Dinamika Harga diri Pada Pemakai Body Piercing

(1)

DINAMIKA HARGA DIRI PADA PEMAKAI BODY PIERCING

Proposal Skripsi Guna Memenuhi Persyaratan Ujian Skripsi Psikologi Sosial

Oleh:

ARUM MUTIA SYLVIANA 031301043

FAKULTAS PSIKOLOGI UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN


(2)

KATA PENGANTAR

Bismillahirrahmaanirrahim, segala puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa atas ridho dan karunia-Nya yang senantiasa menyertai penulis sehingga saya diberikan kekuatan dan kemampuan untuk dapatmenyelesaikan skripsi ini. Skripsi yang penulis selesaikan ini berjudul “Dinamika Harga Diri Pada Pemakai Body Piercing” yang diajukan untuk melengkapi tugas-tugas dan memenuhi syarat untuk mencapai gelar sarjana Psikologi di Fakultas Psikologi Universitas Sumatera Utara.

Penulis menyadari bahwa skripsi ini masih jauh dari sempurna, karena keterbatasan kemampuan, baik pengetahuan maupun keterampilan penulis tentang proses pencarian makna hidup pada pecandu alkohol wanita. Oleh karena itu Penulis memohon saran dan kritikan yang bersifat membangun demi kesempurnaan skripsi ini.

Medan, Desember 2008 Hormat Saya


(3)

ABSTRAK

Fakultas Psikologi Universitas Sumatera Utara

Arum Mutia Sylviana

Dinamika Harga diri Pada Pemakai Body Piercing 1x + 139 + Lampiran

Bibliografi 27 (1996-2007)

Fenomena memodifikasi tubuh telah banyak popular di kalangan remaja bahkan dewasa muda di Indonesia. Anak-anak remaja yang akrab memodifikasi tubuhnya dengan melubangi bagian tibih tertentu biasa diistilahkan dengan body piercing. Menindik tubuh ini pada lazimnya di lakukan di daerah telinga, namun seiring dengan perkembangan zaman tindik tubuh mulai banyak di lakukan di beberapa bagian tubuh seperti lidah, hidung, bibir, dan area tubuh lainnya.

Karakteristik tubuh berpenngaruh terhadap harga diri seseorang dan tubuh merupakan sember pembentukan harga diri seseorang. Harga diri terbentuk dari multidimensi, yaitu dimensi akademik, dimensi fisik, dimensi sosial dan dimensi emosi. Dinamika harga diri terbenruk dari susunan keempat multidimensi ini. Dalam penelitian ini digunakan metode kualitatif, karena dengan metode ini dapat dipahami tingkah laku individu menurut pemahaman dan sudut pandang si pelaku. Untuk pengambilan data digunakan metode wawancara mendalam. Penelitian ini melibatkan sebanyak 2pemakai body piercing.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa kedua responden penelitian sama-sama berada pada tahap penemuan makna hidup namun memiliki sumber makna hidup yang berbeda. Responden A memiliki dinamika harga diri dan merasa hidupnya berharga danbermakna. Sedangkan responden B memiliki dinamika harga diri yang merasa hidupnya kurang bermakna .

Implikasi dari penelitian ini berguna bagi para pemakai body piercing dapat keluar dari penghayatan tak bermakna dalam bentuk mengkonsumsi minuman beralkohol dan juga bagi lingkungan sosialnya termasuk keluarga dan teman untuk memberikan dukungan sosial kepada pemakai body piercing agar dapat mencapai kebahagiaan dan kehidupan bermakna, baik dengan cara memberikan perhatian, menjalin komunikasi yang baik dan hubungan yang saling memberikan kasih sayang.


(4)

DAFTAR ISI

ABSTRAK ... i

KATA PENGANTAR ... ii

DAFTAR ISI ... iii

BAB I PENDAHULUAN I.A. Latar Belakang Masalah ... 1

I.B. Identifikasi Masalah ... 9

I.C. Tujuan Masalah ... 9

I.D. Manfaat Penelitian I.D.1. Manfaat Teoritis ... 9

I.D.2. Manfaat Praktis ... 10

I.E. Sistematika Penulisan ... 10

I.F. Paradigma ... 12

I.G. Uraian Paradigma... 13

BAB II LANDASAN TEORI II.A. Harga Diri ... 15

II.A.1. Defenisi Harga Diri ... 15

II.A.2. Multidimensi Harga Diri ... 15

II.A.3. Struktur Multidimensi Harga Diri ... 16

II.A.4. Tahapan Harga Diri ... 18


(5)

II.A.6. Dinamika Harga Diri ... 20

II.B. Body Piercing ... 22

II.B.1. Definisi Body Piercing... 22

II.B.2. Jenis Alkohol Wanita ... 23

BAB III METODE PENELITIAN III.A. Pendekatan Kualitatif ... 26

III.B. Metode Pengumpulan Data ... 27

III.B.1. Wawancara ... 27

III.B.2. Observasi ... 28

III.C. Lokasi Penelitian ... 28

III.D. Responden Penelitian ... 28

III.D.1. Karakteristik Responden ... 28

III.D.2. Teknik Pengambilan Responden ... 29

III.E. Alat Bantu Pengumpulan Data ... 29

III.F. Prosedur Penelitian ... 30

III.G. Metode Analisis Data ... 31

BAB IV ANALISA DAN INTERPRETASI IV.A. Analisa Kasus Responden A ... 33

IV.A.1. Biodata Responden A... 33

IV.A.2. Gambaran Diri Responden A ... 33

IV.A.3. Tahapan Penemuan Makna Hidup pada Responden A ... 37


(6)

IV.A.3.b. Tahap Penerimaan Diri ... 39

IV.A.3.c. Tahap Penemuan Makna Hidup ... 42

IV.A.3.c.(1). Nilai Kreatif ... 42

IV.A.3.c.(2). Nilai Bersikap ... 43

IV.B. Interpretasi Data responden A ... 44

IV.C. Analisa Kasus Responden B ... 57

IV.C.1. Biodata Responden B ... 57

IV.C.2. Gambaran Diri Responden B ... 57

IV.C.3. Tahapan Penemuan Makna Hidup pada Responden B ... 60

IV.C.3.a. Tahap Derita ... 60

IV.C.3.b. Tahap Penerimaan Diri... 62

IV.C.3.c. Tahap Penemuan Makna Hidup ... 65

IV.C.3.c.(1). Nilai Kreatif ... 65

IV.C.3.c.(2). Nilai Bersikap ... 66

IV.C.3.c.(3). Nilai Penghayatan ... 67

IV.D. Interpretasi Data Responden B ... 68

IV.E. Analisa Data Antar Responden ... 80

IV.E.1. Analisis Banding Antar Responden Berdasarkan Proses Penemuan Makna Hidup ... 85

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN V.A. Kesimpulan ... 89


(7)

V.C. Saran ... 92

V.C.1. Saran Praktis ... 92

V.C.2. Saran Penelitian Lanjutan ... 93


(8)

ABSTRAK

Fakultas Psikologi Universitas Sumatera Utara

Arum Mutia Sylviana

Dinamika Harga diri Pada Pemakai Body Piercing 1x + 139 + Lampiran

Bibliografi 27 (1996-2007)

Fenomena memodifikasi tubuh telah banyak popular di kalangan remaja bahkan dewasa muda di Indonesia. Anak-anak remaja yang akrab memodifikasi tubuhnya dengan melubangi bagian tibih tertentu biasa diistilahkan dengan body piercing. Menindik tubuh ini pada lazimnya di lakukan di daerah telinga, namun seiring dengan perkembangan zaman tindik tubuh mulai banyak di lakukan di beberapa bagian tubuh seperti lidah, hidung, bibir, dan area tubuh lainnya.

Karakteristik tubuh berpenngaruh terhadap harga diri seseorang dan tubuh merupakan sember pembentukan harga diri seseorang. Harga diri terbentuk dari multidimensi, yaitu dimensi akademik, dimensi fisik, dimensi sosial dan dimensi emosi. Dinamika harga diri terbenruk dari susunan keempat multidimensi ini. Dalam penelitian ini digunakan metode kualitatif, karena dengan metode ini dapat dipahami tingkah laku individu menurut pemahaman dan sudut pandang si pelaku. Untuk pengambilan data digunakan metode wawancara mendalam. Penelitian ini melibatkan sebanyak 2pemakai body piercing.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa kedua responden penelitian sama-sama berada pada tahap penemuan makna hidup namun memiliki sumber makna hidup yang berbeda. Responden A memiliki dinamika harga diri dan merasa hidupnya berharga danbermakna. Sedangkan responden B memiliki dinamika harga diri yang merasa hidupnya kurang bermakna .

Implikasi dari penelitian ini berguna bagi para pemakai body piercing dapat keluar dari penghayatan tak bermakna dalam bentuk mengkonsumsi minuman beralkohol dan juga bagi lingkungan sosialnya termasuk keluarga dan teman untuk memberikan dukungan sosial kepada pemakai body piercing agar dapat mencapai kebahagiaan dan kehidupan bermakna, baik dengan cara memberikan perhatian, menjalin komunikasi yang baik dan hubungan yang saling memberikan kasih sayang.


(9)

BAB I PENDAHULUAN

I. A. Latar Belakang

Tubuh adalah bagian yang melekat pada individu sebagai titik pusat diri. Sebagai media yang tepat untuk dipromosikan dan divisualkan, tubuh merupakan proyek besar yang dapat terus dibongkar, ditata ulang, dieksplorasi, didandani atau disakiti, semata untuk menciptakan gaya tertentu. Media-media yang digunakan untuk memamerkan tubuh ini sangat beragam, salah satunya dengan melubangi area khusus pada bagian fisik tertentu yang diistilahkan dengan body piercing. Sebagai tanda bagi manusia menghiasi tubuh dan penampilannya (Muliani dan Sasmito, 2003).

Kemunculan awal body piercing diperkirakan sudah ada pada zaman prasejarah, dimana pada zaman itu tindik merupakan suatu tanda jabatan dan kecantikan. Bukti prasejarah ini berlanjut dengan adanya penemuan arkeologi di daerah gletser Itali yang menjumpai tubuh mumi “Otzy The Ice Men” dengan menggunakan tindik di telinga berdiameter 7-11 milimeter. Kemudian pada 5000 tahun yang lampau, Pharaoh atau raja oleh bangsa Mesir juga melakukan piercing di daerah pusar (Washington Post, November 2006).

Sejarah telah mencatat bahwa bangsa Mesir melakukan tindakan penindikan pada tubuh, kegiatan seni piercing ini juga diikuti oleh bangsa


(10)

Yunani dan Romawi dimana abad ke 14 tentara Romawi menindik bagian puting mereka, sebagai simbol dari kejantanan (youngswomenhealth, Januari 2006). Penemuan-penemuan ini menggambarkan bahwa body piercing telah dipraktekkan pada kumpulan masyarakat leluhur dengan beragam kebudayaan di dunia.

Beberapa suku primitif seperti Aztec dan Maya, juga menindik lidah mereka secara permanen sebagai bagian dari blood ritual. Suku Indian menindik kait besi di bagian dada sebagai ritual yang dinamakan okipa, yang diperuntukkan bagi tentara atau panglima perang. Kemudian salah satu suku di India setiap bulan Februari melakukan ritual kavandi yaitu menusuki tubuh mereka dengan jarum sepanjang satu meter sebagai tanda penghormatan kepada dewa, sedangkan perilaku menindik hidung bagi masyarakat mulai populer di sekitar abad ke 16. (Mulden, 1997).

Penelitian yang dilakukan oleh Elnekave (2006) tentang hubungan suku bangsa dan pemakaian body piercing, menunjukkan bahwa satu suku di Afrika sejak zaman dahulu telah melakukan kegiatan tindik tubuh untuk menarik perhatian dari lawan jenisnya. Selain itu piercing juga berfungsi sebagai tanda dari status sosial seseorang. Hal ini tidak hanya djumpai pada suku-suku yang terdapat di Afrika, tetapi suku di daerah di Asia juga tidak asing dengan bentuk modifikasi tubuh ini. Secara umum, penggunaan body piercing digunakan sebagai tanda kecantikan, kemakmuran, status, keberanian, penentraman jiwa, dan perjuangan hidup.


