BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang - Tinjauan Yuridis Terhadap Sita Marital Atas Sengketa Harta Bersama Dalam Perkawinan Menurut Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan Dan Kitab Undang-Undang Hukum Perdata

  

BAB I

PENDAHULUAN A. Latar Belakang Menurut Pasal 1 Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan (selanjutnya disebut UUP No. 1 Tahun 1974), berbunyi bahwa

  “perkawinan adalah ikatan lahir batin antara seorang pria dan wanita sebagai suami istri dengan tujuan untuk membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.” Apabila mereka melangsungkan perkawinan maka timbulah hak dan kewajiban antara suami-istri secara timbal balik, demikian juga akan timbul hak dan kewajiban antara orang

   tua dan anak secara timbal balik.

  Tujuan perkawinan adalah untuk membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa, maka UUP No.

  1 Tahun 1974 mempersulit terjadinya perceraian (cerai hidup), karena perceraian berarti gagalnya tujuan perkawinan untuk membentuk keluarga yang bahagia, kekal dan sejahtera akibat perbuatan manusia. Lain halnya terjadi putus perkawinan karena kematian yang merupakan takdir dari Tuhan Yang Maha Esa

   yang tidak dapat dielakkan manusia.

  Dengan lahirnya UUP No. 1 Tahun 1974 pada tanggal 2 Januari 1974 yang mulai berlaku secara efektif sejak tanggal 1 Oktober 1975 yakni sejak mulai 1 Mulyadi, Hukum Perkawinan Indonesia, (Semarang,Universitas Diponegoro, 2008), hal 6. 2 Hilman Hadikusuma, Hukum Perkawinan Indonesia Menurut Perundangan, Hukum Adat, Hukum Agama , (Bandung, Mandar Maju, 1990), hal 160.

  berlakunya Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 (selanjutnya disebut PP No. 9 Tahun 1975) sebagai peraturan pelaksanaannya, maka perceraian tidak dapat bisa lagi dilakukan dengan semaunya seperti banyak terjadi pada masa sebelumnya, melainkan harus dengan prosedur tertentu dan hanya boleh dilakukan

   kalau ada alasan atau alasan-alasan yang dapat dibenarkan.

  Menurut Pasal 38 UUP No. 1 Tahun 1974, putusnya perkawinan disebabkan karena 3 (tiga) hal, yaitu : a. Kematian, b. perceraian dan c. atas keputusan pengadilan. Terjadinya peristiwa-peristiwa dalam rumah tangga, yaitu perselisihan, pertengkaran atau percekcokkan antara suami istri akan mengakibatkan terjadinya perceraian, jika tidak diselesaikan dengan baik.

  Adapun alasan-alasan yang dapat dijadikan dasar untuk mengajukan perceraian, sebagaimana diatur dalam Penjelasan Pasal 39 ayat (2) UUP No. 1 Tahun 1974, dan diulang lagi dengan bunyi yang sama dalam Pasal 19 PP No. 9

4 Tahun 1975 adalah : a.

  Salah satu pihak berbuat zina atau menjadi pemabok, pemadat, penjudi dan lain sebagainya serta sukar disembuhkan; b.

  Salah satu pihak meninggalkan yang lain selama 2 (dua) tahun berturut- turut, tanpa izin pihak yang lain dan tanpa alasan yang sah atau karena hal di luar kemampuannya; c. Salah satu pihak mendapat hukuman penjara 5 (lima) tahun atau hukuman yang lebih berat setelah perkawinan berlangsung; d.

  Salah satu pihak melakukan kekejaman atau penganiayaan berat yang membahayakan terhadap pihak yang lain; e.

  Salah satu pihak mendapat cacat badan atau penyakit yang mengakibatkan tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai suami atau istri;

3 Riduan Syahrani, Perkawinan dan Perceraian Bagi Pegawai Negeri Sipil, Edisi Pertama , (Jakarta, Media Sarana Press, 1986), hal 50.

  4 Penjelasan Pasal 39 Ayat (2) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan jo. Pasal 19 Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 Tentang Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan. f.

  Antara suami dan istri terus menerus terjadi perselisihan dan pertengkaran dan tidak ada harapan akan hidup rukun lagi dalam rumah tangga.

  Alasan-alasan perceraian tersebut menurut R.Sardjono, sifatnya limitatif artinya tidak ada alasan lain yang dapat dipergunakan untuk bercerai selain yang

   disebut Undang-Undang.

  Pembuat Undang-Undang ternyata tidak memberikan penjelasan apa-apa kecuali disebutkan “cukup jelas” terhadap alasan-alasan itu. Padahal dalam perumusan alasan-alasan perceraian tersebut sifatnya masih terlalu umum, karenanya perlu penafsiran yang sesuai dengan jiwanya, agar kesalahan pengertian dari masyarakat dapat dihindarkan. Sehubungan dengan ini maka peranan yurisprudensi terutama dari Mahkamah Agung sangat besar sekali dalam

   menginterpretasi dan memberi arti alasan-alasan perceraian tersebut.

