PANCASILA SEBAGAI ETIKA POLITIK (5)

PANCASILA SEBAGAI ETIKA POLITIK
BAB I
PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG
Pengertian politik berasal dari kosa kata politics yang memiliki makna
bermacam-macam kegiatan dalam suatu sistem politik atau negara yang
menyangkut proses penentuan tujuan-tujuan. Untuk melaksanakan tujuan-tujuan
perlu di tentukan kebijakan-kebijakan umun atau piblis policies, yang menyangkut
peraturan dan pembagian dari sumber-sumber yang ada. Dan politik selalu
menyangkut tujuan-tujuan dari seluruh masyarakat bukan tujuan pribadi seseorang.
Selain itu politik juga menyangkut kegiatan berbagai kelompok termasuk partai
politik, lembaga masyarakat maupun perseorangan.

B. TUJUAN
Tujuan etika politik adalah mengarahkan kehidupan politik yang lebih baik,
baik bersama dan untuk orang lain, dalam rangka membangun institusi-institusi
politik yang adil. Etika politik membantu untuk menganalisa korelasi antara
tindakan individual, tindakan kolektif, dan struktur-struktur politik yang ada.
Penekanan adanya korelasi inimenghindarkan pemahaman etika politik yang
diredusir menjadi hanya sekadar etika individual perilaku individu dalam bernegara.


BAB II
PEMBAHASAN
PANCASILA SEBAGAI ETIKA POLITIK
A. Pengertian
Pengertian etika sebagai suatu usaha,flsaat dibagi menjadi beberapa cabang
menurut lingkungan bahasanya masing masin. Cabang cabang itu dibagi menjadi
dua kelompok bahasan pokok yaitu flsafat teoritis dan flsafat praktis. Filsafat
teoritis mempertanyakan dan berusaha mencari jawabannya tentan g segala
sesuatu,misalnya hakikat manusia,alam,hakikat realitas sebagai suatu

keseluruhan,tentang pengetahuan,tentang apa yang kita ketahui dan flsafat
teoritispun juga mempunyai maksud maksud dan berkaitan erat dengan hal hal
yang bersifat praktis,karena pemahaman yang dicari menggerakkan kehidupannya .
[1]
Etika adalah suatu ilmu yang membahas tentang dan bagaimana kita dan
mangapa kita mengikuti suatu ajaran moral tertentu,atau bagaimana kita harus
mengambil sikap yang bertanggung jawab berhadapan dengan berbagai ajaran
moral.[2]
Etika berkaitan dengan masalah nilai karena etika pada pokoknya

membicarakan masalah masalah yang berkatan dengan prediket nilai “susila” dan
“tidak susila”,,”baik” dan “buruk”.
Etika Politik adalah flsafat moral tentang dimensi politis kehidupan manusia.
Bidang pembahasan dan metode etika politik. Pertama etika politik ditempatkan ke
dalam kerangka flsafat pada umumnya. Kedua dijelaskan apa yang dimaksud
dengan dimensi politis manusia. Ketiga dipertanggungjawabkan cara dan metode
pendekatan etika politik terhadap dimensi politis manusia itu.
sejak abad ke-17 flsafat mengembangkan pokok-pokok etika politik seperti:
-

Perpisahan antara kekuasaan gereja dan kekuasaan Negara

-

Kebebasan berpikir dan beragama (Locke)

-

Pembagian kekuasaan (Locke, Montesquie)
Kedaulatan rakyat (Rousseau)

Negara hokum demokratis/republican (Kant)

-

Hak-hak asasi manusia (Locke, dsb)

-

Keadilan sosial

B. Etika Politik
Etika politik tidak dapat dipisahkan dengan subjek sebagai pelaku etika yaitu
manusia. Oleh karena itu etika politik berkait dengan bidang pembahsan moral. Hal
ini berdasarkan kenyataan bahwa pengertian moral senantiasa menunjuk kepada
manusia sebagai subjek etika.[3]
Pengertian etika politik berasal dari kata ‘politics’ yang memiliki makna
bermacam macam kegiatan dalam suatu sitem politik atau Negara yang
menyangkut proses penentuan tujuan-tujuan dari system itu dan diikuti dengan

pelaksanaan-pelaksanaan itu. Pengambilan keputusan mengenai apakah yang

menjadi tujuan dari system itu.[4]