(11)

Di Indonesia, pada awalnya body piercing dikenal di kepulauan Mentawai, daerah Papua, dan Dayak (Suara Karya, Juli 2006). Suku Dayak di Kalimantan mengenal tradisi penandaan tubuh melalui tindik di daun telinga sejak abad ke-17. Tidak sembarangan orang bisa menindik diri karena hanya pemimpin suku atau panglima perang yang mengenakan tindik di kuping. Sedangkan perempuan-perempuan suku Dayak sengaja memperbesar lubang tindik di lubang telinga mereka hingga terjuntai agar dibilang cantik. Di daerah Irian Jaya, memakai body piercing adalah tanda pertempuran melawan hewan buruan, dan juga sebagai tanda pemilik tempat tertentu (Elnekave, 2006). Pria pada suku Dani di Papua memasang hiasan tanduk hewan di hidung sebagai lambang keperkasaan. Model primitif inilah yang akhirnya banyak ditiru komunitas piercing di dunia.

Kata piercing berkenaan dengan tindik yang dilakukan pada bagian tubuh tertentu. Hewitt dan Armstrong (1999) mendefinisikan body piercing sebagai penciptaan suatu lubang yang dapat dilewati ornamen atau perhiasan yang akan dikenakan. Sedangkan menurut Suyasa dan Djoenaina (2005), body piercing adalah kegiatan melubangi bagian-bagian tubuh dan pemakaian aksesoris pada bagian-bagian tersebut.

Dalam melakukan piercing, telinga adalah bagian tubuh yang lazim untuk ditindik. Walaupun kegiatan body piercing dengan melubangi telinga sudah menjadi sangat popular semenjak lebih dari satu dekade yang silam, tetapi pada masa sekarang banyak dari bagian tubuh seperti lidah, bibir,


(12)

hidung, alis mata, pusat, bahkan bagian genital dapat dijadikan sebagai tempat tindik tubuh (Meltzer, 2005). Dapat disimpulkan bahwa body piercing adalah bentuk dari seni modifikasi tubuh dengan cara menindik bagian-bagian tubuh tertentu yang bertujuan untuk memakai perhiasan pada lubang yang diciptakan.

Menurut penelitian yang dilakukan oleh Deschenes dkk (2006) diketahui bahwa dalam 10 tahun terakhir banyak artikel yang dipublikasikan mengenai peningkatan popularitas pemakaian body piercing pada masyarakat barat, khususnya diantara para remaja. Hasil penelitian tersebut menemukan bahwa 27% dari anak SMU di Quebec mengenakan tindik tubuh dengan alasan ekspresi diri sebagai individu yang unik dan spesial, dan merupakan simbol dari estetika.

Penelitian di atas sejalan dengan penelitian Armstrong (2005), yang membuktikan maraknya body piercing di Amerika dengan melihat studio body art yang makin menjamur di beberapa tempat. Fenomena ini akhirnya menyadarkan pemerintah beberapa negara bagian di Amerika untuk membuat regulasi tentang kegiatan body piercing. Salah satu isi dari regulasi tersebut calon body piercer yang akan di-piercing minimal berusia 18 tahun dan mendapat izin dari orang tua, dan juga tidak berada dalam pengaruh alkohol dan obat-obatan.

Selain remaja, ternyata banyak dari orang dewasa yang menindik tubuh mereka. Hasil penelitian Armstrong (2005) memperlihatkan


(13)

peningkatan pemakaian body piercing sejalan dengan pertambahan umur. Ferguson (1999) juga mengungkapkan hasil survei yang dilakukan Body Art Magazine terhadap 134 responden yang telah memakai piercing, menyatakan 79% body piercer berumur 29 tahun dan 58% nya sudah menikah dengan waktu yang lama.

Armstrong (2005) menyatakan bahwa 33% dari individu dewasa muda yang berusia antara 18-25 tahun di Amerika Serikat memakai body piercing, dengan motif umum sebagai “uniqueness and be my self”. Seperti yang dituturkan seorang ibu dari 4 anak, Jane Lansdowne (34) dalam (Martell, 2007) tentang alasannya memakai beberapa tindik tubuh:

“This is how express myself. I’m not an artist. I don’t do paint or anything like that. So I express my creativity with my body”

Motif dari perilaku seseorang akan tergantung dari budaya dan kepribadian seseorang serta situasi yang dihadapinya (Boosoon dkk dalam Baron dan Byrne, 2004), dimana motif-motif pada diri individu akan terkait dengan harga dirinya. Di Indonesia sendiri, gambaran mengenai body piercing tergambar dalam salah satu artikel pada situs indonesiansubculture.com sebagai berikut:

Para remaja Indonesia, khususnya remaja di kota Bandung, mengenal tindik tubuh sekitar tahun 1970, dan kegiatan seni tubuh ini mulai diminati oleh masyarakat luas pada era 90-an. Awalnya, tindik dipakai oleh pemain band beraliran keras, tetapi pada tahun 2000-2004 body piercing merupakan lifestyle.


(14)

Prass dan Latief (2003) memaparkan ada berbagai alasan kaum muda melakukan body piercing. Elda seorang remaja putri yang melakukan tindik tubuh sejak lulus SMU, mengaku melakukan hal tersebut dengan alasan mengikuti tren. Ketika Elda pertama kali melakukan piercing, belum banyak anak muda yang melakukannya. Namun kini, telah banyak remaja yang telah melakukannya.

“Dulu saya merasa lebih gaya, karena belum banyak melakukannya. Tapi kini, biasa saja. Habis banyak anak muda berpiercing ria. Jadinya tidak istimewa”

Seni piercing juga sudah menjadi bagian gaya hidup kaum dewasa muda di kota-kota besar di Indonesia. Bagi kaum dewasa muda zaman sekarang, selain dianggap bisa mendongkrak penampilan, tindik juga menjadi sarana ekspresi diri. Sebuah simbol kebebebasan dari segala komunitas yang ada. Setidaknya, demikian pengakuan salah seorang pemuda metropolitan yang memiliki lebih dari satu tindikan di tubuhnya (komunikasi personal, 1 April 2007):

“Memang sih ada yang ditindik buat gaya-gayaan, atau ditindik biar dibilang funky tapi gue ditindik karena begini gue..“.

Dari pemaparan di atas tergambar bahwa kegiatan body piercing dikatakan sebagai suatu cara untuk mengekspresikan diri. Hal ini sesuai dengan penelitian Armstrong dkk (2004), yang menyebutkan bahwa kebanyakan piercing bertujuan untuk mengekspresikan diri dan identitas. Demikian juga dengan pengungkapkan alasan seorang pemakai piercing lainnya dalam (komunikasi personal, 16 April 2007) :


(15)

“Awalnya aku memakai piercing karena ikut-ikutan tren, soalnya band musik yang aku sukai...pakai piercing pada tubuhnya. Lama-lama setelah aku pakai piercing ini...baru aku ngerasa piercing ku ini bagian dari diriku sendiri. Temen-temen ku juga pada bilang kalau aku tanpa piercing itu bukan aku, gitu...selain aku pakai piercing ikut-ikutan tren, aku juga mengekspresikan diri dengan piercingdi kupingku ini... ”

Menyimak pernyataan-pernyataan para subjek di atas, terungkap bahwa para pemakai body piercing melakukan modifikasi sebagai manifestasi diri. Featherstone (1999) mendeskripsikan banyak dari pemakaian piercing sebagai identitas diri yang terlihat. Menurut Sweetman (1999) dan Soyland (1997) body piercing berhubungan dengan tanda sejarah tubuh seseorang. Peningkatan tren body piercing yang menjadikan tubuh sebagai proyek merupakan tanda dari peningkatan hubungan antara identitas diri dengan tubuh (Giddens, 1991).

Pandangan modern yang diungkapkan oleh Caroll (2002) terhadap modifikasi tubuh, mengidentifikasikan hal tersebut sebagai penanda diri dan untuk mengontrol serta menguasai tubuh. Pernyataan dari Synnott dan Routledge (1993) menggangap tubuh sebagai jiwa, mesin dan merupakan diri itu sendiri. Deaux (1993) juga menyatakan bahwa karakteristik tubuh berpengaruh kepada harga diri seseorang, hal ini sejalan dengan pendapat Goldenberg (Baron dan Byrne, 2004) tubuh dapat menjadi sumber harga diri, dan saat individu diingatkan pada sifat tubuh yang dapat berubah, hal ini akan meningkatkan perjuangan harga diri seseorang.


(16)

Harga diri telah menjadi topik yang menghiasi ruang lingkup psikologi sosial sejak disiplin ilmu ini berdiri hingga sekarang. William James (1890) menyatakan harga diri sebagai evaluasi diri sendiri. Hal ini juga sejalan dengan pernyataan Hogg (2002) yang mengartikan harga diri sebagai perasaan tentang evaluasi terhadap diri individu tersebut. Weiten dan Llyod (2006) mendefinisikan harga diri sebagai keseluruhan pengukuran harga diri seseorang sebagai individu.

Menurut Shavelson dkk (1976) harga diri merupakan sesuatu yang dapat di evaluasi, dengan kata lain individu tidak hanya dapat mendeskripsikan dirinya tetapi juga membuat evaluasi diri pada berbagai situasi, dan pada situasi khusus harga diri dapat terlihat sebagai sesuatu yang stabi. Terdapat empat dimensi yang berbentuk struktur yang dapat menggambarkan harga diri seseorang, Shavelson, Stanton dan Hubner menjabarkan struktur multidimensi dari harga diri tersebut yaitu fisik, akademik, emosi dan sosial (Chu, 2002).

Pemakaian piercing pada tubuh merupakan salah satu bentuk penampilan yang berhubungan dengan fisik, Weiten dan Llyod (2006) mengungkapkan bahwa struktur multidimensi fisik berfokus pada penampilan fisik seorang individu. Salah satu alasan seseorang juga memakai piercing pada tubuhnya sebagai ekspresi dengan perasaan unik dan spesial, yang menimbulkan bentuk emosi tertentu. Kemudian dari komunikasi personal didapatkan bahwa motif memakai body piercing


(17)

bertujuan untuk mengikuti tren dari masyarakat yang berhubungan dengan dimensi sosial. Ditinjau dari hubungan pernyataan yang terbentuk di atas maka peneliti tertarik untuk melihat gambaran multidimensi struktur harga diri yaitu dimensi akademik, emosi dan sosial, yang akhirnya serangkaian ini dapat menjadi dinamika harga diri pada pemakai body piercing.

I. B. Perumusan Masalah

Menyimak latar belakang yang telah diuraikan maka perumusan masalah dalam penelitian ini adalah:

a. Bagaimana latar belakang pemakaian body piercing?

a. Bagaimana gambaran dimensi akademik dari struktur harga diri para pemakai body piercing?

b. Bagaimana gambaran dimensi fisik dari struktur harga diri para pemakai body piercing?

c. Bagaimana gambaran dimensi emosi dari struktur harga diri para pemakai body piercing?

d. Bagaimana gambaran dimensi sosial dari struktur harga diri para pemakai body piercing?

e. Bagaimana dinamika harga diri pada pemakai body piercing?

I. C. Tujuan Penelitian

Berdasarkan pada perumusan masalah, maka tujuan penelitian ini untuk melihat dinamika harga diri pada pemakai body piercing.


(18)

I. D. Manfaat Penelitian

1. Manfaat teoritis yang ingin dicapai adalah untuk memperkaya khazanah ilmu psikologi khususnya di bidang Psikologi Sosial, mengenai gambaran dinamika harga diri pada pemakai body piercing.

2. Manfaat praktisnya digunakan dalam kehidupan sehari-hari dengan memberi pandangan yang tepat mengenai diri dan kehidupan pemakai body piercing.

I. E Sistematika Penulisan

Penelitian ini disusun berdasarkan suatu sistematika yang teratur sehingga memudahkan pembaca untuk memahaminya.

Bab I merupakan pendahuluan yang berisikan, latar belakang masalah, perumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian serta sistematika penulisan.

Bab II berisikan landasan teori yaitu yang menjelaskan dan mendukung penelitian.

Bab III mengutarakan tentang metodologi penelitian kualitatif, termasuk metode pengambilan data, responden penelitian, alat bantu yang digunakan dan prosedur penelitian dan metode analisis data.

Bab IV menganalisa data dan interpretasi yang akan memuat deskripsi data, analisa data dan pembahasan.


(19)

BAB V menjelaskan kesimpulan dari penelitian ini serta diskusi mengenai hasil penelitian yang ada diikuti dengan saran-saran yang berkaitan dengan penelitian.


(20)

BAB II

LANDASAN TEORI

II. A. HARGA DIRI

II. A. 1. Definisi Harga Diri

Manusia merupakan mahluk hidup yang memiliki segala keunikan dan tidak lepas dari proses pembahasan ruang psikologi. Diri manusia secara umum sering dibicarakan dalam kehidupan, dan adanya pernyataan yang diungkapkan oleh Tesser (2001): bahwa diri manusia merupakan topik yang sering dibahas, khususnya dalam disiplin ilmu psikologi. Diri atau self juga dijabarkan dengan berbagai istilah dan salah satu topiknya yang cukup populer adalah harga diri. William James (1890) yang memberikan definisi pertama tentang harga diri, menyatakan bahwa harga diri merupakan suatu konstruk unidimensi yang berkaitan dengan perasaan yang dirasakan seorang individu. Sementara Cooley (1902) mengatakan harga diri bergantung kepada persepsi yang diberikan significant others terhadap diri seseorang. Mead (1934) juga menekankan pentingnya pendapat orang lain dalam memberikan penilaian diri yang didapatkan dengan adanya interaksi sosial.

