PRAKTIK SOCIAL DISCLOSURE DI INDONESIA

PRAKTIK SOCIAL DISCLOSURE DI INDONESIA

SKRIPSI Diajukan untuk Melengkapi Tugas-Tugas dan Memenuhi Syarat-Syarat untuk Mencapai Gelar Sarjana Ekonomi Jurusan Akuntansi Fakultas Ekonomi Universitas Sebelas Maret Surakarta

Oleh ASRI DIAH SUSANTI

F 0306003

FAKULTAS EKONOMI JURUSAN AKUNTANSI UNIVERSITAS SEBELAS MARET SURAKARTA

2010

commit to user

DEMAND DAN SUPPLY PRAKTIK SOCIAL DISCLOSURE DI INDONESIA ABSTRAKSI ASRI DIAH SUSANTI

F0306003

Penelitian ini bertujuan untuk mengalisis apakah ada information gap antara demand dan supply praktik social disclosure di Indonesia dan menguji pengaruh karakteristik perusahaan terhadap pengungkapan informasi sosial. Karakteristik perusahaan diproksi dengan size, profitabilitas, leverage, dan tipe industri. Penelitian ini juga menguji proporsi dewan komisaris independen dan kepemilikan institusi sebagai variabel kontrol.

Data yang digunakan adalah data primer dan data sekunder. Data primer digunakan untuk mengukur komponen demand yang diperoleh dari hasil wawancara kuesioner terhadap 50 orang narrow financial based stakeholdsers. Sedangkan untuk komponen supply diukur dengan menggunakan data sekunder. Data sekunder diperoleh dari hasil analisis 70 laporan tahunan perusahaan tahun 2008 yang listing di BEI.

Analisis dilakukan dengan membandingkan tingkat demand dan supply untuk menemukan information gap. Uji regresi berganda juga dilakukan untuk menguji pengaruh karakteristik perusahaan terhadap pengungkapan informasi sosial. Pengujian logistic regression, ANOVA, dan T-test juga dilakukan untuk mendukung hasil penelitian.

Hasil analisis statistik menunjukkan bahwa rata-rata demand dari responden terhadap pengungkapan informasi sosial adalah sebesar 3,76 dalam skala likert 5. Semua perusahaan (100%) mengungkapkan informasi sosialnya dengan tingkat rata-rata sebesar 40,24% (metode unweighted) dan 40,58% (metode weighted). Hasil ini menunjukkan bahwa secara umum ada information gap antara tingkat demand dan supply praktik social disclosure di Indonesia. Hasil ini juga menunjukkan adanya peningkatan supply praktik pengungkapan sosial di Indonesia dari penelitian yang dilakukan Suhardjanto dan Aulia (2009) yang hasilnya menujukkan rata-rata pengungkapan sosial di Indonesia pada tahun 2007 hanya sebesar 22,23%.

Hasil pengujian multiple regression menunjukkan bahwa variabel size

berpengaruh positif terhadap tingkat pengungkapan sosial ( β=0,08, ρ-value 0,000) . Hasil ini sesuai dengan penelitian Suhardjanto dan Aulia (2009). Variabel Proporsi dewan komisaris independen berpengaruh negatif terhadap tingkat pengungkapan sosial ( β=-0,43, ρ-value 0,002).

Kata kunci: social disclosure, information gap, karakteristik perusahaan, indeks

tertimbang

commit to user

DEMAND DAN SUPPLY PRAKTIK SOCIAL DISCLOSURE DI INDONESIA ABSTRACT ASRI DIAH SUSANTI

F0306003

The objective of this research are to analyze is there any information gap between demand and supply of social disclosure in Indonesia and to investigate the influence of company’s characteristics to the level of social disclosure. Company characteristics are indentified as size, profitability, leverage, and industrial type. This study also examines independent board of commissioner composition and the institusional ownership as control variable.

This research uses primary and secondary data. Primary data uses 50 respondents from narrow financial based stakeholders in questionnaire issued. Secondary data uses 70 annual report of Indonesian listing firm’s 2008 on IDX.

For analyzing, we compare demand and supply social disclosure for finding information gap. This research is also conducted by examination of multiple regression, logistic regression, ANOVA, and T-test.

The result shows that level demand of social disclosure on average is 3.76 in 5 likert scale. There is one hundred percent (100%) disclosed social information and practice of social disclosure in Indonesia on average is 40.24% in unweighted method and 40.58% in weighted method. This result suggest that there is an information gap between demand and supply practice of social disclosure in Indonesia. Suhardjanto and Aulia (2009) investigated that practice of social disclosure in Indonesia just on average is 22.23%. This fact shows supply of financial stakeholder increase 20.01% that means awareness of company in Indonesia about social activity is going up.

Multiple regression test indicates that the company size has a positive effect to social disclosure ( β=0.08, ρ-value 0.000). This result consistent with Suhardjanto and Aulia (2009). The result of multiple regression also suggest that there is negative influence of independent board of commissioner to social disclosure ( β=-0.43, ρ-value 0.02).

Keyword: social disclosure, information gap, company characteristics, weighted

index

commit to user

PENDAHULUAN

Bab pertama dalam penelitian ini akan memaparkan latar belakang masalah, rumusan masalah, tujuan penelitian, dan juga manfaat penelitian bagi pihak-pihak yang berkepentingan, serta sistematika penulisan.

A. Latar Belakang

Indonesia merupakan salah satu negara yang disoroti dunia dalam kasus sosialnya, terutama dalam hal korupsi. Negara kita ini menduduki ranking keempat dunia dan dinobatkan sebagai negara terkorup di Asia dalam kasus korupsi (Okezone.com, Februari 2009). Kasus yang sedang hangat dibicarakan dalam beberapa kurun waktu terakhir ini diantaranya adalah kasus korupsi yang melibatkan pejabat tinggi pemerintahan yang dikenal "Kasus Cicak Vs Buaya" dan kasus korupsi dalam Perusahaan Gas Negara (Okezone.com, Februari 2009; Kompas, Juli 2009).

