BAB I PENDAHULUAN - Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Kearifan Lokal, Penjualan Tanah dan Globalisasi: Studi Kasus atas Penjualan Tanah di Sungai Kajang
BAB I PENDAHULUAN 1. Latar Belakang Masyarakat Dayak Bakati di dusun Pengapit seringkali disebutkan dengan
orang Dayak Bakati di Sungai Kajang. Dusun Pengapit merupakan bagian dari wilayah Desa Madak, Kecamatan Subah Kabupaten Sambas, Kalimantan Barat. Orang
Dayak Bakati disebutkan demikian karena kata Kati (artinya: tidak) yang frekuensi
penyebutannya paling banyak didengar dan mendapat tambahan awalan ‘ba’ sehingga disebut
1 Bakati. Tentang asal-usul Dayak Bakati di Sungai Kajang dapat dirunut dari pencatatan data dan juga tradisi lisan.Wilayah dusun Pengapit desa Madak termasuk dalam daftar salah satu wilayah relatif terpencil yang mendapat perhatian untuk pemerataan pembangunan dari Pemerintah. Salah satu cara pemerintah untuk memajukan perekenomian di wilayah terpencil ini yaitu kehadiran proyek di wilayah pedalaman Kalimantan Barat. Di Kalimantan Barat tedapat dua sumber utama bagi pembangunan daerah sesuai dengan
2
keadaan alam dan kondisi geografinya yaitu hutan dan perkebunan. Berdasarkan catatan Dinas Kehutanan dan Provinsi Dati I di Kalimantan Barat tahun 1990 ada 75 perusahaan HPH yang terdaftar dan beroperasi di daerah Kalimantan Barat sejak
3 tahun 1968.
1 2 John Bamba, Mozaik Dayak di Kalimantan Barat (Pontianak: Institut Dayakologi, 2007), 21.
Paulus Florus dan Stepanus Djuweng, Kebudayaan Dayak: Aktualisasi dan Transformasi (Pontianak: Institut Dayakologi, 2010), 220. Perkebunan kelapa sawit di Kalimantan Barat masuk dalam urutan kedua
4
terbesar setelah Sumatera. Perluasan perkebunan kelapa sawit dinilai positif untuk mendukung percepatan laju perekonomian suatu daerah sebagaimana yang dilansir
5
dalam berita berikut ini: Dalam Sinar Harapan.CO, 15-8-2015, jurnalis Aju melaporkan pernyataan Ketua Gabungan pengusaha Kelapa Sawit Indonesia
Provinsi Kalimantan Barat yang mengatakan bahwa kalangan pelaku usaha menargetkan luas areal kebun kelapa sawit di Provinsi Kalimantan Barat secara bertahap hingga 5,02 juta hektar. Luas areal saat itu (Agustus 2015) sekitar 1,3 juta hektare. Disebutkan juga dengan luas 1,3 juta hektare kebun kelapa sawit mampu menyerap 101.883 tenaga kerja. Dengan demikian, perkebunan kelapa sawit dapat dipandang sebagai tulang punggung perekonomian daerah.
Pada saat ini saja telah ada Dua Puluh Dua perusahaan sawit di Kalimantan Barat dengan luas keseluruhan lahan yang dipakai untuk perkebunan kelapa sawit ialah 1.312.517 Ha (64 persen dari total lahan yang ada) dari total area perkebunan di Kalbar seluas 2.050.152 Ha, dengan total produksi CPO tahun 2014 mencapai
6
1.174.499 ton. Dalam perkembangan data Bapeda tahun 2000 menjelaskan bahwa perkebunan kelapa sawit telah merampas 330.000 Ha tanah rakyat oleh 84
7
perusahaan. Sementara data tahun 2001 disebutkan perkebunan kelapa sawit telah tumbuh sangat cepat hingga hampir seluruh pelosok Kalimantan Barat telah ditanami sawit. Hadirnya perusahaan kelapa sawit di Sungai Kajang marak cerita penjualan 4 Kalimantan Barat ‘Surga’ Perkebunan Kelapa Sawit,
5 (diakses pada 11 November 2016) Leo Sutrisno, Kelapa Sawit, (diakses pada 4 April 2017) 6 Andry Saragih, Daftar Nama Perusahaan Sawit di Kalimantan Barat, (diakses pada 11 November 2016) 7 Anton P Widjaja, Menolak Takluk: Panduan Aktivis Rakyat (Pontianak: Institut Dayakologi, tanah yang dilakukan oleh masyarakat Dayak Bakati di Sungai Kajang. Penjualan tanah ini merupakan pola baru dalam hidup masyarakat Dayak Bakati yang dahulu tidak mengenal sistem jual beli tanah. Proses jual beli tanah yang mereka lakukan adalah menyerahkan tanah sebagai Hak Guna Usaha kepada perusahaan.
