Perkawinan Campuran Menurut Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan Tentang Perkawinan

(1)

PERKAWINAN CAMPURAN MENURUT UNDANG-UNDANG

NOMOR 1 TAHUN 1974 TENTANG PERKAWINAN

SKRIPSI

Diajukan Untuk Melengkapi Tugas-tugas dan Memenuhi Syarat Untuk Memperoleh Gelar

Sarjana Hukum

OLEH :

PATIMAH HARAHAP NIM : 090200015

Jurusan : Hukum Keperdataan Program Kekhususan : Perdata BW

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN


(2)

PERKAWINAN CAMPURAN MENURUT UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1974 TENTANG PERKAWINAN

Diajukan Untuk Melengkapi Tugas-tugas dan SKIRIPSI

Memenuhi Syarat Untuk Memperoleh GelarSarjana Hukum

Oleh

Nama : PATIMAH HARAHAP

Nim : 090200015

Jurusan : Hukum Keperdataan Program Kekhususan : Perdata BW

Disetujui,

Ketua Departemen Hukum Perdata

Dr. H. Hasim Purba,S.H.M.Hum NIP. 196603031985081001

Dosen Pembimbing I, Dosen Pembimbing II,

(Dr.Ramlan Yusuf Rangkuti,M,A) (Dr.Yefrizawati,SH.M.Hum)

NIP. 195103171980031002 NIP. 197512102002122001

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN


(3)

KATA PENGANTAR

Segala puji dan syukur Penulis panjatkan ke hadirat Tuhan Yang Maha Esa, karena atas ridho-Nya penyusunan dan penulisan skripsi ini dapat selesai dengan baik, dan kini sampai ke tangan pembaca yang budiman.

Skiripsi ini disusun guna melengkapi dan memenuhi tugas dan syarat untuk meraih gelar Sarjana Hukum yang merupakan kewajiban bagi setiap mahasiswa/mahasiswi yang menyelesaikan perkuliahannya.Adapun judul skiripsi yang Penulis kemukakan adalah “ Perkawinan Campuran Menurut Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan Tentang Perkawinan”.

Dalam penyusunan skripsi ini, penulis mendapat bantuan dan bimbingan dari berbagai pihak. Oleh karena itu, pada kesempatan ini Penulis ingin mengucapkan terima kasih kepada :

1. Prof. Dr. Runtung Sitepu, SH. M.HUM, selaku Dekan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

2. Bapak Pembantu Dekan I Fakultas Hukum USU Prof. Dr Budiman Ginting, SH.M.Hum dan Bapak Pembantu Dekan II Fakultas Hukum USU Syafruddin Hasibuan, SH.M.H, DFM, serta Bapak Muhammad Husni, SH.M.Hum, selaku Pembantu Dekan III Fakultas Hukum USU.

3. Bapak Dr, Hasim Purba, SH M.HUM, selaku Ketua Departemen Hukum Perdata. 4. Bapak Syamsul Rizal,SH,M.Hum, selaku Ketua Program Kekhususan Perdata


(4)

5. Bapak Dr.Ramlan Yusuf Rangkuti, M.A, selaku dosen pembimbing I yang telah banyak membantu dan memberikan masukan kepada Penulis dalam menyusun skripsi ini.

6. Ibu Dr.Yefrizawati,SH.M.Hum, sebagai dosen pembimbing II yang juga memberikan begitu banyak masukan dan bantuan terhadap penyusunan skiripsi ini, serta rela meluangkan waktunya agar skripsi ini dapat diselesaikan dengan baik. Atas semua kebaikan ibu, Penulis mengucapkan terima kasih yang sebenar-benarnya, semoga Allah SWT membalasnya dengan suatu kebaikan yang lebih. Aaamiiiiinn.

7. Ibu Zulfi Chairi, SH.M.Hum. selaku dosen wali Penulis.

8. Kepada seluruh dosen Fakultas Hukum USU yang telah memberikan ilmu dan pengetahuan kepada Penulis.

9. Terima kasih kepada seseorang yang bernama Muhammad Hasanuddin Harahap, yang selalu memberikan doa dan semangat. Dan pengertiannya pada saya dalam penulisan skripsi ini.

10.Rekan-rekan seperjuangan yang bersama-sama memulai perjuangan dalam menempuh pendidikan di Fakultas Hukum USU tercinta ini, Fitri Yanti Rambe,Livi Agustri Milala, Utami Gita Syafitri, Deynisa Bella Tumanggor, OctyVanny, Kak Ivo, dan kawan kawan lainnya yang tidak dapat saya sebutkan satu-persatu. Juga teman-teman satu kos, terima kasih atas segala pengertiannya kepada Penulis selama penyusunan skripsi ini.


(5)

Khusus keluarga saya, saya ucapkanterima kasih kepada kedua orang tua saya tercinta dan teristimewa dalam hidupku Ayahanda Dapan Ramlan Muda Harahap, sebagai sosok Ayah yang sangat menginspirasi saya, seorang motivator dan pemberi nasehat, seseorang yang mengingatkan saya untuk selalu semangat, maju pantang mundur sebagai contoh nyata dalam kehidupan. Serta Mama saya tercinta Taing Goloman Harahap, adalah seorang ibu yang sangat kuat, dan penuh kasih sayang, dan takhenti-hentinya Penulis mengucapkan terima kasih atas segala dorongan semangat, spiritual, material, serta doa yang selalu ayah dan mama panjatkan agar langkah serta usaha yang ditempuh dalam penulisan skripsi ini diberkahi oleh Allah SWT. dan saya ucapkan terima kasih kepada kakak saya Elyu Hastita Harahap, abang saya Darmu Harta Ali Harahap, adik-adikku Emilia Jamilah Harahap, Mega Hardianti Harahap dan saudara-saudari dari kedua orang tua saya yang telah memberikan doa, inspirasi dan semangat kepada saya dalam mengerjakan skripsi ini.

Medan, Agustus 2013


(6)

DAFTAR ISI

Kata Pengantar………... i

Daftar Isi……….... iv

Abstrak………. vii

BAB I PENDAHULUAN……….. 1

A. Latar Belakang.…..………..……….. 1

B. Permasalahan…..………... 4

C. Tujuan Penelitian………... 5

D. Manfaat Penelitian………. 5

E. Metode Penelitian……….. 6

F. Keaslian Penelitian ……… 8

G. Sistematika Penelitian ………... 9

BAB II TINJAUAN UMUM TERHADAP UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1974 TENTANG PERKAWINAN………...11

A. Sejarah Hukum Perkawinan………. 11

B. Pengertian dan Azas Perkawinan………. 20

1. Pengertian perkawinan………... 20

2. Azas perkawinan……… 22

C. Syarat Perkawinan………...………. 24


(7)

E. Putusnya perkawinan menurut UU No. 1 Tahun 1974……… 39

1. Karena kematian………... 39

2. Karena perceraian………... 40

3. Atas keputusan pengadilan………. 44

F. Akibat Putusnya Perkawinan Menurut Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974……….. 46

1. Akibat putusnya perkawinan karena kematian………...46

2. Akibat putusnya perkawinan karena peceraian……….. 48

3. Akibat putusnya perkawinan karena keputusan pengadilan... 52

BAB III KETENTUAN PERKAWINAN CAMPURAN MENURUT UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1974……….. 54

A. Perkawinan Campuran Menurut UU No. 1 Tahun 1974………….…... 54

1. Pengertian perkawinan campuran…………... 54

2. Asas-asas dalam perkawinan campuran………... 55

B. Syarat Melaksanakan Perkawinan Campuran………. 59

C. Tata Cara dan Pencatatan Perkawinan Campuran……….. 62

D. Putusnya Perkawinan Campuran……… 65

BAB IV AKIBAT HUKUM PUTUSNYA PERKAWINAN CAMPURAN MENURUT UU PERKAWINAN NO. 1 TAHUN 1974... 69

A. Status Kewarganegaraan Anak dalam Perkawinan Campuran………… 69


(8)

1. Harta bersama……… 73

2. Akibat Hukum Perceraian terhadap Harta Bersama……….. 76

3. Harta Warisan……….... 77

C. Pengadilan yang Berwenang Memutus Perkara Perceraian Perkawinan Campuran………. 78

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN……….. 81

A. Kesimpulan……… 81

B. Saran……….. 82


(9)

ABSTRAK

Menurut Undang-Undang Perkawinan No. 1 Tahun 1974, perkawinan ialah ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami isteri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Dalam hal ini hubungan antara sesama manusia, antara suku bangsa dan antara negara dalam segala aspek kehidupan dan interaksi yang terjadi antara individu yang berbeda suku bangsa dan negara dalam berbagai bidang akan melahirkan hubungan-hubungan hukum yaitu salah satu di antaranya adalah perkawinan campuran yang membawa pasangan berbeda kewarganegaraan melangsungkan perkawinan campuran tersebut. Adapun yang menjadi permasalahan dalam skripsi ini adalah bagaimana status anak dalam perkawinan campuran menurut UU Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974, bagaimana harta dalam perkawinan campuran dan pengadilan mana yang berwenang untuk memutus perkara perceraian perkawinan campuran.

Metode pendekatan yang digunakan dalam penulisan skripsi ini adalah metode yuridis normatif. Data yang digunakan berupa data sekunder. Sifat penelitian ini adalah deskriptif analistis, metode pengumpulan data berupa studi pustaka dan analisa data dilakukan secara kualitatif.

Perkawinan campuran beda kewarganegaraan ini, menimbulkan akibat hukum yaitu mengenai status anak dari hasil perkawinan campuran, anak dari perkawinan campuran memperoleh kewarganegaraan ganda sampai berumur 18 tahun. Setelah anak berumur 18 tahun atau sudah menikah, dia bebas memilih kewarganegaraan sesuai dengan kewarganegaraan salah satu orang tuanya. Apabila terjadi perceraian maka harta benda suatu perkawinan campuran diatur menurut hukumnya masing-masing. Di Indonesia berlaku dua sistem peraturan tentang harta benda perkawinan yakni Hukum Islam dan Kitab Undang-Undang Hukum Perdata. Pengadilan yang berwenang memutus perkara perceraian dalam perkawinan campuran adalah jika salah satu pihak saja yang berada di Indonesia sedang pihak yang lain berada di luar negeri, maka tuntutan perceraian diajukan di Pengadilan Negeri sesuai dengan asas kewarganegaraan, apabila suatu perceraian yang diucapkan di luar negeri antara para pihak WNI dan WNA maka yang berwenang memutus perkara perceraian perkawinan campuran adalah pengadilan dimana mereka melangsungkan perkawinan tersebut.


(10)

ABSTRAK

Menurut Undang-Undang Perkawinan No. 1 Tahun 1974, perkawinan ialah ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami isteri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Dalam hal ini hubungan antara sesama manusia, antara suku bangsa dan antara negara dalam segala aspek kehidupan dan interaksi yang terjadi antara individu yang berbeda suku bangsa dan negara dalam berbagai bidang akan melahirkan hubungan-hubungan hukum yaitu salah satu di antaranya adalah perkawinan campuran yang membawa pasangan berbeda kewarganegaraan melangsungkan perkawinan campuran tersebut. Adapun yang menjadi permasalahan dalam skripsi ini adalah bagaimana status anak dalam perkawinan campuran menurut UU Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974, bagaimana harta dalam perkawinan campuran dan pengadilan mana yang berwenang untuk memutus perkara perceraian perkawinan campuran.

Metode pendekatan yang digunakan dalam penulisan skripsi ini adalah metode yuridis normatif. Data yang digunakan berupa data sekunder. Sifat penelitian ini adalah deskriptif analistis, metode pengumpulan data berupa studi pustaka dan analisa data dilakukan secara kualitatif.

Perkawinan campuran beda kewarganegaraan ini, menimbulkan akibat hukum yaitu mengenai status anak dari hasil perkawinan campuran, anak dari perkawinan campuran memperoleh kewarganegaraan ganda sampai berumur 18 tahun. Setelah anak berumur 18 tahun atau sudah menikah, dia bebas memilih kewarganegaraan sesuai dengan kewarganegaraan salah satu orang tuanya. Apabila terjadi perceraian maka harta benda suatu perkawinan campuran diatur menurut hukumnya masing-masing. Di Indonesia berlaku dua sistem peraturan tentang harta benda perkawinan yakni Hukum Islam dan Kitab Undang-Undang Hukum Perdata. Pengadilan yang berwenang memutus perkara perceraian dalam perkawinan campuran adalah jika salah satu pihak saja yang berada di Indonesia sedang pihak yang lain berada di luar negeri, maka tuntutan perceraian diajukan di Pengadilan Negeri sesuai dengan asas kewarganegaraan, apabila suatu perceraian yang diucapkan di luar negeri antara para pihak WNI dan WNA maka yang berwenang memutus perkara perceraian perkawinan campuran adalah pengadilan dimana mereka melangsungkan perkawinan tersebut.