Kasus Cicak versus Buaya merupakan kasus kompleks yang melibatkan nama tiga institusi besar di Indonesia, yaitu kepolisian, kejaksaan, dan KPK. Kasus ini diduga kuat merupakan tindakan pelemahan terhadap KPK. Kasus ini mulai terkuak dengan ditemukkannya testimoni dari Antasari Azhar, dan diikuti oleh bukti lain yaitu hasil penyadapan rekaman telepon antara Anggodo Wijoyo dan pejabat tinggi pemerintah (Kompas, 6 Juli 2009). Istilah Cicak dan Buaya pertama kali dicetuskan dalam wawancara dengan Kabareskim Mabes Polri.

commit to user

gerakan melawan koruptor (Cinta Indonesia Cinta KPK), sedangkan buaya sendiri digunakan sebagai lambang untuk menggambarkan koruptor yang menggantikan lambang tikus (Kompas, 12 Juli 2009). Dalam Kompas edisi 3 November 2009 disebutkan bahwa dalam perkembangannya, kasus ini merupakan titik awal untuk menguak kasus Bank Century.

Dalam kasus korupsi PT PGAS, ditemukan adanya dua penyimpangan, pertama adalah adanya insider trading dalam penjualan saham PT PGAS dalam divestasi saham PT PGAS. Kedua adalah kasus korupsi dengan jalan memanipulasi pasar saham, sehingga harga saham PT PGAS jatuh, dan target APBN tidak terpenuhi (Okezone.Com). Kasus di atas bukan merupakan kasus satu-satunya yang terjadi, masih banyak kasus korupsi yang dilakukan dalam perusahaan BUMN maupun swasta, diantaranya kasus korupsi PT. Bahana Pembinaan Usaha Indonesia (BPUI), Bank Harapan Santosa (BHS), BLBI, Bank Surya, dan PT. Siak Zamrud Pusako (Wikipedia.Com, Feb 2009).

Selain kasus korupsi di atas, masih banyak kasus sosial lain yang terjadi di Indonesia, diantaranya menyangkut kesehatan dan keamanan produk dan penggunaan tenaga kerja di bawah umur. Dalam artikel Departemen Perindustrian

9 Agustus 2007 disebutkan bahwa di Indonesia, telah terjadi banyak kasus penggunaan bahan kimia berbahaya bagi kesehatan. Diantaranya penggunaan formalin yang dikemukakan Badan Pengawas Obat dan Makanan (POM). Pengujian kandungan formalin dilakukan terhadap 98 sampel produk makanan dengan rincian 23 sampel mie basah-15 produk tercemar formalin (65%), 34

commit to user

tercemar (100%). Selain produk makanan, BPOM juga menemukan 80% dari jajanan sekolah dinyatakan mengandung bahan-bahan berbahaya bagi kesehatan seperti boraks, natrium siklamat, rodamin B dan sakarin.

Dalam majalah Kompas edisi Januari 2009, disebutkan bahwa Markas Besar Kepolisian RI menangkap Anthoni, pengusaha sarang burung wallet yang mempekerjakan 17 orang anak di bawah umur. Anak-anak tersebut direkrut melalui Yayasan Tiga Putra Jaya, Putri Sehati, Mekar Jaya, dan Makmur Jaya. Anak-anak tersebut dipekerjakan selama 10-14 jam per hari dengan upah Rp 350 ribu per bulan. Upah dibayarkan per tahun. Namun kenyataannya anak-anak tidak dibayar. Praktik penggunaan pekerja di bawah umur biasanya berlatar belakang masalah ekonomi, seperti Dedi, seorang anak warga Kampung Panjangsari, Kelurahan Parakan Wetan, Kabupaten Temanggung, Jawa Tengah, terpaksa harus bekerja keras sebagai juru parkir kendaraan di Komplek Klenteng, Temanggung (Liputan 6.com, 11 November 2009). Sekretaris KAN-PBPTA Cilegon, Maksum dalam Radar Banten (Februari, 2009) mengatakan,

"Di lapangan masih banyak anak-anak di bawah umur yang dipekerjakan orang tuanya. Padahal kita telah gencar melakukan sosialisasi sampai ke masing-masing kecamatan tentang larangan anak di bawah usia 18 tahun dipekerjakan"

Maraknya kasus sosial di atas memunculkan tuntutan terhadap perusahaan untuk memberikan informasi yang transparan, organisasi yang akuntabel serta tata kelola perusahaan yang semakin bagus (good corporate governance) dan memberikan informasi mengenai aktivitas sosialnya. Masyarakat membutuhkan informasi mengenai sejauh mana perusahaan sudah melaksanakan aktivitas

commit to user

karyawan, dan keamanan mengkonsumsi makanan dapat terpenuhi (Anggraini, 2006). Tuntutan ini menunjukkan adanya kesadaran tentang pentingnya pengungkapan sosial untuk menyediakan produk-produk yang ramah lingkungan dan diproduksi dengan memperhatikan kaidah-kaidah sosial dan prinsip-prinsip Hak Asasi Manusia (Monika dan Hartanti, 2008).

Berbagai reaksi muncul dari fenomena peningkatan permintaan pengungkapan sosial. Pada tanggal 20 Juli 2007, disahkan Undang-undang nomor

40 tentang penerapan CSR, yang dikuatkan melalui peraturan pemerintah (PP) dimana perusahaan yang melakukan kegiatan usaha di bidang/berkaitan dengan sumber daya alam wajib melakukan tanggung jawab sosial dan lingkungan. Ketentuan itu sudah ditetapkan dalam UU Perseroan Terbatas (PT), UU Investasi dan UU Minerba (Mineral dan Batubara) (Budhiartha, 2008). Undang-undang tersebut secara tidak langsung akan berpengaruh terhadap tingkat pengungkapan sosial perusahaan mengingat adanya sanksi pelanggaran undang-undang ini (Undang-Undang No.40 tahun 2007 Pasal 74 Ayat 1).

Selain dipengaruhi oleh undang-undang yang dibuat regulator, kesadaran perusahaan merupakan komponen signifikan dalam pengungkapan aktivitas sosial. Seperti yang diungkapkan oleh beberapa perusahaan dalam annual report mereka sebagai berikut,

In line with Good Corporate Governance practices, Corporate Social Responsibility has developed into an integral part of the Company’s overall strategy to maintain sustainable business Growth. (Annual Report PT Sorini Agro Asia Corporindo Tbk, 2008)

commit to user

Terbangunnya interaksi yang harmonis antara perusahaan dan komunitas di sekitarnya pada gilirannya akan menciptakan kondisi yang mendukung kelangsungan operasional perusahaan, sekaligus bermanfaat bagi masyarakat. (Annual Report PT Jasa Marga, 2008)