Kehadiran perusahaan kelapa sawit membawa perubahan ekologi, sosial dan budaya bagi masyarakat Dayak Bakati di Sungai Kajang. Dahulu mata pencaharian masyarakat adalah bertani atau berladang tetapi kini sebagian besar mata pencaharian mereka adalah buruh kelapa sawit. Beberapa tahun belakangan ini marak terdengar penjualan tanah bahkan sampai terjadi sengketa. Ketika terjadi penjualan tanah secara otomatis mereka bukan lagi ‘tuan’ atau pemilik sepenuhnya atas tanah tersebut.
Dahulu mereka adalah pemilik tanah namun kini mereka menjadi pekerja ‘upahan’ atas tanah yang telah mereka jual. Perubahan sosial budaya jelas terjadi dalam kehidupan masyarakat Dayak Bakati di Sungai Kajang.
Konsep tanah dalam masyarakat Dayak Bekati bukanlah sembarang materi yang dapat dialihkan atau dijual dengan mudah. Menurut Dayak Bakati tanah dalam arti fisik berarti tanah sebagaimana diartikan dalam kamus, yaitu permukaan kulit bumi yang berada paling atas. Tanah dalam pengertian filosofis ialah sebagai suatu tempat dimana segala peristiwa berlangsung secara terus menerus dari awal sampai akhir. Dalam peristiwa tersebut terimplikasi segala peristiwa baik dalam arti magis maupun dalam realitas keseharian yang secara langsung maupun tidak langsung
8
mempengaruhi tatanan masyarakat adat ini. Dalam tradisi Dayak Bakati ketika tanah yang mereka pakai untuk berladang tidak boleh dipergunakan terus menerus. Tanah 8 Bider..,
tersebut harus diistirahatkan selama 10 sampai 20 tahun. Kearifan lokal masyarakat Dayak Bakati melihat tanah bukan sebagai bagian komoditas tetapi sebagai bagian dari kehidupan. Kearifan lokal dapat dipahami sebagai usaha manusia dengan menggunakan akal budinya (kognisi) untuk bertindak dan bersikap terhadap sesuatu,
9
objek, atau peristiwa yang terjadi dalam ruang tertentu. Kearifan lokal masyarakat Dayak Bakati terhadap tanah mempengaruhi kelestarian dari alam di Kalimantan Barat.
Pesatnya perkebunan kelapa sawit di Kalimantan Barat merupakan bagian dari pengaruh globalisasi. Globalisasi dalam pandangan umum diartikan sebagai konsekuensi perkembangan cepat teknologi yang merangsang laju pertumbuhan
10
ekonomi ke tingkat tak terperikan. Saat globalisasi mengukur keberhasilan dan kemajuan dari ekonomi maka akan menemukan benturan dengan masyarakat di pedalaman yang tidak mengukur demikian. Bagi ekonom tanah akan dilihat sebagai
11
aspek komoditas dan dipakai untuk memenuhi kepentingan nalar industrialis. Bagi masyarakat adat dengan kearifan lokal melihat tanah bukan sebagai komoditas tetapi
12 sebagai bagian kehidupan dan memiliki aspek sosial-religius.
Pengaruh globalisasi ini juga membawa dampak bagi wilayah-wilayah di Kalimantan Barat yang awal mulanya adalah masyarakat tradisional dan kemudian beradaptasi dengan modernisasi. Ketika yang tradisional ini bertemu dengan 9 Yustinus Wilhelmus, Local Wisdom Suku Dayak Tergeser Akibat Modernisasi
,” Kompasiana, 16 April (diakses tanggal 12 Oktober 2016) 10 11 Ali Sugihardhanto, Globalisasi Perspektif Sosialis (Jakarta: Penerbit Cubuc, 2001), 157.