(11)

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Manusia dalam pergaulan hidup masyarakat sangat membutuhkan atau adanya ketergantungan dengan manusia lainnya. Hal ini disebabkan karena manusia merupakan makhluk sosial yang tidak terlepas dari hubungan individu dengan individu lainnya, individu dengan golongan masyarakat maupun golongan masyarakat dengan golongan masyarakat lainnya. Dengan kehidupan yang saling bergantungan ini, maka kebutuhan jasmani dan kebutuhan rohani manusia akan terpenuhi.

Perkawinan merupakan salah satu sarana untuk memenuhi kebutuhan manusia untuk memperoleh keturunan. Keturunan merupakan penerus keluarga. Dengan adanya perkawinan ini maka akan mengikat hubungan antara pribadi suami isteri untuk membentuk suatu keluarga yang kekal dan bahagia. Dalam budaya Asia, perkawinan akan mengikat hubungan antara keluarga ke dua belah pihak.

Di zaman globalisasi ini, kebutuhan hidup masyarakat sangat meningkat. Kebutuhan yang meningkat ini membawa suatu negara terbuka atau melakukan hubungan internasional dengan negara lain. Adanya hubungan internasional ini telah membantu masyarakat memenuhi kebutuhannya. Salah satunya adalah perkawinan. yang lebih dikenal dengan perkawinan campuran.


(12)

Perkawinan campuran (beda kewarganegaraan) telah merambah seluruh pelosok tanah air dan kelas masyarakat. Melalui jalur perkenalan yang membawa pasangan berbeda kewarganegaraan menikah antara lain adalah perkenalan melalui internet, kemudian bekas teman kerja/bisnis, berkenalan saat berlibur, bekas teman sekolah/kuliah, dan sahabat.1

1

Nuning Hallet, Mencermati Isi Rancangan UU Kewarganegaraan http:// www. Mixed couple.com/artic es/mod.phpmod=publisher&op=viewarticle&artid=51, Diakses 13 September 2013.

Perkawinan campuran juga terjadi pada tenaga kerja Indonesia dengan tenaga kerja dari negara lain. Dengan banyak terjadinya perkawinan campuran di Indonesia sudah seharusnya perlindungan hukum dalam perkawinan campuran ini diakomodir negara dengan baik dalam perundang-undangan di Indonesia.

Perubahan undang-undang mengenai kewarganegaraan dari UU No 62 Tahun 1958 menjadi UU No 12 Tahun 2006 membawa dampak positif dan negatif bagi setiap Warga Negara Indonesia yang melakukan perkawinan dengan Warga Negara Asing. Dengan adanya perubahan ini setiap WNI yang telah melakukan perkawinan dengan WNA harus cepat-cepat berkoordinasi ke Indonesia.

Perubahan peraturan lama menjadi peraturan baru ini membuat banyaknya WNI memiliki dwi-kewarganegaraan. Dan tidak tertutup kemungkinan akan banyak terjadi kejahatan dan melarikan diri ke negara pasangannya. Selain itu, proses keimigrasian akan mengalami hambatan-hambatan yang akan menyebabkan ketidakefektifan pihak imigrasi untuk melakukan tugasnya.


(13)

Undang-undang kewarganegaraan yang baru ini, sangat ketat mengatur masalah kewarganegaraan sehingga menimbulkan birokrasi yang sangat panjang. Hal ini menyebabkan para WNI yang telah melakukan perkawinan sebelum UU No. 12 Tahun 2006 tentang Kewarganegaraan ini ditetapkan, lebih banyak memilih menjadi WNA. Mereka memilih karena negara pasangannya lebih melindungi dan memberikan jaminan hidup bagi keluarganya.

Berkaitan dengan status hukum dan kedudukan hukum anak dari hasil perkawinan campuran, mengingat diberlakukannya UU No. 12 Tahun 2006 menimbulkan konsekuensi-konsekunesi yang berbeda dengan perundang-undangan yang terdahulu, di mana seorang anak sudah terlanjur dilahirkan dari suatu perkawinan campuran.2

2

Suwarningsih, Kawin campur Menyebabkan Berubahnya Undang-Undang Tentang Kewarganegaraan RI. www.baliprov.go.id. Diakses tanggal 13 September 2013

Telah ditetapkannya Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2006 tentang kewarganegaraan oleh DPR Republik Indonesia, juga banyak membawa dampak positif bagi para WNI yang telah menikah dengan WNA. Dalam UU No. 12 Tahun 2006 ini, mengenal adanya dwi-kewarganegaraan terbatas bagi anak yang lahir dari perkawinan campuran. Sedangkan, UU No. 62 Tahun 1958 hanya mengenal kewarganegaraan tunggal dan kewarganegaraan anak hanya boleh mengikuti kewarganegaraan ayahnya. Hal ini mengakibatkan pihak ibu tidak dapat memperoleh hak asuh anak apabila terjadi perceraian.


(14)

Anak-anak yang belum dewasa dan tidak di bawah kekuasaan orang tua harus ditaruh di bawah perwalian menurut sistem Burgelijk Wetboek.3

B. Permasalahan

Setelah pihak orang tua bercerai pun harus diadakan persediaan mengenai perwalian dari anak-anak mereka yang masih di bawah umur.

Pengaturan status dan kedudukan hukum anak dari hasil perkawinan campuran (beda kewarganegaraan) dalam undang-undang kewarganegaraan yang baru memberi perubahan yang positif, terutama dalam hubungan anak dengan ibunya. Karena memberikan dwi-kewarganegaraan terbatas bagi anak dari hasil perkawinan campuran (beda kewarganegaraan).

Pengaturan ini menimbulkan persoalan apabila di kemudian hari perkawinan orang tua putus, karena ibu akan kesulitan mendapatkan hak pengasuhan anaknya yang berkewarganegaraan asing. Dengan banyak terjadinya perkawinan campuran di Indonesia sudah seharusnya perlindungan hukum dalam perkawinan campuran ini diakomodir dengan baik dalam perundang- undangan di Indonesia.

Dari uraian-uraian dan latar belakang seperti yang telah diuraikan di atas, maka dapat dirumuskan permasalahan sebagai berikut:

1. Bagaimana status anak dalam perkawinan campuran menurut Undang-Undang Perkawinan Nomor 1 tahun 1974?

3

Sudargo Gautama, Hukum Perdata Internasional Indonesia, PT Alumni, Bandung, 1995, hal. 38


(15)

2. Bagaimanakah pembagian harta dalam perkawinan campuran ?

3. Pengadilan mana yang berwenang terhadap perkara perceraian perkawinan campuran ?

C. Tujuan Penelitian

Adapun tujuan dari penulisan skripsi ini adalah :

1. Untuk mengetahui bagaimana status anak dalam perkawinan campuran menurut Undang-Undang Nomor 1 tahun 1974.

2. Untuk mengetahui bagaimana pengaturan pembagian harta dalam perkawinan campuran

3. Untuk mengetahui pengadilan mana yang akan berwenang dalam perkara perkawinan campuran.

D. Manfaat Penelitian

Manfaat dari penelitian yang ingin dicapai adalah : 1. Manfaat teoritis

a. Dapat memberikan pemahaman dan meningkatkan pengetahuan mengenai perkawinan khususnya dalam perkawinan campuran beda kewarganegaraan. b. Diharapkan dapat memberikan sumbangan pemikiran dan menambah


(16)

2. Manfaat praktis

a. Memberikan masukan kepada pemerintah untuk menciptakan peraturan mengenai perkawinan campuran dengan sebaik-baiknya.

b. Sebagai baham masukan terhadap pihak-pihak yang ingin melangsungkan perkawinan campuran yang dibolehkan untuk melangsungkan perkawinan demi kemaslahatan kelurga.

E. Metode Penelitian

1. Sifat penelitian

Sifat penelitian dalam skripsi ini adalah deskriptif yang memberikan gambaran dan memaparkan sebagian atau keseluruhan dari objek yang akan diteliti. Terkait dengan hal itu, juga dikemukakan pemikiran-pemikiran yang berkenaan dengan permasalahan-permasalahan yang dibahas. Dalam hal ini perkawinan campuran antar kewarganegaraan.

Metode pendekatan yang digunakan dalam penulisan skripsi ini adalah metode yuridis normatif. Metode normatif yaitu bentuk penelitian yang tidak terlepas dari norma-norma hukum dan asas-asas hukum yang ada. Metode ini digunakan untuk mengetahui bagaimana ketentuan hukum dari perkawinan khususnya perkawinan campuran beda kewarganegaraan menurut UU Perkawinan.


(17)

2. Data yang digunakan

Data sekunder adalah data yang diperoleh oleh suatu organisasi atau perorangan yang berasal dari pihak lain yang pernah mengumpulkan atau mengolah sebelumnya.4

Data sekunder terdiri dari 3 jenis bahan hukum yakni:5

1) Bahan hukum primer yaitu bahan-bahan yang mengikat terdiri dari peraturan perundang-undangan seperti UU No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, KUH Perdata, tentang Kompilasi Hukum Islam, UU Kewarganegaraan dan Pengaturan Menteri Agama No. 3 Tahun 1975 tentang kewajiban Pegawai Pencatat Nikah dan Tata Kerja Pengadilan Agama dalam Melaksanakan Peraturan Perundang-undangan Perkawinan.

2) Bahan hukum sekunder, yang memberikan penjelasan mengenai bahan hukum primer, seperti hasil-hasil penelitian yang berkaitan dengan perkawinan, hasil karya kalangan hukum tentang perkawinan dan sebagainya.

3) Bahan hukum tersier, yakni bahan yang memberikan petunjuk maupun penjelasan terhadap bahan hukum primer dan sekunder. Seperti kamus, ensklopedia, dan sumber-sumber hukum lainnya.

4

Muslan Abdurrahman, Sosiologi dan Metode Penelitian Hukum, Umm Press, Malang, 2002, hal. 112

5

Amiruddin dan Zainal Asikin, Pengantar Metode Penelitian Hukum, PT Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2004, hal. 31


(18)

3. Metode pengumpulan data

Metode pengumpulan data yang digunakan adalah Studi Pustaka (library research), yang digunakan untuk mendapatkan informasi menyangkut berbagai hal tentang objek penelitian, menjelaskan teori-teori terkait dan menginterkoneksikan antara pendapat yang satu dengan yang lainnya terkait dengan perkawinan campuran. 4. Analisis data

Analisis adalah proses penyederhanaan data ke dalam bentuk yang lebih mudah dibaca dan diinterpretasikan. Data yang telah terkumpul dianalisa secara kualitatif dengan menggunakan metode deduktif, yaitu penarikan kesimpulan yang berawal dari pengetahuan yang bersifat umum kemudian ditarik suatu kesimpulan khusus. Artinya pemikiran-pemikiran tentang perkawinan campuran masih bersifat umum.

F. Keaslian Penelitian

Pembahasan tentang perkawinan telah banyak di tulis sebagai skripsi pada Fakultas Hukum USU, begitu juga dengan halnya pembahasan perkawinan campuran antara lain :

1. Edwin AL.Ginting yang berjudul Status kewarganegaraan anak dari pasangan perkawinan campuran (studi tentang Undang-Undang Kewarganegaraan Republik Indonesia No.12 Tahun 2006).


(19)

2. Tutut Roes Kartika yang berjudul Tinjauan hukum terhadap perkawinan campur dalam Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2006 dikaitkan dengan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974.

Namun judul tentang Perkawinan Campuran menurut Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan belum pernah dibahas. Dengan demikian penelitian dapat dikatakan penelitian asli dengan pemikiran Penulis sendiri.

G. Sistematika Penulisan

Bab I merupakan gambaran umum yang berisi tentang pendahuluan. Pada bab ini diuraikan alasan mengapa penulis tertarik memilih judul tersebut sehingga membuatnya dalam bentuk skripsi, dengan menguraikan latar belakang, permasalahan, tujuan dan manfaat penelitian, keaslian penulisan, dan sistematika penulisan yang bertujuan untuk memberikan penjelasan terhadap perkawinan campuran.

Bab II tentang tinjauan umum terhadap Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974, yang meliputi sejarah hukum perkawinan, pengertian dan asas-asas hukum perkawinan, syarat dan rukun perkawinan, hak dan kewajiban suami isteri dalam suatu perkawinan, putusnya perkawinan menurut Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 dan akibat putusnya perkawinan menurut Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974.