C. Lima Prinsip Dasar Etika Politik Pancasila
Kalau membicarakan Pancasila sebagai etika politik maka ia mempunai lima
prinsip itu berikut ini disusun menurut pengelompokan pancasila, maka itu bukan
sekedar sebuah penyesuaian dengan situasi Indonesia, melainkan karena Pancasila
memiliki logika internal yang sesuai dengan tuntutan-tuntutan dasar etika politik
modern (yang belum ada dalam Pancasila adalah perhatian pada lingkungan hidup).

1.

Pluralisme
Pluralisme adalah kesediaan untuk menerima pluralitas, artinya, untuk hidup

dengan positif, damai, toleran, dan biasa/normal bersama warga masyarakat yang
berbeda pandangan hidup, agama, budaya, adat.[5] Pluralisme mengimplikasikan
pengakuan terhadap kebebasan beragama, kebebasan berpikir, kebebasan mencari
informasi, toleransi. Pluralisme memerlukan kematangan kepribadian seseorang
dan sekelompok orang.


2. Hak Asasi Manusia
Jaminan hak-hak asasi manusia adalah bukti Kemanusia yang adil dan
beradab. Mengapa? Karena hak-hak asasi manusia menyatakan bagaimana
manusia wajib diperlakukan dan wajib tidak diperlakukan. Jadi bagaimana manusia
harus diperlakukan agar sesuai dengan martabatnya sebagai manusia. Karena itu,
Hak-hak asasi manusia adalah baik mutlak maupun kontekstual dalam pengertian
sebagai berikut.
a. Mutlak karena manusia memilikinya bukan karena pemberian Negara,
masyarakat, melainkan karena ia manusia, jadi dari tangan Sang Pencipta.
b.

Kontekstual karena baru mempunyai fungsi dan karena itu mulai disadari, di

ambang modernitas di mana manusia tidak lagi dilindungi oleh adat/tradisi, dan
seblaiknya diancam oleh Negara modern.
Bila mengkaji hak asasi manusia secara umum, maka dapat dibedakan dalam
bentuk tiga generasi hak-hak asasi manusia:

1) Generasi pertama (abad ke 17 dan 18): hak-hak liberal, demokratis


dan

perlakuan wajar di depan hokum.
2)

Generasi kedua (abad ke 19/20): hak-hak sosial

3)

Generasi ketiga (bagian kedua abad ke 20): hak-hak kolektif

(misalnya

minoritas-minoritas etnik).

3. Solidaritas Bangsa
Solidaritas bermakna manusia tidak hanya hidup demi diri sendiri, melainkan
juga demi orang lain, bahwa kita bersatu senasib sepenanggungan. Manusia hanya
hidup menurut harkatnya apabila tidak hanya bagi dirinya sendiri, melainkan
menyumbang sesuatu pada hidup manusia-manusia lain. Sosialitas manusia

berkembnag secara melingkar: keluarga, kampong, kelompok etnis, kelompok
agama, kebangsaan, solidaritas sebagai manusia.[6] Maka di sini termasuk rasa
kebangsaan. Manusia menjadi seimbang apabila semua lingkaran kesosialan itu
dihayati dalam kaitan dan keterbatasan masing-masing. Solidaritas itu dilanggar
dengan kasar oleh korupsi.

