BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Komunikasi 2.1.1. Pengertian Komunikasi - Pengaruh Komunikasi Terapeutik Terhadap Kepatuhan Berobat Penderita Tuberkulosis Paru Rawat Jalan Di RSUD Sidikalang Kabupaten Dairi

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Komunikasi

2.1.1. Pengertian Komunikasi

  Robbin dan Jones (1982) yang dikutip Suryani (2006), mendefinisikan bahwa komunikasi adalah suatu transaksi, proses simbolik yang menghendaki orang-orang mengatur lingkungannya dengan membangun hubungan antar sesama manusia melalui pertukaran informasi untuk menguatkan sikap dan tingkah laku orang lain serta mengubah sikap dan tingkah laku tersebut.

  Disamping itu seperti yang dikutip oleh Suryani (2006), Duldt-Battey (2004) mendefinisikan komunikasi sebagai suatu proses penyesuaian dan adaptasi yang dinamis antara dua orang atau lebih dalam sebuah interaksi tatap muka yang pada saat tersebut terjadi pertukaran ide, makna, perasaan dan perhatian.

  Definisi yang lain, mengemukakan bahwa komunikasi merupakan suatu pertukaran pikiran, perasaan, pendapat, dan pemberian nasehat yang terjadi antara dua orang atau lebih yang bekerjasama. Nursalam (2007) menyatakan komunikasi juga merupakan suatu seni untuk dapat menyusun dan menghantarkan suatu pesan dengan cara yang mudah sehingga orang lain dapat mengerti dan menerima maksud dan tujuan pemberi pesan. Sedangkan Edward Depari dikutip oleh Widjaja (2000), mengemukakan bahwa komunikasi adalah proses penyampaian gagasan, harapan, dan penyampai pesan ditujukan kepada penerima pesan.

  Sementara Mangunjaya (2001) mengatakan bahwa komunikasi adalah suatu proses interaksi dari satu individu dengan individu lainnya. Melalui proses tersebut individu yang satu dapat memengaruhi individu lainnya, serta dapat diperoleh suatu pemahaman bersama. Sebagai suatu proses interaksi, maka komunikasi sebaiknya dilakukan dua arah, serta timbal balik.

  Jadi kalau disimpulkan, komunikasi adalah suatu proses penyampaian dan pertukaran ide, perasaan dan pikiran antara dua orang atau lebih sehingga terjadi perubahan sikap dan tingkah laku bagi semua yang saling berkomunikasi.

  Komunikasi merupakan hal yang sangat penting bagi individu dalam melakukan interaksi. Kadangkala individu merasakan komunikasi menjadi tidak efektif karena kesalahan dalam menafsirkan pesan yang diterimanya. Hal ini disebabkan karena setiap manusia mempunyai keterbatasan dalam menelaah komunikasi yang disampaikan. Kesalahan dalam menafsirkan pesan bisa disebabkan karena persepsi yang berbeda-beda (Graef, 1996).

  Hal ini juga sering terjadi pada institusi pelayanan kesehatan, misalnya pasien sering komplain karena tenaga kesehatan tidak mengerti maksud pesan yang disampaikan pasien, sehingga pasien tersebut menjadi marah dan tidak datang lagi mengunjungi pelayanan kesehatan tersebut. Jika kesalahan penerimaan pesan terus

  Komponen komunikasi adalah hal-hal yang harus ada agar komunikasi bisa berlangsung dengan baik. Menurut Lasweel yang dikutip oleh Dalami (2009) ada beberapa komponen yang terlibat dalam proses komunikasi yaitu:

  1. Komunikator: individu yang bertugas mengirimkan pesan. Dalam prosesnya pengiriman berita menggunakan gagasan yang diwujudkan dalam lambang yang berbentuk kata-kata yang kemudian disampaikan dengan menggunakan media yang berbentuk ucapan, gerak tangan, atau telepon.

  2. Komunikan: pihak lain yang diajak berkomunikasi yang merupakan sasaran dalam kegiatan komunikasi atau orang yang menerima berita/lambang.

  3. Pesan: informasi yang diterima, bisa berupa kata, ide atau perasaan. Pesan akan efektif bila jelas dan terorganisasi yang diekspresikan oleh si pengirim pesan.

  4. Media/saluran komunikasi: saluran penyampaian pesan. Media komunikasi dapat dikategorikan dalam dua bagian yaitu: 1) media umum, ialah media yang dapat digunakan oleh segala bentuk komunikasi, contohnya adalah radio, OHP, dan sebagainya; 2) media massa, ialah media yang digunakan untuk komunikasi massal, misalnya pers, radio, film, dan televisi.

  5. Umpan balik: penerima pesan memberikan informasi/pesan kembali kepada pengirim pesan dalam bentuk komunikasi yang efektif. Umpan balik a. Zero umpan balik. Tidak ada kejelasan umpan balik dari komunikan, komunikan bersifat pasif atau dingin, yang disebabkan pesan kurang jelas, lambang bahasa tidak dipahami, waktu/tempat tidak tepat sehingga komunikasi yang terjadi tidak bermakna.

  b. Umpan balik positif. Umpan balik dapat dimengerti oleh komunikan.

  c. Umpan balik netral. Tanggapan yang diperoleh dari komunikan tidak mempunyai relevansi dengan pesan yang disampaikan.

  d. Umpan balik negatif. Tidak mendukung komunikator. Komunikasi mungkin saja tidak memiliki tujuan dan bersifat kritik.

2.1.3. Bentuk Komunikasi

  Bentuk komunikasi menurut Effendi (2002) yang dikutip Suryani (2006) dibagi empat yakni komunikasi personal, komunikasi kelompok, komunikasi massa dan komunikasi medio. 1) Komunikasi personal Komunikasi personal ada yang bersifat intrapersonal dan interpersonal.

  Komunikasi intrapersonal adalah komunikasi yang dilakukan pada diri sendiri, yakni berupa sensasi, persepsi, memori dan berpikir. Sebagai contoh ketika orang tersebut sedang merenung, melamun tentang dirinya, introspeksi diri, dan lain-lain. Komunikasi intrapersonal dapat berguna untuk interaktif dimana pihak-pihak yang berkomunikasi saling bertukar pesan. Kedua pihak menjadi pengirim maupun penerima pesan. Dalam proses ini si penerima menafsirkan pesan pengirim sebelumnya dan memberi tanggapan dengan pesan yang baru. Dengan kata lain komunikasi interpersonal adalah tatap muka penyampaian informasi dan saling pengertian antara dua orang atau lebih. Pesan-pesan yang disampaikan dapat secara verbal maupun non verbal.

  2) Komunikasi kelompok Komunikasi kelompok bisa berupa komunikasi kelompok kecil, bisa juga kelompok besar. Contoh kelompok kecil adalah komunikasi dosen dan mahasiswa dalam ruang kuliah, ceramah, diskusi kelompok, simposium, dan sebagainya. Komunikasi kelompok besar, misalnya dalam suatu kampanye kesehatan dengan pendengar yang banyak seperti halnya di tanah lapang atau gedung besar.

  3) Komunikasi massa Komunikasi massa (mass communication) adalah komunikasi yang dilakukan dengan perantaraan media, seperti koran, radio, televisi, dan lain-lain.

