Hak Asasi Manusia Sebuah Telusuran Genea

Hak Asasi Manusia: Sebuah Telusuran
Genealogis dan Paradigmatik
Oleh Eddie Riyadi Terre

I. Pendahuluan: Dialektika Negatif
Tidak berlebihan jika dikatakan bahwa abad 20 dan sesudahnya adalah
“abad hak asasi manusia”.1 Penamaan itu tentu saja mengandung dua
aspek tak terpisahkan yaitu diskursus dan gerakan, atau teori dan
praksis. Pada tingkat diskursus kita saksikan merebaknya pelbagai
terbitan, tulisan, diskusi, training, bahkan kuliah di pelbagai belahan
dunia yang menjadikan HAM sebagai subjek utama. Pada tingkat
gerakan, kita saksikan isu HAM sebagai agenda dan program utama
mulai dari tingkat PBB hingga ke tingkat masyarakat sipil di pelbagai
belahan dunia dengan didampingi pelbagai lembaga non-pemerintah
yang bergerak di bidang hak asasi manusia. Penamaan abad hak asasi
manusia, kalau kita telusuri realitas di baliknya, tentu saja muncul dari
sebuah realitas kelam dan negatif dalam sejarah umat manusia, yaitu
pengalaman

penderitaan.


Penderitaan

yang

dimaksud

adalah

penderitaan yang disebabkan oleh perbuatan manusia itu sendiri.
Maka, sebagaimana dikatakan Magnis-Suseno:


Makalah ini dibuat untuk dipresentasikan pada Training Hak Sipol dan Politik
Berperspektif Jender dengan materi “Hak Asasi Manusia: Sejarah, Prinsip dan Isinya”,
yang diselenggarakan oleh Lembaga Damar, Lampung, pada 18 September 2006.
Mengingat banyak butir pemikiran dan argumentasi dalam paper ini adalah hasil
renungan dan racikan penulis sendiri, dengan tetap mengacu pada sumber-sumber
inspiratif terutama realitas negatif itu sendiri, maka pengutipan apa pun dari paper
ini, dengan hormat diminta untuk konfrmasi dengan penulis ke: [email protected]


Eddie Riyadi Terre adalah Koodinator Program Publikasi di ELSAM, editor,
penerjemah, Redaktur Pelaksana Jurnal Hak Asasi Manusia DIGNITAS, trainer hak
asasi manusia di pelbagai tempat dan kesempatan, dan sekarang masih terdaftar
sebagai mahasiswa Pasca-sarjana Sekolah Tinggi Filsafat Driyarkara, Jakarta.
1
Lihat Louis Henkin, The Age of Rights, New York: Columbia University Press,
1990, lihat juga N. Bobbio, The Age of Rights, terjemahan A. Cameron, Cambridge:
Polity Press, 1996, hlm. 32.

1

… hak-hak asasi tidak diciptakan dari udara kosong, melainkan
mengungkapkan sejarah pengalaman sekelompok orang yang secara
mendalam mempengaruhi cara seluruh masyarakat menilai kembali
tatanan kehidupannya dari segi martabat manusia. Sejarah itu berwujud
penderitaan, ketidakadilan, dan pemerkosaan.2

Realitas

negatif


itulah

yang

kemudian

direfeksikan

dan

kemudian diteorikan3 dan diperdebatkan oleh para pemikir hingga
dewasa ini. Biasanya, ada dua pertanyaan yang selalu menyibukkan
para pemikir tentang hak asasi manusia: apa itu hak asasi manusia,
dan

mengapa

dinamakan


hak

asasi

manusia?

Apa

pun

dan

bagaimanapun perdebatan dan jawabannya, negativitas itu tetap
mencekam

dan

menghentak

nurani


kemanusiaan.

Karena

itu,

pertanyaan tentang pendasaran sesuatu sebagai hak asasi manusia
akan dijawab: karena manusia sendiri tidak tega, ngeri, jijik terhadap
penderitaan itu, dan sekaligus ingin keluar dari realitas negatif itu.
Secara

antropologis,

manusia,

bahkan

makhluk


hidup

secara

keseluruhan, mempunyai mekanisme internal dan alamiah untuk
keluar dari penderitaan. Dari situlah kemudian “para flosof dapat, dan
memang sebaiknya, menjelaskan belakangan, bahwa hak asasi itu
memang dapat dimengerti dari latar belakang prinsip-prinsip moral
dasar interaksi manusiawi”.4
Dengan pertama-tama melihat ide hak asasi manusia muncul
dari kesadaran dan keprihatinan akan pembantaian dan pemerkosaan
manusia, berarti kita memahaminya, berpikir dan bertindak dengan
cara dialektika negatif,5 yaitu dengan menempatkan para korban
Franz Magnis-Suseno, Etika Politik, Prinsip-Prinsip Moral Dasar Kenegaraan
Modern, Jakarta: Gramedia, 1991, hlm. 136.
3
Dilihat sejarah etimologisnya, teori memang menyusuli praksis. Teori berasal
dari kata Theoros (Yunani), yakni seorang yang diutus oleh suatu masyarakat untuk
melakukan theoria, memandang, memaknai, melakukan, dst… Jadi, dalam pengertian
pra-modernnya – yang kemudian dicoba diangkat kembali oleh Teori Kritis Mazhab

Frankfurt, dengan berhutang besar pada Marx, sebagai gugatan terhadap paradigma
ilmu pengetahuan modern – teori selain memang menyusuli praksis, juga berarti
bahwa antara teori dan praksis itu sendiri tak dapat dipisahkan. Bahkan, teori adalah
praksis itu sendiri.
4
Magnis-Suseno, 1991, hlm. 136.
5
Lihat Theodor W. Adorno, Negative Dialectics, diterjemahkan oleh E.B.A dari
versi asli Jerman-nya (Negative Dialektik, 1966), New York: The Seabury Press, 1973.
2

2

realitas negatif itu sebagai subjek utama, sebagai perhatian prima
facie.6 Tanpa “keberpihakan” seperti ini, semua pembicaraan dan
perjuangan atas nama hak asasi manusia tak berarti apa-apa, bahkan
menjadi alat penindasan baru dengan gaya “serigala berbulu domba”.
Inilah

posisi


saya

dalam

menelusuri

sejarah,

prinsip

dan

kandungan hak asasi manusia. Penelusuran ini saya dekati secara
genealogis.

Pendekatan

genealogis


yang

saya

maksud

adalah

penelusuran hak asasi manusia sebagai sebuah kesadaran, sebuah
genealogi kesadaran, yaitu kesadaran dalam ide dan sekaligus gerakan
yang terkait-kelindan dan tidak terputus-putus. Namun, penelusuran
genealogis ini saya batasi pada era modern yaitu mulai zaman
Pencerahan

hingga

era

kontemporer. 7


Selain

itu,

penelusuran

genealogis ini dibagi atas fase-fase dengan berangkat dari tonggaktonggak penting gerakan hak asasi manusia, jadi bukan pada asal-usul
perdebatan teoretisnya, meskipun tidak bisa dinafkan bahwa tonggak
sejarah yang dimaksud tidak mungkin terlepas dari diskursus gagasan
yang diketengahkan oleh para pemikir berpengaruh pada zamannya.
Karena itu, saya membagi fase genealogis hak asasi manusia atas tiga:
Fase

I,

Praperang

Dunia

I-II


yang

meliputi

tonggak

sejarah

penentangan monarki absolut di Inggris dan Prancis hingga perjuangan
kemerdekaan di Amerika; Fase II, Pasca-perang Dunia I-II yang
merupakan era penegakan rule of law dan demokratisasi; Fase III, fase
kontemporer yang ditandai globalisasi dan neoliberalisme.