4. Demokrasi
Prinsip “kedaulatan rakyat” menyatakan bahwa tak ada manusia, atau
sebuah elit, atau sekelompok ideology, atau sekelompok pendeta/pastor/ulama
berhak untuk menentukan dan memaksakan (menuntut dengan pakai ancaman)
bagaimana orang lain harus atau boleh hidup. Demokrasi berdasarkan kesadaran
bahwa mereka yang dipimpin berhak menentukan siapa yang memimpin mereka
dan kemana mereka mau dipimpin. Demokrasi adalah “kedaulatan rakyat plus
prinsip keterwakilan”.[7] Jadi demokrasi memerlukan sebuah system penerjemah
kehendak masyarakat ke dalam tindakan politik.
Demokrasi hanya dapat berjalan baik atas dua dasar:
Pengakuan dan jaminan terhadap HAM; perlindungan terhadap HAM menjadi prinsip
mayoritas tidak menjadi kediktatoran mayoritas.
Kekuasaan dijalankan atas dasar, dan dalam ketaatan terhadap hukum (Negara
hukum demokratis). Maka kepastian hukum merupakan unsur hakiki dalam

demokrasi (karena mencegah pemerintah yang sewenang-wenang).

5. Keadilan Sosial
Keadilan merupakan norma moral paling dasar dalam kehidupan masyarakat.
Maksud baik apa pun kandas apabila melanggar keadilan. Moralitas masyarakat

mulai dengan penolakan terhadap ketidakadilan. Keadilan social mencegah bahwa
masyarakat pecah ke dalam dua bagian; bagian atas yang maju terus dan bagian
bawah yang paling-paling bisa survive di hari berikut.
Tuntutan keadilan social tidak boleh dipahami secara ideologis, sebagai
pelaksanaan ide-ide, ideology-ideologi, agama-agama tertentu; keadilan social tidak
sama dengan sosialisme. Keadilan social adalah keadilan yang terlaksana. Dalam
kenyataan, keadilan social diusahakan dengan membongkar ketidakadilanketidakadilan yang ada dalam masyarakat. Di mana perlu diperhatikan bahwa
ketidakadilan-ketidakadilan itu bersifat structural, bukan pertama-pertama
individual. Artinya, ketidakadilan tidak pertama-tama terletak dalam sikap kurang
adil orang-orang tertentu (misalnya para pemimpin), melainkan dalam strukturstruktur politik/ekonomi/social/budaya/ideologis. Struktur-struktur itu hanya dapat
dibongkar dengan tekanan dari bawah dan tidak hanya dengan kehendak baik dari
atas. Ketidakadilan structural paling gawat sekarang adalah sebagian besar segala
kemiskinan. Ketidakadilan struktur lain adalah diskriminasi di semua bidang
terhadap perempuan, semua diskriminasi atas dasar ras, suku dan budaya.

Berdasarkan uaraian di atas, tantangan etika politik paling serius di Indonesia
sekarang adalah:
Kemiskinan, ketidakpedulian dan kekerasan sosial.
Ekstremisme ideologis yang anti pluralism, pertama-tama ekstremisme agama
dimana mereka yang merasa tahu kehendak Tuhan merasa berhak juga
memaksakan pendapat mereka pada masyarakat.
Korupsi.

D. Demensi Manusia Politik
a. Manusia Sebagai Makhluk Individu-Sosial
Berbagai paham antropologi flsafat memandang hakikat sifat kodrat
manusia, dari kacamata yang berbeda-beda. Paham individualism yang merupakan
bakal paham liberalisme, memandang manusia sebagai makhluk individu yang
bebas, Konsekuensinya dalam setiap kehidupan masyarakat, bangsa, maupun
negara dasar merupakan dasar moral politik negara. Segala hak dan kewajiban
dalam kehidupan bersama senantiasa diukur berdasarkan kepentingan dan tujuan

berdasarkan paradigma sifat kodrat manusia sebagai individu. Sebaliknya kalangan
kolektivisme yang merupakan cikal bakal sosialisme dan komunisme mamandang
siafat manusia sebagi manusia social. Individu menurut paham kolekvitisme