  4) Komunikasi medio Komunikasi medio (medio communication) adalah suatu komunikasi yang

  Dalam melakukan proses komunikasi terdapat faktor yang memengaruhi isi pesan dan sikap penyampaian pesan. Menurut Potter & Perry (1993) dalam Murwani (2009), faktor yang memengaruhi komunikasi yaitu: 1) Perkembangan

  Dalam berkomunikasi isi dan sikap menyampaikan pesan harus disesuaikan dengan yang diajak bicara seperti anak-anak, remaja, dewasa atau usia lanjut.

  2) Persepsi Persepsi adalah pandangan personal terhadap suatu kejadian. Persepsi dibentuk oleh harapan dan pengalaman. Kadangkala persepsi merupakan suatu hambatan kita dalam berkomunikasi, karena yang kita persepsikan belum tentu sama dengan yang dipersepsikan oleh orang lain.

  3) Nilai Nilai adalah standar yang memengaruhi perilaku sehingga sangat penting bagi pemberi pelayanan kesehatan untuk menyadari nilai seseorang.

  4) Latar belakang budaya Gaya berkomunikasi sangat dipengaruhi oleh faktor budaya. Budaya inilah yang akan membatasi cara bertindak dan berkomunikasi.

  5) Emosi Emosi adalah perasaan subjektif tentang suatu peristiwa. Dalam tidak sampai. 6) Pengetahuan

  Komunikasi akan sulit dilakukan jika orang yang kita ajak berkomunikasi memiliki tingkat pengetahuan yang berbeda. Untuk itu kita harus bisa menempatkan diri sesuai dengan tingkat pengetahuan yang kita ajak bicara. 7) Peran Gaya komunikasi harus disesuaikan dengan peran yang sedang kita lakukan.

  Misalnya ketika kita berperan membantu pasien akan berbeda ketika kita berperan atau berkomunikasi dengan tenaga kesehatan yang lain.

  8) Lingkungan Komunikasi akan lebih efektif jika dilakukan dalam lingkungan yang menunjang, kalau tempatnya bising, ruangan sempit, tidak leluasa untuk berkomunikasi dapat mengakibatkan ketegangan dan tidak nyaman.

2.2. Komunikasi Terapeutik

2.2.1. Pengertian Komunikasi Terapeutik

  Komunikasi merupakan alat bagi perawat untuk mempengaruhi tingkah laku klien dan untuk mendapatkan keberhasilan dalam intervensi keperawatan (Stuart & Sundeen, 1995). Sedangkan terapeutik adalah segala sesuatu yang memfasilitasi proses penyembuhan (Murwani, 2009). penting karena dapat menjadi sarana membina yang baik antara pasien dengan tenaga kesehatan, dapat melihat perubahan perilaku pasien, sebagai kunci keberhasilan tindakan, sebagai tolak ukur kepuasan pasien dan keluhan tindakan serta rehabilitasi.

  Komunikasi terapeutik adalah komunikasi yang direncanakan secara sadar dan bertujuan dan kegiatannya difokuskan untuk kesembuhan pasien, dan merupakan komunikasi profesional yang mengarah pada tujuan untuk penyembuhan pasien (Murwani, 2009).

  2.2.2. Fungsi Komunikasi Terapeutik

  Komunikasi tidak hanya sekedar alat untuk berbicara dengan pasien, petugas kesehatan dan pasien adalah suatu hubungan terapeutik dimana hubungan yang mempunyai tujuan yaitu kesembuhan pasien. Maka dari itu komunikasi terapeutik mempunyai fungsi yaitu:

  1. Mendorong kerja sama antara petugas kesehatan dengan pasien.

  2. Menganjurkan kerja sama antara petugas kesehatan dengan pasien.

  3. Mengatasi persoalan.

  4. Mencegah adanya tindakan negatif terhadap pertahanan diri pasien.

  2.2.3. Tujuan Komunikasi Terapeutik

  Komunikasi terapeutik bertujuan untuk menciptakan hubungan yang baik antara perawat dengan klien guna mendorong klien agar mampu meredakan segala dan klien diperlukan agar tindakan yang dilakukan terhadap klien didasarkan atas kesepakatan bersama. Oleh karena itu, hubungan batin antara perawat dan klien perlu dikembangkan dengan baik. Pada hakekatnya komunikasi terapeutik mengutamakan hubungan batin.

  Upaya yang dilakukan oleh perawat sebaiknya tidak hanya diakhiri oleh penyembuhan saja, akan tetapi diikuti rasa kepercayaan diantara kedua belah pihak atas tindakan pelayanan yang dilakukan. Oleh karena itu emosi perlu terkendali dan pemahaman atas masalah yang dihadapi dan upaya pemecahannya perlu dijaga.

  Seorang perawat dapat menciptakan hubungan komunikasi yang baik dengan pasien bila memiliki kredibilitas, seperti pengetahuan/penguasaan, semangat kerja, kesopanan atau kebaikan perawat, ketulusan, ketrampilan dan cepat tanggap. Selain itu perawat sebaiknya melibatkan pasien dalam proses pengobatan yang dapat meningkatkan kepuasan pasien yang berobat ke tempat pelayanan kesehatan. Perawat yang memiliki pengetahuan luas akan lebih mudah dalam berkomunikasi dengan pasien. Sifat tulus dan semangat perawat dalam menghayati pasien juga dapat meringankan beban dan menimbulkan semangat hidup pasien. Komunikasi dapat menciptakan kepuasan diri pasien, karena melalui proses komunikasi perawat dapat mengetahui keluhan dan keinginan pasien (Murwani, 2009).

  Terapeutik.

  Ada beberapa hal yang harus diperhatikan oleh perawat dalam melakukan komunikasi terapeutik, antara lain sikap perawat dalam komunikasi, pesan (isi informasi) dan teknik komunikasi (Murwani, 2009). 1) Sikap perawat dalam komunikasi

  Sikap menghadirkan diri secara fisik yang dapat memfasilitasi komunikasi yang terapeutik yaitu: a. Berhadapan, arti posisi ini adalah “saya siap untuk Anda”.

  b. Mempertahankan kontak mata, kontak mata pada level yang sama berarti menghargai klien dan menyatakan keinginan untuk tetap berkomunikasi.

  c. Membungkuk kearah klien, posisi ini menunjukkan keinginan untuk mengatakan atau mendengarkan sesuatu.

  d. Mempertahankan sikap terbuka, tidak melipat kaki atau tangan menunjukkan keterbukaan berkomunikasi.

  e. Tetap relaks, tetap dapat mengontrol keseimbangan antara ketegangan dan relaksasi dalam memberikan respons pada klien.

  f. Berjabat tangan, menunjukkan perhatian dan memberikan kenyamanan pada pasien serta penghargaan atas keberadaannya.

  Didalam komunikasi terapeutik pesan yang disampaikan dapat berupa: nasehat, bimbingan, dorongan, informasi perawatan, petunjuk dan sebagainya.

  Pesan dapat disampaikan dalam bentuk lisan atau nonverbal (bahasa tubuh) yang mengikuti bentuk tulisan. Komunikasi tatap muka lebih efektif didalam komunikasi terapeutik bila dibandingkan dengan menggunakan media. Pesan harus memenuhi syarat-syarat sebagai berikut:

  a. Jelas dan ringkas Komunikasi berlangsung efektif, sederhana, pendek dan langsung.

