BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang - Problematika Produk Hukum Camat Sebagai Pejabat Pembuat Akta Tanah Sementara (PPAT/S) dalam Melaksanakan Peralihan Hak Atas Tanah Tanpa Sertifikat

  

BAB I

PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pasal 1 ayat (2) UUPA menyatakan bahwa seluruh bumi, air dan ruang

  angkasa, termasuk kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dalam wilayah Republik Indonesia, sebagai karunia dari Tuhan Yang Maha Esa adalah bumi, air dan ruang angkasa bangsa Indonesia dan merupakan kekayaan nasional. Pemanfaatan bumi, air, ruang angkasa beserta segala apa yang terkandung di dalamnya adalah ditujukan untuk mencapai sebesar-besarnya kemakmuran seluruh rakyat Indonesia.

  Hal ini ditegaskan dalam Pasal 33 ayat (3) UUD 1945 yang menyatakan bahwa bumi dan air serta kekayaan alam yang terkandung didalamnya dikuasai Negara dan dipergunakan sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat. Berdasarkan ketentuan

  Pasal 33 tersebut diketahui bahwa kemakmuran masyarakat yang menjadi tujuan utama dalam pemanfaatan fungsi bumi, air dan ruang angkasa serta kekayaan alam yang terkandung di dalamnya.

  Negara Indonesia sebagai organisasi dari seluruh rakyat Indonesia, dibentuk guna mengatur dan menyelenggarakan segala kepentingan seluruh rakyat Indonesia.

  Berdasarkan hal tersebut, seluruh rakyat Indonesia melimpahkan wewenang yang dimilikinya berkenaan dengan karunia Tuhan Yang Maha Esa tersebut kepada Negara selaku Badan Penguasa yang berwenang sepenuhnya menguasai, mengatur dan menyelenggarakan berkenaan pengelolaan fungsi bumi, air dan ruang angkasa serta

  1 kekayaan alam yang terkandung di dalamnya guna terwujudnya keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.

  Negara sebagai organisasi kekuasaan seluruh rakyat diberikan hak untuk menguasai tanah dalam rangka untuk mewujudkan kemakmuran rakyat, yang dikenal sebagai hak menguasai negara. Negara menguasai artinya negara sebagai badan penguasa mempunyai wewenang untuk pada tingkatan tertinggi (1) mengatur dan menyelenggarakan peruntukan, penggunaan, persediaan, dan pemeliharaan bumi, air dan ruang angkasa tersebut; (2) menentukan dan mengatur hubungan-hubungan hukum antara orang-orang dengan bumi, air dan ruang angkasa dan (3) menentukan dan mengatur hubungan-hubungan hukum antara orang-orang dan perbuatan- perbuatan hukum yang mengenai bumi, air dan ruang angkasa.

  Negara selaku badan penguasa dapat mengatur bermacam-macam hak-hak atas tanah seperti yang disebutkan dalam Pasal 16 ayat (1) UUPA. Pemberian beberapa macam hak atas tanah baik kepada perorangan maupun badan hukum, disamping memberikan wewenang untuk mengelola tanah tersebut sesuai dengan hak yang dipegangnya dan sepanjang tidak bertentangan dengan pembatasan yang berlaku itu, juga membebankan kewajiban kepada pemegang hak tersebut untuk

  1 mendaftarkan hak atas tanahnya dalam rangka menuju kepastian hukum.

  Dalam pelaksanaan pembagunan nasional, kebutuhan penguasaan dan penguasaan tanah pada umumnya termasuk untuk kepentingan pembangunan sangat besar. Kegiatan pembangunan yang semakin meningkat membutuhkan tempat untuk 1 Effendi Bahtiar, Kumpulan Tulisan Tentang Hukum Tanah, Alumni, Bandung, 1993, hal 5. melaksanakan kegiatan tersebut. Hal ini berarti semakin banyak dibutuhkan kesediaannya tanah, dan karena tanah merupakan sumber daya alam yang terbatas, mengingat besarnya peranan hak-hak atas tanah, keadaan ini menyebabkan semakin meningkatnya nilai ekonomis tanah. Masalah-masalah yang berkaitan dengan tanah dari hari menunjukkan kecenderungan semakin kompleks. Hal ini dapat dimaklumi sebagai konsekuensi logis dari suatu proses pembangunan yang terus meningkat, disamping makin beragamnya berbagai kepentingan masyarakat dan berbagai sektor yang memerlukan tersedianya tanah.

  Benturan-benturan kepentingan yang mengakibatkan sengketa di bidang pertanahan dalam masyarakat baik antar perorangan-perorangan dengan pemerintah maupun antar lintas sektoral akan berlangsung terus sejalan dengan frekuensi kebutuhan akan tanah. Konflik-konflik pertanahan yang sering terjadi saat ini biasanya menyangkut kepastian hukum hak atas tanah.

