINJAUAN YURIDIS PERCERAIAN LIAN MENURUT HUKUM ISLAM DAN UNDANG-UNDANG N0. 1 TAHUN 1974 TENTANG PERKAWINAN.

0 0 1

STATUS HUKUM PERKAWINAN TANPA AKTA NIKAH MENURUT UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1974 DAN RELEVANSINYA DENGAN HUKUM ISLAM | PURNAMA SARI | Legal Opinion 5669 18695 1 PB

0 1 10

BAB II TINJAUAN UMUM TERHADAP PERKAWINAN BERDASARKAN UNDANG-UNDANG NO 1 TAHUN 1974 TENTANG PERKAWINAN DAN HUKUM ISLAM A. Sejarah Hukum Perkawinan di Indonesia - Pelaksanaan Perkawinan Terhadap Nikah Mut’ah Berdasarkan Undang-Undang No 1 Tahun 1974 Tentang

0 0 35