ANALISIS PENYELENGGARAAN SISTEM PENEGAKAN HUKUM PIDANA DALAM MENGHADAPI TINDAK PIDANA PERDAGANGAN ORANG SEBAGAI KEJAHATAN LINTAS BATAS NEGARA (TRANSNASIONAL)

  

ANALISIS PENYELENGGARAAN SISTEM PENEGAKAN HUKUM

PIDANA DALAM MENGHADAPI TINDAK PIDANA PERDAGANGAN

ORANG SEBAGAI KEJAHATAN LINTAS BATAS NEGARA

(TRANSNASIONAL)

AisyahMudaCemerlang, EkoRaharjo, Firganefi

  email:

  

Abstrak

  Pemerintah Republik Indonesia telah mengesahkan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang (disingkat UU PTPPO). UU PTPPO mengamanatkan bahwa tindakan perdagangan orang terhadap perempuan dan anak harus dihilangkan/dihapuskan karena tindakan itu sangat bertentangan dengan harkat dan martabat manusia serta melanggar hak asasi manusia, sehingga harus diberantas melalui penyelenggaraan sistem penegakan hukum pidana (SPHP). Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan menunjukkan bahwa penyelenggaraan SPHP dalam menghadapi TPPO sebagai kejahatan lintas batas Negara (transnasional) didasarkan pada sistem bekerja/berfungsinya hukum pidana terdiri dari substansi hukum (legal substance), stuktur hukum (legal

  

structure ) dan budaya hukum (legal culture). Penyelenggaraan SPHP belum

  dilakukan sepenuhnya secara integral/koordinasi/kerjasama di antara aparat penegak hokum dalam proses peradilan pidana meliputi penyidikan, penuntutan, pengadilan dan pemasyarakatan. Saran yang dapat dikemukakan adalah penyelenggaraan SPHP dalam menghadapi TPPO sebagai kejahatan lintas batas negara/nasional harus diwujudkan secara integral dan berkualitas yang berorientasi untuk mewujudkan kebenaran dan keadilan substantif.

  Kata kunci: Penyelenggaraan; sistem; TPPO; lintas.

  

ANALYSIS OF IMPLEMENTATION OF CRIMINAL LAW

ENFORCEMENT SYSTEM AGAINST HUMAN TRAFFICKING

OFFENCE AS TRANSNATIONAL CRIME

AisyahMudaCemerlang, EkoRaharjo, Firganefi

  email:

  

Abstract

Government of Republic Indonesia has passed Lawof Republik Indonesia Number

21 of 2007 on the Eradication of Human Trafficking (abbreviated Law EHT). Law

EHT mandates that the action of trafficking of women and children should be

removed/eliminated because the act is contrary to human dignity and human

rights violations, and should be eradicated through criminal law enforcement

system (abbreviated CLES) that is effective to capture the truth and real justice

(substantive). Based on the results of research and discussion shows that the

implementation of CLESagainst human trafficking (HT) as transnationalcrime is

based on the workings of the system/functioning of the criminal law is composed

of legal substances, legal structure and the legal culture. Implementation CLES to

HT not be fully integral/coordination/coorperation between law enforcement

agencies in the criminal justice process includes the investigation, prosecution,

courts, and correctional. Advice giventhatthe authorneeds to be organizing

CLESagainst HT as transnasional crime should be realized integrally and quality.

  

Implementasikan CLES against HT in future be oriented to realize the truth and

substantive justice. Keywords: Implementation; system; trafficking; transnational .

  Pemerintah Republik Indonesia telah mengesahkan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang (disingkat UU PTPPO). UU PTPPO mengamanatkan bahwa tindakan perdagangan orang terhadap perempuan dan anak harus dihilang- kan/dihapuskan. TPPO sangat bertentangan dengan harkat dan martabat manusia serta melanggar hak asasi manusia, sehingga harus diberantas melalui sistem penegakan hukum pidana (disingkat SPHP) yang efektif yang mampu mewujudkan kebenaran dan keadilan yang sesungguhnya (substantif).