  Makin sedikit kata-kata yang digunakan, makin kecil kemungkinan terjadi kerancuan. Kejelasan dapat dicapai dengan bicara secara lambat dan mengucapkannya dengan jelas. Penggunaan contoh bisa membuat penjelasan lebih mudah dipahami. Ulangi bagian yang penting dari pesan yang disampaikan.

  b. Perbendaharaan kata Penggunaan kata-kata yang mudah dimengerti oleh klien. Komunikasi tidak akan berhasil jika pengirim pesan tidak mampu menerjemahkan kata dan ucapan. Banyak istilah teknis yang digunakan oleh perawat, klien menjadi bingung dan tidak mampu mengikuti petunjuk atau mempelajari informasi penting. Ucapkan istilah pesan yang dimengerti

  Dalam berkomunikasi dengan klien dan keluarganya, perawat harus mampu memilih kata-kata yang tidak banyak disalah tafsirkan, terutama sangat penting ketika menjelaskan tujuan terapi, terapi dan kondisi klien. Arti denotatif memberikan pengertian yang sama terhadap kata yang digunakan, sedangkan arti konotatif merupakan pikiran, perasaan atau ide yang terdapat dalam suatu kata.

  d. Intonasi Suara perawat mampu mempengaruhi arti pesan. Nada suara pembicaraan mempunyai dampak yang besar terhadap arti pesan yang dikirimkan karena emosi seseorang dapat secara langsung mempengaruhi nada suaranya. Perawat harus menyadari emosinya ketika sedang berinteraksi dengan klien karena maksud untuk menyampaikan rasa tertarik yang tulus terhadap klien dapat terhalang oleh intonasi nada suara perawat.

  e. Kecepatan berbicara Keberhasilan komunikasi dipengaruhi oleh kecepatan bicara dan tempo bicara yang tepat. Selaan yang lama dan pengalihan yang cepat pada pokok pembicaraan lain mungkin akan menimbulkan kesan bahwa perawat sedang menyembunyikan sesuatu terhadap klien. memahami arti kata. Selaan yang tepat dapat dilakukan dengan memikirkan apa yang akan dikatakan sebelum mengucapkannya, menyimak isyarat nonverbal dari pendengar yang mungkin menunjukkan ketidakmengertian. Perawat juga bisa menanyakan kepada klien apakah ia berbicara terlalu lambat atau cepat dan perlu untuk diulang.

  3) Teknik komunikasi terapeutik Komunikasi terapeutik dapat berjalan apabila seorang perawat mampu melakukan komunikasi dengan baik dan benar. Beberapa teknik yang dapat dilakukan oleh perawat supaya komunikasi berjalan dengan lancar, yaitu:

  a. Mendengarkan Perawat berusaha mengerti klien dengan cara mendengarkan apa yang disampaikan klien. Sikap yang harus dilakukan: pandang klien saat bicara, tidak menyilangkan kaki/tangan, hindari gerakan yang tidak perlu, anggukkan kepala, condongkan tubuh.

  b. Menunjukkan penerimaan Bersedia untuk mendengarkan orang lain. Sikap yang ditunjukkan: mendengarkan tanpa memutus pembicaraan, memberikan umpan balik, menghindari perdebatan, ekspresi keraguan.

  Menanyakan sesuatu kepada klien yang berhubungan dengan topik yang dibicarakan antara perawat dan klien. Tujuan adalah untuk mendapatkan informasi yang spesifik. Gunakan kata-kata yang sesuai dengan konteks budaya klien.

  d. Mengulang ucapan klien dengan kata-kata sendiri Memberikan umpan balik untuk mengerti pesan klien dan berharap komunikasi dapat dilanjutkkan.

  e. Klarifikasi Perawat berusaha menjelaskan dalam kata-kata atau ide yang tidak jelas dikatakan klien.

  f. Memfokuskan Tujuan adalah membatasi bahan pembicaraan agar percakapan lebih spesifik dan dimengerti. Usahakan tidak memutus pembicaraan ketika klien menyampaikan masalah penting.

  g. Menyatakan hasil observasi Perawat menguraikan kesan yang ditimbulkan oleh isyarat non verbal klien. Membuat klien berkomunikasi lebih jelas.

  h. Menawarkan informasi Tujuan adalah memfasilitasi klien untuk mengambil keputusan.

  Memberi kesempatan kepada perawat dan klien untuk mengorganisasi pikirannya. Hal ini memerlukan keterampilan dan ketepatan waktu.

  Klien dapat berkomunikasi dengan dirinya sendiri, mengorganisasi pikiran dan memproses informasi. Bermanfaat saat klien harus mengambil keputusan. j. Meringkas Pengulangan ide utama yang telah dikomunikasikan secara singkat.

  Tujuannya adalah membantu mengingat topik yang telah dibahas sebelum meneruskan pembicaraan berikutnya. k. Memberikan penghargaan

  Penghargaan jangan sampai menjadi beban untuk klien sehingga ingin dipuji. Contoh: ”Terima kasih sudah mau bekerjasama dengan perawat”. l. Memberi kesempatan klien untuk memulai pembicaraan

  Memberi kesempatan klien untuk memilih topik pembicaraan. Perawat dapat menstimuli untuk membuka pembicaraan. m. Menganjurkan untuk meneruskan pembicaraan

  Memberi kesempatan klien untuk mengarahkan hampir seluruh pembicaraan. Perawat lebih berusaha menafsirkan daripada Menurut Carl Rogers dalam Murwani (2009), terdapat beberapa prinsip yang harus diketahui oleh perawat dalam komunikasi terapeutik, yaitu:

  1. Perawat harus mengenal dirinya sendiri.

  Perawat harus mampu mengenal dirinya sendiri sebelum perawat tersebut mengenal kliennya.ini harus diciptakan sendiri oleh perawat sehingga klien akan percaya ketika perawat memberikan tindakan keperawatan.

  2. Komunikasi harus ditandai dengan sikap saling menerima, percaya, dan menghargai.

  Perawat dan klien harus saling menghargai, perawat tidak boleh menganggap klien rendah, bodoh dan sebagainya. Bagaimanapun klien harus dihargai dan dimanusiakan sebagai klien yang terhormat.

  3. Perawat harus memahami, menghayati nilai yang dianut oleh pasien.

  Perawat harus bisa memahami bahwa klien mempunyai adat, nilai budaya yang berbeda-beda, sehingga perawat bisa memberikan tindakan keperawatan sesuai dengan adat dan nilai luhur yang dianut oleh pasien.

  4. Perawat harus menyadari pentingnya kebutuhan pasien baik fisik maupun mental.

  Klien yang dirawat di rumah sakit tidak hanya sakit secara fisik tetapi juga mental dan emosional. Perawat harus bisa memahami pemenuhan kebutuhan

  Klien yang dirawat di rumah sakit merasakan suasana asing, terlebih lagi bagi klien yang baru pertama kali merasakan dirawat di rumah sakit. Perawat diharapkan mampu menciptakan suasana yang nyaman dan aman bagi klien.

