10 BAB II TINJAUAN UMUM TERHADAP NOVEL “TOKYO TOWER” DAN KONSEP MORAL JEPANG 2.1 Pengertian Novel

  

TINJAUAN UMUM TERHADAP NOVEL “TOKYO TOWER” DAN

KONSEP MORAL JEPANG

2.1 Pengertian Novel

  Novel sebagai sebuah karya fiksi secara umum dapat didefinisikan sebagai sebuah karangan yang memaparkan ide, gagasan atau khayalan dari penulisnya.

  Ide atau gagasan tersebut berupa pengalaman langsung yang dimiliki pengarang maupun sebuah ide yang bersifat imajinasi.

  Aminuddin (2000:66) mendefinisikan bahwa prosa fiksi adalah kisahan atau cerita yang diemban oleh pelaku-pelaku tertentu dengan pemeran, latar serta tahapan dan rangkaian cerita tertentu yang bertolak dari hasil imajinasi pengarangnya sehingga menjalin suatu cerita. Berdasarkan definisi tersebut dapat disimpulkan bahwa kebenaran yang terdapat dalam sebuah karya fiksi tidak harus sama dan tidak perlu disamakan dengan kebenaran yang berlaku di dunia nyata.

  Baik itu para pelakunya (pemerannya), tempat terjadinya dan rangkaian ceritanya, semuanya bersifat fiksi sesuai dengan imajinasi pengarangnya.

  Pengertian prosa fiksi di atas juga berlaku untuk pengertian novel. Abrams dalam Nurgiantoro (1998:4) mengemukakan bahwa dalam perkembangannya karya fiksi sering dianggap bersinonim dengan novel. Kata novel berasal dari bahasa Italia, yaitu novella. Secara harfiah novella berarti sebagai “sebuah barang baru yang kecil” yang kemudian diartikan sebagai “cerita pendek dalam bentuk prosa” (Abrams dalam Nurgiantoro, 1998:9).

  Menurut Jassin dalam Nurgiantoro (1998:16) mengemukakan bahwa novel dipihak lain dibatasi dengan pengertian suatu cerita yang bermain dalam dunia melukiskan satu saat dari kehidupan seseorang, dan lebih mengenai suatu periode. Berdasarkan pengertian tersebut, novel menceritakan satu periode dalam kehidupan seseorang, juga dapat menceritakan kehidupan manusia dari lahir sampai meninggal.

  Berdasarkan beberapa pengerti di atas, dapat disimpulkan bahwa novel adalah suatu karya sastra berbentuk prosa fiksi. Novel mengandung unsur-unsur pembangun cerita dan merupakan sebuah pandangan dari sebuah kenyataan yang dibangun secara imajinatif dalam sebuah cerita yang umumnya memaparkan tentang kehidupan manusia dan segala permasalahannya, lingkungan dan kondisi sosial yang terdapat di sekitar pengarang.

2.2 Setting Cerita Novel “Tokyo Tower”

  Latar atau setting adalah penggambaran situasi tempat dan waktu serta terjadinya peristiwa (Suroto 1989: 94). Berdasarkan pengertian tersebut, dapat dikatakan bahwa latar atau setting merupakan tempat terjadinya suatu peristiwa. Nurgiyantoro juga menjelaskan (1998: 216) bahwa latar atau setting menyaran pada pengertian tempat, hubungan waktu, dan lingkungan sosial tempat terjadinya peristiwa-peristiwa. Hal ini berarti bahwa tidak hanya tempat, namun waktu dan lingkungan sosial juga merupakan komponen lain yang terdapat dalam latar atau setting sebuah cerita.

2.2.1 Latar atau Setting Cerita Novel “Tokyo Tower”

  Ada beberapa lokasi yang menjadi latar tempat dalam cerita novel “Tokyo Tower”, yaitu Kokura, kamar di sudut kafetaria, Chikuho, rumah bangsal, Beppu, dan yang terakhir adalah Tokyo.

