Variasi Genetika Jati Jawa Berdasarkan Metode Random Amplified Polymorphic DNA (RAPD)

(1)

VARIASI GENETIK JATI JAWA BERDASARKAN

METODE Random Amplified Polymorphic DNA (RAPD)

ERNI HARYANTI PURNAMASARI

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR

2008


(2)

PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI

Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis Variasi Genetik Jati Jawa Berdasarkan

Metode Random Amplified Polymorphic DNA (RAPD) adalah karya saya sendiri

dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.

Bogor, Februari 2008

Erni H Purnamasari NRP E051050241


(3)

ABSTRAK

ERNI HARYANTI PURNAMASARI. Variasi Genetik Jati Jawa

Berdasarkan Metode Random Amplified Polymorphic DNA (RAPD).

Dibimbing oleh Iskandar Zulkarnaen Siregar dan Ulfah Juniarti Siregar. Saat ini informasi genetik jati di Pulau Jawa sekarang masih terbatas. Sebagian besar hasil penelitian tentang variasi genetik jati yang ada masih berdasarkan analisa isoenzim dan menggunakan sampel yang diambil dari daun yang diambil dari beberapa lokasi yang terbatas. Pada penelitian ini, penggunaan sampel daun dan kayu dari cukup banyak lokasi yang dianalisa dengan RAPD

(Random Amplified Polymorphic DNA) dapat memperkaya informasi variasi

genetik jati yang ada di Jawa.

Sampel diambil dari sembilan KPH (Kesatuan Pemangkuan Hutan) yang tersebar di tiga propinsi di Pulau Jawa. Adapun KPH yang dimaksud adalah KPH Banten, KPH Ciamis dan KPH Indramayu yang terdapat di Propinsi Jawa Barat - Banten, KPH Cepu, KPH Kebonharjo, KPH Kendal dan KPH Randublatungyang terdapat di Propinsi Jawa Tengah dan KPH Bojonegoro serta KPH Ngawi yang terdapat di Propinsi Jawa Timur. Untuk ekstraksi DNA daun digunakan metode Promega yang dimodifikasi sedangkan ekstraksi DNA kayu diekstraksi dengan menggunakan metode CTAB (Cethyl Trimethyl Amonium Bromide). Terdapat empat primer terpilih yang digunakan untuk perbanyakan DNA melalui teknik RAPD, diantaranya OPY2, OPY9, OPO13 untuk sampel daun dan OPY11 untuk sampel kayu. Data yang dihasilkan kemudian diskoring dan dianalisis dengan menggunakan software POPGENE versi 3.2 dan NTSYS 2.02.

Dari hasil analisis diperoleh variasi genetik jati jawa yang dapat dilihat melalui nilai heterozygitas harapan (He) dan berkisar dari 0,0614 ( KPH Ngawi)

sampei dengan 0,2753 ( KPH Indramayu). Dendrogram dihitung berdasarkan nilai jarak genetik Nei menunjukkan dua kelompok jati utama yaitu. Jati Jawa Barat – Banten dan Jati Jawa Tengah-Jawa Timur. Hasil yang diperoleh dari ekstraksi DNA yang terdapat pada sampel kayu menunjukkan bahwa DNA kayu hanya terdiri atas fragmen berukuran kecil (maksimum 500 bp) dan berbeda jauh dengan hasil yang diperoleh dari daun yang fragmennya berukuran besar ( maksimum 2500 bp). Dengan demikian apabila kayu akan digunakan sebagai bahan untuk keperluan lacak balak perdagangan hasil hutan dengan menggunakan fingerprinting, maka masih diperlukan perbaikan metode ekstraksi DNA dari kayu.


(4)

ABSTRACT

ERNI HARYANTI PURNAMASARI. Genetic Variation of Java Teak Based on (Random Amplified Polymorphic DNA) RAPD Method. Under the direction of Iskandar Zulkarnaen Siregar dan Ulfah Juniarti Siregar.

Information on genetic variation of teak in Java at present is still limited. Existing data mostly were based on isozyme analysis, on few localized population, and using leaves as sample materials. In this study usage of RAPD

(Random Amplified Polymorphic DNA) as one of DNA markers, and teak wood

as material to study teak genetic diversity could enrich the available information. Samples were collected from nine Forest Management Unit (FMU) representing three provinces in Java, i.e. FMU Banten, FMU Ciamis and FMU Indramayu of West Java province, FMU Cepu, FMU Kebonharjo, FMU Kendal and FMU Randublatung of Central Java province, FMU Bojonegoro and FMU Ngawi of East Java province. Leaves DNA were extracted using CTAB method and woods DNA were extracted using CTAB (Cethyl Trimethyl Amonium

Bromide) method, while RAPD analysis were done using four selected primers,

i.e. OPY2, OPY9, OPO13 and OPY11 . Generated data were then analyzed using POPGENE version 3.2 and NTSYS 2.02.

Results showed that teak genetic diversity in Java as measured from heterozygosity level ranged from 0,0614 (FMU Ngawi) to 0,2753 (FMU Indramayu). Dendrogram based on calculated Nei’s genetic distances clustered the populations into two main groups, i.e. West Java province and Central-East Java province. Amplified DNA from wood comprised only of small size fragments (maximum 500bp) as compared to those of leaves (maximum 2500bp). If wood is going to be used as material for fingerprinting traded forest products, a refinement method in DNA analysis should be done.


(5)

@ Hak cipta milik IPB, tahun 2008 Hak cipta dilindungi Undang-Undang

1. Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan dan menyebutkan sumber

a. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan

karya ilmiah, penyusunan kritik atau tinjauan suatu masalah

b. Pengutipan tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB

2. Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya


(6)

VARIASI GENETIK JATI BERDASARKAN

METODE Random Amplified Polymorphic DNA (RAPD)

ERNI HARYANTI PURNAMASARI

Tesis

Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar gelar Magister Sains pada

Departemen Silvikultur

SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR 2008


(7)

Judul Penelitian : VARIASI GENETIK JATI JAWA BERDASARKAN METODE Random Amplified Polymorphic DNA

(RAPD)

Nama Mahasiswa : Erni H Purnamasari Nomor Pokok : E051050241

Program Studi : Ilmu Pengetahuan Kehutanan

Disetujui, Komisi Pembimbing

Dr. Ir. Iskandar Z. Siregar, M. For. Sc. Ketua

Dr. Ir. Ulfah Juniarti Siregar, M. Agr. Anggota

Diketahui, Ketua Program Studi

Ilmu Pengetahuan Kehutanan

Dr. Ir. Rinekso Soekmadi, M.For.Sc.

