Analisa Kemantapan Lereng Menggunakan Metode Elemen Hingga Dengan Pendekatan Model Soft Soil

  Sistem klasifikasi Unified membagi tanah dalam tiga golongan besar yaitu tanah berbutir kasar, tanah berbutir halus dan tanah organik. Tanah berbutir kasar adalah tanah yang lebih dari 50% bahannya tertahan di ayakan No.200 (0.075 mm). Tanah berbutir kasar terbagi atas kerikil (G) dan pasir (S). Kerikil dan pasir dikelompokkan sesuai dengan gradasinya dan kandungannya lanau atau lempung, sebagai bergradasi baik (W), bergradasi tidak baik (P), mengandung material lanau (M) dan mengandung meterial lempung (c). Maka klasifikasi tipikal GP adalah material krikil yang bergradasi tidak baik.

  Tanah-tanah berbutir halus adalah tanah yang lebih dari 50% bahannya lewat ayakan No. 200. Tanah butir halus ini dibagi menjadi lanau (M), lempung (C), serta lanau dan lempung organik (O) bergantung pada bagaimana tanah itu terletak pada grafik plastisitas (hubungan batas cair, indeks plastisitas). Tanda L dan H ditambahkan pada simbol-simbol tanah tanah butir halus untuk berturut- turut menunjukkan plastisitas rendah dan plastisitas tinggi (batas cair di bawah dan di atas 50%). Tanah sangat organis (gambut) dapat diidentifikasikan secara visual. Tabel 2.3.1 sampai 2.3.2 merupakan bagan yang praktis, berasarkan klasifikasi tanah sistem Unified, yang dapat digunakan secara umum untuk menggolongkan sifat-sifat penting dan kesesuaian relatif sesuatu tanah bagi berbagai kegunaan.

2.2.2. Kuat Geser Tanah

  Kuat geser tanah adalah gaya perlawanan yang dilakukan oleh butir

  • – butir tanah terhadap desakan atau tarikan. Bila tanah mengalami pembebanan maka kohesi tanah akan tergantung pada jenis dan kepadatannya, tetapi tidak tergantung dari tegangan vertikal yang bekerja pada bidang geser.

  Gesekan antar butir

  • – butir tanah yang besarnya berbanding lurus dengan tegangan vertikal pada bidang geser sangat mempengaruhi kestabilan suatu lereng. Kuat geser tidak memiliki suatu nilai tunggal tetapi dilapangan sangat dipengaruhi oleh faktor
  • – faktor berikut :

  1. Keadaan tanah, angka pori, ukuran butir, bentuk butir

  • – bahan yang ada.

  σ = Tegangan total (Kg/cm

  kohesif . Sebaliknya tanah yang banyak mengandung butiran halus, seperti lempung, lanau dan koloid, disebut tanah berbutir halus atau tanah kohesif.

  Karena tanah berbutir kasar tidak mempunyai komponen kohesi ( c = 0), maka kuat gesernya hanya bergantung pada gesekan antar butiran tanah. Tanah- tanah semacam ini disebut tanah granuler atau tanah tak kohesif atau tanah non

  ) Dalam persamaan kuat geser tanah komponen kohesi tidak bergantung pada tegangan normal. Sebaliknya, komponen tahanan gesek bergantung pada besarnya tegangan normal.

  ϕ = Sudut geser dalam tanah (derajat, o

  )

  2

  µ = Tekanan air pori (Kg/cm

  )

  2

  )

  2. Jenis tanah, seperti pasir, berpasir, krikil, lempung atau jumlah relatif dari bahan

  2

  c = Kohesi tanah (Kg/cm

  )

  2

  τ = Tahanan geser tanah atau kuat geser tanah (Kg/cm

  Dengan :

  

τ = c + (σ-µ) tg ϕ ………………………………………………………. …(2.1)

  Kuat geser tanah dapat dinyatakan dalam persamaan Coulomb :

  4. Jenis beban dan tingkatannya, beban yang cepat akan menghasilkan tekanan pori yang berlebih.

  3. Kadar air terutama untuk lempung

  Untuk memperoleh kekuatan geser tanah dapat dilakukan pengujian kuat geser baik di laboratorium maupun di lapangan. Pengujian kuat geser tanah di laboratorium dapat dilakukan dengan uji geser langsung (Direct Shear Test), uji triaxial dan uji tekan bebas (Unconfined Compression Test). Sedangkan untuk memperoleh kekuatan geser tanah di lapangan dapat dilakukan dengan uji sondir, uji SPT (Standart Penetration Test) dan Uji geser baling-baling (Van Shear Test).

2.2.2.1 Pengujian Kuat Geser Tanah di Laboratorium

a) Uji Geser Langsung (Direct Shear Test)

  Pada pengujian Direct Shear seperti terlihat pada Gambar 2.4, kekuatan geser tanah diperoleh dengan cara menggeser contoh tanah yang diberi beban normal Kekuatan yang diperoleh dari percobaan tersebut adalah dalam kondisi karena air di dalam pori tanah diijinkan keluar selama pembebanan.

  drained

  Untuk memperoleh hasil yang akurat, pengujian dilakukan minimum 3 kali dengan beban normal yang berbeda-beda.

