Kualitas Pendidikan Pengangguran dan Kew (1)
Kualitas Pendidikan, Pengangguran dan Kewirausahaan
Jufriadi *
* Dosen IAIN Palopo
Sistem pendidikan di Indonesia harus dikaji ulang. Pasalnya, sumber Daya Manusia (SDM)
yang dihasilkan belum siap berkompetisi, demikian dikatakan Menteri Perencanaan Pembangunan
Nasional (PPN)/Kepala Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) Sofyan Djalil
sebagaimana dikutip oleh Merdeka.com. Menurutnya, Sistem pendidikan di Indonesia belum
mampu menghasilkan alumni yang kompetitif dan berkualitas sebagaimana yang diharapkan,
padahal sekarang ini kita segera memasuki era MEA, yang mengharuskan kita bersaing dengan
tenaga kerja asing yang akan menyerbu masuk dan bersaing dengan para alumni yang kita
hasilkan. Pertanyaan kita selanjutnya adalah mengapa Sofyan Jalil mengatakan kualitas
pendidikan kita rendah, apa indikatornya, apa yang mestinya kita lakukan untuk memperbaiki
keadaan ini, dan siapa yang mesti melakukannya?
Pendidikan selayaknya menghasilkan tenaga-tenaga yang berkarakter, berilmu dan terampil
sebagaimana yang dari awal dicitatakan oleh pendidikan itu sendiri. Hal ini sebagaimana
dijelaskan dalam Undang-Undang Pendidikan No 20 Tahun 2003, Pasal 3 “Pendidikan nasional
berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang
bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya
potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha
Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang
demokratis serta bertanggung jawab”. Dengan demikian bahwa Pendidikan sejatinya telah
didesain untuk menghasilkan anak-anak bangsa yang berkarakter, berilmu dan terampil.
Ideliasme pendidikan yang dicanangkan oleh para tokoh nasional kita sesungguhnya telah
diarahkan munuju sebuah cita-cita yang sangat baik, yang semestinya menghasilkan tenaga-tenaga
terampil, berilmu dan beretika tinggi. Cita-cita yang belum sejalan dengan apa yang diraih inilah
yang membuat bapak Sofyan Jalil, mencolek kita terutama para praktisi pendidikan dari hulu
hingga hilir untuk kembali berfikir dimana letak kesalahan sistem pendidikan kita selama ini.
Berikut ini penulis mencoba mensintesa isu-isu pendidikan yang segera mesti dibenahi:
Kurikulum, Kurikulum di Indonesia adalah salah satu isu paling seksi di dunia pendidikan.
Tentu para ahli sepakat bahwa kurikulum harus senantiasa diperbaruhi sesuai dengan tuntutan
perkembangan jaman. Di negeri ini, kurikulum mengalami perubahan yang cukup sering, dari
KBK 2004, lalu KTSP 2006 dan terakhir Kurikulum 2013 yang sering disingkat K13. Melihat dari
tahun perubahannya saja, kita bisa berkesimpulan bahwa perubahan kurikulum lebih bersifat
project based. Para pengambil kebijakan sepertinya berlomba-lomba membuat perubahan
kurikulum bukan demi sesuatu yang signifikan dalam perbaikan pendidikan melainkan demi
keuntungan projek, mulai dari pengadaan buku, pelatihan TOT, training-training, seminar dan lainlain. Padahal semestinya perubahan kurikulum dibuat demi sebuah perbaikan sistem pendidikan
secara signifikan. Tidaklah heran ada ungkapan mengatakan, ganti menteri ganti kurikulum.
Bukan ungkapan, tapi inilah kenyataan.
Apakah perubahan Kurikulum dari KBK 2004, lalu KTSP 2003 dan K13 tahun 2013 dibuat
tidak demi perubahan signifikan? Jufriadi (2014) dalam artikelnya di Jurnal Pedagogik, Vol 1
No.2, secara gamblang menjelaskan beberapa asumsi yang diajukan oleh K13 sebagai kelebihan
dibandingkan dengan KTSP yang sesungguhnyalebih bersifat klaim dari pengambil kebijakan.