Bab III tentang ketentuan perkawinan campuran menurut Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974. Pada bab ini akan diuraikan mengenai perkawinan campuran


(20)

di Indonesia, syarat melaksanaan perkawinan campuran menurut undang-undang nomor 1 tahun 1974, tata cara dan pencatatan perkawinan campuran, putusnya perkawinan campuran.

Bab IV tentang akibat hukum putusnya perkawinan campuran menurut Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974. Pada bab ini diuraikan materi tentang status anak dalam perkawinan campuran, pengaturan harta dalam perkawinan campuran, dan pengadilan yang berwenang terhadap perkara perceraian perkawinan campuran.

Bab V berisi kesimpulan dan saran. Pada bab ini hanya memuat tentang kesimpulan dan mencoba memberi saran-saran yang dianggap penting terkait perkawinan campuran.


(21)

BAB II

TINJAUAN UMUM TERHADAP UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1974

A.Sejarah Hukum Perkawinan

Penjelasan Umum UUP antara lain dinyatakan bagi suatu negara dan bangsa seperti Indonesia adalah mutlak adanya Undang-Undang Perkawinan Nasional yang sekaligus menampung prinsip-prinsip dan memberikan landasan hukum perkawinan yang selama ini menjadi pegangan dan telah berlaku bagi berbagai golongan dalam masyarakat. Hal ini bermakna bahwa dengan keluarnya UUP “keanekaragaman” hukum perkawinan yang selama ini menjadi pegangan dan berlaku bagi berbagai golongan warga negara dalam masyarakat dan dalam berbagai daerah dapat diakhiri. Namun demikian ketentuan hukum perkawinan sebelumnya, ternyata masih tetap dinyatakan berlaku, selama belum diatur sendiri oleh UUP dan hal itu tidak bertentangan dengan UUP tersebut.6

Ketentuan hukum perkawinan yang lama masih tetap berlaku sesuaidengan peruntukan yakni untuk mereka yang melangsungkan perkawinan sebelum lahirnya UUP, seperti berikut:7

a. Bagi orang-orang Indonesia asli yang beragama Islam berlaku hokum (perkawinan) Islam yang telah diresiplir dalam hukum adat;

b. Bagi orang-orang Indonesia asli lainnya berlaku hukum perkawinan adat;

6

Rachmadi Usman, Aspek-Aspek Hukum Perorangan Dan Kekeluargaan Di Indonesia, Sinar Grafika, Jakarta, 2006, hal 230

7


(22)

c. Bagi orang-orang Indonesia asli yang beragama Kristen berlaku (Ordonansi Perkawinan Kristen Indonesia) Staatsblad 1933 Nomor 74;

d. Bagi orang-orang Timur Asing Tionghoa dan Warga Negara Indonesia keturunan Tionghoa berlaku ketentuan-ketentuan KUH Perdata dengan sedikit perubahan; e. Bagi orang-orang Timur Asing lain-lainnya dan warga negara Indonesia keturunan

Timur Asing lainnya tersebut berlaku hukum (perkawinan) adat dan agama mereka masing-masing;

f. Bagi orang-orang Eropa dan warga negara Indonesia keturunan Eropa dan yang disamakan dengan mereka berlaku KUH Perdata.

Lahirnya UUP ini bertitik pangkal dari anggapan peraturan perundang-undangan yang mengatur masalah perkawinan di masa lalu sudah tidak cocok lagi dengan politik hukum dan kebutuhan masa kini. Oleh karena itu, undang-undang ini harus dipandang sebagai hasil proses penyempurnaan konsepsi-konsepsi hukum dimasa lalu. Suatu perwujudan dari berbagai keinginan dalam menciptakan suatu hukum perkawinan yang bersifat “nasional” dan sesuai dengan kebutuhan hukum rakyat Indonesia dimasa kini dan masa mendatang.

Kelahiran UUP bukan sekedar bermaksud menciptakan suatu hukum perkawinan yang bersifat dan berlaku “nasional” dan “menyeluruh”, melainkan juga dimaksudkan dalam rangka mempertahankan, lebih menyempurnakan, memperbaiki atau bahkan menciptakan konsepsi-konsepsi hukum perkawinan yang baru sesuai dengan perkembangan dan tuntutan zaman bagi rakyat Indonesia


(23)

yang pluralistik. Dalam kaitan ini, penjelasan umum UUP antara lain menyatakan dalam undang-undang ini ditentukan prinsip-prinsip atau asas-asas mengenai perkawinan dan segala sesuatu yang berhubungan dengan perkawinan yang telah disesuaikan dengan perkembangan zaman dan tuntutan zaman.8

Ahli-ahli hukum Indonesia memiliki perbedaan pendapat mengenai perlu tidaknya dilakukan unifikasi hukum perkawinan, berhubung hukum perkawinan tersebut erat kaitannya dengan kehidupan sosial keagamaan. Sebagian besar ahli hukum menghendaki adanya suatu unfikasi hukum perkawinan, namun oleh mereka diisyaratkan agar pengunifikasiannya dilakukan secara berhati-hati dan bertahap, jangan sampai menyinggung perasaan sesuatu golongan hukum tertentu. Sebaliknya ada yang mengecam pengunifikasian hukum perkawinan sebab hubungan hukum perkawinan dipengaruhi secara mendalam oleh paham-paham keagamaan dan kemasyarakatan. Tahun 1974 Indonesia telah berhasil menciptakan suatu hukum

Cita unifikasi yang telah ditinggalkan oleh pemerintah kolonial Belanda menjadi aktual lagi dan bersifat nasional. Pemerintah kolonial belanda selalu mengalami kegagalan untuk menciptakan unifikasi hukun di Indonesia. Pada dasarnya rencana hukum tersebut mengarah dan berlandaskan kepada hukum Barat. Menggingat bangsa Indonesia merupakan bagian terbesar penduduk dan telah memiliki hukumnya sendiri, sudah tentu merasa keberatan untuk tunduk pada hukum Eropa yang merupakan bagian kecil saja dari penduduk Hindia Belanda pada waktu itu.

8


(24)

perkawinan yang berlaku bagi semua warga negara Indonesia dan dengan tanpa membedakan golongan penduduk dan daerah lagi, dengan mengatasi persoalanpersoalan yang selama ini dinilai krusial. Saat ini hukum di Indonesia telah berhasil menciptakan suatu unifikasi hukum perkawinan yang bersifat nasional sebagaimana diatur dalam UUP, namun masih terbatas pada hal-hal yang bersifat administratif atau formal saja, selebihnya masih diserahkan kepada hukumnya masing-masing.9

Keinginan pemerintah untuk membentuk hukum perkawinan yang bersifat “nasional”, sudah mulai dirintis sejak tahun 1950. Pada masa lalu pembaharuan terhadap hukum perkawinan selalu menemui kegagalan berhubung subjek dan objek yang diatur hukum perkawinan berkaitan erat dengan kehidupan sosial keagamaan, yang tidak mudah untuk disatupadukan. Ini berarti pembaruan hukum perkawinan nasional harus dilakukan penuh hati-hati, sehingga tidak menimbulkan kekecewaan golongan penduduk lainnya. Semenjak tahun 1950 pemerintah telah memberikan perhatiannya pada hukum keluarga, terutama sekali yang berkaitan dengan Undang-Undang Perkawinan. Usaha pembaruan hukum keluarga ini mengalami banyak kegagalan berhubung dengan sifatnya yang sangat sensitif dan sangat erat sangkut pautnya dengan faktor-faktor spiritual dan kebudayaan bangsa, yang menyebabkan kewenangannya harus dilakukan secara berhati-hati.10

9

Ibid., hal 233

10

Lili Rasjidi, Hukum Perkawinan Dan Hukum Perceraian Di Malaysia Dan Indonesia, PT. Remaja Rosdakarya, Bandung, 1991, hal 18


(25)

Pada akhir tahun 1950 dengan Surat Perintah Menteri Agama No B/2/4299 tertanggal 1 Oktober 1950 oleh pemerintah dibentuklah Panitia Penyelidik Peraturan dan Hukum Perkawinan, Talak dan Rujuk bagi umat Islam. Panitia ini menyusun suatu Rancangan Undang-Undang Perkawinan yang dapat menampung semua kenyataan hukum yang hidup dan berkembang dalam masyarakat pada waktu itu. Karena keanggotaannya terdiri dari atas orang-orang yang dianggap ahli mengenai hukum umum, hukum Islam dan Kristen dari berbagai aliran yang diketuai oleh Tengku Hasan.

Tahun 1952 akhir, panitia telah membuat suatu Rancangan Undang- Undang Perkawinan yang terdiri atas peraturan umum, yang berlaku untuk semua golongan dan agama dan peraturan-perraturan khusus yang mengatur hal-hal yang mengenai golongan agama masing-masing. Selanjutnya pada tanggal 1 Desember 1952 panitia menyampaikan Rancangan Undang-Undang Perkawinan Umum kepada semua organisasi pusat dan lokal dengan permintaan supaya masing-masing memberikan pendapat atau pandangannya tentang soal-soal tersebut paling akhir pada tanggal 1 Februari 1953. Rancangan yang dimajukan itu selain berusaha kearah kodifikasi dan unifikasi, juga telah mencoba memperbaiki keadaan masyarakat dengan menetapkan antara lain :11

1. Perkawinan harus didasarkan kemauan bulat dari kedua belah pihak

11

Repository USU, Sejarah Hukum Perkawin


(26)

2. Hak, untuk mencegah kawin paksaan ditetapkan batas-batas umur 18 bagi laki-laki dan 15 bagi perempuan;

3. Suami isteri mempunyai hak dan kedudukan yang seimbang dalam kehidupan rumah tangga dan pergaulan hidup bersama dalam masyarakat;

4. Poligami diizinkan bila diperbolehkan oleh hukum agama yang berlaku bagi orang yang bersangkutan dan diatur sedemikian hingga dapat memenuhi syarat keadilan; 5. Harta bawaan dan harta yang diperoleh selama perkawinan menjadi milik

bersama;

6. Perceraian diatur dengan keputusan Pengadilan Negeri, berdasarkan alasan-alasan yang tertentu, mengenai talak dan rujuk diatur dalam peraturan Hukum Islam; 7. Kedudukan anak sah atau tidak, pengakuan anak, mengangkat dan mengesahkan

anak, hak dan kewajiban orang tua terhadap anak, pencabutan kekuasaan orang tua dan perwalian.

Tahun 1954 akhirnya panitia telah berhasil membuat Rancangan Undang- Undang tentang Perkawinan Umat Islam yang kemudian disampaikan oleh Menteri Agama kepada Kabinet akhir bulan September 1957 dengan penjelasan masih akan ada amandemen-amandemen yang menyusul. Tetapi sampai permulaan tahun 1958 belum ada tindakan-tindakan apapun dari pemerintah mengenai soal undang-undang perkawinan itu. sebagaimana yang telah diwahyukan secara cermat dalam syariat


(27)

diperuntukkan untuk segala zaman dan negara. Bahan-bahan baru untuk didiskusikan yakni rencana-rencana tersebut tidak pernah dibahas selanjutnya.12

Satu setengah tahun setelah pengajuan pengusulan, dalam bulan Oktober 1959, Rancangan Undang-Undang tersebut ditarik kembali oleh para pengajunya, kendati memperoleh perhatian yang besar dari sejumlah anggota DPR, rancangan tersebut sepertinya tidak bepeluang untuk dibicarakan. Para anggota Partai Islam mengadakan perlawanan, terutama terhadap asas monogamy yang dikandung dalam rancangan tersebut. Sudah tentu sebagai organisasi kaum perempuan memprotes argumentasi yang dipergunakan untuk membenarkan poligami.13

Pembentukan UU Perkawinan berproses sangat panjang dan kemudian di musyawarahkan dengan sungguh isi Rancangan Undang-Undang tentang Perkawinan, agar dapat menampung aspirasi masyarakat dan memberikan formulasinya secara teknis yuridis. Dalam memberikan isi kepada Rancangan Undang-Undang tentang Perkawinan tersebut diusahakan untuk mempertemukan aspirasi hukum yang berbeda-beda itupun tidak bisa dilakukan materi yang dipermasalahkan akan dicabut. Satjipto Rahardjo menyatakan, bahwa dilihat dari sudut fungsi hukum sebagai a tool of social engineering. Undang-Undang tentang Perkawinan ini tidak sesuai dengan perkiraan yang didasarkan pada kemampuan hukum untuk menjalankan a tool of social engineering di bidang-bidang yang berkaitan erat dengan kehidupan kebudayaan dan spiritual masyarakat, namun dilihat

12

J. Prins, Hukum Perkawinan Di Indonesia, Alih Bahasa G.A. Ticoalu, Ghalia Indonesia, Jakarta, 1982, hal 19-20

13


(28)

dari proses perkembangan masyarakat menuju masyarakat industri, pengundang-undangan ini patut dicatat sebagai suatu kemajuan yang besar. 14

Apabila dilihat dari segi peranannya bagi pembangunan nasional, hukum perkawinan yang baru ini bisa dipandang sebagai satu bangunan yang didirikan di tengah-tengah masyarakat yang memberikan peringatan tentang berbagai janji yang termuat dalam Undang-Undang Perkawinan tersebut. Ketentuan-ketentuan yang tercantum didalamnya mungkin belum seluruhnya atau secara sempurna dapat dijalankan dalam masyarakat Indonesia sekarang ini dan diingatkan pula agar berhati-hati dalam membuat hukum yang menyangkut bidang kehidupan yang bersifat pribadi, apalagi jika hukum itu hendak melakukan perombakan-perombakan dibidang tersebut.