  Adapun alasan-alasan perceraian dalam UUP No. 1 Tahun 1974 tersebut apabila ditinjau dari segi tujuan perkawinan yaitu : “Untuk membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal

   berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa” .

  Maka dari uraian diatas dapat dilihat bahwa apabila tujuan perkawinan tersebut tidak mungkin lagi akan tercapai, maka sudah sewajarnya rumah tangga tersebut tidak perlu lagi dipertahankan.

  5 R.Sardjono, Masalah Perceraian Menurut Undang-Undang Perkawinan 1974 Nomor 1,

Burgerlijk Wetboek Indonesia, Burgerlijk Wetboek Belanda Lama dan Burgerlijk Wetboek

Belanda Baru , (Jakarta, Academica, 1979), hal 26. 6 7 Ibid.

Pasal 1 UUP No. 1 Tahun 1974.

  Dengan alasan-alasan tersebut di atas, maka suami atau istri dapat mengajukan gugatan perceraian ke Pengadilan Negeri atau Pengadilan Agama

  

  setempat, yaitu untuk mengajukan cerai talak atau cerai gugat. Cerai talak adalah diperuntukkan bagi mereka yang melangsungkan perkawinan menurut agama Islam sedangkan cerai gugat, adalah diperuntukkan bagi mereka yang melangsungkan perkawinan menurut agama dan kepercayaannya selain agama Islam dan bagi seorang istri yang melangsungkan perkawinan menurut agama Islam. Kemudian hakim akan melakukan pemanggilan dan pemeriksaan kepada pihak suami atau istri setelah diterimanya surat gugatan. Hakim akan menawarkan kepada para pihak untuk menghendaki perdamaian atau tidak. Jika tidak menghendaki perdamaian, maka hakim akan memutuskan putusan gugatan perceraian tersebut yang dilakukan dalam sidang terbuka yang dapat dihadiri oleh umum, dihitung sejak saat pendaftaran putusan perceraian itu di Kantor Catatan Sipil.

  Putusan perkawinan karena perceraian akan menimbulkan akibat hukum

  

  terhadap :

1. Orang tua / anak

  Akibat putusnya perkawinan karena perceraian menurut Pasal 41 UUP No. 1 Tahun 1974 ialah : a.

  Baik bapak atau ibu tetap berkewajiban memelihara dan mendidik anak-anaknya, semata-mata berdasarkan kepentingan anak, bilamana ada perselisihan mengenai penguasaan anak-anak, Pengadilan memberi 8 keputusannya;

  K. Wantjik Saleh, Hukum Perkawinan Indonesia, (Jakarta, Ghalia Indonesia, 1980), hal 38. 9 Ibid, hal 34 -35.

  b.

  Bapak bertanggungjawab atas semua biaya pemeliharaan dan pendidikan yang diperlukan anak itu, dan bilamana bapak dalam kenyataannya tidak dapat memberi kewajiban tersebut, maka Pengadilan dapat menentukan bahwa ibu ikut memikul biaya tersebut; c. Pengadilan dapat mewajibkan kepada bekas suami untuk memberikan biaya penghidupan dan/menentukan sesuatu kewajiban bagi bekas istri.

  Mengenai kedudukan anak, apabila anak sudah dewasa dapat mengikuti ayahnya dan apabila anak belum dewasa mengikuti ibunya. Apabila anak-anak sudah menjadi dewasa, keputusan diserahkan kepada mereka hendak mengikuti ayah atau ibunya. Dalam melakukan pembagian harta benda perkawinan harus memperhatikan kepentingan anak dan kepada siapa akan diserahkan Tentang pemeliharaan, dan pendidikan anak.

  Mengenai status suami istri yang telah bercerai menjadi duda atau janda, dapat melakukan perkawinan kembali dengan orang lain, dengan memenuhi ketentuan-ketentuan yang telah ditetapkan oleh UUP No. 1 Tahun 1974.

2. Harta benda perkawinan

  Ketentuan mengenai harta benda perkawinan dalam UUP No. 1 Tahun

  

  1974 diatur dalam Pasal 35, 36, dan 37. Harta benda yang diperoleh selama perkawinan, menjadi harta bersama. Harta bawaan dari masing-masing suami istri dan harta benda yang diperoleh masing-masing sebagai hadiah atau warisan, adalah di bawah penguasaan masing-masing sepanjang para pihak tidak menentukan lain (Pasal 35 ayat (1) dan (2) UUP No. 1 Tahun 1974). Harta bawaan suami atau istri kembali kepada para pihak masing-masing, yang membawa harta benda tersebut ke dalam perkawinan. 10 Hazairin, Tinjauan Mengenai Undang-Undang Perkawinan, Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 , (Jakarta, Tinta Mas, 1975), hal 24-25.

