BAB II TINJAUAN UMUM TERHADAP PERAYAAN HINAMATSURI BAGI MASYARAKAT JEPANG MODERN 2.1 Definisi Kebudayaan - Fungsi dan Nilai Moral Perayaan Hinamatsuri Bagi Masyarakat Jepang Modern

BAB II TINJAUAN UMUM TERHADAP PERAYAAN HINAMATSURI BAGI MASYARAKAT JEPANG MODERN

2.1 Definisi Kebudayaan

  Kata kebudayaan berasal dari kata budh dalam bahasa sanskerta yang bararti akal, kemudian menjadi kata budhi (tunggal) atau budhaya (majemuk), sehingga kebudayaan dapat diartikan sebagai hasil pemikiran atau akal manusia. Ada pendapat mengatakan bahwa kebudayaan berasal dari kata budi dan daya. Budi adalah akal yang merupakan unsur rohani dalam kebudayaan, sedangkan daya berarti perbuatan atau ikhtiar sebagai unsur jasmani, sehingga kebudayaan diartikan sebagai hasil dari akal dan ikhtiar manusia. (Supartono, 2001:34)

  Kebudayaan menurut Ki Hajar Dewantara dalam Supartono (2001:34) berarti buah budi manusia adalah hasil perjuangan manusia terhadap dua pengaruh kuat, yakni alam dan zaman (kodrat dan masyarakat) yang merupakan bukti kejayaan hidup dan penghidupannya guna mencapai keselamatan dan kebahagiaan yang pada akhirya bersifat tertib dan damai.

  Koentjaraningrat dalam Supartono (2001:35) mengatakan bahwa kebudayaan berarti keseluruan gagasan dan karya manusia yang harus dibiasakannya dengan belajar serta keseluruhan dari hasil budi pekertinya.

  Malinowski dalam Supartono (2001:35) menyebutkan bahwa kebudayaan pada prinsipnya berdasarkan atas berbagai sistem kebutuhan manusia. Tiap tingkat kebutuhan itu menghadirkan corak budaya yang khas. Misalnya, guna memenuhi kebutuhan manusia akan keselamatannya maka timbul kebudayaan yang berupa perlindungan, yakni seperangkat budaya dalam bentuk tertentu seperti lembaga kemasyarakatan.

  Terjadinya suatu kebudayaan dipengaruhi oleh sejumlah faktor, yaitu hal- kebudayaan merupakan produk kekuatan jiwa manusia sebagai mahluk Tuhan yang tertinggi. Walaupun manusia memiliki tubuh yang lemah jika dibandingkan dengan binatang seperti gajah, harimau dan kerbau, tetapi dengan akalnya manusia mampu menciptakan alat (sebagai homo faber) sehingga akhirnya dapat menjadi penguasa dunia. Oleh karena itu, manusia dikatakan sebagai insan budaya (Supartono, 2001:35).

  Kebudayaan selalu dibedakan dengan budaya. Kalau ditanya apa contoh kebudayaan Jepang, maka mungkin akan dijawab dengan Chanoyu, ikebana, masakan sukiyaki atau pakaian kimono. Tetapi kalau ditanya apa contoh budaya Jepang, maka akan dijawab dengan budaya rasa malu, budaya kelompok atau budaya menkoujoretsu (senioritas) dan sebagainya. Contoh-contoh di atas menunjukkan bahwa kebudayaan adalah suatu yang konkrit. Sedangkan budaya adalah suatu yang semiotik, tidak nampak atau bersifat laten (Situmorang, 2009:2).

  Ienaga Saburo dalam Situmorang (2009:2) membedakan pengertian kebudayaan (bunka) dalam arti luas dan arti sempit. Dalam arti luas kebudayaan adalah seluruh cara hidup manusia. Dia juga menjelaskan bahwa kebudayaan ialah keseluruhan hal yang bukan alamiah. Misalnya ikan adalah suatu benda alamiah, tetapi dalam suatu masyarakat ikan tersebut dibakar atau dipepes atau shashimi tersebut adalah kebudayaan.