Gambar 2.4 Skema Pengujian Geser Langsung

  Uji geser langsung merupakan pengujian yang sederhana sehingga mudah dilakukan, selain sederhana pengujian ini juga cocok untuk tanah non-kohesif (granular). Tetapi uji geser langsung ini memiliki beberapa kekurangan yaitu bidang keruntuhan contoh tanah sudah diketahui sebab bidang keruntuhan contoh tanah dipaksa terjadi di sepanjang perbatasan antara tanah yang berada di kotak bagian atas dan bagian bawah (Gambar 2.4), bukan pada bidang tanah yang paling lemah. Penyebaran tekanan yang terjadi pada bidang keruntuhan tidak merata namun di dalam perhitungan tegangan geser yang terjadi diasumsikan merata sepanjang bidang keruntuhan.

b) Uji Triaxial

  Sesuai dengan kondisi dan waktu pembebanan yang akan dilaksanakan di lapangan, maka pengujian triaxial dibagi menjadi tiga (3) metode, yaitu : (UU test atau Quick test), Consolidated

  Unconsolidated Undrained test Undrained test (CU test) dan Consolidated Drained test (CD test).

Gambar 2.5 Alat Uji Triaxial 1.

  Unconsolidated Undrained test (UU test atau Quick Test) Cara ini dipilih berdasarkan kondisi pembebanan yang akan dilakukan di lapangan, yaitu bila kecepatan pembebanan jauh melebihi kecepatan keluarnya air dari pori tanah, sehingga contoh tanahakan runtuh sebelum tanah terkonsolidasi dan dengan demikian tekanan air pori di dalam tanah akan meningkat. Ketentuan dalam pengujian ini sebagai berikut.

  Contoh tanah harus jenuh.  Tidak terjadi perubahan volume contoh tanah, baik sebelum dan selama

   pengujian.

  Air dari dalam pori contoh tanah tidak diijinkan keluar. Peningkatan

   tekanan air pori yang terjadi selama pengujian dapat diukur. Sudut geser-dalam tanah pada umumnya mendekati nol.

   2. Consolidated Undrained test (CU test)

  Metode ini dipilih apabila dalam kenyataan di lapangan, lapisan tanah sudah mengalami konsolidasi (consolidated) sebelum beban diberikan sehingga volume tanah sudah berubah. Sedangkan pada saat pembebanan, kecepatan pemberian beban melebihi kecepatan keluamya air dari pori tanah (undrained).

  Secara umum beberapa kondisi berikut harus dipenuhi: Contoh tanah harus jenuh.

   Contoh tanah harus dikonsolidasikan terlebih dulu sehingga besamya

   tekanan air di dalam contoh tanah sebelum pembebanan adalah nol. Air dari dalam pori tanah tidak diijinkan keluar pada saat pemberian beban

   dan peningkatan tekanan air pori yang tetjadi selama penekanan dapat diukur.

3. Consolidated Drained test (CD test)

  Pengujian dengan cara ini dipilih jika lapisan tanah diijinkan mengalami konsolidasi (consolidated) sebelum pembebanan dan kecepatan pembebanan yang akan dialami tanah relatif lebih rendah dibandingkan dengan kecepatan keluarnya air dari pori tanah (drained). Secara umum, pengujian ini harus memperhatikan beberapa hal sebagai berikut.

  Contoh tanah harus jenuh.  Contoh tanah telah terkonsolidasi secara sernpuma, sehingga tidak ada

   peningkatan tekanan air pori di dalam contoh tanah. Air pori diperbolehkan keluar dari pori tanah selama pengujian.

  

  Kohesi untuk semua jenis tanah (c) yang diperoleh mendekati nol.

   c) Uji tekan Bebas (Unconfined Compression Test) Pengujian Unconfined Compression Test dapat dilihat pada Gambar 2.6.

  Metode ini masih sering digunakan karena sangat sederhana, praktis, dan cepat untuk menentukan kohesi tanah lempung jenuh (C ) dalam keadaan undrained.

  u

  Namun harus diingat bahwa pengujian ini hanya akurat untuk tanah lempung jenuh, yang tidak mempunyai sudut geser-dalam ( Ф = 0 ).

  (a) Skema Uji Geser Langsung (b) Skema keruntuhan Benda uji Gambar 2.6.

2.2.2.2 Pengujian Kuat Geser Tanah di Lapangan

a) Uji Geser Kipas

  Beberapa macam alat telah digunakan untuk mengukur tahanan geser tanah kohesif. Salah satunya adalah alat uji geser kipas atau geser baling - baling (vane shear test). Salah satu jenis alatnya terdiri dari kipas baja seinggi 10 cm dan diameter 5 cm yang berpotongan saling tegak lurus (Gambar 2.7). dalam peraktek, terdapat beberpa ukuran kipas yang bisa digunakan.

