Studi Perwakilan Politik Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Provinsi Sumatera Utara Periode 2004-2009

(1)

Oleh

ISFAN F. FACHRUDDIN

037024007/SP

SEKOLAH PASCASARJANA

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN

2007


(2)

TESIS

Untuk Memperoleh Gelar Magister Studi Pembangunan (MSP) dalam Program Studi Pembangunan pada

Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara

OLEH

ISFAN F. FACHRUDDIN

037024007/SP

SEKOLAH PASCASARJANA

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN

2007


(3)

Program Studi : Studi Pembangunan

Menyetujui Komisi Pembimbing

(Drs. Subhilhar, MA) (Drs. Heri Kusmanto, MA) Ketua Anggota

Ketua Program Studi Direktur

(Drs. Subhilhar, MA) (Prof. Dr. Ir. T. Chairun Nisa B, M.Sc)


(4)

PANITIA PENGUJI TESIS

Ketua : Drs. Subhilhar, MA

Anggota : 1. Drs. Heri Kusmanto, MA 2. Drs. M. Ridwan Rangkuti, MA 3. Drs. Tonny P Situmorang, MA 4. Drs. Agus Suriadi, M.Si


(5)

STUDI PERWAKILAN POLITIK DEWAN PERWAKILAN

RAKYAT DAERAH PROVINSI SUMATERA UTARA

PERIODE 2004 – 2009

TESIS

Dengan ini saya menyatakan bahwa dalam tesis ini tidak terdapat karya yang pernah diajukan untuk memperoleh grlar kesarjanaan di suatu perguruan tinggi dan sepanjang sepengetahuan saya juga tidak terdapat karya atau pendapat yang pernah ditulis atau diterbitkan oleh orang lain, kecuali yang secara tertulis diacu dalam naskah ini dan disebutkan dalam daftar perpustakaan.

Medan, Mei 2007 Penulis,


(6)

kompleksnya masalah yang dihadapi DPRD sebagai lembaga demokrasi. Di lain pihak, hal itu mengisyaratkan luasnya tuntutan masyarakat akan kehadiran lembaga legislative dan perwakilan yang dapat menjalankan peran dan tugasnya seperti yang diharapkan serta pelunya usaha-usaha membenahi dan meningkatkan DPRD agar kehadirannya lebih bermakna. Fenomena yang diuraikan di atas hampir terjadi pada semua tingkatan DPR baik DPR RI maupun DPRD di provinsi dan kabupaten/kota. Terutama ketika diterapkannya Undang-undang No. 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah dan Undang-undang No. 32 Tahun 2004. Persoalan utama ialah kebanyakan partai memang belum sempat mempersiapkan calon mereka. Banyak anggota dewan yang mewakili partai dalam Pemilu 1999 tidak memiliki pengetahuan atau kemampuan berpolitik dan berpemerintah yang baik. Mereka dipilih sebagai anggota legislatif hanya karena dipilih oleh partai. Sementara di sisi lain, orientasi politik anggota legislative di daerah sangat diperlukan untuk menjalankan politik desentralisasi. Oleh karena itu, perumusan masalah dalam penelitian ini adalah: “Ke arah mana orientasi politik anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Provinsi Sumatera Utara Periode 2004-2009 ditujukan?”

Teori yang digunakan dalam penelitian ini adalah teori perwakilan dengan konsep-konsep perwakilan politik yang dikemukakan oleh Birc, Malcom E. Jewell, Austin Ranney. Sedangkan metode penelitian yang digunakan adalah deskriptif analisis dengan pendekatan kuantitatif. Responden yang dipilih berjumlah 22 orang anggota DPRD Provinsi Sumatera Utara dengan metode pengambilan sampel dilakukan dengan teknik proportional random sampling, proporsinya berdasarkan fraksi-fraksi yang ada. Sumber data diperoleh melalui survey, wawancara dan observasi.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa semakin tinggi tingkat pendidikan maka orientasi terhadap permasalahan nasional semakin tinggi. Sedangkan rendahnya tingkat pendidikan orientasi terhadap permasalahan lokal lebih tinggi. Sebagian responden lebih berorientasi kepada partai atau dapat dikatakan ikatan partainya cukup kuat. Tingkat pendidikan memberikan sumbangan terhadap orientasi ini. Semakin tinggi tingkat pendidikan, maka semakin longgar ikatan terhadap partai. Namun, orientasi terhadap eksekutif tidak ada hubungannya dengan tingkat pendidikan. Sebagian besar anggota DPRD Provinsi Sumatera Utara tidak berorientasi eksekutif. Orientasi mereka terhadap partai tidak ada hubungannya dengan pengalaman mereka menjadi anggota DPRD Provinsi Sumatera Utara. Demikian pula orientasi mereka terhadap eksekutif. Pengalaman politik tidak berhubungan dengan orientasi mereka terhadap eksekutif, maupun sebagian besar berpendapat bahwa fungsi utama DPRD adalah pengawas pemerintah. Tidak terdapat


(7)

Sumatera Utara sebagai pengawas pemerintah. Tidak ada hubungan antara asal partai politik atau fraksi dengan orientasi mereka terhadap bangsa yang berkaitan dengan masalah-masalah provinsi dan kedaerahan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa ada perbedaan sikap diantara 9 kelompok anggota DPRD Provinsi Sumatera Utara berdasarkan fraksi tersebut kurang begitu nampak.


(8)

problem faced legislative body as democracy institute. On the other hand, that thing sign society demand broadness attendance of institute of legislative and representative of which can run the duty and role of was such as expected and also the him of efforts correct and improve legislative body, so that the attendance of more have a meaning, elaborated phenomenon above happened at all of levels of DPR good of DPR RI and of DPRD in sub-province and province. Especially when the applying Law of No. 22 Year 1999 concerning Governance of Area and Law of No. 32 Year 2004. Especial problem is most parties true not yet have time to draw up their candidate. Many council members representing party in General election 1999 do not have good governmental and political ability or knowledge. They is selected as legislative member is just because selected by party. Whereas on the other side, political orientation of member of legislative in area very need to run decentralization politics. Therefore, formulation of this research internal issue is: "which political orientation of parliament area member of North Sumatra Province Period 2004-2009 addressed?"

Theory which used in this research is representative theory with concepts representative of politics by Birc, Malcom E. Jewell, Austin of Ranney. While research method the used is descriptive analyze with quantitative approach. Respondent the selected to amount to 22 member people of DPRD North Sumatra Province with method intake of sample conducted with technique of proportional sampling random, proportion of pursuant to existing factions. Data source obtained to through survey, observation and interview.

Research result indicate that excelsior mount education hence orientation to problems of excelsior national. While the lowering of level education of orientation to higher local problems. Some of responders more orient to party or can be told the by party tying of enough strength. Education level give contribution to this orientation. Excelsior education, hence diffuse progressively tying to party. But, orient to executive there are not relation of with education level. Most members of DPRD North Sumatra Province do not orient executive. Their orientation to party are not relation of empirically they become member of DPRD North Sumatra Province. That way also their orientation to executive. Experience of politics do not relate to their orientation to executive, and most having a notion that especial functions of DPRD is governmental supervisor. There are not have relation between work background with their orientation to nation problem, province and area. As big are they orient to problem of province related to national problem. That way also the relation of with orientation to party. There is tendency that member of DPRD which is have entrepreneur background to intellectual more look into DPRD North Sumatra


(9)

(10)

KATA PENGANTAR

Dengan mengucap kan syukur penulis ucapkan kehadirat Allah SWT yang memberi kekuatan iman kepada penulis untuk menyelesai kan akhir (Tesis) Penelitian yang di tuangkan dalam bentuk tesis ini merupakan tugas akhir yang harus disajikan dalam rangka menyelesaikan studi di Pascasarjana pada Program Magister Studi Pembangunan Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera utara (USU) Medan dengan mengambil judul “ Studi Perwakilan Politik Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Provinsi Sumatera Utara Periode 2004 – 2009”.

Dalam penyelesaian tesis ini penulis telah banyak dibantu oleh berbagai pihak, baik dalam bentuk moril, bimbingan maupun arahan, sehingga tesis ini menjadi karya tulis yang layak sesuai dengan syarat dan tata cara yang telah ditentukan. Untuk itu pada kesempatan ini penulis dengan rasa hormat mengucapkan terima kasih kepada :

1. Bapak Drs. Subhilhar, MA, Ph.D, selaku Ketua Komisi Pembimbing yang sekaligus Pembantu Rektor II Universitas Sumatera Utara.

2. Bapak Drs. Heri Kusmanto, MA sebagai anggota Komisi Pembimbing

3. Bapak Drs. Agus Suriadi, M. Si, Bapak Muriyanto Amin, yang banyak memberikan kritik dan saran yang sangat berguna dalam menyelesaikan tesis ini.


(11)

4. Bapak Drs. Tonny P. Situmorang, MA dan Bapak Drs. M. Ridwan Rangkuti, MA sebagai anggota Tim Penguji.

Selama mengikuti perkuliahan di Program Magister Studi Pembangunan USU, penulis merasa nyaman dengan tersedianya fasilitas dalam proses belajar mengajar, sehingga tidak berlebihan apabila ucapan terima kasih penulis sampaikan kepada :

1. Bapak Prof. Chairuddin P. Lubis, DTM&H, Sp.A(K), selaku Rektor Universitas Sumatera Utara.

2. Ibu Prof. Dr. Ir. T. Chairun Nisa B, MSc, selaku Direktur Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara.

Dalam kurun waktu yang tidak singkat selama menjalani perkuliahan telah terjadi interaksi yang baik antara penulis dengan staf pengajar dan pegawai serta rekan – rekan kuliah terutama angkatan II, maka untuk itu penulis perlu memberikan ucapan terima kasih kepada mereka semua.

Ucapan terima kasih juga penulis sampaikan kepada Ayahanda Ir. H. Fachruddin Umri, Ibunda Prof. Dr. Chalida Fachruddin, istri Syafrida Hafmi, SE. M.Si dan anak – anak tersayang Farica Amanda Fachri, Isyraqi Omar Fachri serta keluarga besar yang tidak du ucapkan satu persatu yang telah memberikan dorongan moril dan ikut berperan serta sehingga penulis dapat menyelesaikan studi dengan baik.


(12)

Akhirnya kepada Allah SWT penulis berserah diri dan berharap mudah – mudahan tesis ini dapat bermanfaat bagi semua pihak. Amin

Medan, 10 Mei 2007 Penulis,

Isfan Fachri Fachriddin


(13)

Tempat/Tanggal Lahir : P. Siantar, 22 April 1964

Alamat : Jl. Bima Sakti. No. 16 Kec. Medan Barat Kota Medan Status Perkawinan : Kawin

Kebangsaan : Indonesia

Agama : Islam

Pekerjaan : Anggota DPRD Tk I Sumut Periode 2004-2009 Pendidikan : 1. SD Taman Siswa, Medan (1969-1975)

2. SMP Harapan I, Medan (1976-1979) 3. SMA Taman Siswa, Medan (1979-1983) 4. Universitas Sumatera Utara (1983-1990) 5. Magister Studi Pembangunan

Sekolah Pascasarjana Universitas


(14)

ABSTRACT……… iii

KATA PENGANTAR ……… v

RIWAYAT HIDUP ……… viii

DAFTAR ISI ………. ix

DAFTAR TABEL ……….. xii

BAB I PENDAHULUAN ……… 1

1.1. Latar Belakang ………... 1

1.2. Permasalahan ………. 10

1.3. Batasan Permasalahan ………... 11

1.4. Tujuan dan Manfaat Penelitian ………. 12

1.5. Kerangka Teori ……….. 12

1.6. Model Analisa ………... 23

1.7. Definisi Konsep ………. 23

1.8. Definisi Operasional ……….. 24

1.9. Hipotesa ………. 26

BAB II LEMBAGA PERWAKILAN SEBAGAI WADAH ASPIRASI POLITIK RAKYAT ………... 27

2.1. Lembaga Perwakilan dalam Negara Demokrasi ... 27


(15)

3.4. Teknik Pengumpulan Data ……… 44

3.5. Teknik Analisa Data ………. 45

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN... 46

4.1. Kilas Balik Pemilihan Umum 2004 di Sumatera Utara ... 46

4.2. DPRD Provinsi Sumatera Utara Periode 2004-2009 ... 48

4.3. Kedudukan, Fungsi, Tugas, dan Wewenang DPRD ... 49

4.4. Identitas Responden ... 76

4.5. Pendidikan dan Pengalaman Politik ... 79

4.6. Latar Belakang Pekerjaan ... 85

4.7. Orientasi ... 86

4.8. Hubungan Antara Tingkat Pendidikan, Latar Belakang Pekerjaan, Pengalaman Politik dan Orientasi Politik ... 108

4.8.1. Hubungan Tingkat Pendidikan dan Orientasi Politik ... 108

4.8.2. Hubungan Pengalaman Politik dan Orientasi Politik ... 115

4.8.3. Hubungan Latar Belakang Pekerjaan dengan Orientasi Politik ... . 120 4.8.4. Hubungan Fraksi dengan Orientasi Politik ... 123