  Sedangkan pengertian kebudayaan dalam arti sempit menurut Ienaga dalam Situmorang (2009:3) adalah terdiri dari ilmu pengetahuan, sistem kepercayaan dan seni. Oleh karena itu Ienaga mengatakan kebudayaan dalam arti luas adalah segala sesuatu yang bersifat konkrit yang diolah manusia untuk memenuhi kebutuhannya. Sedangkan kebudayaan dalam arti sempit adalah sama dengan pengertian budaya yang diuraikan di atas. Yaitu kebudayaan dalam arti sempit menurut Ienaga Saburo adalah sama dengan budaya yang berisikan sesuatu yang tidak nampak atau yang bersifat semiotik.

  Kemudian hubungan dari kebudayaan yang bersifat semiotik/abstrak atau yang bersifat ideologi dengan kebudayaan yang bersifat konkrit adalah berada dalam satu lapisan struktur. Kebudayaan dalam arti konkrit berada dalam struktur luar dan budaya, yang bersifat semiotik berada dalam struktur dalam.

  Dalam mempelajari kebudayaan, ada tiga poin yang menjadi pusat perhatian kita, yaitu masyarakat penghasil kebudayaan tersebut (sejarah lahirnya kebudayaan tersebut), objek kebudayaan itu sendiri dan masyarakat pengguna kebudayaan atau fungsi kebudayaan tersebut dalam masyarakat pengguna.

  Matsuri

2.2 Definisi Matsuri (festival/perayaan) adalah salah satu dari kebudayaan Jepang.

  Menurut Danandjaja (1997:300) matsuri merupakan foklor Jepang asli yang berhubungan dengan agama Shinto, yang dilakukan setiap tahun pada tanggal- tanggal tertentu. Matsuri pada dasarnya adalah festival suci. Istilah matsuri mencakup pesta rakyat dan ritus-ritus yang dipraktekkan dalam agama Shinto.

  

Matsuri adalah suatu perbuatan simbolik, dimana pesertanya memasuki

  komunikasi di antara para peserta sendiri, dalam betuk pesta (feast) dan pesta rakyat (festival).

  Matsuri merupakan ekspresi keyakinan keagamaan orang Jepang yang

  berfungsi memantapkan kayakinan bahwa dunia terdiri dari dunia nyata dan dunia gaib, ada manusia dan ada yang gaib, berinterkasi sebagai sebuah truktur (Lawanda, 2004:16).

  Matsuri merupakan upacara yang dilakukan berangkat dari kenyataan

  logis dengan memanfaatkan wahyu-wahyu yang bertentangan dengan yang sekuler dan diilhami oleh kompleks simbol-simbol khusus dari metafisika yang dirumuskan dan gaya hidup yang disarankan dengan otoritas persuasif sebagaimana diungkapkan oleh Geertz dalam Lawanda (2004:16).

  Menurut Lawanda (2004:35) matsuri bermakna sebagai sarana penghubung manusia dengan dewa-dewa yang berada di dunia lain, diyakini bersama dalam kelompoknya karena dipercaya merupakan sumber kehidupan orang Jepang. Dengan demikian, matsuri memiliki kategori-kategori yang sakral- yang profit, kami (dewa)-hito (manusia), sairei (upacara)-saigi (perayaan), pusat- pinggir, keagamaan-sosial, kelompok-individu, laki-laki-perempuan, atasan- bawahan. Berdasarkan kategori ini, matsuri dilakukan orang Jepang didalam menjalankan kehidupan sehari-hari.

  Di Jepang. Terdapat beberapa tipe matsuri, misalnya matsuri untuk memohon kepada para dewa (seperti memohon keberhasilan panen). Tipe lainnya lagi untuk mengusir penyakit menular dan bencana-bencana alam. Ada matsuri yang bersifat serius dan khusyuk, tetapi ada pula yang meriah, disertai permainan bertanding dan pertunjukan-pertunjukan.