  Pelaku tindak pidana perdagangan orang (TPPO) atau dikenal dalam istilah asing human trafficking (HT)/

  trafficking in person (TIP),

  1

  khususnya terhadap perempuan dan anak telah meluas dalam bentuk jaringan kejahatan, baik kejahatan terorganisasi maupun kejahatan perorangan (individu), baik di lingkup dalam negeri maupun telah menjadi kejahatan lintas batas negara (transnasional).

  Jaringan tindak pidana perdagangan orang (TPPO) telah memiliki jangkauan operasi tidak hanya antarwilayah dalam negeri, akan tetapi sudah menjangkau antar- negara. Terjadinya TPPO tidak hanya melibatkan pelaku perorangan 1 HeniSiswanto,

  RekonstruksiSistemPenegakanHukumPida naMenghadapiKejahatanPerdagangan Orang , Pustaka Magister, Semarang,

  dan korporasi, akan tetapi juga penyelenggara negara yang menyalahgunakan wewenang dan kekuasaannya.

I. PENDAHULUAN

  Pelaku TPPO melakukan perekrutan, pengangkutan, pemindahan, penyem- bunyian, atau penerimaan orang untuk tujuan menjebak, menjerumus- kan, atau memanfaatkan orang tersebut dalam praktik eksploitasi dengan segala bentuknya dengan ancaman kekerasan, penggunaan kekerasan, penculikan, pemalsuan, penipuan, penyalahgunaan kekuasa- an atau posisi rentan, atau memberi bayaran atau manfaat, sehingga memperoleh persetujuan dari orang yang memegang kendali atas korban perdagangan orang. Korban diperdagangkan tidak hanya untuk tujuan pelacuran atau bentuk eksploitasi seksual lainnya, tetapi juga mencakup bentuk eksploitasi lain,

  2

  misalnya kerja paksa atau pelayanan paksa, perbudakan, atau praktik serupa perbudakan. Perdagangan orang pada saat ini sudah menjadi sindikasi kejahatan internasional yang luar biasa sebagai kejahatan lintas batas negara. Perdagangan orang menjadi bisnis yang sangat menggiurkan. Uang yang beredar dalam bisnis perdagangan orang ini menempati urutan ketiga setelah perdagang-an narkotika dan

  2 Bentuk-bentuk eksploitasi meliputi kerja paksa atau pelayanan paksa, perbudakan, dan praktik-praktik serupa perbudakan, dalam Penjelasan Umum Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak penyelundupan/perdagangan senjata ilegal.

3 Para pakar penegakan hukum di Asia

  Tenggara menyatakan bahwa sindikat pelaku perdagangan orang terus tumbuh dan menjadi lebih terorganisir dengan memanfaatkan teknologi.

  orang telah meluas keseluruh penjuru dunia, terbantu oleh internet dan perangkat modern lainnya, sehingga sindikat perdagangan orang lebih terencana. Sindikat memiliki sumber daya yang banyak menggunakan teknologi canggih untuk kejahatan mereka.

  Anak Korban Perdagangan , Jurnal Perempuan: Untuk Pencerahan dan Kesetaraan 68, Trafficking dan Kebijakan, Yayasan Jurnal Perempuan, Jakarta, 2010, hlm.16. diunduh pada

  ASEAN Workshop on Combating Trafficking and Commercial Sexual Exploitation of Children, 16-17 July 2012, Jakarta, Indonesia. 7 Emmy L.S., Implementasi UU PTPPO bagi

  ancaman terhadap masyarakat, bangsa, dan negara Indonesia karena mengancam norma-norma kehidupan yang dilandasi penghormatan terhadap kemuliaan hak asasi 6 Op.cit ., Philippines,Trafficking in Persons,

  8 Perdagangan orang sudah menjadi

  oleh Pusat Informasi dan Komunikasi Kementerian Hukum dan HAM RI menunjukkan angka yang sangat memprihatinkan atas terjadinya TPPO, yaitu berdasarkan jenis kelamin, korban trafficking didominasi kaum perempuan sebanyak 89,7%. Sedangkan data berdasarkan umur, korban trafficking dewasa sebanyak 74,77%, anak-anak 25,08% dan balita sebanyak 0,15%.