(16)

(17)

1. Persepsi dari Berbagai Komponen Daerah tentang Kualitas Anggota DPRD di Beberapa Provinsi dan Kabupaten/Kota Di

Indonesia ... 9 2. Partai yang Memiliki Wakil di DPRD Provinsi Sumatera

Utara ... 48 3. Jumlah Fraksi dan Nama-Nama Anggota Fraksi DPRD

Provinsi Sumatera Utara ... 57 4. Komposisi Anggota DPRD Provinsi Sumatera Utara Periode

2004-2009 ... 68 5. Anggota DPRD Provinsi Sumatera Utara Menurut Jenis

Kelamin Periode 2004-2009 ... 70 6. Tingkat Pendidikan Anggota DPRD Provinsi Sumatera Utara

Periode 2004-2009 ... 72 7. Susunan Anggota DPRD Provinsi Sumatera Utara Periode

2004-2009 Berdasarkan Komisi ... 74 8. Usia Responden ... 77 9. Tingkat Pendidikan Responden ... 80 10. Lama Responden Menjadi Anggota DPRD Provinsi Sumatera

Utara ... 82 11. Lamanya Responden Berkecimpung di Lembaga Perwakilan

Rakyat (DPRD Provinsi & Kabupaten atau Kota) ... 83 12. Keterlibatan Responden di Dalam Organisasi

Kemasyarakatan ... 84 13. Pekerjaan Responden Sebelum Menjadi Anggota DPRD

Provinsi Sumatera Utara ... 86 14. Intensitas Perhatian Responden dalam Menangani Masalah


(18)

18 Pendapat Responden tentang Aktivitas LSM, Ormas, Masyarakat Kampus, dan Kaum Agamawan ... 93 19. Pendapat Responden bahwa Setiap Tindakan sebagai

Anggota DPRD Provinsi Sumatera Utara Harus Seizin, Sepengetahuan, dan Sejalan dengan Organisasi Induk ... 95 20. Pendapat Responden bahwa Setiap Posisi Anggota DPRD

Provinsi Sumatera Utara Harus Mandiri ... 98 21. Pendapat Responden tentang Recall atau Pergantian Antar

Waktu ... 99 22. Pendapat Responden tentang Berfungsinya DPRD Provinsi

Sumatera Utara ... 102 23. Pendapat Responden tentang Posisi DPRD Provinsi Sumatera

Utara ... 105 24. Pendapat Responden tentang Hubungan antara DPRD

Provinsi Sumatera Utara dengan Pemerintah Provinsi ... 105 25. Pendapat Responden tentang Tugas Utama DPRD Provinsi

Sumatera Utara ... 107 26. Hubungan Antara Tingkat Pendidikan dan Intensitas

Mengurusi Masalah-Masalah Provinsi ... 108 27. Hubungan Antara Tingkat Pendidikan dan Tingkat

Kemandirian dalam Bertindak ... 110 28. Hubungan Antara Tingkat Pendidikan dan Pendapat Bahwa

Tugas Anggota DPRD Harus Sejalan dengan Organisasi Induknya ... 112 29. Hubungan Antara Tingkat Pendidikan dan Pendapat tentang

Fungsi Utama DPRD ... 113 30. Hubungan Antara Pengalaman Politik dan Intensitas


(19)

Tindakan Anggota DPRD Harus Sejalan dengan Organisasi Induk ... 118 33. Hubungan Antara Pengalaman Politik dan Pendapat tentang

Fungsi Utama DPRD ... 119 34. Hubungan Antara Latar Belakang Pekerjaan dengan

Intensitas Mengurusi Masalah-Masalah Provinsi ... 120 35. Hubungan Antara Latar Belakang Pekerjaan dengan Tingkat

Kemandirian dalam Bertindak ... 121 36. Hubungan Antara Latar Belakang Pekerjaan dengan Pendapat

Bahwa Tindakan Anggota DPRD Harus Sejalan dengan Organisasi Induk ... 122 37. Hubungan Antara Latar Belakang Pekerjaan dengan Pendapat

tentang Fungsi Utama DPRD ... 123 38. Hubungan Fraksi dan Intensitas Mengenai Masalah Provinsi . 123 39. Hubungan Antara Fraksi dan Tingkat Kemandirian dalam

Bertindak ... 124 40. Hubungan Antara Fraksi dan Pendapat Bahwa Tugas

Anggota DPRD Harus Sejalan dengan Organisasi Induk ... 125 41. Hubungan Antara Fraksi dan Pendapat tentang Fungsi Utama


(20)

1.1. Latar Belakang

Dalam teori dan praktek demokrasi tradisional, lembaga legislatif memiliki posisi utama, yang tercermin dalam doktrin kedaulatan parlemen. Asumsinya adalah bahwa hanya parlemen saja yang mewakili rakyat dan berkompeten mengungkapkan kehendak rakyat dalam bentuk undang-undang. Sementara eksekutif atau pemerintahannya mengikuti atau mengimplementasikan hukum dan prinsip-prinsip yang ditetapkan parlemen.

Supremasi parlemen di berbagai negara demokrasi konstitusional tampak dalam abad XIX yang dikenal sebagai “abad parlementarisme”. Walter Bagehot, seorangan ahli pada paruh kedua abad XIX, menunjukkan bahwa parlemen menjalankan berbagai fungsi penting seperti menominasikan orang-orang yang akan duduk di lembaga eksekutif, menetapkan undang-undang, menyiapkan dan menetapkan anggaran, mengawasi kabinet, menyampaikan keluhan masyarakat, serta memasyarakatkan berbagai isu yang dihadapi negara.

Tetapi, sejak awal abad XX dan berlanjut hingga sekarang, terjadi perubahan mendasar dalam organisasi dan fungsi lembaga demokrasi. Dari fungsi tradisional negara, yakni lembaga legislatif, eksekutif, dan yudikatif, muncul eksekutif sebagai lembaga yang dominan.

Sebagai efeknya, kini lembaga perwakilan rakyat atau parlemen lebih tepat dilihat sebagai suatu pejabat yang memainkan peran legislatif bersama-sama


(21)

lembaga atau pejabat lain dalam tingkatan yang berbeda-beda. Karenanya, tidak mengherankan jika ada yang mengatakan bahwa saat ini tidak ada lagi peran legislatif yang sama sekali terpisah, dan bahwa parlemen pada dasarnya hanya badan yang meratifikasi keputusan-keputusan yang ditetapkan oleh badan-badan lain di luar parlemen.

Terkadang, peran legislatif itu dilakukan bersama rakyat, yaitu dengan menggunakan sarana referendum. Badan atau organisasi lain, seperti pemerintah daerah, kelompok penekan, dan komite hak-hak asasi manusia dapat juga berbagi fungsi legislatif dengan parlemen. Tentu saja, eksekutif dan birokrasi merupakan partner terpenting, dan seringkali paling dominan, dalam menjalankan fungsi legislatif tersebut.

Dengan demikian, walaupun berperan dalam menetapkan dan melegitimasi suatu rancangan menjadi undang-undang, lembaga legislatif atau parlemen pada umumnya bukan perumus rancangan tersebut. Bahkan, di beberapa negara demokrasi parlementer pun, seperti Inggris dan Selendia Baru, konsep parlemen sebagai lembaga yang merumuskan undang-undang, menetapkan kebijakan-kebijakan mendasar, mengontrol anggaran belanja pemerintah, dan bertanggung jawab memilih pemerintahan, sudah drastis karena adanya peran dominan partai khususnya partai yang memerintah di bidang-bidang ini.

Lembaga perwakilan rakyat pada umumnya memiliki empat fungsi utama: pertama fungsi legislasi atau pembuatan peraturan (legislative or law-making


(22)

kontrol (control functions), dan keempat fungsi rekrutmen (recruitment or

elecoral college function) (Ala, 1991: 2).

Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) merupakan salah satu lembaga tinggi Negara Republik Indonesia, disamping Presiden, Mahkamah Agung (MA), Dewan Pertimbangan Agung (DPA), dan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK). Sebagai lembaga tinggi negara, DPR memiliki posisi yang strategis. Seperti lembaga perwakilan rakyat pada umumnya, DPR disamping lembaga legislatif, juga sebagai lembaga representatif, yaitu lembaga yang mewakili rakyat (masa pemilihnya). Sebagai lembaga legislatif DPR memiliki fungsi membuat undang-undang, sedangkan sebagai lembaga representatif DPR merupakan wakil rakyat. Sebagai lembaga yang mewakili rakyat, DPR dituntut untuk mendengarkan dan mengakomodasi aspirasi rakyat yang diwakilinya.

Sebagai lembaga perwakilan rakyat, DPR tidak bekerja dalam ruang kosong, namun bekerja pada suatu sistem politik tertentu, yaitu sistem politik Indonesia. Oleh sebab itu dalam tataran teoritis, lembaga representatif seperti DPR berfungsi sebagai institusi sistem politik yang mengubah input menjadi out put.

Input atau aspirasi rakyat dapat berwujud tuntutan atau dukungan. Input

yang berupa tuntutan dapat berasal dari lingkungan yang berada di sekitar sistem politik itu sendiri. Input yang berasal dari lingkungan di sekitar sistem politik dapat disebut sebagai input eksternal, dan input yang berasal dari sistem politik itu sendiri dapat disebut sebagai input internal.


(23)

Input yang masuk ke sistem kemudian diolah menjadi out put oleh DPR.

Proses perubahan dari input ke out put biasa disebut dengan proses konversi. Proses konversi in amat tergantung kepada sistem politik yang berlaku maupun tergantung kepada pelaku-pelaku yang bersangkutan, yakni para anggota DPR.

Anggota DPR sebagai pelaku dalam proses konversi amat mempengaruhi berfungsi tidaknya proses konversi tersebut. Orientasi politik anggota DPR akan mempengaruhi berfungsi tidaknya lembaga tersebut sebagai institusi wakil rakyat.

Dalam perjalanan waktu, lembaga perwakilan rakyat ini mengalami dinamika politik yang terus menerus. Bisa dikatakan bahwa dalam sejarahnya, sebagai lembaga legislatif (membuat undang-undang) DPR cukup produktif. Betapapun harus diakui bahwa semua inisiatif membuat undang-undang tersebut berasal dari pihak eksekutif, namun penggodokan dan sentuhan terakhir berada di tangan DPR. Di sisi lain, DPR kurang responsif dalam memperjuangkan aspirasi rakyat yang diwakilinya. Namun, betapapun DPR dianggap kurang tanggap terhadap aspirasi pemilihnya, di sisi lain, harapan masyarakat terhadap DPR masih tetap tinggi. Ini terbukti banyaknya pengaduan yang dialamatkan ke DPR, hanya beberapa hari setelah anggota DPR RI yang baru (periode 2004-2009) dilantik (Kompas, 10 Januari 2006).

Kritik dan kecaman terhadap DPR muncul dari berbagai pihak, baik dari masyarakat, pers, maupun dari kalangan anggota dan pimpinan DPR sendiri. Di satu pihak, berbagai kritik dan sorotan terhadap DPR menunjukkan betapa kompleksnya masalah yang dihadapi DPR sebagai lembaga demokrasi. Di lain pihak, hal itu mengisyaratkan luasnya tuntutan masyarakat akan kehadiran


(24)

lembaga legislatif dan perwakilan yang dapat menjalankan peran dan tugasnya seperti yang diharapkan, serta perlunya usaha-usaha membenahi dan meningkatkan DPR agar kehadirannya betul-betul bermakna (Amal & Rizal, 2003: 12-13).

Ada anggapan di masyarakat bahwa sebagai wakil rakyat, DPR cenderung mewakili pemerintah atau partai yang mencalonkannya. Ada empat gejala yang mendukung sinyalemen ini. Pertama, anggota DPR lebih dekat dengan pemerintah dan partai ketimbang dengan rakyat. Karena sebagian besar dari mereka dicalonkan oleh partai dan dinilai oleh pemerintah. Kedua, adanya lembaga recall oleh partai dan Pemerintah melalui Badan Kehormatan Dewan tanpa persetujuan terlebih dahulu dari rakyat pemilih. Hal ini menyebabkan mereka lebih loyal kepada partai dan pemerintah ketimbang kepada rakyat. Ketiga, sebagai wakil rakyat, DPR biasanya bersifat reaktif ketimbang aktif. DPR biasanya menunggu rakyat mengadukan nasib dari permasalahannya, ketimbang aktif untuk memperoleh fakta, lalu mengambil tindakan. Keempat, ada beberapa usul interpelasi dipetieskan karena ditolak oleh sebagaian besar anggota DPR.