  Menurut Danandjaja (1997:302) matsuri memiliki unsur-unsur penting seperti:

  1. Monoimi atau pertapaan penyucian diri, secara simbolik, monoimi merupakan “pintu gerbang” untuk memasuki kawasan khusus (hare) dari

  matsuri. Ritus-ritus penyucian diri pada beberapa tahun terakhir ini telah

  banyak disederhanakan. Pada masa sebelum periode sebelum modern penduduk Jepang tidak diperkenankan mengambil bagian dalam suatu

  matsuri sebelum melalui proses penyucian diri.

  2. Persembahan sesajian adalah unsur kedua yang penting dalam suatu

  matsuri yaitu persembahan sesajian kepada para dewa. Sesajian yang paling umum yaitu kue mochi, arak sake, ganggang laut, sayur-sayuran serta buah-buahan.

  3. Komuni atau naorai adalah unsur ketiga yang juga penting yaitu acara santap bersama di antara para peserta; yang disantap yaitu sesajian yang telah disediakan bagi para dewa. Pada beberapa tahun terakhir ini, naorai juga menyantap makanan di tempat lain (bukan di tempat matsuri), yang diadakan setelah upacara selesai.

  Hinamatsuri

2.3 Definisi

  Hinamatsuri

2.3.1 Perayaan

  Hinamatsuri (雛祭り, ひなまつり) adalah festival boneka atau festival

  anak perempuan yang dirayakan setiap tanggal

  3 Maret di Jepang yang bertujuan

  untuk mendoakan pertumbuhan dan keselamatan anak perempuan serta mengusir roh-roh jahat. Perayaan ini sering disebut festival boneka atau festival anak perempuan karena berawal dari permainan boneka di kalangan putri bangsawan yang disebut hiina asobi (bermain boneka puteri). Hina berarti gadis atau puteri. Keluarga yang memiliki anak perempuan memajang satu set boneka yang disebut hina-ningyou (雛人形).

  Hina-ningyou di pajang di atas tangga yang ditutupi oleh karpet berwarna

  merah. Satu set boneka tradisional ini mewakili kaisar, permaisuri, dayang- dayang, pemusik dan mentri dengan pakaian tradisional jaman Heian.

  Walaupun disebut matsuri , perayaan ini lebih merupakan acara keluarga di rumah, dan hanya dirayakan keluarga yang memiliki anak perempuan. Sebelum hari perayaan tiba, anak-anak membantu orang tua mengeluarkan boneka dari kotak penyimpanan untuk dipajang. Sehari sesudah hinamatsuri, boneka harus segera disimpan karena dipercaya sudah menyerap roh-roh jahat dan nasib sial.

  Keluarga-keluarga di Jepang secara umum memulai memajang boneka pada Febuari dan segera menyimpannya setelah festival. Ada kepercayaan yang menyebabkan anak perempuan terlambat menikah.

  Pada saat perayaan, anak perempuan memakai kimono dan mengunjungi rumah temannya atau mengundang teman-temannya, berdoa, bermain, dan menyantap hidangan di depan hina ningyo. Tangga yang bertingkat untuk hina-

ningyou dipajang di rumah dan keluarga merayakan dengan makanan spesial.

  Hidangan istimewa untuk anak perempuan yang merayakan hinamatsuri antara lain: kue hishimochi , kue hikigiri , makanan ringan hina arare , sup bening dari kaldu ikan tai atau kerang ( hamaguri ), serta chirashizushi . Minumannya adalah sake putih (shirozake) yang dibuat dari fermentasi beras

  

ketan dengan mirin atau sh , dan k . Minuman lain yang disajikan adalah

ōchū ōji

  sake manis (amazake) yang dibuat dari ampas sake (sakekasu) yang diencerkan dengan air dan dimasak di atas api (Russell, 2012:15).