  7 Demikian pula data yang dikeluarkan

  perempuan dan anak diperdagangkan untuk tujuan seksual. Koalisi Nasional Penghapusan Eksploitasi Seksual Komersial Anak (KONAS PESKA) mencatat 30 persen dari perempuan yang bekerja untuk pelacuran di Indonesia berusia di bawah 18 tahun.

  6 Indonesia diperkirakan 100.000

  dan anak-anak. Mereka dieksploitasi seksual sebagai bentuk paling umum dari perdagangan manusia (79%), kemudian diikuti oleh kerja paksa (18%).

4 Sindikat perdagangan

5 Berbagai laporan terkait perdagangan

  17

  5 Ibid iunduhpadahariSelasa,

   iunduh pada hari Senin, 02 Januari 2012 pukul 10:46 Wib. iunduhpadahariSelasa,

  Demikian pula menurut laporan UNODC, sebagian besar orang yang diperdagangkan adalah perempuan

  memperkirakan hampir 2,5 jutadari 127 negara, warga Negara perempuan dan anak telah diperdagangkan di seluruh dunia.

  Initiative to Fight Trafficking )

  orang yang dikuatkan dengan data korban TPPO menunjukkan setiap tahunnya diperkirakan 1,2 juta perempuan dan anak diperdagangkan secara global untuk tujuan eksploitasi seksual. Menurut laporan lain yang sangat memprihatinkan dikemukakan UNGIFT (United Nations Global

17 Desember 2013Puku 14.23 Wib.

9 Kondisi-kondisi di atas

  manusia.

  mendorong untuk dikeluarkannya UU PTPPO yang bertujuan untuk merespon, mengantisipasi dan menjerat semua jenis tindakan perdagangan orang yang mencakup proses, cara, atau semua bentuk eksploitasi yang mungkin terjadi dalam praktik perdagangan orang.

  UU PTPPO itu sekaligus menjadi perwujudan keinginan bangsa Indonesia untuk mencegah dan menanggulangi TPPO. Penegakan hukum untuk melindungi nilai-nilai luhur bangsa itu didasarkan pada komitmen kerjasama di level nasional, regional dan internasional. Kerja sama itu untuk mengupayakan pencegahan sejak dini secara non- penal (tindakan dan preventif), penanganan dan penindakan perkara secara penal (pidana/represif) dan perlindungan korban dalam kerangka PHP perkara TPPO secara efektif, integral dan berkualitas.

  Berdasarkan uraian latar belakang diatas maka yang menjadi pokok permasalahan dalam penelitian ini adalah (1) Bagaimanakah penyeleng-garaan sistem penegakan hukum pidanadalam menghadapi tindak pidana perdagangan orang sebagai kejahatan lintas batas negara (transnasional)? (2) Apakah faktor-faktor penghambat penyelenggaraan sistem penegakan hukum pidanadalam menghadapi tindak pidana perdagangan orang sebagai kejahatan lintas batas negara (transnasional)? 9 HeniSiswanto, Dimensi Hukum dan Hak

  Asasi Manusia Kejahatan Perdagangan Orang , Penerbit Indepht Publishing,

  II. METODE PENELITIAN

  Pendekatan masalah yang digunakan adalah pendekatan yuridis normatif dan yuridis empiris. Penelitian yang dilakukan dengan studi kepustakaan dan lapangan melalui wawancara terhadap sejumlah narasumber. Data yang terkumpul dan diolah sebagai bahan analisis untuk menjawab permasalahan penelitian.

  III. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN A. Penyelenggaraan Sistem Pene- gakan Hukum Pidana dalam Menghadapi Tindak Pidana Perdagangan Orang sebagai Kejahatan Lintas Batas Negara (Transnasional)

  Penyelenggaraan sistem penegakan hukum pidana(SPHP) dalam menghadapi tindak pidana perdagangan orang (TPPO) sebagai kejahatan lintas batas negara/nasional dimulai dari sistem bekerjanya/berfungsinya hukum pidana terdiri dari substansi hukum pidana, struktur hukum pidana dan budaya hukum pidana.