Dekan Sekolah Pascasarjana

Prof. Dr. Ir. Khairil Anwar Notodiputro, M.S.


(8)

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT atas segala karunia dan rahmat-Nya, sehingga penulis dapat menyelesaikan tesis sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Science (M.Si) di Institut Pertanian Bogor. Dalam tesis ini penulis memilih judul "Variasi Genetik Jati Jawa Berdasarkan Metode Random Amplified Polymorphic DNA (RAPD)".

Tesis ini berisi hasil penelitian analisis DNA dengan menggunakan sampel daun dan kayu melalui teknik RAPD yang sebagian besar dilakukan di Laboratorium Silvikultur Fakultas Kehutanan IPB dan telah dilakukan dari September 2006 sampai dengan akhir April 2007. Adapun sampel yang digunakan berasal dari 9 KPH di areal kerja Perum Perhutani Unit I Jawa Tengah, Unit II Jawa Timur dan Unit III Jawa Barat-Banten.

Dengan penuh kerendahan hati penulis ingin mengucapkan terima kasih kepada:

1. Bapak, Ibu, Buang Yudha Ady Chandra, Budi Hernowo dan Wahyu Sejati Andayani atas dukungan, semangat dan doanya.

2. Bapak Dr. Ir. Iskandar Z. Siregar, M.For.Sc selaku dosen pembimbing atas segala bantuan dan bimbingannya.

3. Ibu Dr. Ir. Ulfah Juniarti Siregar, M.Agr selaku dosen pembimbing atas segala bantuan dan bimbingannya.

4. Ibu Ir. Endah Suwarni, M.Sc selaku penguji luar komisi atas saran dan masukkannya.

5. Bapak Prof. Dr. Ir. Imam Wahyudi, M.Sc atas saram dan masukkannya 6. Tedi Yunanto, S.Hut dan teman-teman di laboratorium atas semua bantuan

dan ilmunya.

7. Teman-teman program studi Ilmu Pengetahuan Kehutanan atas bantuan dan dukungannya.

Penulis berharap semoga karya ilmiah ini dapat bermanfaat khususnya bagi pembangunan hutan di Indonesia. Penulis menyadari bahwa thesis ini masih banyak kekurangan, oleh karena itu penulis mengharapkan kritik dan saran untuk menyempurnakannya.

Bogor, Februari 2008


(9)

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Kota Pati, Jawa Tengah pada tanggal 7 Desember 1980 dari ayah Ir Sanyoto Suhardi, MM dan Ibu Rahayu Sari Tjahyani. Penulis merupakan putri pertama dari tiga bersaudara.

Tahun 1999 penulis lulus dari SMUN 1 Surakarta dan pada tahun yang sama lulus seleksi masuk IPB melalui jalur UMPTN. Penulis memilih Program Studi Manajemen Hutan Fakultas Kehutanan. Penulis menamatkan pendidikan Sarjana pada tahun 2004. Pada tahun 2005, penulis diterima di Program Studi Ilmu Pengetahuan Kehutanan pada Sekolah Pascasarjana IPB.

Selama mengikuti program S2, penulis menjadi asisten mata kuliah Pembiakan Vegetatif, Silvukultur Hutan Alam, Bioteknologi Kehutanan untuk program Sarjana pada tahun ajaran 2006/2007. Penulis juga menjadi asisten mata kuliah Genetika Hutan untuk program Sarjana pada tahun ajaran 2007/2008. Selain itu penulis juga menjadi asisten mata kuliah Pemuliaan Pohon Hutan Lanjutan dan Bioteknologi Kehutanan Lanjutan untuk program Pascasarjana pada tahun ajaran 2007/2008.


(10)

DAFTAR ISI

Halaman

DAFTAR TABEL ... iii

DAFTAR GAMBAR ... iv

DAFTAR LAMPIRAN ... v

PENDAHULUAN Latar Belakang ... 1

Tujuan ... 4

Manfaat ... 5

TINJAUAN PUSTAKA Deskripsi Umum Jati ... 6

Sejarah dan Perkembangan Pemuliaan Jati Di Indonesia ... 8

Variasi Genetik ... 9

Penelitian Genetik Jati Di Indonesia ... 11

Polymerase Chain Reaction (PCR)... 13

Random Amplified Polymorphic DNA (RAPD)... 15

METODOLOGI Waktu dan Tempat ... 16

Bahan dan Alat ... 17

Prosedur Pengambilan Daun Jati ... 18

Prosedur Pengambilan Kayu Jati ... 18

Analisis DNA Di Laboratorium ... 19

Analisis Data... 23

HASIL DAN PEMBAHASAN Optimasi Ekstraksi DNA ... 26

Optimasi Seleksi Primer (screening primer) ... 27

Optimasi PCR (Polymerase Chain Reaction) ... 29

Variasi DNA Dalam Populasi Pada Sampel Daun ... 35

Keragaman DNA Antar Populasi Pada Sampel Daun ... 37

Analisis Fragmen Kayu ... 39

SIMPULAN DAN SARAN Simpulan ... 40


(11)

DAFTAR PUSTAKA ... 26 LAMPIRAN ... 28


(12)

DAFTAR TABEL

Halaman

Tabel 1. Beberapa Penelitian Genetik Jati Di Indonesia ... 12

Tabel 2. Rincian pengambilan contoh uji baik daun mupun kayu jati ... 16

Tabel 3. Komposisi Bahan dalam Proses Amplifikasi RAPD ... 23

Tabel 4. Tahapan-tahapan dalam proses PCR ... 23

Tabel 5. Fragmen dominan secara manual dan hasil tabulasi ... 25

Tabel 6. Kualitas Pita Primer Dalam Seleksi Primer ... 29

Tabel 7. Fragmen dominan secara manual dan hasil tabulasi ... 35


(13)