  Mengenai harta bersama, suami atau istri dapat bertindak atas persetujuan kedua belah pihak. Harta bawaan masing-masing, suami dan istri mempunyai hak sepenuhnya untuk melakukan perbuatan hukum mengenai harta bendanya (Pasal 36 ayat (1) dan (2) UUP No. 1 Tahun 1974). Bila perkawinan putus karena perceraian, harta bersama diatur menurut hukumnya masing-masing. Adapun yang dimaksud menurut hukumnya masing-masing yaitu menurut hukum agama, hukum adat, dan Kitab Undang-undnag Hukum Perdata (selanjutnya disebut KUHPerdata) (Penjelasan Pasal 37 UUP No. 1 Tahun 1974).

  Para pencari keadilan (justiabelen), tentu mengharapkan agar keadilan dan perlindungan hukum yang diperolehnya menjadi kenyataan. Untuk menjamin hak- hak pencari keadilan tersebut maka hukum memberi jalan dengan hak baginya untuk mengajukan permohonan sita terhadap barang - barang sengketa atau yang

  

  dijadikan jaminan. Didalam praktik dikenal ada 4 (empat) macam sita yaitu : a.

  Sita Jaminan (Conservatoir Beslag) b.

  Sita Hak Milik (Rivindicatoir Beslag) c. Sita Harta Bersama (Maritale Beslag) d.

  Sita Eksekusi (Executorial Beslag) Setiap sita mempunyai tujuan tertentu (berbeda-beda) namun tujuan akhir daripada sita tidak lain untuk menjamin agar :

  1) Putusan Hakim secara nyata dapat diwujudkan

  2) Putusan Hakim tidak hampa karena barang sengketa telah 11 tiada/dipindahtangankan.

  Wildan Suyuthi, Sita dan Eksekusi Praktek Kejurusitaan Pengadilan, (Jakarta, Tatanusa, 2004), hal 21-29. Apabila terjadi sengketa perceraian di Pengadilan untuk pembagian harta bersama perkawinan terdapat bentuk sita khusus yang diterapkan terhadap harta

  

  bersama suami istri yang disebut dengan sita marital. Perkataan marital tetap seperti istilah aslinya dalam bahasa Belanda, tidak diIndonesiakan. Istilah sita marital berasal dari maritale beslag yang disebut juga dengan sita matrimonial

  

(matrimonial beslag) , bahkan pada saat ini dalam perkembangan hukum Belanda

  lebih populer dengan sebutan matrimonial beslag, karena mengandung makna kesetaraan antara suami istri dalam perkawinan. Sedang istilah sita marital mengandung konotasi yang menempatkan istri dibawah kekuasaan suami dalam perkawinan, yang dikenal dengan lembaga matriale macht sebagaimana selama ini digariskan dalam Pasal 105 dan 106 KUHPerdata, yang menegaskan :

  1) Setiap suami adalah kepala dalam persatuan suami istri :

  • memberi bantuan kepada istri dimuka pengadilan, dan
  • mengemudikan harta milik pribadi istri 2)

  Setiap istri harus tunduk-patuh kepada suami (Pasal 106 KUHPerdata).

  Demikian kesan diskrimianatif yang terkandung dalam perkataan sita marital, dan dianggap layak untuk menggantinya dengan istilah sita matrimonial.

  Dalam sistem hukum di Indonesia dapat dipergunakan istilah sita harta bersama, sebutan ini memperlihatkan kedudukan yang setara (equal) antara suami istri dalam kehidupan rumah tangga. Kesetaraan itu secara tegas dirumuskan dalam

  Pasal 31 ayat (1) UUP No.1 Tahun 1974, bahwa hak dan kedudukan istri 12 Sudikno Mertokusumo, Hukum Acara Perdata Indonesia, (Yogyakarta, Liberty, 1998), hal 57. seimbang dengan hak dan kedudukan suami dalam kehidupan rumah tangga dan pergaulan hidup bersama dalam masyarakat. Bahkan pada ayat (2) ditegaskan lagi, masing-masing pihak berhak untuk melakukan perbuatan hukum. Sehubungan dengan hal ini beralasan kiranya dipergunakan istilah tersebut tanpa

   mengurangi kemungkinan penggunaan istilah sita marital.

  Tujuan Maritale Beslag sudah jelas, untuk menjamin agar harta perkawinan tetap utuh dan terpelihara sampai perkara mendapat putusan yang berkekuatan hukum tetap. Apalagi, jika selama proses pemeriksaan perkara telah terjadi pemisahan tempat tinggal atas izin hakim, semakin besar kemungkinan terancam keutuhan dan pemeliharaan harta perkawinan. Misalnya atas persetujuan hakim istri sudah terpisah tempat tinggalnya selama pemeriksaan perkara berlangsung, dan harta perkawinan semuanya dikuasai suami untuk menjual atau menggelapkan sebagian dari harta perkawinan (harta bersama) Undang-Undang

   memberi hak kepada istri untuk mengajukan permohonan Maritale Beslag.