Berbagai ungkapan dan pernyataan telah dibahas mengenai harga diri selama lebih dari puluhan tahun. Di masa sekarang harga diri juga masih tetap menjadi topik bahasan dalam penelitian psikologi. Menurut Mruk (1995) Rosenberg mendefinisikan harga diri menjadi tiga bagian,


(21)

pertama harga diri termasuk kedalam komponen afektif dan kognitif, kedua harga diri merupakan komponen yang mampu dievaluasi, dan ketiga harga diri bukan hanya persoalan pribadi ataupun psikologis tetapi juga interaksi sosial.

Definisi yang diberikan oleh Shavelson, Stanton dan Hubner (1976) juga mengatakan harga diri merupakan suatu multidimensi yang membahas bagaimana seorang individu memahami dan mengevaluasi dirinya dari pengalaman yang diperolehnya dan lingkungan mereka menetap. Harga diri dijabarkan dengan berbagai bentuk dari defenisi yang kompleks hingga akhirnya berujung pada pernyataan Hogg (2002) yakni:

“Self esteem is feeling about and evaluation of oneself“.

Harga diri adalah perasaan dan evaluasi terhadap diri seseorang. Pernyataan ini juga diiringi dari Weiten dan Llyod (2006) yang mengemukakan bahwa harga diri adalah:

“ Self esteem refers to one’s overall assessment of one worth as a person“

Dengan pengartian harga diri merupakan suatu perasaan keberhargaan seseorang sebagai individu.

Telah banyak defenisi dari harga diri yang dituliskan, maka dari itu peneliti menyimpulkan bahwa harga diri adalah suatu komponen afeksi yang dapat dievaluasi dari pendapat yang diberikan orang lain dengan adanya interaksi sosial, yang bertujuan untuk mendapatkan penilaian terhadap diri sendiri.


(22)

II. A. 2. Multidimensi Harga Diri

Tokoh yang pertama sekali mengungkapkan model multidimensi dari harga diri adalah Shavelson, Stanton dan Hubner pada tahun 1976. Harga diri tersusun dari dimensi-dimensi spesifik yang merefleksikan diri beserta peran dan pengalamannya. Berbagai dimensi ini berkumpul menjadi suatu struktur yang menggambarkan harga diri secara umum.

Multidimensi dari harga diri secara garis besar, terbagi ke dalam dua divisi akademik dan non-akademik yang terbagi dengan empat bagian yaitu: dimensi akademik, fisik, emosi dan sosial. Secara spesifik dimensi akademik menggambarkan bagaimana perjalanan edukasi yang berkaitan dengan pengetahuan secara logika/matematika dan bahasa dan mata pelajaran lain yang dijalani seorang individu. Sedangkan dimensi fisik berkaitan dengan anggapan individu mengenai penampilan dan kemampuan fisiknya. Kemudian dimensi emosi melibatkan perasaan yang dirasakan oleh individu yang secara negatif akan berhubungan dengan kecemasan dan depresi. Dimensi terakhir yaitu sosial menjabarkan tentang hubungan individu dengan kedua orang tua dan keluarga, kemudian bagaimana hubungan dengan teman sebaya dan lingkungan sekitarnya.

II. A. 3. Struktur Multidimensi Harga Diri

Pernyataan dari Shavelson dkk (1976) memberikan suatu gambaran struktur, yang memiliki potensi untuk menjelaskan dan memprediksikan bagaimana tingkah laku seseorang. Keempat bagian dimensi ini


(23)

digambarkan oleh Shavelson, Stanton dan Hubner (1976) ke dalam suatu struktur berbentuk piramid. Struktur multidimensi ini memiliki tujuh penjelasan yang antara lain:

1. Harga diri suatu bentuk yang teroganisir dan terstruktur. Dalam pengertian individu akan menggelompokkan pengalaman-pengalaman yang dialami, kemudian akan menggaitkan antara satu dan lainnya.

2. Harga diri merupakan suatu konstruk dengan multifase. Fase-fase dari harga diri direpresentasikan dari sistem penggelompokkan pengalaman yang diadaptasi individu atau sekelompok individu 3. Harga diri merupakan suatu hirarki. Hirarki ini terstruktur dari

dimensi yang paling spesifik hingga ke dimensi yang paling umum, dan pada puncaknya menggambarkan harga diri secara keseluruhan. Harga diri ini terbagi ke dalam dua divisi yaitu akademik dan non-akademik. Kemudian non-akademik terbagi lagi ke dalam dimensi fisik, emosi dan sosial. Keempat dimensi dari dua divisi harga diri ini dapat terbagi ke dalam area-area yang lebih spesifik.

4. Karakteristik dari harga diri secara keseluruhan dapat dilihat sebagai bentuk yang stabil. Jika terjadi suatu penonjolan pada salah satu dimensi maka harga diri berubah menjadi sesuatu yang spesifik dan akhirnya harga diri menjadi kurang stabil.


(24)

5. Konstruk harga diri bersifat berkembang. Harga diri seorang individu akan berubah sesuai dengan pertambahan umurnya.

6. Harga diri dapat dievaluasi. Maka dari itu struktur multidimensi ini memiliki kedua aspek yang berupa deskriptif dan evalutif. Seorang individu tidak hanya menggambarkan siapa dirinya tetapi juga melakukan penilaian terhadap dirinya.

7. Dimensi-dimensi harga diri berbeda antar satu dan lainnya. Seperti kemampuan belajar berkolerasi tinggi dengan dimensi akademik, bukan berhubungan dengan sosial atau fisik.

Harga diri yang bermodel struktur ini saling berkaitan. Jika salah satu dari multidimensi ini tidak dilibatkan, maka gambaran harga diri secara keseluruhan akan sulit untuk diungkapkan. Struktur multidimensi harga diri ini tergambar sebagai berikut:

Bagan. 1. Struktur Multidimensi Harga Diri

Harga Diri

Akademik Fisik Emosi Sosial

Relationship Ekspresi emosi


(25)

II. B. Body Piercing

II. B. 1. Definisi Body Piercing

Hewitt dan Armstrong mendefinisikan body piercing sebagai penciptaan suatu lubang yang dapat dilewati ornamen atau perhiasan yang akan dikenakan. Pernyataan dari Suyasa dan Djoenaina (2005) body piercing adalah kegiatan melubangi bagian-bagian tubuh dan pemakain aksesories pada bagian-bagian tersebut. Meltzer (2005) mengungkapkan dalam melakukan body piercing, telinga adalah bagian tubuh yang lazim untuk ditindik. Tetapi bagian tubuh seperti lidah, bibir, hidung, alis mata, pusat bahkan bagian genital merupakan area-area khusus untuk ditindik.

Kesimpulan dari defenisi body piercing adalah suatu bentuk dari seni modifikasi tubuh dengan cara menindik area-area khusus pada bagian-bagian tubuh tertentu yang bertujuan untuk memakai perhiasan pada lubang yang telah diciptakan.

II. B. 3. Jenis Body Piercing

II. B. 2. Alasan Memakai Body Piercing

Hasil penelitian yang dilakukan oleh Deschenes dkk (2006) didapatkan bahwa banyak anak remaja menggunakan body piercing dengan alasan sebagai tanda estetika, dan juga sebagai ekspresi diri untuk merasa unik dan spesial, dan sebagai konfirmasi dari identitas personal mereka. Pernyataan diatas juga didukung oleh hasil penelitian dari Armstrong dkk


(26)

(2004), yang menemukan bahwa tujuan para mahasiswa di salah satu universitas di Quebec menggunakan body piercing adalah untuk menunjukkan kunikan dan menjadi diri sendiri. Seperti yang dituturkan oleh Jane Lansdowne seorang ibu dari empat anaknya (dalam Martell, 2007).

“This is how express myself. I’m not an artist. I don’t do paint or anything like that. So I express my creativity with my body” (Martell, 2007)

Di Indonesia, alasan para kawula muda menggunakan piercing tidak berbeda jauh dengan hasil penelitian diatas, yaitu menggunakan tindik tubuh dengan alasan mengikuti tren, mengekpresikan diri bahkan telah menjadi gaya hidup. Seperti pengungkapan dari Taufik Hidayat yang menindik kupingnya saat mengikuti salah satu turnamen di Hong Kong (Hanoman, 2000). Ia mengaku melakukan tindik telinga tersebut dengan alasan karena ajakan teman, bukan maksud untuk tampil lebih gaya atau gaul. Rio (26) seorang pekerja kafe di Jakarta mengungkapkan selain dianggap bisa mendongkrak penampilan, tindik juga menjadi sarana ekspresi diri. Sedangkan pengakuan Elda, seorang remaja putri yang baru lulus SMU juga mengaku memakai tindik karena mengikuti tren. Dapat disimpulkan dari berbagai pernyataan di atas banyak anak muda memakai tindik tubuh dengan alasan mengikuti tren, sebagai bentuk estetika tubuh juga sarana ekspresi diri. Armstrong (2005) mengatakan beberapa pemakai body piercing termotivasi untuk menciptakan suatu citra diri yang spesifik.


(27)

Pemakaian body piercing merupakan suatu penciptaan citra diri yang juga spesifik (Weiten dan Llyod, 2006). Peningkatan tren body piercing yang menjadikan tubuh sebagai proyek merupakan penanda adanya peningkatan koneksi antara identitas diri dengan tubuh (Giddens, 1991). Deaux (1993) menyatakan bahwa karakteristik tubuh berpengaruh kepada harga diri seseorang. Goldenberg (dalam Baron dan Byrne, 2004) juga mengatakan tubuh merupakan sumber manifestasi harga diri seseorang.

Maka dapat diberi kesimpulan dilihat dari beberapa pernyataan diatas bahwa alasan pemakaian piercing pada tubuh karena dapat mempengaruhi harga diri individu yang menggenakannya.


(28)

BAB III

METODE PENELITIAN

Pada bagian pendahuluan, telah dijelaskan bahwa tujuan utama dari penelitian ini adalah untuk mengetahui dinamika harga diri para pemakai body piercing. Pada bab ini akan dijelaskan mengenai pendekatan yang akan dipakai, metode pengambilan data, subjek penelitian dan prosedur penelitian.

III. A. Pendekatan Kualitatif

Penelitian ini menggunakan metode kualitatif, dengan alasan salah satu tujuan penting penelitian kualitatif adalah diperolehnya pemahaman yang menyeluruh dan utuh tentang fenomena yang diteliti, sebagian besar aspek psikologis manusia juga sangat sulit direduksi dalam bentuk elemen dan angka sehingga akan lebih etis dan kontekstual bila diteliti dalam setting alamiah (Poerwandari, 2001).

III. B. Metode Pengambilan Data

Sesuai dengan sifat penelitian kualitatif yang terbuka dan luwes, metode pengumpulan data dalam penelitian ini disesuaikan dengan masalah, tujuan penelitian, serta objek yang diteliti. Dalam penelitian ini, peneliti menggunakan metode wawancara sebagai metode utama. Selain itu juga


(29)

akan menggunakan metode observasi sebagai metode pendukung saat melakukan wawancara .

III. B. 1 Wawancara

Menurut Banister (dalam Poerwandari, 2001) wawancara adalah percakapan dan tanya jawab yang diarahkan untuk mencapai tujuan tertentu. Wawancara dilakukan peneliti bermaksud untuk memperoleh pengetahuan tentang makna-makna subjektif yang dipahami individu berkenaan dengan topik yang diteliti, dan bermaksud melakukan eksplorasi terhadap isu tersebut, suatu hal yang tidak dapat dilakukan pendekatan lain.

III. B. 2 Observasi

Tujuan observasi adalah mendeskripsikan setting yang dipelajari, aktivitas-aktivitas yang berlangsung, orang-orang yang terlibat dalam aktivitas, dan makna kejadian dilihat dari perspektif mereka yang terlibat dalam kejadian yang diamati tersebut (Poerwandari, 2001).

III. C. Alat Bantu Pengumpul Data Penelitian

Menurut Poerwandari (2001) untuk memudahkan pengumpulan data, peneliti membutuhkan alat bantu. Alat bantu yang akan digunakan dalam penelitian ini adalah berupa pedoman wawancara, dan tape recorder.