6
Prinsip prima facie, yang secara harfah berarti “kesan pertama”, pertama
kali dikemukakan oleh William David Ross untuk mengatasi dilema tindakan etis
dalam teori etika deontologi Immanuel Kant. Prima facie berarti tindakan etis yang
diambil di antara pelbagai pilihan yang tampak pada “pandangan pertama” dan
diyakini saat itu sebagai “tindakan yang benar”, terlepas dari hal itu benar atau tidak
di masa depan. Pada tingkat yang lebih luas, prinsip prima facie ini sering disamakan
sebagai “rasa keadilan”. Lihat W.D. Ross, The Right and the Good, Gloucestershire:
Clarendon Press, 1930.
7
Jadi, meskipun berhutang banyak pada konteks perbudakan di Yunani kuno
dan pemikiran flosofs para pemikir besarnya semisal Plato, Aristoteles, konteks
Romawi Kuno, dan pelbagai sejarah bangsa-bangsa lainnya, penelusuran genealogis
saya di sini tidak mencakupi itu, melainkan pelbagai konteks dan refeksi zaman itu
saya pandang sebagai referensi yang terartikulasi secara lebih signifkan dalam era
kontemporer sebagaimana saya maksudkan dalam tulisan ini.

3

Setelah itu, saya akan mengetengahkan empat paradigma utama
dalam memandang hak asasi manusia, yang kemudian berimplikasi
pada pengelompokan atau kategorisasi hak asasi manusia itu sendiri.
Paradigma itu antara lain adalah: paradigma klasik-liberal (libertarian),
paradigma kontrak sosial dan rule of law, paradigma liberal-republikan,
dan paradigma sosialis atau Marxian. Meskipun, penekanan dari
masing-masing paradigma itu berbeda, namun akan kita lihat pada
bagian selanjutnya bahwa ternyata prinsip-prinsip yang menjadi dasar
setiap konsep hak asasi manusia itu memiliki kesamaan. Prinsip-prinsip
itu antara lain adalah bahwa hak asasi manusia itu bersifat universal,
ditegakkan secara non-diksriminatif, menuntut partisipasi aktif dari
masyarakat, serta mengharuskan adanya upaya penanganan efektif
secara legal dari pihak negara.
Pada bagian berikutnya, saya akan membahas isi dari ketiga
instrumen utama hak asasi manusia yang lazim disebut sebagai
International Bill of Human Rights yaitu Deklarasi Universal Hak Asasi
Manusia (UDHR), Kovenan Hak Sipil dan Politik (ICCPR) dan Kovenan
Hak Ekonomi, Sosial, dan Budaya (ICESCR). Dalam bagian ini juga akan
diketengahkan kekurangan atau persoalan yang belum terakomodir
oleh

ketiga

instrumen

utama

itu,

sehingga

oleh

komunitas

internasional dan para pejuang hak asasi manusia masih dianggap
perlu untuk memperjuangkan instrumen-instrumen lainnya. Semangat
yang berada di balik perjuangan dan gerakan itu adalah semangat
menghargai kaum minoritas dan kelompok-kelompok rentan yang
dilindas oleh hegemoni mayoritas baik berupa paradigma, ide, ideologi,
maupun kelompok orang, yang oleh kaum postmodernis dinamakan
sebagai narasi besar (Grandnarrative). Sebagai gantinya, untuk menuju
penghormatan terhadap kelompok rentan dan minoritas itu, kita perlu
memperhatikan narasi-narasi kecil.

4

II. Genealogi Hak Asasi Manusia
Dalam perbincangan tentang hak asasi manusia, kebanyakan orang
berdiri di dua kubu yang saling bertentangan. Kubu pertama adalah
kubu idealis-rasional, yang kebanyakan didominasi oleh para flosof,
mencoba mengurai persoalan hak asasi manusia dari asal usul ide dan
gagasannya. Karena itu, pertanyaan yang menyibukkan mereka
adalah: apakah hak asasi manusia itu memang ada, kalau ada apa
hakikatnya, apa isinya, dan apa yang menjadi landasan keberadaanya
itu. Selain itu, didukung oleh kelompok anti-modern, anti-liberalisme,
dan

terutama

mengental

pada

kaum

postmodernis,

persoalan

universalitas hak asasi manusia sangat menyita perhatian mereka.
Sebaliknya, kubu kedua, yang kita namakan kaum empiris-pragmatis,
tidak begitu perduli dengan pertanyaan-pertanyaan “omong-kosong”
tersebut. Bagi kubu ini, yang terpenting adalah gerakan. Tidak perlu
teori abstrak dan membingungkan itu, yang terpenting adalah gerakan
dan advokasi terus menerus

dengan memanfaatkan instrumen-

instrumen yang sudah ada. Instrumen hak asasi manusia internasional,
kemudian, menjadi semacam “kitab suci” bagi para pejuang gagah
berani ini. Mereka tidak perduli apakah di balik instrumen-instrumen
tersebut

tersembunyi

kepentingan-kepentingan

hegemonik

dan

dominatif dari kelompok dan ideologi tertentu yang pada gilirannya
mempersendat

implementasinya

di

lapangan.

Bagi

mereka,

ketersendatan itu adalah semata-mata persoalan tidak adanya good
will dari pihak pemegang kewajiban hak asasi manusia baik itu negara,
masyarakat itu sendiri, dan lokus-lokus kekuasaan global lainnya
seperti institusi ekonomi global.
Alih-alih memasuki arena pertentangan mereka itu, di sini saya
justru langsung menawarkan cara memandang dari posisi yang tidak
berada pada keduanya, yaitu penelusuran genealogis: genealogi
kesadaran. Yang saya maksud adalah bahwa kita menelusuri genealogi
5

hak asasi manusia dalam ranah kesadaran praksis, dengan berpegang
pada tonggak-tonggak sejarah penting gerakannya, namun dengan
memasuki ranah kesadaran refektif sebelum dan sesudah tonggak
sejarah itu terpancang, yang berarti memasuki wilayah permenungan
para pemikir. Dengan cara ini, pembagian fase genealogis di sini sama
sekali tidak terputus dan tanpa saling pengaruh, melainkan berwatak
heuristik, artinya selalu bergerak dalam wilayah dialektika antara
praksis dan kontemplasi, selain dialektika antara praksis itu sendiri dan
teori itu sendiri. Singkatnya, genealogi kesadaran heuristik yang kita
maksud di sini berarti memperhatikan hubungan antara aksi dan
refeksi. Namun, kembali saya tegaskan, penelusuran genealogi hak
asasi manusia kita di sini, dibatasi pada era modern yaitu mulai zaman
Pencerahan hingga era kontemporer.
Fase I: Pra-Perang Dunia I dan II
Fase pertama ini merentang dari tonggak sejarah penentangan
monarki