  Di Kokura, ia tinggal di rumah neneknya, ibu dari ayahnya Ma-kun. Disana ia tinggal bersama ibunya, ayahnya, neneknya, bibinya, serta 4 mahasiswa yang menyewa kamar di rumah neneknya. Tinggal bersama mertua, saudara ipar dan bersama seorang suami yang kasar, membuat beban fisik dan psikis ibu Ma-kun terasa sangat berat. Hal ini menjadi alasan ibu Ma-kunmemutuskan mengajak Ma- kun pindah dari rumah tersebut. Terpisah dari ayahnya.

  b) Kamar di Sudut Kafetaria Ruangan ini berada di sudut kafetaria sebuah asrama yang berada di samping rumah mertua dari kakak iparnya ibu Ma-kun. Ibu Ma-kun memenuhi kamar ini dengan segala perabotan yang dibutuhkan Ma-kun, seperti rak buku dan bantalan yang empuk agar Ma-kun betah di kamar tersebut. Mereka berdua tinggal di kamar tersebut selama satu tahun.

  c) Chikuho Chikuho merupakan kota kelahiran ibu Ma-kun. Disini jugalah Ma-kun dan ibunya tinggal setelah pindah dari kamar yang ada di sudut kafetaria. Mereka tinggal di rumah nenek Ma-kun, yaitu ibunya ibu Ma-kun.

  d) Rumah Bangsal Saat kelas 1 SMP, Ma-kun dan ibunya pindah ke sebuah rumah bekas bangsal rumah sakit tua yang disewa dari seorang kenalan ibunya setelah ibunya membatalkan pindah ke Kokura untuk hidup bersama lagi tanpa alasan yang jelas. Rumah bekas bangsal rumah sakit ini hanya berjarak satu stasiun kereta dari rumah neneknya yang berada di Chikuho.

  Ma-kun memutuskan untuk bersekolah di kota lain saat SMA. Dan ayahnya menyarankan untuk bersekolah di Beppu. Ma-kun lulus dari beberapa tes dan tes kemampuan menggambar yang menjadi syarat masuk ke SMA di Beppu. Setelah tamat SMP, Ma-kun yang masih berumur lima belas tahun, hidup sendirian di kota lain tanpa orang tua dan sanak saudara.

  f) Tokyo Banyak peristiwa yang terjadi di kota ini. Dimulai saat Ma-kun berkuliah di kota ini, kemudian menjadi pengangguran, terlilit hutang, tidak memiliki tempat tinggal, dan kepindahan ibunya ke Tokyo. Di kota inilah Ma-kun, sebagai seorang anak berusaha keras keluar dari kondisinya yang buruk menjadi yang lebih baik karena dia ingin membahagiakan ibunya dan membalas segala kerja keras yang telah ibunya lakukan selama ini untuk memenuhi segala keinginan Ma-kun.

  Hingga akhirnya ibunya meninggal di kota ini karena kanker.

  2.2.2 Latar Waktu

  Latar waktu merupakan penjelasan tentang kapan terjadinya suatu peristiwa dalam novel. Cerita novel “Tokyo Tower” memiliki latar tahun 1966 sampai tahun 2001. Kisah yang di ceritakan pada tahun-tahun tersebut adalah saat Ma-

  

kun berusia 3 tahun sampai kisa Ma-kun dan ibunya tinggal di Tokyo. Dan pada

tahun 2001 itulah ibu Ma-kun meninggal karena penyakit kanker.

  2.2.3 Latar Budaya

  Latar budaya yang terdapat dalam novel “Tokyo Tower” adalah budaya hutang budi dan balas budi yang tertanam pada masyarakat Jepang yang di menceritakan tentang balas budi seorang anak terhadap on yang telah diberikan ibunya selama hidupnya.

2.3 Prinsip-Prinsip Dasar Moral

2.3.1 Prinsip Sikap Baik

  Sikap yang dituntut dari kita sebagai dasar dalam hubungan dengan siapa saja adalah sikap positif dan baik. Seperti halnya dalam prinsip utilitarisme, bahwa kita harus mengusahakan akibat-akibat baik sebanyak mungkin dan mengusahakan untuk sedapat-dapatnya mencegah akibat-akibat buruk dari tindakan kita, kecuali ada alasan khusus, tentunya kita harus bersikap baik terhadap orang lain.

  Prinsip moral dasar pertama disebut prinsip sikap baik. Prinsip ini mendahului dan mendasari semua prinsip moral lain. Prinsip ini mempunyai arti yang amat besar bagi kehidupan manusia.

