Kinerja Anggota Dewan Perwakilan Rakyat (Suatu Studi terhadap Kinerja Anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Simalungun Periode 2009-2014)

  BAB I I.1 Latar Belakang Masalah Trias politica yang disampaikan oleh Montesqiue, yakni pembagian kekuasaan yang dibagi atas 3 kekuasaan yaitu: Legislatif (membuat undang- undang), Eksekutif (melaksanakan undang-undang), dan Yudikatif (mengawasi). Inilah yang menjadi landasan awal pembagian kekuasaan dibidang politik. Hal ini dimaksudkan agar tidak adanya saling rebut kekuasaan dan agar para elite politik mengerti tugasnya masing-masing. Di Indonesia sendiri, Legislatif/parlemen disebut dengan DPR (Dewan Perwakilan Rakyat) yang kemudian dibagi lagi menjadi DPRD Provinsi dan DPRD Kab/Kota. Dimana anggotanya sekarang ini dipilih langsung oleh rakyat.

  Sebenarnya ada satu lagi parlemen di Indonesia, yaitu DPD (Dewan Perwakilan Daerah), dimana anggotanya juga dipilih langsung oleh rakyat namun bedanya dengan anggota DPR ialah DPD bukan berasal dari partai politik, melainkan melalui jalur independent. Selain itu, DPD juga tidak ada di tingkat provinsi dan Kab/kota. Namun yang akan kita bahas disini adalah mengenai DPR khususnya kinerja DPRD Kab/Kota.

  Seperti yang kita ketahui bahwa lembaga legislatif ((DPR/DPRD) memiliki 3 fungsi (fungsi ini juga berlaku buat DPR Daerah) yakni: (1) Legislasi, yaitu membuat undang-undang dalam hal ini peraturan daerah ;(2) Controlling/pengawasan, yaitu mengawasi eksekutif (dalam hal ini adalah Bupati) dan peraturan daerah yang telah dibuat; (3) Budgeting/Anggaran, yakni bersama-

   sama dengan Kepala Daerah menyusun dan menetapkan APBD.

  Ada 4 komisi yang ada di DPRD Simalungun. Masing-masing komisi memiliki tugas dan tanggung jawab masing-masing sesuai dengan bidangnya.

  Berikut adalah pembagian komisi di DPRD Simalungun periode 2009-2014: (1) Komisi I, Bidang Pemerintahan; (2) Komisi II, Bidang Perekonomian; (3) Komisi

   III, Bidang Keuangan; (4) Komisi IV, Bidang Pembangunan.

  Komisi-komisi yang ada memiliki peran serta tanggung jawab masing- masing. Pembagian komisi ini juga sebagai suatu cara agar tidak terjadinya saling serobot dalam hal menjalankan tugas. Selain itu, anggota dewan juga diwajibkan turun ke daerah pemilihannya sewaktu massa reses. Hal ini dimaksudkan agar anggota dewan bisa lebih peka melihat, dan mendengarkan keluhan masyarakat untuk kemudian ditindak lanjuti.

  I.2. Permasalahan Simalungun sebagai kabupaten terbesar saat ini di Sumatera Utara, memiliki berbagai potensi sumber daya alam yang jika dikembangkan dengan baik akan dapat menjadikan Simalungun sebagai salah satu Kab/Kota dengan PAD tertinggi. Namun buruknya pengelolaan administrasi, sarana yang kurang memadai, bahkan tingginya politik uang didaerah ini, menjadikan daerah ini sulit berkembang melebihi espektasi publik. Kinerja dari anggota dewan pun menjadi 1 sorotan. Anggota dewan yang semula diharapkan bisa menyalurkan aspirasi 2 . B.N Marbun, DPR Daerah &Pelaksanaannya, Jakarta :Radjawali Press, 1988, hal 8.

  . www.simalungunkab.go.id// diakses tanggal 26 oktober 2011 pukul 20.42 masyarakat Simalungun ternyata belum bisa memberikan pengaruh apa-apa. Dalam hal administrasi misalnya, susahnya mengurus surat-surat penting di Kabupaten Simalungun dan buruknya pelayanan terhadap publik ketika mengurus surat-surat penting tersebut.

  Misalnya dalam hal Budgeting (anggaran), untuk hal anggaran yang disini mencakup hal penetapan RAPBD (Rancanangan Anggaran Pendapatan Belanja Daerah) bersama-sama dengan Bupati Simalungun menjadi APBD, sudah berjalan dengan baik. Dalam menetapkan APBD ini, DPRD Simalungun benar-benar menaruh perhatian yang serius terhadap masalah yang terjadi dimasyarakat. Sehingga nantinya APBD ini bisa tepat sasaran dan bermanfaat untuk

   kesejahteraan masyarakat.

  Pada bidang controlling, terdapat hal yang sebaliknya. Biarpun ada masa reses bagi anggota dewan, masa dimana anggota dewan turun kedaerahnya masing-masing untuk melihat sudah sejauh mana kemajuan dan apa yang menjadi permasalahan didaerah pemilihannya, namun kebanyakan hal itu tidak dilakukan.

