BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang - Pengaruh Kompetensi terhadap Kinerja Perawat dalam Kesiapsiagaan Triase dan Kegawatdaruratan pada Korban Bencana Massal di Puskesmas Langsa Baro Tahun 2013

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Negara kesatuan Republik Indonesia sering mengalami bencana, baik bencana alam (natural disaster) maupun bencana karena ulah manusia (manmade disaster). Kejadian bencana biasanya diikuti dengan timbulnya korban manusia maupun

  kerugian harta benda. Adanya korban manusia dapat menimbulkan kerawanan status kesehatan pada masyarakat yang terkena bencana dan masyarakat yang berada disekitar bencana (Depkes, R.I, 2007).

  Letak geografis dan kondisi sosial kemasyarakatan yang beragam menyebabkan Indonesia berada dalam prevalensi bencana tingkat tinggi, baik bencana alam maupun akibat ulah manusia. Tidak dapat dipungkiri telah banyak upaya penanggulangan bencana yang dilakukan, baik dalam pembenahan sistem, kebijakan, maupun program teknis. Namun upaya tersebut masih belum dapat menuai hasil yang maksimal karena kendala waktu, letak/jarak, dan jumlah tenaga penolong yang tidak sebanding dengan korban masal akibat bencana. Korban kegawatdaruratan yang berada alam fase kritis membutuhkan setidaknya 24 – 48 jam efektif untuk mengurangi resiko kematian dan kecacatan. Jika bantuan dalam fase ini terlambat maka akan menurunkan 50 % harapan hidup korban (Bakun, 2011).

  Provinsi Aceh sebagai pulau besar di Indonesia bagian barat, berpotensi mengalami pola gangguan cuaca. Di tambah dengan adanya sungai yang melintasi penduduk yang padat sehingga daerah Aceh rawan terjadinya bencana banjir. Kondisi tersebut memberi dampak kepada masyarakat dalam berbagai sektor kehidupan.

  Sektor-sektor seperti kesehatan, pertanian, kehutanan, ketahanan pangan dan lain-lain turut mengalami kerugian saat kondisi memburuk atau bahkan menjadi ekstrim.

  Berdasarkan laporan BPBD (2011), kondisi ini terutama dialami oleh daerah- daerah yang secara topografi terletak di kawasan rawan bencana banjir seperti di Kabupaten Aceh Tamiang, Kabupaten Pidie dan Kotamadya Langsa, merupakan daerah yang memiliki resiko dampak terbesar terkena bencana.

  Berdasarkan pengalaman di Indonesia, permasalahan yang kerap timbul dalam penanganan bencana dilapangan adalah masalah diskoordinasi, keterlambatan transportasi dan distribusi, serta ketidaksiapan lokal dalam pemenuhan sarana dan prasarana. Oleh karena itu, dalam rangka pengurangan dampak resiko perlu penguatan upaya kesehatan pada tahap sebelum terjadi (pencegahan, mitigasi dan kesiapsiagaan) (Depkes, R.I, 2007).

  Keberhasilan penanganan krisis kesehatan akibat bencana ditentukan oleh manajemen penanganan bencana serta kegiatan pokok seperti penanganan korban massal, pelayanan kesehatan dasar di pengungsian, pengawasan dan pengendalian penyakit, air bersih dan sanitasi, penanganan gizi darurat, penanganan kesehatan jiwa, serta pengelolaan logistik dan perbekalan kesehatan (Depkes, R.I, 2007).

  Sejak tahun 2000 Kementerian Kesehatan RI telah mengembangkan konsep Sistem Penanggulangan Gawat Darurat Terpadu (SPGDT) memadukan penanganan gawat darurat mulai dari tingkat pra rumah sakit sampai tingkat rumah sakit dan rujukan antara rumah sakit dengan pendekatan lintas program dan multisektoral. Penanggulangan gawat darurat menekankan respon cepat dan tepat dengan prinsip

  

Time Saving is Life and Limb Saving. Public Safety Care (PSC) sebagai ujung

  tombak safe community adalah sarana publik/masyarakat yang merupakan perpaduan dari unsur pelayanan ambulans gawat darurat, unsur pengamanan (kepolisian) dan unsur penyelamatan. PSC merupakan penanganan pertama kegawatdaruratan yang membantu memperbaiki pelayanan pra RS untuk menjamin respons cepat dan tepat untuk menyelamatkan nyawa dan mencegah kecacatan, sebelum dirujuk ke Rumah Sakit yang dituju (Kemenkes, R.I, 2009).