  6. Kejujuran dan terbuka.

  Siapapun individu menginginkan kejujuran, terlebih bagi klien yang dirawat di rumah sakit. Perawat sebelum melakukan tindakan keperawatan diharapkan selalu jujur untuk menyampaikan semua apa yang diberikan kepada klien.

7. Mampu sebagai role model

  Perawat sebagai individu yang merawat klien diharapkan mampu sebagai contoh baik bagi klien individu, keluarga dan masyarakat.

  8. Altruisme Altruisme diartikan sebagai tanpa mengharapkan imbalan atau jasa dan pamrih. Perawat diharapkan dalam memberikan suatu tindakan apapun tidak mengharapkan apapun dari klien.

  9. Bertanggung jawab Setiap tindakan yang dilakukan oleh perawat harus bisa dipertanggungjawabkan baik lisan maupun tulisan (dokumentasi).

2.2.6. Tahapan Hubungan Terapeutik Perawat dan Klien

  Hubungan terapeutik antara perawat dan klien adalah hubungan kerjasama interaksi; fase orientasi; fase kerja; dan fase terminasi (Stuart & Sundeen, 1995).

  1. Fase pra interaksi Pra interaksi mulai sebelum kontak pertama dengan klien. Perawat mengeksplorasi perasaan, fantasi dan ketakutannya, sehingga kesadaran dan kesiapan perawat untuk melakukan hubungan dengan klien dapat dipertanggungjawabkan. Dalam hal ini yakni sebelum perawat melakukan pemeriksaan, maka harus ada tahap: a) tahap mengumpulkan data; b) melihat ekspresi, perasaan dan fantasi klien/pasien; dan c) melakukan perencanaan.

  2. Fase orientasi Memulai atau membuka hubungan dengan klien merupakan hal yang sangat penting dan amat menentukan kelangsungan dan keberhasilan pembicaraan selanjutnya. Tugas perawat pada fase ini adalah: a) memberikan salam dan tersenyum pada klien/pasien; b) melakukan validasi; c) menanyakan nama pasien; d) menanyakan nama panggilan kesukaan klien/pasien; e) memiliki tanggung jawab perawat terhadap klien/pasien; f) memiliki peran perawat dengan klien/pasien; g) memilih kegiatan yang akan dilakukan; h) memilih tujuan; i) merencanakan waktu yang dibutuhkan; dan j) menjaga kerahasiaan.

  3. Fase kerja Apabila klien dengan perawat sudah mulai saling berinteraksi, maka perhatian kesempatan pada klien untuk bertanya; b) menanyakan keluhan utama; c) memulai kegiatan dengan baik; dan d) memulai kegiatan sesuai rencana.

  4. Fase terminasi Terminasi merupakan fase yang sangat sulit dan penting dari hubungan terapeutik. Rasa percaya dan hubungan intim yang terapeutik sudah terbina dan berada pada tingkat optimal. Dalam fase ini terdapat 3 kegiatan yaitu: a) menyimpulkan hasil wawancara; b) melakukan reinforcement; dan c) mengakhiri wawancara dengan baik

2.3. Kepatuhan

2.3.1. Pengertian Kepatuhan

  Kepatuhan menurut Trostle dalam Niven (2002), adalah tingkat perilaku penderita dalam mengambil suatu tindakan pengobatan, misalnya dalam menentukan kebiasaan hidup sehat dan ketetapan berobat. Dalam pengobatan, seseorang dikatakan tidak patuh apabila orang tersebut melalaikan kewajibannya berobat, sehingga dapat mengakibatkan terhalangnya kesembuhan.

  Seseorang dikatakan patuh berobat bila mau datang ke petugas kesehatan yang telah ditentukan sesuai dengan jadwal yang telah ditetapkan serta mau melaksanakan apa yang dianjurkan oleh petugas (Lukman Ali et al, 1999 dalam Yuanasari 2009). Menurut Sarafino (Bart, 1994) mendefinisikan kepatuhan sebagai disarankan oleh dokternya atau yang lain.

  Dalam hal pengobatan TB paru, Depkes RI (2002) mengemukakan bahwa penderita yang patuh berobat adalah yang menyelesaikan pengobatannya secara teratur dan lengkap tanpa terputus selama minimal 6 bulan sampai dengan 8 bulan, sedangkan penderita yang tidak patuh datang berobat dan bila frekuensi minum obat tidak dilaksanakan sesuai rencana yang telah ditetapkan. Penderita dikatakan lalai jika tidak datang lebih dari 3 hari - 2 bulan dari tanggal perjanjian dan dikatakan drop out jika lebih dari 2 bulan berturut-turut tidak datang berobat setelah dikunjungi petugas kesehatan.

2.3.2. Proses Perubahan Sikap dan Perilaku

  Menurut Skinner (1938) dalam teori Stimulus-Organisme-Respon (S-O-R) bahwa perilaku merupakan respon atau reaksi seseorang terhadap stimulus (rangsangan dari luar). Penyebab terjadinya perubahan perilaku tergantung kualitas rangsangan yang berkomunikasi dengan organisme. Proses yang terjadi pada organisme berupa perhatian, pengertian dan penerimaan (Notoatmodjo, 2005).

  Berdasarkan teori S-O-R, perilaku manusia dikelompokkan menjadi dua, yaitu: 1) perilaku tertutup (covert behavior), terjadi bila respon terhadap stimulus masih belum dapat diamati orang lain secara jelas. Respon seseorang masih terbatas dalam bentuk pengetahuan dan sikap terhadap stimulus yang bersangkutan; 2) TB paru minum obat anti TB secara teratur (Notoatmodjo, 2005).

  Sementara menurut Kelman (1955) bahwa perubahan sikap dan perilaku individu dimulai dengan tahap kepatuhan, identifikasi kemudian baru menjadi internalisasi. Mula-mula individu mematuhi anjuran atau instruksi petugas tanpa kerelaan untuk melakukan tindakan tersebut dan seringkali karena ingin menghindari hukuman/sanksi jika tidak patuh atau untuk memperoleh imbalan yang dijanjikan jika mematuhi anjuran tersebut tahap ini disebut tahap kepatuhan (compliance). Biasanya perubahan yang terjadi dalam tahap ini bersifat sementara, artinya bahwa tindakan itu dilakukan selama masih ada pengawasan petugas. Tetapi begitu pengawasan itu mengendur atau hilang, perilaku itupun ditinggalkan (Sarwono, 2007).

  Menurut Kelman, pengawasan itu tidaklah perlu berupa kehadiran fisik petugas atau tokoh otoriter, melainkan cukup rasa takut terhadap ancaman sanksi yang berlaku, jika individu tidak melakukan tindakan tersebut. Dalam tahap ini pengaruh tekanan kelompok sangatlah besar, individu terpaksa mengalah dan mengikuti perilaku mayoritas kelompok meskipun sebenarnya dia tidak menyetujuinya. Namun segera setelah dia keluar dari kelompok tersebut, mungkin sekali perilakunya akan berubah, menjadi perilaku yang diingininya sendiri.