Klaim pertama, bahwa KTSP memberikan pembelajaran yaang lebih aktif, kreatif, efektif
dan Menyenangkan. Asumsi tersebut terbantahkan karena dalam panduan kurikulum KTSP juga
digariskan bahwa proses pembelajan dilakukan secara efektif, kreatif dan menyenangkan. Kedua,
Struktur Kurikulum lebih bagus. Struktur kurikulum adalah pola dan susunan mata pelajaran yang
harus ditempuh oleh peserta didik dalam kegiatan pembelajaran. Kedalaman muatan kurikulum
pada setiap mata pelajaran pada setiap satuan pendidikan dituangkan dalam kompetensi yang
harus dikuasai peserta didik sesuai dengan beban belajar yang tercantum dalam struktur
kurikulum. Dengan melihat struktur kurikulum K13 dan KTSP, justru menunjukkan bahwa KTSP
lebih ramping dari sisi jam pelajaran setiap pekannya, namun memberikan hasil yang lebih
memuaskan. Ketiga, Guru lebih mudah menerapkan K13. Asumsi ketiga tersebut juga belum
dapat dipertanggungjawabkan mengingat bahwa K13 masih sangat baru. Berdasarkan pada
masing-masing panduan kedua kurikulum tersebut, justru menunjukkan KTSP lebih mudah dan
lebih otonomik, karena melibatkan melibatkan guru dalam MGMP dan PKG, untuk terlibat secara
langsung mendesain pembelajaran yang sesuai dengan konteks siswa dan sekolah.
Kualitas Guru. Apa yang dilakukan oleh para pengambil kebijakan untuk peningkatan
kualitas Guru? Salah satunya adalah Sertifikasi Guru. Lalu apakah Sertifikasi memberikan
perubahan signifikan? Ternyata hasil penelitian membuktikan bahwa sertifikasi yang dicanangkan
sedari awal untuk peningkatan kualitas ternyata belum mampu berkonstribusi secara maksimal
dalam perbaikan kualitas guru dan kualitas pendidikan secara keseluruhan. Sertifikasi Guru yang
belum maksimal dalam upaya peningkatan kualitas pengajaran, perlu segera dievaluasi untuk
mencari kelemahan-kelemahannya, keungulannya dan upaya perbaikannya. Sertifikasi selayaknya
dilakukan dengan lebih transparan, dengan indikator penilaian yang ketat, tentu dengan
remunerasi yang lebih baik.
Ujian Nasional: Ujian nasional juga menjadi isu yang setiap tahun menjadi pembicaraan
dalam dunia pendidikan. Ujian nasional yang awalnya dilakukan untuk menentukan kelulusan
siswa, telah lama menjadi rutinitas formalistik di dunia pendidikan kita. Ujian nasional tidak lagi
memberikan indikator prestasi siswa akibat ulah sebagian besar para praktisi pendidikan yang
berlomba-lomba melakukan kecurangan. Sebagian guru membantu siswa untuk mengerjakan
ujian, oknum kepala sekolah membantu memuluskan kecurangan, demikian pula sebagian oknum
kadis pendidikan melakukan hal yang sama demi satu target prestasi palsu yang dilakukan secara
berjamaah. Kini apa yang dilakukan oleh Menteri Pendidikan dasar dan menengah, Anies
Baswedan, patut mendapatkan jempol yang menjadikan ujian nasional tidak sebagai penentu
utama kelulusan, melainkan sebagai indikator pemetaan pendidikan secara nasional. Jika
demikian, para siswa, guru, kadis dan bupati tak lagi perlu melakukan kecurangan yang
mencoreng dunia pendidikan dan sama sekali jauh dari upaya peningkatan kualitas pendidikan
secara komprehensif.