III. C. 1. Pedoman Wawancara

Pedoman umum wawancara memuat isu-isu yang berkaitan dengan tema penelitian ini, yaitu gambaran harga diri berdasarkan teori struktur


(30)

multidimensi harga diri yang dikemukakan oleh Shavelson dkk (1976) kepada para pemakai body piercing yang terjadi pada individu dewasa dari tingkatan awal keatas di kota Medan, tanpa menentukan urutan pertanyaan. Pertanyaan akan disesuaikan dengan situasi dan kondisi saat wawancara berlangsung tanpa melupakan semua aspek yang relevan telah dibahas atau ditanyakan (Poerwandari, 2001).

III. C. 2. Lembar Observasi

Lembar pengamatan dibuat untuk mendata lokasi dimana wawancara dilakukan. Hal tersebut dimaksudkan untuk menangkap hal-hal selama wawancara yang dapat terlihat dari diri subjek yang selama proses wawancara. Lembaran observasi berfungsi mencatat tingkah laku subjek selama wawancara dilakukan, mencatat poin-poin penting, menarik atau kurang jelas dan disertai komentar. Data-data yang terpapar dalam lembaran observasi meliputi gambaran fisik dan penampilan subjek, sikap subjek selama wawancara dilakukan, gangguan dan hambatan selama wawancara, disertai dengan catatan-catatan khusus selama wawancara.

III. D. Subjek Penelitian

Kriteria yang ditetapkan dalam menentukan subjek adalah : 1. Pemakai body piercing


(31)

3. Bertempat tinggal di kota Medan

III. E. Lokasi

Penelitian ini akan dilakukan di kota Medan, hal ini karena dari hasil observasi awal yang dilakukan oleh peneliti di Medan sudah mulai terlihat fenomena para pemakai body piercing.

III. F. Jumlah Subjek Penelitian

Dalam penelitian ini, peneliti akan menggunakan tiga orang subjek penelitian.

III. G. Prosedur Penelitian  Tahap Persiapan Penelitian

Tahap persiapan penelitian ini dilakukan guna mempersiapkan hal-hal yang diperlukan selama penelitian.

a. Peneliti mengumpulkan teori mengenai harga diri dan teori-teori mengenai body piercing, serta data-data mengenai perilaku penggunaan piercing pada dewasa awal hingga dewasa akhir.

b. Peneliti menghubungi calon responden yang sesuai dengan kriteria yang telah ditentukan. Dari responden yang bersedia, diminta untuk membuat janji pertemuan sesuai dengan kesepakatan kedua belah pihak (kesepakatan antara peneliti dengan responden).


(32)

1. Persiapan dan pelaksanaan wawancara

a. Menghubungi calon responden yang sesuai dengan kriteria yang ditentukan.

b. Meminta kesediaan responden untuk diwawancarai disertai pembanggunan rapport antara peneliti dan subjek.

c. Membuat janji pertemuan dengan responden atas kesepakatan bersama untuk melaksanakan wawancara.

d. Menentukan lokasi wawancara dilakukan. Lokasi yang dipilih adalah tempat dimana wawancara dapat berlangsung dengan baik.

e. Memastikan kelengkapan setiap perlengkapan wawancara seperti alat perekam, kaset dan pedoman wawancara.

f. Peneliti memastikan diri agar dapat melakukan wawancara dengan baik. Peneliti berperan menjadi pewawancara tunggal dalam wawancara ini.

g. Sebelum wawancara dilakukan, dimulai dengan percakapan yang ringan terlebih dahulu agar tidak terlalu tegang dan kaku saat wawancara.

2. Persiapan dan pelaksanaan observasi

a. Peneliti memastikan diri agar dapat melakukan observasi dengan baik.


(33)

b. Selama wawancara dilaksanakan, peneliti yang bertindak sebagai observer juga melakukan observasi pada responden. c. Observasi dapat dilakukan juga dengan mencatat lembara

observasi ketika wawancara dilakukan.

d. Peneliti yang bertindak sebagai observer dalam penelitian ini, selain mengobservasi subjek selama wawancara berlangsung juga mengobservasi keseharian responden, dengan cara terlibat langsung dalam pergaulan responden.

e. Setiap hasil observasi yang dianggap sebagai data yang penting untuk penelitian ini dicatat dan akan menjadi data deskriptif untuk penelitian.

3. Tahap Pencatatan Data

a. Peneliti membuat verbatim dari hasil wawancara yang dilakukan

b. Membuat koding sesuai dengan teori yang digunakan

c. Menganalisa dan menginterpretasi data yang diperoleh dari masing-masing responden

III. H. Metode Analisis Data

Beberapa tahapan dalam menganalisis data kualitatif menurut Poerwandari (2001), yaitu:


(34)

Data kualitatif sangat banyak dan beragam, sehingga perlu untuk diorganisasikan secara rapi, sistematis dan selengkap mungkin. Highlen dan Finley (dalam Poerwandari, 2001) mengatakan bahwa organisasi data yang sistematis memungkinkan peneliti untuk memperoleh kualitas data yang baik, mendokumentasikan analisis yang dilakukan, serta menyimpan data dan analisis yang berkaitan dalam penyelesaian penelitian. Hal-hal yang penting untuk disimpan dan diorganisasikan adalah data mentah (catatan lapangan, kaset hasil rekaman), data yang telah dibubuhi kode spesifik dan dokumentasi umum yang kronologis mengenai pengumpulan data dan langkah analisis.

2. Coding

Langkah penting pertama sebelum analisis dilakukan adalah membubuhkan kode-kode pada materi yang diperoleh. Langkah awal coding dapat dilakukan dengan terlebih dahulu menyusun transkrip verbatim (kata demi kata) atau catatan lapangan sedemikian rupa, sehingga ada kolom yang lebih besar di sebelah kanan transkrip.

3. Pengujian Terhadap Dugaan

Dugaan adalah kesimpulan sementara. Dengan mempelajari data kita mengembangkan dugaan-dugaan yang juga merupakan kesimpulan-kesimpulan sementara. Dugaan yang dikembangkan tersebut juga harus dipertajam dan diuji ketepatannya.


(35)

4. Strategi Analisis

Analisa terhadap data pengamatan sangat dipengaruhi oleh kejelasan mengenai apa yang ingin diungkapkan peneliti melalui pengamatan yang dilakukan. Patton (dalam Poerwandari, 2001) menjelaskan bahwa proses analisis dapat melibatkan konsep-konsep yang muncul dari jawaban atau kata-kata responden sendiri maupun konsep yang dikembangkan oleh peneliti untuk menjelaskan fenomena yang dianalisis. Analisa yang dilakukan adalah dengan cara menganalisa setiap responden terlebih dahulu yang kemudian diikuti dengan analisa keseluruhan responden.


(36)

BAB IV

ANALISIS DATA DAN INTERPRETASI

Bab ini berisi uraian hasil analisis wawancara dalam bentuk narasi. Hasil wawancara dianalisis dengan teori struktur multidimensi harga diri yang oleh Shavelson, Stanton dan Hubner (1976). Peneliti menggambarkan data penelitian yang diperoleh dalam 5 tema utama. Lima tema tersebut mendukung peneliti untuk mengungkapkan dinamika harga diri pada pemakai body piercing, diantaranya adalah:

- Latar Belakang Pemakaian Body Piercing - Gambaran Dimensi Akademik

- Gambaran Dimensi Fisik - Gambaran Dimensi Emosi - Gambaran Dimensi Sosial

Data yang berkaitan dengan dinamika harga diri akan dijabarkan, dianalisa dan diinterpretasi per responden.

IV. A. Responden I IV. A. 1. Analisa Data IV. A. 1. 1. a. Identitas Diri

Nama : Andi (Nama Samaran)


(37)

Suku : Batak Toba

Agama : Kristen

Pendidikan terakhir : SMU

Pekerjaan : Pengganguran

Urutan dalam keluarga : Anak 1 dari 3 Bersaudara Jenis piercing yang dipakai : Bulat

Lama pemakaian : 8 tahun Pekerjaan Orang Tua : Wirausaha

IV. A. 1. 1. b. Tempat dan Tanggal Wawancara

Wawancara berlangsung di sebuah café di salah satu plaza di Medan yang dilakukan pada:

1. Pada hari Kamis, tanggal 17 Juli 2008, mulai pukul 16.00 WIB – 17.00 WIB

2. Pada hari Jum’at, tanggal 1 Agustus 2008, mulai pukul 16.30 WIB – 17.30 WIB

3. Pada hari Kamis, tanggal 28 Agustus 2008, mulai pukul 16.30 WIB – 18.00 WIB

IV. A. 1. 2. Data Observasi

Wawancara pertama dimulai pada salah satu café yang berada di lantai tiga salah satu plaza di Medan. Pintu masuk ruangan yang dihiasi oleh


(38)

diramaikan oleh sepasang pramusaji yang akan menawarkan tempat untuk duduk. Dari pintu masuk terlihat empat set susunan kursi berbentuk sofa menghiasi sudut kiri ruangan dan iringan lagu terdengar dari salah satu speaker yang digantungkan di sudut dinding. Enam set kursi yang terbungkus oleh kain berwarna cream dan coklat berserta meja makan berbahan kayu tersusun rapi di tengah ruang café tersebut. Meja bar dengan susunan beberapa buah gelas kaca yang tergantung di rail menghiasi sudut kanan ruangan dan dipenuhi oleh beberapa pasang set kursi beserta meja kayu, yang di khususkan untuk smoking area.

Suasana ruangan yang terlihat terang dipancarkan dengan lampu gantung hias berwarna merah, kuning dan oranye pada setiap meja makan di sudut kiri ruangan. Peneliti akhirnya memilih untuk duduk di sudut kiri ruangan dengan kursi berbentuk sofa dengan posisi berhadapan dengan responden I. Dua buah gelas berisi minuman kedelai dan teh terletak di atas meja makan yang dipesan oleh peneliti dan Andi, beserta sebuah tape recorder untuk perekaman suara selama wawancara berlangsung.

Wawancara pertama dilakukan pada sore hari, peneliti tiba lebih awal dari kedatangan responden I sekitar tiga puluh menit. Setibanya Andi menjelaskan keterlambatannya dikarenakan ia telat bangun dan mengalami kemacetan dalam perjalanan. Andi tiba dengan wajah yang terlihat tirus dan pucat dengan memakai baju kaos berwarna hitam tertutup jaket dan celana jeans biru. Gambaran fisik Andi terlihat kurus dengan tinggi badan berkisar


(39)

180 cm dan berat badan 49 kg. Kulitnya berwarna kuning langsat dan rambutnya berwarna hitam. Di telinga sebelah kirinya, Andi memakai dua buah piercing berbahan besi yang berbentuk bulat dan dengan rambutnya yang bergelombang dan tergerai panjang yang membuat penampilannya seperti seorang penyanyi rock metal.

Kesan pertama Andi terlihat ramah dengan sikap yang menyapa peneliti terlebih dahulu, lalu ia memperkenalkan diri dan memberikan tangan kanannya untuk berjabat dengan peneliti. Lalu peneliti memperkenalkan diri dan menjelaskan tujuan dari wawancara yang akan berlangsung. Awalnya Andi terlihat sungkan untuk memulai wawancara yang akan direkam dengan tape recorder, ini terlihat dengan sikapnya yang memundurkan tubuh dari posisi duduk yang berhadapan dengan peneliti. Kemudian peneliti menjelaskan secara rinci maksud dari penelitian ini dan akhirnya Andi setuju untuk diwawancarai dan hasil percakapan ini direkam dengan tape recorder.

Pertanyaan-pertanyaan pada wawancara awal yang diutarakan peneliti didengarkan dengan baik oleh Andi, ia juga memberikan jawaban-jawaban dengan antusias. Namun terkadang ada satu atau dua pertanyaan yang diminta Andi untuk diulangi karena dia kurang memahami maksudnya. Selama wawancara, percakapan dan proses perekaman berjalan lancar, hasil dari kerjasama yang baik antara Andi dan peneliti.


(40)

Dalam menjawab pertanyaan yang diberikan peneliti sesekali Andi membuat bahan lawakan untuk mencairkan suasana, sambil menikmati minuman di atas meja atau menghisap sebatang atau dua batang rokok. Pada mulanya Andi tertarik membicarakan latar belakang ia menggunakan piercing. Ia juga menceritakan secara terbuka topik pembicaran lainseputar pendidikan, keluarga dan kehidupan pergaulannya yang ia habiskan di luar rumah.