B.N. Marbun mengidentifikasi masalah-masalah yang membuat DPR lemah dalam menjalankan tugasnya (Marbun, 1992: 266-267), yaitu:

1. Mutu anggota DPR, baik dari segi pengalaman, latar belakang pendidikan yang relatif kurang memadai.


(25)

3. Adanya dominasi kelompok tertentu yang secara langsung mengurangi lahirnya inspirasi dan inisiatif serta menenggelamkan inisiatif dan ide-ide pembaharuan dari kelompok kecil DPR.

4. Ketakutan mengeluarkan kritik dan tanggapan karena adanya “pesan induk organisasi” yang cukup kuat serta ancaman recall.

5. Minimnya komunikasi antara DPR dan masyarakat, terutama dengan para ahli atau pakar pemikir yang kreatif serta kalangan masyarakat, terutama dengan para ahli atau pakar pemikir yang kreatif serta kalangan masyarakat yang berpikiran kritis terhadap kebijakan pemerintah.

6. Kurangnya rasa keterikatan sebagian anggota DPR dengan daerah pemilihannya dan para pemilihnya.

7. Adanya perasaan minder sebagian anggota DPR berhadapan dengan pihak eksekutif, serta sering terjadi kritik atau saran yang diberikan anggota DPR kepada pihak eksekutif tidak mendapat tanggapan.

8. Minimnya saran yang dimiliki DPR.

9. Hambatan psikologis masa lalu, yaitu pandangan bahwa berpolitik itu sesuatu yang kurang begitu penting dibandingkan dengan usaha pembangunan ekonomi.

10. Hambatan langsung dan tidak langsung dari peraturan tata tertib DPR yang cukup ketat dan rumit.

Kalau diperhatikan lebih teliti dari identifikasi masalah yang ada di DPR, terlihat sebagian besar masalah tersebut terletak di tubuh DPR itu sendiri, yaitu anggota DPR. Oleh karena itu, dapat dikatakan bahwa sebenarnya fungsionalisasi


(26)

DPR sangat terkait erat dengan sejauh mana anggota-anggotanya mempunyai kapasitas, integritas dan intelektualitas, serta parameter kualitatif lainnya, sehingga akan berpengaruh terhadap kapasitas kelembagaan (Alhumami, Kompas, 2006).

Seseorang yang duduk menjadi anggota DPR melalui pemilihan yaitu rakyat memilih partai yang didukungnya dan kemudian partai memilih dan menentukan calon tersebut untuk duduk sebagai anggota DPR. Sistem ini tentunya akan sangat mempengaruhi orientasi anggota DPR yang terpilih dalam melaksanakan kepentingan partai atau kepentingan pemilihnya.

Kecuali itu, orientasi para angota lembaga perwakilan rakyat juga ditentukan oleh pengalaman atau karirnya di bidang politik, latar belakang profesinya, dan juga kondisi-kondisi yang ada di tubuh lembaga dewan perwakilan rakyat tersebut.

Fenomena yang diuraikan di atas hampir terjadi pada semua tingkatan DPR baik DPR RI maupun DPRD di provinsi dan kabupaten/kota. Terutama ketika diterapkannya Undang-Undang No. 22/1999 tentang Pemerintahan Daerah dan Undang-Undang No. 32/2004.

Berasaskan hasil temuan-temuan pokok dari penelitian yang dilakukan oleh Centre for Strategic and International Studies (CSIS) (2001) misalnya, disebutkan bahawa suasana politik yang berkembang di daerah telah mengarah, dan bahkan memperaktikkan, pelaksanaan UU No.22/1999 terutama dalam kaitan

power relation antara pemerintah daerah (eksekutif) dengan DPRD. DPRD


(27)

eksekutif. Tetapi, DPRD kelihatan kurang menunjukkan kemampuannya dalam peranan-peranan lainnya seperti peranan legislasi, dan penyerapan aspirasi. Hal ini terjadi/berlaku baik di daerah-daerah yang telah melakukan pemilihan kepala daerah (bupati/walikota) dengan cara-cara baru, maupun di daerah-daerah yang tengah, dan sama sekali belum, mempersiapkan diri untuk pemilihan kepala daerah. Penemuan tersebut diperkuat lagi dengan data tentang persepsi berbagai komponen daerah tentang kualitas anggota dewan, yang dilaporkan oleh Social

Monitoring and Early Response Unit (SMERU), sebuah institusi penelitian

mengenai berbagai persoalan sosial ekonomi yang berkedudukan di Salatiga (lihat tabel 1).

Persoalan utama ialah kebanyakan partai memang belum sempat mempersiapkan calon mereka. Banyak anggota dewan yang mewakili partai dalam Pemilu 1999 tidak memiliki pengetahuan atau kemampuan berpolitik dan berpemerintah yang baik. Mereka dipilih sebagai anggota legislatif hanya karena dipilih oleh partai. Misalnya, Sekretaris Jenderal DPP PDIP, Pramono Anung, mengaku bahwa kualitas calon partainya yang berada di legislatif tanpa arahan partai, maka bukan hanya suara wakil rakyat tidak efektif disalurkan, tetapi muncul berbagai prilaku aneh atau menurut Media Indonesia muncul “wakil rakyat yang abnormal”1. Para peneliti Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) juga melihat perkara yang sama dengan menyuarakan: “Fungsi parlemen

1

Menurut editorial akhbar Media Indonesia (Jakarta, 10 Mei 2003): “Korupsi juga berkorelasi

dengan otonomi. Yang normal ialah semakin luas otonomi diberikan, mestinya semakin berkurang korupsi di daerah. Sebab, otonomi mendorong tumbuhnya kapasitas kontrol. Kenyataannya, lagi-lagi berlaku sebaliknya: perlakuan yang tidak normal, sakit. Yaitu semakin besar otonomi, semakin hebat pula korupsi. Pangkalnya sangat jelas. Yang semestinya mengawasi, mengontrol, malah menjadi maling sendiri”.


(28)

sebagai penyalur aspirasi rakyat tenggelam dibandingkan dengan kepentingan mereka untuk memperoleh kekuasaan, jabatan dan uang” (Romli, 2002)

Tabel 1. Persepsi dari Berbagai Komponen Daerah tentang Kualitas Anggota DPRD di Beberapa Provinsi dan Kabupaten/Kota di Indonesia

Propinsi dan Kabupaten/Kota

Perbedaan kualitas anggota DPRD sekarang dibanding dengan era/waktu sebelumnya

Jawa Barat Keterlibatan dalam proses pengambilan keputusan tentang kebijakan publik lebih intensif. Lebih terbuka terhadap rakyat, tetapi cenderung mengutamakan kesejahteraan diri.

1. Sukabumi Lebih dinamis, kerana berani melibatkan masyarakat dalam berbagai pembahasan tentang kebijakan pemerintahan daerah.

Jawa Tengah Lebih berani dalam mengembangkan dialog baik dengan eksekutif maupun dengan masyarakat

2. Kudus Lebih peka dan aspiratif pada kepentingan rakyat dan memunyai hubungan serasi dengan eksekutif.

Jawa Timur Lebih kritis dan berani dengan keinginan belajar yang tinggi. Melibatkan masyarakat dan profesional dalam membahas dasar kepentingan umum.

3. Magetan Lebih berani menyampaikan aspirasi rakyat dan mau bekerjasama dengan berbagai pihak profesional

Lampung Tidak lagi sekadar pemberi cap, perannya dalam pengambilan keputusan dasar pemerintah daerah lebih strategis. Namun usaha memenuhi kepentingan sendiri sangat kuat, penghasilan mereka terus naik.

4. Bandar

Lampung

Dapat menentukan anggaran sendiri, tetapi persoalan ini dikawatirkan dapat memperlemah pengawasan terhadap eksekutif

Sumatera Barat Lebih leluasa dan berani menyampaikan pendapat, sementara ini hubungan dengan eksekutif makin lama makin baik. Hubungan baik ini dapat mengaburkan kekuasaan dalam pengertian KKN.

5 Solok Lebih berani bicara, tapi baru bersifat korektor belum konseptor.

Sumatera Utara Kualitas tidak memuaskan, tetapi lebih memerhatikan kepentingan rakyat. Namun, dalam perkara Pendapatan Asli Daerah (PAD) cenderung mendukung eksekutif. Nusa Tenggara Barat Kualitas rendah, baik dari segi pendidikan maupun

pengalaman

6. Lombok Barat Suara pribadi dan golongan lebih dominan dan ada kecenderungan selalu menuntut perbaikan kesejahteraan diri sendiri.


(29)

Nusa Tenggara Timur

Tidak banyak berbeda, hanya 30 persen anggota dewan yang bersuara, lainnya diam. Parlemen belum menyalurkan aspirasi rakyat dengan baik. Tugas pengawasan terhadap eksekutif lemah, banyak anggota dewan yang justru perlu diawasi.

7. Sumba Timur Belum berfungsi secara maksimal, pihak eksekutif perlu membantu memperkuat parlemen agar dapat menjadi partner yang efektif.

Kalimantan Barat Lebih berani, tetapi kualitas dan disiplin rendah. Bersemangat meningkatkan PAD.

8. Sanggau Tingkat pendidikan rendah, tidak menguasai persoalan daerah, pengalaman kurang, dan cenderung mementingkan diri. Masyarakat mengusulkan adanya tim pemantau bebas terhadap DPRD.

Kalimantan Selatan Hanya 30 persen yang layak menjadi anggota dewan, tetapi mereka lebih berani dan cukup kritis terhadap kinerja eksekutif.

9. Banjarmasin Posisi dewan lebih kuat, tetapi hubungan dengan eksekutif baik. Hubungan ini dapat memperlemah pengawasan DPRD terhadap eksekutif.

Sulawesi Utara Parlemen lebih berkuasa, tetapi kualitas dan moral anggotanya tidak lebih baik daripada sebelumnya.

10. Minahasa Merasa lebih berkuasa dan pernah menolak membicarakan draf perda yang diusulkan Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM).

Keterangan: *Cetak miring adalah kota

Sumber: Laporan Lapangan Social Monitoring and Early Response Unit (SMERU), 2004.

Dari pemikiran tersebut saya ingin melihat orientasi politik DPRD Provinsi Sumatera Utara Periode 2004 – 2009. Sehingga peneliti dapat menggambarkan secara lebih jauh tentang keberadaan DPRD Provinsi Sumatera Utara Periode 2004 – 2009 dalam kaitannya dengan orientasi politik anggotanya.

1.2. Permasalahan

Berdasarkan uraian tersebut maka yang menjadi permasalahan dalam penelitian ini adalah:


(30)

“Ke arah mana orientasi politik anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Provinsi Sumatera Utara Periode 2004-2009 ditujukan?”

1.3. Batasan Permasalahan

Agar penelitian ini lebih memiliki fokus kajian mengenai orientasi politik anggota DPRD khususnya di Provinsi Sumatera Utara, maka peneliti membuat pembatasan tentang permasalahan yang akan diuraikan sebagai berikut:

1. Apakah latar belakang pendidikan yang dimiliki anggota DPRD Provinsi Sumatera Utara Periode 2004-2009 mempengaruhi ke arah mana orientasi politik mereka ditujukan?

2. Apakah latar belakang profesi dan pendidikan yang dimiliki anggota DPRD Provinsi Sumatera Utara Periode 2004-2009 mempengaruhi ke arah mana orientasi politik mereka ditujukan?

3. Apakah pengalaman politik yang dimiliki anggota DPRD Provinsi Sumatera Utara Periode 2004-2009 mempengaruhi ke arah mana orientasi politik mereka ditujukan?

4. Apakah organisasi asal atau fraksi dimana anggota DPRD Provinsi Sumatera Utara Periode 2004-2009 juga mempengaruhi ke arah mana orientasi politik mereka ditujukan?


(31)

1.4. Tujuan dan Manfaat Penelitian

1. Mengetahui orientasi anggota DPRD, kepada partai atau kepada masyarakat. 2. Mengetahui tingkat loyalitas kepentingan daerah dan nasional anggota

DPRD.

Penelitian ini bermanfaat memberikan masukan dalam pengembangan disiplin ilmu politik terutama untuk kajian pembangunan institusi politik yaitu legisltif lokal dalam memperluas khasanah ilmu politik.

1.5. Kerangka Teori

Ada tiga konsep perwakilan. Birch, mengartikan tiga konsep itu masing-masing berbeda antara satu dengan yang lain (Birch, 1971: 13). Pertama, perwakilan menunjukkan suatu agen atau seorang yang bertindak demi menjalankan prinsip yang diyakininya. Kedua, menunjukkan seseorang yang memiliki sebagaian besar ciri-ciri yang sama dari sekelompok orang. Ketiga, menunjukkan seseorang yang menjadi simbol dari identitas dan kualitas dari sekelompok orang.

Lebih lanjut Birch mengatakan bahwa perwakilan politik adalah seseorang yang oleh kebiasaan atau hukum memiliki status atau peranan sebagai wakil di dalam suatu sistem politik (Birch, 1971: 13).

Siapakah wakil rakyat dimaksud? Seorang wakil bisa disimbolkan sebagai seorang raja atau presiden, namun seorang wakil yang dimaksud di sini adalah orang-orang yang duduk di lembaga legislatif (Cord, 1985: 242).