  Sebagai prinsip dasar etika, prinsip sikap baik menyangkut sikap dasar manusia yang harus memahami segala sifat konkret, tindakan dan kelakuannya.

  Prinsip ini mengatakan bahwa pada dasarnya, kecuali ada alasan khusus, kita harus mendekati siapa saja dan apa saja dengan positif, dengan menghendaki yang baik bagi dia. Artinya, bukan semata-mata perbuatan baik dalam arti sempit, melainkan sikap hati positif terhadap orang lain, kemauan baik terhadapnya.

  Bersikap baik berarti, memandang seseorang dan sesuatu tidak hanya sejauh berguna bagi dirinya, melainkan menghendaki, menyetujui, membenarkan, mendukung, membela, membiarkan, dan menunjang perkembangannya (Suseno, 1989:131). apa yang baik dalam situasi konkret itu. Maka prinsip ini menuntut suatu pengetahuan tepat tentang realitas, supaya dapat diketahui apa yang masing- masing baik bagi yang bersangkutan.

  Prinsip sikap baik mendasari semua norma moral, karena hanya atas dasar prinsip itu, maka akan masuk akal bahwa kita harus bersikap adil, atau jujur, atau setia kepada orang lain.

2.3.2 Prinsip Keadilan

  Prinsip kebaikan hanya menegaskan agar kita bersikap baik terhadap siapa saja. Tetapi kemampuan manusia untuk bersikap baik secara hakiki terbatas, tidak hanya berlaku bagi benda-benda materiil, melainkan juga dalam hal perhatian dan cinta kasih. Kemampuan untuk memberi hati kita juga terbatas. Maka secara logis dibutuhkan prinsip tambahan yang menentukan bagaimana kebaikan itu harus dibagi. Prinsip itu adalah prinsip keadilan.

  Adil pada hakikinya berarti bahwa kita memberikan kepada siapa saja apa yang menjadi haknya. Karena pada hakekatnya semua orang sama nilainya sebagai manusia, maka tuntutan paling dasariah keadilan adalah perlakuan yang sama terhadap semua orang, tentu dalam situasi yang sama (Suseno,1989:132).

  Prinsip keadilan mengungkapkan kewajiban untuk memberikan perlakuan yang sama terhadap semua orang lain yang berada dalam situasi yang sama dan untuk menghormati hak semua pihak yang bersangkutan. Secara singkat, keadilan menuntut agar kita jangan mau mencapai tujuan-tujuan, termasuk hal yang baik, dengan melanggar hak seseorang.

  Prinsip ini menyatakan bahwa manusia wajib untuk selalu memperlakukan diri sebagai sesuatu yang bernilai pada dirinya sendiri. Prinsip ini berdasarkan paham bahwa manusia adalah person, pusat berpengertian dan berkehendak, yang memiliki kebebasan dan suara hati, mahluk yang berakal budi (Suseno, 1989:133).

  Prinsip ini mempunyai dua arah. Pertama, dituntut agar kita tidak membiarkan diri diperas, diperalat, atau diperbudak. Perlakuan tersebut tidak wajar untuk kedua belah pihak, maka yang diperlakukan demikian jangan membiarkannya berlangsung begitu saja apabila ia dapat melawan, sebab kita mempunyai harga diri. Dipaksa untuk melakukan atau menyerahkan sesuatu tidak pernah wajar. Kedua, kita jangan sampai membiarkan diri terlantar.

  Manusia juga mempunyai kewajiban terhadap dirinya sendiri, berarti bahwa kewajibannya terhadap orang lain diimbangi oleh perhatian yang wajar terhadap dirinya sendiri.

  Sebagai kesimpulan, kebaikan dan keadilan yang kita tunjukkan kepada orang lain, perlu diimbangi dengan sikap yang menghormati diri kita sendiri sebagai mahluk yang bernilai pada dirinya sendiri. Kita mau berbaik kepada orang lain dan bertekad untuk bersikap adil, tetapi tidak dengan membuang diri.