  Kepatuhan individu yang berdasarkan rasa terpaksa atau ketidakpahaman tentang pentingnya perilaku yang baru itu dapat disusul dengan kepatuhan yang petugas atau tokoh tersebut, sehingga ingin mematuhi apa yang dianjurkan atau diinstruksikan tanpa memahami sepenuhnya arti dan mamfaat dari tindakan tersebut, tahap ini disebut proses identifikasi. Meskipun motivasi untuk mengubah perilaku individu dalam tahap ini lebih baik dari pada dalam compliance, namun motivasi ini belum dapat menjamin kelestarian perilaku itu karena individu belum dapat menghubungkan perilaku tersebut dengan nilai-nilai lain dalam hidupnya, sehingga jika dia ditinggalkan petugas atau tokoh idolanya itu maka dia merasa tidak perlu melanjutkan perilaku tersebut.

  Perubahan perilaku individu baru dapat menjadi optimal jika perubahan tersebut terjadi melalui proses internalisasi, dimana perilaku yang baru itu dianggap bernilai positif bagi diri individu dan diintegrasikan dengan nilai-nilai lain dari hidupnya. Internalisasi ini dapat dicapai jika petugas kesehatan merupakan tokoh yang dapat dipercaya (kredibilitasnya tinggi) yang dapat membuat individu/masyarakat sasaran memahami makna dan penggunaan perilaku tersebut serta membuat mereka mengerti akan pentingnya perilaku tersebut bagi kehidupan mereka sendiri. Memang internalisasi ini tidaklah mudah dicapai sebab diperlukan kesediaan individu/masyarakat sasaran untuk mengubah sistem nilai dan kepercayaan mereka agar menyesuaikan diri dengan nilai atau perilaku yang baru.

  Menurut Sarafino (Bart, 1994) ketidaktaatan meningkatkan risiko berkembangnya masalah kesehatan atau memperpanjang, atau memperburuk kesakitan yang sedang diderita. Perkiraan yang ada menyatakan bahwa 20% jumlah opname di rumah sakit merupakan akibat dari ketidaktaatan pasien terhadap aturan pengobatan. Faktor yang memengaruhi kepatuhan seseorang dalam berobat yaitu faktor petugas, faktor obat, dan faktor penderita. Karakteristik petugas yang memengaruhi kepatuhan antara lain jenis petugas, tingkat pengetahuan, lamanya bekerja, frekuensi penyuluhan yang dilakukan. Faktor obat yang memengaruhi kepatuhan adalah pengobatan yang sulit dilakukan tidak menunjukkan ke arah penyembuhan, waktu yang lama, adanya efek samping obat. Faktor penderita yang menyebabkan ketidakpatuhan adalah umur, jenis kelamin, pekerjaan, anggota keluarga, saudara atau teman khusus.

  Dalam hal kepatuhan Carpenito (Niven, 2002) berpendapat bahwa faktor- faktor yang mempengaruhi tingkat kepatuhan adalah segala sesuatu yang dapat berpengaruh positif sehingga penderita tidak mampu lagi mempertahankan kepatuhannya, sampai menjadi kurang patuh dan tidak patuh.

  Adapun faktor-faktor yang mempengaruhi kepatuhan diantaranya:

  1. Pemahaman tentang instruksi Tak seorang pun mematuhi instruksi jika ia salah paham tentang instruksi medis dan memberikan banyak instruksi yang harus di ingat oleh pasien.

  2. Faktor umur Gunarsa (2005) mengemukakan bahwa semakin tua umur seseorang maka proses perkembangan mentalnya bertambah baik, dengan demikian dapat disimpulkan faktor umur akan mempengaruhi tingkat pengetahuan seseorang yang akan mengalami puncaknya pada umur-umur tertentu dan akan menurun kemampuan penerimaan atau mengingat sesuatu seiring dengan usia semakin lanjut. Hal ini menunjang dengan adanya tingkat pendidikan yang rendah.

  3. Kesakitan dan pengobatan Perilaku kepatuhan lebih rendah untuk penyakit kronis (karena tidak ada akibat buruk yang segera dirasakan atau resiko yang jelas), saran mengenai gaya hidup dan kebiasaan lama, pengobatan yang kompleks, pengobatan dengan efek samping, perilaku yang tidak pantas.

  4. Keyakinan, sikap dan kepribadian Ahli psikologis telah menyelidiki tentang hubungan antara pengukuran- pengukuran kepribadian dan kepatuhan. Orang-orang yang tidak patuh adalah orang-orang yang lebih mengalami depresi, ansietas, sangat memerhatikan kesehatannya, memiliki kekuatan ego yang lebih lemah dan yang kehidupan sosialnya lebih memusatkan perhatian pada dirinya sendiri. Ciri-ciri

  Dukungan Keluarga dapat menjadi faktor yang dapat berpengaruh dalam menentukan keyakinan dan nilai kesehatan individu serta menentukan program pengobatan yang akan mereka terima.

  6. Tingkat ekonomi Tingkat ekonomi merupakan kemampuan finansial untuk memenuhi segala kebutuhan hidup, akan tetapi ada kalanya penderita TB sudah pensiun dan tidak bekerja namun biasanya ada sumber keuangan lain yang bisa digunakan untuk membiayai semua program pengobatan dan perawatan sehingga belum tentu tingkat ekonomi menengah ke bawah akan mengalami ketidakpatuhan dan sebaliknya tingkat ekonomi baik tidak terjadi ketidakpatuhan.

  7. Dukungan sosial Dukungan sosial dalam bentuk dukungan emosional dari anggota keluarga teman, waktu, dan uang merupakan faktor penting dalam kepatuhan. Keluarga dan teman dapat membantu mengurangi ansietas yang disebabkan oleh penyakit tertentu, mereka dapat menghilangkan godaan pada ketidakpatuhan dan mereka dapat menjadi kelompok pendukung untuk mencapai kepatuhan.

  8. Dukungan profesi kesehatan Dukungan profesi kesehatan merupakan faktor penting yang dapat memengaruhi perilaku kepatuhan penderita. Dukungan mereka terutama mendukung kepatuhan pasien, dimana jika faktor ini lebih besar daripada hambatannya maka kepatuhan harus mengikuti. Kelima faktor tersebut adalah:

  1. Pendidikan Pendidikan pasien dapat meningkatkan kepatuhan, sepanjang bahwa pendidikan tersebut merupakan pendidikan yang aktif.

  2. Akomodasi Suatu usaha harus dilakukan untuk memahami ciri kepribadian pasien yang dapat mempengaruhi kepatuhan. Sebagai contoh, pasien yang lebih mandiri harus dapat merasakan bahwa ia dilibatkan secara akut dalam program pengobatan, sementara pasien yang lebih mengalami ansietas dalam menghadapi sesuatu, harus diturunkan dulu tingkat ansietasnya dengan cara menyakinkan dia atau dengan teknik-teknik lain sehingga ia termotivasi untuk mengikuti anjuran pengobatan.

  3. Modifikasi faktor lingkungan dan sosial Hal ini berarti membangun dukungan sosial dari keluarga dan teman-teman.

  Kelompok-kelompok pendukung dapat dibentuk untuk membantu kepatuhan terhadap program-program pengobatan seperti pengurangan berat badan, berhenti merokok, dan menurunkan konsumsi alkohol.