Tiga isu seksi di dunia pendidikan, meliputi revisi kurikulum, kualitas guru dan ujian
nasional, pada dasarnya menjadi titik awal yang harus harus diperbaiki demi perbaikan kualitas
pendidikan. Kurikulum tentunya memerlukan peninjauan ketika kurikulum telah secara signifikan
memerlukan perubahan, dan bukan karena project oriented. Dalam konteks Indonesia,
kurikulumnya layaknya belum diganti mengingat kurikulum KTSP 2006 masih sangat bagus baik
dilihat pada sisi muatan kurikulum, standar kompetensi dan model penilaian, yang sejati tidak
memiliki perbedaan signifikan sebagaimana diklaim oleh K13. Para Guru memerlukan
peningkatan kualitas dalam segala hal terutama penguasaan model-model pembelajaran, sehingga
yang diperlukan saaat ini bukan pada perbaikan kurikulum yang secara nyata tidak memiliki
perbedaan signifikan dari pendahulunya, melainkan sangat dibutuhkan training-training
pembelajaran, evaluasi pembelajaran yang dilakukan oleh guru, evaluasi oleh masyarakat,
pelibatan masyarakat secara lebih intensif dalam perbaikan pendidikan di sekolah, peningkatan
anggaran di dunia pendidikan, pemberian fasilitas pembelajaran untuk para guru, seperti laptop
dan alat peraga pembelaran lainnya, dan seterusnya. Secara keseluruhan bukan perubahan
kurikulum yang keseringan yang diperlukan, melainkan bagaimana mengawal pelaksanaan
kurikulum sehingga kurikulum secara maksimal dijalankan. Para guru harus terus dilatih,
dievaluasi, difasilitasi dan diberikan reward secara maksimal bagi yang berprestasi.
Dana trilyunan yang dihamburkan untuk revisi kurikulum selayaknya bukan untuk revisi
kurikulum melainkan untuk perbaikan pelaksanaan kurikulum KTSP 2006. Dana tersebut
selayaknya digunakan untuk mengevaluasi kualitas guru, memberikan fasilitas multimedia bagi
setiap guru dan dosen, peningkatan sarana dan prasarana pendidikan, pengadaan buku-buku teks
untuk semua siswa setiap tahun secara gratis, dan sebagainya, dari pada dihamburkan untuk revisi
kurikulum yang ternyata tidak lebih bagus dari sebelumnya.
Pengangguran dan Kewirausahaan.
Demikianlah hasil dari pendidikan kita. Kita terus berupaya menghasilkan alumni. Jumlah
alumni perguruan tinggi makin banyak, namun jumlah pengangguran pun semakin besar.
Kenyataan ini semestinya menyadarkan para praktisi pendidikan terutama pengambil kebijakan di
dunia pendidikan, untuk bertanya dimana salahnya pendidikan kita. Pendidikan belum mampu
memberikan keterampilan yang maksimal, karakter disiplin, kerja keras, dan tanggung jawab
belum mampu didesain terhadap semua alumni yang dihasilkan. Perguruan tinggi lebih asyik
membangun opini kualitas yang masih sulit dipertanggungjawabkan. Perguruan tinggi
menghasilkan sarjana yang hanya mau jadi PNS. Pendidikan kewirausaahaan yang telah lama
dimasukkan dalam kurikulum belum mampu berkonstribusi terhadap lahirnya wirausahawanwirausahawan baru. Perguruan Tinggi semestinya segera sadar untuk segera merancang model
pelatihan yang benar-benar secara statistik mampu menghasilkan wirausahawan muda dan hebat
di masa depan. Tentu PT tak hanya boleh mangklaimnya hanya karena ada Mata Kuliah
kewirausahaa dalam kurikulumnya, tetapi harusnya ada data seberapa signifikan Mata kuliah
tersebut mendidik mahasiswa untuk berwira usaha, adakah langkah-langkah konkrit PT untuk
bersinergi dengan pemerintah pusat, dan pemerintahan di daerah untuk secara bersama-sama
melakukan pelatihan, pendampingan dan juga pemberian modal usaha untuk terwujudnya
wirasahawan di masa depan. Sudahkah?