Suhardjanto dan Aulia (2009) menyebutkan bahwa banyaknya kasus korupsi, pelanggaran HAM, ancaman keselamatan pelanggan atas produk dan aspek sosial lainnya di Indonesia yang sering diungkapkan di media memicu untuk dilakukannya penelitian, khususnya di ranah bisnis. Beberapa penelitian telah mengkaji masalah social disclosure ini dan hasilnya menunjukkan bahwa terjadi peningkatan social disclosure secara rata-rata di Indonesia (Suhardjanto dan Aulia, 2009; Monika dan Hartanti, 2008; Nurlaela dan Islahudin, 2007). Dalam Suhardjanto dan Aulia (2009) disebutkan bahwa rata-rata tingkat pengungkapan informasi sosial perusahaan sebesar 22%. Namun angka tersebut dikategorikan rendah jika dibandingkan dengan negara lain. Guthrie dan Parker (1990) meneliti pengungkapan sosial perusahaan Amerika Serikat, Inggris, dan Australia. Dan hasilnya menunjukkan bahwa 98% perusahaan Inggris, 85% perusahaan Amerika Serikat, dan 56% perusahaan Australia melaporkan pengungkapan sosial mereka dalam laporan tahunan.

Fakta ini menunjukkan bahwa tingkat permintaan yang tinggi terhadap pengungkapan sosial tidak diimbangi dengan pemenuhan akan permintaan tersebut (supply). Dari hal tersebut penulis tertarik untuk meneliti apakah ada information gap antara tingkat permintaan (demand) dan pemenuhan akan permintaan (supply) praktik pengungkapan sosial di Indonesia.

commit to user

ini memberikan bobot tertimbang pada tingkat pengungkapan sosial perusahaan. Penelitian ini dilakukan melalui dua tahap, tahap 1 (satu) untuk mengukur tingkat permintaan terhadap pengungkapan sosial dengan melakukan survey kuesioner dan tahap 2 (dua) dengan melakukan analisis pengungkapan sosial dalam laporan tahunan, dengan menggunakan leverage, tipe industri, ukuran perusahaan, dan profitabilitas sebagai variabel independen, yang dikontrol dengan mekanisme Corporate Governance yaitu kepemilikan institusi dan komposisi dewan komisaris independen. Maka, judul penelitian ini adalah "DEMAND DAN

SUPPLY PRAKTIK SOCIAL DISCLOSURE DI INDONESIA"

B. Rumusan Masalah

Dari uraian latar belakang di atas, permasalahan yang dimunculkan dalam penelitian ini sebagai berikut :

1. Adakah information gap antara demand dan supply pengungkapan sosial. Demand ditunjukkan dengan indeks tertimbang yang diperoleh dari narrow financial based stakeholder sedangkan supply ditunjukkan dengan pengungkapan informasi sosial dalam annual report.

2. Apakah karakteristik perusahaan berpengaruh terhadap pengungkapan sosial (social disclosure).

commit to user

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui adanya information gap antara demand dan supply pengungkapan sosial dan mengetahui pengaruh karakteristik perusahaan (ukuran perusahaan, leverage, profitabilitas, dan tipe industri) terhadap social disclosure.

D. Manfaat Penelitian

Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat termasuk:

1. Dapat memberikan kontribusi terhadap literatur penelitian akuntansi khususnya mengenai topik karakteristik perusahaan ataupun pengungkapan sosial.

2. Bagi perusahaan, dapat memberikan masukan dalam perbaikan pengungkapan aktivitas sosial dalam laporan keuangan.

3. Bagi stakeholder seperti investor, kreditor dan pihak-pihak yang berkepentingan lainnya, dapat menjadi acuan tambahan dalam menganalisis informasi yang disajikan oleh perusahaan berkenaan dengan pengungkapan informasi sosial.

4. Bagi regulator, penelitian ini diharapkan dapat digunakan sebagai bahan pertimbangan bagi penyusunan standar akuntansi sosial dan sebagai bahan masukan dalam peningkatan kualitas standar peraturan yang ada.

5. Bagi kalangan akademisi, hasil penelitian ini dapat digunakan sebagai tambahan literatur dalam bidang ilmu akuntansi.

commit to user

Adapun sistematika laporan adalah sebagai berikut: BAB I

: PENDAHULUAN

Bab ini meliputi latar belakang masalah, perumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian dan sistematika penulisan.

HIPOTESIS Bab ini membahas landasan teori yang diantaranya berupa tinjauan pustaka, kerangka teoritis, dan dilanjutkan dengan penelitian terdahulu yang dikembangkan (hipotesis).

BAB III

: METODE PENELITIAN

Bab ini berisi desain penelitian; populasi, sample, dan teknik sampling; pengukuran variable; instrument penelitian; sumber data; metode pengumpulan data; serta metode analisis data.

BAB IV

: ANALISIS DATA DAN PEMBAHASAN

Bab ini membahas mengenai data yang digunakan, pengolahan data tersebut dengan alat analisis yang diperlukan dan hasil dari analisis data.

BAB V

: KESIMPULAN DAN SARAN

Bab ini berisi kesimpulan yang diperoleh dari hasil analisis data yang telah dilakukan, saran-saran yang diajukan dari hasil penelitian, dan rekomendasi bagi penelitian selanjutnya.

commit to user

TELAAH PUSTAKA

Selanjutnya pada Bab II ini akan dijelaskan mengenai literatur yang digunakan meliputi teori-teori yang digunakan dan penelitian terdahulu, dilanjutkan dengan kerangka teoritis dan pengembangan hipotesis.

A. Telaah Literatur

Masalah social disclosure di Indonesia telah banyak diteliti diantaranya dilakukan oleh Suhardjanto dan Aulia (2009); Monika dan Hartanti (2008); Nurlaela dan Islahudin (2007); Sayekti dan Wondabio (2007). Walaupun demikian belum ada penelitian yang mengukur seberapa besar permintaan akan praktik social disclosure ini. Penelitian ini seperti penelitian yang dilakukan Suhardjanto (2008) dengan menghasilkan indeks tertimbang yang mengukur seberapa besar permintaan akan pengungkapan di bidang lingkungan hidup. Dari penelitian tersebut, peneliti mencoba menggunakan indeks tertimbang untuk mengukur tingkat permintaan pengungkapan di bidang sosial. Indeks akan diperoleh melalui wawancara kuesioner kepada narrow financial based stakeholders . Penelitian ini juga menganalisis praktik pengungkapan sosial oleh perusahaan di Indonesia sebagai komponen supply yang mengukur tingkat pemenuhan permintaan akan pengungkapan sosial tersebut. Dalam bagian selanjutnya akan dijelaskan hal-hal dan variabel yang berkaitan untuk memberikan pemahaman lebih dalam mengenai penelitian.

commit to user

Laporan tahunan dan laporan keuangan merupakan salah satu informasi yang secara formal wajib dipublikasikan sebagai sarana pertanggungjawaban pihak manajemen terhadap pengelolaan sumber daya pemilik, serta jendela informasi yang memungkinkan bagi pihak-pihak diluar manajemen, mengetahui kondisi perusahaan. Menurut Wikipedia (2007), annual report didefinisikan sebagai:

An Annual report is a comprehensive report on a company's activities throughout the preceding year. Annual reports are intended to give shareholders and other interested persons information about the company's activities and financial performance.