Undang-Undang tentang Perkawinan ini memuat ketentuan-ketentuan yang apabila dinilai dari sudut tipe keluarga yang dikehendakinya, bisa digolongkan pada keluarga yang cocok untuk masyarakat modern industrial. Apabila ditempatkan pada latar belakang sebagai bentuk perkawinan di Indonesia yang masih mendasarkan diri pada ikatan dan struktur clan (kesukuan), maka kehadirannya dapat dinilai sebagai sarana untuk melakukan perubahan sosial. Perubahan sosial di sini terjadi dengan cara melakukan perombakan-perombakan pada struktur hubungan sosial.

15

Pemerintah yang diwakili oleh Menteri Kehakiman Oemar Seno Adji dalam sambutannya atas disetujuinya Rancangan Undang-Undang tentang Perkawinan

14

Ibid

15


(29)

untuk dijadikan Undang-Undang tentang Perkawinan sangat penting terutama bagi pemerintah.

Bagi suatu Negara dan Bangsa Indonesia adalah mutlak adanya Undang- Undang Perkawinan Nasional dan dengan landasan falsafah Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945, maka Undang-Undang-Undang-Undang Perkawinan ini harus dapat mewujudkan prinsip-prinsip yang terkandung dalam Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945 serta mengandung di dalamnya unsur-unsur dan ketentuan hukum masing-agama agama dan kepercayaannya itu. Sebagai suatu Undang-Undang yang nasional sifatnya dan yg meliputi seluruh warga negara Indonesia, merupakan suatu penggarisan lanjutan dari TAP MPR No. IV/MPR/1973 tentang GBHN, yang antara lain menentukan bahwa seluruh kepulauan Nusantara merupakan satu kesatuan hukum, dalam arti bahwa hanya ada satu hukum dalam hukum nasional yang mengabdi kepada kepentingan nasional. Ketunggalekaan dalam Hukum Perkawinan ini dalam beberapa hal masih memungkinkan adanya kebinekaan. Undang-Undang tentang Perkawinan ini merupakan sutau refleksi dari pidato kenegaraan Presiden pada tanggal 16 Agustus 1973, tentang menyinggung Undang-Undang yang sekarang diselesaikan bersama dan disahkan oleh DPR yg terhormat. Undang-Undang tentang Perkawinan ini memiliki landasan bagi suatu perkawinan sebagai suatu lembaga yang suci dan luhur oleh semua agama dan cita budaya yang mengilhami alam fikiran, atas dasar mana dibangun suatu keluarga yang kekal, sejahtera, dan bahagia diwujudkan dalam asas monogami yang memandang poligami sebagai exceptional, dan restriktif


(30)

harkat, dan martabat wanita, sedangkan pengaturan itu sejalan dengan tugas negara untuk memberikan perlindungan terhadap kesucian dan keseluruhaun tujuan perkawinan.16

B.Pengertian dan Asas Perkawinan

Dengan adanya Undang-Undang Perkawinan, walaupun belum sempurna dan pelaksanaannya masih jauh dari memuaskan, baik teoritis maupun praktis tetapi telah memberikan suatu pegangan.

1. Pengertian Perkawinan

Pengertian perkawinan menurut UU Perkawinan No. 1 Tahun 1974 yang berlaku di Indonesia terdapat dalam Pasal 1 yakni :

“Perkawinan adalah ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia, kekal, berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa”.

Suatu “ikatan bathin” adalah merupakan hubungan yang tidak formil, suatu ikatan yang tidak dapat dilihat. Walau tidak nyata, tapi ikatan itu harus ada. Karena tanpa adanya ikatan bathin, ikatan lahir akan menjadi rapuh. Terjalinnya ikatan lahir dan ikatan batin, merupakan fondasi dalam membentuk dan membina keluarga yang bahagia dan kekal. Perkawinan yang bertujuan untuk membentuk keluarga yang

16


(31)

bahagia dan kekal, dapat diartikan bahwa perkawinan itu haruslah berlangsung seumur hidup dan tidak boleh diputuskan begitu saja.17

Disebutkan berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa menunjukkan bahwa perkawinan itu adalah peristiwa agama dan dilakukan untuk memenuhi perintah agama.

Digunakan kata “seorang pria dan wanita” mengandung arti bahwa perkawinan itu hanyalah antar jenis kelamin yang berbeda. Hal ini menolak perkawinan sesama jenis yang waktu ini dilegalkan oleh beberapa Negara Barat.

Digunakan ungkapan “sebagai suami istri” mengandung arti bahwa perkawinan itu adalah bertemunya dua jenis kelamin yang berbeda dalam suatu rumah tangga, bukan hanya dalam istilah “hidup bersama”.

Dalam defenisi tersebut disebutkan pula tujuan perkawinan, yaitu membentuk rumah tangga yang bahagia, dan kekal yang menafikan sekaligus perkawinan temporar sebagaimana yang berlaku dalam perkawinan mut’ah dan perkawinan tahlil.

18

Hal ini lebih menjelaskan bahwa perkawinan merupakan peristiwa agama dan oleh karena itu orang yang melaksanakannya telah melakukan perbuatan ibadah.19

17

K. Wantjik Saleh, Hukum Perkawinan Indonesia, Ghalia Indonesia, Jakarta, cetakan ke-4, 1976, hal. 14

18

Amir Syarifudin, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia Antara Fiqh Munakahat dan Undang-Undang Perkawinan, Perdana Media,Jakarta, Cetakan ke-2, 2007, hal. 40

19

Ibid, hal. 41


(32)

1. Menurut Imam Syafi’i, perkawinan adalah suatu akad yang dengannya menjadi halal hubungan seksual antara pria dengan wanita sedangkan menurut arti majazi perkawinan itu artinya hubungan seksual.

2. Hazairin, dalam bukunya Hukum Kekeluargaan Nasional mengatakan perkawinan itu adalah hubungan seksual. Menurut beliau itu tidak ada perkawinan bilamana tidak ada hubungan seksual.

3. Menurut Sajuti Thalib, perkawinan adalah suatu perjanjian yang suci kuat dan kokoh untuk hidup bersama secara sah antara seorang laki-laki dengan perempuan untuk membentuk keluarga yang kekal, santun-menyantuni, kasih-mengasihi, tentram dan bahagia.20

2. Asas Perkawinan

Asas perkawinan adalah ketentuan perkawinan yang menjadi dasar dan dikembangkan dalam materi batang tubuh dari UU Perkawinan. Adapun asas-asas yang tercantum dalam Penjelasan Umum UU Perkawinan adalah sebagai berikut:

a. Tujuan perkawinan adalah membentuk keluarga yang bahagia dan kekal. Untuk itu suami isteri perlu saling membantu dan melengkapi, agar masing-masing dapat mengembangkan kepribadiannya membantu dan mencapai kesejahteraan spirituil dan material.

b. Dalam undang-undang ini dinyatakan, bahwa suatu perkawinan adalah sah bilamana dilakukan menurut hukum masing-masing agama dan kepercayaannya itu, dan disamping itu tiap-tiap

20

Muhammad Idris Ramulyo, Hukum Perkawinan Islam, Suatu Analisis UU No, 1 Tahun 1974 dan Kompilasi Hukum Islam,1991, Jakarta, Bumi Aksara, hal.1-3


(33)

perkawinan harus dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku. Pencatatan tiap-tiap perkawinan adalah sama halnya dengan peristiwa-peristiwa penting dalam kehidupan seseorang, misalnya kelahiran, kematian yang dinyatakan dalam surat-surat keterangan, suatu akta resmi yang juga dimuat dalam pencatatan.

c. Undang-undang ini menganut asas monogami. Hanya apabila dikehendaki oleh yang bersangkutan, karena hukum dan agama dari yang bersangkutan mengizinkan, seorang suami dapat beristeri lebih dari seorang. Namun demikian perkawinan seorang suami dengan lebih dari seorang isteri, meskipun hal itu dikehendaki oleh pihak-pihak yang bersangkutan, hanya dapat dilakukan apabila dipenuhi berbagai persyaratan tertentu dan diputuskan oleh Pengadilan.

d. Undang-undang ini menganut prinsip, bahwa calon suami istri itu harus telah masak jiwa raganya untuk dapat melangsungkan perkawinan, agar supaya dapat diwujudkan tujuan perkawinan secara baik tanpa berakhir dengan perceraian dan mendapat keturunan yang baik dan sehat. Untuk itu harus dicegah adanya perkawinan diantara calon suami isteri yang masih dibawah umur. Disamping itu, perkawinan mempunyai hubungan dengan masalah kependudukan. Ternyatalah bahwa batas umur yang lbih rendah bagi seorang wanita untuk kawin mengakibatkan laju kelahiran yang lebih tinggi. Berhubung dengan itu, maka undang-undang ini menentukan batas umur untuk kawin baik bagi pria maupun bagi wanita, ialah 19 (sembilan belas) tahun bagi pria dan 16 (enam belas) tahun bagi wanita.

e. Karena tujuan perkawinan ini adalah untuk membentuk keluarga yang bahagia, kekal dan sejahtera, maka undang-undang ini menganut asas untuk mempersukar terjadinya perceraian. Harus ada alasan-alasan tertentu serta harus dilakukan di depan sidang pengadilan.

f. Hak dan kedudukan isteri adalah seimbang dengan hak dan kewajiban suami baik dalam kehidupan rumah tangga maupun dalam pergaulan masyarakat, sehingga dengan demikian segala sesuatu dalam keluarga dapat dirundingkan dan diputuskan bersama oleh suami istri.21

Asas perkawinan itu dalam bahasa sederhana adalah sebagai berikut: 1. Asas sukarela

21


(34)

2. Partisipasi keluarga 3. Perceraian dipersulit

4. Poligami dibatasi secara ketat 5. Kematangan calon mempelai 6. Memperbaiki derajat kaum wanita.

Asas-asas yang yang dipandang cukup prinsip dalam UU Perkawinan adalah:22 1. UU Perkawinan menampung di dalamnya segala unsur-unsur dan ketentuan

hukum agama dan kepercayaan masing-masing.

2. Terpenuhinya aspirasi wanita yang menuntut adanya emansipasi, disamping perkembangan sosial ekonomi, ilmu pengetahuan dan teknologi.

3. Perkawinan merupakan tindakan yang harus memenuhi administratif pemerintahan dengan pencatatan pada catatan yang ditentukan Undang-Undang. Dan pencatatan itu tiada lain artinya sebagai akta resmi yang termuat dalam daftar catatan resmi pemerintah.

4. UU Perkawinan menganut asas monogami akan tetapi tetap terbuka peluang untuk melakukan poligami selama hukum agamanya mengizinkannya.

5. Perkawinan dan pembentukan keluarga di lakukan oleh pribadi-pribadi yang telah matang jiwa dan raganya.

C. Syarat Perkawinan

22

M. Yahya Harahap, Hukum Perkawinan Nasional, CV. Zahir Trading, Medan, Cetakan ke-1, 1975, hal. 8-9


(35)

Syarat menentukan suatu perbuatan hukum, terutama yang menyangkut dengan sah atau tidaknya perbuatan tersebut dari segi hukum. Kata tersebut mengandung arti dalam hal sesuatu yang harus diadakan. Dalam suatu acara perkawinan umpamanya syaratnya tidak boleh tertinggal, dalam arti perkawinan tidak sah bila syarat tidak ada atau tidak lengkap. Syarat adalah sesuatu yang berada di luar rukun dan tidak merupakan unsurnya. Adapula syarat itu berdiri sendiri dalam arti tidak merupakan kriteria dari unsur-unsur rukun.23

1. Perkawinan harus didasarkan atas persetujuan kedua calon mempelai (Pasal 6 ayat 1 UU Perkawinan).

Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 sama sekali tidak membahas rukun perkawinan hanya memuat syarat-syarat perkawinan, sebagaimana diatur dalam Pasal 6 sampai dengan Pasal 12. Adapun syarat-syarat pada pokoknya adalah sebagai berikut :

Kedua calon itu masing-masing harus setuju untuk mengikat tali perkawinan dengannya, yang dituangkan dalam bentuk tulisan. Adanya persetujuan calon tersebut dimaksudkan agar supaya setiap orang bebas memilih pasangannya untuk hidup berumah tangga dalam perkawinan.