  Fokus pembangunan yang diarahkan ke Pamatang Raya sebagai ibu kota Kabupaten Simalungun, ternyata membawa damapak yang tidak baik bagi daerah lain. Contoh, jalan yang menghubungkan antara Kecamatan Bosar Maligas dengan Kecamatan Bandar tepatnya dinagori Boluk kondisi jalannya sangat tidak baik. Padahal jalan itu adalah satu-satunya jalan bagi warga yang ingin ke Nagori Perdagangan. Nagori Perdagangan adalah tempat dimana masyarakat berbelanja 3 kebutuhan sehari-hari.

  

. Wawancara dengan Bapak M.Sinaga (Kabag Persidangan dan Risalah DPRD Simalungun) Pada

Tanggal 21 Februari 2012 di DPRD Simalungun.

  Contoh lainnya adalah kondisi pasar tradisional yang baru dibangun dan diresmikan Pemkab Simalungun. Baru beberapa bulan diresmikan, listrik dipasar tersebut diputus oleh pihak PLN. Alasannya adalah, pihak Pemerintah Kabupaten Simalungun memiliki tunggakan utang ke pihak PLN yang belum dilunasi. Lagi- lagi pedagang yang sudah membayar uang sewa yang menjadi korban. Kunjungan jajaran Pemkab Simalungun dan anggota DPRD ternyata tidak membawa perubahan apapun. Lagi-lagi kinerja anggota dewan dipertanyakan.

  DPRD adalah pengawas eksekutif. Dalam menjalankan fungsinya ini, Pemerintah Kabupaten Simalungun nampak kurang sekali. Beberapa PNS Pemerintah kabupaten Simalungun mengatakan bahwa Bupati Simalungun terlalu mendominasi dalam segala hal. Bahkan Legislatif pun seolah-olah takut kepada dia. Senada dengan pegawai pemerintahan di Pemkab, beberapa warga juga mengatakan DPRD sekarang tidak “bergigi”, alasan warga mengatakan demikian adalah faktor Bupati yang terlalu mendominasi, sehingga apapun aspirasi yang masuk ke dewan hampir tidak pernah didengarkan.

  Hal yang menarik ternyata, Kabupaten Simalungun menempati posisi 7 daftar kabupaten/kota paling korup di Sumatera Utara. Hal ini menandakan pengelolaan keuangan dikabupaten ini sangat tidak baik. Birokrasi yang serba uang itulah yang terjadi didaerah ini. Bahkan untuk mengurus KTP warga harus

  

  membayar sejumlah uang. Hal ini bertolak belakang dengan harapan pelayanan terhadap masyarakat yang murah dan berkualitas.

4 Hasil observasi dikantor Kecamatan Bandar tahun 2010 sewaktu mengurus KTP.

  I.3. Perumusan Masalah Atas dasar latar belakang permasalahan kinerja anggota DPRD Kabupaten

  Simalungun, maka yang menjadi rumusan masalah dalam penelitian ini adalah: “Apa yang menyebabkan rendahnya kualitas kinerja anggota DPRD Simalungun periode 2009-2014 dalam bidang legislasi, anggaran, dan pengawasan?”.

  I.4. Pembatasan Masalah Adanya pembatasan masalah guna memperjelas dan membatasi ruang lingkup penelitian, serta untuk menghasilkan uraian yang sistematis. Adapun batasan masalah dalam penelitian ini adalah: “Penulisan ini akan terbatas pada kinerja anggota DPRD kabupaten Simalungun periode 2010-2015. dan kinerja disini adalah berpusat kepada fungsi DPRD itu sendiri yaitu, fungsi pengawasan, fungsi legislasi, dan fungsi anggaran. Adapun kinerja yang dimaksudkan adalah kinerja anggota DPRD Simalungun periode 2009-2014 dalam 3 tahun ini.

  I.5. Tujuan Penelitian Adapun yang menjadi tujuan dari penelitian ini adalah:

  1. Untuk melihat bagaimana sebenarnya kinerja dari anggota DPRD Simalungun.

  2. Untuk mengamati, apakah kinerja anggota DPRD Simalungun sudah berjalan dengan semestinya atau tidak.

  

3. Menjelaskan bagaimana sebenarnya fungsi dari Dewan Perwakilan Rakyat Daerah. I.6. Manfaat Penelitian Adapun yang menjadi manfaat penelitian ini adalah: 1.

  Secara teoritis maupun metodologis, studi ini diharapkan mampu memberikan sumbangan terhadap perkembangan dan pendalaman studi perwakilan politik di Indonesia.

  2. Bagi penulis sendiri, untuk mengembangkan kemampuan berpikir penulis melalui penelitian ini.

  3. Bagi akademisi, dapat menjadi bahan acuan maupun referensi dalam konteks ilmu politik di Indonesia.

  4. Menambah pengetahuan masyarakat, yang dalam hal ini lebih di prioritaskan kepada kinerja anggota dewan.

  5. Penelitian ini diharapkan dapat memberikan masukan kepada setiap orang yang ingin maju sebagai anggota legislatif agar lebih mampu menguasai dan memahami kinerja sebagai anggota dewan.

  I.7 Kerangka Teori Untuk memudahkan penelitian, diperlukan pedoman dasar berpikir yaitu kerangka teori. Mustahil apabila seseorang menulis ataupun meneliti suatu permasalahan tanpa menggunakan kerangka teori, karena penelitian ataupun tulisan tersebut bisa dianggap tidak sah, bila dilihat dari syarat tulisan. Sebelum melakukan penelitian yang lebih lanjut, seorang peneliti perlu menyusun kerangka teori sebagai landasan berpikir, untuk menggambarkan dari sudut mana peneliti

   menyoroti masalah yang telah dipilih.