  Hak-hak atas tanah mempunyai peran penting dalam kehidupan manusia, semakin maju masyarakat, semakin padat penduduknya, akan menambah lagi pentingnya kedudukan hak-hak atas tanah itu bagi pemiliknya. Guna terciptanya kepastian hukum hak atas tanah di seluruh wilayah Indonesia, diperlukan pelaksanaan pendaftaran tanah. Pendaftaran tanah sangat penting bagi para pemegang hak atas tanah, demi terjaminya kepastian hukum oleh pemerintah diadakan pendaftaran tanah diseluruh wilayah Indonesia menurut ketentuan-ketentuan yang diatur dengan Peraturan Pemerintah. Ketentuan tersebut merupakan keharusan dan kewajiban pemerintah untuk mengatur dan menyelenggarakan pendaftaran tanah. Masalah pendaftaran tanah ini telah diatur oleh pemerintah Indonesia, yaitu dengan dikeluarkannya Peraturan Pemerintah (selanjutnya disebut PP) No. 10 Tahun 1961 Tentang Pendaftaran Tanah, pada tanggal 23 Maret 1961. Namun setelah berjalan 36 tahun PP No. 10 Tahun 1961 tersebut, dipandang tidak dapat lagi sepenuhnya mendukung tercapainya hasil yang lebih nyata pada pembangunan nasional, sehingga

  2

  perlu penyempurnaan yang kemudian diganti dengan PP No. 24 Tahun 1997 Tentang Pendaftaran yang memberikan batasan dan ketentuan khusus mengenai pendaftaran tanah tersebut.

  Digantikannya PP No. 10 Tahun 1961 menjadi PP No. 24 Tahun 1997 Tentang Pendaftaran Tanah, diharapkan di dalam pemerataan pembangunan nasional umumnya dan permasalahan pendaftaran tanah khususnya dapat terlaksana dan membuahkan hasil yang maksimal.

  Sesuai dengan ketentuan Pasal 7 PP No. 24 Tahun 1997 Tentang Pendaftaran Tanah, maka keluarlah PP No. 37 Tahun 1998 Tentang Peraturan Jabatan Pejabat Pembuat Akta Tanah. Kemudian Pasal 1 ayat (1) PP No. 37 Tahun 1997 tersebut menyebutkan bahwa Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT) adalah pejabat umum yang diberi kewenangan untuk membuat akta-akta otentik mengenai perbuatan hukum tertentu mengenai hak atas tanah atau hak milik atas satuan rumah susun.

  Selanjutnya Pasal 5 ayat (3) huruf (a) PP No. 37 Tahun 1998 Tentang Peraturan Jabatan PPAT menyebutkan bahwa : 2 Ali Achmad Chomzah, Hukum Agraria (Pertanahan Indonesia), Jilid 2, Prestasi Pustaka Publisher, Jakarta, 2002, hal 65.

  “Untuk melayani masyarakat dalam pembuatan PPAT di daerah yang belum cukup terdapat PPAT atau untuk melayani golongan masyarakat tertentu, Menteri dapat menunjuk pejabat-pejabat di bawah ini sebagai Pejabat Sementara atau PPAT Khusus:

  a. Camat atau Kepala Desa untuk melayani pembuatan akta di daerah yang belum cukup terdapat PPAT, sebagai PPAT Sementara.

  b. Kepala Kantor Pertanahan untuk melayani pembuatan akta yang diperlukan dalam rangka pelaksanaan program-program pelayanan masyarakat atau untuk melayani pembuatan akta PPAT tertentu bagi Negara sahabat berdasarkan asas resiprositas sesuai pertimbangan dari Departemen Luar Negeri, sebagai PPAT Khusus.

  Dengan demikian tugas pokok PPAT dalam membantu tugas Kepala Kantor Pertanahan dalam melaksanakan pendaftaran tanah adalah melaksanakan sebagian kegiatan pendaftaran tanah dengan membuat sebagai bukti telah dilakukannya perbuatan hukum tertentu mengenai hak atas tanah atau hak milik atas satuan rumah susun, yang akan dijadikan dasar bagi pendaftaran perubahan data pendaftaran tanah yang diakibatkan oleh perbuatan hukum itu.

  Untuk keperluan pendaftaran tanah PPAT diberikan kewenangan untuk membuat akta otentik mengenai semua perbuatan hukum sebagaimana disebutkan dalam Pasal 2 ayat (2) Peraturan Jabatan PPAT mengenai hak atas tanah dan Hak milik atas satuan rumah susun yang terletak dalam wilayah kerjanya. Perbuatan hukum yang dimaksud adalah sebagai berikut :

  a. Jual beli;

  b. Tukar menukar;

  c. Hibah;

  d. Pemasukan dalam perusahaan (inbreng);

  e. Pembagian hak bersama; f. Pemberian hak guna bangunan/hak pakai atas tanah hak milik;

  g. Pemberian hak tanggungan; h. Pemberian kuasa membebankan hak tanggungan.

  Dalam menjalankan fungsi penting bagi masyarakat di bidang pendaftaran tanah, maka fungsi tersebut harus dilaksanakan di seluruh wilayah Negara Republik Indonesia. Oleh karena itu di wilayah yang belum cukup terdapat PPAT, Camat dapat diangkat sebagai PPAT Sementara dalam melaksanakan fungsi tersebut. Berdasarkan pertimbangan untuk memenuhi pelayanan kepada masyarakat di daerah-daerah terpencil, yang masyarakatnya akan merasakan kesulitan apabila harus pergi ke Kantor Kecamatan untuk melaksanakan transaksi mengenai tanahnya, maka Menteri juga dapat menunjuk Kepala Desa untuk melaksanakan tugas PPAT. Kepala Desa

  3 juga disebut sebagai PPAT sementara.

  PPAT Sementara menjalankan tugasnya sebagai PPAT berdasarkan penunjukkan yang dilakukan oleh Menteri untuk melayani pembuatan akta di daerah yang belum cukup terdapat PPAT, sedangkan PPAT Khusus adalah Kepala Kantor Pertanahan yang ditunjuk oleh Menteri (sekarang Kepala BPN) untuk melayani pembuatan akta PPAT yang diperlukan dalam rangka pelaksanaan program-program pelayanan masyarakat atau untuk melayani pembuatan akta PPAT tertentu bagi Negara sahabat berdasarkan asas resiprositas sesuai pertimbangan dari Departemen Luar Negeri. Dalam menjalankan jabatannya, PPAT Sementara dan PPAT Khusus 3 Heriandi Admaja, Peranan Camat Sebagai PPAT (Sementara) di Wilayah Kecamatan yang Dipimpinya, Aksara Jaya, Surabaya, 2006, hal 15. juga tunduk pada Peraturan Jabatan PPAT berikut peraturan-peraturan pelaksanaannya.