2. Umur calon mempelai.

Bahwa untuk dapat melangsungkan perkawinan maka syaratnya bagi laki-laki umurnya minimal 19 tahun dan untuk perempuan minimal 16 tahun (Pasal 7 ayat 1 UU Perkawinan). Dalam penjelasan umum Undang-undang Perkawinan

23


(36)

menyebutkan bahwa undang-undang menganut prinsip, dengan umur tersebut calon suami istri itu dianggap telah masak jiwa raganya untuk melangsungkan perkawinan secara baik serta mendapat keturunan yang baik dan sehat.

3. Harus mendapat izin masing-masing dari orang tua atau wali mereka kecuali dalam hal-hal tertentu dan calon pengantin telah berusia 21 tahun atau lebih, atau mendapat dispensasi dari pengadilan agama apabila umur para calon mempelai kurang dari 19 dan 16 tahun.

4. Tidak melanggar larangan perkawinan.

Untuk dapat melangsungkan perkawinan syarat berikutnya bahwa calon mempelai tidak boleh melanggar larangan perkawinan. UU Perkawinan mengatur enam larangan perkawinan sebagaimana yang diatur dalam Pasal 8 yaitu :24

a. Antara dua orang yang berhubungan darah dalam garis keturunan lurus ke bawah ataupun ke atas. yang dimaksud garis keturunan lurus ke bawah adalah anak cucu, cicit dan seterusnya, sedangkan garis keturunan lurus ke atas adalah bapak dan ibu, kakek dan nenek, dan seterusnya.

b. Antara dua orang yang berhubungan darah dalam garis keturunan menyamping yaitu antara saudara, antara seorang dengan saudara orang tua dan antara seorang dengan saudara neneknya.

c. Antara dua orang yang berhubungan semenda, yaitu mertua, anak tiri, menantu dan ibu/bapak tiri.

24

Gatot Supramono. Segi-segi Hukum Hubungan Luar Nikah, Djambatan, Jakarta, 1998, hal. 15-20


(37)

d. Antara dua orang yang berhubungan susuan, yaitu orang tua susuan, anak susuan dan bibi/paman susuan.

e. Antara dua orang yang berhubungan saudara dengan istri atau sebagai bibi atau kemenakan dari istri, dalam hal seorang suami beristri lebih dari seorang.

f. Mempunyai hubungan yang oleh agamanya atau peraturan lain yang berlaku, dilarang kawin. Larangan kawin yang ada hubungan dengan agama, misalnya dalam agama Islam ada larangan bagi seoarang laki-laki tidak boleh mempunyai istri lebih dari empat orang.

5. Berlaku asas monogami

Seorang suami hanya dapat mempunyai satu orang istri. Oleh karena itu calon mempelai laki-laki tidak dapat melangsungkan perkawinan lebih dari satu orang sekaligus, kalaupun nantinya sisuami hendak beristri lebih dari satu, harus ada alasan yang sah untuk itu diatur dalam Pasal 9 UU Perkawinan.

6. Waktu tunggu bagi janda yang hendak menikah lagi.

Peraturan tentang waktu tunggu ini diatur dalam Pasal 11 UU Perkawinan, khusunya bagi seorang perempuan yang putus perkawinannya, baik karena kematian suaminya maupun karena perceraian.

D.Hak dan Kewajiban Suami Istri Dalam Suatu Perkawinan

Hak adalah apa-apa yang diterima oleh seseorang dari orang lain, sedangkan yang dimaksud dengan kewajiban adalah apa yang mesti dilakukan seseorang terhadap orang lain. Dalam hubungan suami istri dalam rumah tangga suami


(38)

mempunyai hak, begitu pula istri mempunyai hak. Di sisi lain suami mempunyai beberapa kewajiban dan begitu pula si istri mempunyai beberapa kewajiban.25

Dengan melangsungkan perkawinan secara sah menurut agamanya, maka perkawinan itu menimbulkan hak dan kewajiban bagi suami istri dalam rumah tangga. Hak dan kewajiban tersebut diatur dalam Pasal 30-34 Undang-undang Perkawinan.26

1. Dalam Pasal 30 UU Perkawinan yang berbunyi :

“suami istri memikul kewajiban yang luhur untuk menegakkan rumah tangga yang menjadi sendi dasar susunan masyarakat”.

Tujuan keluhuran perkawinan sesuai dengan Pasal 30 UU Perkawinan ialah suami isteri memikul kewajiban yang luhur untuk menegakkan rumah tangga yang menjadi sendi dasar dari susunan masyarakat. Rumah tangga sebagai unit yang menjadi susunan masyarakat adalah hal yang tak dapat dipungkiri baik hal itu ditinjau dari sosiologi budaya keluarga rumah tangga. Serta rumah tangga itu pula yang menjadi pelanjutan kehidupan bangsa dan masyarakat yang melahirkan keturunan yang akan melanjutkan masyarakat yang baik di masa yang akan datang. Dalam arti keluhuran tersebut adalah sesuatu kaitan yang lebih bersifat human soul yang melekat pada kesadaran spiritual dari pada seseorang dan pada suatu norma hukum yang dapat dipaksakan.

25

Amir Syarifuddin, Op.Cit. hal.159

26


(39)

Dengan demikian menegakkan rumah tangga sebagai sendi masyarakat yang diliputi suasana keluhuran, yang artinya semua manusia di manapun mengenal arti keluhuran akan membawa semangat dan perubahan penghayatan akan arti suami istri dalam rumah tangga sebagai misi yang luhur. Dalam suatu titik pertautan dalam mengartikan keluhuran terdapat persamaan di dalam kehidupan manusia dari dulu sampai sekarang yaitu :

a. Setiap hak yang luhur menghendaki pengorbanan dalam rumah tangga ditentukan oleh skala rumah tangganya.

Yang paling jelas dalam maksud tersebut perkawinan adalah pembinaan penyatuan dua jenis manusia yang mempunyai perbedaan, perbedaan tersebut seperti dalam status sosial, ekonomis, dan perbedaan pendidikan, semua ini akan membawa akibat yang tak dapat dipertemukan tanpa saling adanya pengorbanan yang selaras dengan tujuan tersebut.

b. Keluhuran tidak terlepas dari pengertian akhlak dan moral, karena itu suami-istri berkewajiban memiliki budi pekerti yang tinggi sebagai sarana mewujudkan rumah tangga, maka tujuan Pasal 30 UU Perkawinan tersebut bahwa rumah tangga di Indonesia haruslah rumah tangga yang berbudi dan bernurani luhur.27 2. Pasal 31 UU Perkawinan berbunyi :

(1) Hak dan kedudukan isteri adalah seimbang dengan hak dan kedudukan suami dalam kehidupan rumah tangga dan pergaulan hidup bersama dalam masyarakat.

(2) Masing-masing pihak berhak untuk melakukan perbuatan hukum. (3) Suami adalah kepala keluarga dan isteri ibu rumah tangga.

27


(40)

Dalam Pasal 31 ayat (1) ini, sebagai manusia tidak ada perbedaan antara laki-laki dan perempuan, suami dan istri adalah komponen yang sama pentingnya dalam arti kemanusiaan dalam melaksanakan fungsi keluarga. Perkawinan yang diatur dalam UU ini bertujuan mengantarkan kehidupan rumah tangga dalam suatu pasangan yang sebaik mungkin, yang hidup dalam kedudukan harmoni yang sama, tanpa adanya perbedaan antara suami dan istri. Dengan demikian si istri tidak hanya berfungsi untuk pemuasan hubungan seksual dan kemudian untuk menjaga anak-anak dari hubungan perkawinan tersebut. Istri juga dapat mempunyai tugas rangkap sebagaimana halnya suami, yaitu dalam kehidupan sebagai istri yang sama kedudukannya dengan suami, dan di luar rumah tangga bisa mempunyai tugas kemasyarakatan, baik sebagai guru, pegawai dan sebagainya.

Pengukuhan kedudukan hak dan kewajiban suami istri dalam kehidupan rumah tangga memberi suatu pertimbangan yang timbal balik antara suami dan istri. Mereka sama-sama mempunyai hak dalam segala urusan kehidupan rumah tangga. Sehingga antara suami dan istri telah tercipta persamaan yang sempurna ditinjau dari segi teoritisnya.

Akan tetapi perlu diperhatikan bahwa sebagai akibat dari jaminan persamaan kedudukan hukum dalam kehidupan rumah tangga, keyakinan persamaan itu belum tentu membawa terciptanya dan terwujudnya kehidupan rumah tangga luhur dan harmonis. Bahkan bisa menjadi sebaliknya.28

28


(41)

Sesuai dengan ayat (2) Pasal 31 UU Perkawinan, tidak ada lagi perbedaan kemampuan istri untuk melakukan tindakan hukum tanpa bantuan suami. Jadi dengan ketentuan kebebasan bertindak seorang istri telah dapat dengan bebas melakukan tindakan-tindakan hukum yang bersangkutan dengan kegiatan ekonomi dan bisnis tanpa bantuan suami, dan ketentuan Pasal 31 ayat 2 dapat memberi keluasan kepada masyarakat itu sendiri untuk mencipta bentuk-bentuk baru sesuai dengan perhubungan pertumbuhan sosial ekonomi bangsa Indonesia.29

Ketentuan dalam Pasal 31 ayat 3 UU Perkawinan ini, bahwa suami sebagai kepala keluarga adalah pantas dan beralasan, dan istri sebagai ibu rumah tangga sesuai benar dengan fungsinya. Sebab sebagaimanapun sempurnanya status persamaan antara suami dan istri ditinjau dari kejadian kemanusiaan dan terdapat perbedaan antara suami dan istri ditinjau dari fungsi yang telah ditentukan dalam kehidupan. Tetapi perbedaan itu tiada lain daripada perbedaan fungsi dalam arti pemisahan perbedaan kedudukan itu tidak didasarkan pada perbedaan persamaan hak dan kedudukan dan tidak dimaksudkan bahwa suami itu lebih superior dalam rumah tangga tetapi lebih bersifat cooperatif.30

3. Dalam Pasal 32 UU Perkawinan berbunyi :

(1) Suami istri harus mempunyai tempat kediaman yang tetap.

(2) Rumah tempat kediaman yang dimaksud dalam ayat (1) pasal ini ditentukan oleh suami istri bersama.

29

Ibid, hal. 92

30


(42)

Dalam ketentuan Pasal 32 ayat 1 UU Perkawinan ini sudah semestinya agar suami istri yang telah diikat dengan tali perkawinan mempunyai tempat kediaman yang tetap. Apalagi dilihat dalam Pasal 30 UU Perkawinan yang bermaksud bahwa suami istri memikul kewajiban luhur untuk menegakkan rumah tangga yang menjadi sendi dasar susunan masyarakat. Sebab itu keharusan yang tak dapat dipungkiri untuk membina keluarga yang sejahtera spiritual dan materiil. Mereka harus mempunyai tempat kediaman tetap dan hidup bersama dalam melaksanakan tugas-tugas dan kewajiban-kewajiban tersebut dengan baik.31

Dalam ketentuan Pasal 32 ayat (2) UU Perkawinan, yang menentukan tempat kediaman bersama adalah suami, jadi dalam hal ini bahwa istri dapat mengabdi dan wajib diam bersama suami dan harus selalu mengikuti suami ke manapun tempat kediaman yang pantas menurut pandangan suami. Secara hukum rumah tempat kediaman ditentukan bersama oleh suami dan istri, teoritis nampaknya mudah, yaitu sepakat dalam menentukan tempat kediaman, tetapi bisa saja timbul masalah, misalnya sebelum dilangsungkan perkawinan calon suami telah menyediakan sendiri rumah yang dimaksud untuk tempat tinggal bersama. Ternyata sesudah perkawinan ternyata si istri tidak suka dan tidak menyetujui rumah tersebut, tentu dalam hal ini menimbulkan suatu masalah. Apabila si istri tidak puas dengan kemampuan kesanggupan si suami, hal ini akan menimbulkan pertengkaran yang akan dijadikan sebagai alasan si istri meminta pemutusan apabila berdasarkan pada status sosial ekonomi, tapi si istri tetap menuntut rumah tempat kediaman di luar kemampuan

31


(43)

suaminya cukup alasan menolak tuntutan yang berlebihan dari istri, tapi jika ternyata alasan itu sudah dapat diduga akan membawa suasana suami istri tidak mungkin dipertahankan dalam suatu kerukunan dan mempertahankan perkawinan itu lebih membawa suasana yang membiarkan rumah tangga kacau, sudah sewajarnya untuk membubarkan perkawinan dengan jalan perceraian.32

Dalam hal inilah berlaku Pasal 30 ayat 3 UU Perkawinan yaitu untuk perubahan rumah tempat kediaman harus disepakati antar suami dan istri, dan jika pada waktu pertama sekali rumah tempat kediaman yang disediakan suami telah disetujui istri secara diam-diam dalam suatu jangka waktu yang relatif lama, berarti si istri telah setuju akan tempat kediaman yang diberikan oleh suami tersebut.33

4. Pasal 33 UU Perkawinan yang berbunyi :

“suami istri wajib saling mencintai, hormat menghormati, setia dan memberi bantuan lahir bathin yang satu kepada yang lain”.