DAFTAR GAMBAR

Halaman

Gambar 1. Distribusi global hutan tanaman jati menurut negara/wilayah... 1

(Bhat & Ma, 2004) 1 Gambar 2. Daun Jati (Foto Pribadi)... 7

Gambar 3. Pohon Jati (Foto Pribadi) ... 7

Gambar 4. Prinsip Kerja PCR (Hoezoel, 1998)... 14

Gambar 5. Lokasi KPH pengambilan sampel... 17

Gambar 6. Analisa DNA di Laboratorium... 19

Gambar 7. Ekstraksi DNA pada daun jati dengan menggunakan Metode Promega... 20

Gambar 8. Ekstraksi DNA pada kayu jati dengan menggunakan Metode CTAB... 21

Gambar 9. Cara penilaian pita dengan sistem skoring (1 = ada pita, 0 = tidak ada pita)... 24

Gambar 10. Hasil Ekstraksi DNA Daun... 26

Gambar 11. Hasil Seleksi Primer no 1 – 15... 28

Gambar 12. Hasil Seleksi Primer no 16 – 30... 28

Gambar 13. Hasil PCR Primer OPO-13 Lokasi Jawa Barat... 31

Gambar 14. Hasil PCR Primer OPY-2 Lokasi Jawa Tengah... 31

Gambar 15. Hasil PCR Primer OPY-9 Lokasi Jawa Timur... 31

Gambar 16. Hasil RAPD menggunakan primer OPY-9 pada populasi Jawa Barat (a), Jawa Tengah (b) dan Jawa Timur (c)... 33

Gambar 17. Hasil PCR pada kayu... 34


(14)

DAFTAR LAMPIRAN

Halaman

Lampiran 1. Hasil skoring pola pita DNA Jati berdasarkan RAPD………… 48 dari 9 populasi berdasarkan primer OPO-13

Lampiran 2. Hasil skoring pola pita DNA Jati berdasarkan RAPD………… 49 dari 9 populasi berdasarkan primer OPY - 2

Lampiran 3. Hasil skoring pola pita DNA Jati berdasarkan RAPD………… 50 dari 9 populasi berdasarkan primer OPY - 9

Lampiran 4. Jarak genetik Jati Jawa berdasarkan metode RAPD... 51 Lampiran5. Rincian pengambilan contoh uji baik daun mupun kayu

pada hutan tanaman Jati di Jawa dari berbagai kelas umu……… 52 Lampiran 6. Gambar Alat-Alat penelitian………... 53


(15)

Indonesia 31% Thailand

7% Myanmar

6% Bangladesh

3% Sri Lanka

2%

Afrika tropis 5%

Amerika tropis 3%

India 43% PENDAHULUAN

Latar Belakang

Jati merupakan salah satu jenis pohon yang mampu memberikan kontribusi nyata dalam menyediakan bahan baku kayu yang memiliki nilai ekonomis tinggi dan mempunyai kualitas kayu yang sangat baik. Sampai saat ini kayu jati masih menjadi unggulan diantara kayu-kayu dari jenis pohon yang lain. Jati sudah ditanam sekurangnya di 36 negara tropis baik di benua Asia, Afrika dan Amerika dengan luas mencapai sekitar 5,7 juta ha atau 3% dari hutan tanaman dunia (Bhat dan Ma, 2004). Hutan tanaman jati di Indonesia sebagian besar berada di Pulau Jawa dengan luasan sekitar 1 juta Ha atau 45% dari keseluruhan area hutan tanaman. Secara lebih terperinci, distribusi global jati di dunia disajikan pada Gambar 1.

Gambar 1. Distribusi global hutan tanaman jati menurut negara atau wilayah (Bhat dan Ma, 2004)

Saat ini kebutuhan kayu jati domestik diperkirakan mencapai 2,5 juta m3/tahun, sementara kemampuan lestari hutan Jati milik Perum Perhutani di Jawa yang ada sekitar 0,8 juta m3/tahun (Leksono, 2001 dalam Siregar, 2005). Pada tahun 2010 kebutuhan ini diperkirakan meningkat menjadi 5,1 juta m3/tahun (Pasaribu, 2002). Hingga saat ini terdapat ketimpangan yang cukup besar antara permintaan dan ketersediaan kayu jati. Banyak hal yang menyebabkan terjadinya ketimpangan yang cukup besar antara permintaan dan ketersediaan kayu jati


(16)

diantaranya adalah gangguan keamanan terhadap hutan jati dan menurunnya produktivitas jati.

Keberhasilan pengembangan jati di dalam negeri baik di lahan negara maupun rakyat berkaitan erat dengan keberhasilan peningkatan produktivitas. Sampai saat ini produktivitas hutan jati semakin berkurang diantaranya disebabkan oleh ketersediaan benih dan bibit unggul yang belum diujicobakan secara luas karena kegiatan pemuliaan yang belum begitu mapan. Keterbatasan sumber daya manusia, fasilitas, dana dan keterbatasan informasi mengenai sumberdaya genetik menyebabkan belum mapannya kegiatan pemuliaan, di mana sudah seharusnya perlu dilakukan inventarisasi sumberdaya genetik jati untuk mengetahui informasi variasi genetik jati, khususnya di Jawa yang hingga saat ini masih belum lengkap.

Tanaman menyimpan informasi genetik dalam genom inti maupun organel (kloroplas dan mitokondria). Mekanisme seperti delesi, insersi, translokasi dapat menyebabkan terjadinya penggantian atau perubahan basa nukleotida pada sekuen basa DNA. Dengan keadaan seperti ini maka diperlukan suatu teknologi untuk dapat menganalisis DNA sehingga dapat diketahui informasi genetik yang terkandung dalam tanaman tersebut.

Variasi genetik merupakan modal utama dalam pemuliaan tanaman. Banyak keuntungan yang diperoleh dari penelitian variasi genetik jati ini, diantaranya dapat dijadikan informasi dalam kegiatan seleksi pemuliaan. Selain itu juga bermanfaat untuk menentukan genetic diversity centre yang nantinya berguna dalam kegiatan konservasi genetik jati. Keuntungan yang lain dari penelitian variasi genetik ini juga dapat digunakan untuk mengetahui asal usul bahan tanaman dan kayu jati serta identitas klon pada jati. Kemajuan dibidang biologi molekuler telah memberikan sumbangan yang besar dalam studi variasi genetik jati, yaitu dengan melakukan analisis pada tingkat molekul DNA. Teknik ini sangat membantu pemuliaan dalam melakukan studi genetik dengan ketepatan yang lebih akurat.