  Pada saat melakukan pengujian, alat ini di pasang pada ujung bor, kipas berserta tangkainya ditekan ke dalam tanah, kemudian di putar dengan kecepatan 6 sampai 12Ú per menit. Besarnya torsi (tenaga puntiran) yang di butuhkan untuk memutar kipas diukur karena tanah tergeser menurut bentuk silinder vertical yang terjadi di pinggir baling-baling, tahanan geser tanah dapat dihitung, jika dimesi baling-baling dan gaya puntiran diketahui.

  Pengukuran dilakukan sepanjang kedalaman tanah yang diselidiki, pada jarak interval kira-kira 30 cm. bila pengukuran dilakukan dengan pembuatan lubang dari alat bor, kipas ditancapkan paling sedikit berjarak 3 kali diameter lubang bor diukur dari dasar lubangnya. Hal ini dimaksudkan untuk menyelidiki tanah yang benar-benar tak terganggu oleh operasi pengeboran. Kuat geser tanah yang telah berubah susunan tanahnya (remoulded) dapat pula dilakukan dengan pengukuran torsi minimum yang dibutuhkan untuk memutar baling-baling secara cepat dan kontinu.

Gambar 2.7. (a) Alat Uji Geser Kipas (b) Zona Distorsi

  Studi yang mendetail telah membuktikan bahwa kuat geser tanah lempung yang diperoleh dari uji geser kipas di lapangan terlalu besar (Aman,dkk., 1975).

  Hal ini disebabkan oleh zona geser yang terjadi saat tanah geser,lebih besar dari bidang runtuh tanahnya, perluasan bidang runtuh tergantung dari macam dan kohesi tanah.

2.2.3 Sifat Indeks Tanah

  1. Angka Pori (Void ratio (e)) Besar pori

  • – pori yang menghubungkan antar partikel sangat berpengaruh pada keadaan material di lapangan, semakin kecil angka pori
  • – pori partikel maka hubungan antara partikel semakin kuat dan ini sangat berpengaruh pada keadaan tegangan geser antar partikel. Angka pori biasanya dinyatakan dalam desimal atau

  3

  centimeter kubik (cm ). Karena pori

  • – pori material dalam satuan luas dan pada tanah kohesif (lengket apabila basah) nilai angka pori mencapai 0,8 – 1,1.

  2. Kadar Air (Water Content (w)) Banyak kandungan air yang mengisi pori

  • – pori material dapat mempengaruhi tekanan lateral, sehingga menyebabkan bertambahnya tegangan geser.

  3. Derajat Kejenuhan (Degree of Saturation (Sr)) Persamaan ini menyatakan rasio antara air yang ada didalam pori

  • – pori tanah terhadap jumlah total yang akan terdapat apabila seluruh pori
  • – pori terisi air. Derajat kejenuhan merupakan persentase dari volume rongga total yang mengandung air.

  4. Porositas (Porosity (n)) Porositas dinyatakan dalam persentase walaupun dalam perhitungan teknis sebagai desimal.

  5. Berat Jenis Butiran Tanah (Specific Grafity (Gs)) Nilai berat jenis ini dapat berubah apabila butiran tanah tersebut telah diberi gaya

  • – gaya, keadaan porositas butiran dalam tanah juga dapat mempengaruhi.

6. Koefisien Rembesan Tanah (Coefficient of Permeability)

  Koefisien rembesan tanah adalah nilai yang menyatakan kemampuan tanah dalam meloloskan air. Nilai ini bergantung pada beberapa faktor, yaitu : kekentalan cairan, distribusi ukuran pori, distribusi ukuran butir, angka pori, kekasaran permukaan butiran tanah dan derajat kejenuhan tanah. Pada tanah berlempung struktur tanah memegang peranan penting dalam menentukan koefisien rembesan. Faktor-faktor lain yang mempengaruhi sifat rembesan tanah lempung adalah konsentrasi ion dan ketebalan lapisan air yang menempel pada butiran lempung.

  Harga koefisien rembesan atau k untuk tiap-tiap jenis tanah tentunya berbeda-beda. Beberapa harga koefisien rembesan tanah ditunjukkan oleh Tabel

  2.5. Tabel 2.5 Harga-harga Koefisien Rembesan Pada Umumnya

  Jenis Tanah K Kerikil Bersih

  1.0

  • – 100 Pasir Kasar
  • – 0.001 Pasir Halus
  • – 0.001 Lanau 0.001
  • – 0.00001 Lempung Kurang dari 0.000001

  0.01

  Vs Vv Sr saturation of ree

  Dimana :

  Gs grafity specific ) (

      e Wgs

      

   Berat jenis butiran tanah

  ( n porosity )

     v Vv

     

   Porositas/

  ) ( deg

    

   Angka Pori/

     

   Derajat kejenuhan  

  1.0

    

     

   Kadar air/

  ) (

  Vs Vv e ratio void

    

  

  

Ms

Mw ( w content water )

  • Ms = Massa Padat Vw = Volume air
  • V = Volume total tanah Vv = Volume pori
  • Mw = Massa air
  • 2.3 Analisa Kestabilan Lereng

  Vs = Volume partikel padat

2.3.1 Faktor Keamanan

  Tingkat kemantapan atau kestabilan dari sebuah lereng dilihat dari nilai faktor keamanan yang dimiliki oleh lereng tersebut. Yang sangat mempengaruhi nilai faktor keamanan ini adalah tegangan geser dan kuat geser. Tegangan geser pada lereng bekerja sebagai gaya pendorong sementara kuat geser bekerja sebagai gaya penahan.