2.4 Sikap-Sikap Kepribadian Moral

2.4.1 Kejujuran Dasar setiap usaha untuk menjadi orang kuat secara moral adalah kejujuran.

  Tanpa kejujuran kita sebagai manusia tidak dapat maju karena kita belum berani menjadi diri kita sendiri. Tidak jujur berarti tidak seia sekata dan itu berarti bahwa kita belum sanggup untuk mengambil sikap lurus. Orang yang tidak lurus, tidak diharapkan oleh orang lain. Tanpa kejujuran, keutamaan-keutamaan moral lainnya akan kehilangan nilai. Bersikap baik terhadap orang lain, tetapi tanpa kejujuran adalah kemunafikan.

  Menurut Suseno (2010:142-143), bersikap jujur terhadap orang lain berarti dua: Pertama, sikap terbuka, kedua sikap fair. Dengan terbuka, tidak dimaksud bahwa segala pertanyaan orang lain harus kita jawab dengan selengkapnya, atau bahwa orang lain berhak untuk mengetahui segala perasaan dan pikiran kita.

  Melainkan yang dimaksud ialah bahwa kita selalu muncul sebagai diri kita sendiri, sesuai dengan kenyakinan kita. Kita tidak menyesuaikan kepribadian kita dengan harapan orang lain. Kedua, terhadap orang lain orang jujur bersikap wajar atau fair, ia memperlakukannya menurut standart-standart yang diharapkannya dipergunakan orang lain terhadap dirinya. Ia menghormati hak orang lain, ia selalu akan memenuhi janji yang diberikan, juga terhadap orang yang tidak dalam posisi untuk menuntutnya. Ia tidak pernah akan bertindak bertentangan dengan suara hati atau kenyakinannya. Tetapi hanya dapat bersikap jujur terhadap orang lain, apabila kita jujur terhadap diri kita sendiri.

  2.4.2 Nilai-Nilai Otentik

  Otentik berarti, kita menjadi diri kita sendiri. “Otentik” berarti asli. Manusia otentik adalah manusia yang menghayati dan menunjukkan diri sesuai dengan keasliannya, dengan kepribadian yang sebenarnya.

  2.4.3 Kesediaan Untuk Bertanggung Jawab

  Kejujuran sebagai kualitas dasar kepribadian moral menjadi dasar dalam kesediaan untuk bertanggung jawab. Bertanggung jawab berarti suatu sikap Kita akan melaksanakannya dengan sebaik mungkin, meskipun dituntut pengorbanan atau kurang menguntungkan atau ditentang oleh orang lain. Tugas itu bukan sekedar masalah dimana kita berusaha untuk menyelamatkan diri tanpa menimbulkan kesan yang buruk, melainkan tugas itu kita rasakan sebagai sesuatu yang mulai sekarang harus kita pelihara, kita selesaikan dengan baik. Merasa bertanggung jawab berarti bahwa meskipun orang lain tidak melihat, kita tidak merasa puas sampai pekerjaan itu diselesaikan sampai tuntas.

  Wawasan orang yang bersedia untuk bertanggug jawab secara prinsipial tidak terbatas. Ia tidak membatasi perhatiannya pada apa yang menjadi urusan dan kewajibannya, melainkan merasa bertanggung jawab di mana saja ia diperlukan. Ia bersedia untuk mengarahkan tenaga dan kemampuan ketika ia ditantang untuk menyelamatkan sesuatu. Ia bersikap positif, kreatif, kritis dan objektif (Suseno, 2010:146).

  Dan lagi, kesediaan untuk bertanggung jawab termasuk kesediaan untuk diminta dan untuk memberikan, mempertanggungjawabkan atas tindakan- tindakannya, atas pelaksanaan tugas dan kewajibannya. Kalau ia ternyata lalai atau melakukan kesalahan, ia bersedia untuk dipersalahkan. Ia tidak pernah akan melempar tanggung jawab atas suatu kesalahan yang diperbuatnya kepada orang lain. Sebaliknya, ia bersedia untuk mengaku bertanggung jawab atas kesalahannya.

  Kesediaan untuk bertanggung jawab demikian adalah tanda kekuatan batin yang sudah mantap.

  Jika kita ingin mencapai kepribadian moral yang kuat, maka kita harus memiliki sikap kemandirian moral. Kemandirian moral berarti bahwa kita tidak pernah ikut-ikutan saja dengan berbagai pandangan moral lingkungan kita, melainkan selalu membentuk penilaiaan dan pendirian sendiri dan bertindak sesuai dengannya. Kita tidak sekedar meniru apa yang biasa.