  4. Perubahan model terapi untuk selanjutnya dapat mematuhi komponen-komponen yang lebih kompleks.

  5. Interaksi petugas kesehatan dengan pasien Adalah suatu hal penting untuk memberi umpan balik pada pasien setelah memperoleh informasi tentang diagnosis. Pasien membutuhkan penjelasan tentang kondisinya saat ini, apa penyebabnya dan apa yang dapat mereka lakukan dengan kondisi seperti itu. Untuk melakukan konsultasi dan selanjutnya dapat membantu meningkatkan kepatuhan. Sementara menurut Asti (2006) bahwa banyak faktor berhubungan dengan kepatuhan terhadap terapi tuberkulosis, antara lain:

  1. Faktor struktural dan ekonomi Tidak adanya dukungan sosial dan kehidupan yang tidak mapan menciptakan lingkungan yang tidak mendukung program tercapainya kepatuhan pasien.

  2. Faktor pasien Umur, jenis kelamin dan suku/ras berhubungan dengan kepatuhan pasien dibeberapa tempat. Pengetahuan mengenai penyakit tuberkulosis dan keyakinan terhadap efikasi obatnya akan mempengaruhi keputusan pasien untuk menyelesaikan terapinya atau tidak.

  3. Kompleksitas regimen

  Empati dari petugas pelayanan kesehatan memberikan kepuasan yang signifikan pada pasien. Untuk itu, petugas harus memberikan waktu yang cukup untuk memberikan pelayanan kepada setiap pasien.

  5. Cara pemberian pelayanan kesehatan Sistim yang terpadu dari pelayanan kesehatan harus dapat memberikan sistem pelayanan yang mendukung kemauan pasien untuk mematuhi terapinya.

  Dalam sistem tersebut, harus tersedia petugas kesehatan yang berkompeten melibatkan berbagai multidisiplin, dengan waktu pelayanan yang fleksibel.

2.4. Tuberkulosis Paru

2.4.1. Pengertian dan Penyebab TB Paru

  Tuberkulosis yang dulu disingkat menjadi TBC karena berasal dari kata

  

tuberculosis saat ini lebih lazim disingkat dengan TB saja. Tuberkulosis adalah

  penyakit menular langsung yang disebabkan oleh kuman TB (Mycobacterium

  

Tuberculosis ). Sebagian besar kuman TB menyerang paru, tetapi dapat juga

  mengenai organ tubuh yang lainnya. Tuberkulosis bukanlah penyakit keturunan tetapi dapat ditularkan dari seseorang ke orang lain (Sulianti, 2007).

  Mycobacterium tuberculosis bersifat aerob yakni menyukai daerah yang

  banyak oksigen. Oleh karena itu, mikroorganisme ini senang tinggal di daerah apeks paru-paru yang kandungan oksigennya tinggi. Daerah tersebut menjadi tempat yang

  Gejala penyakit TB paru (Depkes RI, 2007), antara lain:

  1. Batuk Gejala batuk timbul paling dini dan merupakan gangguan yang paling sering dikeluhkan. Biasanya batuk ringan sehingga dianggap batuk biasa atau akibat rokok. Proses yang paling ringan ini menyebabkan sekret akan terkumpul pada waktu penderita tidur dan dikeluarkan saat penderita bangun pagi hari.

  2. Dahak Dahak awalnya bersifat mukoid dan keluar dalam jumlah sedikit, kemudian berubah menjadi purulen/kuning atau kuning hijau sampai purulen dan kemudian berubah menjadi kental bila sudah terjadi perlunakan.

  3. Batuk darah Darah yang dikeluarkan penderita mungkin berupa garis atau bercak-bercak darah, gumpalan darah atau darah segar dalam jumlah sangat banyak.

  4. Nyeri dada Nyeri dada pada tuberkulosis paru termasuk nyeri pleuritik yang ringan. Bila nyeri bertambah berat berarti telah terjadi pleuritis luas (nyeri dikeluhkan di daerah aksila, di ujung skapula atau di tempat-tempat lain).

  5. Mengi Mengi terjadi karena penyempitan lumen endobronkus yang disebabkan oleh

  Dispneu merupakan late symptom dari proses lanjut tuberkulosis paru akibat

  adanya restriksi dan obstruksi saluran pernapasan serta loss of vascular

  bed/thrombosis yang dapat mengakibatkan gangguan difusi, hipertensi pulmonal dan korpulmonal.

2.4.3. Klasifikasi Penyakit dan Tipe Pasien TB Paru

  Penentuan klasifikasi penyakit dan tipe pasien tuberkulosis memerlukan suatu “definisi kasus” yang meliputi empat hal, yaitu:

  1. Klasifikasi Berdasarkan Organ Tubuh yang Terkena

  a. Tuberkulosis paru Tuberkulosis paru adalah tuberkulosis yang menyerang jaringan (parenkim) paru, tidak termasuk pleura (selaput paru) dan kelenjar pada hilus.

  b. Tuberkulosis ekstra paru Tuberkulosis yang menyerang organ tubuh lain selain paru, misalnya pleura, selaput otak, selaput jantung (pericardium), kelenjar limfe, tulang, persendian, kulit, usus, ginjal, saluran kencing, alat kelamin, dan lain-lain.

  2. Klasifikasi Berdasarkan Hasil Pemeriksaan Dahak Mikroskopis

  a. Tuberkulosis paru BTA positif dada menunjukkan gambaran tuberkulosis. 3) 1 spesimen dahak SPS hasilnya BTA positif dan biakan kuman TB positif.

  4) 1 atau lebih spesimen dahak hasilnya positif setelah 3 spesimen dahak SPS pada pemeriksaan sebelumnya hasilnya BTA negatif dan tidak ada perbaikan setelah pemberian antibiotika non OAT.

  b. Tuberkulosis paru BTA negatif Kasus yang tidak memenuhi definisi pada TB paru dan BTA positif.

  Kriteria diagnostik TB paru BTA negatif harus meliputi: 1) Paling tidak 3 spesimen dahak SPS hasilnya BTA negatif.

  2) Foto toraks abnormal menunjukkan gambaran tuberkulosis. 3) Tidak ada perbaikan setelah pemberian antibiotika non OAT. 4) Ditentukan (dipertimbangkan) oleh dokter untuk diberi pengobatan.

  3. Klasifikasi Berdasarkan Tingkat Keparahan Penyakit

  a. TB paru BTA negatif foto toraks positif, dibagi berdasarkan tingkat keparahan penyakitnya, yaitu bentuk berat dan ringan. Bentuk berat bila gambaran foto toraks memperlihatkan gambaran kerusakan paru penyakitnya, yaitu: 1) TB ekstra-paru ringan, misalnya: TB kelenjar limfe, pleuritis eksudativa unilateral, tulang (kecuali tulang belakang), sendi, dan kelenjar adrenal. 2) TB ekstra-paru berat, misalnya: meningitis, milier, perikarditis, peritonitis, pleuritis eksudativa bilateral, TB tulang belakang,

  TB usus, TB saluran kemih dan alat kelamin.