absolut

di

Inggris

hingga

Prancis

dan

perjuangan

kemerdekaan di Amerika. Lazimnya, kebanyakan orang mengamini
bahwa paham hak asasi untuk pertama kali lahir di Inggris pada abad
ke-17, tepatnya pada tahun 1679 dengan lahirnya Habeas Corpus,
suatu dokumen bersejarah yang menjadi cikal bakal prinsip rule of law
untuk menggantikan kesewenangan rule by man yang terutama pada
masa itu terpersonalisasi pada sang raja sebagai penguasa monarki
absolut. Inti dokumen ini adalah bahwa orang yang ditahan harus
dihadapkan dalam waktu paling lambat tiga hari kepada seorang hakim
untuk diproses dan diadili. Jadi, ini merupakan tonggak pertama yang
sekarang dikenal sebagai kebebasan dari penangkapan sewenangwenang dan hak untuk mendapatkan peradilan yang jujur (fair trial).
Tonggak ini bukannya tanpa preseden dan anteseden. Jauh
sebelum itu, pada tahun 1215, didorong oleh kepentingan bangsawan
dan feodalis yang merasa keberadaannya terancam oleh kekuasaan
6

raja yang sewenang-wenang, dikeluarkanlah sebuah piagam yang kita
kenal dengan nama Magna Charta Libertatum. Sebuah piagam yang
melarang

penahanan,

penghukuman,

dan

perampasan

benda

sewenang-wenang. Sejarah terus bergulir. Kurang lebih empat ratus
tahun setelah itu, tepatnya pada tahun 1640, terjadi Revolusi Inggris
yang dipimpin Oliver Cromwell, dan kemudian memegang tampuk
pemerintahan menggantikan raja, dan mendirikan pertama kalinya
pemerintahan republik di Inggris yang kemudian dalam sejarah
selanjutnya menjadi satu-satunya, karena setelah itu (1660) hinggga
sekarang Inggris kembali menjadi monarki. Revolusi ini berangkat dari
kesewenangan raja yang mengebiri hak atas partisipasi politik dan
kebebasan

beragama

serta

kebebasan

untuk

mengawasi

pemerintahan.
Ketidakpuasan rakyat terhadap pemerintahan monarki tidak
dengan

sendirinya

menggerakan

mereka

untuk

memusnahkan

monarki, melainkan “menjinakkan” monarki. Demikianlah, pada tahun
1688, terjadi apa yang dalam sejarah disebut sebagai Glorious
Revolution, di mana rakyat mendukung Pangeran William dari Oranye
untuk melengserkan Raja James II. Antara raja baru dan rakyat terjadi
kesepakatan berupa lahirnya “An Act Declaring the Rights and Liberties
of the Subject and Settling the Succession of the Crown” yang lazim
dikenal dengan sebutan Bill of Rights setahun kemudian (1689).
Undang-undang ini mengandung ketentuan hak-hak positif 8 tertentu
yang harus dimiliki oleh setiap rakyat dan penduduk dalam sebuah
negara yang bebas dan demokratis. Ia menjamin hak warga untuk
memberikan petisi kepada raja dan hak Subjek (rakyat) untuk
membela negara. Ia juga menjamin bahwa keputusan raja harus
mendapat persetujuan dari rakyat yang dalam hal ini diwakili oleh
parlemen. Singkatnya, undang-undang ini berisikan pengakuan hakhak dan kebebasan warga negara terutama hak politik dan hak-hak

8
Tentang hak positif, silahkan baca uraian di belakang tentang paradigma hak
asasi manusia: “hak positif: paradigma rule of law”.

7

parlemen dalam pemerintahan raja, dan ini menjadi tonggak sejarah
dunia dalam hal pemerintahan konstitusional modern.
Peristiwa tahun 1215 dan 1640 di atas kemudian mempengaruhi
renungan politik flosof terkenal Inggris yaitu John Locke (1632-1704). 9
Renungannya, selain realitas politik yang meresahkan, memberi
pengaruh signifkan pada kelahiran Bill of Rights tahun 1689 tersebut,
bahkan hingga masa sesudahnya termasuk hingga sekarang. Inti
pandangan Locke adalah bahwa semua orang diciptakan sama dan
memiliki hak-hak alamiah (natural rights) yang tidak dapat dilepaskan
(inalienable). John Locke menekankan empat hak utama yaitu: hak atas
hidup, kebebasan (kemerdekaan), hak atas properti (hak milik), dan
hak untuk mengusahakan kebahagiaan.
Pemikiran-pemikiran John Locke dengan cepat menyebar ke
pelbagai daratan Eropa terutama Prancis, dan ke Amerika yang dibawa
oleh para “pelarian” dari Inggris dan Eropa lainnya. Locke, hampir
sejalan dengan gagasan Thomas Aquinas (1225-1274), seorang teolog
dan flosof besar abad pertengahan yang terkenal dengan Teori Hukum
Kodrat-nya, mengemukakan bahwa berdasarkan hukum kodrat, tidak
seorang pun boleh merampas hak atas hidup, keamanan (kesehatan),
kebebasan dan milik orang lain. Pandangan ini berimplikasi politis,
karena membatasi peran pemerintah dengan prinsip bahwa tak
seorang pun boleh tunduk di bawah kekuasaan orang lain tanpa
persetujuan orang yang hendak dikuasai itu. Prinsip ini kemudian
menjadi dasar digugatnya sebuah kekuasaan oleh yang dikuasai.
Pandangan ini menemukan tanahnya yang subur dalam pengalaman
pahit para “pelarian” Eropa (terutama Inggris) di Amerika baik selama
sebelumnya berada di Inggris maupun selama berada di Amerika
namun

masih

di

bawah

kekuasaan

Inggris.

Dialektika

sejarah

berlangsung terus, dan sintesisnya pun lahir dalam Declaration of
Independence tahun 1776 (disusun oleh Thomas Jeferson) yang
mempertegas sebuah deklarasi yang dikeluarkan sebulan sebelumnya
9
Tentang flsafat politiknya, lihat John Locke, Two Treatises of Government,
ed. by Peter Laslett, Cambridge: Cambridge University Press, 1988.

8

yaitu Bill of Rights of Virginia atau kadang disebut Virginia Declaration
of Rights (yang disusun oleh George Mason). Deklarasi Virginia itu
berisikan daftar hak asasi yang lengkap pertama kali dalam sejarah
dan hampir memasukkan semua daftar John Locke yang diturunkan
atas pelbagai jenis hak lainnya lagi. Sayangnya, kendati Deklarasi itu
berisi ketentuan persamaan hak untuk “semua umat manusia” namun
dalam pelaksanaannya hak itu hanya melekat pada kaum kulit putih
dan laki-laki.
Pengaruh pemikiran hukum kodrat Aquinas yang diartikulasikan
Locke juga menemukan lahan suburnya dalam pengalaman pahit
rakyat Prancis yang mengalami penindasan di bawah raja yang
memerintah dengan semboyan “negara adalah saya”. Revolusi Prancis
yang dimulai tahun 1788 kemudian berbuah pada lahirnya “pernyataan
tentang hak-hak manusia dan warga negara” (Declaration des droits
des hommes et des citoyens – Declaration of the Rights of Man and of
Citizens). Deklarasi ini membedakan hak-hak yang dimiliki manusia
sebagai manusia – yang sekarang lazim kita sebut sebagai paham hak
asasi manusia – dan hak-hak yang diperoleh manusia sebagai warga
masyarakat dan negara – yang sekarang lazim kita mengerti sebagai
hak

hukum

dan

civil

liberties.