(32)

Ada tiga dimensi yang berbeda mengenai perwakilan, yakni dimensi kewenangan, dimensi simbolik, dan dimensi instrumental.

Dimensi kewenangan (otoritas) berkaitan dengan kewenangan dari seseorang atau sekelompok orang untuk mewakili yang lainnya. Dalam relasi antara pengacara-kliennya, mudah dilihat bahwa pengacara adalah perwakilan, dalam arti bahwa ia telah diberi kewenangan oleh klien untuk mewakilinya (klien). Otoritas perwakilan ini amat formalistik dan legalistik.

Dimensi simbolik berkaitan dengan gambaran suatu perwakilan atau lembaga legislatifnya yang bertindak untuk sekelompok masyarakat. Di dalam mitologi politik, lembaga perwakilan kadang dipandang sebagai suatu mikrokosmos dari suatu bangsa, merupakan miniatur dari suatu masyarakat secara keseluruhan.

Dimensi instrumental mengacu pada tindakan dari perwakilan. Perwakilan diharapkan oleh pemilihnya untuk bertindak atas nama mereka, menjadi alat mereka untuk melakukan sesuatu. Di dalam pengertian ini, perwakilan disebut sebagai suatu cara bertindak atau sebuah harapan bagaimana seharusnya bertindak demi pemilihnya. Hubungan antara wakil dengan orang yang diwakili merupakan dasar mengenai bagaimana perwakilan seharusnya bertindak (Jewell and Patterson, 1979: 22-24).

Dalam tulisannya mengenai teori perwakilan politik, Alfred de Gracia mengemukakan bahwa perwakilan politik diartikan sebagai hubungan diantara dua pihak, yaitu wakil dengan terwakil, di mana wakil memegang kewenangan


(33)

untuk melakukan berbagai tindakan yang berkenaan dengan kesepakatan yang dibuatnya dengan terwakil (Sanit, 1985: 1).

Di dalam konsep perwakilan, terkandung dua pihak yang terlibat, yakni pihak yang mewakili (wakil) dan pihak yang diwakili (terwakil). Dua pihak ini terlibat dalam posisi yang saling berhubungan. Gilbert Abcarian mengatakan bahwa hubungan wakil dengan terwakil dapat dikategorikan ke dalam empat tipe, yaitu (Saragih, 1987: 103):

(1) Si wakil bertindak sebagai wali (trustee)

Sebagai wali, wakil bebas bertindak atau mengambil keputusan menurut pertimbangan si wakil sendiri, tanpa perlu berkonsultasi dengan yang diwakilinya.

(2) Si wakil bertindak sebagai utusan (delegate)

Di sini si wakil bertindak sebagai utusan atau duta dari yang diwakilinya, si wakil selalu mengikuti instruksi dan petunjuk dari yang diwakilinya dalam menjalankan tugasnya.

(3) Si wakil bertindak sebagai politico.

Wakil kadang-kadang bertindak sebagai wali (trustee) dan adakalanya bertindak sebagai utusan (delegate). Tindakannya tergantung dari isu materi yang dibahas.

(4) Si wakil bertindak sebagai partisan.

Wakil bertindak sesuai dengan keinginan atau program dari partai (organisasi) si wakil. Setelah si wakil dipilih oleh pemilihnya (yang


(34)

diwakilinya), maka lepaslah hubungan dengan pemilih tersebut, dan mulailah hubungan dengan partai (organisasi) yang mencalonkan tersebut. Austin Ranney, dalam bukunya The Governing of Man (Ranney, 1966: 268-271) mengatakan bahwa ada dua teori mengenai perwakilan, yaitu teori mandat dan teori kebebasan. Dalam teori mandat wakil dilihat sebagai penerima mandat untuk merealisasikan kekuasaan terwakil dalam proses kehidupan politik. Oleh karena itu, wakil hendaklah selalu memberikan pandangan, bersikap dan bertindak sejalan dengan mandat melaksanakan tugasnya. Pandangan wakil secara pribadi tidak digunakan dalam kualifikasi sebagai wakil. Bagi terwakil, keadaan ini lebih menguntungkan karena wakil dapat dikontrol secara terus menerus. Perbedaan pandangan antara wakil dan terwakil dapat mengakibatkan menurunya reputasi wakil. Sebaliknya, wakil yang begitu terikat, terhalang untuk pengembangan kreativitas dan kelincahan gerak politiknya. Mungkin sekali wakil merasa dirinya jadi robot.

Dalam teori kebebasan, wakil dianggap perlu merumuskan sikap dan pandangan tentang masalah yang dihadapi tanpa terikat secara ketat terhadap terwakil. Sebab terwakil telah memberikan kepercayaan kepadanya selaku wakil. Karena itu, pertimbangan wakil secara pribadi yang memperhatikan keseluruhan aspek yang terkait mengenai masalah yang dihadapi amat menentukan keputusan dan sikap wakil. Berlawanan dengan teori mandat, maka logika teori kebebasan wakil lebih terfokus kepada operasionalisasi tugas wakil itu sendiri.

Karena diakuinya kebebasan wakil dalam melaksanakan tugasnya, maka wakil seperti itu disebut pula wakil bertipe wali, dan sebaliknya, wakil yang


(35)

didasarkan kepada teori mandat disebut sebagai wakil yang bertipe utusan (Sanit, 1985: 1).

Tipe perwakilan politik bisa mempengaruhi pola komunikasi politik antara wakil dengan terwakil. Konsepsi operasional mengenai siapa yang menjadi pusat perhatian wakil dalam menunaikan tugasnya, menentukan apakah wakil akan berhubungan dengan individu, masyarakat secara umum, kelompok atau partai politik. Tipe perwakilan akan menentukan tingkat kemandirian atau ketergantungan wakil dalam menentukan sikap dan membuat keputusan. Kontak menjadi terbatas dalam hal wakil melihat dirinya sebagai wali bagi pihak terwakil. Sebaliknya, dalam hal wakil mengambil posisi utusan atau delegasi terwakil.

Kemampuan berjuang atau daya juang wakil ikut pula menentukan pilihannya terhadap tanggapan yang perlu diberikan terhadap permasalahan yang dihadapi terwakil. Pilihan tersebut tidak saja ditentukan oleh daya juang wakil di dalam lembaga perwakilan, akan tetapi ditentukan pula oleh daya juangnya di dalam masyarakat dan di arena politik secara keseluruhan.

Keseluruhan hubungan diantara wakil dengan terwakil tersebut di satu pihak menentukan keberhasilan wakil dalam memenuhi tugasnya. Bilamana tugas-tugas tersebut terpenuhi secara memuaskan keseluruh pihak, maka dapat dikatakan perwakilan politik berfungsi. Berfungsinya perwakilan politik tersebut, termasuk pula kepuasan pihak terwakil dalam artian bahwa kepentingan, opini dan tuntutannya terlayani oleh wakil melalui tanggapan yang diberikannya lewat sikap dan keputusannya yang dibuat terhadap masalah yang dihadapi terwakil. Di lihat dari pihak terwakil, sistem perwakilan politik seperti itu telah menghasilkan


(36)

keterwakilan politik secara memadai. Secara lebih detail, Malcom E. Jewell merumuskan model peranan wakil rakyat, berdasarkan orientasinya, yaitu: (Jewell and Peterson, 1979: 349-351)

(1) Orientasi terhadap pemilih: (a) Orientasi distrik (area).

Wakil rakyat secara eksplisit menjalankan tugasnya demi kepentingan daerah pemilihnya.

(b) Orientasi pada negara atau bangsa.

Wakil rakyat lebih melibatkan diri dengan kebijakan negara yang lebih luas dibanding kepada kepentingan daerah yang sempit. Wakil rakyat lebih melibatkan dirinya dengan kebijakan dan program-program nasional ketimbang daerah pemilihannya.

(2) Orientasi terhadap kelompok kepentingan:

Orientasi wakil rakyat ditujukan terhadap kelompok-kelompok kepentingan:

(a) Fasilitator: wakil rakyat yang berpengetahuan luas mengenai aktivitas kelompok dan memiliki hubungan akrab dan intens terhadap kelompok-kelompok penekan.

(b) Resisters: wakil rakyat yang mengetahui banyak mengenai aktivitas

kelompok-kelompok penekan dan bersikap permusuhan terhadapnya. (c) Neutrals: wakil rakyat yang kurang begitu memahami aktivitas

kelompok penekan dan bersikap tak begitu keras terhadap sikap kelompok-kelompok penekan.


(37)

(3) Orientasi terhadap partai:

(a) Party Man: wakil rakyat yang menganggap tugasnya sebagai

pendukung program partai atau pemimpin partainya, tanpa memandang pendapatnya sendiri.

(b) Maverick: wakil rakyat yang memandang tugasnya sebagai bagian

independen dari program partisan dan melakukan pemungutan suara dengan partai yang lain dengan aturan-aturan tertentu.

(c) Party indifferent: wakil rakyat yang menjauhkan diri/mengelak dari

pendapat pendukung, yang menganggap tugasnya, setelah pemilihan umum, mewakili semua warga negara tanpa memandang partainya. Bagi wakil tersebut, partai kurang begitu penting.

(4) Orientasi terhadap birokrasi:

Orientasi wakil rakyat terhadap eksekutif (gubernur atau presiden) atau terhadap aparat birokrasi.

(a) Orientasi eksekutif: wakil rakyat yang melihat pekerjaannya sebagai juru bicara pejabat eksekutif di lembaga legislatif, yang menganggap tugasnya adalah memperkenalkan program-program presiden atau gubernur, anggaran pertahanan, atau wakil rakyat yang menganggap tugasnya adalah beroposisi dengan eksekutif.

(b) Orientasi terhadap lembaga atau agen: wakil rakyat yang melihat tugasnya sebagai juru bicara atau lawan dari lembaga administrasi atau birokrasi pemerintah.


(38)

(5) Orientasi terhadap cara mewakili:

Orientasi wakil rakyat terhadap cara-cara bagaimana keputusan dibuat, tanpa memandang tentang fokus perwakilannya menyangkut distrik, partai politik, kelompok kepentingan, lembaga administrasi atau kombinasi dari semuanya.

(a) Trustee: wakil yang melihat dirinya sebagai agen yang bebas,

mengambil keputusan menurut prinsip-prinsip, keyakinan/pendirian, dan hati nurani.

(b) Delegate: wakil rakyat yang menganggap bahwa

keputusan-keputusan yang dibuatnya sebaiknya tidak berdasarkan pertimbangan/keyakinan pribadi, tetapi harus dikonsultasikan kepada pemilih, menerima instruksi-instruksi mereka bahkan mengikuti mandat mereka bila terjadi perbedaan dalam pandangan/pendirian. (c) Politico: wakil rakyat yang mengekspresikan baik orientasi trustee

dan orientasi delegasi. (6) Orientasi terhadap tujuan:

Orientasi wakil rakyat terhadap tujuan dan proses dari lembaga legislatif. (a) Ritualis: wakil rakyat yang memandang tugasnya sebagai hal yang

rutin seperti kerja di komisi, membuat aturan dan prosedur dan meningkatkan anggaran belanja negara, dan sebagainya.

(b) Tribune: wakil rakyat yang menganggap tugasnya sebagai penyalur

keinginan warga, membela kepentingan umum, dan melakukan advokasi tuntutan masyarakat.


(39)

(c) Inventor: wakil rakyat yang memandang tugas utamanya adalah

berhubungan dengan pembuatan, perumusan, dan pengenalan kebijakan publik.

(7) Orientasi terhadap struktur:

(a) Expert: wakil rakyat yang memandang dirinya dan dipandang orang

lain, sebagai pakar/ahli yang menguasai keahlian khusus.

(b) Leader: wakil rakyat yang menjalankan fungsi integratif dan

pengarahan, yang memberikan “kunci” bagi prilaku pihak lain.

(c) Comitleeman: wakil rakyat yang mengkonsepsikan peranannya

sebagai anggota komite legislatif atau subkomite.

(d) Friend: wakil rakyat yang mengkonsepsikan peranannya termasuk

hubungan interpersonal berhadapan dengan teman-teman legislatif lainnya.

Dalam proses perwakilan politik, setiap wakil perlu menentukan posisinya terhadap terwakil manakala ia terlibat dalam pengambilan keputusan suatu masalah. Pentingnya penentuan posisi tersebut justru karena sikap dan pilihannya terhadap alternatif pemecahan masalah ataupun terhadap prioritasnya pada dasarnya adalah mengatasnamakan opini, aspirasi dan kepentingan terwakil. Posisi wakil terhadap terwakil tersebut merupakan hakikat dari perwakilan politik itu sendiri.