Yustina (2003) mengungkapkan bahwa annual report atau laporan tahunan merupakan media komunikasi bagi manajemen perusahaan untuk memberikan informasi bagi pihak-pihak yang berkepentingan dan merupakan sarana pertanggungjawaban kepada publik atas sumber daya yang dikelolanya. Sedangkan tujuan laporan tahunan menurut Standar Akuntansi Keuangan adalah memberikan informasi tentang posisi keuangan, kinerja, dan arus kas perusahaan yang bermanfaat bagi sebagian besar kalangan pengguna laporan dalam rangka membuat keputusan-keputusan ekonomi serta menunjukkan pertanggungjawaban (stewardship) manajemen atas penggunaan sumber daya yang dipercayakan kepada mereka.

Penelitian ini menggunakan laporan tahunan karena laporan tahunan akan menjadi salah satu bahan rujukan bagi para investor dan calon investor dalam memutuskan apakah akan berinvestasi di dalam suatu perusahaan atau tidak.

commit to user

pihak manajemen perusahaan akan berdampak kepada pergerakan harga saham yang pada gilirannya juga akan berdampak pada volume saham yang diperdagangkan dan return. Darwin (2007) juga mengungkapkan bahwa kinerja sosial di dalam laporan tahunan atau laporan terpisah adalah untuk mencerminkan tingkat akuntabilitas, responsibilitas, dan transparansi korporat kepada investor dan stakeholders lainnya. Pengungkapan tersebut bertujuan untuk menjalin hubungan komunikasi yang baik dan efektif antara perusahaan dengan publik dan stakeholders tentang bagaimana perusahaan telah mengintegrasikan CSR dalam setiap aspek kegiatan operasinya.

Beberapa yurisdiksi menghendaki perusahaan untuk menyiapkan dan mengungkapkan annual report. Di dalam Wikipedia (2007) disebutkan:

Most jurisdictions require companies to prepare and disclose annual reports, and many require the annual report to be filed at the companies registry. Companies listed on a stock exchange are also required to report at more frequent intervals (depending upon the rules of the stock exchange involved.

Yurisdiksi mengenai kewajiban mengeluarkan annual report bagi perusahaan di Indonesia, dikeluarkan oleh lembaga resmi pemerintah, yaitu BAPEPAM-LK. Perusahaan di Indonesia yang melakukan penawaran kepada publik (go public), wajib menyampaikan laporan perusahaaannya kepada BAPEPAM-LK secara periodik.

Disclosure (pengungkapan) dalam annual report merupakan sumber informasi untuk berbagai pengambilan keputusan. Pengambilan keputusan ini

commit to user

dalan annual report.

2. Pengungkapan Sosial (Social Disclosure)

Pengungkapan merupakan penyajian sejumlah informasi yang dibutuhkan untuk pengoperasian secara optimal pasar modal yang efisien (Hendriksen, 1991). Sedangkan menurut Suwardjono (2005), pengungkapan berkaitan dengan cara penyampaian atau penjelasan hal-hal informatif yang dianggap penting dan bermanfaat bagi pemakai selain apa yang dinyatakan melalui statement keuangan utama.

Suwardjono (2005) menyatakan ada dua sifat pengungkapan, yaitu: pengungkapan yang bersifat wajib (required/regulated/mandatory disclosure) dan pengungkapan yang bersifat sukarela (voluntary disclosure). Pengungkapan yang bersifat wajib meliputi pengungkapan yang didasarkan atas ketentuan/standar yang berlaku. Sedangkan pengungkapan sukarela berisi pengungkapan yang dilakukan perusahaan selain apa yang diwajibkan oleh standar alat atau badan pengawas. Secara lebih lanjut pengungkapan menurut sifatnya ini telah dijabarkan dalam standar dan regulator sebagai berikut.

a. Pengungkapan Wajib (mandatory disclousure) Pengungkapan Wajib merupakan pengungkapan minimum yang disyaratkan oleh peraturan yang berlaku. Peraturan tentang standar pengungkapan informasi bagi perusahaan yang telah melakukan penawaran umum dan perusahaan publik yaitu, Peraturan No. VIII.G.7

commit to user

VIII.G.2 tentang Laporan Tahunan. Peraturan tersebut diperkuat dengan Keputusan Ketua Bapepam No. Kep-17/PM/1995, yang selanjutnya diubah melalui Keputusan Ketua Bapepem No. Kep-38/PM/1996 yang berlaku bagi semua perusahaan yang telah melakukan penawaran umum dan perusahaan publik. Peraturan tersebut diperbaharui dengan Surat Edaran Ketua Bapepam No. SE-02/PM/2002 yang mengatur tentang penyajian dan pengungkapan laporan keuangan emiten atau perusahaan publik untuk setiap jenis industri.

b. Pengungkapan Sukarela (voluntary disclosure) Salah satu cara meningkatkan kredibilitas perusahaan adalah melalui pengungkapan sukarela secara lebih luas untuk membantu investor dalam memahami strategi bisnis manajemen. Pengungkapan Sukarela merupakan pengungkapan butir-butir yang dilakukan secara sukarela oleh perusahaan tanpa diharuskan oleh peraturan yang berlaku. Pengertian dari pengungkapan informasi sosial perusahaan atau Corporate

social disclosure (CSD) sendiri adalah proses pengkomunikasian dampak sosial dan lingkungan hidup dari kegiatan ekonomi organisasi terhadap kelompok khusus yang berkepentingan dan terhadap masyarakat secara keseluruhan, hal tersebut memperluas tanggung jawab organisasi (khususnya perusahaan), di luar peran tradisionalnya untuk menyediakan laporan keuangan kepada pemilik modal, khususnya pemegang saham (Gray et. al., 1987).