  Terkait substansi hukum pidana terdiri atas hukum pidana materiel (substantif) (Materielle Strafrecht), hukum pidana formal (hukum acara pidana) (strafverfahrensrecht/straf-

  prozessrecht ) dan hukum

  pelaksanaan pidana (strafvollstrec-

  kungsrecht ). Ketiga sub-sistem

  hukum pidana itu merupakan satu kesatuan sistem pemidanaan, karena tidak mungkin hukum pidana dioperasionalkan/ditegakkan secara konkret hanya mengandalkan salah satu subsistem hukum pidana. Ketiga hukum pidana itu seharusnya diselenggarakan secara integral dan berkualitas. Sistem hukum pidana diselenggara- kan/bekerjanya/berfungsinya/pene- gakannya/operasionalnya secara integral; terpadu; atau dalam satu kesatuan sistem kekuasaan/kewenangan menegakkan hukum pidana. Penyelenggaraan SPHP dalam menghadapi TPPO sebagai kejahatan lintas batas negara (transnasional) terkait struktur hukum pidana (aparat penegak hukum), yaitu substansi hukum pidana diselenggarakan oleh struktur hukum pidana (aparat penegak hukum) pada tahapan proses peradilan pidana melalui 4 (empat) subsistem dalam proses peradilan pidana, yaitu kekuasaan penyidikan; kekuasaan penuntutan; kekuasaan mengadili dan menjatuhkan putusan/pidana; dan kekuasaan pelaksanaan putusan/pidana secara integral dalam satu kesatuan.

  Keempat tahap/subsistem itu merupakan satu kesatuan sistem penegakan hukum pidana (SPHP) yang integral atau sering disebut dengan istilah SPP (Sistem Peradilan Pidana) Terpadu (integrated criminal

  justice system ) terhadap TPPO sebagai kejahatan lintas batas.

  Penyelenggaraan SPHP dalam menghadapi TPPO sebagai kejahatan lintas batas negara (transnasional) terkait budaya hukum pidana meliputi filosofi hukum, asas-asas hukum, kesadaran dan kepatuhan hukum serta pendidikan hukum. Substansi hukum pidana dan struktur hukum pidana (aparat penegak hukum) diselenggarakan pada tahapan proses peradilan pidana melalui 4 (empat) subsistem dalam proses peradilan pidanasecara integral dalam satu kesatuan yang memiliki karakteristik budaya penegakan hukum pidana meliputi filosofi hukum, asas-asas hukum, kesadaran dan kepatuhan hukum serta pendidikan hukum. Penyelenggaraan SPHP saat ini dalam menghadapi TPPO sebagai kejahatan lintas batas negara (transnasional) belum dilakukan sepenuhnya secara integral/ terpadu/integrated/koordinasi/kerja- sama di antara aparat penegak hukum meliputi penyidikan, penuntutan, pengadilan dan pemasyarakatan. Integral diartikandengan mengenai keseluruhannya; meliputi seluruh bagian yang perlu untuk menjadikan lengkap; utuh; bulat; sempurna; tidak terpisahkan; terpadu. Oleh karena itu, sistem penegakan hukum pidana (SPHP) yang integral/sistemik diarti- kan dengan adanya keterjalinan erat/keterpaduan/satu kesatuan dari berbagai sub-sistem (komponen) yang terdiri dari komponen substansi hukum (legal substance), stuktur hukum (legal structure) dan budaya hukum (legal culture) dalam bidang hukum pidana. Penyelenggaraan SPHP secara integral dalam menghadapi TPPO sebagai kejahatan lintas batas negara (transnasional), dapat dinyatakan belum sepenuhnya dilakukan secara integral/terpadu/koordinasi/kerjasam a secara bertahap di antara aparat penegak hukum meliputi tahapan penyidikan, penuntutan, pengadilan dan pemasyarakatan sesuai dengan kedekatan proses/tahapan/jenjang kelembagaan, misalnya di antara penyidikan dengan penuntutan; penuntutan dengan pengadilan; dan pengadilan dengan pemasyarakatan, meskipun diakui terkadang koordinasi/kerjasama antarinstitusi tidak dilakukan secara maksimal karena keterbatasan waktu penanganan perkara dan beban pekerjaan penanganan dan penindakan perkara yang lain sudah menumpuk dan menunggu untuk segera diselesaikan. Apalagi perkara TPPO seringkali terkait dengan kejahatan lintas batas negara yang penanganan pelaku dan korbannya harus berkoordinasi dengan instansi aparat penegak hukum lainnya. Penyelenggaraan SPHP dalam menghadapi TPPO sebagai kejahatan lintas batas negara juga belum dilakukan secara berkualitas (menurut keilmuan hukum pidana), yaitu penyeleng-garaan SPHP dalam menghadapi TPPO sebagai kejahatan lintas batas negara dilakukan secara berkualitas artinya dilakukan menurut keilmuan hukum pidana. Pendekatan keilmuan hukum yang berkualitas meliputi penerapanpendekatan juridis-ilmiah- religius; pendekatan juridis- kontekstual; dan pendekatan juridis berwawasan global/komparatif.Pendekatan keilmuan ini diterapkan terhadap ketiga persoalan pokok hukum pidana materiel, yaitu tindak pidana, kesalahan atau pertanggungjawaban pidana serta pidana dan pemidanaan, yang diatur dalam UU PTPPO. Penerapan pendekatan keilmuan lebih berorientasi untukmewujudkan nilai-nilai kebenaran dan keadilan substantif atau keadilan Pancasila.