Tujuan diaturnya ketentuan ini adalah untuk mencapai tujuan perkawinan tersebut di atas. Sebab suatu perkawinan tanpa dilandasi kewajiban yang bertimbal balik di antara suami istri, perkawinannya akan bubar, ibarat masing-masing pihak hanya bertepuk sebelah tangan.34

5. Pasal 34 UU Perkawinan yang berbunyi :

(1) Suami wajib melindungi istrinya dan memberikan segala sesuatu keperluan hidup berumah tangga sesuai dengan kemampuannya. (2) Istri wajib mengatur urusan rumah tangga sebaik-baiknya.

32

Ibid, hal. 100

33

Ibid, hal. 101

34


(44)

(3) Jika suami atau istri melalaikan kewajibannya masing-masing dapat mengajukan gugatan kepada pengadilan.

Jika dihubungkan Pasal 33 dan Pasal 34 UU Perkawinan hubungan kekeluargaan suami istri dalam rumah tangga dapat dipisahkan dalam tiga hal sekalipun pemisahan hak dan kewajiban antara yang satu dengan yang lain saling berhubungan dalam kaitan kehidupan suami istri dalam suatu kesatuan arti yang semestinya. Sebab kewajiban suami akan membawa juga ketimbalbalikan atas istri, dan kewajiban istri juga dengan sendirinya akan menerbitkan haknya terhadap suami, walaupun demikian memperhatikan Pasal 33 dan 34 UU Perkawinan dapat dipisahkan hak dan kewajiban itu ke dalam :35

1. Kewajiban suami-istri di antara sesama mereka dalam arti yang umum.

a. Suami-istri harus saling mengisi dan saling pasrah memenuhi tuntutan biologis dalam pemuasan hubungan kelamin. Sebab bagaimanapun salah satu faktor perkawinan adalah untuk memuaskan dorongan tuntutan pemuasan batin merupakan hal yang biasa dan wajar baik ditinjau dari segi biologis dan psikologis.

b. Harus saling hormat menghormati

Hal ini sudah sepantasnya, apalagi suami istri baik dalam baik dalam kehidupan rumah tangga dan di luar kehidupan rumah tangga mempunyai kedudukan yang sama. Sama-sama manusia yang dilahirkan tanpa perbedaan derajat. Baik suami ataupun istri adalah manusia yang dianugrahi budi nurani,

35


(45)

sebab itu tidak ada alasan untuk merendahkan derajat dan memperlakukan salah seorang di antara mereka dengan cara yang menghina dan menyakiti hati. Suaminya harus tahu bahwa istrinya adalah manusia yang menjadi ibu rumah tangga yang mendampinginya dalam kehidupan. Demikian sebaliknya istri harus menghargai suami sebagai kepala keluarga dalam kehidupan rumah tangga. Hormat menghormati yang dimaksud dalam pasal ini termasuk kewajiban menghormati famili kerabat dekat keluarga kedua belah pihak. Oleh karena itu hormat menghormati ini harus dihubungkan dengan latar belakang sosial kultural dan kepribadian bangsa kita.

c. Wajib setia di antara suami istri. Penafsiran setia dari segi hukum erat sekali hubungannya dengan pengertian amanah yang bersumber dari kesucian hati untuk tidak melakukan suatu perbuatan yang berupa penghianatan apa sajapun terhadap rumah tangga dan sanggup memelihara kepercayaan antara yang satu dengan yang lain.

d. Kewajiban bantu membantu di antara suami-istri.

Bantu membantu lahir dari batin, lebih luas dapat diartikan kewajiban bekerjasama serta saling nasehat-menasehati, kewajiban tersebut berhubungan dengan apa yang telah dijelaskan dalam Pasal 31 ayat 1 UU Perkawinan. Kerjasama berarti tidak ada kehidupan rumah tangga secara sepihak, segala sesuatu harus berdasarkan kata sepakat, rumah tangga sebagai lembaga resmi di antara suami istri tidak lain daripada suatu pelaksanaan di mana antara suami sebagai kepala keluarga dan istri sebagai ibu rumah tangga saling bantu membantu dan saling nasehat


(46)

menasehati untuk suksesnya kehidupan rumah tangga dalam kebahagiaan yang kekal dan sejahtera.36

2. Kewajiban suami dalam rumah tangga. a. Melindungi istrinya.

b. Memberikan segala sesuatu keperluan hidup rumah tangga sesuai dengan kemampuannya.

Melindungi istri dalam arti moral termasuk memperlakukan istri dengan kasih sayang dan kelembutan serta menjamin keselamatan istri dari segala macam ancaman yang berupa apapun yang datangnya dari luar sesuai dengan kemampuan suami, juga memperlindungi kehormatan istri dalam kehidupan masyarakat dan menjamin ketentraman istri dalam keadaan kedamaian jasmani dan rohani dengan jalan menghindarkan perlakuan yang menyakiti, baik secara kekerasan dan tindakan yang bersifat kasar.

Kewajiban suami memberi sesuatu keperluan hidup rumah tangga sesuai dengan kemampuannya. Hal ini merupakan tugas utama, pemenuhan kebutuhan yang meliputi pemberian nafkah dan tempat kediaman serta pakaian yang wajar sesuai dengan kemampuan standar sosial ekonomi oleh suami.37

3. Kewajiban istri dalam rumah tangga.

Sesuai dengan bunyi Pasal 34 ayat 2 UU Perkawinan yang berbunyi : “istri wajib mengatur urusan rumah tangga sebaik-baiknya”.

36

Ibid, hal. 103

37


(47)

Disamping dalam pasal tersebut ada juga kewajiban istri dalam rumah tangga sebagai berikut :38

a. Menyiapkan makanan/hidangan keluarga sesuai dengan cara dan kebiasaan waktu makan di mana mereka hidup.

b. Pemeliharaan dan pengasuhan anak-anak.

c. Pemeliharaan dan pengaturan rumah tempat kediaman yang sempurna, rapi dan bersih sebagaimana selayaknya sebagai rumah tempat kediaman yang baik.

d. Kewajiban istri untuk menjaga hak milik kekayaan suami secara jujur sewaktu suami tidak ada. Hal ini adalah kewajiban bilateral, yang artinya suamipun harus dan wajib memelihara harta istri.

e. Kewajiban istri untuk tinggal dan hidup bersama dalam rumah yang telah ditetapkan bersama.

Maka dalam segi hukum keluarga adalah kewajiban bagi istri untuk hidup tinggal bersama suami, meninggalkan tempat tinggal bersama berarti istri telah melanggar ketentuan hukum sebab akan membawa akibat tidak dapat melaksanakan kewajibannya mengurus rumah tangga dalam arti yang luas sebagaimana selayaknya.39

4. Akibat melalaikan kewajiban.

Orang hidup berumah tangga tidak otomatis apa yang diinginkan dalam perkawinan selalu berjalan dengan baik. Biasanya kalau di antara suami istri terjadi

38

Ibid, hal. 107

39


(48)

masalah dan tidak dapat menyelesaikan secara damai, maka yang terjadi salah satu pihak sengaja melalaikan kewajibannya.40

a. Membawa kepastian hukum dalam arti, bahwa kepada suami-istri diberi upaya hukum yang dapat dipergunakan, jika memang kehidupan rumah tangga tidak dapat dipertahankan lagi dalam kehidupan kerukunan yang bahagia dan sejahtera.

Pasal 34 ayat 3 UU Perkawinan memberi saluran hukum yang dapat ditempuh oleh masing-masing pihak, masing-masing pihak yang merasa pihak lain melalaikan kewajiban sebagaimana yang disebut pada ayat-ayat terdahulu dapat mengajukan gugatan kepada pengadilan. Ketentuan Pasal 34 ayat 3 ini dapat dilihat sebagai berikut :

b. Menghindarkan tindakan sewenang-wenang dari satu pihak, terutama bagi pihak istri bahwa dia dapat melepaskan diri secara hukum yang tidak berat sebelah seperti yang selama ini terdapat dalam kehidupan masyarakat. Maka dengan adanya ketentuan Pasal 34 ayat 3 UUP di atas, UU ini telah memberi hak sama berdasar hukum untuk menggugat siapa saja di antara kedua belah pihak, atas dasar alasan gugatan melalaikan kewajiban yang telah ditentukan UU sehingga dengan demikian kelalaian melaksanakan kewajiban itu telah menjadi persoalan hukum yang harus diselesaikan oleh lembaga peradilan.

Misalnya :

1) Perlakuan penghinaan dan merendahkan derajat istripun telah memberi hak bagi istri untuk meminta perceraian.

40


(49)

2) Juga istri mempunyai hak yang legal berdasar hukum untuk meninggalkan suami dan meminta perceraian kepada hakim, jika suami melakukan perlakuan yang menyakiti istri. Atau jika istri benci suami, telah merupakan prinsip yang legal bagi istri untuk minta perceraian terutama atas kelalaian suami melaksanakan kewajiban-kewajibannya.41

Muhammad Baqir al-Habsy memberi ulasan yang sistematis tentang hak dan kewajiban suami istri sebagai berikut :42

1. Kewajiban timbal balik antara suami dan istri

a. Dihalalkan bagi suami menikmati hubungan fisik dengan istri demikian pula sebaliknya. Termasuk hubungan seksual di antara mereka berdua.

b. Timbulnya hubungan mahram di antara mereka berdua.

c. Berlakunya hukum pewarisan antara keduanya, segera setelah berlangsungnya akad nikah.

d. Dihubungkannya nasab anak mereka dengan nasab suami e. Berlangsungnya hubungan baik antara kedua suami istri. f. Menjaga penampilan lahiriah antara keduanya.

2. Kewajiban suami terhadap istrinya.

a. Yang berupa uang (materi) yaitu mahar dan nafkah sehari-hari seperti mahar dan nafkah.

41

Ibid, hal 88-113

42

Amiur Nuruddin, Azhari Akmal Tarigan, Hukum Perdata Islam di Indonesia Studi Kritis Perkembangan Hukum Islam dari Fikh, UU No. 1/1974 sampai KHI, Jakarta, Kencana, 2006, hal 183-185


(50)

b. Yang bersifat non materi yaitu mempergauli istri dengan sebaik-baiknya dan melaksanakan keadilan di antara istri-istri apabila menikah lebih dari satu. Suami juga wajib menjaga kehormatan istri, dan mengatur hubungan seksual antara suami–istri.

3. Kewajiban istri terhadap suami

a. Bersikap taat dan patuh terhadap suami dalam segala sesuatunya selama tidak merupakan hal yang dilarang Allah.

b. Memelihara kepentingan suami berkaitan dengan kehormatan dirinya.

c. Menghindari dari segala sesuatu yang akan menyakiti hati suami seperti bersikap angkuh, atau menampakkan wajah cemberut atau penampilan buruk lainnya.

E.Putusnya Perkawinan Menurut Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974

Pada dasarnya dilakukan suatu perkawinan adalah bertujuan untuk selama-lamanya, tetapi ada sebab-sebab tertentu yang mengakibatkan perkawinan tidak dapat diteruskan.