Wawancara kedua dan ketiga yang juga berlangsung di tempat yang sama dengan waktu pertemuan yang tidak berbeda dari wawancara pertama, dan pertemua-pertemuan ini berjalan dengan lancar. Dalam pertemuan ke dua dan ketiga ini Andi semakin komunikatif dan bertambah humoris. Namun dari keseluruhan wawancara yang berlangsung, peneliti belum pernah sekalipun mengunjungi tempat tinggal ataupun bertemu langsung dengan keluarga Andi. Hal ini dikarenakan waktu Andi yang terbilang singkat di rumahnya, karena ia hanya pulang ke rumah untuk tidur dan setelah bangun di sore hari ia pergi bersama teman-temannya hingga larut malam.

IV. A. 1. 3. Data Wawancara


(41)

Pada awalnya Andi tertarik dengan body piercing ketika ia melihat penampilan anggota grup band musik yang sangat diidolakannnya yakni Van Hallen.

“Awal mulanya ya tertarik, karena melihat idola pemain musik timbulah ketertarikannya…”(S1.W2/L.3-5)

“Van Hallen, awalnya…karena pada saat itu lagi dengerin musiknya”(S1.W2/L.7-8)

Awal ketertarikan ini bermula ketika Andi duduk di sekolah dasar. Setiap pagi Andi berangkat ke sekolah dengan ibunya, yang sering mendengarkan lagu-lagu Van Hallen di radio. Lalu ibu Andi juga mengoleksi beberapa album kompilasi yang salah satunya berisi jump, lagu pertama Van Hallen yang disukai oleh Andi.

“Kalo Andi pertama tahu musik, pertama kali. Mama, dulu suka musik…jadi Andi SD tiap mau berangkat sekolah dulu mama biasanya suka ngidupin radio. Ada banyak lagu kompilasinya yang ada Van Hallen” (S1.W2/L.116-120)

Van Hallen yang populer sekitar tahun 1970an ini memainkan lagu-lagu yang bergenre rock oldies dengan permainan musik yang dikatakan bagus oleh subjek. Pada zaman itu personil band ini senang mengeksplor tubuh mereka, berupa perilaku menindik tubuh atau body piercing, lazim dilakukan pada area kuping. Piercing zaman Van Hallen ini berbeda dengan band rock zaman sekarang yang sudah lebih kreatif mendandani dirinya. “Haa…kayaknya kalo jaman dulu ni ya. Andi kan suka musik rock yang

oldies,yang lama-lama…Pada umumnya pemusik-pemusik rock pada mulanya itu, mereka standar ya piercingnya di kuping. Tapi mungkin rocker jaman sekarang yang lebih mengeksplor dirinya dengan piercing


(42)

yang hampir di seluruh tubuh, beda jadinya. Eranya uda beda…” (S1.W2/L.32- 39)

Selain Van Hallen beberapa band rock lainnya juga menginspirasikan dirinya untuk memakai piercing. Sederetan band seperti Black Sabbath, Bon Jovi, Deep Purple, Gun’s n roses, Led Zeppelin, Metalica, dan lainnya. Namun penampilan Van Hallen terkesan lebih jantan. Maka, timbul dorongan dalam dirinya untuk meniru yang dikatakannya sebagai gaya hidup Van Hallen.

“Enggak… bukan karena musiknya si sebenarnya. Musik ya memang cinta, suka..cuman bukan karena musik Andi pake piercing, tapi karena Andi liat dia pakek..akhirnya jadi tertarik. Ya Andi liat dia laki-laki, berambut panjang pake

piercing, jantan aja kesannya. Ada sesuatu apalah gitu kesannya ya jantan aja...

(S1.W2/L. 43-50)

Band rock oldies ini tidak hanya menjadi kiblat musik bagi diri Andi. Kekaguman para sepupu Andi pada Van Hallen juga membuat mereka memakai piercing. Akhirnya bulatlah tekad Andi untuk menindik telinganya, yang ia wujudkan ketika memasuki masa akhir pendidikannya, di kelas tiga SMA setelah menyelesaikan ujian evaluasi belajar tahap akhir nasional (EBTANAS).

“Ya kayaknya ada proses, pertama kali sepupu Andi itu piercing, Andikan masih sekolah? Kan nggak mungkin pake piercing waktu masih sekolah, jadi Andi pake piercing setelah Ebtanas” (S1.W1/L.485-490)

“Cinta banget sebenarnya, cuman sampe kehidupannya kenapa mereka bisa pake piercing, Andi nggak tahu..ya kan? Cuma ya Andi rasa mereka juga mencontoh atau apa nggak ngerti. Tapi Andi pertama pakek piercing karena mencontoh Van Hallen itu aja…”(S1.W2/L.20-26)


(43)

Rasa cintanya terhadap musik dan kekagumannya terhadap personil Van Hallen yang terkesan jantan serta salah satu dari sepupunya yang juga memakai piercing, merupakan latar belakang Andi untuk memakai piercing di telinganya.

IV. A. 1. 3. b. Gambaran Dimensi Akademik

Andi memulai pendidikan kanak-kanaknya di salah satu TK di Jakarta. Masa taman kanak-kanak Andi digambarkannya dengan kegiatan bermain dan belajar, dan ia mengakui memiliki banyak teman baik di lingkungan sekolah dan tempat tinggalnya. Dalam menghabiskan masa kanak-kanaknya, Andi mengingat tidak memiliki prestasi dalam bidang apapun.

Pendidikan sekolah Andi berlanjut ke tingkat sekolah dasar di salah satu SD Impress Pagi di Jakarta. Saat Andi berada di kelas 1 ia mengikuti pelajaran dengan baik, dan seiring dengan kenaikan kelasnya responden I mulai meminati pelajaran yang berhubungan dengan ilmu pengetahuan alam tapi kurang menyukai pelajaran berhitung dan matematika Rank 5 besar pertamanya di dapatkan Andi ketika ia duduk di kelas 2 dengan mendapat ranking 4. Kejuaraannya ini timbul karena rasa persaingan dirinya dengan temannya yang pintar namun sombong.

“Jadi dulu jaman-jamannya ini, apa namanya SD..seumur-umur sekali aja dapat ranking ah. Karena persaingan, gara-garanya dulu SD ni, jadi ada temen..dia ketua kelas, dia pinter, cuman dia selalu disorot. Jadi, muncul kesombongan dan dari situlah persaingan timbul. Kenapa sama dia?


(44)

mencintai pelajaran IPA dulu, standardlah..dulu persaingan kita berdua itu disitu, tapi tetap tak bisa terkalahkan, mungkin dia lebih dikenal sama guru-guru. Dia ranking 1 Andi rangking 4 apa 5 gitu?...”

Walaupun Andi gagal menyaingi ketua kelasnya, yang akhirnya tetap menjadi ranking 1, ia tidak merasa putus asa dan lebih mengambil sikap positif.

Ketika memasuki SMP, Andi mulai tertarik pada bidang olahraga seperti bola basket dan bola kaki. Hampir setiap pulang sekolah atau saat istirahat sekolah dihabiskan Andi untuk bermain basket. Ia juga menjadi anggota klub basket di sekolahnya, bahkan mengikuti turnamen dengan 5-10 kali pertandingan. Tetapi Andi belum sekalipun mendapatkan piala dari pertandingan turnamen tersebut.

Bidang olahraga begitu dicintai oleh Andi, tetapi tidak dengan pelajaran di sekolahnya. Saat SMP ini Andi mulai mengalami kemunduran dalam pelajaran, ia pernah mendapatkan rapor merah pada pelajaran bahasa dan matematika, bahkan ia sampai 2 kali berpindah karena terancam tidak naik kelas karena masalah absen dan sering cabut dari sekolah.

“Ya Andi paling ini..maksudnya ya nggak terlalu ini, cuma Andi males gitu..katanyakan kemalasan menciptakan kebodohan, jadi Andi nggak bodoh, cuman matematika Andi males, nah itu…”(S1.W1/L.235-340) “SMP sempat pindah-pindah..pertamanaya di sekolah A, terus pindah ke SMP Negeri B.”(S1.W1/L.167-170)

“Karena Andi waktu yang di swasta, diperkirakan nggak bakalan naik kelas karena absen..biasa cabut gitu.”(S1.W1/L.172-174)


(45)

Walaupun Andi kerap berpindah sekolah, tapi ia tetap tamat dari SMP dan memasuki salah satu SMA swasta di Jakarta. Di SMA, ia tetap aktif bermain basket dan tetap bergabung dengan klub basket sekolah. Hanya ada perubahan minat pelajaran saat Andi di SMA, jika saat SD dan SMP Andi lebih menyukai pelajaran IPA, maka sebaliknya saat di SMA ia lebih menyukai pelajaran-pelajaran sosial, khususnya sosiologi. Perubahan minatnya ini diutarakan Andi karena ia sangat senang bergaul, dan semakin ingin mengenal karakter banyak orang.

“Ikut, turnamen juga tapi fero aktif di Tim Basket SMA, tapi fero nggak aktif di tim skolah jadi kalo ada turnamen-turnamen apa, ya tim sekolah mainlah tapi fero nggak maen gitu ceritanya loh hehe…”(S1.W1/L.206-211)

“Ya..ya..ya..Ketertarikan awal pada IPA di SD dan waktu masuk SMP Andi semakin banyak tau pergaulan, dan di awal SMA ingin banyak kenal karakter orang..semua pelajaran jadi lupa. Jadi lebih mentingin pergaulan, jalan-jalan, hura-hura dan yang lain-lain. Ya pokoknya masuk transisi usialah, anak muda gitu hehehe...”(S1.W1.260-268)

Kemudian di bangku akhir SMAnya Andi beserta keluarga pindah ke Medan. Ia masuk ke SMA swasta dan tetap tertarik bermain basket. Ia juga menjadi vokalis di band sekolahnya, dan menang dalam perlombaan band antar sekolah. Andi memilih vokalis karena ia tidak bisa memainkan satu alat musikpun, walau ia sangat menyukai musik. Namun, perjalanan musiknya ini tidak berlanjut lagi, karena setelah tamat sekolah ia tidak menemukan teman band yang satu visi dan misi dengan dirinya, dan akhirnya ia berhenti bermusik.


(46)

“SMA kelas tiga terakhir ikut perlombaan band antar sekolah…kelas 1, kelas 2 dan kelas 3dan kebetulan band kita yang menang..itu aja si..”(S1.W1/L.416-420)

Dunia SMA Andi diselesaikan saat ia berada di Medan, yang kemudian berlanjut ke perguruan tinggi. Pertama kali, Andi mendaftarkan kuliah di salah satu universitas swasta di Jakarta, mengambil jurusan sastra Jepang. Ternyata sastra Jepang tidak menarik perhatian Andi yang awalnya ingin mengambil Hukum.

“Oh Fero pernah gini, pertama kuliah pernah di Jakarta, cuman kemaren karena fero maunya ngambil hukum, dan cuma karena pembukaan kuliah disana udah diluan, jadi udah tutup, akhirnya Fero ambil kuliah sastra jepang, itu di Borobudur, ya cuma ngertilah karena tidak sesuai…Terakhir karena udah jarang kuliah juga, Fero pulang ke Medan, terus daftar UISU hukum.”(S1.W1/L.273-283)

Akhirnya Andi pulang ke Medan tanpa menamatkan kuliah sastra Jepangnya, dan kembali mendaftar kuliah di perguruan swasta di Medan dengan jurusan Hukum. Andi memilih hukum terinspirasi dari sebuah film rasissm yang pernah ia tonton ketika SMA yang membahas tentang perdebatan kulit hitam dan kulit putih.

“Andi pertama kali tertarik hukum, semuanya gara-gara gimana ya?..Andi nonton film, yang main siapa ya?..judulnya Andi lupa. Jadi dia tentang pembebasan orang kulit hitam. Gara-gara anaknya diperkosa, di persidangannya itu saling berdebat. Kayaknya dari perdebatan itu ada sesuatu yang Andi ambil aja, dari situ…Gimana cara seseorang untuk mengungkapkan kebenaran. Secara mendetail, mencari keterangan di luar untuk mengungkapkan kebenaran itu, kayaknya lebih seru. Rasanya gimana…Dari situ Andi dah mulai tertarik, karena zaman-zaman film itu Andi masih kelas dua atau berapa?Andi lupa. Ternyata setelah ngeliat, Andi masih sedikit idealis, sejak saat itu Andi jadi suka film persidangan.” (S1.W1/L.0308-0329)


(47)

Sayangnya kesenangan Andi menonton film persidangan tidak juga menjadikan ia seorang sarjana hukum. Akhirnya Andi tidak menamatkan kuliah hukumnya karena tidak cocok dengan kebijakan kampus. Ia juga merasa dibatasi dalam berkarya dan bekreasi, dan merasa monoton dengan kegiatan belajar yang hanya datang, duduk dan mendengarkan staf pengajar. “Salah satunya tidak boleh pakek piercing, dan tidak membiarkan manusianya bisa berkarya, berkreasi, salah satunya itu. Nggak ada kegiatan mahasiswa-mahasiswinya, jadi kadang kita cuma duduk, dengar dan kita pulang” (S1.W1/L.0349-0356)

Sekarang Andi tidak melanjutkan kuliahnya lagi, ia juga tidak memiliki pekerjaan yang tetap ataupun sambilan. Tetapi Andi berniat untuk membuka usaha kuliner, hanya modal usaha belum terkumpul. Tidak banyak prestasi yang bisa diceritakan tentang Andi, hal ini sesuai dengan pengakuannya: bahwa ia bukanlah seseorang yang selalu mengejar atau mengumpulkan prestasi.