  Penyelenggaraan SPHP saat ini dalam menghadapi TPPO sebagai kejahatan lintas batas negara belum sepenuhnya dilakukan secara berkualitas di antara aparat penegak hukum meliputi tahapan penyidikan, penuntutan, pengadilan dan pemasyarakatan, meskipun diakui penerapan keilmuan tidak dilakukan sepenuhnya karena keterbatasan kemampuan akademik aparat penegak hukum dan tumpukan beban pekerjaan yang menuntut penyelesaian dalam waktu yang hampir bersamaan, sehingga waktu untuk mempelajari keilmuan hukum pidana menjadi tidak memungkinkan, kecuali mengandalkan kesaksian ahli yang membantu untuk menerangkan perkara TPPO.

  B. Faktor-faktor Penghambat Penyelenggaraan Sistem Penegakan Hukum Pidanadalam Menghadapi Tindak Pidana Perdagangan Orang sebagai Kejahatan Lintas Batas Negara (Transnasional)

  Hakim Penyelenggaraan sistem penegakan hukum pidana dalam menghadapi TPPO sebagai kejahatan lintas batas negara terdapat faktor- faktor penghambat. Sejumlah faktor- faktor penghambat itu identik sama dengan teori hukum terkait faktor- faktor yang mempengaruhi penegakan hukum dari Soerjono Soekanto yang meliputi kelima faktor, yaitu terkait faktor-faktor per- undang-undangan (substansi hukum); penegak hukum; sarana dan fasilitas yang mendukung; masyarakat, dan; kebudayaan masyarakat, terkait dengan sistem penegakan hukum pidana dalam menghadapi perkara TPPO sebagai kejahatan lintas batas negara (transnasional). eraturan-peraturan hukum yang berlaku dipandang sudah lengkap dan sempurna, akan tetapi suatu regulasi peraturan yang masih memerlukan penyempurnaan/ pembaharuan/pembangunan/pembent ukan hukum pidana secara terus- menerus. Proses merealisasikan tujuan hukum tersebut, sangat ditentukan dari profesionalisme aparat penegak hukum yang meliputi kemampuan, keterampilan dan keahlian sumberdaya manusianya, baik pada tahapan memahami dan menguasai formulasi peraturan- peraturan hukum pidana maupun pada tahapan aplikasi/penerapan hukum pidana secara konkrit terkait UU PTPPO dalam penyelenggaraan sistem penegakan hukum pidana dalam menghadapi tindak pidana perdagangan orang (TPPO) sebagai kejahatan lintas batas negara dan melihat faktor-faktor penghambat terkait penegakan hukum pidana perkara TPPO.

  Menurut Soerjono Soekanto

  10

  bahwa penegakan hukum bukan semata- mata pelaksanaan perundang- undangan saja. Namun juga terdapat faktor-faktor lain yang menghambat penegakan hukum, di antaranya adalah: 1.