  Menurut Suseno (2010:147), kemandirian moral adalah kekuatan batin untuk mengambil sikap moral sendiri dan untuk bertindak sesuai dengannya.

  Mandiri secara moral berarti bahwa kita tidak dapat dibeli oleh mayoritas, bahwa kita tidak akan pernah rukun hanya demi kebersamaan kalau kerukunan itu melanggar keadilan. Sikap mandiri pada hakikatnya merupakan kemampuan untuk selalu membentuk penilaian sendiri terhadap suatu masalah moral.

2.4.5 Keberaniaan Moral

  Keberaniaan moral menunjukkan diri dalam tekad untuk tetap mempertahankan sikap yang telah dinyakini sebagai kewajiban, sekalipun tidak disetujui atau secara aktif dilawan oleh lingkungan. Orang yang memiliki keutamaan itu tidak mundur dari tugas dan tanggung jawab juga kalau ia mengisolasikan diri, dibuat merasa malau, dicela, ditentang atau diancam oleh banyak orang, oleh orang-orang yang kuat yang memiliki kedudukan dan juga oleh mereka yang penilaiannya disegani.

  Keberaniaan moral adalah kesetiaan terhadap suara hati yang menyatakan diri dalam kesediaan untuk mengambil resiko konflik (Suseno, 2010:147).

  Keberanian moral berarti berpihak pada yang lebih lemah melawan yang kuat, yang memperlakukannya dengan tidak adil. Orang yang berani secara moral akan yang dinyakini, ia merasa lebih kuat dan berani dalam hatinya , dalam arti ia semakin dapat mengatasi perasaan takut dan malu. Moral keberanian akan membuat kita merasa lebih mandiri. Yang memberikan semangat dan kekuatan berpijak bagi mereka yang lemah.

2.4.6 Kerendahan Hati

  Kerendahan hati tidak berarti bahwa kita merendahkan diri, melainkan bahwa kita melihat diri seada kita. Kerendahan hati adalah kekuatan batin untuk melihat diri sesuai dengan kenyataannya (Suseno, 2010:148). Orang yang rendah hati tidak hanya melihat kelemahannya melainkan juga kekuatannya.

  Dalam bidang moral kerendahan hati tidak hanya berarti bahwa kita sadar akan keterbatasan kebaikan kita, melainkan juga bahwa kemampuan kita untuk memberikan penilaian moral terbatas. Dengan rendah hati, kita betul-betul bersedia untuk memperhatikan dan menanggapi setiap pendapat lawan, bahkan untuk seperlunya mengubah pendapat kita sendiri.

  Kerendahan hati tidak bertentangan dengan keberanian moral. Tanpa kerendahan hati keberanian moral mudah menjadi kesombongan, bahwa kita tidak rela untuk memperhatikan orang lain, atau bahkan kita sebenarnya takut dan tidak berani untuk membuka diri. Orang yang rendah hati sering menunjukkan daya tahan yang paling besar apabila betul-betul harus diberikan perlawanan.

  Orang yang rendah hati tidak merasa diri penting dan karena itu berani untuk mempertaruhkan diri apabila ia sudah menyakini sikapnya sebagai tanggung jawabnya.

  Jepang memiliki beragam nilai moral, salah satunya adalah moral mengenai budaya malu. Budaya malu yang akan digunakan penulis pada analisis ini adalah budaya malu tentang utang budi dan pembayaran utang budi yang diungkapkan oleh Ruth Benedict, yaitu on, gimu, dan giri.

  On

2.5.1 Dalam semua pemakaiannya on mengandung arti suatu beban, suatu utang,

  sesuatu yang harus dipikul seseorang sebaik mungkin. Seseorang yang menerima

  

on akan merasa dirinya lebih rendah dari si pemberi on. Karena on diterima bukan

  hanya dari seorang atasan atau seseorang yang berusia lebih tua saja, namun on juga diterima dari orang setingkatnya (Benedict 1982: 105). Di Jepang, bantuan atau kebaikan yang diterima seseorang akan menjadi on bagi si penerimanya.