  Dalam dunia kita mengenal pelayanan keperawatan gawat darurat. Yang dimaksud dengan pengertian pelayanan keperawatan gawat darurat adalah adalah pelayanan profesional yang didasarkan pada ilmu dan metodologi keperawatan gawat darurat yang berbentuk pelayanan bio-psiko-sosial-spiritual yang komprehensif ditujukan kepada klien/pasien yang mempunyai masalah aktual atau resiko yang disertai kondisi lingkungan yang tidak dapat dikendalikan. Rangkaian kegiatan yang dilaksanakan dikembangkan sedemikian rupa sehingga mampu mencegah kematian atau kecacatan yang mungkin terjadi (Feryandi, 2012).

  Keperawatan Gawat Darurat yang diberikan dalam keadaan normal, memungkinkan tersedianya sumber daya medis dan paramedis yang banyak dalam memberikan pelayanan sesuai kebutuhan pasien, baik yang penyakitnya ringan maupun berat. Sehingga pengobatan dan perawatan dapat diberikan dengan segera.

  Disisi lain, selama fase akut bencana, pengobatan dan kesehatan, masyarakat membutuhkan sangat banyak sumber tenaga medis sehingga terjadi ketidakseimbangan (Zailani dkk, 2009).

  Profesi keperawatan bersifat luwes dan mencakup segala kondisi, dimana perawat tidak hanya terbatas pada pemberian asuhan dirumah sakit saja melainkan juga dituntut mampu bekerja dalam kondisi siaga tanggap bencana. Situasi penanganan antara keadaan siaga dan keadaan normal memang sangat berbeda, sehingga perawat harus mampu secara skill dan teknik dalam menghadapi kondisi seperti ini. Kegiatan pertolongan medis dan perawatan dalam keadaan siaga bencana dapat dilakukan oleh keperawatan. Berbekal pengetahuan dan kemampuan yang dimiliki seorang perawat bisa melakukan pertolongan siaga bencana dalam berbagai bentuk.

  Prioritas utama dilokasi bencana adalah untuk menyelamatkan korban yang terluka. Pada fase ini untuk menyelamatkan orang - orang yang bertahan hidup, sangat penting adanya kerjasama dari berbagai pihak, tidak hanya petugas medis, namun juga anggota militer, pemadam kebakaran (paramedis) dan tenaga sukarelawan. Karena terbatasnya waktu untuk menyelamatkan hidup, maka perlu ditentukan prioritas dalam menyelamatkan orang yang sakit dan terluka dengan melakukan Triase (Zailani dkk, 2009).

  Becana yang memakan banyak korban (bencana massal), triase (triage) sangatlah penting untuk dilakukan. Triase adalah proses untuk mengkategorikan orang-orang yang terluka pada saat bencana berdasarkan tingkat keparahan luka mereka (luka ringan, sedang, dan berat) dan menyiapkan perawatan medis sesuai dengan tingkat prioritasnya. Langkah selanjutnya adalah menyeleksi antara korban - korban yang memerlukan perawatan medis darurat (treatment) dan yang bisa dibawa pulang, dengan korban - korban yang harus dipindahkan ke lokasi lain (transportation) untuk menapatkan perawatan medis khusus. “3T Bencana” (triage,

  

treatment, and transportation ) dan akan menjadi kunci dalam menyelamatkan lebih

banyak orang pada saat bencana (Zailani dkk, 2009).

  Di sisi lain, pelayanan kesehatan harus terus berlanjut selama masa gawat- darurat dimana fasilitas kesehatan harus dirancang agar dapat tetap berdiri kuat dan berfungsi meskipun ditempa bencana. Seluruh fasilitas kesehatan juga harus memiliki rencana gawat-darurat dimana semua staf kesehatan harus tahu tentang rencana tersebut serta bagaimana menerapkannya (Efizudin, 2012).

