PENDAHULUAN DINAMIKA PSIKOLOGIS HARGA DIRI PADA WARIA.

1

BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah
Tuhan menciptakan jenis manusia menjadi dua yaitu laki-laki dan perempuan.
Keduanya

memiliki

dan

menjalankan

perannya

masing-masing

mengalami


pertumbuhan dan perkembangan baik secara fisiologis maupun secara psikologis.
Manusia terus belajar ke arah yang lebih baik, mengadakan interaksi antara yang satu
dengan yang lainnya.
Seiring perkembangan manusia, penyimpangan seksual telah banyak mewarnai
kehidupan saat ini. Salah satu subjek yang mengalami penyimpangan seksual adalah
waria atau wanita pria. Menurut Simanjutak (1981) waria adalah orang yang mengalami
kepuasan dengan bertingkah laku sebagai orang yang berjenis kelamin lain. Laki-laki
yang mengidentifikasikan dirinya sebagai wanita dari mulai penampilan pakaian, bentuk
tubuh, sampai dengan naluriahnya sudah teridentifikasi sebagai wanita. Orientasi
seksualnya pun sudah seperti wanita yang hanya tertarik pada pria.
Keberadaan waria tidak bisa dipungkiri dalam kehidupan ini. Waria ada dalam
tengah-tengah kehidupan masyarakat dan sering menyisakan persoalan, terutama
menyangkut perilaku waria yang tidak hanya mengundang senyum tetapi juga
keresahan. Sebagian besar masyarakat belum bisa menghargai waria, masyarakat
cenderung memberikan cacian kepada waria, bahkan dianggap sebagai bahan tertawaan.
Menurut Koeswinarno (1993) hal ini disebabkan karena pengetahuan masyarakat yang

1

2


minim tentang waria serta citra yang sudah terlanjur melekat bahwa waria identik
dengan pelacur jalanan. Masyarakat sendiri mempunyai persepsi yang berbeda-beda
tentang waria. Masyarakat menganggap waria sebagai sesuatu yang aneh, lucu,
menjijikkan, bahkan dianggap sebagai sampah masyarakat.
Kehadiran waria yang menempati suatu wilayah tertentu atau saat malam hari
mangkal dipinggir jalan menunggu tamu, juga memberikan suatu pandangan yang tidak
nyaman untuk dinikmati. Setidaknya keadaan ini memberikan kesan dan nama yang
kurang baik bagi lingkungan tersebut dimata masyarakat. Bagi masyarakat yang tinggal
disekitarnya, keadaan tersebut sebenarnya merupakan suatu gangguan baik dari segi
keamanan, pendidikan, maupun secara sosial. Pemerintah pun menganggap hal ini
sebagai bentuk pelacuran dan dengan berbagai upaya berusaha untuk menekan
perkembangannya, akan tetapi sampai saat ini segala bentuk prostitusi dan pelacuran
masih tetap ada, bahkan terus berkembang. Banyak kalangan menyatakan bahwa
kegiatan prostitusi tidak mungkin bisa diberantas atau dihapus dari kehidupan manusia.
Hal ini dikarenakan pelacuran merupakan permasalahan yang komplek dan menyangkut
berbagai bidang. Koentjoro (1999) menyatakan bahwa masalah pelacuran bukanlah
masalah moral semata, namun juga masalah psikologi, kesehatan, sosial, hukum,
bahkan budaya.
Kehidupan yang dialami oleh waria seperti ini merupakan suatu kenyataan yang

pahit. Keberadaannya menimbulkan permasalahan dan ditentang oleh banyak pihak.
Seperti yang dialami oleh Sundoro (Koeswinarno,1996). Sundoro yang kini dikenal
dengan nama Sundari pernah melarikan diri dari keluarganya ketika ia mulai kenal

3

dengan teman – teman waria di Mojo kulon. Alasan lari dari keluarga lebih disebabkan
karena norma keluarga dan sosial yang tidak bisa menerima keberadaan dirinya yang
sering keluar malam dengan memakai pakaian perempuan. Sundari memerlukan
lingkungan yang menerimanya secara utuh sebagai wanita, lingkungan yang bisa
menerimanya ketika Sundari berkumpul bersama teman – taman warianya. Keadaan
seperti ini akan menghambat perkembangan bakat dan potensi yang dimiliki karena
dengan lari dari keluarga, waria tidak mendapat kesempatan memperoleh pendidikan.
Ketika mulai muncul kebutuhan hidup, sementara waria pergi meninggalkan keluarga
tanpa bekal pendidikan dan ketrampilan khusus, maka yang terlintas adalah eksploitasi
diri dengan melacur mencoba menjalani hidup dengan mandiri tanpa tergantung pada
orang lain.
Menurut Koentjoro (1999) faktor pembentukan perilaku melacurkan diri adalah
faktor kemiskinan dan kepribadian yang dimaksudkan disini adalah harga diri. Salah
satu masalah kepribadian yang perlu mendapatkan perhatian adalah kondisi harga diri

yang rendah. Harga diri yang rendah dapat mengakibatkan individu menghindari
pekerjaan yang baru, takut memulai persahabatan, menghindari kontak sosial,
cenderung mengisolasi, kurang berani mengemukakan pendapat, bertindak semaunya
sendiri, pasif, agresif, dan merusak dirinya sendiri.
Hal ini merupakan fenomena yang layak kita kaji mengingat begitu
kompleksnya kehidupan waria tersebut. Meskipun didera berbagai masalah, baik dalam
diri waria maupun dalam hubungan sosial, jumlah waria tidak semakin surut. Hal ini
dibuktikan dari tahun ke tahun, jumlah waria semakin bertambah. Sebuah data yang