Memang

kemudian,

dalam

kenyataannya, deklarasi hasil revolusi tersebut jauh panggang dari api
karena teror yang dikomandani Maximilian Robbespierre. Cita-cita
penghormatan hak asasi manusia dengan bertolak dari paham
kebebasan total malah berakhir pada raibnya kebebasan itu dari ranah
kehidupan manusia. Namun, dialektika sejarah terus berlangsung,
yang implikasinya pada hak asasi manusia terus kita rasakan hingga
sekarang. Masa-masa selanjutnya hingga sebelum Perang Dunia
merupakan masa ambigu, di mana di satu sisi ada upaya penegakan
hak warga negara di negara-negara yang menjadi tonggak sejarah hak
asasi manusia itu, namun di sisi lain negara-negara itu dan juga negara
Eropa

lainnya

terlibat

dalam

nafsu

kolonialisme

yang

justru

9

bertentangan dengan paham hak asasi manusia yang mereka anut di
negerinya sendiri.
Namun demikian, perlu kita catat bahwa ciri khas paham dan
gerakan hak asasi manusia pada fase ini 10 terletak pada perlawanan
kaum borjuasi liberal terhadap pemerintah yang feodal dan absolutik
dengan mengedepankan negara konstitusional. Pada abad 19, selain
kaum borjuis liberal, kaum buruh pun memasuki arena. Di satu sisi
mereka, pada mulanya, mendukung perjuangan kaum borjuis liberal
melawan feodalisme, dan di sisi lain, kemudian, mereka juga melawan
kawan seiring itu untuk memperjuangkan hak-hak mereka sebagai
manusia pekerja. Di bawah ideologi sosialisme, dengan motor besarnya
Marxisme, perjuangan mereka kemudian melahirkan ide hak-hak asasi
sosial.
Bagaimanapun juga, dalam fase pertama ini, kalau kita cermati,
kesadaran

akan

hak

terutama

ketertindasan penguasa. Hal ini

berangkat

dari

pengalaman

menjadi sangat penting

untuk

diperhatikan karena “pengalaman bersama” akan ketertindasan itu
turut serta memberi warna pada klaim universalitas hak asasi manusia,
dan bukan sekadar berangkat dari paham kodrati. Universalitas yang
tumbuh dari negativitas pengalaman bersama ini bergayung sambut
dengan renungan antropologis flosofs, sosial dan politik para pemikir,
semisal John Locke dengan mengetengahkan tesis antropologis bahwa
semua manusia diciptakan sama dengan hak yang sama pula dan tak
dapat dicerabut. Nyatalah kini, meski baru masuk pada penelusuran
fase pertama, bahwa kita tidak ikut terjerembab dalam pertikaian dua
kubu utama perdebatan masalah hak asasi manusia, melainkan
melihat dialektikanya.
Fase II: Fase Pasca-Perang Dunia I dan II

10
Tentang kekhasan konsep dan gerakan hak asasi manusia pada masa ini,
terutama pada abad 19, yang di sini dengan telusuran genealogis saya masukkan
sebagai fase pertama, lihat Magnis-Suseno, 1991, hlm. 124.

10

Fase ini merupakan fase penegakan rule of law dan demokratisasi.
Semua cita-cita dan perjuangan luhur abad 19 seolah raib tak berbekas
pada abad 20, yang oleh Frederico Mayor11 dinamakan sebagai “abad
terkelam” dalam sejarah kehidupan manusia. Abad ini ditandai perang
dunia

dua

kali,

perang

saudara,

otoritarianisme,

diktatorisme,

kekacauan sosial, perang dingin, ketidakadilan yang merajalela,
kemiskinan dan pembodohan yang akut, dan bahkan diindikasikan
sebagai abad kegamangan. Kembali universalitas negativitas berupa
pengalaman penderitaan menyatukan manusia yang terwakili dalam
diri beberapa gelintir pemimpin dengan dukungan hampir seluruh umat
manusia yang jijik dan ngeri pada kekelaman dan penderitaan akibat
nafsu manusia sendiri. Kekejaman Nazi Jerman merupakan klimaks dari
kengerian dan kejijikan manusia terhadap penderitaan. Didahului oleh
preseden terbentuknya Liga Bangsa-Bangsa pada tahun 1919 setelah
berakhirnya

Perang

Dunia

I,

kemudian

dipertegas

lagi

dengan

terbentuknya Perserikatan Bangsa-Bangsa yang secara resmi berdiri
pada 24 Oktober 1945,

lahirlah sebuah deklarasi yang kita kenal

sebagai Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia (UDHR).12
Deklarasi inilah yang menjadi tonggak baru perjuangan dan
gerakan hak asasi manusia hingga masa kontemporer. Bersama
dengan turunannya dalam bentuk dua kovenan utama yaitu Kovenan
Internasional tentang Hak Sipil dan Politik (ICCPR) dan Kovenan
Internasional tentang Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya (ICESCR), UDHR
telah menjadi semacam kitab suci bagi para pejuang dan subjek
pemegang hak asasi manusia di seluruh dunia, yang dikenal dengan
sebutan International Bills of Human Rights.
Apakah dengan lahirnya DUHAM (1948) dan kedua Kovenan
(1966) itu, perjuangan hak asasi manusia lalu menjadi lebih mudah?
Sejarah kembali bertutur bahwa instrumentalisasi hak asasi manusia
Frederico Mayor adalah Direktur UNESCO. Pendapat itu disampaikannya
dalam kata pengantarnya untuk buku karangan Jean Baechler, Democracy, an
Analytical Survey, UNESCO, 1999.
12
Untuk uraian tentang kandungan DUHAM lihat pada bagian tentang Bill of
Human Rights di belakang nanti dalam tulisan ini.
11

11

saja tidak cukup. Setelah itu memang PBB masih terus mengeluarkan
pelbagai

konvensi

yang

melarang

perbudakan, 13

penghapusan

penyiksaan,14 tentang hak anak,15 tentang larangan diskriminasi
terhadap perempuan,16 anti-diskriminasi,17 bahkan belakangan tengah
diperjuangkan deklarasi hak-hak masyarakat adat, 18 dll. Namun, semua
konvensi dan deklarasi yang dikeluarkan PBB itu tak berbunyi apa-apa
tanpa adanya upaya perjuangan terus-menerus oleh para pembela
kemanusiaan.
Setelah