  Pada dasarnya, Maritale Beslag sama dan serupa dengan Sita Jaminan

  

(Conservatoir Beslag) . Sita ini merupakan pengkhususan yang hanya dapat

  berfungsi terhadap jenis perkara sengketa perceraian. Jika berorientasi kepada ketentuan Pasal 215 KUHPerdata, Maritale Beslag adalah perwujudan sita jaminan. Pada kalimat terakhir Pasal 215 ayat (1) KUHPerdata tersebut menyatakan bahwa “tak mengurangi keleluasaan istri untuk mengamankan

  13 Djokoprakoso dan I Ketut Murtika, Asas-Asas Hukum Perkawinan di Indonesia, (Jakarta, Bina aksara, 1987), hal 52. 14 M.Yahya Harahap, Permasalahan dan Penerapan Sita Jaminan Conservatoir Beslag, (Bandung, Pustaka, 1990), hal 142. haknya dengan mempergunakan upaya-upaya seperti yang diatur dalam ketentuan

   hukum acara perdata”.

  Dalam Undang-Undang Perkawinan dimungkinkan melakukan sita terhadap harta perkawinan, ini diatur dalam PP No. 9 Tahun 1975 yang menyatakan bahwa :

  “Selama berlangsungnya gugatan perceraian atas permohonan Penggugat atau Tergugat, pengadilan dapat menentukan hal-hal yang perlu untuk menjamin terpeliharanya barang-barang yang menjadi hak bersama suami istri atau barang-barang yang menjadi hak suami atau barang-barang yang

   menjadi hak istri” .

  Walaupun rumusannya tidak begitu tegas, namun isi yang terkandung di dalamnya merupakan isyarat adanya hak bagi istri atau suami untuk mengajukan permintaan sita terhadap harta perkawinan selama proses pemeriksaan perkara

   perceraian berlangsung.

  Rumusan pasal ini memang kurang jelas mengarah kepada upaya tindakan penyitaan harta perkawinan. Akan tetapi dengan memperlihatkan kalimat “menentukan hal-hal yang perlu untuk menjamin terpeliharanya barang-barang”, pada hakekatnya sudah tersirat makna tindakan atau upaya penyitaan terhadap harta perkawinan. Dan tindakan yang dianggap dapat menjamin terpeliharanya harta perkawinan selama proses perkara perceraian berlangsung adalah sita

15 R. Wirjono Prodjodikoro, Hukum Perkawinan di Indonesia, Cetakan Ketujuh, (Bandung, Sumur, 1981), hal 39.

  16 17 Pasal 24 ayat (2) huruf c PP No. 9 Tahun 1975 Abdurrahman, Himpunan Peraturan Perundangan Tentang Perkawinan, Edisi Pertama , (Jakarta, Akademika Pressindo, 1986), hal 25. jaminan (conservatoir beslag) yang disebut Maritale Beslag. Dengan demikian maksud yang terkandung dalam Pasal 24 ayat (2) huruf c adalah : a)

  Memberi hak kepada suami istri untuk mengajukan Maritale

  Beslag atas harta perkawinan selama proses perkara perceraian

  berlangsung, dan

  b) Pengadilan berwenang untuk mengabulkan Maritale Beslag agar terjamin pemeliharaan dan keutuhan harta perkawinan selama proses perkara perceraian masih berlangsung.

  Ada sesuatu hal yang dianggap terlampau sempit dalam aturan Pasal 24 ayat (2) huruf c PP Nomor 9 Tahun 1975. Menurut pasal ini, pengajuan permintaan Maritale Beslag ke pengadilan hanya terbatas jika ada perkara perceraian. Hal ini secara tegas disebut dalam Pasal 24 ayat (2) huruf c PP Nomor

  9 Tahun 1975 dalam kalimat “selama berlangsungnya gugatan perceraian”. Secara

  

a contrario , kalau tidak ada gugatan perceraian, istri tidak dapat mengajukan

   permintaan Maritale Beslag.

  Namun hal ini berbeda dengan apa yang diatur pada Kitab Undang- Undang Hukum Perdata. Berdasarkan Pasal 186 KUHPerdata, bisa saja istri mengajukan permintaan Maritale Beslag kepada pengadilan, apabila istri mengajukan tuntutan pemisahan harta kekayaan (harta perkawinan). KUHPerdata memperkenankan permintaan Maritale Beslag di luar gugatan perceraian. Dapat diajukan permintaan Maritale Beslag berdasar gugatan pemisahan harta

18 Mulyadi, Hukum Perkawinan Indonesia, (Semarang, Universitas Diponegoro, 2008), hal 16.

  

  perkawinan . Dari ketentuan Pasal 186 KUHPerdata tersebut memberi hak kepada istri untuk :