  Selanjutnya, Singarimbun menyebutkan bahwa: “Teori merupakan serangkaian asumsi, konsep dan konstruksi, definisi, dan proposisi untuk menerangkan fenomena sosial secara sistematis dengan cara merumuskan hubungan antara konsep. Ringkasnya, teori adalah hubungan suatu konsep dengan

   konsep lainnya untuk menjelaskan gejala tertentu”.

  I.7.1 Teori Perwakilan Politik Dalam perwakilan politik, kita mengetahui ada 2 jenis perwakilan. Yakni perwakilan langsung dan perwakilan tidak langsung. Sejarah perwakilan telah mulai diperbincangkan dalam kehidupan non-politik sejak Yunani kuno, namun pembahasan dalam bentuk konsep telah dimulai pada awal abad ke 14. Thomas Hobbes pada tahun 1965 menerbitkan Leviathan untuk membahas masalah perwakilan politik secara filisofis dan pada abad ke 18 studi yang berpengaruh sampai dewasa ini diantaranya antara lain karena teori kemandirian wakil yang dikemukakan oleh Edmun Burke tahun 1779. Karya Burke (dimana wakil bebas bertindak dan menentukan sikapnya terhadap wakil) dianggap sebagai permulaan studi klasik terhadap perwakilan politik, disusul oleh sejumlah peneliti mulai dari

   John Stuart Mill sampai dengan Karl Loewenstein.

  5 Hadari Nawawi, Metode Penelitian Sosial, Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, 1987, hal 6 40. 7 Masri Singarimbun dan Sofian Effendi, Metode Penelitian Survey, Jakarta:LP3ES, 1989, hal 37. http://acbahrulrivai.blogspot.com/2010/04/teori-perwakilan-politik.html diakses tanggal 29 oktober 2011 pukul 20:42

  Studi yang lebih mendalam dilakukan oleh Alfred de Grazia dan Pitkin sudah lebih mendalam dari perwakilan politik. Perwakilan politik sebagai sebuah praktek telah lama berlangsung dalam kehidupan bernegara jauh sebelum teori- teori perwakilan itu lahir, perwakilan politik telah lahir dan dilaksanakan oleh beberapa negara dan bangsa sejak zaman dahulu mulai dari zaman Yunani kuno dan Romawi. Pada zaman Yunani kuno masyarakat hidup dalam suatu negara yang di sebut dengan polis, dimana konsep perwakilan pada saat itu dilaksanakan secara langsung, karena jumlah masyarakat yang relatif sedikit dan wilayah yang tidak terlalu luas. Begitu juga pada zaman romawi kuno. Konsep perwakilan pada saat itu ialah konsep perwakilan langsung. Fungsi perwakilan pun pada saat dulu masih terbatas mengingat kekuasaan raja yang besar dan belum kompleknya

   permasalahan negara seperti saat ini.

  Pandangan Rousseau yang berkeinginan untuk berlangsungnya demokrasi langsung sebagaimana pelaksanaannya pada zaman Yunani kuno. Kenyataanya sulit untuk dipertahankan lagi. Faktor-Faktor seperti luasnya suatu wilayah negara, populasi penduduk yang sangat cepat, makin sulit dan rumitnya masalah politik dan kenegaraan, serta kemajuan ilmu dan teknologi merupakan persoalan yang menjadi kendala untuk melaksanakan demokrasi langsung pada era sekarang. Sebagai ganti dari gagasan Rousseau maka lahirlah demokrasi tidak langsung (indirect democracy), yang disalurkan melalui lembaga perwakilan atau yang dikenal dengan parlemen. Kelahiran parlemen ini pada dasarnya bukan karena gagasan dan cita-cita demokrasi tapi karena kelicikan feodal. Pada abad 8 pertengahan yang berkuasa di Inggris adalah raja-raja/bangsawan yang sangat Ibid ., hal. 42. feodalistis (monarchi feodal). Dalam kerajaan yang berbentuk feodal, kekuatan berada pada kaum feodal yang berprofesi sebagai tuan tanah yang kaya (pengusaha). Mereka tidak hanya kaya, mempunyai tanah yang luas tapi mereka juga menguasai orang-orang yang ada dalam lingkaran kekuasaan (kerajaan).

  Apabila pada suatu saat menginginkan raja menginginkan penambahan tentara dan pajak maka para raja akan mengirimkan utusan untuk menyampaikan keinginannya dan maksud pada tuan tanah (Lord). Lama kelamaan praktek semacam ini menurut raja tidak layak sehingga timbul pemikiran untuk memanggil mereka ke pusat pemerintahan sehingga kalau raja menginginkan sesuatu, maka raja tinggal memanggil mereka.

  Sebagai konsekuensinya raja harus membentuk suatu badan/lembaga yang terdiri dari pada lord, dan kemudian ditambah dengan para pendeta. Tempat ini menjadi tempat meminta nasehat raja dalam rangka masalah-malasalah kenegaraan terutama yang berhubungan dengan pajak. Secara pelan tapi pasti lembaga ini menjadi permanen yang kemudian disebut ‘’Curia Regis’’ dan

   kemudian menjadi House of Lords seperti sekarang.