Dominggus Elcid Li, “Tanah Ulayat, Kapitalisme Global dan Sikap Gereja”, Zakaria Ngelow (ed) Teologi Tanah (Makassar: Yayasan Oase Intim, 2015), 232. 12 Masri Singarimbun, “Hak Ulayat Masyarakat Dayak”, Paulus Florus (ed) Kebudayaan modernisasi ada gap yang tampak dalam kehidupan keseharian masyarakat. Gap itu terjadi ketika mereka mulai mengabaikan nilai kearifan lokal demi tuntutan kebutuhan hidup modern. Modernisasi juga membuat mereka ‘melek’ akan teknologi. Hal inilah yang dimaksudkan oleh Anthony Giddens seorang sosiolog bahwa di satu sisi globalisasi itu melemahkan kebudayaan lokal namun di sisi lain membantu
13 membangkitkannya.
Berbicara tentang kearifan lokal dan globalisasi menempatkan kedua hal ini seumpama dua kutub yang berlawanan. Dalam beberapa jurnal atau tulisan mengenai globalisasi dan kearifan lokal seringkali perjumpaan globalisasi dengan nilai kearifan lokal memposisikan globalisasi sebagai superior “raksasa” yang menyingkirkan nilai kearifan lokal. Dalam beberapa jurnal dengan pemikiran post modernisme berusaha untuk memaparkan persoalan yang muncul di masyarakat lokal Indonesia (suku suku di daerah) dapat diatasi dengan kesadaran untuk kembali pada nilai kearifan lokal. Sebagaimana ketiga jurnal berikut ini yang menjadi komparasi atas pokok pikiran tentang kearifan lokal. Ketiga jurnal itu ialah:
1. Pewarisan Nilai-Nilai Kearifan Lokal untuk Memproteksi Masyarakat Bali dari
14 Dampak Negatif Globalisasi
15 2.
Local Wisdom dan Perilaku Ekologis Masyarakat Dayak Benuaq 13 Ahmad Kusuma Djaya, Teori-Teori Modernitas dan Globalisasi: Melihat Modernitas Cair,
(Bantul: Kreasi Wacana, 2012), 93 Neoliberalisme Serta Berbagai Bentuk Modernitas Mutakhir 14 Ni Putu Suwardani, Pewarisan Nilai-Nilai Kearifan Lokal untuk Memproteksi Masyarakat Bali dari Dampak Negatif Globalisasi dalam Jurnal Kajian Bali, (diakses pada 18 Januari 2017). 15 Hetti Rahmawati, Local Wisdom dan Perilaku Ekologis Masyarakat Dayak Benuaq dalam
Jurnal Ilmiah Psikologi,
3. Local Wisdom dan Globalisasi (menyikapi Globalisasi terhadap komunitas
16 Pattuvam Panchayat di India)
Berdasarkan jurnal yang berjudul “Pewarisan Nilai –Nilai Kearifan Lokal untuk Memproteksi Masyarakat Bali dari Dampak Negatif, peneliti melihat dampak negatif dari Globalisasi yang telah mengubah perilaku orang Bali. Menurut Ni Putu Suwardani, perubahan ini seperti dua sisi mata uang yang memiliki sisi positif dan sisi negatif. Sisi positifnya, masyarakat Bali menjadi pulau yang sangat modern karena perkembangan teknologi yang turut mempermudah kehidupan masyarakat Bali. Sisi negatifnya pengaruh teknologi juga membahayakan generasi muda dengan nilai-nilai sekuler yang pragmatis, positivis, individualis dan sikap hedonis masyarakat Bali. Hal ini berakibat terjadinya pertentangan antara nilai lokal masyarakat Bali yang sebelumnya bercorak kolektif, komunal dan ritualistik kemudian berubah menjadi individualistis dan asosial. Semua ini bisa terjadi karena pengaruh globalisasi, yang sedemikian membuka ruang dan percepatan informasi budaya asing yang dinilai lebih praktis dan modern bagi generasi muda. Dengan terpaan konsumerisme dan materialistis yang terjadi di lingkungan modern masyarakat Bali dikhawatirkan kelak merubah karakter manusia Bali yang sesungguhnya. Menurut Ni Putu Suwardani dibutuhkan kesadaran melalui pendidikan akan nilai-nilai kearifan lokal Bali dari generasi tua dan juga pendidik formal kepada generasi muda Bali. Agar masyarakat Bali tetap mampu mempertahankan identitasnya tanpa harus terseret arus globalisasi maka salah satu caranya adalah memiliki ketahanan budaya lokal yang tinggi.