4

penulis peroleh dari peneliti sebelumnya, Prasetyowati (1999) menuliskan, pada tahun
1996, jumlah waria di Solo sebanyak 67 orang, yang tergabung didalam Hiwaso, dan
hingga sekarang, Hiwaso (2009), jumlah waria dalam Himpunan Waria Solo menjadi
130 orang waria.
Branden (2001) mengemukakan bahwa

Harga diri merupakan kunci

keberhasilan dan kegagalan juga merupakan kunci dalam memahami diri kita sendiri

dan diri orang lain. Individu yang mempunyai harga diri yang rendah, sering
menunjukan perilaku yang kurang aktif, atau bersikap pasif, kurang percaya diri, tidak
mampu mengekspresikan dan memmpertahankan diri, terlalu lemah untuk mengatasi
dan memnghadapi kekurangannya, sering dihadapkan untuk persoalan- persoalan dari
dalam dirinya, serta cenderung menolak dirinya, menunjukan sifat tergantung dan
biasanya mengalami kesulitan dalam proses sosialisasi. Individu yang mempunyai harga
diri yang kokoh berarti merasa cocok dengan kehidupan dan penuh keyakinan, yaitu
mempunyai kompetensi dan sanggup mengatasi masalah- masalah kehidupan,
sedangkan individu dengan harga diri yang rapuh berarti merasa tidak cocok dengan
kehidupan, merasa bersalah, bukan terhadap masalah-masalah kehidupan atau lainnya,
tetapi merasa bersalah terhadap diri sendiri. Semakin kokoh harga diri seseorang,
semakin hormat dan bijak dalam memperlakukan orang lain
Branden (2001) juga menyatakan bahwa, harga diri merupakan perpaduan
antara kepercayaan diri (self – confidence) dengan penghormatan diri (self – respect).
Harga diri menggambarkan keputusan seseorang secara implisit atas kemampuan dalam
mengatasi tantangan- tantangan kehidupan dan hak seseorang untuk menikmati

5

kebahagiaan. Harga diri memungkinkan manusia mampu menikmati dan menghayati

kehidupan,

sehingga

seseorang

yang

gagal

memilikinya

akan

cenderung

mengembangkan gambaran harga diri yang semu untuk menutupi kegagalannya itu.
Sementara itu Chaplin (2002) memberikan pengertian tentang harga diri adalah
penilaian diri yang dipengaruhi oleh sikap, interaksi, penghargaan, dan penerimaan
orang lain. Selanjutnya Koentjoro (1989), menyimpulkan bahwa harga diri merupakan

bagian dari konsep diri yang mengarah pada kebahagiaan diri yang dirancang dan
dilaksanakan oleh individu yang sebagian berasal interaksinya dengan lingkungan,
penerimaan dan perlakuan orang lain yang ditujukan pada dirinya serta didalamnya
terkandung adanya perasaan menyukai dirinya sendiri.
Coopersmith (1967) menyatakan bahwa Harga diri bukanlah sesuatu yang
muncul secara tiba- tiba, dengan sendirinya, ataupun dibawa sejak lahir, tetapi melalui
sesuatu proses dan pembentukannya dimulai dari masa kanak- kanak serta
perkembangannya terjadi sepanjang hidup. Harga diri ini terbentuk dan berkembang
melalui interaksi dengan lingkungan, penerimaan dan perlakuan orang lain terhadap
individu yang bersangkutan.
Upaya untuk menjaga harga diri masalah cukup berat, karena tidak ada orang tua
yang bangga mengetahui anaknya menjadi waria, atau tidak ada keluarga yang merasa
senang mengetahui salah satu anggota keluarganya mengalami penyimpangan seksual,
yang berdampak menjadi seorang pelacur. Mereka yang mampu berharap suatu saat
jalan itu akan terbuka lebar, agar mereka bisa menghilangkan beban tersebut, sehingga

6

mereka mampu melihat dirinya sebagai orang yang berharga dan menghargai diri
mereka sendiri.

Bertitik tolak dari latar belakang permasalahan di atas maka peneliti ingin
mengkaji lebih mendalam bagaimana

dinamika psikologis harga diri pada waria.

Berdasarkan rumusan masalah tersebut maka peneliti tertarik untuk mengadakan
penelitian dengan judul “Dinamika Psikologis Harga Diri Pada Waria “

B. Tujuan Penelitian
Sesuai latar belakang masalah yang telah diuraikan di atas, maka tujuan yang
ingin dicapai adalah untuk mengetahui Dinamika Psikologis Harga Diri Pada Waria.

B. Manfaat Penelitian
Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat praktis sebagai
berikut :
a. Bagi para waria agar dapat digunakan sebagai referensi dalam memahami
bagaimana sebenarnya cara menghargai diri sendiri agar menjadi individu yang
lebih berharga dalam kehidupannya.
b. Bagi peneliti lain, agar penelitian ini dapat digunakan sebagai bahan informasi
dan referensi dalam melakukan penelitian sejenis, dengan variabel-variabel lain

yang belum disertai dalam penelitian ini.

7

c. Penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi bagi khasanah ilmu
pengetahuan

dibidang

ilmu

psikologi

khususnya

psikologi

sosial.