2.3.2 Sejarah Hinamatsuri

  Sebelum kalender Gregorian digunakan di Jepang, hinamatsuri dirayakan setiap hari ke-3 bulan 3 menurut kalender lunisolar . Menurut kalender lunisolar, hari ke-3 bulan 3 disebut momo no sekku (perayaan bunga persik), karena bertepatan dengan mekarnya bunga persik . Kalender Gregorian mulai digunakan di Jepang sejak

1 Januari 1873 sehingga perayaan hinamatsuri berubah menjadi tanggal 3 Maret.

  Dalam sejumlah literatur klasik ditulis tentang kebiasaan bermain boneka di kalangan anak perempuan bangsawan istana dari zaman Heian (sekitar abad ke-

  8 ). Menurut perkiraan, boneka dimainkan bersama rumah boneka yang berbentuk

  istana. Permainan di kalangan anak perempuan tersebut dikenal sebagai hina

  asobi (bermain boneka puteri). Pada prinsipnya, hina asobi adalah permainan dan bukan suatu ritual .

  Sejak abad ke-19 ( zaman Edo ), hina asobi mulai dikaitkan dengan perayaan musim (sekku) untuk bulan 3 kalender lunisolar . Sama halnya dengan perayaan musim lainnya yang disebut "matsuri", sebutan hina asobi juga berubah menjadi hinamatsuri dan perayaannya meluas di kalangan rakyat.

  Orang Jepang di zaman Edo terus mempertahankan cara memajang boneka seperti tradisi yang diwariskan turun temurun sejak zaman Heian . Boneka dipercaya memiliki kekuatan untuk menyerap roh-roh jahat ke dalam tubuh boneka, dan karena itu menyelamatkan sang pemilik dari segala hal-hal yang berbahaya atau sial. Asal-usul konsep ini adalah hinanagashi (menghanyutkan boneka). Boneka diletakkan di wadah berbentuk sampan , dan dikirim dalam perjalanan menyusuri sungai hingga ke laut dengan membawa serta roh-roh jahat.

  Kalangan bangsawan dan samurai dari zaman Edo menghargai boneka

  hinamatsuri sebagai modal penting untuk wanita yang ingin menikah, dan

  sekaligus sebagai pembawa keberuntungan. Sebagai lambang status dan kemakmuran, orang tua berlomba-lomba membelikan boneka yang terbaik dan termahal bagi putrinya yang ingin menjadi pengantin.

  Kuil Shimogamo (bagian dari kompleks kuil Kamo di Kyoto) merayakan

  hinanagashi dengan menghanyutkan boneka antara sungai Takano dan sungai

  Kamo untuk mendoakan keselamatan anak perempuan. Masyarakat Jepang kini sudah berhenti melakukannya karena banyak boneka-boneka yang dihanyutkan tersangkut di jaring nelayan selain itu boneka hina saat ini relatif mahal dan sayang untuk dibuang (Russell, 2012:5).

  Boneka yang digunakan pada awal zaman Edo disebut tachibina (boneka berdiri) karena boneka berada dalam posisi tegak, dan bukan duduk seperti sekarang ini. Pada waktu itu, satu set boneka hanya terdiri sepasang boneka yang keduanya bisa dalam posisi duduk maupun berdiri. Sejalan dengan perkembangan zaman, boneka menjadi semakin rumit dan mewah. Pada zaman Genroku , orang mengenal boneka genrokubina (boneka zaman Genroku) yang dipakaikan

  kimono dua belas lapis (j Ky , orang mengenal boneka ūnihitoe). Pada zaman ōhō

  ukuran besar yang disebut ky

  ōhōbina (boneka zaman Kyōhō). Perkembangan

  lainnya adalah pemakaian tirai lipat (by

  ōbu) berwarna emas sebagai latar belakang genrokubina dan ky

  ōhōbina sewaktu dipajang. Tidak semua dankazari bbertingkat sama, ada dankazari 3 tingkat, ada yang tujuh tingkat dan sebagainya.

  Mulai sekitar akhir zaman Edo hingga awal zaman Meiji , boneka

  

hinamatsuri yang mulanya hanya terdiri dari sepasang kaisar dan permaisuri

  berkembang menjadi satu set boneka lengkap berikut boneka puteri istana, pemusik, serta miniatur istana , perabot rumah tangga dan dapur. Dan sejak itu pula, boneka dipajang di atas dankazari (tangga untuk memajang), dan orang di ( http://id.wikipedia.org/wiki/Hinamatsuri ).