Terputusnya suatu perkawinan menurut Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang perkawinan terdapat dalam Pasal 38 dinyatakan bahwa Perkawinan dapat putus karena :

1. Kematian 2. Perceraian dan


(51)

1. Karena kematian

Kematian merupakan suatu peristiwa alam yang tidak bisa lepas dari kehidupan manusia. Kematian ini tentu mengakibatkan akibat hukum. Kematian dalam hal perkawinan merupakan suatu peristiwa meninggalnya salah satu pihak atau kedua pihak yang menjadi subjek hukum dalam perkawinan.

Jika salah satu pihak baik suami atau istri meninggal dunia dengan sendirinya perkawinan itu terputus, pihak yang masih hidup boleh kawin lagi, bilamana segala persyaratan yang telah ditentukan oleh ketentuan yang berlaku dipenuhi sebagaimana mestinya.43

2. Karena perceraian

Dalam kenyataannya prinsip-prinsip berumah tangga sering kali tidak dilaksanakan, sehingga suami dan istri tidak lagi merasa tenang dan tentram serta hilang rasa kasih sayang dan tidak lagi saling cinta mencintai satu sama lain, yang akibat lebih jauh terjadinya perceraian.

Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Pasal 39 UU Perkawinan menyatakan :

1. Perceraian hanya dapat dilakukan di depan Sidang Pengadilan setelah Pengadilan yang bersangkutan berusaha dan tidak berhasil mendamaikan kedua belah pihak.

2. Untuk melakukan perceraian harus ada cukup alasan, bahwa antara suami isteri itu tidak akan dapat hidup rukun sebagai suami istri. 3. Tata cara perceraian di depan sidang Pengadilan diatur dalam

peraturan perundangan tersendiri.

43


(52)

Ketentuan yang termuat di dalam pasal tersebut di atas khususnya ayat (2), penjelasan atas UU Perkawinan lebih lanjut menyebutkan bahwa alasan-alasan yang dapat dijadikan dasar untuk perceraian adalah sebagai berikut : 44

1. Salah satu pihak berbuat zina atau menjadi pemabuk, pemadat, penjudi dan sebagainya yang sukar di sembuhkan.

Disamping alasan-alasan yang lain, alasan telah melakukan zina adalah merupakan alasan penting untuk memohon suatu perceraian, sesungguhnya pada mulanya alasan ini sangat sulit dibuktikan, apa lagi bila pihak untuk siapa alasan ini dipergunakan memungkiri perbuatan tersebut, biasanya pihak yang bersalah dituntut terlebih dahulu di hadapan hakim pidana. Atas dasar putusan ini perkara perdatanya tidak akan mengalami kesulitan untuk diputuskan. Adakalanya untuk menghindarkan kesulitan-kesulitan yang dialami para pihak yang ingin bercerai, mengajukan bukti telah melakukan perzinahan dengan cara yang tidak baik yaitu membiarkan bahkan mendorong pihak yang lain untuk melakukan zina dengan orang lain.

2. Salah satu pihak meninggalkan yang lain selama 2 tahun berturut-turut tanpa izin pihak yang lain dan tanpa alasan yang sah atau karena hal lain di luar kemauannya. Dalam hal meninggalkan salah satu pihak ini iktikadnya yang memang ingin meninggalkannya tanpa suatu alasan yang sah dan tanpa izin dari orang yang ditinggalkan itu. Seandainya kepergiannya itu karena hendak berlibur, dinas luar kota, urusan dagang dan lain-lain demi kepentingan yang berkaitan dengan kelangsungan kehidupan mereka di masa yang akan datang, sudah tentu sebab-sebab tersebut

44


(53)

tidaklah dapat digunakan oleh pihak yang ditinggalkan untuk digunakan sebagai alasan memohon perceraian.

Permasalahannya adalah bagaimana halnya karena kepergiannya itu disebabkan oleh karena yang bersangkutan tidak tahan lagi untuk tinggal bersama orang yang ditinggalkannya, misalnya karena keduanya ini berlaku kejam dan suka menganiaya atau mengusirnya secara paksa.

Tentang penyebutan kata berturut-turut adalah sangat penting jika tidak disebutkan dengan tegas ada kemungkinan kepergian yang terputus-putus asal jumlahnya dua tahun atau lebih dapat dijadikan alasan untuk memohon perceraian. 3. Salah satu pihak mendapat hukuman penjara 5 tahun atau hukuman yang lebih

berat setelah perkawinan berlangsung.

Masa hukuman jangka waktu lima tahun adalah merupakan waktu yang cukup lama untuk mempertimbangkan apakah perkawinan mereka akan dilanjutkan atau tidak. Seperti dalam alasan zina, tuntutan atas dasar ini cukup dengan melampirkan putusan pidana yang telah mempunyai kekuatan tetap. Salinan putusan itu bagi hakim merupakan suatu bukti yang cukup untuk mengabulkan permohonan perceraian.

4. Salah satu pihak melakukan kekejaman atau penganiayaan berat yang membahayakan terhadap pihak lain.

Undang-undang Perkawinan tidak menjelaskan lebih lanjut tentang kekejaman atau penganiayaan yang berat yang bagaimana yang dapat dijadikan alasan untuk memohon perceraian. Penyebutan kata membahayakan di dalam ketentuan ini memang sudah seharusnya untuk menghindarkan suatu penafsiran, misalnya saja baru


(54)

kena tampar satu kali lantas perbuatan ini dikatakan sebagai tidak membahayakan digunakan untuk alasan untuk memohon perceraian.

5. Salah satu pihak mendapat cacat badan atau penyakit dengan akibat tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai suami/istri.

Sama halnya dengan kekejaman atau penganiayaan, alasan cacat badan atau mengidap suatu penyakit juga tidak memperoleh penjelasan yang lengkap di dalam Undang-undang Perkawinan. Dalam kehidupan sehari-hari adakalanya cacat atau penyakit itu disembunyikan oleh salah satu pihak sehingga pihak lain mengetahuinya pada waktu melangsungkan perkawinan. Jika cacat atau penyakit itu telah diketahui oleh pihak lain dengan sendirinya tidak dapat dijadikan sebagai alasan untuk bercerai. 6. Antara suami dan istri terus-menerus terjadi perselisihan dan tidak ada harapan

akan hidup rukun lagi dalam rumah tangga.

Kebahagian dan kesejahteraan suatu perkawinan tidak akan dapat tercapai kalau di antara suami istri itu terus menerus bertengkar dan berselisih paham. Apapun yang menjadi alasannya, keadaan serupa itu sangat tidak menguntungkan kedua pihak beserta anak-anaknya. Undang-undang Perkawinan memberi kesempatan kepada mereka untuk berpisah dalam bentuk perceraian jika sekiranya pengadilan berpendapat bahwa kerukunan tidak mungkin lagi akan dapat dicapai karenanya.

Di dalam suatu perkawinan diharapkan tidak akan terjadi perceraian, karena dengan terjadinya perceraian akan menimbulkan berbagai permasalahan. Namun apabila tetap terjadi perceraian, maka perkawinan yang dilaksanakan di Indonesia dan pihak suami warga negara Indonesia, jelas syarat-syarat dan alasan perceraian harus


(55)

berdasarkan ketentuan yang berlaku di Indonesia, yaitu dalam Undang-undang No.1 Tahun 1974.45

3. Atas Keputusan Pengadilan

Putusnya perkawinan atas keputusan pengadilan adalah jika hal kepergian salah satu pihak tanpa kabar berita untuk waktu yang lama. Undang-undang perkawinan tidak menyebutkan berapa lama jangka waktu untuk menetapkan hilangnya atau dianggap meninggalnya seseorang itu. 46

45

Ibid, hal. 289

Putusnya perkawinan atas putusan pengadilan juga bisa terjadi karena adanya permohonan dari salah satu pihak suami atau istri atau para anggota keluarga yang tidak setuju dengan perkawinan yang dilangsungkan oleh kedua calon mempelai. Atas permohonan ini pengadilan memperbolehkan perkawinan yang telah berlangsung dengan alasan bertentangan dengan syara’ atau perkawinan tidak sesuai dengan syarat yang telah ditentukan dalam UU Perkawinan.

Dalam Pasal 39 ayat 1 UU Perkawinan disebutkan bahwa perceraian hanya dapat dilakukan di depan sidang pengadilan. Setelah pengadilan yang bersangkutan berusaha mendamaikan kedua belah pihak. Perceraian bagi pemeluk agama Islam proses dan penyelesaiannya dilakukan di depan Pengadilan Agama, sedangkan bagi pemeluk agama non Islam proses dan penyelesaiannya dilakukan di depan Pengadilan Negeri.

46

Nawawi, Perkawinan Campuran (problematika dan Solusinya) http:// sumsel.

kemenag.go.id/file/dokumen/PERKAWINAN CAMPURANartikel-pdf. Diakses tanggal 28


(56)

Walaupun perceraian itu adalah urusan pribadi baik atas kehendak bersama maupun kehendak salah satu pihak yang seharusnya tidak perlu adanya campur tangan dari pemerintah, namun demi menghindarkan tindakan sewenang-wenang terutama dari pihak suami dan juga demi kepastian hukum, maka percerian harus melalui saluran lembaga Pengadilan.47

Sebenarnya secara teori hampir tidak ada perbedaan antara perceraian dengan putusnya perkawinan atas dasar putusan pengadilan sebab perceraian sendiripun harus berdasar putusan Pengadilan juga, letak perbedaannya terletak pada dasar :48 a. Alasan yang dipergunakan untuk mencapai putusan Pengadilan tersebut, di mana

alasan untuk perceraian disebut pada penjelasan Pasal 39 ayat (2). Dimana Untuk melakukan perceraian harus ada cukup alasan, bahwa antara suami isteri itu tidak akan dapat hidup rukun sebagai suami isteri.

b. Perceraian itu merupakan proses yang memperlihatkan adanya perselisihan antara pihak sepihak dari pihak suami atau istri.

Perkawinan yang didasarkan atas putusan pengadilan, UU No. 1 Tahun 1974 tidak memuat alasan-alasan tertentu dan juga merupakan tindakan sepihak yang bersifat putusan deklaratoir.

Tetapi pendapat di atas ditinjau dari segi teoritisnya, sehingga dalam praktek sangat sulit membedakannya, ada dua alasan lagi yang tidak disebut dalam Pasal 39 ayat (2) UU Perkawinan sebagai berikut :

47

Sigit Budhiarto, Putusnya Perkawinan, Embedhttp: //www.slideshare.net/sigitbudhiarto /putusnya-perkawinan. Diakses 5 Desember 2013

48


(57)

1. Karena tidak sanggup memberi nafkah

Apabila suami tidak mampu mencukupi nafkah istri dapat meminta kepada pengadilan agar perkawinannya dapat batal atau putus.

2. Alasan yang benar-benar murni putusan Pengadilan adalah karena suami atau istri hilang tidak tahu kemana perginya.

Tapi dalam hal ini harus dibedakan dengan alasan meninggalkan tempat kediaman bersama selama dua tahun tanpa persetujuan izin dari salah satu pihak. Dalam hal hilang, atau perginya dari tempat kediaman diketahui dan atas persetujuan bersama antara suami dan istri.

Tujuan semulapun diketahui akan tetapi karena sebab sesuatu seperti kecelakaan ataupun oleh karena bencana alam, tidak lagi diketahui keberadaannya sekalipun telah diadakan pencarian.

Ukuran waktu untuk pembatalan dalam keadaan seperti yang disebutkan di atas, dalam Undang-Undang sendiri hal itu tidak ada di atur. Tapi sekedar orentasi hukum, hukum Islam pada umumnya berpegang pada jangka waktu 4 tahun. Maka dalam hal tersebut si istri dapat meminta putusan dari pengadilan bahwa perkawinannya telah putus dengan suaminya berdasarkan keadaan hilangnya suami.49

F. Akibat Putusnya Perkawinan Menurut Undang-Undang Nomor 1 Tahun

1974

1. Akibat putusnya perkawinan karena kematian

49


(58)

Dengan putusnya perkawinan karena kematian maka terbukanya hak mewaris antara suami dan istri. Suami memperoleh bagian dari harta warisan istrinya, tidak mungkin terhalang oleh siapa pun, dan tidak pernah menghalangi ahli waris lain. Hanya saja bagian suami bisa berbeda antara ada anak dari istri atau tidak ada anak. Jika istrinya mempunyai anak, maka suami mendapat bagian warisan ¼, dan bila istrinya tidak mempunyai anak maka suami mendapat ½ dari harta warisan.