  4. Klasifikasi Berdasarkan Riwayat Pengobatan Sebelumnya Klasifikasi berdasarkan riwayat pengobatan sebelumnya dibagi menjadi beberapa tipe pasien, yaitu: a. Kasus baru

  Adalah pasien yang belum pernah diobati dengan OAT atau sudah pernah menelan OAT kurang dari satu bulan (4 minggu).

  b. Kasus kambuh (Relaps) Adalah pasien tuberkulosis yang sebelumnya pernah mendapat pengobatan tuberkulosis dan telah dinyatakan sembuh atau pengobatan lengkap, didiagnosis kembali dengan BTA positif (apusan atau kultur).

  c. Kasus setelah putus berobat (Default) Adalah pasien yang telah berobat dan putus berobat 2 bulan atau lebih

  Adalah pasien yang hasil pemeriksaan dahaknya tetap positif atau kembali menjadi positif pada bulan ke-5 atau lebih selama pengobatan.

  e. Kasus pindahan (Transfer In) Adalah pasien yang dipindahkan dari UPK yang memiliki register TB untuk melanjutkan pengobatannya.

  f. Kasus lain Adalah semua kasus yang tidak memenuhi ketentuan diatas. Dalam kelompok ini termasuk kasus kronik, yaitu pasien dengan hasil pemeriksaan masih BTA positif setelah selesai pengobatan ulangan.

2.4.4. Cara Penularan TB Paru

  Sumber penularan adalah pasien tuberkulosis Basil Tahan Asam (BTA) positif. Pada waktu batuk atau bersin, pasien menyebarkan kuman ke udara dalam bentuk percikan dahak (droplet nuclei). Sekali batuk dapat menghasilkan sekitar 3000 percikan dahak. Umumnya penularan terjadi dalam ruangan dimana percikan dahak berada dalam waktu yang lama. Ventilasi dapat mengurangi jumlah percikan, sementara sinar matahari langsung dapat membunuh kuman.

  Daya penularan seorang pasien ditentukan oleh banyaknya kuman yang dikeluarkan dari parunya. Makin tinggi derajat kepositifan hasil pemeriksaan dahak, makin menular pasien tersebut. Faktor yang memungkinkan seseorang terpajan

  1. Tujuan Pengobatan Pengobatan TB bertujuan untuk menyembuhkan pasien, mencegah kematian, mencegah kekambuhan, memutuskan rantai penularan dan mencegah terjadinya resistensi kuman terhadap OAT (Depkes RI, 2007).

  2. Paduan OAT di Indonesia Kategori 1: 2HRZE/4H3R3 - Tahap intensif terdiri dari Isoniazid (H), Rifampisin (R), Pirazinamid

  (Z) dan Etambutol (E). Obat-obat tersebut diberikan setiap hari selama 2 bulan (2HRZE). Kemudian diteruskan dengan tahap lanjutan yang terdiri dari Isoniazid (H), Rifampisin (R), diberikan tiga kali dalam seminggu selama 4 bulan (4H3R3). Obat ini diberikan untuk: (1) penderita baru TBC paru BTA positif, (2) penderita TBC paru BTA positif rontgen positif yang “sakit berat”, (3) penderita TBC ekstra paru berat.

Tabel 2.1. Dosis dan Jumlah Butir Pemakaian OAT Kategori – 1

  MACAM FASE AWAL/INTENSIF SETIAP HARI FASE LANJUTAN/INTERMITTEN PADUAN & SEMINGGU 3 KALI DOSIS Dosis Butir Lama Kali/hr Dosis Butir Lama Kali/hr OBAT Pengobatan Minum Pengobatan Minum (bulan) Obat (bulan) Obat

  2HRZE/

  4H3R3

  H: Isoniazid 300

1 600

  2 @ 300 mg mg mg 54 4 bulan

  R: Rifampicin 450

  1 60 450

  1 2 bulan @ 450 mg mg mg Z:Pirazinamid 1500

  3 @ 500 mg mg E : Etambutol 750

  3

  • Kategori 2 : 2HRZES/HRZE/5H3R3E3

  3

  3 5 bulan

  1

  2

  60 600 mg 450 mg 1250 mg

  90

  3 3 bulan 2 bulan

  1

  OAT untuk fase awal 60 kombipak II dan untuk fase lanjutan 54 kombipak III masing-masing dikemas dalam 1 dos kecil dan disatukan dalam 1 dos besar.

  1

  300 mg 450 mg 1500 mg 750 mg 750 mg

  2HRZES/ HRZE/5H3R3E3 H : Isoniazid @ 300 mg R : Rifampicin @ 450 mg Z : Pirazinamid @ 500 mg E : Etambutol @ 250 mg S: Streptomicyn @ 1,5 g

Tabel 2.2. Dosis dan Jumlah Butir Pemakaian OAT Kategori – 2 MACAM PADUAN & DOSIS OBAT FASE AWAL/INTENSIF SETIAP HARI FASE LANJUTAN/INTERMITTEN SEMINGGU 3 KALI Dosis Butir Lama Pengobatan (bulan) Kali/hr Minum Obat Dosis Bu tir Lama Pengobatan (bulan) Kali/hr Minum Obat

  Obat ini diberikan untuk: (1) Penderita kambuh (relaps), (2) Penderita gagal (failure), (3) Penderita dengan pengobatan setelah lalai (after default).

  Setelah itu diteruskan dengan tahap lanjutan selama 5 bulan dengan HRE yang diberikan tiga kali dalam seminggu. Perlu diperhatikan bahwa suntikan streptomycin diberikan setelah penderita selesai menelan obat.

  Tahap intensif diberikan selama 3 bulan, yang terdiri dari 2 bulan dengan Isoniazid (H), Rifampisin (R), Pirazinamid (Z) dan Etambutol (E) dan suntikan streptomisin setiap hari di UPK. Dilanjutkan 1 bulan dengan Isoniazid (H), Rifampisin (R), Pirazinamid (Z) dan Etambutol (E) setiap hari.

  66

  (156 dosis), disediakan OAT untuk fase awal 90 kombipak II, dan fase lanjutan 66 kombipak IV dikemas dalam satu dos besar disertai 1 dos Streptomicyn dan 1 dos pelengkap pengobatan (spuit dan aquabidest).

  Kategori 3 : 2HRZ/4H3R3 - Tahap intensif terdiri dari HRZ diberikan setiap hari selama 2 bulan

  (2HRZ), diteruskan dengan tahap lanjutan terdiri dari HR selama 4 bulan diberikan 3 kali seminggu (4H3R3).

Tabel 2.3. Dosis dan Jumlah Butir Pemakaian OAT Kategori – 3

  

MACAM FASE AWAL/INTENSIF SETIAP HARI FASE LANJUTAN/INTERMITTEN

PADUAN & SEMINGGU 3 KALI DOSIS Dosis Butir Lama Kali/hr Dosis Bu Lama Kali/hr OBAT Pengobatan Minum tir Pengobatan Minum (bulan) Obat (bulan) Obat

  2HRZE/

  4H3R3 H:Isoniazid 300 mg

1 600

  2 @ 300 mg 60 mg

  54 4 bulan R:Rifampicin 450 mg

1 450

  1 2 bulan @ 450 mg mg Z:Pirazinamid 1500

  3 @ 500 mg mg E : Etambutol 750 mg

  3 @ 250 mg

  Sehingga untuk 1 penderita BTA negatif (rontgen positif atau ekstra paru) 114 kali dosis harian, disediakan OAT untuk fase awal 60 kombipak I dan untuk fase lanjutan 54 kombipak III yang masing-masing dikemas dalam 1 dos kecil dan disatukan dalam 1 dos besar.