   Faktor Perundang-Undangan (Substansi Hukum)

  Praktek menyelenggaraan penegakan hukum di lapangan seringkali terjadi pertentangan antara kepastian hukum dan keadilan karena konsepsi keadilan merupakan suatu rumusan yang bersifat abstrak sedangkan kepastian hukum merupakan prosedur yang telah ditentukan secara normatif. Oleh karena itu, suatu tindakan atau kebijakan atau kebijakan yang tidak sepenuhnya berdasarkan hukum merupakan suatu yang 10 dapat dibenarkan sepanjang kebijakan atau tindakan tersebut tidak bertentangan dengan hukum. Pada hakekatnya penyelenggaraan hukum bukan hanya mencangkup law

  enforcement

  saja, akan tetapi jua

  peace maintenance , karena

  penyelenggaraan hukum sesungguhnya merupakan proses penyerasian antara nilai-nilai dan kaidah-kaidah serta pola perilaku nyata yang bertujuan untuk mencapai kedamaian. Dengan demikian tidak berarti setiap permasalahan sosial hanya dapat diselesaikan oleh hukum yang tertulis, karena tidak mungkin ada peraturan perundang- undangan yang mengatur seluruh tingkah laku manusia, yang isinya jelas bagi setiap warga masyarakat yang diaturnya dan serasi antara ketentuan untuk menerapkan peraturan dengan perilaku yang mendukung.

  2. Faktor Penegak Hukum

  Salah satu kunci dari keberhasil- an dalam penegakan hukum adalah mentalitas atau kepribadian dari penegak hukumnya sendiri. Dalam kerangka penegakan hukum dan implementasi penegakan hukum bahwa penegakan keadilan tanpa kebenaran adalah suatu kebejat- an. Penegakan kebenaran tanpa kejujuran adalah suatu kemunafi- kan. Dalam rangka penegakan hukum oleh setiap lembaga penegak hukum, keadilan dan kebenaran harus dinyatakan, harus terasa dan terlihat serta harus diaktualisasikan.

  3. Faktor Sarana dan Fasilitas yang Mendukung Sarana dan fasilitas yang mendukung mencakup tenaga manusia yang berpendidikan dan terampil, organisasi yang baik, peralatan yang memadai, keuangan yang cukup. Tanpa sarana dan fasilitas yang memadai, penegakan hukum tidak dapat berjalan dengan lancar dan penegak hukum tidak mungkin menjalankan peranan- nya sebagaimana mestinya.

  4. Faktor Masyarakat

  Masyarakat mempunyai pengaruh yang kuat terhadap pelaksanaan penegakan hukum. Sebab penegakan hukum berasal dari masyarakat dan bertujuan untuk mencapai dalam masyarakat. Bagian yang terpenting dalam menentukan penegak hukum adalah kesadaran hukum masyarakat. Semakin tinggi kesadaran hukum masyarakat, maka akan semakin memungkinkan penegakan hukum yang baik. Sebaliknya semakin rendah tingkat kesadaran hukum masyarakat, maka akan semakin sukar untuk melaksanakan penegakan hukum yang baik.

  Adanya kesadaran hukum masyarakat yang memungkinkan dilaksanakannya penegakan hukum, apabila memenuhi hukum karena keikhlasannya, merasakan hukum itu berguna dan mengayominya. Dengan kata lain, hukum dipatuhi karena merasakan bahwa hukum itu berasal dari hati nurani.

  5. Faktor Kebudayaan

  Kebudayaan Indonesia merupakan dasar dari berlakunya hukum adat. Berlakunya hukum tertulis (perundang-undangan) harus mencerminkan nilai-nilai yang menjadi dasar hukum adat.