  Kelahiran House of Lords adalah merupakan pertanda kelahiran lembaga perwakilan pertama di era modern. House of lord dalam perjalannya mempunyai kekuasaan yang sangat besar, maka raja berkehendak untuk mengurangi kekuasaan dan hak-hak mereka, akibatnya timbul pertikaian antara raja dan kaum ningrat (lords), dengan bantuan rakyat dan kaum borjuis kepada kaum ningrat 9 maka raja mengalah, akibatnya hak-hak raja dibatasi. Karena rakyat dan kaum Ibid , hal. 44. menengah yang menjadi korban manakala raja membuat kebijakan, maka rakyat minta agar rakyat mempunyai wakil dan diminta pendapat dan keterangannya sebelum sebuah kebijakan dibuat. Karena yang pada awalnya kalangan yang duduk dalam house of lord didukung oleh para rakyat dan kaum menengah yang akhirnya kaum ningrat mendapatkan kemenangan, maka sejak saat itu pula kedudukan rakyat dan kaum menengah menjadi kuat. Sebagai bagian dari perwujudan agar terbentuk perwakilan rakyat maka lahirlah apa yang disebut Magnum Consilium , yang terdiri dari para wakil rakyat yang perkembangan selajutnya adalah bahwa house of commons mempunyai kekuatan yang semakin bertambah. Mereka dapat membebaskan para menteri (perdana menteri) yang mereka tidak sukai walaupun tidak berbuat kejahatan untuk turun dari kekuasaan, kekuasaan yang demikian dilakukan dengan mengajukan ’’mosi tidak percaya’’ yang dapat mengakibatkan jatuh dan mundurnya sebuah kabinet dan itu berlangsung sampai sekarang. Dalam konstitusi Inggris yang lebih berkuasa adalah house of lord yang dipilih melalui pemilihan umum sedangkan house of lord adalah kumpulan para lord yang terdiri dari para orang-orang yang dipilih

   secara turun-temurun.

  Menurut Thomas Hobbes dalam bukunya “Leviathan” Kehidupan manusia tidak terlepas dari suatu keterikatan sosial, karena kehidupan manusia senantiasa berlandaskan kepada kepentingan. Perjanjian (keterikatan) sosial itu mengakibatkan manusia-manusia bersangkutan menyerahkan segenap kekuatan dan kekuasaannya masing-masing kepada sebuah majelis, agar kepentingannya 10 tersalurkan bagai sebuah kanal. Terbentuknya majelis (dewan perwakilan) juga Ibid , hal. 45. merupakan bentuk sejati dari penyerahan hak dan kekuasaan manusia untuk memerintah dirinya sendiri dalam sebuah komunitas bersama (politik). Namun demikian, majelis pun harus dikenakan syarat yaitu ia harus menyerakan hak kekuasaannya pada manusia-manusia yang telah memandatkannya apabila terjadi perusakan moral majelis. Kekuasaan majelis bersifat ’’absolut’’ karena keterikatan (perjanjian) sosial yang dibangun didasarkan atas penyerahan hak yang dominan dari manusia-manusia kepada majelis dan bukan sebaliknya. Karenanya, majelis (dan juga penguasa politik yang dimandatkan oleh perjanjian) dapat menggunakan segala cara, termasuk kekerasan untuk menjaga ketenteraman dan ketertiban. Penguasa harus menjadi “Leviathan” (binatang buas). Idealnya, kekuasaan oleh satu majelis lebih baik dijalankan oleh satu orang (center of power), karena jalan satu-satunya untuk mendirikan kekuasaan ialah dengan menyerahkan kekuasaan dan kekuasaan seluruhnya pada satu orang. Sejatinya dewan rakyat/majelis (perwakilan) dipegang oleh penguasa negara, sehingga aspirasi kepentingan rakyat akan cepat terselesaikan daripada menunggu kerja majelis yang penuh dengan perbantahan. Fokusnya majelis berada dalam heredity

   power.

  Menurut Montesqiue Kekuasaan yang menampung, membicarakan dan memperjuangkan keterwakilan kepentingan rakyat banyak serta merumuskan peraturan adalah “legislatif”. Mutlak perlu dibentuk legisltif sebagai perwakilan rakyat agar pembicaraan yang menyangkut kepentingan masyarakat banyak akan bisa dipenuhi, tanpa perwakilan, maka yang terjadi adalah ’’suara minoritas 11 (minority sounds) hal yang mudah ditaklukkan oleh mayoritas kekuasaan. Dewan Ibid, hal. 46. rakyat (legislatif) merupakan mediator antara rakyat dan penguasa, menjadi komunikator dan agregator aspirasi dan kepentingan rakyat banyak. Realitanya, masyarakat terdiri atas kelas utama yaitu rakyat pada umumnya dan kaum bangsawan. Karenanya dalam lembaga perwakilan harus dibagi dalam dua kamar (chamber) yaitu rakyat umum dan kaum bangsawan. Masing-masing mempunyai hak veto yang dibuat tiap kamar. Prinsipnya, masing-masing kekuasaan politik haruslah dibuat terpisah (trias politica) dan masing-masing memiliki wewenang

   untuk saling mengawasi.