2.3.3 Susunan Boneka

  Istilah untuk tangga memajang di Jepang disebut hina dan atau dankazari, lapisan yang menutupinya disebut dankakke atau hi-mosen yaitu kain tebal atau karpet berwarna merah dengan garis pelangi di bagian bawah.

  Wilayah Kanto dan Kansai memiliki urutan penempatan boneka dari kiri ke kanan yang berbeda tetapi urutan boneka pertingkat sama. Berikut adalah susunan boneka pertingkat menurut Russell (2012:6) :

  1. Tangga Pertama atau Tangga Teratas Pada tingkat teratas ada dua buah boneka yang dikenal sebagai kaisar

  (dairi bina) dan permaisuri (ohina-sama). Boneka kaisar (odairi-sama) memegang tongkat ritual (shaku) dan permaisuri memegang kipas. Kata dairi berarti istana kekaisaran dan hina berarti gadis atau puteri. Boneka ini biasanya ditempatkan di depan layar lipat emas (byoubu) dan ditengah diletakkan pohon taman hijau Jepang. Di kedua sisi ada lampu atau lampion yang disebut bonbori dan lentera sutra yang disebut hibikuro, biasanya dihiasi dengan pola bunga sakura. Set yang lengkap akan mencakup aksesori ditempatkan diantara dua boneka yang disebut sanbo kazari. Untuk pengaturan tradisional kaisar diletakkan di sebelah kanan sementara pengaturan modern kaisar diletakkan di kiri (menurut pandangan yang melihat).

  Di tingkat kedua ada tiga boneka dayang-dayang (sannin kanjo) yang masing-masing memegang peralatan sake. Dari pandangan yang melihat, gadis yang berada di sebelah kanan adalah pembawa sake yang bergagang panjang (nagae no chosi), gadis yang berada di sebelah kiri adalah pembawa sake yang di belakang (kuwae no chosi), dan gadis yang di tengah adalah pembawa sake yang duduk (sanpo).

  3. Tangga Ketiga Pada tangga ketiga ada lima boneka pemusik (gonin bayashi). Masing- masing memegan alat musik, kecuali penyanyi yang memegang kipas. Dari kiri ke kanan dari pandangan yang melihat, paling kiri adalah pemain gendang kecil (taiko) dengan posisi duduk, di sebelahnya ada pemain gendang besar dengan posisi berdiri (otsuzumi), di sebelahnya pemaing gendang tangan (kotsuzumi) dengan posisi berdiri, di sebelahnya lagi pemain seruling (yokobue) dengan posisi duduk dan yang paling kanan adalah penyanyi (utaikata) yang memegang kipas dengan posisi berdiri.

  4. Tangga Keempat Pada tangga keempat terdapat dua mentri (daijin). Mentri yang dibelah kanan (udaijin) dan mentri yang disebalh kiri (sadaijin). Mentri yang di sebelah kanan digambarkan sebagai orang yang muda, sedangkan mentri yang di sebelah kiri jauh lebih tua dan keduanya lengkap dengan busur dan anak panah. Dari pandangan yang melihat, menteri kanan berada di sebelah kiri, sedangkan menteri kiri berada di sebelah kanan.

  5. Tangga Kelima Pada tangga yang kelima, diantara tanaman-tanaman, ada tiga boneka pembantu atau samurai sebagai pelindung kaisar dan permaisuri. Dari kiri ke kanan: peminum yang cengeng (nakijogo), peminum yang membantah (okorijogo) dan peminum yang riang (waraijogo).

  6. Tangga yang Lain Pada tangga keenam dan ketujuh, ada berbagai miniatur perabotan, kendaraan dan sebagainya yang dipajang.