Jufriadi *
* Dosen IAIN Palopo
Sistem pendidikan di Indonesia harus dikaji ulang. Pasalnya, sumber Daya Manusia (SDM)
yang dihasilkan belum siap berkompetisi, demikian dikatakan Menteri Perencanaan Pembangunan
Nasional (PPN)/Kepala Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) Sofyan Djalil
sebagaimana dikutip oleh Merdeka.com. Menurutnya, Sistem pendidikan di Indonesia belum
mampu menghasilkan alumni yang kompetitif dan berkualitas sebagaimana yang diharapkan,
padahal sekarang ini kita segera memasuki era MEA, yang mengharuskan kita bersaing dengan
tenaga kerja asing yang akan menyerbu masuk dan bersaing dengan para alumni yang kita
hasilkan. Pertanyaan kita selanjutnya adalah mengapa Sofyan Jalil mengatakan kualitas
pendidikan kita rendah, apa indikatornya, apa yang mestinya kita lakukan untuk memperbaiki
keadaan ini, dan siapa yang mesti melakukannya?
Pendidikan selayaknya menghasilkan tenaga-tenaga yang berkarakter, berilmu dan terampil
sebagaimana yang dari awal dicitatakan oleh pendidikan itu sendiri. Hal ini sebagaimana
dijelaskan dalam Undang-Undang Pendidikan No 20 Tahun 2003, Pasal 3 “Pendidikan nasional
berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang
bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya
potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha
Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang
demokratis serta bertanggung jawab”. Dengan demikian bahwa Pendidikan sejatinya telah
didesain untuk menghasilkan anak-anak bangsa yang berkarakter, berilmu dan terampil.
Ideliasme pendidikan yang dicanangkan oleh para tokoh nasional kita sesungguhnya telah
diarahkan munuju sebuah cita-cita yang sangat baik, yang semestinya menghasilkan tenaga-tenaga
terampil, berilmu dan beretika tinggi. Cita-cita yang belum sejalan dengan apa yang diraih inilah
yang membuat bapak Sofyan Jalil, mencolek kita terutama para praktisi pendidikan dari hulu
hingga hilir untuk kembali berfikir dimana letak kesalahan sistem pendidikan kita selama ini.
Berikut ini penulis mencoba mensintesa isu-isu pendidikan yang segera mesti dibenahi:
Kurikulum, Kurikulum di Indonesia adalah salah satu isu paling seksi di dunia pendidikan.
Tentu para ahli sepakat bahwa kurikulum harus senantiasa diperbaruhi sesuai dengan tuntutan
perkembangan jaman. Di negeri ini, kurikulum mengalami perubahan yang cukup sering, dari
KBK 2004, lalu KTSP 2006 dan terakhir Kurikulum 2013 yang sering disingkat K13. Melihat dari
tahun perubahannya saja, kita bisa berkesimpulan bahwa perubahan kurikulum lebih bersifat
project based. Para pengambil kebijakan sepertinya berlomba-lomba membuat perubahan
kurikulum bukan demi sesuatu yang signifikan dalam perbaikan pendidikan melainkan demi
keuntungan projek, mulai dari pengadaan buku, pelatihan TOT, training-training, seminar dan lainlain. Padahal semestinya perubahan kurikulum dibuat demi sebuah perbaikan sistem pendidikan
secara signifikan. Tidaklah heran ada ungkapan mengatakan, ganti menteri ganti kurikulum.
Bukan ungkapan, tapi inilah kenyataan.
Apakah perubahan Kurikulum dari KBK 2004, lalu KTSP 2003 dan K13 tahun 2013 dibuat
tidak demi perubahan signifikan? Jufriadi (2014) dalam artikelnya di Jurnal Pedagogik, Vol 1
No.2, secara gamblang menjelaskan beberapa asumsi yang diajukan oleh K13 sebagai kelebihan
dibandingkan dengan KTSP yang sesungguhnyalebih bersifat klaim dari pengambil kebijakan.