  Dimana : W = Berat Benda T = Gaya Geser β = Kemiringan Lereng

Gambar 2.8. Mekanisme Gerakan Tanah Pada Bidang Miring

  Pada dasarnya keruntuhan lereng dapat dianalogikan dengan mekanisme garakan benda pada bidang miring seperti yang terlihat di gambar 2.8. Gaya yang menyebabkan longsor adalah T, gaya inilah yang dikatakan sebagai tegangan geser. Sementara gaya yang menahan kelongsoran adalag R, gaya ini disebut kuat geser tanah. Maka kelongsoran akan terjadi apabila tegangan geser (T) yang berkerja lebih besar dari kuat geser tanah (R). Dengan demikian dapat dirumuskan bahwa faktor keamanan itu adalah perbandingan antara gaya penahan dengan gaya penyebab longsor.

  ………………………………………(2.2) Tabel Hubungan Nilai Fk dengan Kestabilan Lereng Menurut Sowers Tabel 2.6. (1979) Dalam Cheng Liu (1981)

  Nilai Fk Kestabilan Lereng

  FK < 1 Tidak Aman Stabilitas lereng meragukan 1 ≤ FK ≤ 1,2

  FK > 1,2 Aman

2.3.2. Metode Analisis Kemantapan Lereng

  Cara analisis kestabilan lereng banyak dikenal, tetapi secara garis besar dapat dibagi menjadi tiga kelompok yaitu: cara pengamatan visual, cara komputasi dan cara grafik (Pangular, 1985).

  Cara pengamatan visual adalah cara dengan mengamati langsung di lapangan dengan membandingkan kondisi lereng yang bergerak atau diperkirakan bergerak dan yang yang tidak, cara ini memperkirakan lereng labil maupun stabil dengan memanfaatkan pengalaman di lapangan (Pangular, 1985). Cara ini kurang teliti, tergantung dari pengalaman seseorang. Cara ini dipakai bila tidak ada resiko longsor terjadi saat pengamatan. Cara ini mirip dengan memetakan indikasi gerakan tanah dalam suatu peta lereng.

  Cara komputasi adalah dengan melakukan hitungan berdasarkan rumus (Fellenius, Bishop, Janbu, Sarma, Bishop modified, metode elemen hingga dan lain-lain). Cara Fellenius dan Bishop menghitung Faktor Keamanan lereng dan dianalisis kekuatannya. Menurut Bowles (1989), pada dasarnya kunci utama gerakan tanah adalah kuat geser tanah yang dapat terjadi : (a) tak terdrainase, (b) efektif untuk beberapa kasus pembebanan, (c) meningkat sejalan peningkatan konsolidasi (sejalan dengan waktu) atau dengan kedalaman, (d) berkurang dengan meningkatnya kejenuhan air (sejalan dengan waktu) atau terbentuknya tekanan pori yang berlebih atau terjadi peningkatan air tanah.

  Cara grafik adalah dengan menggunakan grafik yang sudah standar (Taylor, Hoek & Bray, Janbu, Cousins dan Morganstren). Cara ini dilakukan untuk material homogen dengan struktur sederhana. Material yang heterogen (terdiri atas berbagai lapisan) dapat didekati dengan penggunaan rumus (cara komputasi). Stereonet, misalnya diagram jaring Schmidt (Schmidt Net Diagram) dapat menjelaskan arah longsoran atau runtuhan batuan dengan cara mengukur strike/dip kekar-kekar (joints) dan strike/dip lapisan batuan.

2.3.2.1 Metode Fellenius

  Ada beberapa metode untuk menganalisis kestabilan lereng, yang paling umum digunakan ialah metode irisan yang dicetuskan oleh Fellenius (1939).

  Metode ini banyak digunakan untuk menganalisis kestabilan lereng yang tersusun oleh tanah, dan bidang gelincirnya berbentuk busur (arc-failure).

  Menurut Sowers (1975), tipe longsorang terbagi kedalam 3 bagian berdasarkan kepada posisi bidang gelincirnya, yaitu longsorang kaki lereng (toe

  failure ), longsorang muka lereng (face failure), dan longsoran dasar lereng (base

  ). Longsoran kaki lereng umumnya terjadi pada lereng yang relatif agak

  failure o

  curam (>45 ) dan tanah penyusunnya relatif mempunyai nilai sudut geser dalam

  o

  yang besar (>30 ). Longsoran muka lereng biasa terjadi pada lereng yang mempunyai lapisan keras (hard layer), dimana ketinggian lapisan keras ini melebihi ketinggian kaki lerengnya, sehingga lapisan lunak yang berada diatas lapisan keras berbahaya untuk longsor. Longsoran dasar lereng biasa terjadi pada lereng yang tersusun oleh tanah lempung, atau bisa juga terjadi pada lereng yang tersusun oleh beberapa lapisan lunak (soft seams).