Sedangkan istri tidak pernah terhalang mendapat harta warisan dan tidak pernah menghalangi orang lain untuk mendapat harta warisan. Hanya saja bagian warisan istri bisa berkurang menjadi 1/8 karena ada anak dari suaminya, dan jika tidak ada anak dari suaminya, maka istri mendapat ¼.50

50

H. Amin Husein Nasution, Hukum Kewarisan, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta, Cetakan ke-2, 2012, hal. 88

Apabila perkawinan putus karena kematian Pasal 39 (a) PP No 9 Tahun 1975, waktu tunggu ditetapkan 130 hari. Ketetapan ini, berlaku bagi istri yang ditinggal mati suaminya dalam keadaan tidak hamil. Lain halnya, bila istri yang ditinggal dalam keadaan hamil, waktu tunggunya adalah sampai ia melahirkan.

Apabila kedua orang tua anak sudah meninggal dan ia mendapat warisan sedangkan ia belum cakap hukum atau belum dewasa maka hartanya di urus oleh walinya, Perwalian ialah pengawasan terhadap pribadi dan harta benda anak yang belum dewasa, jika anak tersebut tidak berada di bawah kekuasaan orang tuanya.


(59)

Kekuasaan wali mencakup terhadap pribadi anak tersebut dan harta benda anak yang bersangkutan. Sedangkan kewajiban wali terhadap anak yang berada dalam kekuasaannya adalah sebagai berikut :51

a. Mengurus anak tersebut berikut hartanya sebaik-baiknya dengan menghormati agama dan kepercayaan anak itu.

b. Membuat daftar inventaris atas harta bendanya sejak ia menerima jabatan sebagai wali, dan mencatat semua perubahan harta benda anak tersebut.

c. Bertanggung jawab atas harta benda serta kerugian akibat kelalaian dan kesalahan dalam pengurus.

d. Tidak diperbolehkan memindahkan hak atau menggadaikan barang-barang yang dimiliki anak itu kecuali untuk kepentingan anak tersebut menghendakinya.

Perwalian diperoleh karena beberapa sebab : karena ditunjuk orang tua sebelum ia meninggal dunia dengan surat wasiat ata dengan pesan dihadapan dua orang saksi. Juga berdasarkan keputusan pengadilan, karena salah satu atau kedua-duanya orang tua melalaikan kewajiban terhadap anak dan berkelakuan buruk.52

2. Akibat putusnya perkawinan karena perceraian

Dalam Pasal 41 UU Perkawinan disebutkan beberapa hal akibat putusnya perkawinan karena perceraian ialah :

51

M. Yahya Harahap, Op,Cit hal. 46

52

Mr. Martiman Prodjohamidjojo, Hukum Perkawinan Indonesia, CV. Karya Gemilang, Jakarta, Cetakan ke-3, 2011, hal 46


(60)

a. Baik ibu atau bapak tetap berkewajiban memelihara dan mendidik anak-anaknya, semata-mata berdasarkan kepentingan anak; bilamana ada perselisihan mengenai penguasaan anak-anak, Pengadilan memberi keputusannya.

b. Bapak yang bertanggung-jawab atas semua biaya pemeliharaan dan pendidikan yang diperlukan anak itu; bilamana bapak dalam kenyataan tidak dapat memenuhi kewajiban tersebut, Pengadilan dapat menentukan bahwa ibu ikut memikul biaya tersebut;

c. Pengadilan dapat mewajibkan kepada bekas suami untuk memberikan biaya penghidupan dan/atau menentukan sesuatu kewajiban bagi bekas isteri.

Akibat pokok dari perceraian adalah bahwa mantan suami dan mantan istri, kemudian hidup sendiri-sendiri secara terpisah.53

1) Masa iddah (waktu tunggu)

Masa iddah (waktu tunggu) adalah seorang istri yang putus perkawinannya dari suaminya, baik putus karena perceraian, kematian, maupun atas keputusan pengadilan. Masa iddah tersebut, hanya berlaku bagi istri yang sudah melakukan hubungan suami istri. Lain halnya bila istri belum melakukan hubungan suami istri, tidak mempunyai masa iddah. 54

1. Apabila perkawinan putus karena kematian, waktu tunggu ditetapkan 130 hari. Bagi seorang wanita yang putus perkawinannya berlaku jangka waktu tunggu. Waktu tunggu ini dalam hukum Islam disebut iddah. Pasal 39 ayat 1 Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 menentukan waktu tunggu seorang janda sebagai dimaksud dalam pasal 11 ayat 2 Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 sebagai berikut :

53

Ibid, hal.44

54


(1)

orang-orang di Indonesia, persoalan Jurisdiksi dalam perkara-perkara perceraian, pengakuan terhadap keputusan-keputusan cerai dari luar negeri.

Mengenai perceraian orang-orang asing yang dilakukan di Indonesia ini menjadi sangat menarik karena menyangkut kompetensi dan persoalan tentang hukum mana yang dipergunakan (choice of law). Bagi orang-orang asing yang berada diwilayah Indonesia, Pengadilan Negeri dapat memberikan keputusan-keputusan perceraian, bilamana kedua mempelai bertempat tinggal di Indonesia. Hal ini menjadi tidak masalah, yang menjadi persoalan adalah apabila hanya salah satu pihak saja yang berada di Indonesia sedang pihak yang lain berada di luar negeri, maka tuntutan perceraian diajukan di Pengadilan Negeri dan apabila para pihak tidak mendalilkan kewarganegaraan mereka maka hakim mempergunakan hukum Indonesia tanpa menghiraukan segi-segi HPI nya.87

Jika para pihak mendalilkan kewarganegaraannya maka perlu diperhatikan hukum mana yang dipergunakan, sesuai dengan asas kewarganegaraan, suatu keputusan perceraian yang diucapkan di luar negeri antara para pihak yang kedua-duanya adalah WNI hanya dapat diakui hakim Indonesia, jika keputusan bersangkutan didasarkan atas alasan-alasan yang dikenal dalam hukum Indonesia dan apabila suatu perceraian yang diucapkan di luar negeri antara para pihak WNI dan

87

Yana Indawati, Akibat Hukum Perceraian dalam Perkawinan Campuran antar Warga

Negara, http://yanaindawati.wordpress.com/akibat-hukum-perceraian/dalam-perkawinan-campuran-antar-warga-negara/. Diakses tanggal 5 Desember 2013.


(2)

WNA maka yang berwenang memutus perkara perceraian perkawinan campuran adalah pengadilan dimana mereka melangsungkan perkawinan tersebut.88

88


(3)

BAB V

KESIMPULAN DAN SARAN A. Kesimpulan

1.

Status anak dalam perkawinan campuran memperoleh kewarganegaraan ganda terbatas sampai berumur 18 (delapan belas) tahun atau sudah kawin, setelah berumur 18 (delapan belas) tahun atau sudah kawin ia dapat memilih menjadi Warga Negara Indonesia atau berkewarganegaraan asing sesuai dengan kewarganegaraan salah satu orang tuanya. Jika terjadi perceraian maka perceraian tersebut tidak mempengaruhi status si anak.

2.

Apabila terjadi perceraian dalam perkawinan campuran, harta bersama tersebut diatur menurut hukumnya masing-masing yaitu hukum agama, hukum adat, Kitab Undang-Undang Hukum Perdata dan hukum-hukum lainnya.

3.

Dalam perkawinan campuran apabila salah satu pihak saja yang berada di Indonesia sedang pihak yang lain berada di luar negeri, maka tuntutan perceraian diajukan ke Pengadilan Negeri. Namun apabila suatu perceraian yang diucapkan di luar negeri antara para pihak WNI dan WNA maka yang memutus perkara perceraian perkawinan campuran adalah pengadilan dimana mereka melangsungkan perkawinan tersebut.

B. Saran

1. sebaiknya pemerintah membuat peraturan perundang-undangan dalam bidang hukum, khususnya mengenai perkawinan campuran yang lebih menjamin


(4)

kepastian hukum bagi seluruh masyarakat Indonesia, dan dilakukan secara komprehensif dan berkesinambungan, tanpa menyampingkan undang-undang lain yang mengatur tentang kewajiban seorang warga Negara Indonesia.

2. Perlu ditingkatkan pemberdayaan masyarakat melalui penyuluhan-penyuluhan hukum, sehingga tingkat kesadaran dan kepatuhan hukum setiap warga masyarakat meningkat, khususnya mengenai perkawinan campuran tersebut.

3. Demi lebih efektivitasnya Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan dan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2006 tentang Kewarganegaraan, maka kepada masyarakat perlu diberikannya penyuluhan hukum tentang peranan dan akibat hukum dari perkawinan campuran terhadap status kewarganegaraan para pihak, sehingga akibat hukum yang timbul dari perkawinan campuran beralih kewarganegaraan dan status anak-anak mereka benar-benar dapat dipahami oleh masyarakat.


(5)

DAFTAR PUSTAKA

Buku-buku :

Abdurrahman, Muslan, 2002, Sosiologi dan Metode Penelitian Hukum, UMM Press, Malang.

Abdulkadir, Muhammad, 2010, Hukum Perdata Indonesia, PT Citra Aditya Bakti, Bandung.

Amiruddin, dan Zainal Asikin, 2004, Pengantar Metode Penelitian Hukum, PT Raja Grafindo Persada, Jakarta.

Gautama Sudargo, 1987, Warga Negara dan Orang Asing, PT Alumni, Jakarta. __________,1995, Hukum Perdata Internasional Indonesia, PT Alumni, Bandung. Harahap, M. Yahya, 1975, Hukum Perkawinan Nasional, CV Zahir Trading co

Medan.

Nasution, Husein Amin, 2012, Hukum Kewarisan, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta.

Nuruddin, Amiur dan Azhari Akmal Tarigan, 2006, Hukum Perdata Islam di Indonesia Studi Krisis Perkembangan Hukum Islam dari Fikih, UU No.1/1974 Sampai KHI, Kencana, Jakarta.

Prins, J, 1982, Tentang Hukum Perkawinan di Indonesia, Ghalia Indonesia, Jakarta. Prodjohamidjojo, Martiman, 2001, Hukum Perkawinan Indonesia, Karya Gemilang.

Jakarta.

Ramulyo, Muhammad Idris, 1991, Hukum Perkawinan Islam :Suatu Analisis UU No.1 Tahun 1974 dan Kompilasi Hukum Islam, Bumi Aksara, Jakarta.

Rasjidi, Lili, 1982, Hukum Perkawinan dan Perceraian di Malaysia dan Indonesia, Alumni, Bandung.

Saleh, K. Wantjik, 1976, Hukum Perkawinan Indonesia, Ghalia Indonesia, Jakarta. Syarifudin, Amir, 2007, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia Antara Fiqh


(6)

Supramono, Gatot, 1998, Segi-Segi Hukum Hubungan Luar Nikah, Djambatan, Jakarta.

Sudarsono, 2005, Hukum Perkawinan Nasional, PT. Rineka Cipta, Jakarta. Susilo, Budi. 2007, Prosedur Gugatan Cerai, Pustaka Yustisia, Yogyakarta.

Seto, Bayu. 2001, Dasar-Dasar Hukum Perdata Internasional, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung.

Usman, Rachmadi, 2006, Aspek-Aspek Hukum Perorangan Dan Kekeluargaan Di Indonesia,Sinar Grafika, Jakarta.

Internet :

Amanda, Syarat dan Ketentuan Menikah dengan Oranng Lain, http://blog.baliexpat.com/syaratketentuanmenikahdenganorangasing/comment page1 Diakses tanggal 9 Juni 2013

Debora Dampu, Pelaksanaan Perkawinan antar Warga Negara Indonesia dan Waraga Negara Asing setelah Berlakunya Undang-undang No 1 Tahun 1974 Tentang perkawi

Hukum dan Ham, Perkawinan Campuran dan Hak Kebendaan, http://www.kumham-jogja. info/karya ilmiah/37-karya-ilmiah-lainnya/333-perkawinan-campuran-dan-hak-kebendaan

Lestari Indah, Putus Perkawinan dan Tata Cara Perceraian, . Diakses tanggal 5 Desember 2013

http://indahlestari 111000407. blogspot. com/ 2012 /09/putus-perkawinan-tata cara perceraian. html. Diakses tanggal 15 Januari 2014.

Nawawi, Perkawinan Campuran (Problematika dan Solusinya) http://sumselkeme- neggo.id/file/dokumen/PerkawinanCampuran artikel-pdf. Diakses tanggal 28 Juni 2013.

Nuning Hallet, Mencermati Isi Rancangan UU Kewarganegaraan ,http://www. Mixedcouple.com/artices/mod.php

Nani Mediati, Asas-asas kewarganegaraan lecture

mod=publisher&op=viewarticle &artid=51, Diakses 13 September 2013.

Com\/2010/12/asas-asas kewarganegraan.