  Puskesmas sebagai unit promotif dan preventif dalam sistem kesehatan yang menstimulasi dan menjaring partisipasi masyarakat menuju taraf hidup mandiri, madani, dan sejahtera optimal. Bila dikaitkan dengan peran strategis di lini pertama sistem penanggulangan gawat darurat terpadu (SPGDT), Puskesmas bukan saja bertanggung jawab dalam persoalan teknis medis, tetapi juga bagaimana menciptakan masyarakat yang berkapasitas, baik secara pengetahuan maupun keterampilan, untuk ikut serta dalam upaya penanggulangan bencana. Dengan revitalisasi fungsi tersebut akan terbangun simbiosis mutualisme yang efektif dan dinamis (Bakun, 2011).

  Prinsip revitalisasi Puskesmas melalui model Public Safety Center bukan saja mendekatkan unit pelayanan kesehatan pada wilayah bencana, tetapi juga mendekatkan sumber daya penolong pada korban kegawatdaruratan daengan tujuan meminimalisir kecacatan dan kematian di “fase penentu” (the golden period) kejadian bencana. Untuk memaksimalkan kapasitas masyarakat dan optimalisasi upaya penanggulangan bencana, gagasan ini perlu didukung oleh instansi terkait di jajaran pemerintahan, pihak akademisi, swasta, dan tokoh masyarakat. Penanganan cepat dan tepat oleh masyarakat setempat dan oleh pelayanan kesehatan terdekat adalah jalur efektif penanggulangan bencana, namun dukungan yang komprehensif dan kontinue akan menuai hasil yang jauh lebih maksimal dalam membangun komunitas madani yang berdaya terhadap bencana (Bakun, 2011).

  Puskesmas sebagai unit pelayanan kesehatan terdekat yang ada di masyarakat memiliki peran kunci di lini pertama dalam penanggulangan bencana, sebagaimana dirancang dalam sistem penanggulangan gawat darurat terpadu (SPGDT). Namun keterbatasan dalam jumlah sumber daya dan luasnya wilayah cakupan kerja Puskesmas menjadi beban ganda yang menghambat implementasi peran tersebut. Untuk itulah diperlukan inovasi atau pembaharuan kekuatan untuk menambah sumber daya awam terlatih yang memiliki kesiapsiagaan dalam fase kritis (Bakun, 2011).

  Untuk mengantisipasi dampak kepada masyarakat akibat kondisi yang buruk akibat bencana, diperlukan adanya kesiapsiagaan dalam rangka meminimalisir dampak yang terjadi. Menurut Schneid dan Collins (2001), kesiapsiagaan yang sesuai sebelum suatu bencana terjadi adalah dasar untuk mengurangi resiko dan mengurangi kerusakan. Sedangkan menurut LIPI-UNESCO/ISDR (2006), kesiapsiagaan merupakan elemen penting dan berperan besar dari kegiatan pengendalian resiko.

  Saat ini upaya yang dilakukan bagi penyelesaian masalah kesehatan akibat bencana adalah yang sifatnya responsif atau tanggap darurat. Ini dilakukan baik oleh pemerintah maupun masyarakat. Sampai saat ini upaya tersebut sering datang terlambat. Hal ini disebabkan masih kurang pengalaman dan kemampuan petugas dalam bidang tanggap darurat, kesiapsiagaan dan kesadaran tentang pentingnya risk dan hazards assessment (Depkes RI, 2007).

  Menurut Sutton dan Tierney (2006), kegiatan kesiapsiagaan hendaknya didasarkan kepada pengetahuan tentang potensial dampak bahaya bencana dalam kesehatan dan keselamatan, kegiatan pemerintahan, fasilitas dan infrastruktur, pemberian pelayanan dan kondisi lingkungan dan ekonomi, serta dalam peraturan dan kebijakan.

  Menurut LIPI – UNESCO/ISDR (2006), parameter pertama faktor krisis kesiapsiagaan untuk mengantisipasi bencana alam adalah pengetahuan, sikap dan keterampilan (kompetensi) terhadap resiko bencana. Pengetahuan merupakan faktor utama dan menjadi kunci untuk kesiapsiagaan. Pengetahuan yang dimiliki biasanya dapat memengaruhi sikap dan keterampilan untuk siap siaga dalam mengantisipasi bencana.