  Salah satu teori yang menjelaskan tentang lembaga perwakilan adalah Teori Mandat. Dalam Teori Mandat ini dibagi lagi ke dalam 3 bagian. Teori yang pertama ialah teori mandat bebas, teori mandat imperatif, dan teori mandat yang ketiga ialah teori mandat representative. Teori mandat menjelaskan bahwa seorang wakil dianggap duduk di lembaga Perwakilan karena mendapat mandat dari rakyat sehingga disebut mandataris. Yang memberikan teori ini dipelopori oleh Rousseau dan diperkuat oleh Petion.

  Menurut mandat Imperatif, bahwa seorang wakil yang bertindak di lembaga perwakilan harus sesuai dengan perintah (intruksi) yang diberikan oleh yang diwakilinya. Si wakil tidak boleh bertindak di luar perintah, sedangkan kalau ada hal-hal atau masalah/persoalan baru yang tidak terdapat dalam perintah tersebut maka sang wakil harus mendapat perintah baru dari yang diwakilinya. Dengan demikian berarti akan menghambat tugas perwakilan tersebut, akibatnya 12 lahir teori mandat baru yang disebut mandat bebas.

  Ibid, hal. 48

  Teori mandat bebas berpendapat bahwa sang wakil dapat bertindak tanpa tergantung pada perintah (intruksi) dari yang diwakilinya. Menurut teori ini sang wakil adalah merupakan orang-orang yang terpercaya dan terpilih serta memiliki kesadaran hukum dari masyarakat yang diwakilinya sehingga sang wakil dimungkinkan dapat bertindak atas nama mereka yang diwakilinya. Ajaran ini dipelopori oleh Abbe Sieyes di Perancis dan Block Stone di Inggris. Dalam perkembangan selanjutnya teori ini berkembang menjadi teori mandat representatif.

  Teori mandat representatif mengatakan bahwa sang wakil dianggap bergabung dalam lembaga perwakilan, dimana yang diwakili memilih dan memberikan mandat pada lembaga perwakilan, sehingga sang wakil sebagai individu tidak ada hubungan dengan pemilihnya apalagi untuk meminta pertanggungjawabannya. Yang bertanggung jawab justru adalah lembaga

   perwakilan terhadap rakyat pemilihnya.

  Dalam teori perwakilan, biasanya ada 2 kategori yang dibedakan. Kategori pertama ialah Perwakilan Politik (Polotical representation) dan Perwakilan

  

.

  

Fungsional (Fungsional Representation) Kategori kedua menyangkut peran

  anggota parlemen sebagai pengemban “mandat” perwakilan (representation) adalah konsep bahwa seseorang atau suatu kelompok mempunyai kemampuan atau kewajiban untuk bicara dan bertindak atas nama suatu kelompok yang lebih besar. Dewasa ini, anggota badan legislatif pada umumnya mewakili rakyat

13 Deliar dan Noer, Pemikiran Politik di negeri Barat, Cetakan IV, Mizan, Bandung, 1999, hal 40.

  melalui partai politik. Hal ini yang disebut dengan perwakilan politik (political

   representation).

  Sekalipun asas perwakilan politik telah menjadi sangat umum, tetapi ada beberapa kalangan yang merasa bahwa partai politik dan perwakilan yang berdasarkan kesatuan-kesatuan politik semata-mata, mengabaikan berbagai kepentingan dan kekuatan lain yang ada didalam masyarakat terutama dibidang ekonomi. Beberapa negara telah mencoba untuk mengatasi persoalan ini dengan mengikutsertakan wakil dari berbagai-bagai golongan yang dianggap memerlukan perlindungan khusus. Misalnya, India mengangkat beberapa wakil dari golongan Anglo-Indian sebagai anggota majelis rendah, sedangkan beberapa wakil dari golongan kebudayaan, kesusastraan, dan pekerjaan sosial diangkat sebagai majelis tinggi.

  Dari uraian tentang perwakilan politik dapat kita ambil kesimpulan, bahwa dewasa ini perwakilan politik merupakan sistem perwakilan yang dianggap paling wajar. Disamping itu, beberapa negara merasa bahwa asas functional or

  

occupational representation perlu diperhatikan dan sedapat mungkin diakui

   kepentingannya disamping sistem perwakilan politik.

14 Miriam Budihardjo, Dasar-Dasar Ilmu Politik Edisi Revisi, Jakarta:Gramedia Pustaka Utama, 2008, hal

  15 317.

  Ibid , hal 68 I.7.2 Kinerja Kinerja dalam organisasi merupakan jawaban dari berhasil atau tidaknya tujuan organisasi yang telah ditetapkan. Para atasan atau manajer sering tidak memperhatikan kecuali sudah amat buruk atau segala sesuatu jadi serba salah. Terlalu sering manajer tidak mengetahui betapa buruknya kinerja telah merosot sehingga perusahaan/ instansi menghadapi krisis yang serius. Kesan – kesan buruk organisasi yang mendalam berakibat dan mengabaikan tanda – tanda peringatan adanya kinerja yang merosot.

  Menurut Anwar Prabu Mangkunegara kinerja ( prestasi kerja ) adalah hasil kerja secara kualitas dan kuantitas yang dicapai oleh seseorang pegawai dalam melaksanakan tugasnya sesuai dengan tanggung jawab yang diberikan

   kepadanya.