2.4 Teori Fungsional Budaya Bronislaw Malinowski

  Bronislaw Malinowski (1884-1942) dididik di Polandia sebagai seorang ahli matematika, kemudian mempelajari antropologi di Inggris selama 4 tahun dan selama Perang Dunia I tinggal di antara penduduk asli Pulau Trobiand, sambil mengamati cara hidup penduduk asli kepulauan tersebut. Dengan sama sekali mengasingkan dirinya dari orang-orang Eropa lainnya yang ada di kepulauan tersebut dan juga menyelami bahasa serta kebiasaan-kebiasaan dari penduduk asli. melalui pengamatan keikutsertaan (participant obeserver) (Ihromi, 2006:59).

  Malinowski mengajukan sebuah orientasi teori yang dinamakan fungsionalisme, yang beranggapan atau berasumsi bahwa semua unsur kebudayaan bermanfaat bagi di mana unsur itu terdapat. Dengan kata lain, pandangan fungsionalisme terhadap kebudayaan mempertahankan bahwa setiap pola kelakuan yang sudah menjadi kebiasaan, setiap kepercayaan dan sikap yang merupakan bagian dari kebudayaan dalam suatu masyarakat, memenuhi beberapa fungsi mendasar dalam kebudayaan bersangkutan. Menurut Malinowski, fungsi dari satu unsur budaya adalah kemampuannya untuk memenuhi beberapa kebutuhan dasar atau yang timbul dari kebutuhan dasar yaitu kebutuhan sekunder dari para warga suatu masyarakat. Kebutuhan pokok adalah seperti makanan, reproduksi (melahirkan keturunan), merasa enak badan (bodily comfort), kemanan, kesantaian, gerak dan pertumbuhan. Dalam pemenuhan kebutuhan dasar itu, muncul kebutuhan jenis kedua, kebutuhan sekunder yang juga harus dipenuhi oleh kebudayaan. Contohnya: unsur kebudayaan yang memenuhi kebutuhan akan makanan menimbulkan kebutuhan sekunder yaitu kebutuhan untuk kerjasama dalam pengumpulan makanan atau untuk produksi; untuk ini masyarakat mengadakan bentuk-bentuk organisasi politik dan pengawasan sosial yang akan menjamin kelangsungan kewajiban kerjasama tersebut. Jadi menurut pandangan Malinowski tentang kebudayaan, semua unsur kebudayaan akhirnya dapat dipandang sebagai hal yang memenuhi kebutuhan dasar para masyarakat (Ihromi, 2006:60). karena mula-mula manusia ingin memuaskan kebutuhan nalurinya akan keindahan. Ilmu pengetahuan juga timbul karena kebutuhan naluri manusia untuk tahu. Di samping itu, masih banyak aktivitas kebudayaan terjadi karena kombinasi dari beberapa kebutuhan masyarakat. Misalnya budaya yang muncul akibat kepentingan kelompok masyarakat tertentu, umpamanya kelompok masyarakat petani, nelayan, atau para politikus, akademisi dan lain-lain. Masing-masing dari kelompok tersebut akan selalu berusaha menjaga eksistensinya agar dapat menjalankan fungsinya untuk memenuhi kebutuhan dari kelompoknya sendiri.

  ( http://teologihindu.blogspot.com/2011/03/aplikasi-teori-pungsional-

  struktural.html )

  Manusia, melalui instrumentalisasi kebudayaan, maka di dalam mengembangkan maupun memenuhi kebutuhannya, ia harus mengorganisasi peralatan, artefak, dan kegiatan menghasilkan makna melalui bimbingan pengetahuan, dengan kata lain yaitu melalui proses belajar manusia dapat meningkatkan eksistensinya. Jadi kebutuhan akan ilmu dalam proses belajar adalah mutlak. Dan di samping itu tindakan manusia juga harus dibimbing oleh keyakinan, demikian pula magik. Karena tatkala manusia mengembangkan sistem pengetahuan ia akan terikat dan dituntut untuk meneliti asal mula kemanusiaan, nasib, kehidupan, kematian dan alam semesta. Jadi, sebagai hasil langsung kebutuhan manusia untuk membangun sistem dan mengorganisasi pengetahuan, timbul pula kebutuhan akan agama.