  Dalam praktek pelaksanaan jabatan Camat selaku PPAT Sementara wewenang yang dimiliki oleh Camat tersebut adalah sama dengan PPAT pada umumnya sebagaimana telah diuraikan di atas. Akan tetapi di daerah-daerah terpencil di mana Camat ditunjuk dan diangkat sebagai PPAT Sementara dalam melaksanakan tugasnya juga melakukan perbuatan hukum yang berada di luar kewenangannya selaku PPAT. Salah satu perbuatan hukum Camat yang berada di luar kewenangannya tersebut adalah melakukan pembuatan akta jual beli tanah yang belum/tanpa bersertipikat. Perbuatan hukum melakukan pembuatan akta jual beli terhadap tanah yang tidak memiliki sertipikat tersebut adalah suatu perbuatan yang berada di luar kewenangan Camat selaku PPAT Sementara sebagaimana Pasal 37 ayat (1) PP No. 24 tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah yang berbunyi: ”Peralihan hak atas tanah dan hak milik atas satuan rumah susun melalui jual-beli, tukar- menukar, hibah, pemasukan dalam perusahaan dan perbuatan hukum pemindahan hak lainnya, kecuali pemindahan hak karena lelang hanya dapat didaftarkan, jika dibuktikan dengan akta yang dibuat oleh PPAT yang berwenang menurut ketentuan 4 peraturan perundang-undangan yang berlaku”. Hal ini diperkuat dengan Peraturan

  Pemerintah No. 37 Tahun 1998 Tentang Peraturan Pejabat Pembuat Akta Tanah dalam Pasal 2 ayat (1) yang berbunyi : 4 Boedi Harsono, 2002, Hukum Agraria Indonesia (Himpunan Peraturan-Peraturan Hukum Tanah) , Djambatan, Jakarta, Halaman 538-539.

  PPAT bertugas pokok melaksanakan sebagian kegiatan pendaftaran tanah dengan membuat akta sebagai bukti telah dilakukannya perbuatan hukum tertentu mengenai hak atas tanah atau Hak Milik Atas Satuan Rumah Susun yang akan dijadikan dasar bagi pendaftaran perubahan data pendaftaran tanah yang

  5 diakibatkan oleh perbuatan hukum itu.

  Jual beli atas tanah tanpa sertipikat tidak dapat dilakukan di hadapan Camat selaku PPAT Sementara, namun jual beli tanah tanpa sertipikat tersebut seharusnya dibuat oleh Notaris selaku pejabat umum sebagaimana disebutkan pada Pasal 1 ayat (1) UU No. 30 Tahun 2004 Tentang Jabatan Notaris yang menyebutkan Notaris adalah pejabat umum yang berwenang untuk membuat akta otentik dan kewenangan lain-lainnya sebagaimana dimaksud dalam undang-undang ini. Dalam praktek judul akta terhadap jual beli (peralihan hak atas tanah tanpa sertipikat) tersebut lazim disebut dengan pelepasan hak dengan ganti rugi atau pengikatan jual beli tanah. Apabila Camat telah melakukan perbuatan hukum pembuatan akta jual beli (peralihan hak atas tanah) tanpa sertipikat, maka akta tersebut akan menimbulkan problematika hukum bagi para pihak yang berkepentingan terhadap akta tersebut.

  Berkaitan dengan problematika produk hukum akta jual beli terhadap tanah tanpa sertipikat yang dibuat oleh Camat selaku PPAT Sementara, maka penelitian ini akan membahas lebih lanjut mengenai permasalahan yang timbul dalam pelaksanaan pembuatan akta tersebut. Oleh karena itu dimaksudkan untuk memaparkan/ menggambarkan permasalahan yang terjadi dalam problematika produk hukum Camat selaku PPAT Sementara berupa akta jual beli yang dibuatnya terhadap tanah 5 Halaman 677.

  Ibid, tanpa sertipikat beserta segala aspek hukum yang timbul oleh karenanya, sekaligus membahas dan menganalisa permasalahan hukum yang timbul tersebut untuk dapat menemukan solusi yang tepat dalam menjawab permasalahan hukum tersebut. Untuk itulah penelitian ini dilakukan lebih lanjut dalam membahas problematika produk hukum Camat berupa akta jual beli tanah tanpa sertipikat beserta akibat hukum yang timbul dari problematika produk hukum tersebut.

  B. Perumusan Masalah

  Berdasarkan uraian latar belakang tersebut dapat dirumuskan permasalahan sebagai berikut :

  1. Apa dasar hukum Camat sebagai Pejabat Pembuat Akta Tanah Sementara (PPATS) berwenang melakukan tindakan hukum peralihan hak atas tanah?

  2. Bagaimana pelaksanaan peralihan hak atas tanah tanpa sertipikat di hadapan Camat selaku Pejabat Pembuat Akta Tanah Sementara (PPATS)?

  3. Bagaimana cara menyelesaikan masalah hukum peralihan hak atas tanah tanpa sertipikat yang dibuat oleh Camat selaku Pejabat Pembuat Akta Tanah Sementara (PPATS)?