dipandang sebagai sarana bagi amasyarakat. Oleh karena itu konsekuensinya
segala aspek dalam realisasi kehidupan masyarakat, bangsa dan negara paham
kolektivisme mendasarkan kepada sifat kodrat manusia sebagai makhluk sosial.
Segala hak dan kewajiban baik moral maupun hukum, dalam hubungan
masyarakat, bangsa dan negara senantiasa diukur berdasarkan flsof manusia
sebagai makhluk sosial. Manusia sebagai makhluk yang berbudaya, kebebasan
sebagi invidu dan segala aktivitas dan kreatiftas dalam hidupnya senantiasa
tergantung pada orang lain, hal ini dikarenakan manusia sebagai masyarakat atau
makhluk sosial. Kesosialanya tidak hanya merupakan tambahan dari luar terhadap
individualitasnya, melainkan secara kodrati manusia ditakdirkan oleh Tuhan Yang
Maha Esa, senantiasa tergantung pada orang lain.[8]
Manusia didalam hidupnya mampu bereksistensi kare orang lain dan ia hanya
dapat hidup dan berkembang karena dalam hubunganya dengan oranglain.Dasar
flosof sebagaimana terkandung dalam pancasila yang nilainya terdapat dalam
budaya bangsa, senantiasa mendasarkan hakikat sifat kodrat manusia adalah
monodualis yaitu sbagai makhlukindividu dan sekaligus sebagai makhluk sosial.
Maka sifat serta ciri khas kebangsaan dan kenegaraan indonesia bukanlah totalis
individualistis. Secara moralitas negara bukanlah hanya demi tujuan kepentingan
dan kkesejahteraan individu maupun masyarakat secara bersama. Dasar ini
merupakan basis moralitas bagi pelaksanaan dan penyelenggaraan negara,

sehingga konsekuensinya segala keputusan, kebijaksanaan serta arah dari tujuan
negara indonesia harus dapat dikembalikan secara moral kepada dasar-dasar
tersebut.

b.Demensi Politis Kehidupan Manusia
Dimensin politis manusia senantiasa berkaitan dengan kehidupan negara dan
hukum, sehingga senantiasa berkaitan dengan kehidupan masyarakat secara
keseluruhan.Dimensi ini memiliki dua segi fundamental yaitu pengertian dan
kehendak untuk bertindak. Sehingga dua segi fundamental itu dapat diamati dalam
setiap aspek kehidupan manusia. Dua aspek ini yang senantiasa berhadapan
dengan tindakan moral manusia, sehingga mausia mengerti dan memahami akan

suatu kejadian atau akibat yang ditimbulkan karena tindakanya, akan tetapi hal ini
dapat dihindarkan karena kesadaran moral akan tanggung jawabnya terhadap
manusia lain dan masyarakat. Apabila pada tindakan moralitas kehidupan manusia
tidak dapat dipenuhi oleh manusia dalam menghadapai hak orang lain dalam
masyarakat, maka harus dilakukan suatu pembatasan secara normatif. Lembaga
penata normatif masyarakat adalah hukum. Dalam suatu kehidupan masyarakat
hukumlah yang memberitahukan kepada semua anggota masyarakat bagaimana
mereka harus bertindak. Hukum hanya bersifat normatif dan tidak secara efektif
dan otomatis menjamin agar setiap anggota masyarakat taat kepada normanormanya. Oleh karena itu yang secara efektif dapat menentukan kekuasaan
masyarakat hanyalah yang mempunyai kekuasaan untuk memaksakan
kehendaknya, dan lemabaga itu adalah negara. Penataan efektif adalah penataan
de facto, yaitu penatan yang berdasarkan kenyataan menentukan kelakuan
masyarakat. Namun perlu dipahami bahwa negara yang memiliki.

E. Nilai – nilai Pancasila Sebagai Sumber Etika Politik
Sebagi dasar flsafah negara pancasila tidak hanya merupakan sumber
derivasi peraturan perundang-undangan, malainkan juga merupakan sumber
moraliatas terutama dalam hubunganya dengan legitimasi kekuasaan, hukum serta
sebagai kebijakan dalam pelaksanaan dan penyelenggaraan negara. Sila pertama
“Ketuhanan Yang Maha Esa” serta sila ke dua “kemanusiaan yang adoil dan
beradab” adalah merupakan sumber nilai-nilai moral bagi kehidupan berbangsa dan
bernegara.
Dalam pelaksanaan dan penyelenggaraan negara, Etika politik menuntut agar
kekuasaan dalam negara dijlankan sesuai dengan Asas legalitas (Legitimasi hukum)
, secara demokrasi (legitimasi demokrasi) dan dilaksanakan berdasrkan prinsipprinsip moral (legitimasi moral). (Suseno, 1987 :115). Pancasila sebagai
suatu sistem flsafat memiliki tiga dasar tersebut. Dalam pelaksanaan dan
penyelenggaraan negara baik menyangkut kekuasaan, kebijaksanaan yang
menyangkut publik, pembagian serta kewenagan harus berdasarkan legitimimasi
moral religius serta moral kemanusiaan. Dalam pelaksanaan dan penyelenggaran
negara, segala kebijakan, kekuasaan, kewenangan.