commit to user

1998) Paragraf kesembilan telah diatur bahwa setiap unit/pelaku ekonomi selain berusaha untuk kepentingan pemegang saham dan mengkonsentrasikan diri pada pencapaian laba juga mempunyai tanggung jawab sosial, dan hal itu perlu diungkapkan dalam laporan tahunan. Selain telah diatur dalam Pernyataan Standar Akuntansi Keuangan tersebut, beberapa teori juga mendasari praktik pengungkapan sosial dalam perusahaan. Beberapa teori tersebut diantaranya,

a. Agency Theory Agency theory merupakan salah satu dari paradigma teori yang paling

penting selama 20 tahun (Lambert, 2001 dalam Oliveira, 2008). Teori ini menempatkan pengungkapan sebagai mekanisme yang dapat mengurangi kos yang dihasilkan dari konflik antara manajer dengan pemegang saham (compensation contracts) dan dari konflik antara perusahaan dan kreditornya (debt contracts). Oleh karena itu, pengungkapan merupakan mekanisme untuk mengontrol kinerja manajer. Sebagai konsekuensinya, manajer didorong untuk mengungkap voluntary information

Dalam teori ini terjadi pergeseran filosofis pengelolaan organisasi entitas bisnis yaitu tanggung jawab perusahaan yang hanya berorientasi kepada pengelola (agen) dan pemilik (Principles) mengalami perubahan kepada pandangan manajemen modern yang didasarkan pada teori stakeholder, yaitu terdapatnya perluasan tanggung jawab perusahaan dengan dasar pemikiran bahwa pencapaian tujuan perusahaan sangat berhubungan erat dengan pola (setting) lingkungan sosial dimana perusahaan berada (Azizul, 2001).

commit to user

Teori ini menyatakan bahwa organisasi secara terus-menerus memastikan bahwa operasi mereka berada dalam batas dan norma masyarakat. Hal ini didasarkan pada pikiran bahwa terdapat kontrak sosial antara perusahaan dengan masyarakat, yang mengharuskan perusahaan untuk melaporkan secara sukarela, aktivitas tertentu yang diharapkan oleh masyarakat (Purnomosidhi, 2006). Tilt, (1994) dalam Haniffa et. al. (2005) juga disebutkan bahwa perusahaan memiliki kontrak dengan masyarakat untuk melakukan kegiatannya berdasarkan nilai-nilai justice , dan bagaimana perusahaan menanggapi berbagai kelompok kepentingan untuk melegitimasi tindakan perusahaan.

Dari sudut pandang legitimacy theory, pengungkapan informasi digunakan sebagai alat bagi perusahaan agar operasi serasi dengan nilai-nilai sosial, untuk menunjukkan image tanggung jawab sosial dan meningkatkan legitimasi sosial (Patten, 2002 dalam Oliveira et al., 2008). Legitimacy theory dapat juga digunakan untuk analisis akuntansi sosial dan lingkungan bagi perusahaan (Guthrie dan Parker, 1989; Patten, 2002 dalam Oliveira et al., 2008). Hal ini juga sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh Gao, Heravi dan Xiao (2005) yang menyebutkan,

Nevertheless, legitimacy theory does appear to be able to provide a better understanding of the extent and type of environmental disclosures made by organizations. In other words, there appears to be some support for the notion that organizations disclose voluntary social and environmental information to gain support from society and the general public and to portray the image of being socially and environmentally responsible companies.

commit to user

Dalam keadaan adanya asimetri informasi (Akerlof, 1970), signaling theory menyatakan bahwa perusahaan dengan kinerja yang tinggi (perusahaan bagus) menggunakan informasi keuangan untuk mengirim sinyal kepada pasar (Spence, 1973).

Kos atas sinyal bad news adalah lebih tinggi daripada good news, hal ini diperlihatkan dalam penelitian Spence (1973). Oleh karena itu, manajer lebih termotivasi untuk mengungkapkan private information secara sukarela. Hal ini disebabkan oleh ekspektasi manajer bahwa menyediakan sinyal good news mengenai kinerja perusahaan kepada pasar akan mengurangi asimetri informasi (Oliveira et al., 2008).

Dari uraian di atas, penulis lebih tertarik untuk meneliti pengungkapan sukarela dibandingkan dengan pengungkapan wajib oleh perusahaan. Hal ini dikarenakan pengungkapan wajib relatif sudah banyak ditaati oleh emiten, sebaliknya kesediaan emiten untuk memberikan pengungkapan sukarela masih relatif rendah. Hal tersebut bisa dilihat dari hasil penelitian-penelitian di bawah ini.

Penelitian terdahulu tentang pengungkapan sukarela terutama dalam hal pengungkapan sosial diantaranya, penelitian yang dilakukan oleh Guthrie dan Parker (1990) mengenai area pengungkapan sosial dalam laporan tahunan perusahaan-perusahaan di Amerika Serikat, Inggris, dan Australia. Hasil dari penelitian tersebut menunjukkan bahwa 98% perusahaan Inggris, 85% perusahaan Amerika Serikat, dan 56% perusahaan Australia melaporkan pengungkapan sosial

commit to user

melaporkan isu terkait dengan sumber daya manusia, 31% mengenai isu keterlibatan komunitas, 13% mengenai isu lingkungan, dan 7% mengenai isu terkait dengan energi dan produk. Cakupan pengungkapan tanggung jawab sosial yang hampir sama (sumber daya manusia, produk, praktek bisnis, keterlibatan dengan lingkungan, serta lingkungan) juga terjadi di Kanada (Zeghal dan Ahmed, 1990).

Penelitian di negara berkembang menunjukkan hasil yang tidak jauh berbeda. Di Malaysia (Kin, 1990), dari 100 perusahaan publik, 64 perusahaan melaporkan informasi mengenai peningkatan produk dan jasa, 31 perusahaan melaporkan isu terkait dengan sumber daya manusia, dan 22 perusahaan melaporkan isu keterlibatan komunitas. Sementara di Hong Kong, Lynn (1992) memperlihatkan bahwa hanya 17 perusahaan (dari 264 yang diteliti) yang mengungkapkan aktivitas sosial, dengan titik berat pada pengembangan staff dan hubungan dengan komunitas.