16 Retnowati, Globalisasi dan Kearifan Lokal (Menyikapi Globalisasi, Refleksi Terhadap
Komunitas Pattuvam Panchayat di India dalam Jurnal Waskita, ejournal.uksw.edu
Sementara itu, Hetti Rismawati dalam tulisan Jurnalnya yang berjudul Local Wisdom dan Perilaku Ekologis Masyarakat Dayak Benuaq memperlihatkan bahwa globalisasi membawa pengaruh rusaknya hutan dan menurunnya kualitas hidup manusia. Eksploitasi ini merusak wajah asli kehidupan masyarakat lokal Dayak Benuaq di sekitar hutan bertahun-tahun yang lampau. Bagi masyarakat Dayak Benuaq tanah, hutan dan tumbuhan adalah bagian siklus hidup mereka yang memiliki nilai transendental. Mereka tidak dapat memperlakukan alam dengan seenaknya bahkan ada ritual atau tata cara untuk memakai lahan dan hasil hutan seperti pohon (contoh ritual mekanyahu untuk izin menebang pohon ulin). Nilai transendental dalam muatan pemahaman kearifan lokal ini yang tergerus karena mulai adanya pendatang atau masyarakat yang tidak lagi mengenal budaya leluhur masyarakat Dayak Benuaq. Mereka yang ingin memanfaatkan atau mengeksploitasi hutan akhirnya menjadi perusak alam dan tidak lagi menghargai nilai kearifan lokal yang dianut masyarakat Dayak. Menurut peneliti nilai kearifan lokal dinilai mampu untuk menjaga kelestarian hutan. Namun demikian ini perlu dilakukan dalam bentuk kerjasama yang baik antara pemerintah dengan pranata adat yang ada di sekitar wilayah hutan Kalimantan.
Dalam konteks yang berbeda dari Indonesia pun ternyata globalisasi juga membawa pengaruh negatif sebagaimana yang terjadi di India. Bagi Retnowati dalam pengamatannya terhadap gerakan Pattuvam Pachayat di India, berpendapat perlunya suatu gerakan untuk mengatasi arus globalisasi tidak cukup hanya pendidikan penyadaran. Mengapa? Hal ini dikarenakan globalisasi memang tidak dapat dihindarkan sebagaimana masalah bukan untuk dihindari tetapi untuk diselesaikan.
Dalam artikel ini, Retnowati sepakat dengan pendapat Roland Robertson dalam ruang bagi yang partikular, yang berbeda untuk memiliki semangat dalam meningkatkan diri, memperbaharui keadaan dalam menemukan tradisi dan identitas
17
komunal. Ini artinya di satu sisi globalisasi harus diakui membawa masalah tetapi di sisi lain juga dapat menjadi peluang untuk menumbuhkembangkan, meningkatkan nilai lokal dan menemukan identitas komunal. Gerakan nyata sebagaimana Pattuvam Pachayat di India menerapkan nilai lokal lewat kelompok yang secara terorganisir untuk menggemakan dan mempraktekkan nilai kearifan lokal.
Berdasarkan ketiga pemikiran di atas, penulis mencoba melihat keterhubungan antara nilai kearifan lokal dalam arus globalisasi dan dampaknya bagi kehidupan masyarakat Dayak Bakati. Bahwa arus globalisasi adalah sesuatu yang sulit untuk dihindarkan sebagaimana realitas sosial yang menunjukkan bahwa kehidupan terus mengalami perubahan.
Di satu sisi globalisasi membawa dampak positif seperti halnya kemajuan teknologi dan membuat masyarakat Dayak menjadi ‘melek’ informasi. Globalisasi membuat mereka juga ingin mengikuti pola hidup modernisme yang cirinya adalah menetapkan standar yang sama demi kepentingan pasar. Contohnya: rumah yang baik dan nyaman itu adalah rumah yang permanen dan tembok beton. Masyarakat Dayak Bakati di Sungai Kajang mengukur kemampuan finansial dilihat dari kendaraan yang dimiliki ( motor/ mobil). Globalisasi seakan menawarkan sebuah kebebasan yang memberikan ruang bagi setiap orang untuk berkompetisi dalam memenuhi kebutuhan
18 hidup mereka. 17 Retnowati, Agama dan Globalisasi: Refleksi Teori
- – Teori Globalisasi dan Relevansinya
Terhadap Persoalan – Persoalan Sosial, Gereja dan Masyarakat ( Salatiga: Fakultas Teologi UKSW
Salatiga, 2015), 37
Konsep dan teori yang digunakan untuk mengkaji masyarakat Dayak Bakati dalam perkembangan Globalisasi ialah konsep glokalisasi dari Roland Robertson.