  Hal ini yang membuat masyarakat Jepang tidak sembarangan memberikan bantuan, karena mereka takut kalau bantuan atau kebaikan yang mereka lakukan akan menjadi beban bagi si penerima bantuan atau kebaikan tersebut.

  Kebaikan dan kasih sayang seorang ibu juga merupakan on bagi anaknya. Segala sesuatu yang dilakukan sang Ibu baginya ketika ia masih bayi, semua pengorbanan ibunya baginya sebagai anak, segala sesuatu yang dilakukan ibunya untuk kepentingan dirinya sebagai pria dewasa, dan semua hal yang menjadi utangnya terhadap ibunya semata-mata karena ibunya itu ada (Benedict, 1982: 106). Benedict (1982:108) juga menjelaskan bahwa on dari orang tua adalah pemeliharaan sehari-hari dan segala kerepotan yang harus dihadapi bapak dan ibu.

  Gimu Gimu adalah salah satu jenis kewajiban dalam pembayaran sebuah on. Gimu

  merupakan pembayaran tanpa batas atas utang (Benedict, 1982: 122). Yang dimaksud dengan tanpa batas adalah, dimana seseorang yang menanggung on akan membalas atau membayar utang yang tidak memiliki batasan jumlah dan jangka waktu. Orang yang menanggung on tidak akan berhenti membayar utangnya, meskipun dia sudah pernah membayarnya sekali atau dua kali. Karena dia merasa on yang dibebankan terhadapnya sangat berat yang tidak akan cukup bila hanya dibalas sekali atau dua kali saja .

  Benedict (1982: 129) menjelaskan bahwa membesarkan dan mendidik anak- anak sendiri merupakan gimu bagi setiap orang tua di Jepang. Karena bagi bangsa Jepang ini merupakan pembayaran kembali utang-utang kepada nenek moyangnya dengan cara meneruskan kepada anak-anakanya, asuhan yang telah diterimanya sendiri. Gimu sendiri dikelompokkan menjadi dua jenis kewajiban yang berbeda : pembayaran on kepada orang tua sendiri, yang adalah ko, dan pembayaran kembali on kepada Kaisar, yang adalah chu. Kedua gimu ini adalah pembayaran on tanpa batas (Benedict 1982: 122).

  Gimu tetap wajib dibayar seseorang meskipun hal yang diminta dari orang

  yang membebankan on terhadapnya sulit. Menurut Benedict (1982:140-141) bagaimanapun banyaknya tuntutan sukar yang dituntutnya sari seseorang, gimu setidaknya adalah sekelompok kewajiban yang menjadi utang seseorang kepada lingkaran keluarga terdekatnya dan kepada Pengusaha yang menjadi lambang negaranya, cara hidupnya dan cinta kepada negaranya.

  Giri Giri juga merupakan kewajiban membayar kembali utang selain gimu. Giri

  dikelompokkan menjadi dua, yaitu giri terhadap dunia, dan giri terhadap nama seseorang. Pembayaran kembali giri dianggap sebagai suatu pembayaran kembali yang tepat sama besar jumlahnya (Benedict, 1982: 148). Di Jepang memiliki larangan untuk memberikan hadiah yang nilainya lebih tinggi sebagai balasan hadiah yang telah diberikan sebelumnya. Karena memiliki batasan waktu, maka apabila seseorang melewati batas waktu dari pembayaran giri tersebut, maka giri orang tersebut akan terus membesar. Misalnya, pada seorang murid yang merasa harus membayar giri terhadap guru SD nya yang telah mendidiknya namun giri tersebut tidak dibayarnya selama bertahun-tahun, maka giri iya tanggung semakin menumpuk. Ini merupakan salah satu contoh giri terhadap dunia.

  Giri terhadap nama seseorang adalah kewajiban untuk menjaga agar

  reputasinya tidak bernoda (Benedict, 1982: 152). Giri terhadap nama ini merupakan kewajiban yang berada di lingkup on. Maksudnya, seseorang melakukan kewajiban tidak dilakukan tanpa dasar utang tertentu yang dipunyai orang itu pada orang lain. Seseorang yang tidak mampu membayar giri hingga jatuh tempo, maka ia akan bunuh diri untuk membersihkan namanya dan sebagai wujud pambayaran giri nya. Ini merupakan salah satu contoh giri terhadap nama.