Monika dan Hartanti (2008) mengungkapkan bahwa social disclosure perusahaan publik di Indonesia terus mengalami peningkatan secara rata-rata, dan rata-rata pengungkapan sosial tertinggi terjadi di tahun 2006. Tetapi jika dianalisa lebih lanjut rata-rata perusahaan publik di Indonesia hanya memiliki nilai pengungkapan sosial sebesar 27% - 31% dari nilai maksimum yang seharusnya dapat dicapai. Hal ini menunjukkan bahwa rata-rata perusahaan publik di Indonesia masih memiliki kinerja sosial relatif rendah dibandingkan yang seharusnya. Dalam Aulia (2009) disebutkan bahwa praktik pengungkapan sosial

commit to user

informasi sosial perusahaan hanya sebesar 22%. Dalam Aulia (2009) juga disebutkan perusahaan manufaktur merupakan tipe industri yang memiliki persentase pengungkapan paling tinggi yaitu sebesar 37%, diikuti sektor keuangan sebesar 30%, kemudian sektor jasa sebesar 23%.

Pengungkapan sosial yang dilakukan oleh perusahaan umumnya bersifat voluntary (sukarela), unaudited (belum diaudit), dan unregulated (tidak dipengaruhi oleh peraturan tertentu). Luas pengungkapan mengalami perkembangan dari waktu ke waktu, dipengaruhi oleh perkembangan ekonomi, sosial budaya suatu negara, teknologi informasi, kepemilikan perusahaan dan peraturan-peraturan yang dikeluarkan oleh lembaga yang berwenang. Ada tiga konsep pengungkapan yang umumnya diusulkan, yaitu:

1. Adequate disclosure (pengungkapan cukup)

2. Fair disclosure (pengungkapan wajar)

3. Full disclosure (pengungkapan penuh) Menurut Igulens dan Gond (2001) dalam Winindah (2007) Ada empat cara dalam mengukur pengungkapan aktivitas sosial perusahaan, yaitu:

1. Analisis kandungan informasi dalam laporan tahunan

2. Indikator Polusi

3. Survei dengan kuesioner

4. Indikator reputasi perusahaan

5. Data yang dihasilkan oleh indikator peneliti

commit to user

disclosure . Metode pertama adalah dengan melakukan analisis kandungan informasi dalam laporan tahunan. Metode ini digunakan karena memberikan gambaran mengenai pengungkapan sosial yang dilakukan perusahaan dalam laporan tahunan mereka. Kelemahan metode ini adalah metode ini sangat bersifat subjektif sehingga pengukuran pengungkapan sosial kurang tepat dan akurat. Untuk menanggulangi kelemahan metode ini, digunakan metode pengukuran yang kedua yaitu dengan menggunakan survei kuesioner. Metode kedua ini akan memberikan tingkat ketepatan yang lebih tinggi karena pengukuran tidak dilakukan oleh peneliti sendiri, tetapi dilakukan oleh responden.

Dari kedua tipe ini akan menghasilkan dua metode dalam pengukuran pengungkapan sosial yaitu unweighted atau tanpa indeks (pengukuran dilakukan hanya melalui analisis kandungan informasi dalam laporan tahunan) dan metode weighted atau dengan indeks (pengukuran dilakukan baik melalui analisis kandungan informasi dalam laporan tahunan maupun dengan melakukan survei kuesioner). Metode weighted akan memberikan bobot tertimbang terhadap tingkat pengungkapan sosial.

Metode weighted dipakai dengan tujuan untuk mengatasi kelemahan dari penelitian sebelumnya, seperti penelitian Sayekti dan Wondabio (2007) yang mengungkapkan bahwa kelemahan dari penelitian mereka adalah tingkat pengungkapan (disclosure level) tidak bisa diukur dengan tepat karena hanya menggunakan dummy variable (1 untuk item yang diungkapkan dan 0 untuk variabel yang tidak diungkapkan). Dummy variable hanya akan mengukur

commit to user

kualitas tingkat pengungkapan sosial. Hasil penelitian Hasseldine, Salama, dan Toms (2004) menjelaskan bahwa pengungkapan kualitatif dalam laporan tahunan mempunyai dampak yang lebih kuat dari pada pengungkapan kuantitatif.

Weighted index ini diperoleh dari wawancara kuesioner terhadap narrow based financial stakeholder dengan menggunakan item-item pengungkapan sosial dalam GRI (Global Reporting Initiative 2008). Item-item pengungkapan sosial yang terdapat dalam GRI 2008 terdiri dari empat aspek, yaitu:

(1) Tenaga kerja dan Indikator Performa Pekerjaan (2) Indikator Performa Hak Asasi Manusia (3) Indikator Performa Masyarakat (4) Indikator Performa Tanggung Jawab Produk

3. Narrow Financial Based Stakeholder

Menurut Harrison dan Freeman (1999); Frooman (1999) dalam Suhardjanto (2008), stakeholder diklasifikasikan ke dalam dua sudut pandang, yaitu :

a. Stategic Management (Financial Focus)

Clarkson (1995) membagi perspektif strategic management ke dalam dua kelompok stakeholder berdasarkan pengaruhnya terhadap eksistensi perusahaan. Dua kelompok tersebut adalah stakeholder primer dan stakeholder sekunder. Stakeholder primer mempunyai tingkat keterkaitan tinggi dengan perusahaan. Jika hubungan dengan kelompok ini tidak baik, maka dipastikan akan terjadi masalah di bidang financial yang akan mengganggu tingkat kelangsungan (going concern)

commit to user

Sedangkan stakeholder sekunder adalah kelompok yang mempunyai hubungan saling mempengaruhi, tetapi secara financial tidak berpengaruh secara langsung terhadap keberlangsungan perusahaan. Termasuk dalam kelompok ini adalah media (press), akademisi, dan lingkungan.

b. Moral Based (Broader Focus)

Werhene dan Freeman (1997) mengklasifikasikan perspektif moral based ke dalam empat kelompok stakeholder etik, yaitu interest based, rights based, duty based, dan virtue based stakeholder. Interest based disebut juga narrow financial based stakeholder . Kelompok ini lebih fokus pada costs and benefit untuk maksimalisasi laba. Termasuk dalam kelompok ini adalah investor, kreditor, manajemen, direktur, politisi, dan organisasi regional. Right based lebih menekankan pada hak perlindungan (seperti hak dalam distribusi kesejahteraan dan kebebasan) dari pada masalah financial. Contoh dari kelompok stakeholder ini adalah administrasi pemerintah, serikat pekerja, organisasi pemberi pinjaman internasional, dan organisasi kemanusiaan. Sedangkan virtue based lebih menitikberatkan pada pelaksanaan tindakan dan peraturan secara etis yang meliputi keadilan dan kebijaksanaan. Contoh dari kelompok ini diantaranya kelompok lingkungan hidup, media, universitas, komunitas local, kelompok wanita, dan generasi masa depan. Kelompok terakhir adalah duty based yang memfokuskan pertimbangan kepatuhan terhadap norma masyarakat, komunitas, peraturan publik dan pemerintah. Termasuk dalam kelompok ini adalah kelompok

commit to user

Stakeholder bisa dilihat dalam Tabel II.1.