  Dalam penegak hukum, semakin banyak penyesuaian antara peraturan perundang-undangan dengan kebudayaan masyarakat, maka akan semakin mudahlah dalam menegakkannya. Sebaliknya, apabila peraturan- peraturan perundang-undangan tidak sesuai atau bertentangan dengan kebudayaan masyarakat, maka akan semakin sukar untuk melaksanakan dan menegakkan peraturan hukum tersebut. Dengan demikian, menurut keterangan dan penjelasan dari sejumlah narasumber di atas, kemudian dianalisis dengan menerapkan teori hukum terkait faktor-faktor yang mempengaruhi penegakan hukum, maka faktor- faktor penghambat dalam penyelenggaraan sistem penegakan hukum pidana(SPHP) dalam menghadapi tindak pidana perdagangan orang (TPPO) sebagai kejahatan lintas batas negara/nasionalmeliputi, faktor pertama adalah faktor perundang- undangan (substansi hukum) yang menjadi dasar dalam penegakan hukum pidana meliputi hukum pidana materiel, hukum pidana formal dan hukum pelaksanaan pidana terkait UU PTPPO. Penyelenggaraan SPHP dalam menghadapi TPPO sebagai kejahatan lintas batas negara (transnasional) terkait struktur hukum pidana (aparat penegak hukum), yaitu substansi hukum pidana diselenggarakan oleh struktur hukum pidana (aparat penegak hukum) pada tahapan proses peradilan pidana melalui 4 (empat) subsistem dalam proses peradilan pidanasecara integral dalam satu kesatuan. Keempat tahap/subsistem itu merupakan satu kesatuan sistem penegakan hukum pidana (SPHP) yang integral. Penyelenggaraan SPHP dalam menghadapi TPPO sebagai kejahatan lintas batas negara (transnasional) terkait budaya hukum pidana meliputi filosofi hukum, asas-asas hukum, kesadaran dan kepatuhan hukum serta pendidikan hukum. Substansi hukum pidana dan struktur hukum pidana (aparat penegak hukum) diselenggarakan pada tahapan proses peradilan pidana melalui 4 (empat) subsistem dalam proses peradilan pidanasecara integral dalam satu kesatuan yang memiliki karakteristik budaya penegakan hukum pidana meliputi filosofi hukum, asas-asas hukum, kesadaran dan kepatuhan hukum serta pendidikan hukum.

  Faktor kedua, adalah faktor penegak hukum terkait kualitas SDM aparat penegak hukum terhadap penanganan dan penindakan perkara TPPO meliputi 4 (empat) subsistem dalam proses peradilan pidana, yaitu kekuasaan penyidikan; kekuasaan penuntutan; kekuasaan mengadili dan menjatuhkan putusan/pidana; dan kekuasaan pelaksanaan putusan/pidana secara integral dalam satu kesatuan; Faktor ketiga, adalah faktor sarana dan fasilitas yang mendukung penegakan hukum pidana perkara TPPO sebagai kejahatan lintas batas negara yang memerlukan bantuan dan kerjasama antardua negara, kawasan, multilateral dan internasional; Faktor keempat, adalah faktor masyarakat terhadap daya dukung penegakan hukum pidana terhadap perkara TPPO; dan, faktor kelima, adalah faktor kebudayaan yang tumbuhdan berkembang di masyarakat Lampung terkait penegakan hukum pidana perkara TPPO.

  III. SIMPULAN

  Berdasarkan hasil pembahasan mengenai permasalahan yang dibahas dalam penelitian pada bab sebelumnya, maka dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut:

  1. Penyelenggaraan sistem penegakan hukum pidana (SPHP) dalam menghadapi tindak pidana perdagangan orang (TPPO) sebagai kejahatan lintas batas negara/nasional didasarkan pada sistem bekerjanya/berfungsi-nya hukum pidana terdiri dari substansi hukum pidana, struktur hukum pidana dan budaya hukum pidana. Terkait substansi hukum pidana terdiri atas hukum pidana materiel/substantif(Materielle

  Strafrecht ), hukum pidana

  formal/hukum acara pidana (strafverfahrensrecht/strafprozess-

  recht ) dan hukum pelaksanaan pidana (strafvollstreckungsrecht).

  2. Dasar Faktor-faktor peng- hambatnya meliputi faktor perundang-undangan (substansi hukum) yang menjadi dasar dalam penegakan hukum pidana meliputi hukum pidana materiel, hukum pidana formal dan hukum pelaksanaan pidana terkait perkara TPPO; faktor penegak hukum terkait kualitas SDM aparat penegak hukum terhadap penanganan dan penindakan perkara TPPO; faktor sarana dan fasilitas yang mendukung penegakan hukum pidana perkara TPPO; faktor masyarakat terhadap daya dukung penegakan hukum pidana terhadap perkara TPPO; dan, faktor kebudayaan terkait untuk mewujudkan penegakan hukum pidana perkara TPPO secara efektif, integral dan berkualitas

DAFTAR PUSTAKA

  Emmy L.S., Implementasi UU

  PTPPO bagi Anak Korban Perdagangan , Jurnal

  Perempuan: Untuk Pencerahan dan Kesetaraan 68, Trafficking

  dan Kebijakan, Yayasan Jurnal Perempuan, Jakarta, 2010.