1. Mengajukan Maritale Beslag di luar gugatan perceraian.

  2. Mengajukan permintaan pemisahan harta kekayaan dalam perkawinan yang masih utuh : a.

  Apabila kelakuan suami secara nyata memboroskan harta kekayaan keluarga yang bisa mendatangkan malapetaka kehancuran rumah tangga (Pasal 186 ayat (1) KUHPerdata), atau b. Apabila cara pengurusan suami atas harta kekayaan tidak tertib, sehingga tidak terjamin keselamatan dan keutuhan harta kekayaan bersama (Pasal

  186 ayat (2) KUHPerdata). Ketentuan seperti yang diatur dalam Pasal 186 KUHPerdata, nampaknya tidak ada dijumpai dalam UU Nomor 1 Tahun 1974 maupun dalam PP Nomor 9

  Tahun 1975.

  Menurut Abdul Manan, pernyataan terhadap sita marital dalam kerangka UUP Nomor 1 Tahun 1974 adalah kurang etis. Adapun istilah yang dianggap kurang pas dan cocok dengan pandangan filosofis UUP No. 1 Tahun 1974 adalah sita harta bersama dan ini sesuai dengan legal term sebagaimana tersebut dalam Pasal 35 UUP Nomor 1 Tahun 1974

   tersebut.

  Oleh karena itu penggunaan sita harta bersama perlu dibakukan agar menjadi law standard. Padahal aturan yang seperti ini sangat penting, guna melindungi hak istri terhadap harta bersama pada satu sisi, dan memperlindungi 19 Darwan Prinst, Strategi Menyusun dan Menangani Gugatan Perdata, (Bandung, Citra Aditya Bakti, 2002), hal 66. 20 Abdul Manan, Penerapan Hukum Acara Perdata di Lingkungan Peradilan Agama, (Jakarta, Kencana Prenada Media Group, 2005), hal 50.

  keutuhan harta perkawinan pada segi yang lain. Kelalaian pembuat Undang- Undang mengatur hal yang demikian, merupakan hambatan bagi istri membela haknya terhadap suami yang boros dan berkelakuan tidak baik. Karena hak untuk mengajukan maritale beslag hanya diperkenankan apabila ada sengketa

   perceraian .

  Dalam putusan Mahkamah Syar’iyah Lhoksukon Nomor 330/Pdt.G/2013/Ms-Lsk tanggal 12 Maret 2014 menyatakan sah secara hukum mengabulkan gugatan Penggugat untuk seluruhnya, menyatakan menurut hukum bahwa Perkawinan Penggugat Nurjannah binti Abdurrahman dan Tergugat Marzuki bin M. Naseb, putus karena perceraian dengan segala akibat hukumnya, menyatakan menurut hukum bahwa sita jaminan yang telah diletakkan oleh Mahkamah Syar’iyah Lhoksukon adalah sah dan berharga, serta telah berkekuatan hukum tetap. Seperti diketahui bahwa sita itu sendiri masing-masing mempunyai tujuan tertentu, khususnya dalam kasus perkara perdata No. 330/Pdt.G/2013/Ms- Lsk yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap bertujuan untuk membekukan/menjamin agar barang yang disita berupa harta bersama tidak dipindahkan/dijual.

  Berdasarkan Pasal 24 ayat (2) huruf b dan PP No.9 Tahun 1975 beserta penjelasannya, sita marital berfungsi untuk melindungi hak pemohon sita (baik Penggugat/Tergugat) selama pemeriksaan sengketa perceraian di Pengadilan berlangsung dengan menyimpan/membekukan barang-barang yang disita agar jangan sampai dipindahtangankan kepada pihak ketiga.

21 Ibid.

  Oleh karena sifatnya hanya menyimpan/membekukan maka apakah sita marital itu apabila dikabulkan dalam gugatannya perlu dinyatakan sah dan berharga/tidak dalam amar putusannya, sebab seperti diketahui banyak praktik di lapangan mengenai sengketa harta bersama dimana dalam amar putusannya dinyatakan sah dan berharga dan sudah berkekuatan hukum tetap, namun tidak bisa dilaksanakan pembagian harta bersamanya oleh para pihak karena tidak ditindak lanjuti dengan adanya sita eksekutorial.

  Selain itu ketentuan mengenai pemisahan harta perkawinan yang dibarengi dengan permintaan sita marital menimbulkan kebimbangan. Sebab menurut undang-undang dan praktik pengadilan, pengajuan gugatan pemisahan/pembagian harta perkawinan baru dapat diajukan setelah putusan perceraian memperoleh kekuatan hukum tetap.

  Seolah-olah selama perkawinan masih berjalan, tidak dimungkinkan mengajukan pemisahan harta perkawinan. Padahal dilihat dari segi kepentingan istri atau suami adalah layak memberi hak pengajuan pemisahan harta perkawinan dalam suatu perkawinan yang masih utuh, apabila secara nyata suami atau istri

   suka menghamburkan harta kekayaan bersama.