Sebagai anggota kelompok terpilih di dalam masyarakat, para wakil dapat digolongkan sebagai elite dalam sistem politik. Kekuatan politik, dukungan, formalitas, posisi sosial, moralitas, dan segala atribut yang melekat pada diri wakil


(40)

akan merupakan sumber kekuatan bagi wakil. Derajat akumulatif sumber-sumber itu menentukan tingkat kekuatan dan daya pengaruhnya di dalam masyarakat. Namun demikian, secara analitis perlu dibedakan wakil yang berkapasitas sebagai pemimpin dengan wakil yang hanya berkapasitas sebagai pemangku kewenangan. Karena tidak semua wakil memperoleh legitimasi yang memadai diri terwakil maka wakil seperti itu lebih banyak mengandalkan formalitas dan kedudukannya selaku wakil untuk menunaikan tugasnya. Justru wakil-wakil yang termasuk ke dalam tipe ini lebih dilihat sebagai pemangku kekuasaan daripada pemimpin rakyat.

Apa saja kewajiban wakil terhadap terwakil? Pada dasarnya wakil dituntut, pertama harus memiliki akses terhadap daerah pemilihnya. Wakil mesti banyak meluangkan waktu di dalam daerah pemilihannya, menjawab surat dan telepon dari pemilihnya, dan menggunakan staffnya untuk mempertahankan kontak, bila ia tidak dapat melakukannya secara personal. Ia harus mempublikasikan kemampuan akses yang dimilikinya. Jika wakil tidak memiliki akses terhadap pemilih, maka pemilih tak dapat mengontak wakil-wakilnya dan tidak tahu bagaimana caranya untuk menyampaikan masalah yang dihadapinya.

Kedua, wakil harus aktif mencari informasi sumber-sumber untuk mengetahui kebutuhan dan pandangan-pandangan pemilihnya, mendekati pemilih dan mengakrabi masalah-masalah mereka, seperti perbaikan jalan, perumahan yang tak layak, pengangguran, ketegangan rasial, dan lain sebagainya. Hal ini termasuk akrab dengan kelompok-kelompok yang ada di daerahnya dan pemimpin kelompok-kelompok tersebut, menghadiri pertemuan, mengembangkan


(41)

komunikasi, dengan demikian wakil dapat belajar dan mengevaluasi tuntutan-tuntutan mereka.

Ketiga, wakil diharapkan menjalankan kepemimpinannya, mendidik pemilih dan menjelaskan aktivitas-aktivitasnya. Wakil menjelaskan masalah-masalah dalam berhubungan dengan negara dan distrik serta menjelaskan anggaran yang digunakan. Ia menjelaskan tindakan-tindakannya dan pendapat-pendapatnya pada masalah-masalah tertentu. Ia menginformasikan kepada kelompok-kelompok dan individu-individu mengenai program-program yang bermanfaat bagi mereka (Jewell, 1982: 18-19).

Berdasarkan kerangka teori yang ada, maka disusun sebuah model analisa dalam bentuk bagan. Model analisa tersebut dapat dilihat sebagai berikut:


(42)

1.6. Model Analisa

Tingkat Pendidikan

Gambar 1. Model Analisa

1.7. Definisi Konsep

Pendidikan menunjuk pada tingkat pendidikan yang diselesaikan oleh seseorang. Pengalaman Politik menunjuk pada seberapa lama seseorang ikut serta secara aktif dalam kehidupan politik praktis, seperti menjadi anggota partai politik, organisasi massa, maupun menjadi anggota lembaga legislatif baik di tingkat nasional maupun daerah.

Pengalaman Politik

Arah Orientasi Politik

Latar Belakang Pekerjaan


(43)

Latar Belakang Pekerjaan menunjuk pada jenis pekerjaan yang dimiliki seseorang sebelum dia menjadi anggota lembaga legislatif.

Fraksi adalah pengelompokan anggota lembaga legislatif berdasarkan organisasi politik yang diwakili.

Orientasi Politik adalah pengetahuan, keterlibatan, dan penilaian seseorang terhadap politik.

Arah Orientasi Politik adalah menunjuk pada obyek orientasi politik yang meliputi: orientasi pada pemilih dan orientasi pada partai politik.

1.8. Definisi Operasional

Tingkat Pendidikan, mencakup: 1. Tamat Sekolah Dasar;

2. Tamat Sekolah Menengah Tingkat Pertama (SMTP); 3. Tamat Sekolah Menengah Umum (SMU);

4. Tamat Akademi; 5. Sarjana (S1);

6. Pascasarjana (S2/S3).

Pengalaman Politik, mencakup beberapa indikator yaitu: 1. Lamanya menjadi anggota partai politik;

2. Lamanya menjadi anggota organisasi massa;


(44)

Latar Belakang Pekerjaan, mencakup indikator: jenis pekerjaan ataupun profesi utama sebelum menjadi anggota lembaga legislatif.

Fraksi di DPRD Provinsi Sumatera Utara, mencakup: 1. Fraksi Partai Golkar

2. Fraksi Partai Demokrasi Indonesia-Perjuangan 3. Fraksi Partai Persatuan Pembangunan

4. Fraksi Partai Demokrat

5. Fraksi Partai Amanat Nasional 6. Fraksi Partai Keadilan Sejahtera 7. Fraksi Partai Damai Sejahtera 8. Fraksi Partai Bintang Reformasi 9. Fraksi Gabungan

Arah Orientasi Politik, mencakup indikator:

1. Orientasi Politik yang ditujukan pada pemilih: a. oreintasi distrik (area);

b. orientasi pada negara atau bangsa.

2. Orientasi politik yang ditujukan pada partai politik: a. orientasi partai;


(45)

1.9. Hipotesa

Oleh karena penelitian ini adalah deskriptif analitis, maka hipotesa yang diajukan juga merupakan hipotesa deskriptif, yang terdiri dari:

1. Tingkat pendidikan anggota DPRD Provinsi Sumatera Utara Periode 2004-2009 cenderung mempengaruhi ke arah mana orientasi politik ditujukan; 2. Pengalaman politik anggota DPRD Provinsi Sumatera Utara Periode

2004-2009 cenderung mempengaruhi ke arah mana orientasi politik ditujukan; 3. Latar belakang pekerjaan anggota DPRD Provinsi Sumatera Utara Periode

2004-2009 cenderung mempengaruhi ke arah mana orientasi politik ditujukan; 4. Fraksi di mana anggota DPRD Provinsi Sumatera Utara Periode 1999-2004


(46)

2.1. Lembaga Perwakilan dalam Negara Demokrasi

Istilah demokrasi berasal dari dua kata Yunai, yaitu “demos” artinya rakyat dan “kratia” artinya pemerintahan. Jadi, demokrasi adalah pemerintahan “dari rakyat untuk rakyat” atau “pemerintahan oleh mereka yang diperintah”. Ini sejalan dengan pernyataan yang pernah dikemukakan oleh Abraham Lincoln bahwa democray is a

government from the poeple, for the poeple, by the poeple.

Awalnya, sistem pemerintahan demokrasi terdapat di negara-kota (city-state) Yunani Kuno, antara abad ke-6 sampai abad ke-3 SM. Pada saat itu, sistem pemerintahannya merupakan demokrasi langsung atau direct democracy yaitu merupakan bentuk pemerintahan di mana hak untuk membuat keputusan-keputusan politik dijalankan secara langsung oleh seluruh negara yang berdasarkan prosedur mayoritas.

Sifat langsung dari demokrasi Yunani dapat diselenggarakan secara efektif karena berlangsung dalam kondisi yang sederhana, wilayahnya terbatas, dan jumlah penduduknya sedikit. Lagi pula, ketentuan-ketentuan demokrasi hanya berlaku untuk warga negara resmi, yang hanya merupakan bagian kecil saja dari penduduk. Untuk mayoritas yang hanya terdiri dari budak belian dan pedagang asing demokrasi tidak berlaku. Dalam negara modern, demokrasi tidak lagi bersifat langsung tetapi


(47)

demokrasi berdasarkan perwakilan atau representative democracy (Budiardjo, 1981:61).

Menurut International Commission of Jurist, demokrasi berdasarkan perwakilan (representative democracy) adalah suatu bentuk pemerintahan di mana hak untuk membuat keputusan-keputusan politik diselenggarakan oleh warga negara melalui wakil-wakil yang dipilih oleh mereka dan yang bertanggung jawab kepada mereka melalui suatu proses pemilihan yang bebas.

Dalam bukunya, Introduction to Democracy Theory, Henry B. Mayo menyatakan bahwa sistem politik yang demokratis adalah sistem politik di mana kebijaksanaan umum ditentukan atas dasar mayoritas oleh wakil-wakil yang diawasi secara efektif oleh rakyat dalam pemilihan-pemilihan berkala, yang didasarkan atas prinsip kesamaan politik dan diselenggarakan dalam suasana terjaminnya kebebasan politik.

Selanjutnya Mayo mengutarakan beberapa nilai yang mendasari demokrasi (Mayo, 1960: 70):

1. Menyelesaikan perselisihan dengan damai dan secara melembaga. Dalam setiap masyarakat terdapat perselisihan pendapat serta kepentingan yang dalam alam demokrasi dianggap wajar untuk diperjuangkan. Perselisihan-perselisihan ini harus dapat diselesaikan melalui perundingan serta dialog terbuka dalam usaha untuk mencapai konsensus. Kalau golongan-golongan yang berkepentingan tidak mampu untuk mencapai kompromi, maka ada bahaya bahwa keadaan semacam


(48)

ini sakan mengundang kekuatan-kekuatan dari luar untuk campur tangan dan memaksakan dengan kekerasan tercapainya kompromi. Dalam rangka ini, dapat dikatakan bahwa setiap pemerintah mempergunakan persuasi dan paksaan. Dalam beberapa negara perbedaan antara dukungan yang dipaksakan dan dukungan yang diberikan secara sukarela hanya terletak pada intensitas dari pemakaian paksaan dan persuasi.

Intensitas ini diukur misalnya dengan memperhatikan betapa sering kekuasaan dipakai, saluran apa yang tersedia untuk mempengaruhi orang lain atau untuk mengadakan perundingan dan dialog.

2. Menjamin terselenggaranya perubahan secara damai dalam suatu masyarakat yang sedang berubah. Dalam setiap masyarakat yang memodernisasikan diri terjadi perubahan sosial yang disebabkan oleh faktor-faktor seperti kemajuan teknologi, perubahan-perubahan dalam pola kepadatan penduduk, perdagangan dan sebagainya. Pemerintah harus dapat menyesuaikan kebijaksanaannya kepada perubahan-perubahan ini, dan sedapat mungkin membinanya jangan sampai tidak terkendalikan lagi. Sebab kalau hal ini terjadi ada kemungkinan sistem demokrasi tidak dapat berjalan sehingga timbul sistem diktatur.

3. Menyelenggarakan pergantian sistem pimpinan secara teratur. Pergantian atas dasar keturunan atau dengan jalan mengangkat diri sendiri ataupun melalui kudeta dianggap tidak wajar dalam suatu demokrasi.


(49)

4. Membatasi pemakaian kekerasan sampai minimum. Golongan-golongan minoritas yang sedikit banyak akan kena paksaan akan lebih menerimanya kalau diberi kesempatan untuk turut serta dalam diskusi-diskusi yang terbuka dan kreatif. Mereka akan lebih terdorong untuk memberikan dukungan sekalipun bersyarat karena merasa turut bertanggung jawab.

5. Mengakui serta menganggap wajar adanya keanekaragaman dalam masyarakat yang tercermin dalam keanekaragaman pendapat, kepentingan serta tingkah laku. Untuk hal ini, perlu terselenggaranya suatu masyarakat terbuka serta adanya kebebasan politik di mana terdapat fleksibilitas dan tersedianya alternatif yang cukup banyak. Akan tetapi, keanekaragaman perlu dijaga jangan sampai melampaui batas, sebab di samping keanekaragaman diperlukan juga persatuan serta integrasi.

6. Menjamin tegakknya keadilan. Dalam negara demokrasi umumnya pelanggaran terhadap keadilan tidak akan sering terjadi karena golongan-golongan terbesar diwakili dalam lembaga-lembaga perwkailan, tetapi tidak dapat dihindarkan bahwa beberapa golongan akan merasa diperlakukan tidak adil. Maka yang dapat dicapai secara maksimal ialah suatu keadilan yang relatif.

Akhirnya, dapat diuraikan di sini bahwa untuk melaksanakan nilai-nilai demokrasi perlu diselenggarakan beberapa lembaga sebagai berikut (Budiardjo, 1981:63).


(50)

1. Pemerintahan yang bertanggung jawab.

2. Suatu dewan perwakilan rakyat yang mewakili golongan-golongan dan kepentingan-kepentingan dalam masyarakat, dan yang dipilih melalui pemilihan umum yang bebas dan rahasia atas dasar sekurang-kurangnya dua calon setiap kursi. Dewan perwakilan ini mengadakan pengawasan (fungsi controlling) , memungkinkan oposisi yang konstruktif dan memungkinkan penilaian terhadap kebijaksanaan pemerintah secara berkesinambungan.