Tabel II.1 Klasifikasi Moral Based Stakeholder

Core-Financial

Partial Financial

Non-Financial Virtue

Non-Financial Duty

Investors Lenders- financial institutions Management Directors Politicians Regional Organizations

Government Administrators International Lending Organizations

Employee Group Multilateral Donor/Aid Organizations

Environmental Group Press (Media) Universities Local community Womens groups Future generations

Chieftains Land Boards/Owners Royalty Religious Groups

WESTERN-NARROW Viewpoint

WESTERN-BROAD Viewpoint

TRADIONAL Viewpoint

Penelitian ini menggunakan perspektif broader based – narrow financial based stakeholder karena pengungkapan sosial merupakan tanggung jawab moral perusahaan terhadap stakeholdernya. Alasan lainnya adalah perspektif broader based lainnya (rights based, duty based, dan virtue based) lebih fokus di bidang non-financial, sehingga tidak akan muncul konflik kepentingan. Sedangkan broader based – narrow financial based stakeholder lebih fokus pada bidang financial yang akan menimbulkan konflik kepentingan. Morrison (2006) menyatakan bahwa perusahaan yang mengungkapkan aktivitas sosialnya dalam annual report akan mengalami dua konsekuensi yang bertentangan. Pengungkapan ini akan berdampak negatif pada aktivitas finansial yaitu pengurangan produktivitas dan menimbulkan biaya tinggi. Tetapi disisi non- finansial akan menimbukan dampak positif yaitu dalam hal pengurangan pajak dan citra baik perusahaan.

commit to user

Mutu dan luas pengungkapan annual report masing-masing berbeda. Perbedaan ini dapat terjadi karena karakteristik, kebijakan, budaya, filosofi manajemen masing-masing perusahaan juga berbeda (Wardhani, 2009). Karakteristik menurut Kamus Umum Bahasa Indonesia adalah ciri-ciri khusus, mempunyai sifat khas (kekhususan) sesuai dengan perwatakan tertentu, yang membedakan sesuatu (orang) dengan sesuatu yang lain (Pusat Bahasa Departemen Pendidikan Nasional, 2002). Karakteristik perusahaan merupakan ciri-ciri khusus yang melekat pada perusahaan, menandai sebuah perusahaan dan membedakannya dengan perusahaan lain. Karakteristik perusahaan dapat berupa ukuran perusahaan (size), jumlah pemegang saham, status pendaftaran perusahaan di pasar modal, auditor, rate of return, earning margin, leverage, rasio likuiditas, basis perusahaan, rencana penerbitan sekuritas pada tahun berikutnya, jenis industri, profile, dan karakteristik lainnya (Marwata, 2001 dalam Wardhani, 2009).

Perbedaan karakteristik antar perusahaan menyebabkan relevansi dan urgensi pengungkapan yang tidak sama pada setiap perusahaan (Ahmad dan Sulaiman, 2004). Berbagai penelitian terdahulu yang menguji pengaruh karakteristik perusahaan terhadap pengungkapan sosial, diantaranya penelitian yang dilakukan oleh Haniffa et. al. (2005); Cowen et. al. (1997); Trotman et. al. (1981); Kelly (1981); Sembiring (2003); Sembiring (2005); Sayekti (2006); McGure et. al. (1988); Roberts (1992); Utomo (2000); Anggraini (2006) yang menguji pengaruh ukuran perusahaan, profitabilitas, dan profil industri

commit to user

(2009) menyimpulkan bahwa size berpengaruh terhadap pengungkapan sosial. Penelitian sebelumnya menemukan bahwa tingkat leverage juga berkorelasi dengan tingkat pengungkapan informasi sosial, meskipun hasilnya beragam. Roberts (1992) menemukan korelasi yang positif, sedangkan Sembiring (2003) dan Sayekti (2006) menemukan korelasi yang negatif. Suhardjanto dan Aulia (2009) juga menemukan korelasi negatif antara leverage dengan pengungkapan sosial. Selanjutnya, Haniffa et. al. (2005) dan Sembiring (2005) tidak menemukan korelasi antara tingkat leverage dan pengungkapan sosial.

5. Corporate Governance

Kaihatu (2006) menyebutkan bahwa Corporate governance digunakan sebagai variabel kontrol, karena dipandang sebagai cara yang efektif untuk menggambarkan hak dan tanggung jawab masing-masing kelompok stakeholder dalam sebuah perusahaan. Good corporate governance didefinisikan sebagai konsep yang didasarkan pada teori keagenan. Penerapan mekanisme corporate governance yang baik dapat menyeimbangkan berbagai kepentingan yang ada dalam perusahaan. Konsep good corporate governance diharapkan dapat menjadi alat untuk memberikan keyakinan kepada investor bahwa mereka akan menerima return atas dana yang telah diinvestasikan (Darmawati, dkk., 2004).

Menurut Ho dan Wong (2001) corporate governance dipandang sebagai cara yang efektif untuk menggambarkan hak dan tanggung jawab masing-masing kelompok stakeholder dalam sebuah perusahaan dimana transparansi merupakan

commit to user

Wong (2001) juga menjelaskan bahwa pengaruh dari mekanisme corporate governance terhadap pengungkapan informasi sosial perusahaan dapat bersifat sebagai komplementer (tambahan) atau substitusi (pengganti). Ketika corporate governance bersifat komplementer (tambahan), maka dengan semakin kuatnya penerapan mekanisme corporate governance perusahaan, maka akan cenderung juga untuk mengeluarkan pengungkapan sukarela. Substitusi (pengganti) berarti perusahaan lebih memilih untuk meningkatkan salah satu komponen karena manajemen menganggap penerapan corporate governance merupakan ”garansi” bagi investor, serta dapat mengurangi biaya keagenan yang ditimbulkan oleh asimetri informasi.