  Berdasarkan hal-hal yang diuraikan tersebut diatas, maka penulis mengambil pokok pembahasan dan topik penulisan skripsi yang berjudul

  

“Tinjauan Yuridis terhadap Sita Marital atas Sengketa Harta Bersama

dalam Perkawinan Menurut Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan dan Kitab Undang-Undang Hukum Perdata”. 22 M.Yahya Harahap, Permasalahan dan Penerapan Sita Jaminan Conservatoir Beslag, Op. Cit , hal 144-145.

B. Rumusan Masalah

  Ada beberapa masalah pokok yang menjadi fokus penelitian dalam skripsi ini, yaitu :

  1. Bagaimana penerapan hukum positif Tentang sita marital dalam perkara pembagian harta bersama apabila terjadi perceraian antara suami istri ?

  2. Apakah sita marital dalam amar putusan hakim yang telah dinyatakan sah dan berharga dapat ditingkatkan menjadi sita eksekutorial?

3. Apakah yang menjadi dasar pengajuan sita marital oleh mantan istri selaku

  Penggugat dalam putusan perkara perdata nomor 330/Pdt.G/2013/Ms-Lsk?

C. Tujuan Penelitian

  Penulisan skripsi ini berusaha memaparkan permasalahan berkaitan dengan tinjauan yuridis terhadap sita marital atas sengketa harta bersama dalam perkawinan menurut UUP No. 1 Tahun 1974 dan KUHPerdata. Maka berdasarkan uraian latar belakang di atas secara rinci tujuan pokok dari pembahasan skripsi ini adalah sebagai berikut : 1.

  Untuk menjelaskan penerapan hukum positif Tentang sita marital dalam perkara pembagian harta bersama apabila terjadi perceraian antara suami istri.

  2. Untuk menjelaskan peningkatan status sita marital di dalam amar putusan hakim yang dinyatakan sah dan berharga menjadi sita eksekutorial.

  3. Untuk menjelaskan dasar pengajuan sita marital oleh mantan istri selaku Penggugat dalam putusan perkara perdata nomor 330/Pdt.G/2013/Ms-Lsk.

  Tentu saja salah satu dari tujuan dari pembuatan dan pembahasan materi dalam skripsi ini merupakan salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Hukum di Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

D. Manfaat Penulisan

  Berdasarkan hal-hal yang telah diuraikan diatas, adapun beberapa manfaat dari penulisan skripsi ini adalah sebagai berikut :

  1. Manfaat Teoritis Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan kontribusi pemikiran serta pemahaman dan pandangan baru serta dapat menjadi bahan kajian lebih lanjut untuk melahirkan konsep-konsep ilmiah yang ada.

  Dengan penelitian ini juga diharapkan dapat memperkaya pemahaman dan perkembangan ilmu pengetahuan hukum pada umumnya dan sita marital pada khususnya, terutama Tentang aspek hukum sita marital terhadap sengketa harta bersama dalam perkawinan menurut KUHPerdata dan UUP No. 1 Tahun 1974.

  2. Manfaat Praktis Hasil penelitian ini diharapkan bermanfaat sebagai bahan masukan bagi kalangan akademisi, praktisi maupun masyarakat umumnya serta dapat bermanfaat bagi pihak-pihak yang ingin melakukan penelitian dibidang yang sama.

E. Metode Penelitian

  1. Jenis Penelitian

  Menurut Soerjono Soekanto, penelitian hukum dapat dibagi dalam dua

  

  kelompok yaitu penelitian hukum normatif yang terdiri dari penelitian terhadap asas-asas hukum, penelitian hukum terhadap sistematika hukum, penelitian terhadap taraf sinkronisasi hukum, penelitian sejarah hukum, penelitian perbandingan hukum. Sedangkan jenis penelitian hukum kedua adalah penelitian hukum sosiologis (empiris) yang terdiri dari penelitian terhadap identifikasi hukum dan penelitian terhadap efektivitas hukum.

  Studi kepustakaan merupakan metode tunggal yang digunakan dalam penelitian normatif. Sedangkan bagi penelitian empiris (sosiologis), studi kepustakaan merupakan metode pengumpulan data yang dipergunakan bersama-sama metode lain seperti wawancara, pengamatan (observasi) dan

  

  kuesioner . Pada penulisan skripsi ini penulis menggunakan jenis penelitian hukum normatif yaitu sebuah bentuk/ jenis penelitian yang mengandalkan data dan informasi Tentang hukum, baik bahan hukum pimer, bahan hukum sekunder maupun bahan hukum tersier.