  Bila pada akhir tahap intensif pengobatan penderita baru BTA positif dengan kategori 1 atau penderita BTA positif pengobatan ulang dengan kategori 2, hasil pemeriksaan dahak masih BTA positif, diberikan obat sisipan (HRZE) setiap hari selama 1 bulan.

Tabel 2.4. Dosis dan Jumlah Butir Pemakaian OAT Sisipan (S)

  MACAM PADUAN & DOSIS OBAT FASE AWAL/INTENSIF SETIAP HARI Dosis Butir Butir per hari Lama pengobatan Kali/hr Minum Obat HRZE

  H: Isoniazid @ 300mg R:Rifampicin @ 450 mg Z:Pirazinamid @ 500 mg E : Etambutol @ 250 mg

  300 mg 450 mg 1500 mg 750 mg

  1

  1

  3

  3

  8 1 bulan

  30

  3. Prinsip Pengobatan Depkes RI (2007), pengobatan tuberkulosis dilakukan dengan prinsip-prinsip sebagai berikut: a. OAT harus diberikan dalam bentuk kombinasi beberapa jenis obat, dalam jumlah cukup dan dosis tepat sesuai dengan kategori pengobatan. Jangan gunakan OAT tunggal (monoterapi). Pemakaian OAT-Kombinasi Dosis Tetap (OAT-KDT) lebih menguntungkan dan sangat dianjurkan. lanjutan. Tahap awal (intensif): 1) Pada tahap intensif (awal) pasien mendapat obat setiap hari dan perlu diawasi secara langsung untuk mencegah terjadinya resistensi obat. 2) Bila pengobatan tahap intensif tersebut diberikan secara tepat, biasanya pasien menular menjadi tidak menular dalam kurun waktu 2 minggu. 3) Sebagian besar pasien TB BTA positif menjadi BTA negatif (konversi) dalam 2 bulan.

  Tahap lanjutan: 1) Pada tahap lanjutan pasien mendapat jenis obat lebih sedikit, namun dalam jangka waktu yang lama.

  2) Tahap lanjutan penting untuk membunuh kuman persisten sehingga mencegah terjadinya kekambuhan.

2.4.6. Strategi DOTS

  Strategi DOTS adalah strategi penanggulangan TB paru nasional yang telah direkomendasikan oleh WHO, yang pelaksanaannya di Indonesia dimulai pada tahun 1995. Sebelum pelaksanaan strategi DOTS (1969-1994) angka kesembuhan TB paru yang ditemukan (Aditama, 2002).

  Prinsip DOTS adalah mendekatkan pelayanan pengobatan terhadap penderita agar secara langsung dapat mengawasi keteraturan menelan obat dan melakukan pelacakan bila penderita tidak datang mengambil obat sesuai dengan yang ditetapkan (Permatasari, 2005).

  Strategi DOTS mempunyai lima komponen: 1. Komitmen politis dari para pengambil keputusan, termasuk dukungan dana.

  2. Diagnosa TB dengan pemeriksaan dahak secara mikroskopis.

  3. Pengobatan dengan paduan Obat Anti Tuberkulosis (OAT) jangka pendek dengan pengawasan langsung oleh Pengawas Menelan Obat (PMO).

  4. Kesinambungan persediaan OAT jangka pendek dengan mutu terjamin.

  5. Pencatatan dan pelaporan secara baku untuk memudahkan pemantauan dan evaluasi program penanggulangan TB.

2.4.7. Pencegahan Penularan TB Paru

  Cara pencegahan penularan TB menurut Depkes RI (2007) sebagai berikut: 1. Minum obat TB secara lengkap dan teratur sampai sembuh.

  2. Pasien TB harus menutup mulutnya pada waktu bersin dan batuk karena pada saat bersin dan batuk ribuan hingga jutaan kuman TB keluar melalui percikan dahak. khusus dan tertutup. Misalnya dengan menggunakan wadah tertutup yang sudah diberi karbol/antiseptik atau pasir. Kemudian timbunlah dengan tanah.

  4. Menjalankan Perilaku Hidup Bersih dan Sehat (PHBS), antara lain: a. Menjemur peralatan tidur.

  b. Membuka jendela dan pintu setiap pagi agar udara dan sinar matahari masuk.

  c. Ventilasi yang baik dalam ruangan dapat mengurangi jumlah kuman di udara. Sinar matahari langsung dapat mematikan kuman.

  d. Makan makanan bergizi.

  e. Tidak merokok dan minum minuman keras.

Dokumen yang terkait

Pengaruh Komunikasi Terapeutik Terhadap Kepatuhan Berobat Penderita Tuberkulosis Paru Rawat Jalan Di RSUD Sidikalang Kabupaten Dairi

12 177 150

Pengaruh Efek Samping Obat Anti Tuberkulosis Terhadap Kepatuhan Berobat Tuberkulosis Paru Di Bbkpm Surakarta

1 1 78

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Komunikasi - Faktor-Faktor Yang Berhubungan Dengan Komunikasi Interpersonal Tenaga Kesehatan Terhadap Kepuasaan Pasien Rawat Jalan Di Puskesmas Pandan Kabupaten Tapanuli Tengah Pada Tahun 2014

0 0 25

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Komunikasi (Communication 2.1.1. Prinsip Dasar Komunikasi - Hubungan Komunikasi Interpersonal Petugas Kesehatan dengan Kepatuhan Berobat Penderita TB Paru di Kecamatan Sibolangit Kabupaten Deli Serdang Tahun 2013

0 0 30

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Perjanjian Terapeutik 2.1.1. Pengertian Perjanjian Terapeutik - Analisis Penerapan Informed Consent Di Bagian SMF Bedah dan SMF Kandungan RSUD Deli Serdang Lubuk Pakam

0 1 31

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Tuberkulosis 2.1.1. Definisi Tuberkulosis - Gambaran Peran Serta Petugas Kesehatan Terhadap Kepatuhan Berobat Penderita TB Paru di Kelurahan Gambir Baru Kecamatan Kisaran Timur Tahun 2014

0 0 27

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 1. Konsep Komunikasi Terapeutik - Efektifitas Komunikasi Terapeutik Terhadap Penurunan Kecemasan Ibu Bersalin Seksio Sesarea di RSUD dr. Pirngadi.

0 0 16

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Komunikasi 2.1.1. Pengertian Komunikasi - Pengaruh Komunikasi Interpersonal terhadap Kinerja Perawat Pelaksana Ruang Rawat Inap di Rumah Sakit Umum Daerah dr. Djasamen Saragih Pematangsiantar Tahun 2014

1 1 26

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Program Penanggulangan Tuberkulosis Paru 2.1.1. Tuberkulosis Paru dan Klasifikasi TB Paru - Pengaruh Koordinasi dan Kompetensi Pengelola Program Terhadap Kinerja Pengelola Program Penanggulangan Tuberkulosis Paru di Wilayah Ker

0 1 41

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Pengertian Sirosis Hati - Karakteristik Penderita Sirosis Hati Yang Dirawat Inap Di RSUD Sidikalang Tahun 2007-2011

0 1 21