paruh

pertama

abad

20

dunia

dihentakkan

oleh

kekejaman totaliterisme Nazi, memasuki paruh kedua, hampir seluruh
seluruh

dunia

dilanda

kekejaman

totaliterisme

sosialis-komunis,

otoritarianisme, despotisme, fasisme yang membentang mulai dari
Eropa Timur, Amerika Latin, hingga Asia, termasuk Indonesia. 19 Hak
asasi manusia kembali menjumpai tantangan berat. Mendekati akhir
abad 20, kengerian itu semakin memuncak yang sekali lagi melahirkan
Supplementary Convention on the Abolition of Slavery, the Slave Trade, and
Institutions and Practices Similar to Slavery (Konvensi Pelengkap tentang
Penghapusan Perbudakan, Perdagangan Budak, dan Institusi dan Pratkik yang Sama
dengan Perbudakan), yang disahkan oleh PBB dengan Resolusi ECOSOC 608 (XXI)
pada 30 April 1956 di New York dan kemudian di Jenewa pada 7 September 1956,
dan mulai berlaku pada 30 April 1957, untuk melengkapi Konvensi Menentang
Perbudakan (Slavery Convention) yang dibuat sebelum lahirnya PBB, yaitu pada
tahun 1926, yang kemudian dibuat protokol untuk mengamendemennya oleh PBB
pada tahun 1953.
14
Convention against Torture and Other Cruel, Inhuman or Degrading
Treatment or Punishment (Konvensi Menentang Penyiksaan dan Tindakan atau
Pengukuman Kejam Lainnya, Tidak Manusiawi atau Merendahkan Martabat Manusia;
biasa disebut singkat Konvensi Menentang Penyiksaan - CAT) yang disahkan oleh PBB
pada 10 Desember 1984 dengan Resolusi GA 39/46, dan mulai berlaku 26 Juni 1987.
15
Convention on the Rights of the Child (CRC – Konvensi Hak Anak) yang
disahkan PBB pada 20 Desember 1989 dengan Resolusi GA 44/25, dan mulai berlaku
pada 2 September 1990.
16
Convention on the Elimination of All Forms of Discrimination against Women
(CEDAW – Konvensi tentang Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi terhadap
Perempuan) yang disahkan oleh PBB dengan Resolusi GA 34/180 pada 18 Desember
1979 dan mulai berlaku pada 3 September 1981.
17
International Convention on the Elimination of All Forms of Racial
Discrimination (CERD – Konvensi Internasional tentang Penghapusan Segala Bentuk
Diskriminasi Rasial) yang disahkan oleh PBB dengan Resolusi GA 2106 A (XX) pada 21
Desember 1965, dan mulai berlaku pada 4 Januari 1969.
18
Declaration on the Rights of Indigenous Peoples (sekarang masih dalam
proses penyusunan draf dan pengesahan di PBB), sebelumnya sudah ada Konvensi
ILO 169.
19
Masih perlu dikasih catatan tentang realitas itu dalam konteks transitional
justice….
13

12

universalitas penderitaan manusia dalam diskursus dan gerakan
demokratisasi yang hampir merata di seluruh dunia. Fenomena
demokratisasi dan liberalisasi mendekati akhir abad 20 ini oleh
Huntington disebut sebagai “gelombang ketiga demokratisasi”. 20 Pada
era ini jugalah muncul sebuah paradigma baru dalam perjuangan
kemanusiaan, sebagai bentuk lebih artikulatif yang berangkat dari
dialektika

negatif

penderitaan

para

korban

berhadapan

dengan

kekejaman penguasa totaliter, fasis dan otoriter, yang kita kenal
dengan sebutan “keadilan transisional”.21 Ciri khas perjuangan dan
diskursus hak asasi pada fase ini yang terutama terartikulasi secara
signifkan pada akhir abad 20 adalah penekanan pada hak-hak
korban.22 Namun, belum juga proses demokratisasi dan penegakan
keadilan transisional menunjukkan hasilnya yang menggembirakan,
hak asasi manusia kembali mendapatkan tantangan baru dan serius
yaitu

dengan

gempuran

globalisasi

dan

neoliberalisme

yang

menyebarkan lokus kekuasaan bukan lagi semata pada negara
melainkan juga pada pelaku-pelaku ekonomi internasional. Hal ini tentu
saja berakibat pada mekanisme dan logika pertanggungjawaban dan
penagihan kewajiban untuk menjamin pemenuhan hak asasi manusia.
Fase III: Era Globalisasi dan Neo-liberalisme
Fase III yang merupakan fase kontemporer ditandai globalisasi dan
neoliberalisme.

Ciri

khas

fase

ini

adalah

bahwa

epistemologi

konvensional seputar hak asasi manusia mulai dipandang tidak
Tentang gelombang ketiga demokratisasi ini silahkan baca Samuel P.
Huntington, The Third Wave: Democratization in the Late Twentieth Century,
Oklahoma: University of Oklahoma Press, 1991.
21
Tentang diskursus banyak sekali literatur yang muncul dan memenuhi
pustaka intelektual dan pembela demokrasi dan hak asasi manusia belakangan ini.
Salah satu yang terpenting adalah dari Ruti G. Teitel, Transitional Justice, New York:
Oxford University Press, 200.
22
Tentang hak-hak korban pelanggaran hak asasi manusi, silahkan baca Theo
van Boven, Mereka yang Menjadi Korban, tentang Hak-Hak Korban atas Restitusi,
Reparasi, dan Kompensasi, Jakarta: ELSAM, 2003. Buku ini merupakan terjemahan
dari dokumen yang diterbitkan PBB, hasil studi yang dilakukan Boven tentang hakhak korban pelanggaran hak asasi manusia.
20

13

memadai sekaligus digugat. Hal ini disebabkan oleh kenyataan bahwa
lokus kekuasaan politik sebagai pengampu kewajiban pemenuhan hak
asasi manusia tidak lagi berada pada satu aktor yaitu Negara
melainkan

sudah

tersebar

ke

mana-mana

terutama

aktor-aktor

ekonomi global. Hampir tidak ada kebijakan negara yang berimplikasi
pada hak asasi manusia yang imun dan netral dari pengaruh
kekuasaan ekonomi global itu. Maka, menagih kewajiban semata
kepada Negara untuk memenuhi, menghargai dan melindungi di satu
sisi dan menggugat Negara atas kejahatan dan pelanggaran yang
dilakukannya baik dengan cara aktif (by commission) maupun secara
pasif (by omission) tampak tidak realistis dan rasional.
Logika politik kontemporer dengan mudah bisa memandang hal
ini. Namun, yang susah adalah bagaimana logika flsafat politik
kontemporer

itu

menjadi

efektif

sampai

pada

mempengaruhi

kebijakan. Lagi-lagi PBB mengambil peran penting. Beberapa tahun
belakangan ini, PBB menginisiatif penyusunan dan lahirnya beberapa
instrumen, baik berupa deklarasi maupun konvensi, yang menegaskan
perlunya institusi-institusi ekonomi global bertanggung jawab atas
masalah hak asasi manusia. Dan yang terakhir adalah disusunnya UN
Draft Norms on Business and Human Rights.
Pada fase inilah lahir generasi baru dalam diskursus hak asasi
manusia, yang sering disebut sebagai hak asasi manusia generasi
ketiga, yaitu hak asasi manusia atas pembangunan, lingkungan yang
sehat, termasuk di dalamnya hak-hak minoritas dan kelompokkelompok rentan. Paradigma yang dikembangkan oleh para pejuang
hak asasi manusia pada fase ini adalah paradigma ekonomi politik
dengan fokus pada etika tanggung jawab terutama yang berkaitan
dengan masa depan.23 Etika tanggung jawab bertolak dari asumsi
ketidakterkiraan (unpredictibilty) dampak dari tindakan manusia,
bahkan dari tindakan yang semula dipandang baik dan berguna
23
Tentang etika tanggung jawab ini silahkan baca Hans Jonas, The Imperative
of Responsibility, in Search of an Ethics for the Technological Age, Chicago:
Uninversity of Chicago Press, 1984.