  Perhitungan lereng dengan metode Fellenius dilakukan dengan membagi massa longsoran menjadi segmen-segmen seperti pada Gambar 2.9.

  Gaya Yang Bekerja Pada Longsoran Lingkaran Gambar 2.9.

  Ʃ x = Ʃ τ.l.R……………...........……………………………………………. (2.3) FK = .......................................................................................................(2.4) Dimana : W = Berat sepanjang segmen tanah (KN/m)

  i

  l = Panjang busur lingkaran pada segmen yang dihitung (m)

  i

  X = Jarak horisontal dari pusat gelincir ke titik berat segmen (m)

  i R = Jari-jari lingkaran keuntuhan (m)

2 R = Tegangan geser (Kg/cm )

  Sedangkan untuk tanah yang kohesif dengan sudut geser dalam tanah nol (Ф = 0), maka : FK =

  …………………………………………………….……………(2.5) Dimana :

  2 Cu = Kuat geser tanah tak terdainase (Kg/cm )

  = Sudut antara bidang horisontal dengan garis kerja kohesi tanah θ L = Panjang total busur gelincir, L =

  = Sudut busur lingkaran gelincir ω Untuk tanah c-

  Ф, maka : FK =

  ……...…………………………………………………....(2.6) Dimana :

2 C = Kuat geser tanah (Kg/cm )

  W = Berat segmen tanah (Kg) Metode Fellenius dapat digunakan pada lereng-lereng dengan kondisi isotropis, non isotropis dan berlapis-lapis. Massa tanah yang bergerak diandaikan terdiri dari atas beberapa elemen vertikal. Lebar elemen dapat diambil tidak sama dan sedemikian sehingga lengkung busur di dasar elemen dapat dianggap garis lurus.

  Berat total tanah/batuan pada suatu elemen (W,) termasuk beban Iuar yang bekerja pada permukaan lereng (gambar 2) Wt, diuraikan dalam komponen tegak lurus dan tangensial pada dasar elemen. Dengan cara ini, pengaruh gaya T dan E yang bekerja disamping elemen diabaikan. Faktor keamanan adalah perbandingan momen penahan longsor dengan penyebab Iongsor. M = R. r

  

penahan ………………………………………………………………...(2.7)

  Dimana : R = gaya geser r = jari-jari bidang longsor Tahanan geser pada dasar tiap elemen adalah :

  ’ ’

  R = S.b = b (c ) 

  • σ tan Ф σ = …………………………………(2.8) Momen penahan yang ada sebesar :

  ’ ’

  M = r (c b + W )

  penahan t

  cos α tan Ф ………….…………………..……………(2.9) Komponen tangensial Wt, bekerja sebagai penyebab Iongsoran yang menimbulkan momen penyebab sebesar:

  M = (W

  

penyebab t sin α ) . r………………………….…………..………………(2.10)

  Faktor keamanan dari lereng menjadi :

  ( )

  FK = ……..……….……………………………...……(2.11)

  Jika lereng terendam air atau jika muka air tanah diatas kaki lereng, maka tekanan air pori akan bekerja pada dasar elemen yang ada dibawah air tersebut.

  Dalam hal ini tahanan geser harus diperhitungkan yang efektif sedangkan gaya penyebabnya tetap diperhitungkan secara total, sehingga rumus menjadi :

  ( )

  FK = ………..…………………….…………….…(2.12)

  Sistem Gaya pada Metode Fellenius Gambar 2.10.

2.3.2.2 Metode Bishop

  Metode ini pada dasarnya sama dengan metode swedia, tetapi dengan memperhitungkan gaya-gaya antar irisan yang ada. Metode Bishop mengasumsikan bidang longsor berbentuk busur lingkaran. Pertama yang harus diketahui adalah geometri dari lereng dan juga titik pusat busur lingkaran bidang luncur, serta letak rekahan. Untuk menentukan titik pusat busur lingkaran bidang luncur dan letak rekahan pada longsoran busur dipergunakan grafik.

  Metode Bishop yang disederhanakan merupakan metode sangat populer dalam analisis kestabilan lereng dikarenakan perhitungannya yang sederhana, cepat dan memberikan hasil perhitungan faktor keamanan yang cukup teliti. Kesalahan metode ini apabila dibandingkan dengan metode lainnya yang memenuhi semua kondisi kesetimbangan seperti Metode Spencer atau Metode Kesetimbangan batas umum, jarang lebih besar dari 5%. Metode ini sangat cocok digunakan untuk pencarian secara otomatis bidang runtuh kritis yang berbentuk busur lingkaran untuk mencari faktor keamanan minimum.

  Metode Bishop sendiri memperhitungkan komponen gaya-gaya (horizontal dan vertikal) dengan memperhatikan keseimbangan momen dari masing-masing potongan. Metode ini dapat digunakan untuk menganalisis tegangan efektif.