  C. Tujuan Penelitian

  Mengacu pada judul dan permasalahan dalam penelitian ini maka dapat dikemukakan bahwa tujuan yang hendak dicapai dalam penelitian ini adalah sebagai berikut :

  1. Untuk mengetahui dasar hukum Camat sebagai Pejabat Pembuat Akta Tanah Sementara (PPATS) berwenang melakukan tindakan hukum peralihan hak atas tanah.

  2. Untuk mengetahui pelaksanaan peralihan hak atas tanah tanpa sertipikat di hadapan Camat selaku Pejabat Pembuat Akta Tanah Sementara (PPATS).

  3. Untuk mengetahui cara menyelesaikan masalah hukum peralihan hak atas tanah tanpa sertipikat yang dibuat oleh Camat selaku Pejabat Pembuat Akta Tanah Sementara (PPATS).

D. Manfaat Penelitian

  Adapun manfaat yang diperoleh dari hasil penelitian ini adalah sebagai berikut :

  1. Secara teoritis, penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbang saran dalam ilmu hukum pada umumnya dan hukum kenotariatan tentang masalah pertanahan khususnya mengenai peralihan hak atas tanah yang dibuat oleh Camat sebagai PPAT Sementara. Disamping itu juga dapat menjadi literatur dalam memperkaya khasanah dan kepustakaan serta perkembangan ilmu hukum kenotariatan khususnya di bidang hak atas tanah diperguruan tinggi.

  2. Secara praktis, penelitian ini diharapkan dapat memberikan masukan kepada masyarakat dan Camat sebagai PPAT Sementara agar mengetahui dan memahami peraturan perundang-undangan yang mengatur tentang Camat sebagai

  PPAT Sementara dan kewenangannya dalam membuat akta peralihan hak atas tanah, sehingga tidak menimbulkan masalah hukum dikemudian hari.

  E. Keaslian Penelitian

  Berdasarkan hasil penelusuran sementara dan pemeriksaan yang telah dilakukan di perpustakaan Magister Kenotariatan Fakultas Hukum atau perpustakaan di lingkungan Universitas Sumatera Utara (USU) Medan, sejauh yang diketahui tidak ditemukan judul yang sama dengan judul penelitian ini. Adapun penelitian yang ada kaitannya dengan masalah Peralihan hak atas tanah yang dibuat oleh Camat sebagai PPAT Sementara adalah sebagai berikut :

  1. Tetty Marlina Tarigan (017011063/MKn), Tugas dan Fungsi Notaris dalam Pembuatan Akta (Kajian terhadap Pembuatan Akta Pelepasan Hak dengan Ganti Rugi atas Tanah di wilayah kerja Kantor Notaris Kota Medan).

  2. Harliaminda (057011033/MKn), Camat sebagai Pejabat Pembuat Akta Tanah Sementara dalam Pendaftaran Hak Atas Tanah (Studi di Kota Tebing Tinggi).

  F. Kerangka Teori dan Konsepsi

1. Kerangka Teori

  Teori adalah menerangkan atau menjelaskan mengapa gejala spesifik atau proses tertentu terjadi. Suatu teori harus diuji dengan menghadapkannya pada fakta

  6

  yang dapat menunjukkan ketidakbenarannya. Fungsi teori dalam penelitian ini adalah untuk member arahan/petunjuk dan meramalkan serta menjelaskan gejala yang 6 Soerdjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, UI Press, Jakarta, 1986, hal 6.

  7

  diamati. Menurut teori kepastian hukum, hukum dibentuk atau dibuat dengan tujuan untuk memenuhi rasa keadilan, kepastian dan ketertiban. Kepastian hukum bagi subjek hukum dapat diwujudkan dalam bentuk yang telah ditetapkan terhadap suatu perbuatan dan peristiwa hukum. Teori kepastian hukum adalah bentuk perlindungan hukum bagi subjek hukum dari tindakan kesewenang-wenangan pihak yang lebih dominan. Kepastian hukum bermuara pada ketertiban secara sosial. Kepastian hukum diberikan oleh Negara sebagai pencipta hukum dalam bentuk undang-undang. Pelaksanaan kepastian hukum dinyatakan dalam bentuk lembaga yudikatif yang berwenang mengadili atau menjadi wasit yang memberikan kepastian hukum bagi

  8 setiap subjek hukum.

  Sebagaimana dikutip oleh Soeroso dalam bukunya yang berjudul pengantar ilmu hukum “Apeldoorn menyatakan bahwa : “Tujuan hukum adalah mengatur tata tertib dalam masyarakat secara damai dan adil, dan untuk mencapai kedamaian hukum harus diciptakan masyarakat yang adil dengan mengadakan penyatuan antara kepentingan yang bertentangan satu sama lain, dan setiap orang harus memperoleh hak-haknya sesuai hukum yang

  9 berlaku secara pasti dalam mewujudkan keadilan”.

  Menurut W. Friedman, suatu Undang-undang harus memberikan kepastian hukum yang sama kepada semua pihak walaupun terdapat perbedaan-perbedaan

  10

  diantara pribadi-pribadi tersebut. Teori yang digunakan dalam penelitian ini adalah 7 JJJ. M. Wuisman, Penelitian Ilmu-ilmu Sosial, Jilid I, Penuntun M.Hisyam, Uji Press, Jakarta, 1996, hal 93. 8 Achmad Ali, Mengenal Tabir Hukum (Suatu Kajian Filosofi dan Sosiologi), Prenada Media, Jakarta, 2005, hal 85. 9 10 R. Soeroso, Pengantar Ilmu Hukum, Sinar Grafika, Jakarta, 2008, hal 57.