Saat ini teknologi analisis yang sering dilakukan adalah berdasarkan penanda isozim dan DNA. Teknologi analisis genetik dengan isozim merupakan teknologi analisis genetik yang paling awal diaplikasikan dan dikembangkan pada


(17)

makhluk hidup. Seiring berjalannya waktu, ternyata dengan menggunakan isozim tidak dapat dideskripsikan bagaimana keadaan genom yang sebenarnya. Akhir-akhir ini penggunaan penanda DNA ternyata lebih mampu menggambarkan bagaimana keadaan genom yang sebenarnya, selain itu penanda DNA ini dapat digunakan sesuai dengan tujuan mengadakan analisisnya sehingga penanda DNA dapat memainkan peranan yang penting dalam program pemuliaan pada masa sekarang hingga masa mendatang. Penanda genetik dapat digunakan sebagai patokan untuk melihat adanya suatu perubahan sifat dengan mendeteksi perubahan urutan basa dan basa nukleotida DNA khas untuk setiap jenis protein atau enzim. Penanda genetik yang dimaksud adalah dominan dan ko-dominan. Dominan adalah penanda berdasarkan ada atau tidaknya pita DNA yang muncul setelah elektroforesis, yang termasuk ke dalam penanda ini adalah RAPD

(Random Amplified Polymorphic DNA), PCR-RFLP (Polymerase Chain Reaction

- Restriction Fragment Length Polymorphism) dan AFLP (Amplified Fragment

Length Polymorphism), sedangkan ko-dominan adalah penanda yang

menghasilkan pita heterozigot dan homozigot. Penanda yang termasuk ko-dominan adalah RFLP (Restriction Fragment Length Polymorphism) dan mikrosatelit.

Dalam usaha melengkapi data mengenai variasi genetik jati di Pulau Jawa maka perlu dilakukan suatu penelitian yang dapat memberikan infomasi mengenai hal tersebut. Dalam penelitian-penelitian sebelumnya yang pernah dilakukan diketahui masih banyak kekurangan, karena contoh uji yang digunakan adalah daun dan hanya mengambil sedikit lokasi serta berbasis individu sehingga polimorfisme yang dihasilkan kurang optimal.

Beberapa penelitian analisis genetik yang pernah dilakukan menggunakan penanda isozim dan berbasis individu adalah yang sudah dilakukan oleh Kertadikara (1996) yang menginventarisasi variasi genetik pada 18 lokus enzim gen dari 9 provenan yang berbeda pada habitat alami dan buatannya. Widyatmoko (1996) mengidentifikasi klon jati di Cepu pada 116 pohon plus dari bank klon dan Kebun Benih Klon berdasarkan 13 lokus dari 9 sistem enzim. Dewi (2003) mengidentifikasi keturunan pada 10 klon jati di Padangan. Informasi variasi genetik dalam bentuk dendogram pohon plus jati selanjutnya digunakan sebagai


(18)

dasar untuk hibridisasi jati. Penelitian mengenai keragaman genetik jati asal Sulawesi juga pernah dilakukan Munarti (2005) yang menganalisis keragaman genetik jati asal Sulawesi Selatan berdasarkan penanda Simple Sequence Repeat

(SSR).

Selama ini bahan tanaman yang digunakan untuk menganalisis genetik jati masih berupa sampel daun dan belum pernah menggunakan sampel dari jaringan tanaman yang lain seperti kayu atau akar tanaman. Berbagai alasan mendasari mengapa sampel kayu belum pernah digunakan karena selain memiliki tingkat kesulitan dan kecermatan yang tinggi, di dalam kayu sendiri terkandung sifat

degraded-DNA yaitu DNA yang tidak utuh dan rusak. Berbeda apabila

menggunakan contoh uji daun, dimana DNA masih utuh dan berada pada organel sel daun (Total-DNA) sehingga DNA lebih mudah didapatkan dan dianalisis. Berdasarkan pada kondisi ini maka penelitian ini akan diujicobakan kayu dan daun sebagai contoh uji dalam menganalisis variasi genetik dengan berbasis banyak populasi. Penulis memilih RAPD sebagai metode penanda genetik dalam analisis variasi jati di Jawa karena melalui RAPD, DNA dapat dikelompokkan tanpa perlu mengetahui urutan basa nukleotidanya, sederhana karena tidak memerlukan DNA dalam jumlah besar, lebih menghemat tenaga dan beresolusi tinggi.

Tujuan

Untuk memenuhi harapan di atas, penelitian dirancang dengan tujuan

sebagai berikut:

a. Menduga variasi genetik jati di Jawa


(19)

Manfaat

Manfaat yang diharapkan dari penelitian ini adalah :

1. Memberikan informasi mengenai variasi genetik jati yang ada di Jawa agar tercipta suatu sistem konservasi genetik yang berkesinambungan dalam rangka program KSDTH (Konservasi Sumber Daya Genetik Tanaman Hutan) dan pemanfaatannya.

2. Memberikan informasi dasar untuk pengembangan salah satu metode penanda bagi lacak balak.


(20)

TINJAUAN PUSTAKA

Deskripsi Umum Jati (Tectona grandis Linn.f )

Jati dengan nama botani Tectona grandis Linn.f merupakan jenis tumbuhan kayu daun lebar yang termasuk ke dalam klas angiospermae, ordo verbenales dan famili verbenaceae. Di setiap negara, jati memiliki nama lokal yang berbeda-beda antara lain teak (Inggris), teck (Perancis), teca (Spanyol), java teak (Jerman), sangun (India), iyiu (Birma) dan mai sak (Thailand) (Rahmawati et al., 2002). Jati dapat tumbuh baik pada jenis tanah latosol, andosol, dan aluvial bahkan pada tanah yang tidak mengandung kapur sekali pun, pada umur 100 tahun jati dapat tumbuh dan mencapai tinggi 25 hingga 35 meter dengan tinggi batang bebas cabang 15-20 m, diameter dapat mencapai 220 cm (umumnya 50 cm) serta bentuk batang tidak teratur dan beralur (Dephut, 2002).