  Cara analisis yang dibuat oleh A.W. Bishop (1955) menggunakan cara elemen dimana gaya yang bekerja pada tiap elemen ditunjukkan pada seperti pada

Gambar 2.11. Persyaratan keseimbangan diterapkan pada elemen yang membentuk lereng tersebut.Gambar 2.11. Stabilitas Lereng Dengan Metode Bishop

  Faktor kemanan dihitung berdasarkan rumus ;

  ( )

  FK = …….………………………………………………(2.13)

  Harga m.a dapat ditentukan dari Gambar 2.12. Cara penyelesaian merupakan coba ulang (trial and errors) harga faktor keamanan FK di ruas kiri persamaan faktor keamanan diatas, dengan menggunakan Gambar 2.12. untuk mempercepat perhitungan. Faktor keamanan menurut cara ini menjadi tidak sesuai dengan kenyataan, terlalu besar, bila sudut negatif ( - ) di lereng paling bawah mendekati 30°. Kondisi ini bisa timbul bila lingkaran longsor sangat dalam atau pusat rotasi yang diandalkan berada dekat puncak lereng. Faktor keamanan yang didapat dari cara Bishop ini lebih besar dari yang didapat dengan cara Fellenius.

Gambar 2.12. Harga m.a Untuk Persamaan Bishop

2.3.2.3 Metode Janbu

  Metode ini digunakan untuk menganalisis lereng yang bidang longsornya tidak berbentuk busur lingkaran. Bidang longsor pada analisis metode janbu ditentukan berdasarkan zona lemah yang terdapat pada massa batuan atau tanah.

  Cara lain yaitu dengan mengasumsikan suatu faktor keamanan tertentu yang tidak terlalu rendah. Kemudian melakukan perhitungan beberapa kali untuk mendapatkan bidang longsor yang memiliki faktor keamanan terendah.

Gambar 2.13. Aplikasi Metode Janbu Metode Janbu, untuk tanah berbutir kasar :

  Qp = Ap (c · Nc’+ q’· Nq’) …………………………………………..……...(2.14) Dimana :

  2

  c = Kohesi tanah (Kg/cm ) Nc’, Nq’ = Faktor daya dukung ujung tiang berdasarkan tabel Janbu

Gambar 2.14. Faktor Daya Dukung Ijin Dengan Sudut Geser Dalam

  Janbu (1954) mengembangkan suatu cara analisa kemantapan lereng yang dapat diterapkan untuk semua bentuk bidang longsor.

Gambar 2.15. Analisa Kemantapan Lereng Janbu

  Sistem Gaya Pada Suatu Elemen Menurut Cara Janbu Gambar 2.16. Keadaan keseimbangan untuk setiap elemen dan seluruh massa yang longsor mengikuti persamaan dibawah ini :

  Ʃ S sin α + N cos α = Ʃ Δ W, dimana Ʃ Δ T = 0 ……………………………(2.15) Ʃ (-S cos α + N sin α )= - Q, dimana Ʃ Δ E + Q = 0 ………………….……(2.16) Kriteria kemantapan lereng menggunakan rumus terakhir.

  Berdasarkan kriteria keruntuhan coulomb, faktor keamana dapat dikutip dengan rumus :

  ( ( ) )

  FK = = ……………………………………….…(2.17)

  ( )

2 Dimana : n α = cos α ( 1+ tan α tan θ / F) …………………………………(2.18)

  Dari kondisi momen keseimbangan diperoleh : T = - tan α E …………………………………………………………..(2.19) Tx = - tan α t …………………………………………………(2.20)

  ∑ ( ) Pada rumus yang dipakai terdapat besaran t yang tidak diketahui apabila kondisi tegangan tidak diketahui. Meskipun demikian dengan membuat asumsi kedudukan gaya yang bekerja, harga yang cukup teliti dar Tx dapat diperoleh dari rumus 2.20.

2.3.2.4 Metode Elemen Hingga

  Metode elemen hingga dalam rekayasa geoteknik adalah metode yang membagi-bagi daerah yang akan dianalisis kedalaman bagian-bagian yang kecil.

  Bagian-bagian yang kecil inilah yang disebut dengan elemen. Semakin banyak pembagian elemen maka hasil perhitungan numeriknya akan semakin mendekati kondisi asli. Metode elemen hingga pada rekayasa geoteknik memiliki sedikit perbedaan dengan metode elemen hingga pada rekayasa struktur, sebab dalam rekayasa geoteknik terjadi interaksi elemen yang memiliki kekakuan yang berbeda. Seperti halnya pondasi, dalam menganalisis pondasi dengan metode elemen hingga terdapat perdeaan kekakuan antara dua elemen, yaitu elemen tanah dan elemen struktur atau pondasi itu sendiri.