  W. Friedman, Teori dan Filsafat Hukum dalam Buku Telaah Kasusu atas Teori-teori Hukum, Terjemahan Muhammad. teori kepastian hukum. Kepastian hukum sebagai landasan yuridis pelaksanaan tugas Camat sebagai Pejabat Pembuat Akta Sementara (PPATS) terhadap warga masyarakat yang menggunakan jasanya dalam pembuatan akta peralihan hak atas tanah yang belum bersertipikat. Pengaturan dan pertanggung jawaban hukum peralihan hak atas tanah yang dilakukan oleh Camat sebagai PPAT Sementara dalam peraturan perundang-undangan di Indonesia diatur dalam PP No. 37 Tahun 1998 Tentang Peraturan Jabatan Pejabat Pembuat Akta Tanah. Pasal 5 ayat (3) huruf (a) PP No. 37 Tahun 1998 tersebut menyebutkan bahwa :

  “Untuk melayani masyarakat dalam pembuatan akta PPAT di daerah yang belum cukup terdapat PPAT atau untuk melayani golongan masyarakat tertentu, Menteri dapat menunjuk pejabat-pejabat di bawah ini sebagai pejabat sementara atau PPAT khusus :

  a. Camat atau Kepala Desa untuk melayani pembuatan akta di daerah yang belum cukup terdapat PPAT, sebagai PPAT Sementara.

  b. Kepala Kantor Pertanahan untuk melayani pembuatan akta yang diperlukan dalam rangka pelaksanaan program-program pelayanan masyarakat atau untuk melayani pembuatan akta PPAT tertentu bagi Negara sahabat berdasarkan asas resiprositas sesuai pertimbangan dari Departemen Luar Negeri, sebagai PPAT khusus”.

  Demikian Pasal 1 ayat (1), (2), dan (3) PP No. 37 Tahun 1998 tersebut maka dikenal 3 jenis PPAT yaitu : a. Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT), adalah pejabat umum yang diberi kewenangan untuk membuat akta-akta otentik mengenai perbuatan hukum tertentu mengenai hak atas tanah atau hak milik atas satuan rumah susun.

  b. Camat selaku PPAT Sementara, adalah Pejabat Pemerintah yang ditunjuk karena jabatannya untuk melaksanakan tugas PPAT dengan membuat akta PPAT di daerah yang belum cukup terdapat PPAT. c. Pejabat Pembuat Akta Tanah dengan wewenang khusus, adalah Pejabat Badan Pertanahan Nasional yang ditunjuk karena jabatannya untuk melakukan tugas PPAT dengan membuat akta PPAT tertentu khusus dalam rangka pelaksanaan program atau tugas pemerintah tertentu.

  Secara teori struktur mengenai keterkaitan pendaftaran tanah dengan jabatan PPAT Sementara dalam melaksanakan pembuatan akta otentik PPAT mapun akta pelepasan hak atas tanah yang tidak bersertipikat berdasarkan PP No. 24 tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah dan PP No. 37 tahun 1998 tentang Peraturan Jabatan PPAT, dapat digambarkan sebagai berikut :

  Bagan 1. Dasar Hukum Camat sebagai PPAT Sementara

  

PP No. 24 / 1997

Tentang Pendaftaran Tanah

PP No. 37/1998 tentang

Peraturan Jabatan PPAT

  

PMA/Ka.BPN 1/2/2006

Peranan Camat Sebagai Pembuat

Akta Tanah Sementara Dalam

Pelaksanaan Pendaftaran Tanah PP

  

No. 37/1998 Pasal 5 ayat (3)

Tidak Berperan Berperan UU No. 32 tahun 2004

  Masyarakat mempunyai tentang Pemda kepastian hukum dalam masalah kepemilikan tanah

  Sumber : Buku Panduan Badan Pertanahan Nasional (BPN RI) tahun 2010 tentang Dasar Hukum Camat sebagai PPAT Sementara

  Pengertian peralihan hak atas tanah, sebagaimana dalam bukunya yang berjudul Segi-segi Hukum Tanah Nasional dalam Pengadaan Tanah untuk Pembangunan “Erene Eka Sihombing” menyebutkan bahwa :

  “Peralihan hak atas tanah adalah beralihnya atau berpindahnya hak kepemilikan sebidang tanah atau beberapa bidang tanah dari pemilk semula kepada pemilik yang baru karena sesuatu atau perbuatan hukum tertentu. Perbuatan hukum pemindahan hak bertujuan untyuk memindahkan hak atas tanah kepada pihak lain untuk selama-lamanya (dalam hal ini subyek hukumnya memenuhi syarat sebagai pemegang hak atas tanah). 11 Tugas pokok PPAT menurut Pasal 2 ayat (1) Peraturan Pemerintah No. 37

  Tahun 1998 Tentang Peraturan Jabatan PPAT menyebutkan bahwa “PPAT bertugas pokok melaksanakan sebagian kegiatan pendaftaran tanah dengan membuat akta sebagai bukti telah dilakukan perbuatan hukum tertentu mengenai hak atas tanah atau Hak Milik Atas Satuan Rumah Susun, yang akan dijadikan dasar bagi pendaftaran perubahan data pendaftaran tanah yang diakibatkan oleh perbuatan hukum tertentu”.

