BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG - Penyesuaian Seksual Pada Wanita Yang Menikah Melalui Proses Ta’aruf

BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG Manusia akan melewati masa di mana ia memiliki tuntutan untuk

  menikah. Masa yang disebut dewasa awal, di mana salah satu tugas perkembangannya adalah menemukan pasangan hidup dan menikah serta membangun rumah tangga (Havighurst, 1953; Dariyo 2003). Menurut Undang- Undang Perkawinan 1974 Pasal 1 No 1, ―Perkawinan adalah suatu ikatan lahir batin antara seorang pria dan wanita sebagai suami dan istri dengan tujuan membentuk keluarga yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa‖ (Munandar,2001). Dari kalimat di atas, dapat disimpulkan bahwa ada ikatan yang bersifat lahir yang nyata terlihat dan merupakan ikatan formal. Selain itu ada ikatan batin yang tidak tampak dan hanya dirasakan oleh pihak terkait. Kedua ikatan ini yang menjadi pondasi sebagai ikatan suci antara pasangan menikah untuk membentuk rumah tangga bahagia sesuai agama yang dianut (Subekti dan Mahdi, 2005).

  Sebelum sampai ke pernikahan, individu akan menjalani saat-saat pencarian dan penentuan pasangan. Salah satu proses untuk mencari dan menentukan pasangan adalah melalui

  ta‟aruf. Imtichanah (2006) menuliskan

  bahwa

  ta‟aruf adalah proses saling mengenal dan memperkenalkan diri yang

  berkaitan dengan masalah nikah antara pria dan wanita dengan tujuan untuk

  1 memantapkan diri masing-masing sebelum melangkah ke jenjang pernikahan sesuai dengan aturan Islam.

  Sebelum

  ta‟aruf dilaksanakan, masing-masing pihak baik pria maupun

  perempuan telah memiliki informasi tentang pribadi calon satu sama lain dengan saling bertukar biodata atau foto, yang diperoleh melalui mediator atau orang ketiga yang dipercaya sebagai perantara (Amran,2002). Hal ini tergambar dalam kutipan berikut:

  ― Awalnya kakak dikenalkan sama kakaknya kakak, beliau kenal dengan kakaknya kakak dan akhirnya kakak ditawarkan untuk berkenalan dengan beliau. Kami sebelumnya memang belum pernah komunikasi hanya sekedar tahu saja. Kemudian kakak banyak tanya ke kakaknya kakak dan ke teman- teman kakak yang kenal beliau.‖ (Komunikasi personal, 8 Nopember 2013)‖ Seperti pernyataan di atas, pasangan

  ta‟aruf pada umumnya memang dua

  orang yang belum saling mengenal dan minim komunikasi. Selain itu, proses ta‟aruf ini didampingi oleh mediator di setiap pertemuannya (Winaris, 2012).

  Mediator dalam proses

  ta‟aruf dianjurkan adalah mahram si perempuan, yaitu

  ayahnya, saudara prianya atau pamannya. Mahram disini juga dapat digantikan oleh perempuan-perempuan yang dapat dipercaya (Takariawan, Sonono, Ahmadi & Laila, 2005). Selain itu, mediator harus orang yang mengenal dengan baik orang yang akan menjalani

  ta‟aruf sehingga diharapkan mereka dapat

  memberikan informasi yang benar, akurat serta menyeluruh (Winaris, 2012). Hal ini tergambar dalam kutipan berikut: ― Kakak dikenalkan sama ummi kakak. Ada anak temannya, udah siap nikah, abang itu kan tiga tahun di atas kakak. Jadi ummi dia dan ummi kakak saling komunikasi. Setelah itu dia datang ke rumah kakak sama keluarganya, perkenalan dan sampai khitbah, setelah itu tiap datang untuk bicarain resepsi mulai dari undangan sampai segala keperluan acara ngobrolnya ditemani sama orang tua kakak. Ya ngobrolnya cuma yang umum- umum aja‖ (Komunikasi personal 27 Oktober 2013)

  Kutipan di atas jelas menunjukkan bahwa mediator bisa berupa orang tua, karena orang tua merupakan salah satu orang yang mengenal dengan baik pasangan yang sedang

  ta‟aruf. Pertemuan yang selalu ditemani mediator ini

  menyebabkan terbatasnya keakraban dalam proses

  ta‟aruf. Berbeda dengan

  pacaran ataupun perjodohan pada umumnya, yang tidak memiliki keharusan untuk ditemani mediator di setiap pertemuannya (Zaidi & Shuraydi, 2002).