  Benedict (1982:155) berpendapat bahwa giri ini juga mencakup banyak tingkah laku yang tenang dan terkendali. Tidak memperlihatkan perasaan, pengendalian diri yang diharuskan dari seorang Jepang yang mempunyai harga diri, merupakan bagian dari giri terhadap nama. dan sesuai dengan tempat yang dia tinggali. Seperti yang di jelaskan oleh Benedict (1982:156) bahwa giri terhadap nama juga mewajibkan seseorang untuk hidup sesuai dengan tempatnya dalam hidup ini.

2.6 Ruang Lingkup Pendekatan Moralitas dan Semiotika

  Kata moral berasal dari bahasa latin mores. Mores berasal dari kata mos yang berarti kesusilaan, tabiat atau kelakuan. Moral dengan demikian dapat diartikan ajaran kesusilaan. Moralitas berarti hal mengenai kesusilaan. Moralitas adalah sistem nilai tentang bagaimana kita harus hidup secara baik sebagai manusia (Simanjuntak, 2011:18). Sistem nilai ini terkandung dalam ajaran berbentuk petuah-petuah, nasihat, wejangan, peraturan, dan semacamnya, yang diwariskan secara turun-temurun melalui agama atau kebudayaan tertentu tentang bagaimana manusia harus hidup secara baik, agar ia benar-benar menjadi manusia yang baik. Moralitas juga memberi manusia aturan atau petunjuk konkret tentang bagaimana ia harus bertindak dalam hidup ini sebagai manusia yang baik dan bagaimana menghindari perilaku-perilaku yang tidak baik.

  Ada perkataan lain yang mengungkapkan kesusilaan yaitu etika. Perkataan etika berasal dari bahasa yunani ethos dan ethikos yang berarti kesusilaan, perasaan batin, kecenderungan untuk melakukan suatu perbuatan.

  Dalam Kamus Umum Bahasa Indonesia dari W.J.S Poerwadarminto (dalam Salam 2000:2), terdapat keterangan bahwa moral adalah ajaran tentang baik-buruk perbuatan dan kelakuan, sedangkan etika adalah ilmu pengetahuan tentang asas- asas akhlak (moral). mempunyai pengertian yang sama dengan kesusilaan, yaitu memuat ajaran tentang baik buruknya perbuatan. Jadi, perbuatan itu dinilai sebagai perbuatan yang baik atau perbuatan yang buruk. Penilaian itu menyangkut perbuatan yang dilakukan dengan sengaja. Memberikan penilaian atas perbuatan dapat disebut memberikan penilaian etis atau moral. Sasaran dari moral adalah keselarasan dari perbuatan manusia dengan aturan-aturan mengenai perbuatan-perbuatan manusia itu sendiri.

  Secara etimologis istilah semiotika berasal dari bahasa Yunani semeion yang berarti ‘tanda’ (Sudjiman dan van Zoest, 1996: vii). Semiotika kemudian didefinisikan sebagai studi tentang tanda dan cara tanda-tanda itu bekerja.

  Pokok perhatian semiotika adalah tanda. Tanda itu sendiri adalah sebagai sesuatu yang memiliki ciri khusus yang penting. Pertama, tanda harus dapat diamati, dalam arti tanda itu dapat ditangkap. Kedua, tanda harus menunjuk pada sesuatu yang lain. Artinya bisa menggantikan, mewakili dan menyajikan.

  Preminger dalam Pradopo (2003: 119) berpendapat semiotik adalah ilmu tentang tanda-tanda. Ilmu ini menganggap bahwa fenomena sosial/masyarakat dan kebudayaan itu merupakan tanda-tanda, semiotik itu mempelajari sistem-sistem, aturan-aturan, dan konvensi-konvensi yang memungkinkan tanda-tanda tersebut mempunyai arti. Dari pengertian semiotik tersebut dapat disimpulkan bahwa semiotik (semiotika) adalah ilmu untuk mengetahui tentang sistem tanda, konvensi-konvensi yang ada dalam komunikasi dan makna yang terkandung di dalamnya. penanda (signifier) dan petanda (signified). Penanda adalah bentuk normalnya yang menandai sesuatu yang disebut petanda, sedangkan petanda adalah sesuatu yang ditandai oleh petanda itu yaitu artinya. Contohnya, kata “Ibu” merupakan tanda suatu bunyi yang menandai arti ‘orang yang melahirkan kita’.