  2. Data dan Sumber Data

  Penyusunan skripsi ini menggunakan data dan sumber data berupa bahan hukum primer, sekunder dan tersier. 23 Soerjono Soekanto & Sri Mamudji, Penelitian Hukum Normatif; Suatu Tinjauan Singkat, (Jakarta, Raja Grafindo Persada, 2007), hal 42. 24 Bambang Waluyo, Penelitian Hukum Dalam Praktek, (Jakarta, Sinar Grafika, 1996), hal 50.

  a.

  Bahan hukum primer Bahan hukum primer merupakan bahan hukum yang mengikat berupa Peraturan Perundang-undangan, putusan Pengadilan, yang terdiri dari: 1)

  Rv (Reglement Op De Rechtsvordering Staatsblad 1847 Nomor 52 jo. 1849 Nomor 63); 2)

  HIR (Herziene Inlandsch Reglement); 3)

  RBg (Rechtsreglement Voor de Buitengewesten); 4)

  Kitab Undang-undang Hukum Perdata (Burgerlijk Wetboek); 5)

  Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan; 6)

  Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 Tentang Pelaksanaan Undang- Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan dan

7) KHI (Kompilasi Hukum Islam).

  b.

  Bahan hukum sekunder Bahan hukum sekunder merupakan bahan hukum yang memberikan penjelasan mengenai bahan hukum primer sebagaimana yang terdapat dalam kumpulan pustaka yang bersifat sebagai penunjang dari bahan hukum primer, yang terdiri dari buku-buku, hasil-hasil penelitian hukum dan hasil karya ilmiah dari kalangan hukum mengenai sita marital.

  c.

  Bahan hukum tersier

  Bahan hukum tersier merupakan bahan pendukung di luar bidang hukum seperti kamus, ensiklopedia atau majalah yang berkaitan dengan sita marital.

  3. Teknik Pengumpulan Data

  Penelitian ini dilakukan dengan menggunakan suatu penelitian kepustakaan (Library Research). Dalam hal ini penelitian hukum dilakukan dengan cara melakukan penelitian terhadap berbagai sumber bacaan, buku- buku, berbagai literatur, dan juga peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan tinjauan yuridis terhadap sita marital atas sengketa harta bersama dalam perkawinan. Metode Library Research adalah mempelajari sumber-sumber atau bahan-bahan tertulis yang dijadikan bahan dalam penulisan skripsi ini.

  4. Analisis Data

  Penelitian yang dilakukan dalam penulisan skripsi ini termasuk ke dalam tipe penelitian hukum normatif. Pengolahan data pada hakikatnya merupakan kegiatan untuk melakukan analisis terhadap permasalahan yang

  

  akan dibahas. Analisis data dilakukan dengan : a.

  Mengumpulkan bahan-bahan hukum yang relevan dengan 25 permasalahan yang diteliti.

  Amiruddin dan Zainal Asikin, Pengantar Metode Penelitian Hukum, (Jakarta, Raja Grafindo Persada, 2004), hal 45. b.

  Memilih kaidah-kaidah hukum atau doktrin yang sesuai dengan penelitian.

  c.

  Mensistematisasikan kaidah-kaidah hukum, asas atau doktrin.

  d.

  Menarik kesimpulan dengan pendekatan deduktif.

F. Keaslian Penulisan

  Untuk mengetahui keaslian penulisan skripsi, sebelum melakukan penulisan “Tinjauan Yuridis Terhadap Sita Marital Atas Sengketa Harta Bersama Dalam Perkawinan Menurut Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawianan dan Kitab Undang-Undang Hukum Perdata”, penulis telah melakukan penelusuran terhadap berbagai judul skripsi yang tercatat pada Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara. Berdasarkan penelusuran dan pemeriksaan arsip hasil-hasil penulisan skripsi di Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara, penulisan skripsi dengan judul Tinjauan Yuridis Terhadap Sita Marital Atas Sengketa Harta Bersama Dalam Perkawinan Menurut Undang- Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawianan dan Kitab Undang-Undang Hukum Perdata” belum pernah dilakukan.

  Adapun beberapa judul yang memiliki sedikit kesamaan di Perpustakaan Universitas Cabang Fakultas Hukum/ Pusat Dokumentasi dan Informasi Hukum FH USU antara lain : 1.

  Tinjauan Yuridis Sita Marital Harta Bersama dalam Perkawinan yang Tidak di Catatkan (Studi Putusan Pengadilan Agama No.

  100/Pdt.G/2009/PA Mdn) (Ridha Maya Sari Nst/080200189)

2. Tinjauan Yuridis Pembuatan Perjanjian Kawin Sebelum dan Sesudah

  Perkawinan Dilaksanakan Menurut KUHPerdata dan Undang-Undang No.1 Tahun 1974 ( Venny RD/920200240) 3. Anak yang Belum Dewasa Menurut Undang-Undang No.1 Tahun 1974 dan Kedudukannya dalam Harta Warisan dan Hubungannya dengan

  Perwalian (Abdul Rahman Sembiring/000221001) 4. Harta Bersama Ditinjau dari Hukum Islam dan Undang-Undang No. 1

  Tahun 1974 (Sri Ramahdhani/010222194) Sekalipun penulisan skripsi ini memiliki sedikit kesamaan dengan beberapa skripsi yang telah disebutkan diatas, namun permasalahan dan pembahasan yang diangkat dalam penulisan ini merupakan hasil pemikirin penulis sendiri dan juga karena referensi dari buku-buku, peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan perkawinan, perceraian, harta bersama dalam perkawianan, sita jaminan khusus nya sita marital, serta informasi yang diperoleh dari media cetak dan elektronik.