  Berdasarkaan pengertian di atas, penulis menarik kesimpulan bahwa kinerja merupakan kualitas dan kuantitas dari suatu hasil kerja (output) individu maupun kelompok dalam suatu aktivitas tertentu yang diakibatkan oleh kemampuan alami atau kemampuan yang diperoleh dari proses belajar serta keinginan untuk berprestasi.

  Menurut Robert L. Mathis dan John H. Jackson faktor-faktor yang memengaruhi kinerja individu tenaga kerja, yaitu; (1) Kemampuan mereka; (2) Motivasi; (3)Dukungan yang diterima; (4) keberadaan pekerjaan yang mereka 16 lakukan, dan; (5) Hubungan mereka dengan organisasi.

  Ibid, hal 67

  Menurut Gibson ada 3 faktor yang berpengaruh terhadap kinerja yaitu; (1) Faktor Individu; (2) Faktor Psikologis; (3) Faktor Organisasi. Penilaian kinerja pada dasarnya merupakan kunci guna mengembangkan organisasi.

  Menurut Henry Simamora “ penilaian kinerja adalah proses yang dipakai oleh organisasi untuk mengevaluasi pelaksanaan kerja individu karyawan”.

  Pernah mendengar istilah “the right man in the right place”?. Itulah dasar yang menjadikan penulis menghubungkan antara perwakilan politik dengan kinerja. Apa lagi melihat fenomena saat ini, dimana orang-orang seperti latah ikut- ikutuan terjun ke dunia politik. Tidak perduli dia tidak memiliki dasar pemahaman politik yang kuat atau tidak. Hal inilah “mungkin” yang membuat kinerja anggota dewan menjadi tidak karuan. Ketika orang-orang yang duduk di lembaga perwakilan itu tidak tau apa yang akan mereka kerjakan maka, kinerja mereka bisa dipastikan akan menurun bahkan cenderung tidak ada.

  Perwakilan politik menggambarkan hubungan perwakilan yang tersusun dalam suatu lembaga atau badan perwakilan di mana si wakil bertindak sebagai wakil bagi rakyat yang diwakilinya. Hubungan ini menggambarkan derajat keterikatan antara siwakil dengan yang diwakilinya. Yang erat kaitannya dengan cara rekrutmen si wakil dan pelaksana tugas siwakil dalam rangka melaksanakan fungsi lembaga atau badan perwakilan. Karena hubungan seperti itu, beberapa pakar sering mencari tipe atau model representasi.

  Jadi ketika orang yang tepat yang duduk dikursi lembaga legislatif, maka ada harapan kalau kinerja Lembaga perwakilan kita akan mengalami peningkatan.

  Apalagi perwakilan menyangkut tentang dua hal, yakni diwakili dan mewakili.

  I.8. Metodologi Penelitian Kajian ilmu sosial terhadap satu fenomena sosial suda tentu membutuhkan kecermatan. Sebagai suatu ilmu tentang metode atau tata cara kerja, maka metodologi ialahpengetahuan tentang tata cara mengkonstruksi bentuk dan instrumen penelitian. Konstruksi teknik dan instrumen yang baik dan benar akan mampu menghimpun data secara objektif, lengkap dan dapat dianalisa utntuk memecahkan suatu permasalahan. Menurut Antonius Birowo, menjelaskan apa

  

  yang diyakini dapat diketahui dari masalah penelitian yang akan dilakukan

  I.8.1 Metode Penelitian Penelitian ini memiliki tujuan metodologis, yaitu deskriptif. Penelitian deskriptif ialah langkah-langkah melakukan reinterpretasi objektif tentang fenomena-fenomena sosial yang terdapat dalam masalah yang diteliti. Penelitian deskriptif biasanya memiliki 2 tujuan, yaitu:

  1. Untuk mengetahui perkembangan sarana fisik tertentu atau frekuensi terjadinya suatu aspek fenomena sosial tertentu. Hasilnya kemudian dicantumkan kedalam tabel-tabel frekuensi.

2. Untuk mendeskripsikan secara terperinci fenomena sosial tertentu, seperti interaksi sosial, sistem kekerabatan dan lain-lain.

  Jenis penelitian ini tidak sampai mempersoalkan jalinan hubungan antar variabel yang ada, tidak dimaksudkan untuk menarik generalisasi yang 17 menjelaskan variabel-variabel yang menyebabkan suatu gejala atau kenyataan Antonius Birowo, Metode Penelitian Komunikasi, Yogyakarta: Gintanyali, 2004, hal. 71-72. sosial. Karenanya, pada penelitian deskriptif tidak menggunakan atau tidak melakukan peengujian hipotesa (seperti yang dilakukan pada penelitiaan eksplanatif) berarti tidak dimaksudkan untuk membangun dan mengembangkan

   perbendaharaan teori.

  Penelitian seperti ini juga biasanya dilakukan tanpa hipotesa yang dirumuskan terlalu ketat. Dengan kata lain, penelitian ini tidak menguji hipotesa melainkan hanya mendeskripsikan, membuat deskripsi, gambaran atau lukisan secara sistematik, faktual dan akurat mengenai keadaan saat ini. Metode deskriptif adalah suatu metode dalam meneliti suatu kelompok manusia, suatu obyek, suatu kondisi, suatu sistem pemikiran maupun peristiwa pada masa sekarang.