  Adapun tahapan-tahapan analisa dengan menggunaka metode elemen hingga adalah sebagai berikut :

a) Pemilihan Tipe Elemen

Gambar 2.17. Jenis-Jenis Elemen

  Pada dasarnya, elemen-elemen dalam Metode Elemen Hingga (MEH) bisa dibedakan menjadi 3, yaitu 1D (line elements), 2D (plane elements), dan 3D. Untuk alasan biaya, sebisa mungkin pemodelan MEH bisa dilakukan dengan elemen yang sesederhana mungkin. Jika elemen-elemen 1D sudah mencukupi, maka tidak perlu elemen-elemen 2D. Demikian pula, jika 2D sudah cukup, tidak perlu 3D. Tentu saja, problem yang sebetulnya cukup dimodelkan dengan elemen- elemen 1D bisa dimodelkan dengan 2D atau 3D. Demikian pula problem yang sebetulnya cukup dimodelkan dengan elemen-elemen 2D bisa dimodelkan dengan

  2D. Namun biaya akan lebih besar untuk hasil yang tidak berbeda.

  Gambar 2. 18. Titik Nodal dan Titik Integrasi Di dalam elemen terdapat dua jenis titik, yaitu titik nodal dan juga titik integrasi. Titik nodal adalah titik yang menghubungkan elemen satu dengan elemen lainnya. Pada titik nodalah terjadi perpindahan. Sementara Titik Integrasi adalah adalah titik yang berada di dalam elemen. Dari titik integrasi dapat diperoleh tegangan dan juga regangan di elemen. Titik integrasi juga dikenal sebagai stress point. Elemen 1D yang mirip dengan spring element adalah truss

  . Bedanya dengan spring element, truss element memiliki sifat-sifat yang

  element

  berasal dari material yaitu Young Modulus E, Poison ratio v, luasan penampang, dan panjang. Dengan demikian, besarnya stress akan bisa dihitung, dengan terlebih dulu mengetahui strain, displacement, dan gaya yang bekerja. Problem fisik yang bisa dianggap sebagai truss adalah batang yang cukup panjang, dan disambung dengan pin pada ujung-ujungnya.

  Pada spring element dan truss element, respons hanya memiliki nilai pada satu arah saja, yaitu arah memanjang (longitudinal). Dengan demikian, kedua elemen ini hanya memiliki dof translasi pada arah longitudinalnya saja. Hanya saja, jika spring element atau truss element diletakkan menyudut pada sistem koordinat global, maka response bisa diuraikan dalam dua arah sumbu (x, y) atau tiga arah sumbu (x, y, z).

  Elemen 1D lain yang juga sering dipakai dalam pemodelan adalah beam element. Elemen ini sama dengan truss, dengan tambahan bahwa beam element menerima beban bending, yang dengan demikian stress tidak hanya berupa

  , namun juga shear stress. Berbeda dengan spring element dan truss

  normal stress

  element yang hanya memiliki dof translasi pada arah longitudinalnya, beam element memiliki dof translasi ke semua arah dan juga dof rotasi ke semua arah.

  Elemen-elemen 2D digunakan jika response memiliki nilai signifikan ke 2 arah (biasanya x dan y), sedangkan response pada arah yang lainnya (yaitu z) diabaikan. Load hanya bekerja “along the x-y plane”. Namun geometri pada arah z tidak selalu harus diabaikan, misalnya pada kasus plain strain, dimana dimensi pada arah z bisa sangat besar nilainya (misalnya sebuah pipa yang panjang) namun strain hanya diukur pada bidang x dan y saja. Dof yang dimiliki oleh elemen plane hanyalah translasi pada arah x dan arah y, tanpa ada rotasi.

  Bentuk elemen 2D yang umum dipakai adalah triangular element (segitiga) dan quadrilateral element (segiempat). Jika order elemennya adalah 1 maka sisi-sisi elemen tersebut (edges) berupa garis lurus. Namun jika order elemennya lebih dari 1 (kuadrat, kubik, dst) maka sisi-sisinya bisa berupa kurva.

  Adapun pada elemen-elemen 3D, response pada ketiga arah (x, y, z) memiliki besar yang signifikan. Secara umum elemen-elemen 3D bisa dibedakan menjadi solid elements, shell elements, dan solid-shell elements. Semua elemen

  3D memiliki dof translasi pada arah x, y, dan z pada setiap nodenya, tanpa dof rotasi.

  Bentuk elemen 3D yang umum dipakai adalah tetrahedral element (limas segitiga) dan hexahedral element (balok, batubata). Jika order elemennya adalah 1 maka edge dan surface elemen tersebut berupa garis yang rata dan bidang yang rata. Namun jika ordernya lebih dari satu, maka dimungkinkan edge dan surface elemen tersebut berupa garis dan bidang yang melengkung. Terdapat pula elemen 3D yang memiliki node ditengah-tengah titik beratnya.

b) Pemilihan Fungsi Perpindahan

  Fungsi perpindahan atau yang lebih dikenal dengan shape function dan disimbolkan dengan N adalah fungsi yang menginterpolasikan perpindahan di titik nodal ke perpindahan di elemen dengan menggunakan segitiga pascal. Pemilihan fungsi perpindahan bergantung pada jenis elemen yang dideskripsikan.