  Philippines,Trafficking in Persons, ASEAN Workshop on Combating Trafficking and Commercial Sexual Exploitation of Children, 16-17 July 2012, Jakarta, Indonesia.

  Siswanto, Heni, Rekonstruksi Sistem

  Penegakan Hukum Pidana Menghadapi Kejahatan Perdagangan Orang , Pustaka Magister, Semarang, 2013.

  • ,Dimensi Hukum dan Hak

  Asasi Manusia Kejahatan Perdagangan Orang , Penerbit

  Indepht Publishing, Bandar Lampung, 2014. Soekanto,Soerjono,

  PengantarPenelitianHukum , Jakarta: UI-Press.

  Undang-Undang RI Nomor 21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang.

Dokumen yang terkait

PERANAN KEPOLISIAN DALAM PROSES PENYIDIKAN TERHADAP TINDAK PIDANA PERAMPOKAN DAN PEMBUNUHAN BERENCANA PADA SATU KELUARGA (Studi di Wilayah Hukum Kepolisian Daerah Lampung) Oleh Fima Agatha, Diah Gustiniati, Firganefi (Email: fimaagathagmail.com) Abstrak -

0 0 11

PERTANGGUNG JAWABAN PIDANA PELAKU PENGANCAMAN TERHADAP ANGGOTA POLRI YANG DILAKUKAN OLEH ANAK (STUDI PUTUSAN PN NOMOR: 701/Pid.B/2014/PN.Tjk)

0 0 12

ANALISIS PUTUSAN PENGADILAN TINGGI TANJUNG KARANG PERKARA No. 3/PID.SUS-TPK/2014/PT.TJK TENTANG TINDAK PIDANA KORUPSI DANA SERTIFIKASI PENDIDIKAN

0 0 11

KEBIJAKAN PEMERINTAH PROVINSI DKI JAKARTA DALAM PEMUNGUTAN RETRIBUSI TEMPAT PEMAKAMAN UMUM NON MEWAH ( STUDI KASUS : TPU JOGLO BLOK A BALAD 004 SRENGSENG )

0 2 15

PENEGAKAN HUKUM PIDANA TERHADAP TINDAK PIDANA KORUPSI DANA PENGHAPUSAN ASET MILIK PEMERINTAH KOTA BANDAR LAMPUNG Gracelda Syukrie, Diah Gustiniati, Rini Fathonah Email: graceldasyukriegmail.com

0 0 11

ANALISIS PERTIMBANGAN HUKUM HAKIM TERHADAP TINDAK PIDANA PERKOSAAN YANG DILAKUKAN OLEH ORANG TUA KANDUNG (Studi Putusan No. 222/Pid.Sus/2014/PN. Kot)

0 0 15

KEDUDUKAN HUKUM SURAT KETERANGAN PENDAFTARAN TANAH DALAM LELANG EKSEKUSI OBJEK HAK TANGGUNGAN

0 0 15

IMPLEMENTASI BATAS USIA MINIMAL DALAM PERKAWINAN BERDASARKAN UU NOMOR 1 TAHUN 1974

0 0 15

ANALISIS KRIMINOLOGIS TERHADAP TINDAK PIDANA KORUPSI PENYALAHGUNAAN WEWENANG DALAM JABATAN PEMERINTAHAN DI BANDAR LAMPUNG Indah Nurfitria, Maroni, Rini Fathonah email: (indahnur1204gmail.com)

0 0 12

IMPLEMENTASI KEBIJAKAN REMUNERASI DOSEN DI UNIVERSITAS LAMPUNG SEBAGAI PERGURUAN TINGGI NEGERI BADAN LAYANAN UMUM

0 2 15