BAB III
PENUTUP
A.

KESIMUPALAN
Etika Politik adalah flsafat moral tentang dimensi politis kehidupan manusia.

Bidang pembahasan dan metode etika politik. Pertama etika politik ditempatkan ke
dalam kerangka flsafat pada umumnya. Kedua dijelaskan apa yang dimaksud
dengan dimensi politis manusia. Ketiga dipertanggungjawabkan cara dan metode
pendekatan etika politik terhadap dimensi politis manusia itu.

FAKULTAS ILMU BUDAYA
Rizkan Ripati

I1B113026

PANCASILA SEBAGAI ETIKA POLITIK

Dokumen yang terkait

ANALISIS KARAKTERISTIK MARSHALL CAMPURAN AC-BC MENGGUNAKAN BUTON GRANULAR ASPHALT (BGA) 15/20 SEBAGAI BAHAN KOMPOSISI CAMPURAN AGREGAT HALUS

14 283 23

TEPUNG LIDAH BUAYA (Aloe vera) SEBAGAI IMMUNOSTIMULANT DALAM PAKAN TERHADAP LEVEL HEMATOKRIT DAN LEUKOKRIT IKAN MAS (Cyprinus carpio)

27 208 2

PENGARUH KONSENTRASI TETES TEBU SEBAGAI PENYUSUN BOKASHI TERHADAP KEBERHASILAN PERTUMBUHAN SEMAI JATI (Tectona grandis Linn f) BERASAL DARI APB DAN JPP

6 162 1

OPTIMASI SEDIAAN KRIM SERBUK DAUN KELOR (Moringa oleifera Lam.) SEBAGAI ANTIOKSIDAN DENGAN BASIS VANISHING CREAM

57 260 22

PENGARUH PEMBERIAN EKSTRAK TEMULAWAK (Curcuma xanthorrhiza Roxb.) SEBAGAI ADJUVAN TERAPI CAPTOPRIL TERHADAP KADAR RENIN PADA MENCIT JANTAN (Mus musculus) YANG DIINDUKSI HIPERTENSI

37 251 30

ANALISIS PROSPEKTIF SEBAGAI ALAT PERENCANAAN LABA PADA PT MUSTIKA RATU Tbk

273 1263 22

STRATEGI KOMUNIKASI POLITIK PARTAI POLITIK PADA PEMILIHAN KEPALA DAERAH TAHUN 2012 DI KOTA BATU (Studi Kasus Tim Pemenangan Pemilu Eddy Rumpoko-Punjul Santoso)

119 459 25

DAMPAK INVESTASI ASET TEKNOLOGI INFORMASI TERHADAP INOVASI DENGAN LINGKUNGAN INDUSTRI SEBAGAI VARIABEL PEMODERASI (Studi Empiris pada perusahaan Manufaktur yang Terdaftar di Bursa Efek Indonesia (BEI) Tahun 2006-2012)

12 142 22

INTENSIFIKASI PEMUNGUTAN PAJAK HOTEL SEBAGAI UPAYA PENINGKATAN PENDAPATAN ASLI DAERAH ( DI KABUPATEN BANYUWANGI

16 118 18

PERAN PT. FREEPORT INDONESIA SEBAGAI FOREIGN DIRECT INVESTMENT (FDI) DALAM PEMBANGUNAN EKONOMI INDONESIA

12 85 1