  Dari seluruh kematian karena bencana di dunia antara tahun 2001 hingga 2010, 46 persen terjadi di 11 negara kawasan Asia Tenggara. Peristiwa Gempa disertai dengan tsunami yang menimpa Aceh dan Sumatera pada tahun 2004, selain menghancurkan permukiman dan infrastruktur, juga merenggut korban jiwa yang mencapai 186.983 orang dan korban hilang mencapai 229.826 orang Dari korban meninggal sebanyak itu, sekitar 126.915 jiwa adalah warga Aceh dan Sumatera (Indonesia). Kematian massal akibat bencana seperti itu, jarang terjadi dalam sejarah peradaban dunia, kecuali akibat perang (Syukri, 2011).

  Pada tahun 2010, jumlah kejadian bencana di Indonesia, mencapai 2.232 kejadian. Jumlah korban meninggal dan hilang pada 2010 mencapai 2.139 orang, menderita dan mengungsi sekitar 1,7 juta orang. Sementara itu, rumah rusak berat 52.401unit," (Ansyari, 2011).

  Data Pusat Penanggulangan Krisis Kesehatan (PPKK) Kemenkes RI menyebutkan bahwa dalam kurun waktu 2011, telah terjadi 813 kali kejadian bencana yang mengakibatkan krisis kesehatan, yaitu korban meninggal dunia (3.463 orang), korban rawat inap (6.744 orang) serta lebih dari satu juta jiwa harus mengungsi.

  Jumlah kejadian bencana dari Januari sampai November 2012, tercatat 437 kejadian dengan jumlah korban meninggal dunia (599 orang), korban rawat inap (1999 orang), korban rawat jalan (29.515 orang), serta puluhan ribu jiwa harus mengungsi (Kemenkes, 2012).

  Data yang dihimpun oleh BNPB diketahui tahun 2012 bencana alam telah mengakibatkan sebanyak 487 orang meninggal, 675.798 orang mengungsi/menderita dan 33.847 rumah rusak dimana 7.891 rumah rusak berat, 4.587 rusak sedang, dan 21.369 rusak ringan. Sekitar 85 persen adalah bencana hidrometeorologi yakni banjir, longsor, kekeringan, puting beliung. "Dibandingkan dengan rata-rata bencana hidrometeorologi selama 2002 - 2011 yaitu sekitar 80 persen, maka bencana hidrometeorologi mengalami peningkatan. Kejadian bencana terbanyak adalah puting beliung 259 kejadian atau 36 persen, banjir 193 kejadian atau 26 persen dan tanah longsor 138 kejadian atau 19 persen (Puspitasari, 2012).

  Berdasarkan Riset Tsunami dan Mitigasi Bencana atau Tsunami and Disaster

  

Mitigation Research Cente r (TDMRC) Unsyiah, melalui program Knowledge

Management (KM) Provinsi Aceh selama tahun 2010 dilanda 92 kasus bencana alam.

  Banjir menempati urutan pertama dengan 47 kasus, angin kencang 13 kasus, puting beliung 10 kasus, tanah longsor dan gelombang pasang masing-masing 7 kasus, abrasi 4 kasus, gempa 3 kasus, dan erosi 1 kasus. Secara umum, kejadian bencana di Aceh pada tahun 2010 ini hampir 95 persen didominasi oleh bencana hidrologis dan meteorologis, seperti banjir, gelombang pasang dan abrasi, tanah longsor, erosi, angin kencang dan puting beliung. bencana-bencana tersebut menyebabkan 11 jiwa meninggal; 8 jiwa akibat tanah longsor dan sisanya disebabkan banjir. Korban luka- luka 39 jiwa, yaitu 36 disebabkan gempa dan sisanya karena puting beliung dan angin kencang. Untuk kasus pengungsian, banjir penyebab utama warga mengungsi dengan jumlah 9438 jiwa dari total 9467 pengungsi (Harian Aceh, 2011).