14

sekalipun. Karena itu, pelbagai kebijakan atas nama kebaikan, harus
sudah dengan sendirinya membawa serta tanggung jawab atas
dampak negatif di masa depan, apalagi kalau kebijakan itu memang
dinilai buruk dari awal. Gerakan hak asasi manusia pada fase ini
kemudian

memunculkan

inisiatif-inisiatif,

yang

kembali

PBB

memainkan peran, berupa CSR (Corporate Social Responsibility), UN
Global Compact. Perjalanan hak asasi manusia dalam dialektika sejarah
masih terus berlangsung, dan kita masih belum bisa menangkap
sintesis

absolutnya

Universalitas

selain

kengerian

akan

hanya

sintesis-sintesis

penderitaan,

jadi

sementara.

bukan

sekadar

universalitas etis – artinya kemauan bersama seluruh umat manusia
untuk mengatakan Nie wieder (Jerman), atau nunca más (Spanyol)
yang keduanya berarti imperatif negatif “tidak boleh terjadi lagi”
terhadap penderitaan, dan bukan sekadar sebuah hasil refeksi etis dan
rasional – merupakan pendorong utama untuk sampai pada sintesis
absolut itu.
III. Kelompok dan Paradigma Hak Asasi Manusia
Secara umum, kita mengenal dua kelompok hak asasi manusia,
sebagaimana tercermin dalam dua Kovenan yang dikeluarkan PBB
yaitu kelompok hak sipil dan politik, dan kelompok hak ekonomi, sosial
dan budaya. Saya tidak mengikuti kategorisasi seperti itu, selain
karena pengelompokkan itu bermasalah secara epistemologis, juga
karena sejarah pembentukan kedua Kovenan itu diwarnai oleh
pertentangan politik antara blok Barat (Amerika dkk.) dan blok Timur
(bekas

Unisoviet

dkk.)

yang

masing-masing

mewakili

ideologi

kapitalisme dan sosialisme-komunisme. Pengelompokkan yang saya
gunakan di sini didekati secara epistemologis dengan memetakan
paradigma

yang

mendasarinya,

yaitu

paradigma

klasik-liberal

(libertarian), kontrak sosial dan rule of law, liberal-republikan, dan
Marxian (sosialisme). Namun yang perlu diperhatian, pengelompokkan
15

ini lebih bersifat epistemologis semata, dalam arti memudahkan kita
untuk

memetakannya,

(hakikat)

dan

praksis

tetapi

tidak

(etis,

sosial,

dalam
politik

pengertian
dan

ontologis

legal),

karena

sebagaimana akan saya jelaskan di belakang nanti pada bagian konsep
dan prinsip-prinsip hak asasi manusia, antara berbagai jenis hak asasi
manusia itu terdapat hubungan saling mengandaikan, dan karena itu
tidak terpisahkan.
A. Hak Negatif: Paradigma Klasik-Liberal (Libertarian)
Hak negatif berarti hak yang penjaminannya dan pemenuhannya
terjadi

dengan

kata

negatif:

“tidak”.

Pihak

lain

“tidak

boleh”

mencampuri urusan saya, karena saya mempunyai kebebasan yang
tidak boleh dilanggar oleh siapa pun. Karena itu, hak-hak kelompok
petama ini sering disebut juga hak-hak kebebasan, yang meliputi,
misalnya, hak atas hidup, kebebasan bergerak dan bertempat tinggal,
hak atas milik, hak untuk memilih pekerjaan, hak atas kebebasan
beragama dan memilih keyakinan, hak atas kebebasan berpikir,
berkumpul dan berserikat, dll.
Dasar etis hak-hak asasi negatif adalah tuntutan agar otonomi
setiap orang, di mana kebebasan bertahta hanya dalam penghargaan
terhadap otonomi itu, atas diri saya dihormati, begitu juga sebaliknya.
Hak-hak negatif ini berangkat dari paradigma klasik-liberal (libertarian)
yang mewarisi teori hukum kodrat Aquinas yang kemudian terartikulasi
secara lebih tegas dalam flsafat politik John Locke dan teori
reasionalitas-etis

Immanuel

Kant.

Paradigma

ini

menekankan

kebebasan dan otonomi sebagai institusi antropologis fundamental
dalam eksistensi manusia, dalam arti, tanpa kedua hal itu, hakikatnya
sebagai manusia menjadi dipertanyakan.
Hak-hak negatif ini berimplikasi kewajiban negatif pada pihak
lain. Artinya, hak-hak itu hanya terjamin sejauh pihak lain, misalnya
Negara, menjalankan kewajiban negatif-nya untuk tidak melanggar
16

kebebasan dan otonomi saya. Kebebasan saya untuk beragama,
misalnya, terpenuhi dan terlindungi sejauh Negara menjalankan
kewajiban
mencampuri

negatifnya

untuk

penghayatan

tidak

melarang,

keagamaan

saya,

memaksa,

atau

termasuk

tidak

mencampuri keputusan saya untuk beragama atau tidak. Dalam
instrumen hak asasi manusia internasional, hak-hak negatif ini
merupakan hak-hak sipil (civil liberties) yang termasuk dalam Kovenan
Hak Sipil dan Politik.
B. Hak Positif: Paradigma Kontrak Sosial dan Rule of Law
Hak positif berarti hak yang pemenuhannya dan penjaminannya terjadi
melalui tindakan afrmatif dari pihak lain sebagai pemegang kewajiban.
Pihak lain itu, Negara misalnya, berkedudukan sebagai pemegang
kewajiban positif. Yang paling penting dari kelompok hak positif ini
adalah hak untuk mendapatkan perlindungan hukum, hak agar suatu
pelanggaran terhadap hak-hak yang dimiliki tidak dibiarkan, dan hakhak yang mau menjamin keadilan perkara pengadilan, dan hak atas
kewarganegaraan.
Paham hak asasi positif berdasarkan asumsi bahwa negara
bukanlah tujuan pada dirinya sendiri, melainkan merupakan lembaga
yang diciptakan dan dipelihara oleh masyarakat untuk memberikan
pelayanan-pelayanan

tertentu

dan

menjamin

keamanan

serta

kesejahteraan para anggotanya. Karena itu, masyarakat memang
berhak atas pelayanan dan penjaminan itu dari negara, dan dengan
demikian negara berkewajiban untuk menyediakannya. Untuk itulah
negara dibentuk dan didirikan oleh masyarakat. Jadi, masyarakat tidak
perlu memohon dan mengemis pelayanan kepada negara, melainkan
negara sudah dengan sendirinya harus menyediakan apa-apa yang
yang sudah seharusnya diberikan kepada masyarakat. Implikasi dari
konsep ini adalah bahwa tidak boleh ada diskriminasi dalam pemberian
dan penjaminan hak itu.
17

Meskipun hak asasi positif ini sudah merupakan hak inheren logis
dalam setiap negara terlepas dari apa pun konsep negara yang
dianutnya,

namun

hak

ini

mendapatkan

landasan

argumentasi

rasionalnya terutama dalam paradigma teori kontrak sosial, yang
kemudian diartikulasikan lebih efektif oleh paradigma rule of law yang
dengan sendirinya mengandaikan proses demokratis, bukan seperti
rule by law atau rule of man yang menafkan demokrasi atau hanya
demokrasi semu. Inti dari teori kontrak sosial adalah bahwa negara
dibentuk berdasarkan kesepakatan anggota masyarakat, negara diberi
hak tertentu dan sudah dengan sendirinya kewajiban yaitu terutama
kewajiban untuk menjamin kepentingan, perlindungan hukum dan
sosial,

serta

kesejahteraan.

Eksistensi

negara

diakui

sejauh

ia

menjalankan kewajibannya, di luar itu tidak. Jaminan terlaksanannya
kewajiban itu digariskan dalam konstitusi dan hukum yang juga
dibentuk dengan partisipasi politik dan konsensus bersama. Dengan
kata lain, kewajiban itu dijamin secara konstitusional (rule of law). Hakhak positif ini biasanya dipahami sebagai hak-hak hukum warga
negara, yang juga termasuk dalam Konvenan Hak Sipil dan Politik
C.