Klaim pertama, bahwa KTSP memberikan pembelajaran yaang lebih aktif, kreatif, efektif
dan Menyenangkan. Asumsi tersebut terbantahkan karena dalam panduan kurikulum KTSP juga
digariskan bahwa proses pembelajan dilakukan secara efektif, kreatif dan menyenangkan. Kedua,
Struktur Kurikulum lebih bagus. Struktur kurikulum adalah pola dan susunan mata pelajaran yang
harus ditempuh oleh peserta didik dalam kegiatan pembelajaran. Kedalaman muatan kurikulum
pada setiap mata pelajaran pada setiap satuan pendidikan dituangkan dalam kompetensi yang
harus dikuasai peserta didik sesuai dengan beban belajar yang tercantum dalam struktur
kurikulum. Dengan melihat struktur kurikulum K13 dan KTSP, justru menunjukkan bahwa KTSP
lebih ramping dari sisi jam pelajaran setiap pekannya, namun memberikan hasil yang lebih
memuaskan. Ketiga, Guru lebih mudah menerapkan K13. Asumsi ketiga tersebut juga belum
dapat dipertanggungjawabkan mengingat bahwa K13 masih sangat baru. Berdasarkan pada
masing-masing panduan kedua kurikulum tersebut, justru menunjukkan KTSP lebih mudah dan
lebih otonomik, karena melibatkan melibatkan guru dalam MGMP dan PKG, untuk terlibat secara
langsung mendesain pembelajaran yang sesuai dengan konteks siswa dan sekolah.
Kualitas Guru. Apa yang dilakukan oleh para pengambil kebijakan untuk peningkatan
kualitas Guru? Salah satunya adalah Sertifikasi Guru. Lalu apakah Sertifikasi memberikan
perubahan signifikan? Ternyata hasil penelitian membuktikan bahwa sertifikasi yang dicanangkan
sedari awal untuk peningkatan kualitas ternyata belum mampu berkonstribusi secara maksimal
dalam perbaikan kualitas guru dan kualitas pendidikan secara keseluruhan. Sertifikasi Guru yang
belum maksimal dalam upaya peningkatan kualitas pengajaran, perlu segera dievaluasi untuk
mencari kelemahan-kelemahannya, keungulannya dan upaya perbaikannya. Sertifikasi selayaknya
dilakukan dengan lebih transparan, dengan indikator penilaian yang ketat, tentu dengan
remunerasi yang lebih baik.
Ujian Nasional: Ujian nasional juga menjadi isu yang setiap tahun menjadi pembicaraan
dalam dunia pendidikan. Ujian nasional yang awalnya dilakukan untuk menentukan kelulusan
siswa, telah lama menjadi rutinitas formalistik di dunia pendidikan kita. Ujian nasional tidak lagi
memberikan indikator prestasi siswa akibat ulah sebagian besar para praktisi pendidikan yang
berlomba-lomba melakukan kecurangan. Sebagian guru membantu siswa untuk mengerjakan
ujian, oknum kepala sekolah membantu memuluskan kecurangan, demikian pula sebagian oknum
kadis pendidikan melakukan hal yang sama demi satu target prestasi palsu yang dilakukan secara
berjamaah. Kini apa yang dilakukan oleh Menteri Pendidikan dasar dan menengah, Anies
Baswedan, patut mendapatkan jempol yang menjadikan ujian nasional tidak sebagai penentu
utama kelulusan, melainkan sebagai indikator pemetaan pendidikan secara nasional. Jika
demikian, para siswa, guru, kadis dan bupati tak lagi perlu melakukan kecurangan yang
mencoreng dunia pendidikan dan sama sekali jauh dari upaya peningkatan kualitas pendidikan
secara komprehensif.