IV. A. 1. 3. c. Gambaran Dimensi Fisik

Sosok Andi memiliki tubuh kurus yang tinggi, rambutnya yang panjang bergelombang tergerai hingga dadanya, jika dibandingkan dengan gaya Van Hallen, penampilan Andi ini cukup meniru gaya mereka. Ditambah dengan adanya dua buah piercing berbentuk bulat yang tergantung di telinga kirinya. Sebelum memakai piercing, Andi merasa tidak ada yang spesial dari dirinya dan ia terlihat rata-rata seperti


(48)

telinganya, ia mengaku hidupnya lebih beda dengan memiliki warna baru di telinganya.

“Kalo Andi Pribadi, pakek piercing...Hidup lebih berwarna aja. Ya karena ada warna baru di kuping Andi” (S1.W2/L.0146-0148)

Pada awalnya Andi juga merasa senang karena ibunya mendukung dirinya memakai piercing, dan ia juga tidak mendapat protes dari keluarganya. Rasa percaya diri Andi pun sedikit bertambah karena menjadi orang yang berbeda dari pada umumnya. Andi begitu ingin ada sesuatu yang berbeda dari fisiknya karena ia memakai piercing dengan gaya hidupnya yang baru. “Alasan waktu itu si, kenapa ya?...Menjadi orang yang berbeda, ya Andi

cuman ingin aja si. Perbedaan? Ya mungkin karena Andi mencontoh, Andi kepengen punya lifestyle seperti itu, mungkin karena ada kebanggaan tersendiri menjadi orang yang berbeda. Mungkin setiap orang pasti gitukan?” (S1.W2/L.172-180/Hal…)

Andi juga merasa setiap individu yang ingin tampil berbeda memiliki rasa kebanggan terhadap diri sendiri, khususnya dengan perubahan yang terjadi pada bagian tubuh. Dari sekian teman-teman Andi belum ada yang pada waktu itu diperbolehkan menindik tubuh mereka, dan secara spesifik ia mengungkapkan rasa kebangaannya ini dikarenakan, Andi adalah orang pertama di lingkungan pergaulannya yang diizinkan orang tua memakai piercing.

Andi memilih bentuk piercing yang standar dan menjadikan telinga sebagai tempat piercingnya karena merasa bukan suatu hal yang penting untuk berpiercing di bagian tubuhnya yang lain. Andi juga beranggapan, awalnya semua orang khususnya pria yang berpiercing di telinganya,


(49)

merupakan manifestasi perilaku mencontoh wanita yang memakai anting di kuping mereka.

“Karena Andi liat seperti itu kan, awalnya itu terbentuk pada kaum pria, mungkin ya itulah sesuatu yang dicontoh. Pria akhirnya mencontoh gimana kalo akhirnya kita pake piercing seperti wanita. Mungkin untuk pertama kali yang harus diambil harus sama kan? Jadi ya piercingnya di kuping” (S1.W2/L.239-245)

Bagi Andi pribadi selain perilaku mencontoh wanita, ia tetap berprinsip bahwa piercing yang ia pakai adalah sikap mencontoh idolannya Van Hallen. Belum ada keinginan dalam diri Andi untuk memodifikasi tubuh dengan piercing yang parah, karena ia merasa segala perbuatan itu pada akhirnya berujung kepada eksistensi diri.

“Gak, gak pengen. Bukan karena takut atau apa ya, ya…ga berkeinginan dan ngerasa ga penting. Karena Andi pikir semua yang seperti itu ya…itu si balik ke eksistensi diri. Ya orang-orang yang selalu ingin tampil berlebihan dengan penampilannya. Ya orang, yang ingin keberadaannnya itu diakui aja di masyarakat. Ya mungkin setiap orang yang pernah melakukan hal yang samakan? Andi sendiri juga pernah…Mungkin Andi dengan berbeda ini, ya mungkin pada awalnya Andi ingin merasa diakui oleh yang lain gitu sama aja sih. Cuman masalahnya disitu lifestyle…masalah eksistensi di masayarakat” (S1.W2/L.280-294)

Namun setelah hampir 9 tahun memakai piercing, ia tidak lagi merasa dirinya berbeda dengan orang pada umumnya sekarang, dan akhirnya merasa biasa saja dengan piercing di telinganya.

Terkadang Andi merasa fisiknya terlalu kurus, perasaan ini timbul dari penilaian yang diberikan oleh teman-temannya. Walaupun begitu secara pribadi Andi merasa fisiknya sendiri baik-baik saja. Andi telah melakukan


(50)

hasilnya tetap tidak tampak, akhirnya ia berharap mungkin berat badannya akan bertambah jika ia sudah mendapatkan seseorang untuk merawatnya suatu hari nanti.

“Fisik Andi kurangnya mungkin kurus kali ya?..atau terlampau kurus kali. Kalau Andi si menilai fisik Andi si fine-fine aja selama ini, cuma banyak teman-teman yang bilang terlalu kurus. Udah banyak juga usaha yang dilakukan cuma emang susah gemuk. Capek kayaknya…Ya mungkin nanti la ya kalo udah ada yang ngerawat istilahnya” (S1.W3/L.140-147)

Walau dilihat dari berat badannya Andi sangat kurus, tetapi ia merasa memiliki kelebihan dengan fisiknya, dan mengatakan penampilan fisiknya keren. Penilaian diri ini didapatkan Andi dari seseorang yang pernah mengatakan dirinya keren. Ia juga berkomentar jika tidak ada seorangpun yang memuji dirinya, maka Andi akan memberikan hanya untuk dirinya sendiri.

“Gak ada soalnya pernah ada yang bilang dulu Andi keren…Jadi kalo gak ada yang memuji, siapa lagi kalo nggak diri sendiri ya kan?” (S1.W3/L.152-154)

Biar tubuhnya banyak dikatakan sangat kurus oleh teman-temannya, Andi tidak merasa minder. Tetapi ada satu hal yang mungkin akan membuat dia merasa kurang percaya diri. Jika ia akan mengunjungi rumah dan bertemu dengan keluarga cewek yang baru dikenalnya. Andi beranggapan jika orang tua dari cewek tersebut melihat dia begitu kurus, maka Andi akan disangka sebagai pengguna narkoba.

“Gak..gak pernah. Kalo Andi merasa minder Andi gak akan pernah keluar rumah, gakkan pernah bergaul sama orang” (S1.W3/L.157-159).


(51)

“Mungkin ada si ya.. Kalo misalnya Andi punya teman atau cewek yang baru kenal begitu ke rumahnya, untuk bertemu orang tua pertama kali. Mungkin yang bikin Andi minder karena badan Andi kurus, Andi takut dianggap makek narkoba” (S1.W3/L.161-166)

Andi memiliki fikiran bahwa para orang tua dari teman wanitanya akan mengatakan ia pengguna karena ia merasa badannya identik dengan badan pemakai narkoba. Tetapi kenyataanya badan kurus Andi ini sudah terbentuk dari semasa ia kecil.

“Dari kecil..dari kecil udah kurus” (S1.W3/L.173)

“Berat yang paling berat itu 49 kg dengan tinggi 180 cm (S1.W3/L.175) “Karena soalnya mungkin orang berfikir badan Andi lebih identik

dengan para pengguna, tapi sebenarnya Andi diguna-guna hahaha…” (S1.W3/L.168-171)

IV. A. 1. 3. d. Gambaran Dimensi Emosi

Saat pertama sekali Andi memakai piercing pada telinganya, ia merasa sangat senang. Tetapi rasa senangnya ini bukan untuk memamerkan piercingnya kepada orang banyak.

“Ya seneng aja udah bisa pakek piercing tapi kalo pamer gitu enggak” (S1.W1/L.107-109).

Rasa senang yang dirasakan Andi ini diawali dengan merasa berbeda dari orang pada umumnya. Lebih lanjut alasan ia ingin tampak berbeda dari orang lain karena Andi ingin mempunyai gaya hidup seperti Van Hallen, yang menimbulkan kebanggaan tersendiri bagi dirinya.

“Alasan waktu itu kenapa ya? Menjadi orang yang berbeda? Ya.. Andi cuma ingin ini aja si. Perbedaan? Apa ya jawaban yang bener, yang enak


(52)

lifestyle seperti itu. Mungkin karena ada kebanggaan tersendiri ya menjadi orang yang berbeda” (S1.W2/L.172-180).

“Ya ada kebanggan tersendiri jadi orang yang berbeda. Pasti setiap orang gitulah, setiap individu menjadi orang yang berbeda pasti ada rasa kebanggan terhadap diri sendiri” (S1.W2/L.182-186)

Andi juga merasa percaya dirinya sedikit bertambah, tetapi tidak berlebih-lebihan. Namun, sekarang piercing bagi Andi terasa biasa saja. Dengan tren zaman yang terbentuk sekarang, Andi pun merasa piercing yang ia pakai tidak lagi membuat dirinya merasa berbeda.

“Mungkin awal-awalnya ngerasa agak beda, kepedeaan nambah dikit. Tapi sikit lah, gak terlalu berlebihan. Ya kayak lebih giman gitu, ya senenglah. Apalagi orang rumah juga gak ada yang proteskan” (S1.W2/L.159-169)

“Ya awalnya pakek piercing ngerasa beda, cuma sekarang sama aja. Mungkin tren jaman yang terbentuk sekarang udah banyak ya, udah biasa aja si... Gak ngerasa beda lagi” (S1.W1/L.154-157)

Pada awalnya penampilan pertama Andi dengan piercing baru di telinganya, membuat beberapa teman Andi kaget. Saat itu ia juga orang pertama diantara teman-temanya yang diberikan izin untuk membuat piercing yang semakin membuat dirinya merasa berbeda.

“Ya mungkin pada saat itu di lingkungan Andi bergaul, ya baru Andi yang pakek piercing. Mungkin Andi juga pada saat itu masih diijinin pakek piercing” (S1.W2/L.194-197)

Lalu beberapa teman-teman Andi ini memberikan komentar-komentar mereka tentang penampilan baru Andi. Namun lama kelamaan teman-temannya bersikap normal dan biasa kembali. Setelah iamasuk ke


(53)

perguruan tinggi,penampilannya ini pun ditanggapi biasa saja oleh teman-teman barunya di kampus.

“Biasa ya, kalo udah kehidupan kampus kan udah kehidupan orang yang lebih dewasa dan udah mulai banyak juga yang makek piercing. Mungkin yang lebih parah dari Andi juga ada, ya biasalah…”S1.W1/L.584-589).

Selama Andi memakai piercing ia belum pernah sekalipun mendapat komentar negatif tentang dirinya dari orang lain, dan seandainya suatu hari nanti Andi mendapatkan komentar yang negatif, maka ia hanya mendengarkannya kritikan itu saja. Ia tidak akan menanggapi dengan kemarahan, karena ia berfikir hanya dialah yang tahu betul baik dan buruk dirinya. Andi juga membantah jika ada orang yang mengatakan dirinya sebagai pemarah atau temperamen. Ia berfikir dengan bersikap emosi belum tentu akan menyelesaikan persoalan yang terjadi.

“Kayaknya gak perlu juga marah, karena dia bukan Andi yang paling tau diri Andi kan, Andi sendiri” (S1.W1/L.595-597)

“Andi apa ya?Orangnya cuek sebenernya. Terus kayaknya gak terbawa emosi. Gak terlalu gimana ya? Andi berfikiran yang lurus-lurus ajalah. Menggunakan emosi juga kayaknya gak menyelesaikan masalah. Kalau bisa diselesaikan baik-baik, kenapa harus menggunakan emosi”. (S1.W1/L.617-625).

Kurangnya penggunaan emosi berupa amarah pada diri Andi, diakuinya sudah ada dari ia kecil. Ketika ia SMP sifat pengontrolan emosi ini sudah terlihat, jauh sebelum ia menjadi seorang dewasa seperti sekarang ini.