3. Suatu organisasi politik yang mencakup dua atau lebih partai politik. Partai-partai menyelenggarakan hubungan yang berkesinambungan antara masyarakat umumnya dengan pemimpin-pemimpinnya.

4. Pers dan media massa yang bebas untuk menyatakan pendapat.

5. Sistem peradilan yang bebas untuk menjamin hak-hak azasi dan mempertahankan keadilan.

Syarat-syarat dasar untuk terselenggaranya pemerintah yang demokratis di bawah rule of law adalah (Budiardjo, 1981:60):

1. Perlindungan konstitusional, dalam arti bahwa konstitusi selain menjamin hak-hak individual juga harus menentukan pula cara prosedural untuk memperoleh perlindungan atas hak-hak yang dijamin;

2. Badan kehakiman yang bebas dan tidak memihak; 3. Pemilihan umum yang bebas;


(51)

5. Kebebasan untuk berserikat/berorganisasi dan beroposisi; 6. Pendidikan kewarganegaraan.

Pentingnya lembaga perwakilan rakyat di dalam negara demokrasi dijelaskan amat baik oleh Mohammad Hatta (dalam Lubis, 1994). Menurut Hatta, pada awalnya, lembaga perwakilan rakyat tidak dapat dipisahkan dari gagasannya mengenai negara demokrasi yang bertolak dari konsep kerakyatan dan kedaulatan rakyat. Menurut Hatta, kedaulatan itu tidak pada raja dan tidak pula pada segolongan kaum hartawan yang terkecil atau kaum] cerdik pandai, melainkan pada rakyat. Karena itu, dalam bayangannya, suatu badan perwakilan haruslah merupakan pilihan rakyat, dan wakil-wakil rakyat tersebut memilih kemudian anggota-anggota pemerintahan (menteri-menteri).

Menurut Robert Dahl, demokrasi bertalian dengan sistem pemerintah yang mutlak memenuhi 3 persyaratan yaitu adanya kompetisi yang luas dan bermakna di antara orang-orang dan kelompok-kelompok terutama partai-partai politik untuk duduk dan menjalankan pemerintahan; adanya tingkat partisipasi politik yang tinggi melibatkan masyarakat dalam memilih pemimpin dan kebijaksanaan melalui pemilihan umum yang bebas secara berkala; dan adanya tingkat kebebasan sipil dan politik yang memungkinkan kebebasan menyatakan pendapat, kebebasan pers dan kebebasan berserikat (Dahl: 1961).

Melengkapi Dalh, seorang penulis konservatif, Michel Novack, menyebutkan bahwa kebebasan berserikat, sistem peradilan yang bebas dan mandiri, pengakuan


(52)

atas hak milik pribadi (property right), adanya rezim hukum yang melarang negara mencampuri hal-hal yang menyangkut martabat manusia (human dignity), sistem pemilihan umum yang fair, serikat buruh yang bebas, keadaan partai-partai, oposisi loyal dan pemerintahan yang berdasarkan hukum atau rule of law (dalam Dahl, 1961:27).

Dalam Ilmu Politik, perwakilan mengenal 7 prinsip utama:

1. Rakyat secara bebas dan berkala (periodik) memilih lembaga perwakilan. 2. Orang yang memerintah bertanggung jawab terhadap orang yang diperintah. 3. Orang yang memerintah merupakan agen atau delegasi yang melakukan perintah

dari pemilih-pemilihnya.

4. Rakyat merasa sama dengan negara.

5. Rakyat mempunyai bagian dalam pembuatan keputusan.

6. Orang yang memerintah adalah wakil dari orang yang diperintah.

James Lee mengelompokkan faktor-faktor yang mempengaruhi proses legislatif menjadi tiga, yaitu (dalam Rourke, 1975:156-175):

1. Stimuli eksternal, yang mencakup afiliasi partai politik, kepentingan pemilih, input-input eksekutif, dan aktivitas kelompok-kelompok penekan.

2. Setting psikologis, yaitu predisposisi-predisposisi personal, sikap, dan peran-peran yang dijalankan, serta harapan-harapannya. Faktor ini penting karena potensinya untuk menyaring dan mengubah pengaruh eksternal.


(53)

3. Komunikasi intra-institusional, baik yang bersifat formal maupun informal, termasuk kemungkinan hubungan-hubungan patronase di dalamnya. Bentuk-bentuk komunikasi ini mempunyai potensi untuk menggantikan atau memperbesar pengaruh faktor-faktor lain yang telah disebutkan.

Dengan demikian, berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan bahwa dalam kedaulatan rakyat dengan perwakilan atau demokrasi dengan perwakilan (representative democracy), atau demokrasi tidak langsung (indirect democracy), yang menjalankan kedaulatan itu adalah wakil-wakil rakyat (Kusnardi & Ibrahim, 1980:307).

2.2. Sistem Perwakilan dan Cara Pemilihan

Pemilihan umum adalah salah satu cara untuk menempatkan wakil-wakil rakyat yang akan duduk dalam lembaga perwakilan rakyat. Sistem pemilihan umum berbeda satu sama lain, tergantung dari sudut mana pandangan ditujukan terhadap rakyat. Apakah ia dipandang sebagai individu yang bebas untuk menentukan pilihannya, dan sekaligus mencalonkan dirinya sebagai calon wakil rakyat, ataukah rakyat hanya dipandang sebagai anggota kelompok yang sama sekali tidak berhak menentukan siapa wakilnya yang akan duduk dalam lembaga perwakilan rakyat, atau juga tidak berhak untuk mencalonkan diri sebagai wakil rakyat.

Sering para ahli menyebutkan bahwa kadar keterwakilan (representation) ditentukan oleh pembentukan lembaga perwakilannya, apakah melalui pemilihan


(54)

umum atau melalui pengangkatan. Semakin dominan perwakilan berdasarkan hasil pemilu, makin tinggi kadar keterwakilannya dan sebaliknya semakin dominan pengangkatan semakin randah kadar keterwakilannya (Saragih, 1981: 88).

Secara teoritis, sesorang yang duduk dalam lembaga perwakilan melalui pemilihan umum, sifat perwakilannya disebut perwakilan politik (political

representation). Sedangkan orang-orang yang diangkat menjadi anggota lembaga

perwakilan didasarkan pada fungsi/jabatan atau keahlian, sifat perwakilannya disebut perwakilan fungsional (functional representation) (Saragih, 1981: 87-88).

Negara modern dikuasai oleh bermacam-macam kepentingan ekonomis, yang dalam sistem perwakilan politik sama sekali tidak dihiraukan dan tidak dilibatkan dalam proses politik sehingga diusahakan agar dilengkapi dengan azas perwakilan fungsional, di mana Hogan menyebutnya dnegan occupational representation (Hogan, 1945:ch XII).

Sistem pemilihan umum dapat dibedakan menjadi dua macam, yaitu: 1. Sistem Pemilihan Mekanis

Pandangan mekanis menempatkan rakyat sebagai suatu massa individu-individu yang sama. Aliran Liberalisme, Sosialisme, dan Komunisme semuanya berdasarkan pandangan mekanis ini. Bedanya bahwa Liberalisme mengutamakan individu sebagai kesatuan otonom dan memandang masyarakat sebagai sesuatu yang kompleks terhadap hubungan-hubungan antar individu yang bersifat kontraktual, sedangkan Sosialisme dan khususnya Komunisme mengutamakan


(55)

totalitet kolektif masyarakat dan mengecilkan peranan individu dalam totalitet kolektif itu. Tetapi, semua aliran di atas mengutamakan individu sebagai pengengali hak pilih aktif dan memandang rakyat (pemilih) sebagai suatu massa individu-individu yang masing-masing mengeluarkan satu suara dalam setiap pemilihan.

2. Sistem Pemilihan Organis

Pandangan organis menempatkan rakyat sebagai sejumlah individu-individu yang hidup berdasarkan: genealogis (rumah tangga, keluarga), fungsi tertentu (ekonomi, industri), lapisan-lapisan sosial (buruh, tani, cendekiawan) dan lembaga-lembaga sosial (universitas). Masyarakat dipandang sebagai organisme yang terdiri atas organ-organ yang mempunyai kedudukan dan fungsi tertentu dengan totalitas organisme tersebut. Berdasarkan pandanga ini, persekutuan-persekutuan hidup itulah yang diutamakannya sebagai pengendali hak pilih, atau dengan perkataan lain sebagai pengendali hak untuk mengutus wakil-wakil di lembaga perwakilan rakyat.

Menurut sistem pemilihan mekanis, partai-partai yang mengorganisir pemilih-pemilih dan memimpin pemilih-pemilih berdasarkan sistem dwi-partai dan banyak partai. Sedangkan, menurut sistem pemilihan organis, partai-partai politik tidak perlu dikembangkan, karena pemilihan diselenggarakan dan dipimpin oleh tiap-tiap persekutuan hidup dalam lingkungannya sendiri.


(56)

Dalam sistem pemilihan mekanis, wakil-wakil yang duduk di lembaga perwakilan rakyat langsung dipilih, dan dalam sistem organis wakil-wakil berdasarkan pengangkatan.

Pelaksanaan Sistem Pemilihan Mekanis

Dinamakan sistem distrik karena, wilayah negara dibagi dalam distrik-distrik pemilihan (daerah-daerah pemilihan) yang jumlahnya sama dengan jumlah anggota lembaga perwakilan rakyat yang dikehendaki. Umpanya jumlah anggota lembaga perwakilan rakyat ditentukan 500 orang, maka wilayah negara dibagi dalam 500 distrik pemilihan (daerah pemilihan, atau constituences). Jadi, setiap distrik pemilihan diwakili oleh satu orang wakil di Dewan Perwakilan Rakyat. Karena itu, dinamakan sistem pemilihan distrik, atau single member constituences. Sistem ini juga dinamakan sistem mayoritas, karena untuk menentukan siapa-siapa yang dipilih sebagai wakil rakyat dari suatu distrik ditentukan oleh siapa yang memperoleh suara terbanyak (suara mayoritas) dan tidak perlu mayoritas mutlak. Misalnya di distrik I, calon A memperoleh suara 10.000, B memperoleh suara 7.500, C memperoleh 9.000, maka yang terpilih menjadi wakil rakyat dari distrik I di lembaga perwakilan rakyat adalah A. Jadi, tiap distrik diwakili oleh satu orang yang memperoleh suara mayoritas.

Pemilihan umum dilakukan sekali jalan, suara-suara yang tidak terpilih dari suatu distrik pemilihan, tidak dapat digabungkan dengna suara yang diperoleh oleh


(57)

distrik pemilihan yang lain. Ini berarti, bahwa setiap suara yang tidak mencapai mayoritas, yang juga berarti bahwa calon yang dipilih tidak terpilih, suara tersebut tidak dihitung atau hilang.

Sisi positif dari sistem ini adalah sebagai berikut:

1. Setiap calon dari suatu distrik pemilihan, biasanya adalah warga distrik tersebut atau mungkin juga dari distrik lain, tetapi yang pasti bahwa orang tersebut dikenal secara baik oleh warga distrik yang bersangkutan. Dengan demikian, hubungan antara para pemilih dengan para calon sangat erat, sebab bagi para pemilih, tentu saja calon yang terpilih adalah warga atau orang yang sudah cukup lama tinggal di dalam distrik tersebut, maka dia dapat mengetahui kepentingan-kepentingan dan keadaan distrik yang diwakilinya.

2. Suara-suara yang diberikan kepada calon yang tidak terpilih tidak dapat digabungkan dengan suara dari distrik pemilihan yang lain, maka sebagai akibatnya sistem ini mempunyai kecenderungan untuk menjadi penyederhanaan partai. Ini disebabkan bagi partai politik yang kalah di suatu distrik, akan memperhitungkan kekuatannya untuk pemilihan umum berikutnya. Apabila perbedaan jumlah suara dengan parati politik atau calon yang terpilih sangat jauh, maka partai politik tersebut terpaksa mencari penggabungan dengan partai politik yang lain, sebab kalau dipaksa terus ikut dalam pemilihan umum berikutnya, sudah dapat dipastikan bahwa partai tersebut akan mengalami kekalahan lagi.


(58)

3. Pelaksanaan sistem tersebut sangat sederhana, karena perhitungan suaranya tidak berbelit-belit, sehingga anggaran bisa ditekan.

4. Calon yang terpilih akan memperjuangkan dengan sungguh-sungguh kepentingan distrik yang diwakilinya. Sebab itu, para pemilih, calon yang akan dipilih adalah mereka yang betul-betul dapat memperjuangkan kepentingan daerahnya. Hal ini juga membawa konsekuensi bahwa daerah-daerah lebih mendapat perhatian. Terjadi hubungan timbal balik antara wakil dan warga dari distrik tersebut.

Agar sistem distrik dapat berjalan dengan baik, maka diperlukan suatu kondisi masyarakat yang memungkinkan beroperasinya sistem tersebut. Kondisi yang umum untuk itu adalah bahwa rakyat telah mencapai tahap kedewasaan tertentu. Tingkat kedewasaan rakyat ini dapat diukur dengan dua tolok ukur.