  Perbuatan hukum yang dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) PP No. 37 Tahun 1998 tersebut di atas adalah : a. Jual beli;

  b. Tukar menukar;

  c. Hibah;

  d. Pemasukan ke dalam perusahaan (inbreng);

  e. Pembagian hak bersama;

  f. Pemberian Hak Guna Bangunan (HGB)/Hak Pakai atas tanah Hak Milik

  g. Pemberian Hak Tanggungan; 11 Irene Eka Sihombing, Segi-segi Hukum Tanah Nasional dalam Pengadaan Tanah untuk Pembangunan , Universitas Trisakti, Jakarta, 2005, hal. 56. h. Pemberian Kuasa Membebankan Hak Tanggungan.

  Dalam Pasal 39 PP No. 24 Tahun 1997 Tentang Pendaftaran Tanah, Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT) memiliki larangan-larangan untuk membuat dan menerbitkan akta peralihan hak atas tanah, yaitu bagi tanah yang belum jelas status haknya. Dengan kata lain, PPAT harus menolak pembuatan dan penerbitan akta peralihan hak atas tanah yaitu : a. Mengenai bidang tanah yang sudah terdaftar kepadanya tidak disampaikan sertipikat asli hak yang bersangkutan atau sertipikat yang diserahkan tidak sesuai dengan daftar-daftar yang ada di kantor pertanahan.

  b. Mengenai bidang tanah yang belum terdaftar kepadanya tidak disampaikan : 1) Surat bukti hak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24 ayat (1) atau surat keterangan Lurah/Kepala Desa yang menyatakan bahwa yang bersangkutan menguasai bidang tanah tersebut sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24 ayat (2).

  2) Surat keterangan yang menyatakan bahwa bidang tanah yang bersangkutan belum bersertipikat dari kantor Pertanahan atau untuk tanah yang terletak di daerah yang jauh dari kedudukan Kantor Pertanahan dari pemegang hak yang bersangkutan bersangkutan dengan dikuatkan oleh Kepala Desa/Kelurahan.

  3) Salah satu atau para pihak yang akan melakukan perbuatan hukum yang bersangkutan atau salah satu saksi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 38 PP No. 24 tahun 1997 tidak berhak atau tidak memenuhi syarat untuk bertindak demikian.

  4) Salah satu pihak atau para pihak bertindak atas dasar surat kuasa mutlak yang pada hakikatnya berisikan perbuatan hukum pemindahan hak.

  5) Untuk perbuatan hukum yang akan dilakukan belum memperoleh izin pejabat atau instansi yang berwenang, apabila izin tersebut diperlukan menurut perundang-undangan yang berlaku. 6) Obyek perbuatan hukum yang bersangkutan sedang dalam sengketa mengenai data fisik dan data yuridisnya.

  7) Tidak dipenuhi syarat lain atau dilanggar larangan yang ditentukan dalam peraturan perundang-undangan yang bersangkutan.

  Pasal 19 ayat (1) Undang-Undang No. 5 Tahun 1960 Tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria menyebutkan bahwa :“Untuk menjamin kepastian hukum oleh Pemerintah diadakan pendaftaran tanah diseluruh wilayah Indonesia menurut ketentuan-ketentuan yang diatur dengan peraturan pemerintah”. Pasal 19 ayat (1) tersebut diketahui bahwa pendaftaran tanah sangat penting untuk menjamin kepastian hukum hak atas tanah, oleh karena itu pendaftaran tanah harus diselenggarakan diseluruh wilayah Indonesia. Untuk memenuhi kebutuhan kekurangan PPAT, maka suatu kecamatan yang belum diangkat seorang PPAT, Camat yang ada pada kecamatan itu karena jabatannya menjadi PPAT Sementara. Sebagai PPAT Sementara, camat mempunyai tugas dan kewajiban yang sama dengan PPAT.

  Hubungan antara Camat dengan pendaftaran tanah terjadi karena perintah dari

  Pasal 5 ayat (3) huruf (a) PP No. 37 Tahun 1998 tentang Peraturan Jabatan PPAT yang menyebutkan Camat atau Kepala Desa untuk melayani pembuatan akta PPAT di daerah yang belum cukup terdapat PPAT, sebagai PPAT Sementara. Jika untuk kecamatan itu telah diangkat seorang PPAT, maka Camat yang bersangkutan tetap menjadi PPAT Sementara, sampai ia berhenti menjadi Camat dari kecamatan itu.

  12 Penggantinya tidak lagi menjabat sebagai PPAT.

  Melihat betapa pentingnya Pendaftaran Tanah agar terciptanya kepastian hukum hak atas tanah, maka pendaftaran tanah harus diselenggarakan, untuk itu perangkat dan pejabat di daerah juga harus tersedia lengkap terutama seorang Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT).

  Jika suatu daerah tidak tersedia PPAT, untuk dapat memenuhi kebutuhan kekurangan PPAT, suatu kecamatan yang belum diangkat seorang PPAT, Menteri dapat menunjuk Camat yang ada pada kecamatan itu menjadi PPAT Sementara, dengan ketentuan Camat tersebut harus mengajukan permohonan untuk itu.

  Adapun tugas dan kewajiban PPAT Sementara tersebut sama dengan PPAT Notaris. Dengan kata lain, apabila seorang Camat ingin mengajukan untuk menjadi Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT) Sementara, maka persyaratannya juga harus sama dengan persyaratan seorang PPAT Notaris atau harus sesuai dengan apa yang diatur dalam Peraturan Pemerintah. Sebaliknya apabila suatu daerah formasi jumlah

  13 PPAT telah mencukupi,maka Menteri harus menolak permohonan tersebut.

  12 Effendi Perangin, Hukum Agraria Di Indonesia, Suatu Telaah Dari Sudut Pandang Praktisi Rajawali Press, Jakarta, 1991, hal 4.