2.7 Biografi Pengarang Lily Franky lahir 04 November 1963 di Kyushu utara, Fukuoka, Jepang.

  Lily Franky adalah nama pena yang ia gunakan, nama sesungguhnya adalah Masaya Nakagawa. Nama lily franky ia gunakan agar orang-orang yang membaca karyanya merasa penasaran apakah ia seorang wanita atau pria, apakah orang asing atau orang jepang. Ia ingin terkesan misterius. Lily franky merupakan lulusan dari Mushashino Art University di Tokyo.dia mengawalikarirnya dengan menjadi seorang ilustrator dan kolumnis di sebuah majalah. Gaya penulisannya memiliki respon yang baik. Saat ini ia dikenal sebagai penulis di buku-buku anak- anak, fotografer, desainer, dan penulis lirik.

  Pria yang memiliki tinggi 174cm dan berat 62kg ini melakukan debut pertamanya sebagai penulis fiksi pada tahun 2003, yaitu dengan mengeluarkan koleksi cerita pendek yang berjudul “Boroboro Natta ni hito e”. Yang kemudian dilanjutkan dengan menulis sebuah otobiografi tentang dirinya, yang berjudul Tokyo Tower: (Mom and Me, and Sometimes Dad). Novel Tokyo Tower ini mengisahkan tentang kehidupannya bersama ibunya dan terkadang bersama ayahnya. Novel ini menjadi best seller. Kemudian novel ini dibuat menjadi sebuah serial TV dan sebuah Film dengan judul yang sama.Dia juga beberapa kali dan

  Killer Dwarf)” “Gururi no Koto (All Around Us).”

Dokumen yang terkait

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Mikosis Paru - Analisa Aspergillus fumigatus dengan Menggunakan Polymerase Chain Reaction (PCR) dan Kultur Pada Sputum Penderita Batuk Kronis

0 1 26

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang - Analisa Aspergillus fumigatus dengan Menggunakan Polymerase Chain Reaction (PCR) dan Kultur Pada Sputum Penderita Batuk Kronis

0 0 8

BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Jenis Penelitian - Gambaran Perilaku Ibu Terhadap Pemeliharaan Kesehatan Gigi Pada Anak di SD Negeri 064023 Kemenangan Tani Medan Tahun 2015

1 2 32

GAMBARAN PERILAKU IBU TERHADAP PEMELIHARAAN KESEHATAN GIGI PADA ANAK DI SD NEGERI 064023 KEMENANGAN TANI TAHUN 2015 Skripsi ini diajukan sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Kesehatan Masyarakat

1 2 13

BAB II TINJAUAN PUSTAKA - Kajian Pemilihan Moda Transportasi Antara Angkutan Kota dengan Monorel Menggunakan Metode Stated Preference (Studi Kasus: Rencana Pembangunan Monorel Kota Medan)

0 2 33

BAB I PENDAHULUAN - Kajian Pemilihan Moda Transportasi Antara Angkutan Kota dengan Monorel Menggunakan Metode Stated Preference (Studi Kasus: Rencana Pembangunan Monorel Kota Medan)

0 1 8

BAB II TINJAUAN PUSTAKA - Analisis Pengaruh Fluktuasi Kenaikan BBM Terhadap Penjualan Pedagang Pasar Tradisional Perumnas Simalingkar

0 0 23

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Landasan Teori 2.1.1 Pengertian Efisiensi - AnalisisPengaruh Efesiensi Modal Kerja Terhadap Tingkat Likuiditas Perusahaan Manufaktur Yang Terdaftar di Bursa Efek Indonesia (BEI)

0 3 17

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Karies Gigi - Hubungan Karies Dan Karies Tidak Dirawat Dengan Kualitas Hidup Pada Masyarakat Dewasa Usia 20-40 Tahun Di Desa Deli Tua Kecamatan Namorambe

0 3 13

2.1 Latar Belakang Lingkungan Sosial Budaya Burhanuddin Usman - Peranan Burhanuddin Usman Sebagai Pemusik Saksofon dalam kebudayaan Musik Melayu

0 0 22