  Langsa merupakan satu kota di Provinsi Aceh yang juga memiliki kerentanan terhadap bencana dengan kasus umum sering terjadi adalah banjir. Namun, sepanjang tahun 2010, tak ada laporan korban jiwa dan kerusakan akibat bencana di Langsa. Pada tahun 2010, jumlah bencana mengalami penurunan jika dibandingkan dengan tahun sebelumnya, yaitu dari 110 kasus turun menjadi 92 kasus. Namun bila ditinjau dari dampak yang ditimbulkan, jumlah korban baik meninggal maupun luka-luka pada tahun 2010 justru lebih tinggi daripada 2009. Demikian juga dengan tingkat kerusakan bangunan dan infrastruktur lainnya. Sementara jumlah pengungsi, tahun 2010 mengalami penurunan dibandingkan 2009 (Nasarudin, 2010).

  Berdasarkan uraian diatas, maka penulis tertarik untuk melakukan penelitian mengenai pengaruh kompetensi terhadap kinerja perawat dalam kesiapsiagaan triase dan kegawatdaruratan pada korban bencana massal di Puskesmas Langsa Baro Kota Langsa Tahun 2013.

  1.2 Permasalahan

  Berdasarkan uraian pada latar belakang maka dirumuskan permasalahan penelitian sebagai berikut: bagaimanakah pengaruh kompetensi terhadap kinerja perawat dalam kesiapsiagaan triase dan kegawatdaruratan pada korban bencana massal di Puskesmas Langsa Baro Kota Langsa Tahun 2013.

  1.3 Tujuan Penelitian

  Untuk menganalisis pengaruh kompetensi terhadap kinerja perawat dalam kesiapsiagaan triase dan kegawatdaruratan pada korban bencana massal di Puskesmas Langsa Baro Kota Langsa Tahun 2013.

  1.4 Hipotesis

  Ada pengaruh kompetensi terhadap kinerja perawat dalam kesiapsiagaan triase dan kegawatdaruratan pada korban bencana massal di Puskesmas Langsa Baro Kota Langsa Tahun 2013. Menjadi masukan bagi perawat Puskesmas untuk menambah wawasan dalam pelaksanaan triase dan kegawatdaruratan pada korban bencana massal.

  2. Menjadi masukan bagi Dinas Kesehatan Kota Langsa untuk meningkatkan peran aktif perawat Puskesmas dalam perencanaan penanggulangan bencana massal khususnya triase dan kegawatdaruratan dan kesiapsiagaan menghadapi bencana untuk meminimalisir dampak bencana.

  3. Untuk menambah ilmu pengetahuan, penelitian ini dapat menambah wawasan keilmuan yang berkaitan dengan triase dan penanganan kegawatdaruratan pada korban bencana massal.

Dokumen yang terkait

Pengaruh Kompetensi terhadap Kinerja Perawat dalam Kesiapsiagaan Triase dan Kegawatdaruratan pada Korban Bencana Massal di Puskesmas Langsa Baro Tahun 2013

1 94 170

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang - RKT Pusat TTK EK Tahun 2013

0 0 15

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang - Pengaruh Senam Osteoporosis terhadap Peningkatan Aktivitas Fisik Usia Lanjut di Puskesmas Glugur Kota Medan Tahun 2013

0 1 9

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang - Determinan Pemanfaatan Buku Kesehatan Ibu dan Anak (KIA) pada Ibu Bayi di Wilayah Kerja Puskesmas Balige Kabupaten Toba Samosir Tahun 2013

0 0 12

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang - Pengaruh Kompetensi dan Kerja Tim terhadap Kinerja Perawat Pelaksana Rawat Inap di Rumah Sakit Sri Pamela Tebing Tinggi Tahun 2014

0 1 14

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang - Peran Pendampingan Bidan Desa terhadap Keberhasilan Program Pengembangan Desa Siaga di Kecamatan Langsa Kota Tahun 2014

0 1 9

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang - Peramalah Jumlah Angkatan Kerja di Kota Medan pada Tahun 2012-2015

0 0 8

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang - Pernikahan Dini pada Remaja Aceh di Kota Lhokseumawe Tahun 2014

0 0 11

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang - Analisis Determinan Kinerja Petugas Surveilans Demam Berdarah Dengue di Kota Pematang Siantar Tahun 2013

0 0 10

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.2. Kompetensi 2.2.1. Pengertian Kompetensi - Pengaruh Kompetensi terhadap Kinerja Perawat dalam Kesiapsiagaan Triase dan Kegawatdaruratan pada Korban Bencana Massal di Puskesmas Langsa Baro Tahun 2013

0 1 86