  Metode ini merupakan langkah-langkah melakukan representasi obyektif tentang gejala-gejala yang terdapat didalam masalah yang diteliti. Ciri-ciri pokok penelitian yang menggunakan penelitian deskriptif adalah: 1.

  Memusatkan perhatian pada masalah yang ada pada saat penelitisn dilakukan atau masalah-masalah yang bersifat faktual.

2. Menggambarkan fakta-fakta tentang masalah yang diselidiki sebagaimana adanya,di iringi dengan interpretasinasional yang memadai.

  Menurut nasir, gambaran penelitian deskriptif adalah sebagai studi untuk menentukan fakta dengan interpretasi yang tepat. Melukiskan secara akurat sifat- sifat dari beberapa fenomena individu atau kelompok, menentukan frekuensi 18 terjadinya suatu keberadaan untuk meminimalkan bias dan memaksimalkan

  Sanafiah Faisal, Format Penelitian Sosial Dasar-Dasar Aplikasi, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 1995, hal. 20. reabilitas. Analisisnya dikerjakan berdasarkan “exposy facto” yang artinya data

   dikumpulkan, setelah semua kejadian berlangsung.

  I.8.2 Jenis Penelitian Studi ini pada dasarnya bertumpu pada penelitian kualitatif. Aplikasi penelitian kualitatif ini adalah konsekuensi metodologis dari penggunaan metode deskrptif. Bogdan dan Taylor mengungkapkan bahwa ”metodologi kualitatif” sebagai prosedur penelitian yang menghasilkan data deskriptif berupa kata-kata

   tertulis atau lisan dari orang-orang dan perilaku yang dapat diamati.

  Penelitian kualitatif dapat diartikan sebagai rangkaian kagiatan atau proses penjaringan informasi, dari kondisi sewajarnya dalam kehidupan suatu obyek, dihubungkan dengan pemecahan masalah, baik dari sudut pandang teoritis maupun praktis. Dari pengertian diatas jelaslah bahwa penelitian kualitatif bersifat induktif, karena tidak dimulai dari hipotesa sebagai generalisasi, untuk diuji kebenarannya melalui pengumpulan data yang bersifat khusus.

  Penelitian kualitatif dimulai dengan mengumpulkan informasi dalam situasi sewajarnya, untuk dirumuskan menjadi satu generalisasi yang dapat diterima oleh akal sehat manusia. Masalah yang akan diungkapkan dapat disiapkan sebelum mengumpulkan data atau informasi, akan tetapi mungkin saja berkembang dan berubah selama kegiatan penelitian dilakukan. Dengan demikian data/informasi yang dikumpulkan data terarah pada kalimat yang diucapkan, 19 kalimat yang tertulis dan tingkah laku kegiatan. Informasi dapat dipelajari dan 20 Mohammad Nasir, Metode Penelitian, Jakarta: Ghalia Indonesi, 1983 hal. 105.

  Lexy J. Moleong, Metodologi Penelitian Kualitatif, Bandung: PT. Remaja Rosdakarya, 1994, hal. 3. ditafsirkan sebagai usaha untuk memahami maknanya sesuai dengan sudut pandang sumber datanya. Maka informasi yang bersifat khusus itu, dalam bentuk teoritis melalui proses penelitian kualitatif tidak mustahil akan menghasilkan teori-teori baru, tidak sekedar untuk kepentingan praktis saja.

  Secara khusus, penelitian yang penulis gunakan dapat diartikan sebagai prosedur pemecahan masalah dengan menggambarkan keadaan objek penelitian berdasarkan fakta-fakta yang tampak atau sebagaimana adanya. Fakta atau data yang ada dikumpulkan, diklasifikasikan dan kemudian akan dianalisa. Pada penelitian deskriptif, penulis memusatkan perhatian pada penemun fakta-fakta sebagaimana keadaan yang sebenarnya ditemukan. Karena itu dalam penelitian ini, penulis mengembangkan konsep dan menghimpun berbagai data, tetapi tidak

   melakukan pengujian hipotesa.

  I.8.3 Lokasi Penelitian Penelitian ini mengambil lokasi penelitian pada DPRD Simalungun di Pematang Raya, Kabupaten Simalungun. Adapun alasan dipilihnya daerah ini sebagai lokasi penelitian adalah:

  1. Melihat potensi daerah ini, baik SDA dan SDM yang bagus namun belum dimaksimalkan dengan baik.

  2. Karena tertarik melihat fenomena politik di Simalungun terkhusus sewaktu 21 pemilihan legislatif didaerah ini.

  Ibid., hal. 6.

  3. Melihat kinerja anggota dewan didaerah ini yang dilihat belum dirasakan masyarakat Simalungun.

  4. Melihat komposisi latar belakang sosial dan pendidikan dari wakil rakyat didaerah ini.

  I.8.4 Teknik Pengumpulan Data Dalam melahirkan sebuah penelitian, ada beberapa metode yang biasa digunakan untuk mengumpulkan data antara lain wawancara (interview), observasi (observation), dan dokumentasi (documentation). Tatang M. Arifin mengatakan, bahwa ada “data adalah segala keterangan atau informasi mengenai segala hal yang berkaitan dengan tujuan penelitian”. Dengan demikian tidak semua informasi atau keterangan merupakan data, hanyalah sebagian dari informasi, yakni berkaitan dengan penelitian.