  Di dalam pemilihan fungsi perpindahan, hal mendasar yang perlu diketahui adalahan, fungsi perpindahan di titik yang ditinjau selalu bernilai 1 dan bernilai 0 di titik lainnya. Berikut penjabaran fungsi perpindahan menggunakan matriks.

Tabel 2.7 Pemilihan Fungsi Perpindahan

  1 2 ξ 3 η 4 ξ η

  • a + a + a X ( ξ , η ) = a
  • a + a + a

  5

  6

  7

8 Y ( ξ , η ) = a ξ η ξ η

  Maka,

  ( )

  ( ) = ( )

  ( )

  Jika matriks tersebut dipisah maka akan diperoleh :

  ( )

  ( ) = [

  ( )

  ] (

  )

c) Pendefenisian Regengan dan Tegangan

  Pada tahapan ini matriks perpindahan merupakan turunan pertama dari fungsi perpindahan yang dipilih di tahap sebelumnya. Dengan demikian dapat diketahui tegangan dan regangan yang terjadi di titik integrasi untuk setiap elemennya. Adapun persamaan matriksnya adalah sebagai berikut :

d) Menentukan Metriks Kekakuan

  Persamaan dari matriks kekakuan adalah sebagai berikut : Dimana D adalah matriks konstitutif yang nilainya bergantung pada jenis permodelan.

  ( )  Untuk elemen plain stress ( )  Untuk elemen plain strain

  ( )( )

  Setelah matriks kekakuan untuk setiap elemen diperoleh makan rubahlah koordinat lokal menjadi koordinat global untuk mengetahui gaya-gaya yang berkerja pada elemen yang dimodelkan.

2.4. Plaxis

  Plaxis merupakan program yang berbasis metode elemen hingga dalam menyelesaikan permasalahan-permasalah yang berkaitan dengan tanah. Plaxis pertama kali dikembangkan di Belanda pada tahun 1987 oleh Technical yang dimaksudkan sebagai alat bantu dalam menganalisis

  University Of Delft

  permasalahan tanah yang sering dihadapi oleh ahli-ahli Geoteknik. Walaupun pengujian dan validasi telah banyak dilakukan, tetap tidak ada jaminan bahwa program plaxis bebas dari kesalahan. Simulasi geoteknik dengan menggunakan metode elemen hingga telah secara implisit melibatkan kesalahan pemodelan dan kesalahan numerik yang tidak dapat dihindari. Akurasi dari keadaan sebenarnya di lapangan sangat bergantung pada keahlian pengguna dalam memodelkan permasalahan, pemahaman terhadap model-model, penentuan parameter yang akan digunakan dan kemampuan untuk melakukan interpretasi dari hasil analisis menggunakan program plaxis tersebut. Di dalam program plaxis ada beberapa jenis permodelan tanah, antara lain model tanah Mohr

  • – Coulomb dan model Tanah Lunak (soft soil).

2.4.1. Model Tanah Mohr – Coulomb

  Model Mohr

  • – Coulomb adalah model Linear elastic dan Plastic sempurna (Linear Elastic Perfectly Plastic Model) yang melibatkan lima buah parameter inti, yaitu :

   Modulus kekakuan tanah (mod. Young ), E dan Poisson rasio yang memodelkan keelastikan tanah, v

   Kohesi tanah, c dan sudut geser dalam tanah, Ф yang memodelkan perilaku plastic dari tanah.

   Sudut dilatansi, ψ yang memodelkan prilaku dilatansi tanah.

  Model ini cukup baik sebagai tingkat pertama (first order) pendekatan perilaku tanah dan batuan. Disini setiap lapis tanah dianggap mempunyai kekakuan yang konstan atau meningkat secara linear terhadap kedalaman. Kelemahan model ini adalah melinearkan kekakuan tanah (tidak memperhitungkan perubahan nilai E terhadap perubahan tegangan).

2.4.2. Model Tanah Lunak (Soft Soil)

  Model tanah lunak ini diambil berdasarkan teori Cam

  • – Clay yang dikembangkan di Cambridge. Seperti pada model Mohr – Coulomb, batas kekuatan tanah dimodelkan dengan parameter kohesi, c, sudut geser dalam, Ф dan sudut dilatansi, Ф. Sedangkan untuk kekakuan tanah dimodelkan dengan

  dan kappa, k , yang merupakan parameter menggunakan parameter lamda, λ kekakuan yang diturunkan dari uji triaksial maupun oedometer.

  λ =

  • * ……………………………………………………….………....(2.21)
    • * ( )

      k =

      ……………………………………………………………….…(2.22)

      ( )

      / k = 2,5 λ – 7,0 Model tanah lunak ini dapat memodelkan hal

    • – hal sebagai berikut :

       Kekakuan yang berubah bersama dengan tegangan (Stress Dependent

      Stiffness)

       Membedakan pembebanan primer (primary loading) terhadap unloading – reloading.

       Mengingat tegangan pra – konsolidasi.  Kriteria keruntuhan sesuai dengan teori Mohr – Coulomb.