  Hukum, 13 Sunaryo Bustamam, Formasi PPAT di Indonesia,Pelita Ilmu, Jakarta, 2005, hal 14.

2. Konsepsi

  Konsepsi adalah salah satu bagian terpenting dari teori. Peranan konsepsi dalam penelitian ini adalah untuk menghubungkan teori dan observasi antara abstrak dan kenyataan. Dengan demikian konsepsi dapat diartikan pula sebagai sarana untuk mengetahui gambaran umum pokok penelitian yang akan dibahas sebelum memulai

  14

  penelitian (observasi) masalah yang akan diteliti. Konsep diartikan pula sebagai kata yang menyatakan abstraksi yang digeneralisasikan dalam hal-hal yang khusus

  15 yang disebut dengan defenisi operasional.

  Soerjono Soekanto berpendapat kerangka konsepsi pada hakekatnya merupakan suatu pengarah atau pedoman yang lebih konkrit dari kerangka teoritis yang seringkali bersifat abstrak, sehingga diperlukan defenisi operasional yang

  16

  menjadi pegangan konkrit dalam proses penelitian. Pentingnya defenisi operasional bertujuan untuk menghindari perbedaan salah pengertian atau penafsiran oleh karena itu untuk menjawab permasalahan dalam penelitian ini, harus dibuat seberapa defenisi konsep dasar sebagai acuan agar penelitian ini sesuai dengan yang diharapkan yaitu: a. Problematika adalah suatu permasalahan dibidang hukum mengenai akta peralihan hak atas tanah yang belum/tanpa bersertipikat yang dikeluarkan oleh

  Camat sebagai PPAT Sementara.

  14 John Creswell Research Design, Pendekatan Kualitatif dan Kuantitatif Alih Bahasa

Angkatan III dan IV, Kajian Ilmu Kepolisian (KIK)-UI Bekerjasama dengan Nur Khabibah, KIK Pres,

Jakarta, 1994, hal 79. 15 16 Sumadi Surya Brata, Metodologi Penelitian, Raja Grafindo Persada, Jakarta, 1998, hal 28.

  

Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, UI Press, Jakarta, 1984, hal 133. b. Produk hukum adalah akta peralihan hak atas tanah yang belum/tanpa bersertipikat yang dikeluarkan oleh Camat sebagai PPAT Sementara.

  c. Camat sebagai PPAT Sementara adalah Camat sebagai Kepala Wilayah Kecamatan yang juga mempunyai kewenangan, sebagai Pejabat Pembuat Akta Tanah Sementara (PPATS) yang diangkat oleh Badan Pertanahan Nasional (BPN) berdasarkan peraturan perundang-undangan tentang PPAT sebagaimana yang termuat dalam PP No. 37 Tahun 1998 jo. PMA/ Ka. BPN No. 1 Tahun 2006.

  d. Hak atas tanah adalah hak yang memberi kewenangan untuk mempergunakan tanah yang bersangkutan untuk kepentingan yang langsung berhubungan dengan penggunaan tanah itu menurut ketentuan perundang-undangan yang berlaku.

  e. Tanah tidak bersertipikat adalah tanah yang dikuasai langsung oleh Negara dan dipergunakan oleh pihak-pihak yang menguasai tanah tersebut, secara defacto dan memiliki alas hak berupa surat keterangan dari pihak yang berwenang.

  f. Sertipikat Hak Milik (SHM) adalah tanda bukti kepemilikan atas tanah yang terkuat dan terpenuhi yang dapat dimiliki orang atas tanah dan memberi kewenangan untuk menggunakannya bagi segala macam keperluan selama waktu yang tidak terbatas.

  g. Akta peralihan hak dengan ganti rugi adalah suatu akta yang dikeluarkan oleh Camat selaku PPAT Sementara, sebagai tanda bukti telah terjadi peralihan hak atas tanah yang belum bersertipikat dengan sejumlah uang sebagai ganti ruginya.

  h. Kewenangan Camat adalah suatu kewenangan yang diberikan kepada Camat oleh Badan Pertanahan Nasional (BPN) untuk menjadi PPAT Sementara berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku di bidang pertanahan, dalam rangka membantu Badan Pertanahan Nasional (BPN) dalam hal melakukan pendataan dan pendaftaran tanah di wilayahnya (apabila diwilayah tersebut tidak ada PPAT).

G. Metode Penelitian

  1. Sifat dan Jenis Penelitian

  Jenis penelitian ini adalah penelitian hukum normatif (yuridis normatif) dimana pendekatan terhadap permasalahan dilakukan dengan mengkaji ketentuan perundang-undangan yang berlaku mengenai pembuatan akta peralihan hak atas tanah yang belum bersertipikat yang dilakukan oleh Camat selaku PPAT Sementara di suatu daerah. Sifat dari penelitian ini adalah penelitian deskriptif analitis, maksudnya penelitian ini berupaya untuk memaparkan segala permasalahan yang ada dengan tujuan memperoleh gambaran secara rinci dan sistematis tentang permasalahan yang akan diteliti. Analisis yang dimaksud berdasarkan gambaran fakta yang diperoleh akan dilakukan secara cermat bagaimana menjawab permasalahan yang timbul.