Penelitian yang menguji pengaruh faktor-faktor corporate governance terhadap tingkat pengungkapan informasi sosial dalam laporan tahunan perusahaan telah banyak dilakukan. Misalnya penelitian yang dilakukan oleh Haniffa et al. (2005); Sembiring (2005); Anggraini (2006); Sayekti (2006) yang menguji pengaruh ukuran dewan komisaris, ukuran komite audit, kualitas auditor eksternal, dan struktur kepemilikan terhadap pengungkapan sosial. Dalam penelitian Suhardjanto dan Aulia (2009), corporate governance yaitu komposisi komisaris independen dan latar belakang pendidikan presiden komisaris digunakan sebagai variabel kontrol. Hasilnya menunjukkan bahwa kedua variabel kontrol tersebut tidak berpengaruh signifikan terhadap pengungkapan sosial.

commit to user

Secara garis besar model penelitian ini terdiri dari dua tahap. Tahap pertama menjelaskan permintaan social disclosure (SD Demand) berdasarkan narrow financial based stakeholders . Tahap kedua menjelaskan tingkat pemenuhan permintaan praktik social disclosure (SD Supply) dan hubungannya dengan karakteristik perusahaan dan variabel kontrolnya yaitu corporate governance mechanism . Berikut ini merupakan kerangka konseptual yang menggambarkan model penelitian dan hubungan masing-masing variabel dalam penelitian.

Gambar II.1 Kerangka Konseptual

INFORMATION GAP

Annual report

Step 1 Step 2

INDEX

Wawancara Kuesioner

DEMAND SUPPLY

Variabel Dependen

SOCIAL DISCLOSURE

Variabel Independen

tipe industri

Variabel Kontrol

kepemilikan institusi

proporsi dewan komisaris independen

Karakteristik

Perusahaan

commit to user

Pengujian hipotesis dilakukan untuk menjawab rumusan masalah yang kedua yaitu menguji apakah karakteristik perusahaan berpengaruh terhadap tingkat pengungkapan sosial (baik menggunakan indeks (weighted) maupun tidak menggunakan indeks (unweighted)). Karakteristik perusahaan meliputi leverage, tipe industri, size, dan profitabilitas. Corporate governance digunakan sebagai variabel kontrol, meliputi kepemilikan institusi dan komposisi dewan komisaris independen. Berikut ini merupakan telaah penelitian terdahulu dan pengembangan hipotesis yang dilakukan,

Teori keagenan memprediksi bahwa perusahaan dengan rasio leverage yang lebih tinggi akan mengungkapkan lebih banyak informasi, karena biaya keagenan perusahaan dengan struktur modal seperti itu lebih tinggi (Jensen dan Meckling, 1976). Tambahan informasi diperlukan untuk menghilangkan keraguan pemegang obligasi terhadap dipenuhinya hak-hak mereka sebagai kreditur (Schipper, 1981 dalam Marwata, 2001; Meek et.al, 1995 dalam Fitriany, 2001). Oleh karena itu perusahaan dengan rasio leverage yang tinggi memiliki kewajiban untuk melakukan ungkapan yang lebih luas daripada perusahaan dengan rasio leverage yang rendah.

Pendapat lain dikemukakan oleh Belkaoui dan Karpik (1989) bahwa sesuai dengan teori agensi maka manajemen perusahaan dengan tingkat leverage yang tinggi akan mengurangi pengungkapan tanggung jawab sosial yang dibuatnya agar tidak menjadi sorotan dari para debtholder. Hasil penelitian

commit to user

signifikan terhadap pengungkapan tanggung jawab sosial perusahaan. Setelah melihat beberapa penelitian yang telah dilakukan, misalnya penelitian Aulia dan Suhardjanto (2009); Fitriany (2001); Belkaoui dan Karpik (1989); Amalia (2005) hasilnya menunjukkan bahwa leverage berpengaruh negatif terhadap pengungkapan sosial, maka hipotesis satu dirumuskan sebagai berikut.

H 1 : leverage berpengaruh negatif terhadap pengungkapan sosial

2. Tipe Industri

Perusahaan yang termasuk dalam industri yang high-profile akan memberikan informasi sosial lebih banyak dibandingkan perusahaan yang low- profile . Roberts (1992) dalam Hackston dan Milne (1996) mendefinisikan industri yang high-profile adalah industri yang memiliki visibilitas konsumen, risiko politis yang tinggi, atau menghadapi persaingan yang tinggi. Preston (1977) dalam Hackston dan Milne (1996) mengatakan bahwa perusahaan yang memiliki aktivitas ekonomi yang memodifikasi lingkungan, seperti industri ekstraktif, lebih mungkin mengungkapkan informasi mengenai dampak lingkungan dibandingkan industri yang lain. Cowen, et al. (1987) dalam Hackston dan Milne (1996) mengatakan bahwa perusahaan yang berorientasi pada konsumen diperkirakan akan memberikan informasi mengenai pertanggungjawaban sosial karena hal ini akan meningkatkan image perusahaan dan mempengaruhi penjualan.

Klasifikasi tipe industri oleh banyak peneliti sifatnya sangat subyektif dan berbeda-beda. Roberts (1992) dalam Hackston dan Milne (1996)

commit to user

yang high-profile. Sedangkan Diekers dan Perston (1977) dalam Hackston dan Milne (1996) mengatakan bahwa industri ekstraktif merupakan industri yang high-profile . Patten (1991) dalam Hackston dan Milne (1996) mengelompokkan industri pertambangan, kimia dan kehutanan sebagai industri yang high-profile. Atas dasar pengelompokkan di atas, penelitian ini kemudian mengelompokkan industri konstruksi, pertambangan, pertanian, kehutanan, perikanan, kimia, otomotif, barang konsumsi, makanan dan minuman, kertas, farmasi dan plastik sabagai industri yang high-profile. H2: Tipe industri berpengaruh terhadap pengungkapan sosial

3. Profitabilitas

Di dalam Oliveira et al. (2008) dijelaskan hubungan antara profitabilitas dengan pengungkapan. Agency theory menyatakan bahwa aktivitas pengungkapan merupakan sebuah mekanisme untuk mengontrol kinerja manajer. Oleh karena itu, manajer terdorong untuk mengungkapkan informasi sukarela untuk mempertahankan posisi mereka. Konsisten dengan signalling theory, perusahaan dengan tingkat profitabilitas yang besar diharapkan lebih dapat mengungkapkan good news untuk menghindarkan undervaluation atas saham perusahaan. Political cost theory mendorong ide bahwa perusahaan dengan tingkat profitabilitas yang tinggi memiliki dorongan yang kuat untuk mengungkapkan lebih banyak, dalam rangka memperlihatkan kepada pasar bagaimana dan dari mana, laba perusahaan diperoleh.

commit to user