  Mediator juga berfungsi untuk memastikan bahwa dalam proses tersebut calon pasangan yang akan menikah tidak melakukan hal-hal yang tidak sesuai dengan syariat Islam seperti bersentuhan fisik. Pada proses

  ta‟aruf, keakraban

  tidak diperbolehkan terjadi sebelum proses pernikahan berlangsung. (Imtichanah, 2006; Mustika & Rihardini, 2007). Hal tersebut tergambar seperti dalam kutipan berikut:

  ―Proses perkenalan yang kakak jalani juga kan beda dengan orang pacaran yang sudah pernah komunikasi. Kalau kami kan belum kenal sebelumnya, belum pernah komunikasi. Bertemupun hanya saat screening biodata ditemani oleh mahram. Tidak ada komunikasi sebelum menikah. Bahkan sebelum menikah pun kakak tidak tahu nomor handphone beliau. Jangka waktu dari

  ta‟aruf sampai akad pun begitu singkat hanya satu bulan‖

  (Komunikasi personal, 8 Nopember 2013) Rentang waktu

  ta‟aruf juga relatif singkat yaitu maksimal tiga bulan

  (Imtichanah, 2006). Meskipun dengan proses yang singkat dan komunikasi yang terbatas untuk saling mengenal satu sama lain, namun ada pasangan yang melalui proses

  ta‟aruf tetap memutuskan untuk menikah. Karena memang tidak ada

  jaminan jika seseorang sudah lama mengenal pasangannya maka pernikahannya akan lebih baik. Hal ini dikuatkan oleh Anjani & Suryanto (2006) yang menyatakan bahwa lamanya masa pacaran sebelum menikah tidak menentukan sukses tidaknya hubungan antar pasangan suami istri.

  Setelah melalui proses

  ta‟aruf dan kemudian menikah, seperti pasangan

  yang melalui proses lainnya, pasangan ini juga akan mengalami fase penyesuaian pernikahan. Hurlock (2002) menyatakan, penyesuaian pernikahan menjadi masalah yang paling sulit yang harus dialami oleh pasangan muda atau pasangan di tahun-tahun awal pernikahan. Sementara mereka sedang melakukan penyesuaian, sering timbul ketegangan emosional yang merupakan bagian dari periode kehidupan keluarga muda. Pada pasangan

  ta‟aruf yang sebelumnya

  minim komunikasi dan belum pernah menjalin hubungan akrab, ketika masa penyesuaian merasakan banyak hal yang masih harus diketahui lagi. Hal ini tergambar dalam kutipan berikut:

  ―Kakak merasa segan dan sebenarnya juga beliau tidak memenuhi kriteria yang kakak inginkan. Jadi karena sudah istikharah, Allah sudah menentukan itu jodoh kakak, ya sudah kakak terima saja. Jadi ketika pertama itupun masih sulit menyesuaikan satu sama lain. Kok dia sih yang jadi suami saya? Dan butuh proses untuk menerima kalau sekarang beliau memang suami kakak. Semua sisi penyesuaian terasa sulit. Dari komunikasi kami juga belum terbuka untuk mengkomunikasikan apa saja, masalah keuangan juga belum terbuka. Dulunya kakak berfikir menikah itu baik-baik aja, yang indah-indah aja semua. Tetapi setelah menikah itu kan perlu ada banyak penyesuaian. Perlu mengetahui karakter dia seperti apa ternyata tidak semua karakter dia sesuai dengan karakter kita. Kita punya kekurangan dia juga punya kekurangan. Kita juga perlu menyesuaikan diri, apalagi sebelumnya kami juga belum saling mengenal dan komunikasi.‖ (Komunikasi personal, 8 Nopember 2013) Pernyataan di atas menunjukkan bahwa meskipun memungkinkan terjadinya konflik batin, proses

  ta‟aruf yang berlandaskan pada keyakinan kepada

  Allah SWT membuat pasangan berusaha untuk menerima dan memahami satu sama lain. Menurut Kuhn (1996) saling memahami merupakan hal yang penting dalam penyesuaian.

  Hurlock (2002) membagi penyesuaian pernikahan kedalam empat bagian yaitu penyesuaian dengan pasangan, penyesuaian ekonomi, penyesuaian seksual serta penyesuaian dengan keluarga besar. Penyesuaian seksual merupakan bagian dari penyesuaian pernikahan yang tersulit dan akan menentukan keberhasilan penyesuaian pernikahan lainnya (Lestari,2012).

  Pada ajaran Islam, pasangan suami istri wajib untuk melakukan hubungan seksual. Hal tersebut untuk menyalurkan syahwat yang menjadi fitrah manusia, memperoleh keturunan, kesehatan fisik dan psikologis, serta kesenangan. Keberhasilan pasangan melakukan penyesuaian seksual menjadi ukuran kepuasan pasangan terhadap aspek-aspek dalam hubungan rumah tangga (Lestari, 2012).