Fenomena budaya masyarakat Dayak Bakati yang tetap dengan identitasnya sebagai komunitas Dayak tetapi tidak menerapkan nilai kearifan lokal. Mereka memaknai dirinya sebagai bagian dari modernisasi yang tidak lagi menerapkan kearifan lokal tetapi memilih sikap konsumtif. Teori glokalisasi menjelaskan bahwa globalisasi adalah bagian dari modernisasi yang sulit untuk dihindarkan dan bagaimana di tengah
19
tarik-menarik yang kuat ini tetap memberi ruang bagi yang partikular Ruang yang partikular salah satunya adalah nilai kearifan lokal yang semakin diperkuat untuk lebih mempersiapkan masyarakat dari pengaruh negatif globalisasi. Di antara dua ketegangan yaitu kearifan lokal dan globalisasi maka glokalisasi mencoba untuk membangun kesadaran dan mempersiapkan masyarakat Dayak Bakati dari pengaruh negatif globalisasi.
2. Rumusan Masalah
Berdasarkan penjelasan yang telah disebutkan di atas maka masalah yang akan dirumuskan dalam penulisan tesis ini ialah :
1. Bagaimana mereka memaknai kearifan lokal tentang tanah yang ada? 2.
Apakah yang mendorong mereka untuk turut dalam penjualan tanah? 3. Apakah kearifan lokal masih relevan di era globalisasi bagi masyarakat Dayak
Bakati di Sungai Kajang?
3. Pembatasan Masalah
Tesis ini akan memaparkan konteks masyarakat Dayak Bakati di dusun Sungai Kajang. Sungai Kajang adalah nama kampung di dusun Pengapit yang berada di desa Madak, kecamatan Subah, kabupaten Sambas Kalimantan Barat. Kabupaten Sambas merupakan kota kabupaten yang terletak pada bagian utara dari Kalimantan Barat. Jarak
tempuh dari kota Pontianak (kota propinsi) menuju kabupaten Sambas ialah 256 km dan jarak
dari Sambas ke dusun Sungai Kajang ialah 23 km. Kearifan lokal yang dimaksudkan dalam penulisan ini pun dibatasi tentang kearifan lokal masyarakat Dayak Bakati terhadap tanah.4. Tujuan Penelitian
Mengacu pada masalah penelitian yang digambarkan di atas, maka tujuan penelitian ini difokuskan pada:
1. Menjelaskan makna dari kearifan lokal tentang tanah yang ada di masyarakat Dayak Bakati di Sungai Kajang.
2. Menjelaskan dan menganalisa penjualan tanah yang terjadi di Sungai Kajang.
3. Menjelaskan dan menganalisa kearifan lokal dan relevansinya akibat pengaruh globalisasi di Sungai Kajang.
5. Manfaat Penelitian
Melalui penelitian ini diharapkan masyarakat Dayak Bakati semakin sadar untuk menerapkan nilai kearifan lokal. Masyarakat Dayak Bekati sadar akan ancaman kepunahan eksistensi mereka dan dampak negatif globalisasi. Harapannya adalah mereka tidak menjadi konsumtif semata dalam kehidupan modern tetapi lebih edukatif.
6. Metode Penelitian
Metode yang digunakan adalah metode kualitatif. Lokasi penelitian adalah Kampung Sungai Kajang di Desa Madak, Kecamatan Subah Kalimantan Barat.
Teori- teori akan diperoleh melalui tinjauan pustaka, observasi perilaku masyarakat Dayak Bekati dan wawancara terhadap tokoh adat masyarakat Dayak Bakati.
7. Sistematika Penulisan
Tulisan penelitian ini akan dikemas dengan sistematika sebagai berikut: Bab I: Penulis akan memaparkan konteks penelitian, studi yang sebelumnya pernah dilakukan, kerangka berpikir, pertanyaan penelitian, tujuan penelitian, manfaat penelitian, metodologi penelitian dan sistematika penulisan; Bab II: berisi pendekatan teoretis pandangan globalisasi dalam pertemuan yang lokal dengan global; Bab III: penulis akan memaparkan gambaran umum profil masyarakat Dayak Bakati di Sungai Kajang; Bab IV: penulis akan memaparkan hasil analisa atau temuan terhadap persoalan yang terjadi; Bab V: penulis akan memaparkan kesimpulan dan saran/ rekomendasi baik kepada masyarakat dan pemerintah setempat dan kepada Gereja sebagai institusi. Sehingga dapat memberi masukan atau upaya penyadaran terhadap masyarakat Dayak Bakati di Sungai Kajang, dusun Pengapit, desa Madak, Kalimantan Barat.