Jati merupakan tanaman alami pada formasi hutan tropik gugur yang meliputi wilayah India bagian tengah dan selatan, Myanmar, wilayah barat laut Thailand, Laos serta Indonesia (Kertadikara, 1996). Dalam perkembangannya, jati telah menyebar di berbagai negara di Asia Tenggara, Pasifik (Australia dan Fuji), Afrika (Tanzania, Sudan, Somalia, Zimbabwe, Uganda, Kenya, Malawi, Senegal, Gunea, Ivor Coast, Ghana, Puerto Rico, Panama, Honduras, Jamaika, Nicaragua, West Coast dan Cuba) dan Amerika (Brazil, Suriname, Colombia, Venezuela, Argentina, Costa Rica, Belizele dan El Salvador). Di Indonesia jati sebagian besar berasal dari Jawa, Sulawesi Selatan, Sulawesi Tenggara, NTB, Maluku, Lampung dan Bali (Sumarna, 2003).

Secara fenologis, jati tergolong tanaman yang menggugurkan daun

(deciduous) pada saat musim kemarau. Daun akan tumbuh lagi pada bulan Januari

atau Maret. Masa pembungaan akan berlangsung antara bulan Juni sampai September. Buah yang terbentuk akan masak sekitar bulan November (Sumarna, 2003). Lebih lanjut, Sumarna (2003) menyatakan secara umum pertumbuhan jati membutuhkan iklim dengan curah hujan minimum 750 mm/tahun, optimum 1000-1500 mm/tahun. Suhu udara minimum yang dibutuhkan pertumbuhan jati minimum 13-170 C dan suhu optimum 32-420 C. Secara geologis tanaman jati tumbuh lebih baik pada lahan dengan kondisi fraksi lempung, lempung berpasir,


(21)

atau pada tanah liat berpasir. Untuk menghasilkan pertumbuhan optimal, jati memerlukan kondisi solum lahan yang dalam dan pH optimum sekitar 6,0.

Mandang dan Pandit (2002) mengemukakan kayu jati memiliki ciri umum teras yang berwarna emas kecoklatan sampai coklat kemerahan, mudah dibedakan dari gubal yang berwarna putih agak keabuan. Coraknya dekoratif karena jelasnya lingkaran tumbuh. Kayu jati memiliki berat jenis rata-rata 0,67 (0,62-0,75), kelas awet I-II dan kelas kuat II. Kayu jati dapat dipakai untuk beberapa keperluan, antara lain untuk bahan bangunan, rangka pintu dan jendela, panel pintu, bantalan rel kereta api, perabot rumah tangga, karoseri badan truk, dek kapal, vinir indah dan sebagainya.

Menurut Sumarna (2003), tanaman jati juga tergolong sebagai tanaman berkhasiat obat. Bunga jati dapat digunakan sebagai obat bronchitis, billiousness

dan melancarkan serta membersihkan kantung kencing. Buah atau benihnya dapat digunakan sebagai bahan obat diuretik. Ekstrak daunnya dapat menghambat kinerja bakteri tuberkolosa. Adapun gambar dari daun dan kayu jati disajikan pada Gambar 2 dan 3.

Gambar

Hasil penelitian Palupi dan Owens (1997) di Kebun Benih Klonal (KBK) Cepu menyatakan bahwa pembungaan pada jati dimulai dari cabang paling bawah Gambar 2. Daun Jati (Foto Pribadi) Gambar 3. Pohon Jati (Foto Pribadi)


(22)

ke bagian atas. Selama periode pembungaan pada setiap panikel terdapat sebanyak 300-1000 bunga mekar setiap harinya dengan rata-rata 60 bunga per hari. Kelopak bunga berbentuk lonceng dan tidak lepas, berwarna coklat terang dan berfungsi untuk melindungi kuncup bunga selama perkembangannya. Setiap benang sari terdiri atas filamen atau tangkai sari dan sebuah kepala sari (two lobed) berwarna kuning yang sedikit mengandung pollen.

Umumnya jati merupakan jenis yang menyerbuk silang, namun kemungkinan terjadinya silang dalam (inbreeding) sangat besar. Hal ini disebabkan karena sifat bunga yang hermaprodit (Yulianti, 1995) serta aktivitas polinator yang hanya berkeliaran pada satu pohon saja, sehingga kemungkinan terjadinya penyerbukan sendiri (selfing) cukup besar. Penyerbukan jati dapat terjadi secara geitonogami (pada individu pohon yang sama) atau autonogami

(pada bunga yang sama).

Pembuahan merupakan peristiwa penggabungan atau bersatunya gamet jantan dan betina yang merupakan saat penting dalam siklus hidup tumbuhan. Karakteristik yang unik dari pembuahan angiospermae adalah terdapatnya ”pembuahan ganda” dimana terdapat 2 gamet jantan yang dilepaskan masing-masing akan membuahi sel telur membentuk zigot dan lainnya berdifusi dengan 2 inti polar membentuk inti endosperm sebagai cadangan makanan. Pembuahan pada jati terjadi 24 jam setelah penyerbukan dan zigot mulai berkembang pada 3-5 Hari Setelah Penyerbukan (HSP). Berdasarkan data ini, maka pengamatan terhadap bunga di lapangan yang dapat bertahan sampai 3 HSP dianggap sebagai bunga yang telah mengalami pembuahan (Palupi dan Owens, 1997).

Sejarah dan Perkembangan Pemuliaan Jati di Indonesia

Pemuliaan jati di Indonesia mulai dirintis sejak tahun 1930 dengan dilakukannya penelitian tentang biologi bunga serta uji provenan pada tahun 1932 untuk pemilihan sumber benih (Sastrosumarto dan Suhaendi, 1995), namun kegiatan ini seakan terhenti karena tidak ada pihak yang menindaklanjuti dan mengembangkannya. Pada tahun 1981 Perum Perhutani mulai melakukan upaya perbaikan genetik jati melalui program pemuliaan jangka pendek yaitu dengan pemilihan Areal Produksi Benih (APB) dan pembangunan Kebun Benih Klonal


(23)

(Perum Perhutani, 1992 dalam Na’iem, 2002). Program pemuliaan jati yang memakan waktu lama dan biaya yang tidak sedikit tersebut apabila dilakukan dengan sungguh-sungguh dan komitmen yang tinggi, maka usaha tersebut akan membuahkan hasil yang diinginkan.