  Akan tetapi, mengingat keadaan pasangan

  ta‟aruf yang belum pernah

  berhubungan akrab sebelumnya bahkan belum ada ketertarikan terhadap orang tersebut menyebabkan urusan seksualitas ini menjadi hal yang sulit untuk dibicarakan. Perbedaan tingkat ketertarikan terhadap seks merupakan salah satu hal yang menjadi ganjalan dalam relasi pasangan (Lestari,2012). Hal ini tergambar dalam kutipan berikut:

  ―Di awal itu, memang sulit menerima kalau sekarang kakak harus menunaikan kewajiban sebagai istri. Ada rasa malu. Karena kan memang itu hal yang sensitif dan kakak juga merasa tidak enak untuk menyentuh bagian privasinya. Apalagi kami belum saling mengenal sebelumnya. (Komunikasi Personal, 11 Nopember 2013)‖ Suatu relasi seksual yang baik merupakan akibat dari relasi emosi yang baik antara pasangan. Oleh karena kualitas hubungan seksual merupakan kekuatan penting bagi kebahagiaan pasangan, maka kualitas tersebut perlu dijaga atau ditingkatkan melalui komunikasi seksualitas antar pasangan (Lestari 2012). Tanpa pemahaman yang benar tentang penyesuaian seksual, maka seiring dengan berjalannya waktu kehidupan seksual pada khususnya dan kehidupan rumah tangga pada umumnya akan menjadi rutinitas yang membosankan, keindahannya akan hilang dan tidak akan memberikan dampak positif bagi kehidupan suami- istri (An- Nu‘aimi, 2005).

  Sejalan dengan uraian di atas, Hurlock (2002) juga menyatakan bahwa penyesuaian seksual merupakan dasar bagi penyesuaian pernikahan lainnya.

  Penyesuaian seksual merupakan salah satu masalah yang paling sulit dalam pernikahan dan salah satu penyebab yang mengakibatkan pertengkaran dan ketidakbahagiaan pernikahan apabila kesepakatan ini tidak dapat dicapai dengan memuaskan. Biasanya pasangan tersebut belum memiliki cukup pengalaman awal, yang berhubungan dengan orang-orang lain dan mereka mungkin tidak mampu mengendalikan emosi mereka (Hurlock, 2002). Pada pasangan

  ta‟aruf terutama wanita, masih merasa kurang nyaman auratnya dilihat oleh suaminya.

  Seperti dalam kutipan berikut: ―Penyesuaian seksual butuh waktu cukup lama, karena kan kita tidak kenal. Jadi gitu, untuk bisa buka jilbab saja kakak butuh waktu satu minggu baru bisa buka-buka jilbab. Dan di rumah pun kakak terbiasa memakai pakaian yang tertutup. Dan ya memang sangat sulit sebenarnya.

  Butuh waktu untuk memahami dan menerima bahwa sekarang kakak a dalah istri, dia adalah suami, kewajiban suami istri apa.‖ (komunikasi personal, 8 Nopember 2013)

  Sikap seseorang terhadap seks mempengaruhi dirinya dalam penyesuaian seksual hal itu juga karena informasi seputar seksual yang ia dapatkan selama hidupnya (Sadarjoen, 2005). Cara pasangan

  ta‟aruf dalam memandang seks dari segi agama juga turut mempengaruhi penyesuaian seksual yang mereka lakukan.

  Walaupun Islam sudah mengatur segala aspek kehidupan manusia, cara manusia itu sendiri dalam menafsirkan bisa berbeda. Islam tidak menghalalkan seks sebelum nikah dan menganggap seks adalah sesuatu yang harus dibahas secara santun. Sebagian penganut Islam terlalu berlebihan dalam memaknai hal ini sehingga seolah-olah seks adalah sesuatu yang tabu untuk dibahas. Padahal seharusnya, calon pengantin sejak masa

  ta‟aruf hingga menikah harus terus

  mendalami tentang seks atau penyesuaian seksual karena itu juga merupakan ilmu Namun, bagi pasangan

  ta‟aruf yang menanamkan nilai Islam secara menyeluruh,

  menjadikan aktifitas ini sebagai ibadah sehingga menutupi kecanggungan yang ada (Fillah, 2008).