  2. Sumber Penelitian

  Bahan dari penelitian ini diperoleh dengan mengumpulkan data-data yang dibutuhkan verkaitan dengan penelitian ini dengan cara studi dokumen terhadap bahan kepustakaan yang terdiri dari :

  a. Bahan hukum primer yang berupa norma/peraturan dasar dan peraturanh perundang-undangan. Dalam penelitian ini bahan hukum primer adalah Undang- Undang Pokok Agraria (UUPA) No. 5 Tahun 1960, PP No. 24 tahun 1997 tentang pendaftaran tanah, PP No. 37 tahun 1998 tentang Peraturan Jabatan Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT), Peraturan Menteri Agraria/Kepala BPN No. 1 tahun 2006 tentang Ketentuan Pelaksanaan PP No. 37 tahun 1998 dan peraturan pelaksana lainnya yang berkaitan dengan pelaksanaan tugas Camat sebagai PPAT Sementara.

  b. Bahan hukum sekunder yaitu bahan yang memberikan penjelasan mengenai bahan hukum primer yang berupa buku, hasil-hasil penelitian dan atau karya ilmiah hukum tentang hukum pertanahan pada umumnya dan peralihan hak atas tanah pada khususnya.

  c. Bahan hukum tertier yaitu bahan yang memberi petunjuk dan penjelasan terhadap bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder seperti kamus hukum, Ensiklopedia, kamus umum dan sebagainya.

3. Teknik Pengumpulan Data

  Teknik pengumpulan data (bahan hukum) dalam penelitian ini dilakukan dengan cara penelitian kepustakaan (library research). Alat pengumpulan data yang digunakan yaitu dengan studi dokumen untuk memperoleh data dengan membaca, mempelajari, meneliti, mengidentifikasi dan menganalisa data primer, sekunder maupun tertier yang berkaitan dengan penelitian ini. Disamping itu dalam penelitian ini juga dilakukan wawancara langsung terhadap 5 (lima) orang Camat selaku PPAT Sementara untuk meminta pendapat yang berkaitan dengan pembuatan akta peralihan hak atas tanah yang dilakukan oleh Camat selaku PPAT Sementara di wilayahnya masing-masing.

4. Analisa Data

  Analisis data merupakan suatu proses mengorganisasikan dan mengurutkan data ke dalam pola kategori dan satuan urutan dasar sehingga dapat ditemukan tema dan dapat dirumuskan suatu hipotesa yang disarankan oleh data. Di dalam penelitian

  17

  hukum normatif. Maka analisis pada hakekatnya berarti kegiatan untuk mengadakan sistematisasi terhadap bahan hukum tertulis. Sistematis berarti membuat klasifikasi terhadap hukum tertulis primer, sekunder, maupun tertier, untuk memudahkan pekerjaan analisis dan konstruksi.

  Dalam penelitian ini bahan-bahan hukum tertulis yaitu peraturan perundang- undangan yang berkaitan dengan hukum pertanahan dan peralihan hak atas tanah baik dengan jual beli maupun dengan pelepasan hak dengan ganti rugi tersebut dijadikan sebagai pedoman untuk menghasilkan jawaban yang selaras dengan permasalahan yang dibahas dalam penelitian ini. Semua data yang diperoleh tersebut diatas dianalisa secara kualitatif dan penarikan kesimpulan dilakukan dengan menggunakan metode logika deduktif, yaitu penarikan kesimpulan diawali dari hal-hal yang bersifat umum (kaidah hukum yang terdapat dalam UUPA No. 5 Tahun 1960, PP No. 24 Tahun 1997 Tentang Pendaftaran Tanah, PP No. 37 Tahun 1998 Tentang Peraturan Jabatan PPAT), menuju hal-hal yang bersifat khusus (pembuatan akta peralihan hak atas tanah oleh Camat selaku PPAT Sementara di suatu wilayah yang dipimpinnya).

Dokumen yang terkait

Problematika Produk Hukum Camat Sebagai Pejabat Pembuat Akta Tanah Sementara (PPAT/S) dalam Melaksanakan Peralihan Hak Atas Tanah Tanpa Sertifikat

2 68 132

Kewenangan Camat Sebagai P.P.A.T Sementara Dalam Membuat Akta Peralihan Hak Atas Tanah Dengan Ganti Rugi

1 69 133

Tinjauan Yuridis Kedudukan Kuasa Mutlak dalam Peralihan Hak Atas Tanah oleh Notaris / PPAT (Pejabat Pembuat Akta Tanah)

9 135 135

Peranan Pejabat Pembuat Akta Tanah Dalam Pembayaran Pajak Atas Transaksi Jual Bell Tanah

0 26 2

Tinjauan Hukum mengenai Peran Pejabat Pembuat Akta Tanah dalam Peralihan Hak atas Tanah terhadap Warga Negara Asing dihubungkan dengan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria

0 19 104

Prinsip Kehati-Hatian Pejabat Pembuat Akta Tanah dalam Peralihan Tanah yang Belum Bersertifikat

0 3 21

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah - Problematika Sertifikasi Hak Milik Atas Tanah Melalui Ajudikasi Pasca Bencana Tsunami Di Kota Banda Aceh

0 0 25

1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang - Analisishukum Pidana Hak Imunitas Advokat Dalam Melaksanakan Profesinya Sebagai Penegak Hukum Di Indonesia

0 0 38

BAB I PENDAHULUAN I.1 Latar Belakang - Kualitas Pelayanan Pengurusan Sertifikat Hak Milik Atas Tanah (Studi Pada Kantor Pertanahan Kabupaten Karo)

0 1 37

BAB II DASAR HUKUM CAMAT SEBAGAI PPAT SEMENTARA BERWENANG MELAKUKAN TINDAKAN HUKUM PERALIHAN HAK ATAS TANAH A. Dasar Hukum Pengangkatan Camat Sebagai PPAT Sementara - Problematika Produk Hukum Camat Sebagai Pejabat Pembuat Akta Tanah Sementara (PPAT/S) da

0 1 29