(54)

“Enggak, Andi itu sebenarnya orangnya datar aja. Andi orangnya biasa aja, ya dari Andi SMP, SMA ya orangnya gitu-gitu aja, nyantai. Pokoknya orangnya flat abislah..” (S1.W1/L.631-635)

“Karena gimana ya? Andi orangnya kadang apa ya? Ya yang bikin Andi flat gitu kadang.. ada sesuatu masalah, kalo Andi belom tahu itu masalahnya betol apa enggak? Andi tidak mengungkapkan dengan emosi. Jadi Andi mesti tahu inti masalahnya itu dulu, baru diselesaikan” (S1.W1/L.637-644)

Pernyataan Andi mengenai dirinya ini, juga didukung oleh ungkapan di bawah yang mengatakan sepanjang hidupnya hingga sekarang ini, belum sekalipun ia mengalami kemarahan yang berujung dengan kemurkaan.

“Marah besar?...Sebesar apa si?..Tapi sejauh ingatan Andi kayaknya enggak pernah si. Andi enggak pernah murka soalnya.” (S1.W1/L.647-650)

Saat peneliti menanyakan kepada Andi apakah ia seorang yang sensitif ataupun penyedih, yang mungkin mempengaruhi perasaan datarnya itu, Andi menjawab pertanyaan ini dengan jawaban tidak. Namun, bukan berarti ia tidak pernah merasakan kesedihan. Kekecewaan dan kesedihan yang cukup dalam di alaminya sekitar tahun lalu, saat ayah tercintanya meninggal dunia.

“Tahun lalu” (S1.W1/L.652)

“Papa meninggal. Ya gitulah, Andi ngerasain down-down kukulah” (S1.W1/L.654-655)

Kekecewaan lain yang dirasakan Andi juga saat ia duduk di SMA. Saat itu Andi mengalami kesedihan karena patah hati akibat putus dengan pacarnya, yang berselingkuh dengan sahabatnya sendiri. Peristiwa ini terjadi ketika Andi sudah pindah sekolah ke Medan, dan berhubungan pacaran


(55)

long distant dengan pacarnya. Saat ia mengetahui pacarnya berselingkuh, Andi pun merasakan sakit dan hancur karena ditipu oleh kedua orang yang disayanginya tersebut.

“Patah hati…setiap orang pasti pernahnlah ngerasain patah hati. Andi pastilah ngerasain patah hati. Waktu itu setelah long distant, dia juga kebetulan jadian sama sahabat Andi lagi” (S1.W1/L.630-634).

“Hancurlah…Sakiiiittt… Tertusuklah pokoknya. Ya biasalah cewek-standarlah sama kayak perasaan orang-orang yang pernah ditipu. Standarlah, cewek-cowok pasti gak beda rasa sakitnya kan?” (S1.W1/L.661-667)

Menanggapi kejadian ini pada awal-awalnya Andi cukup marah dengan mantan pacar dan sahabatnya itu. Namun Andi berfikir kembali mengapa ia harus bersikap marah kepada mereka. Ia berfikir kembali, pasti ada perbuatannya yang mengakibatkan mantan pacarnya itu akhirnya berselingkuh dan mengkhianati dirinya. Ia beranggapan mungkin ketika dirinya berada jauh, pacarnya membutuhkan orang lain yang berada lebih dekat untuk menemaninya.

“Ya nggak ada. Ya mungkin Andi awalnya marah, cuman Andi berfikir. Kenapa Andi harus marah?” (S1.W2/L.643-645)

“Dalam satu hubungan mungkin kita harus sadar terhadap diri kita masing-masing mungkin ya? Kenapa pasangan kita bisa berbuat begitu, pasti ada alasannya kan?” (S1.W2/L.647-650)

“Ya karena Andi jauh udah. Karena pada masa-masa itu, pada saat-saat itu dia butuh punya hubungan orang yang ada di dekatnya. Yang bisa dia jumpai kapanpun dia mau. Ya kan? (S1.W2/L.652-656)


(56)

Pada akhirnya untuk melawan rasa sakit yang dirasakannya itu, Andi mencoba untuk mengintrospeksi dirinya, memaafkan dan menghapus segala masalah yang terjadi diantara mereka.

“Ya akhirnya. Gak ada masalah” (S1.W2/L.659)

“Ya pada awalnya pasti orang pertama kali disakitin pasti marah sih. Tapi kalo kita bisa berfikir secara sehat dengan benar, kayaknya semua itu gampang sih dilewatinnya. Coba introspeksi diri masing-masing aja, apa alasan mereka seperti itu. Pasti kita akan tahu jawabannya, menurut Andi sih…” (S1.W2/L.661-667)

Begitu berkesan bagi Andi masa-masa pacaran yang ia habiskan dengan pacarnya saat di SMA tersebut, bahkan Andi menyatakan mantan pacarnya ini sebagai cinta pertamanya. Berbicara tentang cinta pertama, Andi mengingat saat-saat ia sedang jatuh cinta. Bagi Andi perasaan jatuh cinta akan disikapinya dengan biasa saja, seperti manusia pada umumnya. Ia tidak bersikap berlebihan, hanya senyum sumringahlah yang sering menghiasi perasaan dirinya yang sedang bahagia.

“Nggak berlebihanlah, biasa aja. Pasti lebih sumringgah ada sesuatu apa ya? Yang dirasain itu aja si.Apa ya?.. Kalo mau Andi cerita, seneng aja si. Biasanya seneng, ya kayak orang lagi jatuh cinta. Kalo kita punya satu tujuan dan itu bisa kita capai pasti perasaanya gimana, senengkan? Jadi sama aja si. Bukan maksudnya menyamakan perempuan itu dengan barang atau apa, tapi tercapainya itu terhadap kesenangganya itu” (S1.W2/L.728-737)

“Kesepian? Enggak Andi punya banyak teman soalnya. Jadi sepi gak mungkinlah” (S1.W3/L.177-178)

“Cuman itu aja, kurang kasih sayang dari orang yang pengen Andi sayang sekarang… Wanita, itu aja” (S1.W3/L.190-192)


(57)

Namun rasa cinta Andi ini tidak berlangsung lama, karena pengkhianatan dari mantan pacarnya sewaktu SMA. Waktu telah lama berlalu dan ia mencoba melupakan rasa sakit hatinya dan juga berusaha untuk mencari pacar baru. Tetapi sampai hari ini, status diri Andi masih dikatakan jomblo, yang terkadang hal ini membuat dirinya merasa sepi. Namun dapat segera terlupakan olehnya ketika ia pergi atau berkumpul dengan teman-teman sepergaulannya.

IV. A. 1. 3. e. Gambaran Dimensi Sosial 1. Keluarga

Andi adalah seorang pria bersuku batak toba yang terlahir sebagai anak pertama dengan dua orang saudara lelaki. Ia cukup dekat dengan kedua adik laki-lakinya ini, bahkan semasa kecil Andi mengingat dulu ibunya sering mengajak tiga orang kakak beradik ini berjalan-jalan dengan memakai baju kembar.

“Andi bersaudara bertiga. Cowok semua.. Andi paling besar, dan adik-adik Andi ini udah pada tamat sekolah semua” (S1.W3/L.4-6)

“Oh kalo dulu waktu masih kecil ya pasti sama. Kalo jaman-jamannya SD dulu mamah sering bawa kita bertiga keluar bareng. Nanti kadang bajunya sama… Ya jaman dululah hahaha… Namanya masih kecil pasti disamain semua pakaiannya”

Masa-masa kecil Andi dilewatinya dengan gambaran keluarga yang harmonis. Andi menceritakan sewaktu ia masih SD setiap hari minggu pagi ia dan kedua adiknya, beserta ayah dan ibu pergi ke Ancol untuk berenang


(58)

pagi mereka tidak pergi ke Ancol maka pada siang atau malam hari mereka sekeluarga pergi makan bersama.

“Dulu mungkin…jaman-jaman keemasan papa dulu masih di Jakarta. Dulu ada si jadwal setiap minggu pasti hari keluarga. Pasti keluar, tapi Andi itu kalo ga salah masih-masih SD. Biasanya hari minggu kita makan, atau dulu kadang minggu pagi dulu kita sering ke Ancol, berenang. Wajib!... Kadang masih gelap ni, berangkatkan terus berenang. Trus terakhir minta les berenang, karena papa makin sibuk. Pindah berenang di dalam kolam udah nggak di Ancol lagi, udah jarang lagi keluar bareng keluarga. “ (S1.W3/L.295-304)

Hubungan Andi dekat dengan ayahnya, jika Andi bertemu ayahnya di rumah mereka sering berpeluk-pelukan dan mencium pipinya, ini semasa ayahnya masih hidup. Namun seiring dengan kesibukan usaha ayahnya, mereka mulai jarang bertemu di rumah hingga Andi berusia remaja.

“Sama papa, ya bisa dibilang begitulah. Ya iyalah Andi dekatnya sama papa almarhum papa” (S1.W1/L.463-465 )

“Oh banyaklah ya. Kadang kalo dulu, dari dulu si ampe sekarang kalo tiap ketemu peluj-peluk, cium pipi. Kalo kegiatan di luar jarang sama papa, mungkin dulu ya kalo masih-masih kecil, masih SD. Tapi papa udah masuk SMP, SMA udah jaranglah.” (S1.W3/L.33-40)

Andi menggambarkan sosok ayahnya sebagai seorang sosok yang humoris dan senang bergaul. Sifat Andi yang senang bergaul ini pun diakuinya menurun dari ayahnya. Walaupun ayahnya orang yang pengembira, tapi juga disiplin terhadap anak-anaknya. Ayah andi buka juga seorang pemarah, namun jikalau Andi melanggar aturan dan kesalahan, seperti yang dilakukannya saat ia masih SMP. Saat itu ia pulang larut malam ke rumah, tanpa pulang dulu ke rumah ataupun memberitahu ayah dan ibunya. Akibatnya sepulang Andi, ia dihukum oleh ayahnya, hukuman yang


(59)

diberikan dengan pukulan fisik dibantu dengan alat berupa tali pinggang atau rotan.

“Kalo papa, adalah joke dulu waktu dia masih muda. Ya humorislah orangnya. Papa itu sama seperti Andi, suka bergaul. Dia kalu dulu temennya banyak dimana-mana. Kadang begadang sampe pagi, ngobrol itu ini segala macem. Yang Andi tau dia seperi itu, ga tau di jaman mudanya dulu”(S1.W3/L.225-231)

“Pemarah pada tempatnya mungkin, cuman marah tidak pada tempatnya gak lah… (S1.W3/L.233-234)”

“Jaman-jaman sekolah dulu pernah pulang malem, jadi tanpa bilang. Tanpa pulang ke rumah terus langsung ga pulang sampe malem. Itu waktu SMP kelas 1 atau 2 gitu. Dulu papa lumayan kejam, kalo marah dia mesti pakek alat bantu, bisa ikat pinggang…bisa rotan”(S1.W3/L.237-244)

Beruntung bagi Andi, ketika ayahnya ia menindik telinganya, sang ayah tidak menghukum dirinya. Andi sempat khawatir ia akan dihukum oleh ayahnya, karena memakai piercing di teliganya. Selama hampir beberapa minggu ia menutupi piercingnya ini, walaupun akhirnya ketahuan oleh ayahnya. Tanggapan yang diberikan ayahnya biasa saja, ia tidak memberikan komentar yang mengharuskan Andi membuka piercingnya. Anggapan Andi, ayahnya sudah mulai mengerti dirinya karena terus memantau perkembangan anak-anaknya.

“Pertamanya…pertamanya itu, waktu pertama kali piercing itu masih dirahasian dari papa, ya kan? Jadi selama ada hampir beberapa minggu atau sebulan gitu. Tapi setelah dia itu, ya biasa-biasa saja sih. Gak ada tanggapan yang harus buka atau apa, ini gak penting. Ya biasa-biasa aja…”(S1.W1/L.450-457)

“Oh udah enggak… Papa itu memang bener-bener ngeliat perkembangan anaknya jadi gak pernah marah” (S1.W1/L.246-248)


(60)

Andi cukup dekat dan menyayangi ayahnya, sama halnya dengan kasih sayang yang ia berikan kepada ibunya. Tidaklah mungkin membagi kasih sayang lebih berat ke ibu atau ke ayah bagi Andi. Ia tidak ingin menciptakan diskriminasi kasih sayangnya untuk kedua orang tua. Pendapatnya jika di dalam runah seseorang sudah melakukan diskriminasi pada anggota keluarga, bagaimana lagi perlakuan di luar rumah dengan orang lain.