Hak

Aktif

atau

Hak

Demokratis:

Paradigma

Liberal-

Republikan
Hak asasi aktif berarti hak setiap orang untuk berpartisipasi dalam
kehidupan bersama (masyarakat dan negara). Paradigma liberalrepublikan yang berada di balik paham ini berasumsi bahwa legitimasi
kekuasaan terletak pada adanya kedaulatan rakyat. Rakyatlah yang
memerintah.

Negara

hanya

menjadi

alat

untuk

menegakkan

kedaulatan rakyat itu dengan berpatokan pada kebaikan bersama
(bonum commune) dan kepentigan publik (res publica). Hak asasi aktif
ini nyata dalam praktik demokrasi. Karena itu, hak asasi aktif sering
juga disebut sebagai hak-hak demokratis.

18

Hak-hak demokratis menentang anggapan tradisional dan feodal
yang mendasarkan kekuasaan atas paham legitimasi religius, eliter
(aristokratis,

ideologis,

pragmatis

dan

teknoratis).

Legitimasi

demokratis menentang pandangan kedua bentuk legitimasi itu yang
beranggapan bahwa hanya orang atau golongan tertentu yang karena
agama, pangkat, kedudukan sosial, asal usul keturunan, ideologi, dan
kemampuannya

mempunyai

hak

khusus

untuk

memerintah

masyarakat dan menguasai negara. Paham legitimasi demokratis
mengedanpkan

asumsi

antropologis

bahwa

semua

orang

berkedudukan sama dan setara, dan karena itu urusan apa pun
menjadi urusan bersama yang dipecahkan dengan mengindahkan
kedudukan yang setara.
Yang termasuk hak-hak demokratis ini antara lain hak untuk
bersuara dalam pemilihan umum untuk memilih presiden dan wakilwakil rakyat, hak untuk mengontrol pemerintah dan mengawasi
jalannya pemerintahan, hak untuk menyatakan pendapat, hak atas
kebebasan pers, hak untuk mendirikan partai. Bersama dengan hakhak negatif (hak-hak kebebasan), hak-hak aktif (hak-hak demokratis)
ini merupakan hak asasi klasik yang berasal dari fase pertama dalam
telusuran genealogi kita, terutama yang terartikulasi dalam perjuangan
kemerdekaan Amerika Serikat dari kekuasaan Inggris. Hak aktif atau
hak demokratis inilah yang kita mengerti sebagi hak politik dalam
Kovenan Hak Sipil dan Politik.
D. Hak Sosial: Paradigma Marxian (Sosialisme)
Hak asasi sosial yang diperjuangkan oleh kaum Marxis dan Sosialisme
ini berangkat dari kritik terhadap paradigma klasik-liberal (libertarian)
dan liberal-republikan yang mengedepankan hak-hak negatif yang
membatasi peran negara dan hak aktif yang mengusung partisipasi
politik dari masyarakat. Paradigma ini mendapatkan rohnya dalam
penderitaan

kaum

buruh.

Paradigma

Marxian

dan

Sosialisme
19

beranggapan bahwa kebebasan total yang diperjuangkan oleh kaum
liberal

hanya

akan

berakibat

pada

ketidakadilan

dan

ketidakmerataannya. Selalu ada yang tidak mendapatkan bagian, dan
akan tersingkir dalam persaingan atas nama kebebasan itu. Mengapa
demikian? Karena, sekaligus juga kritik mereka terhadap konsep hak
asasi aktif, partisipasi politik yang merata dan adil hanya terjamin di
atas

dasar

pengandaian

bahwa

secara

faktual

semua

anggota

masyarakat sama dan setara. Kaum Marxian memandang bahwa
anggapan

itu

omong

kosong,

karena

kenyataannya

anggota

masyarakat tidak sama, dan sistem telah membuat mereka tidak
setara. Mengembungkan kebebasan di atas landasan realitas itu hanya
akan berdampak pada semakin terpuruknya orang-orang yang tidak
beruntung, semisal kaum buruh.
Pada umumnya, kebebasan yang dijamin dalam hak-hak asasi
manusia hanya dapat dipergunakan oleh mereka yang sudah terjamin
kebutuhan dasarnya (basic needs) seperti makanan, pakaian dan
tempat tinggal. Kalau tidak, maka kebebasan, seperti kebebasan
bergerak, mencari pekerjaan, berpartisipasi dalam kehidupan politik
tidak berarti sama sekali karena tidak dapat dipergunakan. Karena itu,
sebagai

perluasan

terhadap

konsep

kewajiban

negara

dalam

paradigma kontrak sosial, sambil memberi catatan kritis terhadap
paradigma klasik-liberal (libertarian) dan liberal-republikan, kaum
sosialis-marxian beranggapan bahwa negara perlu mengambil langkahlangkah positif untuk memenuhi tuntutan-tuntutan sosial yang asasi.
Hak-hak asasi sosial mencerminkan kesadaran bahwa setiap anggota
masyarakat berhak atas bagian yang adil dari harta benda material
dan kultural bangsanya dan atas bagian yang wajar dari hasil nilai
ekonomis yang terus-menerus diciptakan oleh masyarakat sebagai
keseluruhan melalui sistem pembagian kerja sosial. Hak itu harus
dijamin dengan tindakan negara.
Beberapa daftar hak-hak asasi sosial terkemuka, antara lain,
adalah: hak atas jaminan sosial, hak atas pekerjaan, hak atas pilihan
20

tempat tinggal dan jenis pekerjaan, atas syarat-syarat kerja yang
memadai, hak atas upah yang wajar, hak atas perlindungan terhadap
pengangguran, hak untuk membentuk serikat kerja dengan bebas, hak
atas pendidikan, termasuk juga hak untuk menikmati kehidupan
kultural masyarakat.

IV. Konsep Umum dan Prinsip-Prinsip Hak Asasi Manusia
Sekarang kita memasuki pembahasan tentang konsep umum dan
prinsip-prinsip hak asasi manusia yang mencoba mensintesiskan
pelbagai paradigma yang telah kita bahas pada bagian sebelumnya.
A. Konsep Umum
Konsep umum hak asasi manusia dapat dijelaskan dengan mengangkat
beberapa karakternya, tanpa harus disibukkan dengan daftar hak yang
termaktub di dalamnya. Dengan cara itu, orang mungkin saja bisa
berbeda pendapat tentang apa saja yang layak dan harus menjadi hak
asasi dan apa yang tidak, namun mereka bisa sependapat mengenai
karakternya. Paling tidak ada delapan karakter yang bisa kita angkat di
sini, terutama dalam pengertian kontemporernya.24
Pertama, hak asasi manusia bukan sekadar norma moral biasa
yang diterapkan dalam hubungan interpersonal semata melainkan
norma-norma

politik

yang

berkaitan

dengan

bagaimana

orang

diperlakukan oleh negara dan institusi-institusinya. Memang ada juga
jenis hak asasi yang secara utama diarahkan pada hubungan
Bagian ini mengacu pada James Nickel, “Human Rights”, Stanford
Encyclopedia
of
Philosophy,
dapat
diakses
online
pada:
http://plato.stanford.edu/entries/rights-human/ Lihat juga James Nickel, Making Sense
of Human Rights, Philosophical Refections on the Universal Declaration of Human
Rights, Los Angeles: University of California Press, 1987. Buku ini sudah ada
terjemahannya dalam bahasa Indonesia dengan judul Hak Asasi Manusia, Refeksi
Filosofs atas Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia, Jakarta: Gramedia, 1996.
24