  Komunikasi seksual merupakan hal yang sangat penting dalam penyesuaian seksual (Sadarjoen, 2005). Terhambatnya komunikasi seksual ini biasa disebabkan karena orang hanya memandang seksualitas sebatas senggama saja, padahal aktivitas seksual bukan hanya itu saja. Bergandengan tangan (memegang lengan pasangan), berpelukan (seperti merengkuh bahu, merengkuh pinggang), bercumbu (cium pipi, cium kening cium bibir), meraba bagian tubuh yang sensitif, menggesek-gesekkan alat kelamin, sampai dengan memasukkan alat kelamin atau senggama (Sarwono, 2007). Dari hal tersebut dapat dilihat bahwa senggama hanya sebagian kecil dari seksualitas. Namun pada pasangan ta‘aruf hal-hal tersebut memang tidak terjadi sebelum menikah, berbeda dengan pasangan pacaran yang sudah ada kontak fisik dan akrab satu sama lain (Imtichanah, 2006)

  Berdasarkan fenomena di atas, wanita yang memilih untuk menikah melalui proses ta‘aruf terbilang unik. Mereka melewati masa perkenalan dengan waktu yang sangat singkat bahkan adakalanya hanya satu kali bertatap muka, hal ini tentu saja membatasi untuk terbangunnya keakraban dan kenyamanan fisik sebelum menikah padahal setelah menikah hal tersebut diperlukan untuk melakukan penyesuaian seksual. Hal ini yang membuat peneliti tertarik untuk mengetahui lebih dalam mengenai gambaran penyesuaian seksual pada wanita yang menikah melalui proses

  ta‟aruf. Selain itu pemahaman-pemahaman

  bernuansa Islam dalam masalah seksual yang tertanam pada diri wanita yang menikah melalui proses

  ta‟aruf menarik untuk diungkap.

  B. PERUMUSAN MASALAH

  Untuk memudahkan penelitian, peneliti mencoba merumuskan masalah penelitian dalam bentuk pertanyaan-pertanyaan penelitian pada pasangan yang menikah secara

  ta‟aruf, yang mencakup: 1.

  Bagaimana penyesuaian seksual pada wanita yang menikah melalui proses

  ta‟aruf? 2.

  Apa faktor yang mempengaruhi penyesuaian seksual pada wanita yang menikah melalui proses

  ta‟aruf?

  C. TUJUAN PENELITIAN

  Tujuan penelitian ini adalah untuk memperoleh gambaran tentang penyesuaian seksual pada wanita yang menikah melalui proses

  ta‟aruf.

D. MANFAAT PENELITIAN 1.

  Manfaat Teoritis Manfaat teoritis yang ingin dicapai adalah diharapkan agar hasil penelitian ini dapat memberikan informasi di bidang psikologi pada umumnya dan pada psikologi klinis pada khususnya, terutama yang berkaitan dengan penyesuaian seksual.

2. Manfaat praktis a.

  Memberikan informasi pada masyarakat khususnya wanita yang menikah melalui poses

  ta‟aruf dan individu yang belum menikah mengenai

  gambaran penyesuaian seksual pada wanita yang menikah melalui proses

  

ta‟aruf sehingga dapat memudahkan mereka dalam menjalani penyesuaian

pernikahan.

  b.

  Memberi pemahaman pada wanita bahwa penyesuaian seksual dan info- info mengenai seksualitas penting untuk hubungan suami istri yang lebih baik c. Memberi informasi pada masyarakat tentang hal-hal apa saja yang dapat mempengaruhi penyesuaian seksual pada wanita yang menikah melalui proses ta‟aruf.

E. SISTEMATIKA PENULISAN

  Sistematika penulisan pada penelitian ini adalah sebagai berikut:

  Bab I : Latar Belakang Bab ini berisi penjelasan mengenai latar belakang permasalahan, perumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian dan sisitematika penelitian.

  Bab II : Landasan Teori Bab ini berisi teori-teori kepustakaan yang digunakan sebagai landasan dalam penelitian antara lain definisi penyesuaian seksual, faktor yang mempengaruhi penyesuaian seksual, tabiat seksual wanita, definisi

  ta‟aruf , proses ta‟aruf.

  Bab III : Metode Penelitian Bab ini berisi penjelasan mengenai metode penelitian yang berisi tentang pendekatan kualitatif, subjek dan lokasi penelitian, teknik pengambilan data, metode pengambilan data, kredibilitas penelitian, tahap pelaksanaan dan prosedur penelitian serta teknik pengolahan data.

  Bab IV : Analisa Data dan Pembahasan Bab ini menguraikan mengenai data dan pembahasan hasil analisa data penelitian dengan teori yang relevan untuk menjawab pertanyaan penelitian yang telah ditentukan sebelumnya.

  Bab V : Kesimpulan, Diskusi dan Saran Bab ini menjelaskan mengenai kesimpulan dari apa yang diperoleh di lapangan, diskusi yang merupakan pembahasan, dan pembanding hasil penelitian dengan teori-teori atau hasil penelitian sebelumnya serta saran-saran untuk penyempurnaan penelitian berikutnya