Salah satu program jangka pendek pemuliaan pohon adalah kegiatan pembangunan Kebun Benih Klonal melalui pembiakan vegetatif dari pohon plus. Tegakan yang dipilih untuk diambil pohon plusnya adalah pohon dimulai dari kelas umur 11 sampai kelas umur yang masih ada (Anonimous, 1992 dalam

Rifa’i, 2000).

Menurut Sadharjo (2002), strategi pemuliaan jati yang bertujuan untuk memperoleh bibit jati unggul ini dibedakan ke dalam program jangka pendek dan jangka panjang. Strategi jangka pendek ditempuh untuk mencukupi kebutuhan benih yang unggul saat ini, sedangkan strategi jangka panjang dilakukan dalam upaya memperoleh benih unggul melalui beberapa tahapan ilmiah yang terencana dan sistematis. Strategi jangka pendek yang dilakukan antara lain adalah penunjukan Areal Produksi Benih (APB), pemanfaatan materi pohon plus pada pembangunan Kebun Benih Klonal (KBK), pembangunan kebun pangkas, dan pembiakan vegetatif melalui Kultur Jaringan Mikrostek. Strategi jangka panjang yang dilakukan antara lain melalui cara pembangunan uji keturunan half-sib, pembangunan konservasi ex-situ, program penyerbukan terkendali, penelitian bioseluler dan melalui penelitian analisis DNA.

Variasi Genetik

Variasi genetik suatu jenis adalah hasil dan perkembangbiakan secara seksual. Pada proses perkembangbiakan seksual terjadi peristiwa meiosis yang mereduksi jumlah kromosom diploid (2n) dalam sel tetua menjadi haploid (n) dalam gamet, mengikuti hukum segregasi bebas seperti diungkapkan oleh Mendel (Hukum Mendel 1). Selanjutnya diperjelas lagi pada Hukum Mendel 2 meiosis kromosom homolog juga akan mengalami pindah silang dan kadang-kadang terjadi perubahan susunan genetik. Lebih lanjut menurut Hukum Mendel 2 pada saat perkawinan terjadi rekombinasi gamet secara acak mengikuti hukum pengelompokkan bebas (Crowder, 1997).


(24)

Soerianegara dan Djamhuri (1979) menjelaskan bahwa dalam satu jenis pohon dapat dijumpai keragaman geografis (antar provenan), keragaman lokal (antar tempat tumbuh), dan keragaman dalam pohon serta keragaman antar pohon. Terdapat dua sebab yang menimbulkan keragaman, yaitu perbedaan lingkungan dan perbedaaan susunan genetik. Keragaman lingkungan biasanya disebabkan oleh perbedaan tempat tumbuh, sifat tanah, atau jarak tanam, dimana keragaman yang tidak dapat diterangkan dengan perbedaan tempat tumbuh, misalnya perbedaan bentuk batang, tebal batang, tebal cabang, dan berat jenis.

Adanya keragaman dalam suatu jenis perlu diketahui lebih dahulu sebelum memulai dengan pemuliaan pohon, keanekaragaman genetik merupakan syarat mutlak dalam pemuliaan, yaitu untuk memungkinkan seleksi dan untuk mencegah dihasilkannya tanaman yang tidak bermutu. Jumlah dan macam variasi genetik dalam suatu populasi dapat berubah yang kemungkinan besar menyebabkan terjadinya perubahan struktur genetik populasi atau terjadinya evolusi yang disebabkan oleh sejumlah faktor yang disebut faktor evolusioner seperti seleksi, mutasi, migrasi, hanyutan genetik, aliran gen dan sistem perkawinan. Mutasi selalu meningkatkan jumlah variasi. Kombinasi dua atau lebih faktor dapat menyebabkan sejumlah pola variasi genetik (Finkeldey, 2005).

Pada suatu populasi kawin acak yang besar tanpa ada seleksi, mutasi dan migrasi, frekuensi genotipenya akan konstan dari generasi ke generasi. Populasi ini dikatakan berada dalam kondisi kesetimbangan Hardy-Weinberg (Falconer, 1999). Syarat-syarat lain agar kondisi kesetimbangan tercapai ádalah tidak ada penghanyutan genetik secara acak (random genetic driff) dan meiosis normal.

Informasi genetik suatu organisme tidak berubah sepanjang hidupnya. Umur suatu organisme terbatas, tetapi setiap organisme berpotensi untuk mentransmisi informasi genetik ke keturunannya. Penelitian sistem genetik suatu jenis seringkali berdasarkan pengamatan struktur genetik dalam suatu populasi tunggal atau beberapa populasi (Finkeldey, 2005). Karakteristik genetik populasi dapat berubah, dipengaruhi oleh proses perpindahan gen dari generasi ke generasi.

Perbedaan susunan genetik tidak hanya ada antara individu dalam populasi, tetapi juga terdapat perbedaan antar populasi pada suatu jenis. Perbedaan ini disebabkan oleh perbedaan frekuensi alel dan polimorfisme dalam


(25)

suatu populasi. Setidaknya perbedaan susunan genetik antar populasi muncul pada saat beradaptasi dengan lingkungannya. Variasi yang muncul pada fenotipe dipengaruhi oleh komponen genetik dan lingkungan (Futuyma, 1998). Menurut Siregar (2000) pada pohon-pohon hutan, keberadaan keragaman genetik yang berbeda dalam populasi bertanggungjawab terhadap perbedaan tingkat adaptasi dan kapasitasnya untuk beradaptasi terhadap perubahan lingkungan karena pohon-pohon tidak mampu untuk berpindah dan berumur panjang.

Variasi genetik dapat dianalisis dengan teknik yang berbeda-beda, yaitu berdasarkan studi morfologi dan pengukuran karakter pada percobaan lapangan atau studi variasi biokimia dan penanda molekuler di laboratorium. Di samping itu, variasi genetik dapat diprediksi dari variasi ekogeografisnya (Futuyma, 1998).