21

interpersonal yaitu hak atas anti-diskriminasi rasial dan seksual.
Namun, pemerintah dan negara juga termasuk di dalamnya yang
dilarang untuk mempraktikan diskriminasi, dan bahkan bertanggung
jawab jika terjadi diskriminasi interpersonal dengan analisis sistemik.
Kedua, hak asasi manusia eksis sebagai hak moral dan/atau
legal. Hak asasi manusia eksis sebagai norma bersama dalam
kesadaran moral aktual manusia – yaitu sebagai norma moral absah
yang didukung oleh penalaran yang kuat – selain juga sebagai hak
legal baik di tingkat nasional (yang biasanya diacu sebagai hak-hak
“sipil” dan juga politik, atau hak “konstitusional”) maupun di tingkat
internasional yang diakui dalam hukum internasional. Hak asasi
manusia paling tidak eksis dalam empat cara, yaitu: (1) melalui
pemberlakuan hukum dan keputusan judisial baik di tingkat nasional
maupun internasional; (2) sebagai norma prapositif berdasarkan
paham hukum kodrat dan pemberian sang Pencipta, jadi tidak atau
belum diakuinya suatu hak dalam hukum tidak menghilangkan
eksistensi hak itu sebagai hak asasi manusia; (3) sebagai norma yang
diterima oleh hampir semua umat manusia, terlepas dari percaya atau
tidak pada sang Pencipta, yaitu norma moral berdasarkan pandangan
dan kesadaran umum tentang moralitas aktual manusia, semisal
kesadaran moral umum manusia bahwa membunuh itu tidak baik; dan
(4) sebagai norma moral yang diabsahkan dalam ranah politik dan
hukum, jalan yang kebanyakan ditempuh dalam gerakan dan diskursus
hak asasi manusia kontemporer.
Ketiga, hak asasi manusia sangat beragam dan banyak, bukan
hanya segelintir. Hak asasi manusia yang digambarkan John Locke –
hak atas hidup, kebebasan, dan hak milik – hanyalah segelintir dari hak
asasi yang kita kenal sekarang. Hak asasi manusia kontemporer tidak
abstrak sebagaimana paham klasik, juga mengarah pada problemproblem spesifk dan konkret, semisal penjaminan pengadilan yang
jujur, pengentasan perbudakan, pelarangan genosida, penjaminan hakhak perempuan, anak-anak, dll. Karena itu, paham hak asasi manusia
22

kontemporer kendati tetap mengacu pada sejarah kelahirannya,
namun ia telah melampaui sejarahnya itu.
Keempat, hak asasi manusia merupakan patokan minimal
(minimal

standards).

Mereka

lebih

memberi

perhatian

pada

menghindari kekejaman dan kengerian daripada mencapai yang
terbaik. Fokusnya adalah pemberian perlindungan secara minimal pada
kebaikan hidup manusia. Karena itu, konsep dan kandungan hak asasi
manusia bersifat dinamis dan toleran terhadap perbedaan kultural dan
ideologi, namun tetapi menjadi patokan minimal.
Kelima, hak asasi manusia merupakan norma internasional yang
mencakupi semua negara dan seluruh umat manusia dewasa ini.
Mereka adalah norma-norma yang sangat direkomendasikan kepada
seluruh umat manusia, karena lahir dari hasil refeksi mendalam atas
universalitas penderitaan umat manusia pada abad sebelumnya yang
diimbuhi dengan kerinduan untuk mencegah kembali terulangnya
tragedi yang sama.
Keenam, hak asasi manusia merupakan norma berprioritas tinggi
(high-priority

norms). Artinya, pengingkaran terhadap hak asasi

manusia hanya akan berbuah pada ketidakadilan dan realitas tidak
manusiawi. Kedudukannya yang berprioritas tinggi bermakna bahwa
suatu masyarakat yang adil dan manusiawi hanya terjadi sejauh hakhak asasi dijadikan patokan dan ukuran.
Ketujuh, hak asasi manusia memiliki nilai justifkasi yang kuat
yang berlaku di mana pun dan mendukung prioritasnya yang tinggi.
Tanpa karakter ini, hak asasi manusia itu tidak dapat menyeberangi
dan melampaui perbedaan kultural dan mengatasi klaim kedaulatan
nasional. Justifkasi yang kuat ini sangat dibutuhkan, namun juga tidak
berarti absolut dan tak dapat dikurangi dalam tuntutannya. Tuntutan
yang

kuat

ini

masih

harus

dihadapkan

pada

konteks

aktual

problemnya.
Kedelapan, hak asasi manusia adalah hak, tetapi tidak harus
dalam pengertiannya yang kaku. Sebagai hak, mereka memiliki
23

beberapa unsur. Yang pertama sekali adalah bahwa mereka memiliki
“pemegang hak” (rightholder) – seorang atau suatu badan yang
memilik hak tertentu. Umumnya, yang diakui sebagai pemegang hak
dari hak asasi adalah semua orang yang hidup. Lebih tepatnya,
kadang-kadang mereka adalah semua umat manusia, kadang-kadang
semua penduduk di suatu negara, kadang semua anggota dari suatu
kelompok dengan kerentanan tertentu (seperti perempuan, anak-anak,
kelompok-kelompok minoritas rasial dan religius, masyarakat adat, dll.)
dan kadang semua kelompok etnik (seperti halnya hak anti-genosida).
Unsur lainnya adalah bahwa mereka berfokus pada kebebasan,
perlindungan, status atau keuntungan. Hak selalu berkaitan dengan
sesuatu yang berfokus pada kepentingan pemegangnya.25 Yang kedua
adalah bahwa hak selalu mengarah pada pengampu tanggung jawab
atau kewajiban untuk memenuhi, melindungi, atau menjamin hak
tersebut. Yang terakhir adalah bahwa hak selalu bersifat mandatoris,
dalam arti melimpahkan kewajiban kepada pengampu tanggung jawab,
namun tidak murni merupakan tanggung jawab pengampu kewajiban
semata, melainkan dipenuhi dengan mengandaikan adanya langkah
proaktif dari pemegang hak sendiri, seperti hak atas makanan,
pakaian, rumah, dan pendidikan.
B. Prinsip-Prinsip
Setelah kita mengikuti telusuran genealogisnya, uraian paradigmatik,
serta membedah pengertian-pengertian kunci dari hak asasi manusia,
berikut ini kita masuki beberapa prinsip utama yang dicerna dari uraian
kita sebelumnya. Beberapa prinsip utama yang saya maksud antara
lain adalah bahwa hak asasi manusia itu bersifat universal, tak
terpisahkan, non-diskriminatif, mengandaikan adanya partisipasi, dan
penjaminannya dilakukan dengan remedi (upaya hukum) yang efektif.

25

R.B. Brandt, “The Concept of Moral Rights”, 29 Journal of Philosophy 80, hlm.

44.

24

Kita ikuti satu per satu secara singkat dan umum saja, tanpa terlalu
jauh memasuki perdebatan argumentatifnya.
Universal
Prinsip universalitas hak asasi manusia umumnya diderivasikan dari
pandangan

atau

teori

hukum

kodrat

Thomas

Aquinas,

yang

diartikulasikan lebih tajam oleh John Locke. Intinya bahwa secara
kodrati semua manusia itu sama, dan sudah membawa serta dalam
eksistensinya hak sebagai manusia. Karena itu, sebagai manusia yang
sama dengan hak yang sama, hak-hak itu bersifat universal. Argumen
universalitas ini juga mendapatkan landasan rasionalnya dalam teori
rasionalitas Immanuel Kant yang mengedepankan bahwa ide-ide
transendental yang bersifat umum pada