  Konsep kebudayaan terintegarasi secara menyeluruh dalam upaya masalah mendasar. Kepercayaan, dan magik sekalipun, harus mengandung inti utilitarian, karena ia memenuhi fungsi psikologis. Aturan-aturan dan ritual magik dan agama tertentu dapat memantapkan kerjasama yang diperlukan, di samping juga untuk memenuhi kepuasan pribadi sesorang.

  Magik bagi sebagian masyarakat manusia di dunia ini diyakini memiliki daya kerja, meredam kecemasan terhadap masa depan yang tak dikendalikan. Dan dengan agama, magik dikembangkan dan berfungsi dalam situasi-situasi stress emosional, dan fungsi magik adalah “ritualisasi optimisme manusia, melancarkan keyakinannya dalam kemenangan harapan atas ketakutan”, dan ketakutan manusia itu meliputi ketakutan akan bencana alam, akan penyakit dan lain-lain, dan semua ketakutan itu berpangkal dari ketakutan manusia akan kematian.

  Apa yang diuraikan di atas adalah teori fungsional kebudayaan sesuai dengan pemikiran Bronislaw Malinowski tentang kebutuhan manusia yang terdiri dari kebutuhan kebutuhan dasar dan kebutuhan sampingan. Sedangkan menurut Maslows Hierarchy of Needs ( http://teologihindu.blogspot.com/2011/03/aplikasi-

  

teori-pungsional-struktural.html ), menguraikan tingkat kebutuhan yang

  dibutuhkan manusia ada lima tingkatan yaitu dari kebutuhan tingkat terendah sampai tingkat kebutuhan tertinggi meliputi :

  1. Physiologi, kebutuhan faal tubuh meliputi pemenuhan kebutuhan akan rasa haus, lapar, istirahat dan aktivitas.

  2. Safety –Scurity, yaitu kebutuhan akan rasa aman yang bebas dari takut dan cemas atau kekhawatiran.

  3. Belongings and love, manusia membutuhkan harta benda dan kasih sayang untuk mendukung eksistensinya

  4. Esteem – self and others, kebutuhan manusia akan penghargaan pribadi dan orang lain.

  5. Self actualization, personal self fulfillment, kebutuhan akan aktualisasi diri, pemenuhan diri pribadi.

2.5 Teori Orientasi Nilai Budaya Kluckhohn

  Clyde Kluckhohn Kay Maben lahir pada 11 Januari 1905, di Le Mars, Iowa, anak dari pasangan Clyde Clofford dan Caroline Mabem. Ia sekolah menengah di Le Mars lalu pindah di Culver Military Academy dan di tahun 1921- 1922 di Lawrenceville School (New Jersey). Karena kesehatannya yang buruk Kluckhohn berhenti kuliah dan diharuskan untuk tinggal di tempat beriklim kering. Akhirnya ia tinggal di peternakan domba milik bibinya di tepi sebuah reservasi Navajo di Mexico.

  Setelah tujuh bulan di peternakan dan setelah ulang tahunnya yang kedelapan belas, Kluckhohn berkelana sendirian menggunakan kuda sejauh 3000 mil di Negara Amerika bagian selatan. Selama berminggu-minggu ia tidak bertemu dengan bangsa Inggris, hanya Spanyol-Amerika, Zuni dan Navajo Indian.

  Dibulan Desember 1922 Kluckhohn menerbitkan makalah pertama berbahasa Navajo berjudul El Palacio, jurnal untuk New Mexico State Musium.

  Perhatian Kluckhohn terhadap bidang penyelidikan Culture and Personality mulai sewaktu ia menulis buku berjudul Navaho Witchcraft dimana ia membuat gambaran yang sangat baik tentang ilmu dukun dan ilmu sihir orang Navajo dengan menganalisa secara psikoanalisa dalam berbagai gejala dan unsur-unsur dalam ilmu sihir tersebut untuk mencapai pengertian yang mendalam tentang berbagai unsur kebudayaan tertentu.