Pertama, tingkat rasionalitas. Tingkat rasionalitas menentukan kemampuan rakyat di dalam menjatuhkan pilihan terhadap berbagai calon yang saling bersaing di distrik mereka. Dengan tingkat rasionalitas yang tinggi, masyarakat dapat memilih diantara program-program partai yang ditawarkan oleh masing-masing calon.

Kedua, tingkat kesadaran politik. Masyarakat pemilih yang mempunyai tingkat kesadaran politik yang tinggi akan dapat memilih ikatan-ikatan ideologis dari program yang diajukan kepadanya. Dengan kata lain, calon dipilih bukan karena kesamaan ideologi, melainkan karena program yang ditawarkannya. Juga dengan kesadaran politik yang tinggi, masyarakat dapat menilai perilaku partai yang diwakili oleh seorang calon (Sjamsuddin, 1993:144).


(59)

Menurut Ramlan Surbakti, ada empat kondisi yang harus dipenuhi untuk dapat menerapkan sistem distrik (Surbakti, 1995:15). Pertama, distribusi jumlah pemilih untuk setiap distrik (daerah pemilihan) relatif seimbang, dan penetapan batas wilayah distrik relatif adil. Kedua, bangsa-negara yang bersangkutan telah mempunyai seperangkat nilai tentang kebaikan bersama (public good) sehingga peserta pemilu pada dasarnya tidak lagi memiliki perbedaan ideologi yang tajam, melainkan hanya perbedaan dalam titik berat program saja. Ketiga, tidak terdapat suatu golongan etnis, ras atau agama yang secara jumlah merupakan mayoritas menguasai partai tertentu. Keempat, para pemilih dan kandidat wakil rakyat saling mengenal. Para pemilih mengetahui dengan jelas kepada siapa harus menyampaikan tuntutan dan dukungan, sedangkan kandidat mengetahui kepada siapa harus bertanggung jawab.

Kelemahan Sistem Distrik

1. Kemungkinan akan terjadi bahwa wakil-wakil rakyat yang duduk di lembaga perwakilan hanya akan memperjuankan kepentingan daerahnya.

2. Penentuan pemenang didasarkan kepada siapa yang akan memperoleh suara terbanyak, sudah tentu suara yang tidak terpilih menjadi hilang, maka sudah dapat dipastikan bahwa golongan minoritas tidak akan pernah terwakili di lembaga perwakilan rakyat.


(60)

3. Sistem ini kurang memperhitungkan adanya partai-partai kecil dan golongan minoritas, apalagi jika golongan ini terpencar dalam beberapa distrik.

Sistem Perwakilan Proporsional

Sistem perwakilan proporsional ialah sistem di mana persentase kursi di lembaga rakyat yang dibagikan kepada tiap-tiap partai politik, disesuaikan dengan persentase jumlah suara yang diperoleh tiap-tiap partai politik itu.

Dalam sistem ini setiap suara dihitung, dalam arti bahwa suara lebih yang diperoleh suatu partai atau golongan dalam sesuatu daerah pemilihan dapat ditambahkan pada jumlah suara yang diterima oleh partai atau golongan itu dalam daerah pemilihan lain, untuk menggenapkan jumlah suara yang diperlukan guna memperoleh kursi tambahan.


(61)

3.1. Bentuk Penelitian

Penelitian ini merupakan penelitian deskriptif analitis, karena berusaha mendeskripsikan secara detail orientasi politik anggota DPRD Provinsi Sumatera Utara Periode 2004-2009 yang nantinya akan dikategorisasikan ke dalam beberapa tipe perwakilan politik berdasarkan arah orientasi politiknya.

3.2. Populasi dan Sampel

Populasi dalam penelitian ini adalah individu-individu yang tercatat sebagai anggota DPRD Provinsi Sumatera Utara Periode 2004-2009 sebanyak 85 orang. Dari 85 anggota DPR Provinsi Sumatera Utara tersebut terbagi dalam 9 fraksi, yakni: 1. Fraksi Partai Golkar sebanyak 19 anggota

2. Fraksi PDI-P sebanyak 12 anggota

3. Fraksi Partai Persatuan Pembangunan sebanyak 11 anggota 4. Fraksi Partai Demokrat sebanyak 10 anggota

5. Fraksi Partai Keadilan Sejahtera sebanyak 8 anggota 6. Fraksi Partai Amanat Nasional sebanyak 8 anggota 7. Fraksi Partai Damai Sejahtera sebanyak 7 anggota 8. Fraksi Bintang Reformasi sebanyak 5 anggota


(62)

9. Fraksi Gabungan sebanyak 5 anggota

Pengambilan sampel dilakukan dengan teknik proportional random sampling. Proporsinya berdasarkan fraksi-fraksi yang ada, sedangkan sampel yang diambil adalah 25 persen dari jumlah populasi. Sehingga, jumlah sampelnya adalah 22 orang dengan pertimbangan melihat daftar riwayat hidup dengan mengklasifikasikannya berdasarkan tingkat pendidikan, pengalaman politik, dan latar belakang pekerjaan dengan perincian sebagai berikut:

1. Fraksi Partai Golkar sebanyak 5 orang

2. Fraksi Partai Demokrasi Indonesia-Perjuangan sebanyak 3 orang 3. Fraksi Partai Persatuan Pembangunan sebanyak 3 orang

4. Fraksi Partai Demokrat sebanyak 3 orang

5. Fraksi Partai Keadilan Sejahtera sebanyak 2 orang 6. Fraksi Partai Amanat Nasional sebanyak 2 orang 7. Fraksi Partai Damai Sejahtera sebanyak 2 orang 8. Fraksi Bintang Reformasi sebanyak 1 orang 9. Fraksi Gabungan sebanyak 1 orang


(63)

3.3. Sumber Data (a) Data Primer

Data Primer yang diperoleh terbagi ke dalam beberapa kelompok sebagai berikut: (a.1.) Survey dilakukan untuk memperoleh data melalui wawancara langsung

dengan responden.

(a.2.) Observasi dilakukan untuk memperoleh data melalui hasil pengamatan terhadap beberapa peristiwa penting seperti: sidang komisi, dengar pendapat dan pengaduan yang disampaikan rakyat secara langsung.

(a.3.) Wawancara mendalam dilakukan untuk menggali beberapa peristiwa yang dipandang penting untuk menjawab pertanyaan penelelitian serta menemukan pola-pola model analisis dari penelitian ini.

(b) Data Sekunder

Data sekunder yang diperoleh terbagi ke dalam beberapa kelompok: (b.1.) Klipping dari berbagai surat kabar dan majalah.

(b.2.) Peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan penelitian ini.

3.4. Teknik Pengumpulan Data (a) Wawancara (interview)

Wawancara di dalam penelitian ini dilakukan secara langsung. Responden diminta menjawab item-item pertanyaan yang ada dalam kuesioner.


(64)

(b)Pengamatan (observasi)

Teknik ini digunakan untuk melengkapi teknik pertama dan kedua, agar data yang terkumpul benar-benar dapat dipertanggungjawabkan dan lebih lengkap untuk kepentingan analisa.

3.5. Teknik Analisa Data

Setelah semua data kuantitatif masuk, maka akan ditempuh beberapa langkah analisa data seperti, editing, membuat tabulasi, tabel frekuensi, dan tabel silang. Untuk data kualitatif berupa hasil wawancara mendalam akan disusun dan nantinya dipaparkan sebagai pendukung analisa kuantitatif.


(65)

4.1. Kilas Balik Pemilihan Umum 2004 di Sumatera Utara

Pelaksanaan Pemilihan Umum 2004 yang berlangsung pada April 2004 lalu merupakan pengalaman baru bagi masyarakat Indonesia. Hasil pemilu tersebut adalah periodesasi keanggotaan Dewan terpilihlah, dengan masa bakti 2004-2009, 85 legislator yang kini duduk di DPRD Provinsi Sumatera Utara. Substansi Pemilihan Umum 2004 ini berbeda dari sebelumnya dan menunjukkan perbedaan yang sangat signifikan. Untuk menggelar pesta demokrasi tersebut sudah memberikan dampak yang nyata bagi masyarakat. Namun demikian, segudang persoalan masih terus mendera masyarakat, meskipun masyarakat telah memiliki wakilnya di lembaga legislatif dan bahkan memilih Presiden secara langsung yang menjadi pengalaman pertama masyarakat di Indonesia.

Tidak hanya masyarakat, bagi pemerintah sekalipun pelaksanaan Pemilihan Umum 2004 merupakan pengalaman pertama. Dengan undang-undang yang baru dan instrumen pelaksana yang juga baru. Tidak terlepas dari kondisi masyarakat Sumatera Utara yang merupakan bagian dari masyarakat di Indonesia. Tetapi, pengalaman pertama menggelar pemilu dengan model sistem proporsional semi terbuka tersebut menjadi pengalaman pertama. Pemilu 2004 merupakan pemilihan umum yang demokratis setelah Orde Baru yang meletakkan rakyat sebagai pemilik negara.


(66)

Keberhasilan itu sekaligus menjawab anggapan sebagian kalangan yang mengatakan bahwa masyarakat tidak siap dengan pemilu langsung. Kenyataannya, masyarakat ternyata siap untuk memilih presiden dan wakilnya secara langsung. Masyarakat juga siap ketika disodorkan bebagao lambang partai politik dan sederatan nama calon legislatif di kertas suara ketika mencoblos tanda gambar dan orang pada Pemilu 2004 lalu.

Keberhasilan pada pengalaman pertama pelaksanaan pemilu juga memberikan segudang pelajaran yang berharga buat masyarakat dan pemerintah pelaksana pemilu. Berbagai bentuk kekurangan dan pelanggaran yang terjadi merupakan catatan penting untuk lebih mensukseskan pemilu-pemilu selanjutnya. Di Sumatera Utara sediri, berbagai kekurangan dan persoalan pemilu dipaparkan secara gamblang oleh KPU Sumatera Utara dan Panitia Pengawas Pemilu (Panwaslu) yang aktif memantau pelaksanaan pemilu di Sumatera Utara. KPU setidaknya memberikan catatan penting dalam evaluasi pelaksanaan pemilu1.

Berbadai catatan penting persoalan pemilu yang terjadi di Sumatera Utara menjadi pelajaran ke depan bagi pemerintah untuk lebih baik di masa-masa yang akan datang.

1

Tentang evaluasi Pemilu 2004, lihat Evaluasi Pemilu 2004 yang merupakan prosiding workshop yang dilaksanakan oleh KPU Provinsi Sumatera Utara.


(67)

4.2. DPRD Provinsi Sumatera Utara Periode 2004-2009

Pemilu 2004 di Sumatera Utara telah menghasilkan 85 legislator yang kini duduk di DPRD Provinsi Sumatera Utara. Terlepas dari semua kekurangan yang harus diperbaiki dan prestasi yang lebih baik lagi, masyarakat Sumatera Utara telah memilikii wakil-wakilnya di DPRD Provinsi Sumatera Utara. Hasil perhitungan suara pemilu legislatif di Sumatera Utara telah menghantarkan 85 anggota dewan yang berasal dari berbagai partai. Ada 14 partai yang memiliki wakilnya di DPRD Provinsi Sumatera Utara. Kini, keseluruhan para legislator di DPRD Provinsi Sumatera Utara berhimpun dalam fraksi-fraksi yang ada di DPRD Provinsi Sumatera Utara. Adapun ke-14 partai yang memiliki wakil di DPRD Provinsi Sumatera Utara, yaitu:

Tabel 2. Partai yang Memiliki Wakil di DPRD Provinsi Sumatera Utara

No. Partai Jumlah Kursi

1. Partai Golkar 19 kursi

2. Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI-P) 13 kursi 3. Partai Persatuan Pembangunan (PPP) 11 kursi 4. Partai Demokrat (PD) 10 kursi 5. Partai Keadilan Sejahtera (PKS) 8 kursi 6. Partai Amanat Nasional (PAN) 8 kursi 7. Partai Damai Sejahtera (PDS) 6 kursi 8. Partai Bintang Reformasi (PBR) 5 kursi 9. Partai Bulan Bintang (PBB) 3 kursi 10. Partai Perhimpunan Indonesia Baru 1 kursi 11. Partai Buruh Sosial Demokrat (PPIB) 1 kursi 12. Partai Patriot Pancasila (PP) 1 kursi

13. Partai Pelopor 1 kursi

14. Partai Nasional Benteng Kemerdekaan (PNBK) 1 kursi Sumber: Kantor Sekwan DPRD Provinsi Sumatera Utara, 2004.

Sebagaimana amanat UU, seluruh anggota DPRD Provinsi Sumatera Utara kemudian berhimpun dalam fraksi-fraksi yang merupakan pengelompokkan anggota


(68)

DPRD berdasarkan partai politik yang memperoleh kursi sesuai dengan jumlah yang diresmikan.