Variasi genetik tanaman merupakan modal utama dalam pemuliaan tanaman. Kemajuan dibidang biologi molekuler telah memberikan sumbangan yang besar dalam studi variasi genetik, yaitu dengan melakukan analisis pada tingkat molekul DNA. Teknik ini sangat membantu pemuliaan tanaman dalam melakukan studi genetik dengan ketepatan yang lebih akurat. Untuk mendapatkan informasi genetik dapat dilakukan melalui analisis profil DNA seperti RAPD

(Random Amplified Polymorphic DNA), AFLP (Amplified Fragment Length

Polymorphism), RFLP (Restriction Fragment Length Polymorphism) dan

mikrosatelit.

Penelitian Genetik Jati di Indonesia

Jati menunjukkan karakter yang bervariasi baik dalam populasi maupun antar populasi. Berdasarkan penampakan luarnya, terdapat beberapa perbedaan morfologi bentuk pohon, batang dan sifat kayu. Perbedaan tersebut masih dipelajari apakah karena perbedaan varietas, ras lahan, serangan penyakit atau adanya pola adaptasi yang berbeda antar individu dalam populasi. Karakter jati yang bervariasi menurut sifat kayu dan bentuk pohonnya yaitu dikenal adanya jati lengo, jati sungu hitam, jati werut, jati doreng, jati kembang, jati kapur, dan sebagainya. Menurut batangnya, jati dibedakan menjadi jati ri (knobel), jati pring, jati gembol, dan jati kijong. Berdasarkan penampakan bentuk batangnya jati dibedakan menjadi jati belimbing, jati knobel, jati boleng dan jati mulus. Oleh


(26)

karena itu, karakteristik pada jati dapat digunakan untuk membangun dasar genetik yang luas bagi kepentingan program pemuliaan (Mahfudz et al., 2004).

Pendugaan variasi genetik jati telah dilakukan oleh beberapa peneliti dengan menggunakan berbagai metode dari yang paling sederhana seperti isoenzim hingga Mikrosatelit. Beberapa aplikasi penanda isozim dan penelitian mengenai genetik jati yang ada di Indonesia disajikan pada Tabel 1.

Tabel 1. Beberapa Penelitian Genetik Jati di Indonesia

No. Nama Tahun Penelitian yang dilakukan

1. Arti W. Kertadikara 1996 Melakukan inventarisasi keragaman genetik pada 18 enzim gen lokus tanpa analisis formal genetik dari fenotipe isozim yang diteliti dari 9 provenan yang berbeda pada habitat alami dan buatannya

2. Widyatmoko 1996 Mengidentifikasi klon jati di Cepu pada 116 pohon plus dari bank klon dan KBK berdasarkan 13 lokus dari 9 sistem enzim

3. Eko Sulistyono 2003 Menguji identitas klon dan variasi genetik jati di KBK Padangan dan Kebun Pangkas Pusbanghut Cepu melalui penanda isozim

5. Susanna P. Dewi 2003 Mengidentifikasi keturunan pada 10 klon jati di Padangan dengan penanda isozim

6. Munarti 2005 Menganalisis keragaman genetik jati asal Sulawesi Selatan berdasarkan marker

Simple Sequence Repeat (SSR).

7. Fona Lengkana 2007 Menganalisis keragaman genetik jati muna dan jati jawa berdasarkan metode penanda PCR-RFLP


(27)

Polymerase Chain Reaction (PCR)

PCR adalah metode untuk menggandakan atau memgamplifikasi DNA yang diisolasi pada sebuah tabung reaksi kecil dengan melalui replikasi berulang. Sebelum proses PCR terlebih dahulu dilakukan ekstraksi DNA, dimana ekstraksi DNA pada prinsipnya adalah suatu proses pengisolasian DNA dengan cara fisik (penggerusan) dibantu oleh senyawa-senyawa kimia dengan metode tertentu sehingga didapat DNA. Hasil ekstraksi DNA dapat diketahui dengan melakukan pengujian kuantitas dan kualitas DNA. Uji kuantitas dan kualitas DNA dilakukan dengan proses elektroforesis dengan menggunakan gel agarose. Untuk melihat DNA hasil ekstraksi digunakan alat UV transilluminator.

Dalam proses PCR terdapat 3 tahapa yaitu denaturasi, annealing, dan ekstensi. Penjelasan ketiga tahapan dalam proses PCR adalah sebagai berikut : (1) Denaturasi

Dalam proses denaturasi kedua rantai akan terpisah dan masing-masing rantai digunakan sebagai cetakan pada proses PCR. denaturasi rantai DNA berlangsung pada suhu 94oC-95oC dengan selang waktu 15 detik hingga 2 menit. DNA dengan struktur yang komplek akan membutuhkan waktu yang lebih lama dalam tahap denaturasi. Hal ini akan berimplikasi pada turunnya kemampuan enzim taq DNA polimerase (Varghese, 1997 dalam Yuniarti, 2005)

(2) Annealing

Annealing merupakan tahapan penempelan primer pada DNA cetakan.

Suhu annealing tergantung pada panjang dan jumlah basa G (guanin) dan C (citocyn) yang terdapat pada primer serta konsentrasi garam dalam buffer.

Untuk teknik RAPD suhu annealing yang digunakan umumnya sebesar 36oC. Penggunaan suhu yang rendah pada tahap annealing, akan berdampak pada penempelan primer pada DNA cetakan menjadi tidak spesifik. Sebaliknya suhu yang terlalu tinggi akan meningkatkan kespesifikan hasil amplifikasi tetapi jumlahnya menjadi berkurang. Setelah proses annealing selesai suhu dinaikkan menjadi 70 – 74oC untuk mengaktifkan enzim Taq DNA polimerase. Pada tahap transisi ini, ikatan-ikatan yang tidak spesifik antara primer dengan cetakan akan terputus, karena ikatan tidak spesifik tersebut umumnya lemah (Varghese, 1997


(28)

(3) Ekstensi

Ekstensi merupakan tahap polimerisasi nukleotida oleh enzim Taq DNA polimerase. Reaksi polimerisasi nukleotida dimulai dari ujung 5’ – fosfat dan berakhir pada ujung 3’ gugus hidroksil (OH). Suhu yang digunakan pada tahap ini berkisar antara 70 – 74oC karena pada selang suhu tersebut enzim Taq DNA polimerase bekerja optimum. Lamanya tahap ekstensi berkisar dari 1 – 2 menit. Jika waktu pada tahap ini terlalu lama akan menghasilkan produk amplifikasi yang tidak spesifik (Varghese, 1997 dalam Yuniarti, 2005). Pembagian tahapan dan ilustrasi proses PCR disajikan dalam Gambar 4.