  Dalam suatu penelitian, disamping menggunakan metode yang tepat diperlukan pula kemampuan memilih dan bahkan juga menyusun teknik dan alat pengumpulan data yang relevan. Kecermatan dalam memilih dan menyusun teknik dan alat pengumpul data ini sangat berpengaruh terhadap obyeksifitas hasil penelitian. Mempertimbangkan hal tersebut, dan keharusan untuk memenuhi validitas dan realibilitas dalam teknik pengumpulan datanya. Teknik ini adalah cara mengumpulkan data melalui peninggalan tertulis terutama berupa arsip-arsip dan termasuk juga buku-buku tentang pendapat, teori, dalil atau hukum-hukum, dan lain-lain yang berhubungan dengan masalah penelitian.Untuk memperoleh data atau informasi, keterangan-keterangan atau fakta-fakta yang diperlukan, maka penulis dalam penelitian ini menggunakan teknik pengumpulan data sebagai berikut:

  1. Data Primer, yaitu penelitian lapangan (field research), yaitu pengumpulan data dengan terjun langsung ke lokasi penelitian. Penelitian ini dilakukan dengan cara wawancara, yaitu suatu cara pengumpulan data dengan melakukan teknik tanya jawab langsung dengan beberapa orang yang memiliki pengaruh pada lokasi penelitian atau daerah yang akan diteliti.

  2. Data Sekunder, yaitu penelitian kepustakaan (Library research) yaitu dengan mempelajari buku-buku, peraturan-peraturan, laporan-laporan serta bahan-bahan lain yang berkaitan dengan penelitian.

  I.8.5 Teknik Analisis Data Analisis data adalah proses pengorganisasian dengan mengurutkan data kedalam pola, kategori dan satuan uraian dasar sehingga dapat ditemukan tema permasalahan. Data yang telah dikumpulkan kemudian disusun, dianalisa, dan disajikan untuk memperoleh gambaran sistematis tentang kondisi dan situasi yang ada. Data-data tersebut diolah dan dieksplorasi secara mendalam yang selanjutnya akan menghasilkan kesimpulan yang menjelaskan masalah yang akan diteliti.

  I.9. SISTEMATIKA PENULISAN Untuk mendapatkan gambaran yang terperinci, dan untuk mempermudah isi daripada skripsi ini, maka penulis membagi sistematika penulisan kedalam 4 bab yaitu:

  BAB I : PENDAHULUAN Dalam bab ini berisi tentang latar belakang masalah, pokok permasalahan yang akan dibahas, pembatasan masalah yang akan diteliti, tujuan mengapa diadakan penelitian ini, manfaat penelitian ini, dan metode penelitian serta kerangka teori yang akan menjadi landasan pembahasan masalah.

  BAB II : DESKRIPSI LOKASI PENELITIAN Pada bab ini akan diuraikan tentang gambaran dari lokasi penelitian di Kabupaten Simalungun. Antara lain, sejarah singakat tentang daerah tersebut, kondisi geografis, demografi penduduk, dan lain

  BAB III : HASIL DAN ANALISA DATA Pada bab ini data dan informasi disajikan dan dianalisa secara sistematis berdasarkan penelitian yang dilakukan.

  BAB IV : PENUTUP Bab ini merupakan bab terakhir dari penulisan skripsi ini, yang berisi kesimpulan yang diperoleh dari hasil-hasil penelitian yang telah dilakukan. Pada bab ini juga akan terjawab pertanyaan apa yang dilihat dalam penelitian yang dilakukan, serta berisi saran-saran, baik yang bermanfaat bagi penulis secara pribadi mupun bagi lembaga-lembaga yang terkait secara umum.

Dokumen yang terkait

Kinerja Anggota Dewan Perwakilan Rakyat (Suatu Studi terhadap Kinerja Anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Simalungun Periode 2009-2014)

0 56 76

Kinerja Anggota Dewan Perwakilan Rakyat (Suatu Studi Terhadap Kinerja Anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kabupaten Simalungun Periode 2009-2014)

0 22 77

Pengaruh Tunjangan Penghasilan Terhadap Kinerja Pegawai Sekretariat Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (Studi Pada Sekretariat Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kabupaten Labuhanbatu Rantauprapat)

14 88 127

Studi Perwakilan Politik Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Provinsi Sumatera Utara Periode 2004-2009

0 44 152

Kinerja Anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Dalam Penjaringan Aspirasi Masyarakat (Studi Masa Reses III Anggota DPRD Kota Malang Tahun 2015)

1 16 40

Gaya Kepemimpinan Ketua Komisi Pemilihan Umum Kota Cimahi Mensosialisasikan Pemilihan Umum Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah Dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Tahun 2014 Di Kalangan Pemilih Pemula Kecamatan Cimahi Tengah Kota Cimah

0 21 62

Kinerja Komisi Pemilihan Umum (KPU) Provinsi Jawa Barat (Studi Verifikasi Calon Anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Pada Pemilu Legislatif 2009)

0 8 1

07 Tahun 2013 tentang Pencalonan Anggota Dewan Perwal<ilan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Provinsi dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah KabupatenKota dan saya bersediatidak +ersedial

0 0 9

Dewan Perwakilan Rakyat Daerah

0 0 21

Kinerja Anggota Dewan Perwakilan Rakyat (Suatu Studi terhadap Kinerja Anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Simalungun Periode 2009-2014)

0 0 18