4.3. Kedudukan, Fungsi, Tugas, dan Wewenang DPRD 1. Kedudukan

DPRD merupakan Lembaga Perwakilan Rakyat yang berkedudukan sebagai Lembaga Pemerintahan Daerah Provinsi. DPRD sebagai unsur Lembaga Pemerintahan Daerah memiliki tanggung jawab yang sama denga pemerintah daerah dalam membentuk Peraturan Daerah untuk kesejahteraan rakyat.

2. Fungsi DPRD

a. Fungsi legislasi yang diwujudkan dalam membentuk peraturan daerah bersama Kepala Daerah

b. Fungsi anggaran yang diwujudkan dalam menyusun dan menetapkan APBD bersama pemerintah daerah

c. Fungsi pengawasan yang diwujudkan dalam bentuk pengawasan terhadap pelaksanaan undang-undang, peraturan dareah, keputusan kepala daerah dan kebijakan yang ditetapkan oleh pemerintah daerah.


(1)

125

Tabel 39 menunjukkan hubungan antara asal partai politik atau fraksi seorang anggota DPRD dengan sikap/kemandirian mereka mengenai keharusan izin dalam menjalankan tugas-tugas mereka. Dari Tabel tersebut terlihat sikap diantara fraksi-fraksi tersebut kurang begitu kelihatan. Msing-masing anggota fraksi-fraksi betapapun persentasenya yang berbeda, memiliki kecenderungan kurang setuju bila semua atau tindakan mereka dalam menjalankan tugas-tugas harus seizin organisasi induk. Sebab sikap organisasi induk terlalu kaku, akan mengurangi daya kreativitas anggota masing-masing organisasi sosial politik tersebut.

Tabel 40. Hubungan Antara Fraksi dan Pendapat Bahwa Tugas Anggota DPRD Harus Sejalan dengan Organisasi Induk

Fraksi Tindakan Harus Sejalan Organisasi Induk FPG N % FPDIP N % FPPP N % FPD N % FPAN N % FKS N % FPDS N % FBR N % FG N % Total Setuju 4 (80,00) 2 (66,67) 2 (66,67) 3 (100,00) 1 (50,00) 2 (100,00) 2 (100,00) 1 (100,00) 1 (100,00) 18 (81,82) Kurang Setuju 1

(20,00) 1 (33,33) 1 (33,33) 0 (00,00) 1 (50,00) 0 (50,00) 0 (50,00) 0 (00,00) 0 (00,00) 4 (22,09) Tidak Setuju 0

(00,00) 0 (00,00) 0 (00,00) 0 (00,00) 0 (00,00) 0 (00,00) 0 (00,00) 0 (00,00) 0 (00,00) 0 (00,00) J u m l a h 5

(100,00) 3 (100,00) 3 (100,00) 3 (100,00) 2 (100,00) 2 (100,00) 2 (100,00) 1 (100,00) 1 (100,00) 22 (100,00)

Sumber: Kuesioner penelitian jawaban pertanyaan no.2 dan 48, 2006

Tabel 40 menunjukkan bahwa betapapun anggota DPRD masing-masing fraksi kurang setuju bila setiap tindakan harus seizin partai induknya, namun mayoritas mereka berpendapat bahwa semua atau setiap tindakan mereka sebaiknya sejalan dengan rambu-rambu yang ditetapkan oleh Dewan Pengurus Daerah atau Dewan Pengurus Wilayah masing-masing partai politiknya. Hanya ada 4 anggota dari


(2)

FPG, FPDIP, FPPP dan FPAN yang menunjukkan siakap agak longgar mengenai masalah ini.

Tabel 41. Hubungan Antara Fraksi dan Pendapat tentang Fungsi Utama DPRD Fraksi Pendapat tentang Fungsi Utama DPRD FPG N % FPDIP N % FPPP N % FPD N % FPAN N % FKS N % FPDS N % FBR N % FG N % Total Mitra Pemerintah 2 (20,00) 1 (33,33) 1 (33,33) 1 (33,33) 1 (50,00) 1 (50,00) 1 (50,00) 0 (00,00) 1 (100,00) 9 (40,90) Pengawas Pemerintah 3 (40,00) 2 (66,67) 2 (66,67) 2 (66,67) 1 (50,00) 1 (50,00) 1 (50,00) 1 (100,00) 0 (00,00) 13 (59,10) J u m l a h 5

(100,00) 3 (100,00) 3 (100,00) 3 (100,00) 2 (100,00) 2 (100,00) 2 (100,00) 1 (100,00) 1 (100,00) 22 (100,00)

Sumber: Kuesioner penelitian jawaban pertanyaan no.2 dan 57, 2006

Tabel 41 menunjukkan hubungan antara asal partai politik atau fraksi dengan pendapat mengenai fungsi utama DPRD Provinsi Sumatera Utara. Dari Tabel tersebut nampak bahwa FPDIP menganggap bahwa posisi DPRD adalah sebagai pengawas pemerintah. Anggota FPDIP yang menganggap DPRD sebagai mitra pemerintah lebih sedikit dari para yang menganggap bahwa DPRD sebagai pengawas pemerintah. Pendapat ini tentu saja berkaitan dengan Gubernur Provinsi Sumatera yang juga berasal dari PDI-P, namun dalam anggapan anggota DPRD, yang berjumlah 2 orang atau (66,67%) fungsi pengawasan terhadap pemerintah perlu dilakukan. Artinya bahwa ada anggota FPDIP melakukan kreativitas politik yang tidak selalu berhubungan dengan arahan partai atau fraksi.

Begitu jug dengan anggota-anggota DPRD dari FPG, FPAN, dan FPD dari jawaban responden menyatakan bahwa DPRD sebaiknya menerapkan fungsi


(3)

127

tersebut menunjukkan bahwa sedikit keterkaitan antara asal partai politik dengan orientasi mereka mengenai posisi DPRD.


(4)

Alfian & Nazaruddin Syamsuddin, 1991, Profil Budaya Politik Indonesia, Jakarta, Grafiti.

Alfian, 1996, Masalah dan Prospek Demokrasi di Indonesia, Jakarta, Gramedia. Alhumami, Amich, (18 Februari 2003) Fungsionalisasi DPR dan Masyarakat Over

Load, Kompas.

Almond, Gabriel & Sidney Verba, 1996, Budaya Politik, Tingkah Laku, Pola dan Demokrasi di Lima Negara, Jakarta, Bina Aksara.

Amal, Ichlasul & Rizal Panggabean, (2003), Fungsi Legislatif dalam Sistem Politik Indonesia, Malakah Seminar.

Asshiddiqie, Jimly, Pergumulan, 1996, Peran Pemerintah dan Parelemen dalam Sejarah: Telaah Perbandingan Konstitusi Berbagai Negara, Jakarta, UI Press.

Birch, AH, (1971), Representation, United States of America: Preager Publishers Inc. Boboy, Max, 1984, DPR-RI: Dalam Perspektif, Sejarah, dan Tata Negara, Jakarta,

Sinar Harapan.

Budiardjo, Meriam, 1983, Dasar-Dasar Ilmu Politik, Jakarta, Gramedia,

________, 1994, Demokrasi di Indonesia, Demokrasi Parlementer, dan Demokrasi Pancasila, Jakarta, Gramedia.

Centre for Strategic and International Studies (CSIS), Laporan Kajian, (2001), Kemampuan Politik Lokal untuk Pelaksanaan Otonomi Daerah di Sembilan Propinsi yaitu Propinsi Riau, Propinsi Kalimantan Timur, Propinsi Sumatera Selatan, Propinsi Jawa Barat, Propinsi Jawa Tengah, Propinsi Jawa Timur, Propinsi D.I. Yogyakarta, Propinsi Sulawesi Utara dan


(5)

131

Cipto, Bambang, Dewan Perwakilan Rakyat, dalam Era Pemerintahan Medel-Industrial, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1995.

Cord, Robert, L., et.al., (1985) Political Science an Introduction, New Jersey: Prentice-Hall., Englewood Cliffs.

Dewan Perwakilan Rakyat Provinsi Sumatera Utara, Kiprah Dewan Perwakilan Rakyat Provinsi Sumatera Utara Tahun 2005, tanpa tahun dan penerbit. Eulau, Heinz, 1963, The Behavioral Persuassion in Politics, New York, Stanford

University.

Evalusi 100 Hari DPR dan DPD, Kinerja Belum Maksimal, Wakil daerah Belum Maksimal, Litbang Kompas, 10 Januari 2005.

Haris, Syamsuddin, 1991, PPP dan Politik Orde Baru, Jakarta: Gramedia.

Hawkesworth, Mary and Maurice Kohan, 1992, Encyclopedia of Government and Politics, London: Routledge.

Hayes, Michel, T., 1981. Lobbys and Legislators: A Theory of Political Marketing, New Jersey, Rutgers University Press.

Hogan, James, 1985, Election and Representation, Dublin.

Jewell, Malcolm, E., (1982) Representation in State Legislator, United States: The University Press of Kentucky.

Jewell, Malcolm, E., and Samuel C. Patterson, (1979) The Legislative Process in the United States, Random House, New York.

Kantaprawira, Rusadi, 1980, Sistem Politik di Indonesia, Suatu Model Pengantar, Bandung: Sinar Baru.

Kusnardi, Mochammad dan Harmaili Ibrahim, 1980, Pengantar Hukum Tata Negara Indonesia, Jakarta, Pusat Studi Hukum Tata Negara FHUI.

Laporan Lapangan Social Monitoring and Early Response Unit (SMERU) pada http://www.SMERU.or.id


(6)

Mahendra, Yusril, Ihza, 1996, Dinamika Tatanegara Indonesia: Komplikasi Aktual Konstitusi Dewan Perwakilan dan Sistem Kepartaian, Jakarta: Gema Insani Press.

Marbun, B.N., (1992), DPR RI: Pertumbuhan dan Cara Kerjanya, Jakarta, Gramedia. Mas’oed, Mohtar dan Colin Mac. Andrews, 1990, Perbandingan Sistem Politik,

Yogyakarta, Gajah Mada University Press.

Mayo, Henry, B., 1960, An Introduction to Democratic Theory, New York: Oxford University Press.

Polontalo, Sahroel, 2003, Penyambung Suara Rakyat: Profil Terpilih DPR-RI, Jakarta: Nias.

Ranney, Austin, The Governing of Man, (1966), New York: Holt, Rinehart and Winston, Inc.

Rauf, Maswadi, “Masalah Pencalonan dalam Pemilu”, Makalah Evaluasi Pemilu, Lab. Politik UI, 2003.

Sanit, Arbi, (1985), Perwakilan Politik di Indonesia, Jakarta: Rajawali Press.

Saragih, Bintan, R., (1983) Sistem Pemerintahan dan Lembaga Perwakilan di Indonesia, Jakarta, Perintis Press.

Surat Kabar

Kompas, 18 Februari 2003 Media Indonesia, 10 Mei 2003 Kompas, 10 Januari 2006 Kompas, 25 Maret 2006


Dokumen yang terkait

Peran Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kabupaten Padang Lawas dalam penyelesaian sengketa lahan (studi kasus: sengketa lahan antara PT sumatera Riang Lestari dan PT Sumatera Sylva Lestari dengan Masyarakat Adat Kecamatan Aek Nabara Barumun)

1 100 105

Kinerja Anggota Dewan Perwakilan Rakyat (Suatu Studi terhadap Kinerja Anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Simalungun Periode 2009-2014)

0 56 76

Pelaksanaan Fungsi Pengawasan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Terhadap Kinerja Eksekutif di Kota Medan

3 64 152

Persepsi Anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Kota Medan Tentang Kebijakan Kawasan Tanpa Rokok di Kota Medan Tahun 2013

5 57 111

Kinerja Anggota Dewan Perwakilan Rakyat (Suatu Studi Terhadap Kinerja Anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kabupaten Simalungun Periode 2009-2014)

0 22 77

Hubungan Wakil dengan yang Diwakili (Studi Perbandingan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Sumatera Utara Periode 1999-2004 dengan Periode 2004-2009)

1 45 101

Hak Recall Partai Politik Terhadap Anggota Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia Dalam Korelasinya Dengan Pelaksanaan Teori Kedaulatan Rakyat.

8 114 110

Minat Menonton anggota Dewan Perwakilan Daerah Tapanuli Selatan terhadap Berita Politik Di Metro TV ( Studi Korelasi Tentang Tayangan Berita Politik Dan Minat Menonton Anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Tapanuli Selatan Terhadap Metro TV )

1 39 143

Kesantunan Linguistik Dalam Ranah Sidang Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Provinsi Sumatera Utara

1 41 285

PENEGAKAN KODE ETIK ANGGOTA DEWAN PERWAKILAN RAKYAT DAERAH OLEH BADAN KEHORMATAN DEWAN PERWAKILAN RAKYAT DAERAH (Studi pada Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kota Bukittinggi Periode 2004-2009).

0 0 6