Tiga isu seksi di dunia pendidikan, meliputi revisi kurikulum, kualitas guru dan ujian
nasional, pada dasarnya menjadi titik awal yang harus harus diperbaiki demi perbaikan kualitas
pendidikan. Kurikulum tentunya memerlukan peninjauan ketika kurikulum telah secara signifikan
memerlukan perubahan, dan bukan karena project oriented. Dalam konteks Indonesia,
kurikulumnya layaknya belum diganti mengingat kurikulum KTSP 2006 masih sangat bagus baik
dilihat pada sisi muatan kurikulum, standar kompetensi dan model penilaian, yang sejati tidak
memiliki perbedaan signifikan sebagaimana diklaim oleh K13. Para Guru memerlukan
peningkatan kualitas dalam segala hal terutama penguasaan model-model pembelajaran, sehingga
yang diperlukan saaat ini bukan pada perbaikan kurikulum yang secara nyata tidak memiliki
perbedaan signifikan dari pendahulunya, melainkan sangat dibutuhkan training-training
pembelajaran, evaluasi pembelajaran yang dilakukan oleh guru, evaluasi oleh masyarakat,
pelibatan masyarakat secara lebih intensif dalam perbaikan pendidikan di sekolah, peningkatan
anggaran di dunia pendidikan, pemberian fasilitas pembelajaran untuk para guru, seperti laptop
dan alat peraga pembelaran lainnya, dan seterusnya. Secara keseluruhan bukan perubahan
kurikulum yang keseringan yang diperlukan, melainkan bagaimana mengawal pelaksanaan
kurikulum sehingga kurikulum secara maksimal dijalankan. Para guru harus terus dilatih,
dievaluasi, difasilitasi dan diberikan reward secara maksimal bagi yang berprestasi.
Dana trilyunan yang dihamburkan untuk revisi kurikulum selayaknya bukan untuk revisi
kurikulum melainkan untuk perbaikan pelaksanaan kurikulum KTSP 2006. Dana tersebut
selayaknya digunakan untuk mengevaluasi kualitas guru, memberikan fasilitas multimedia bagi
setiap guru dan dosen, peningkatan sarana dan prasarana pendidikan, pengadaan buku-buku teks
untuk semua siswa setiap tahun secara gratis, dan sebagainya, dari pada dihamburkan untuk revisi
kurikulum yang ternyata tidak lebih bagus dari sebelumnya.
Pengangguran dan Kewirausahaan.
Demikianlah hasil dari pendidikan kita. Kita terus berupaya menghasilkan alumni. Jumlah
alumni perguruan tinggi makin banyak, namun jumlah pengangguran pun semakin besar.
Kenyataan ini semestinya menyadarkan para praktisi pendidikan terutama pengambil kebijakan di
dunia pendidikan, untuk bertanya dimana salahnya pendidikan kita. Pendidikan belum mampu
memberikan keterampilan yang maksimal, karakter disiplin, kerja keras, dan tanggung jawab
belum mampu didesain terhadap semua alumni yang dihasilkan. Perguruan tinggi lebih asyik
membangun opini kualitas yang masih sulit dipertanggungjawabkan. Perguruan tinggi
menghasilkan sarjana yang hanya mau jadi PNS. Pendidikan kewirausaahaan yang telah lama
dimasukkan dalam kurikulum belum mampu berkonstribusi terhadap lahirnya wirausahawanwirausahawan baru. Perguruan Tinggi semestinya segera sadar untuk segera merancang model
pelatihan yang benar-benar secara statistik mampu menghasilkan wirausahawan muda dan hebat
di masa depan. Tentu PT tak hanya boleh mangklaimnya hanya karena ada Mata Kuliah
kewirausahaa dalam kurikulumnya, tetapi harusnya ada data seberapa signifikan Mata kuliah
tersebut mendidik mahasiswa untuk berwira usaha, adakah langkah-langkah konkrit PT untuk
bersinergi dengan pemerintah pusat, dan pemerintahan di daerah untuk secara bersama-sama
melakukan pelatihan, pendampingan dan juga pemberian modal usaha untuk terwujudnya
wirasahawan di masa depan. Sudahkah?