“Sama gak ada perbedaan.. Gak mungkin ada diskriminasi di rumah sendiri. Kalo udah belajar diskriminatif di dalam keluarga, gimana di luar?”(S1.W3/L.290-292)

Sosok ibu bagi Andi adalah seorang ibu rumah tangga sejati. Semenjak Andi kecil ia memperhatikan ibunya jarang berpergian dan lebih banyak menghabiskan waktunya mengurus rumah. Andi menekankan hal yang paling diingatnya, bahwa ibunya seorang pecinta kucing. Kadang ia merasa tersaingi, karena kelihatannya ibu Andi lebih menyayangi kucing dari pada anak-anaknya.

“Mama itu orangnya gimana ya? Orangnya ibu rumah tangga banget. Dari dulu emang kerjaanya ya di rumah aja. Mama itu orangnya penyayang kucing, bisa dibilang kayaknya lebih sayang kucing dari pada anaknya, Hahaha…”(S1.W3/L.195-199)

Andi cukup mengenal ibunya, seorang yang terlama hidup dan tinggal bersama dirinya. Pribadi ibu dikatakan seorang wanita yang senang mendengarkan musik dan terlihat periang. Walaupun ibunya tidak sering membuat joke seperti ayah Andi, tapi ibunya sering tertawa jika mendengarkan bahan candaan.


(61)

“Mama dia orang yang lebih lama hidup sama Andi, masa Andi gak kenal? Mama kalo dilihat ya sifatnya periang ya. Dari dulu si Andi banyak… Hm, kalo orang yang seneng musik itu biasanya orang yang periang atau penyedih? Tapi kalo diliat dari dulu kayaknya si dia periang?” (S1.W3/L.210-215)

“Kurang.. Mama sering ketawa, tapi jarang bikin joke soalnya”(S1.W3/L.218-219)

Umur Andi yang cukup dewasa sekarang ini, tidak menghalangi dirinya untuk terus bersikap manja dengan ibunya, ia masih sering meminta ibunya menyuapi dirinya saat makan atau meminta uang jajan kepada ibunya. Sifat kemanjaan Andi belum menjadikan ibunya sebagai pelipur lara dari masalah yang dihadapi Andi. Walaupun ia mengatakan ibunya seorang pendengar yang baik, namun andi lebih suka bercerita kepada ayahnya dan ini tidak termasuk keluh kesahnya mengenai wanita ataupun resah hatinya. Di dalam keluarga Andi, anggota keluarga jarang curhat dengan satu dan lainnya.

“Mama masih sering nyuapin Andi sih, kalo Andi minta suap. Kalo cerita curhat sama mama jarang juga ni. Jarangloh di rumah itu ada yang curhat, dulu jamannya papa masih hidup si mungkin curhatnya sama papa. Cuma untuk urusan wanita, hati jarang loh itu kedengeren curhat segala macem”(S1.W3/L.202-208)

Sikap Andi cukup terbuka dengan ibunya, saat keinginannya timbul untuk memakai piercing di telinganya, Andi menceritakan kepada ibunya. Balasannya ibunya mengizinkan Andi menindik telinganya, bahkan mengantarkan Andi pergi ke tukang tindik untuk melubangi teliganya. Tanggapan dari ibunya pun biasa-biasa saja dalam menilai perbuatan


(62)

“Oh nggak, hari pada biasanya aja. Tiba-tiba lagi pengen, kebetulan minta ijin sama Mama, ya udah boleh. Ya malah mama yang ngajak Andi pergi tindik”(S1.W2/L.209-210)

Setelah memakai piercing baru di telinganya, ibu Andi tetap bersikap biasa saja. Tidak ada kemarahan atau rasa tidak setuju yang diucapkan lagi kepada Andi. Kecuali suatu hari Andi membuat piercing pemberian ibunya patah dan hilang. Ibunya bereaksi marah, tapi Andi tidak berusaha mencari pengganti piercing yang dihilangkannya itu dengan alasan tidak mempunyai penghasilan dan pekerjaan.

“Ya Mama marahlah, gak mungkin gak marah”(S1.W2/L.396)

“Ga punya penghasilan? Ga tau dapat dari mana?! Selama ini dapat dari mama, mama kan kantor terbaik”(S1.W2/L.487-488)

“Kalau Andi dengan keadaan Andi ini sekarang ini? Ga tau si ya, apa yang ada di dalam pikiran mama. Gak pernah kelontar… cuma terkadang saat orang tua udah memuncak ada aja omongan yang dia bilang ‘Kerja kek buat kasih ke mama’. Ya standarlah gitu…”(S1.W2/L.498-504)

Sehari-hari ibu Andi bukanlah orang yang pemarah. Hanya ibunya sering sekali memberi nasehat atau mengomel bahkan marah kepada Andi, yang sampai sekarang belum memiliki pekerjaan ataupun penghasilan. Kemarahan yang diungkapkan ibu Andi tidak sekejam perlakuan ayahnya dulu kepadanya. Walaupun Andi sering membuat ibunya kecewa, namun ibunya memaafkannya.

Andi yang masih juga menggangur juga tidak menamatkan studi kuliahnya, berbeda dengan adik-adiknya yang sudah menamatkan kuliah


(1)

Andi bukanlah orang memiliki temperamen yang tinggi, ia lebih suka berfikir secara logis terdahulu sebelum menimbulkan kemarahannya. Ia jua menyatakan dirinya sebagai seorang penyayang dari orang yang kasar. Sebagai seorang yang humoris namun juga cuek dan pemalas, sikap pemalas Andi ini dikatakan sudah didapatkan dari ia kecil, dan usaha untuk menanggulangi sikap negatif ini dengan bersikap malas kembali. Andi juga tidak merasakan kecemasan atas dirinya sekarang, ia pun merasakan kenyaman terhadap dirinya yang seorang pemakai piercing. Andi juga tidak merasakan kesedihan yang mendalam pada dirinya, terkecuali saat ayahnya meninggal dan saat ia dikhianati oleh pacarnya. Namun akhirnya rasa sakit hatinya ini diobati Andi dengan lebih introspeksi kepada dirinya sendiri. Andi pun bukan seorang pencemas atau kesepian, karena ia memiliki teman-temannya untuk mengobati rasa kesepian Andi.

Di dalam bergaul Andi dikatakan sebagai seorang yang supel dan memiliki banyak teman. Bahkan ia mengakui 16 jam dalam sehari ia menghabiskan waktunya di luar rumah dengan kegiatan nongkrong bersama teman-teman, bermain game di rumah teman dan kegiatan bermain lainnya. Andi merasa lebih nyaman bersama teman-temannya, apalgi jika ditanya tentang cerita curahan hati. Andi lebih dapat mengungkapkan segala permasalahn dirinya bersama teman, daripada bercerita dengan anggota keluarganya. Namun hubungan Andi dengan anggota keluarga satu dan


(2)

lainnya cukup baik, walaupun mereka tidak seharmonis sewaktu semasa Andi kecil dulu.

Tapi akhirnya Andi menilai hidupnya sangat bahagia, ia bersyukur tanpa harus bekerja keras, Andi tetap bisa memenuhi kebutuhan hidupnya. Walaupun secara materi Andi tidak merasa mapan, ia juga seorang pengganguran, tapi Andi tetap optimis dengan hidupnya, dan bercita-cita akan berwiraswasta dan membuka satu usaha kuliner dengan selera baru di Medan. Andi pun cukup bahagia dengan pergaulannya sekarang, dan pada akhirnya Andi merasa dirinya berharga dan tidak bersedia menukarkan hidupnya sekarang ini dengan kehidupan orang lain.

Walaupun Andi gagal secara akademik, dan merasa kurang dengan fisiknya namun Andi cukup stabil dengan perkembangan emosinya dan bahagia dengan kehidupan sosialnya. Harga diri responden I lebih tersusun dengan dominasi dari dimensi emosi yang stabil dan sosial yang luas. Maka dapat digambarkan Andi pemakai body piercing yang supel dalam pergaulan dan merasa eksis dengan keberadaan dirinya sebagai seorang pamakai piercing.

V.C. Saran

V.C.1. Saran Praktis

1. Diharapkan bagi para pemakai body piercing agar dapat melakukan beberapa metode untuk menemukan bentuk harga diri dan tujuan


(3)

hidup. Untuk para pemakai body piercing yang sudah dalam tahap penemuan makna hidup diharapkan agar dapat merealisasikan makna hidupnya demi tercapainya kehidupan bermakna secara utuh. 2. Disarankan kepada lingkungan para pemakai body piercing seperti

keluarga dan teman-temannya agar dapat memberikan dukungan sosial kepada para pecandu alkohol untuk dapat menemukan atau merealisasikan makna hidupnya. Khususnya agar para pecandu alkohol dapat berhenti dari kebiasaannya mengkonsumsi minuman beralkohol. Dukungan sosial dapat diberikan dengan berbagai cara misalnya dengan perhatian, komunikasi yang baik dan hubungan yang saling memberikan kasih sayang.

V.C.2. Saran Penelitian Lanjutan

1. Untuk menyempurnakan penelitian ini, sebaiknya dilakukan penelitian dengan topik yang masih berhubungan dengan penelitian selanjutnya menggunakan subjek penelitian yang lebih memiliki persoalan yang kompleks sehingga dapat menghasilkan data penelitian yang lebih kaya.

2. Keahlian dalam wawancara sangat dibutuhkan dalam penelitian kualitatif. Disarankan agar dalam penelitian selanjutnya peneliti lebih mengasah keahlian wawancaranya sehingga mendapatkan data yang lebih kaya dan akurat.


(4)

DAFTAR PUSTAKA

Armstrong, L., Myrna (2005). Tatooing, Body piercing and Permanent Cosmetics: a Hystorical and Current View of State Regulations, with Continuing Concerns. Journal of Environmental Health. Vol 67 No.8.,pp38-43

Armstrong, L., Myrna (2004). Contemporary College Students and Body Piercing. Journal of Adolescents Health. Vol. 35, pp 58-61 dalam doi: 10.1016?.jadohealth.2003.08.012. Tanggal akses 27 Maret 2007.

Baron, R. A. Byrne, D. (2004) Psikologi Sosial Jilid 1 Edisi Kesepuluh . Jakarta: Penerbit: Erlangga.

Body Piercing and Health dalam http://www.youngwomanhealth.org. Tanggal akses 15 Maret 2007.

Body Piercing dikutip dalam Washington Post dalam http://www.wikipedia.com. Tanggal akses 10 Februari 2007.

Chris Martell (2007). Body Art in Scars. Knight Ridder Tribune Bussiness News. Washington. Tanggal akses 10 Januari 2007.

Cuddihy, T. dkk (2006). Exploring the Relationship between Daily Steps, Body Mass Index and Physical Self-Esteem in Female Australian Adolescents. Journal of Exercise and Fittness Vol 4. No. 1. Tanggal


(5)

Deschenes. M. dkk., (2002). Prevalence and Characteristics of Body Piercing and Tatooing Among High School Students. Canadian Journal of Public Health. Vol.97 No.4,pp325. Dalam Proquest Medical Library.

Dayaksini, T., Hudaniah (2003). Psikologi Sosial. Edisi Revisi Buku 1. Malang: UMM Press.

Ferguson, H (1999). Body Piercing. British Medical Journal dalam http://resources.bmj.com/bmj/subscribes. Tanggal akses 5 Maret 2007

Friedman, R. S., (1995). Social Psychology. New Jersey: Prentice Hall Hogg, M.A., & Vaughan, G.M. (2002). Social Psychology (3rd ed). London :

Prentice Hall / International Inc.

Irmawati dkk. (2003) Pedoman Penulisan Skripsi. Medan Program Studi Psikologi Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara.

Jewwet, D. Sophie (2006). Social Psychology in Sport. USA: Human Kinetics.

Karteroliotis, K. (2008). Validation of the Physical Self Perception Profile among College Students. Journal of Education and Human Development. Vol:2. Issue: 1. Tanggal akses 17 Maret 2008.

Llyod dan Weiten (2006). Psychology Applied to Modern Life Adjustmen in 21th century 8th edition. Canada. Thompson Wadsworth Inc.


(6)

Poerwandari, Kristi (2001). Pendekatan Kualitatif untuk Penelitian Perilaku Manusia. Jakarta: Lembaga Pengembangan Sarama Pengukuran dan Pendidikan Psikologi (LPSP3) UI.

Suyasa, Tommy dan Djoenaina, Vonny. (2006). Perbedaan Persepsi Remaja Terhadap Kegiatan Body Piercing. Studi pada Pelajar Plus di Daerah Kemayoran.

Dalam

http://www.psikologiuntar.com/psikologi/skripsi/tampil.php?id=284. Tanggal akses 6 Juni 2006.

Tesser, A., (2001) Individual Process. Blackwell Handbook of Social Psychology.

Tindik – Tubuh/Body Piercing dalam http://www.indonesiansubculture. Tanggal akses 27 Maret 2007.