  Konsep dalam bidang penyelidikan kebudayaan dan watak manusia dikembangkan Kluckhohn bersama dengan ahli psikologi O.H. Mowrer untuk mempertajam pengertian mengenai pengaruh kebudayaan terhadap watak manusia dan sebaliknya dan konsep itu diumumkan kepada dunia ilmiah melalui sebuah karangan yang berjudul Culture and Personality, A Conceptual Scheme (1941) , ia menyimpulkan bahwa watak manusia merupakan suatu rangkaian dari proses- proses fungsional yang berpusat kepada alam rohani yang letaknya di daerah otak dan saraf dari individu tersebut. Proses-proses fungsional tersebut dipengaruhi oleh lingkungan sekitar individu yaitu wilayah sekitar fisiknya (alam dan gejala- gejala fisik sekitarnya), wilayah sekitar sosialnya (sesama manusia dan kelompok- kelompok manusia sekitarnya), wilayah sekitar kebudayaannya (nilai-nilai, adat istiadat dan benda-benda kebudayaan sekitarnya) dan juga alam rohani sub-sadar individu tersebut).

  Menurut Kluckhohn yang menentukan perilaku individu bukan dari faktor genetik, namun pengaruh budaya dalam pola pengasuhan. Kluckhohn berpendapat bahwa mengapa suatu individu berperilaku demikian karena “mereka dibesarkan mereka, sikap dan perilaku. Memahami akar dari psikologi manusia adalah kunci untuk memahami mengapa manusia menampilkan perilaku tertentu, sikap tertentu, dan bereaksi terhadap situasi dengan emosi tertentu. Kluckhohn menggunakan beberapa paradigma untuk menggambarkan pengaruh budaya terhadap perilaku. ( http://kedaibunga.wordpress.com/2010/03/18/teori-clyde-kluckhohn-kay-maben/ ).

  Kebudayaan sebagai karya manusia memiliki system nilai. Menurut C.Kluckhohn dalam karyanya Variations in Value Orientation (1961) sistem nilai budaya dalam semua kebudayaan di dunia, secara Universal menyangkut 5 masalah pokok kehidupan manusia, yaitu:

  1. Hakekat Hidup Manusia Hakekat hidup untuk setiap kebudayaan berbeda secara ekstern; ada yang berusaha untuk memadamkan hidup, ada pula yang dengan pola-pola kelakuan tertentu menganggap hidup sebagai suatu hal yang baik, “mengisi hidup”.

  2. Hakekat Karya Manusia Setiap kebudayaan hakekatnya berbeda-beda, diantaranya ada yang beranggapan bahwa karya bertujuan untuk hidup, karya memberikan kedudukan atau kehormatan, karya merupakan gerak hidup untuk menambah karya lagi.

  3. Hakekat Waktu Manusia (WM) Hakekat waktu untuk setiap kebudayaan berbeda; ada yang berpandangan kini atau masa yang akan datang.

  4. Hakekat Alam Manusia (MA) Ada kebudayaan yang menganggap manusia harus mengeksploitasi alam atau memanfaatkan alam semaksimal mungkin, ada pula kebudayaan yang beranggapan manusia harus harmonis dengan alam dan manusia harus menyerah kepada alam.

  5. Hakekat Hubungan Manusia (MN) Dalam hal ini ada yang mementingkan hubungan manusia dengan manusia, baik secara horizontal (sesamanya) maupun secara vertikal (orientasi kepada tokoh-tokoh). Ada pula yang berpandangan individualistis ( menilai tinggi kekuatan sendiri ).

  Dalam essainya yang berjudul “A Mirror for Man” Kluckhohn berpendapat bahwa yang menentukan perilaku individu bukan dari faktor genetik, namun pengaruh budaya dalam pola pengasuhan. Kluckhohn berpendapat bahwa mengapa suatu individu berperilaku demikian karena “mereka dibesarkan seperti itu”. Budaya ditempat seseorang dibesarkan mencerminkan nilai-nilai mereka, sikap dan perilaku. Dalam sebuah pencarian terus-menerus untuk lebih memahami perilaku manusia, orang ditantang untuk melihat ke dalam. ( http://kedaibunga.wordpress.com/2010/03/18/teori-clyde-kluckhohn-kay-maben/ ).