G. Sistematika Penulisan

  Penulisan ini dibuat secara terperinci dan sistematis agar memberikan kemudahan dalam membaca, memahami makna dan dapat pula memperoleh manfaatnya. Keseluruhan sistematika ini merupakan satu kesatuan yang sangat berhubungan antara satu dengan yang lainnya.

  BAB I Pendahuluan, membahas mengenai latar belakang penulisan skripsi, rumusan permasalahan, yang dilanjutkan dengan tujuan dan manfaat penulisan, metode penulisan, keaslian penulisan dan diakhiri dengan sistematika penulisan skripsi.

  BAB II Tinjauan Umum Tentang Perkawinan, membahas mengenai perkawinan, perceraian, serta harta bersama dalam perkawinan, dalam hal ini terkait dengan pengertian, tujuan, dasar hukum, serta hal-hal lain yang berkaitan dengan perkawinan.

  BAB III Tinjauan Umum Tentang Sita, membahas mengenai pengertian dan tujuan sita, syarat dan alasan penyitaan, bentuk-bentuk penyitaan, ruang lingkup penerapan penyitaan, prosedur pelaksanaan dan kewajiban juru sita.

  BAB IV Tinjauan Yuridis Terhadap Sita Marital Atas Sengketa Harta Bersama dalam Perkawinan Pada Putusan Nomor 330/Pdt.G/2013/Ms-Lsk, membahas sita marital pada umumnya, penerapan sita marital dalam pembagian harta bersama apabila terjadi perceraian, dasar pengajuan sita marital oleh mantan istri selaku penggugat dalam perkara perdata putusan nomor 330/Pdt.G/2013/Ms- Lsk, serta peningkatan status sita marital yang dinyatakan sah dan berharga dalam putusan nomor 330/Pdt.G/2013/Ms-Lsk menjadi sita eksekutorial .

  BAB V Kesimpulan dan Saran, merupakan bab terakhir dalam penulisan skripsi ini dimana penulis akan membuat kesimpulan dari keseluruhan uraian skripsi sesuai dengan permasalahan yang dikemukakan dalam skripsi ini dan memberikan beberapa saran yang diajukan penulis sehubungan dengan tinjauan yuridis terhadap sita marital atas sengketa harta bersama dalam perkawinan menurut Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan dan Kitab Undang-Undang Hukum Perdata.

Dokumen yang terkait

Tinjauan Yuridis Terhadap Sita Marital Atas Sengketa Harta Bersama Dalam Perkawinan Menurut Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan Dan Kitab Undang-Undang Hukum Perdata

10 140 156

Perkawinan Campuran Menurut Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan Tentang Perkawinan

2 93 97

Aspek Hukum Sita Marital Terhadap Sengketa Harta Bersama Dalam Perkawinan Menurut Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (Kuhperdata) Dan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan

0 63 163

Hadiah Undian Yang Diperoleh Dalam Perkawinan Dan Kaitannya Dengan Harta Bersama Di Dalam Perkawinan Menurut Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan

8 97 95

Analisis Yuridis Hak Istri Ke-2, Dan Seterusnya Atas Harta Perkawinan Dalam Perkawinan Poligami Ditinjau Dari Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan

0 35 146

Tinjauan Yuridis Terhadap Perkawinan Tanpa Akta Nikah Menurut Undang-Undang No 1 Tahun 1974 Dan Kaitannya Dengan Hukum Islam

3 34 94

Akibat Hukum Perceraian Terhadap Harta Bersama Berdasarkan Undang-Undang Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974 Dan Kompilasi Hukum Islam

0 30 138

Tinjauan Hukum Atas Perkawinan Beda Agama (Islam dan Kristen)Dikaitkan Dengan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan Juncto Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 Tentang Hak Asasi Manusia

0 3 1

BAB 1 PENDAHULUAN A. Latar Belakang - Pelaksanaan Perkawinan Sebagai Sanksi Bagi Pelaku Khalwat Dalam Persepektif Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan dan Kompilasi Hukum Islam (Atudi di Kota Langsa)

0 0 13

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PERKAWINAN A. PERKAWINAN 1. Pengertian dan Tujuan Perkawinan - Tinjauan Yuridis Terhadap Sita Marital Atas Sengketa Harta Bersama Dalam Perkawinan Menurut Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan Dan Kitab Undang-Un

0 0 47