(29)

Random Amplified Polymorphic DNA (RAPD)

Salah satu teknologi penanda genetik yang dapat dilakukan untuk mendapatkan bibit unggul dan berkualitas yaitu RAPD (Random Amplified

Polymorphic DNA). Penanda genetik RAPD meneliti DNA secara keseluruhan

(total). DNA total memiliki sifat yang dinamis dan cepat berevolusi. RAPD adalah metode untuk mendeteksi dengan cepat genomik polymorfime DNA.

Secara umum teknik analisis genetik dengan RAPD terdiri dari empat tahap. Empat tahapan dalam proses RAPD adalah sebagai berikut :

(1) Tahap ekstraksi DNA

(2) Tahap pengujian kualitas dan kuantitas ekstraksi DNA (3) Tahap amplifikasi DNA dengan menggunakan teknik RAPD (4) Tahap pengujian kualitas dan kuantitas hasil amplifikasi

Daun yang masih muda dengan berat 0,2 g diketahui cukup untuk menghasilkan DNA yang sesuai dengan kebutuhan selama melakukan analisis. Perlu diketahui bahwa sel berkembang dengan cara menggandakan diri dan memperbesar volume sel. Oleh karena itu semakin muda suatu jaringan daun akan memberikan peluang yang lebih besar dalam menghasilkan DNA dalam jumlah yang lebih besar.

Teknik RAPD ini menggunakan oligonukleitida primer tunggal dan pendek yang akan menempel secara acak atau random dalam proses PCR low

stringency dan menghasilkan serangkaian produk yang dianalisis dengan

menggunakan gel agarose. RAPD digunakan untuk berbagai bidang antara lain : (1) Analisis keanekaragaman, (2) Hubungan antar filogenetik, (3) Identifikasi dan verifikasi galur, (3) Kesehatan dan Epidemiologi, (4) Teknologi Pangan dan (5) Ekologi Molekuler. Sedangkan kelebihan-kelebihan RAPD dibandingkan penanda DNA yang lainnya adalah : (1) Dapat digunakan secara umum sehingga DNA apa saja dapat dikelompokkan tanpa perlu mengetahui urutan DNAnya, (2) Sederhana karena tidak memerlukan DNA dalam jumlah besar, (3) Lebih menghemat tenaga, dan (4) Resolusi Tinggi.


(30)

METODE PENELITIAN

Waktu dan Tempat

Dalam penelitian ini contoh uji yang digunakan dibedakan atas contoh uji daun dan kayu. Penelitian terhadap daun dan kayu dilakukan di Ruang Analisis Genetika, Laboratorium Silvikultur, Fakultas Kehutanan dan Laboratorium Biologi Molekuler Pusat Antar Universitas (PAU), Institut Pertanian Bogor. Penelitian dilakukan dari bulan September 2006 sampai bulan April 2007.

Bahan dan Alat

Bahan

Bahan tanaman yang digunakan adalah berupa daun dan kayu yang berasal dari Areal Produksi Benih (APB) dan Tempat Penimbunan Kayu (TPK) milik Kesatuan Pemangkuan Hutan (KPH) Perum Perhutani yang masih produktif di tiga propinsi, yaitu Jawa Barat-Banten (KPH Banten, KPH Indramayu dan KPH Ciamis), Jawa Tengah (KPH Kendal, KPH Cepu, KPH Randublatung dan KPH Kebonharjo) dan Jawa Timur (KPH Ngawi dan KPH Bojonegoro). Untuk lebih lengkapnya rincian contoh uji baik daun maupun kayu jati disajikan pada Tabel 2.

Tabel 2. Rincian pengambilan contoh uji baik daun maupun kayu jati

No. Lokasi APB dan TPK

KPH Perum Perhutani

Jumlah sampel

Daun kayu

1 Jawa Barat-Banten Banten 5 -

Ciamis 5 -

Indramayu 5 + 4 *(induk sama dengan kayu)

4* (induk sama dengan kayu)

2 Jawa Tengah Kendal 5 -

Cepu 5 -

Randublatung 5 - Kebonharjo 5 -

3 Jawa Timur Ngawi 5 -

Bojonegoro 5 -

Jumlah total contoh uji 49 4 Keterangan = * : Berasal dari pohon induk yang sama dan penelitian dilakukan terpisah


(31)

Pengambilan contoh uji untuk kayu dan daun jati dilakukan secara terpisah. Pengambilan contoh uji daun dilakukan di APB, sedangkan contoh uji dari kayu tidak dilakukan pada APB, karena berdasarkan peraturan yang ada tidak boleh dilakukan penebangan pada areal APB, karena didalamnya terdapat pohon induk yang dianggap dapat mewakili struktur genetik. Oleh karena itu pengambilan contoh uji kayu dilakukan di luar areal APB yaitu mencari areal atau petak yang didalamnya terdapat Kelas Umur (KU) yang sudah tua dan sedang dilakukan penebangan. Lokasi pengambilan contoh uji daum dan kayu jati disajikan pada Gambar 5.

(Keterangan: A=KPH Banten, B=KPH Indramayu, C=KPH Ciamis, D=KPH Kendal, E=KPH Randublatung, F= KPH Cepu, G= KPH Ngawi, H= KPH Kebonharjo, I= KPH Bojonegoro)

Gambar 5. Lokasi KPH pengambilan sampel

Alat

Alat-alat yang digunakan untuk pengambilan sampel di lapangan adalah

tally sheet, kertas label, alat tulis, plastik klip, gunting dan silika gel. Sedangkan alat-alat yang digunakan untuk elektroforesis dan analisis DNA di laboratorium adalah : mortar dan pestel, sarung tangan, pipet, pipet mikro, sentrifugasi, vortex,

C B

D

E F

G H I A


(32)

spatula, tube, cetakan gel, bak elektroforesis, tray, microwave, power supply, pH meter, gelas piala, gelas ukur, timbangan analitik, pengaduk magnet, lemari pendingin, water bath, ultraviolet transilluminator dan kamera digital.

Metodologi Prosedur pengambilan daun jati

Proses pengambilan daun jati dilakukan dengan menggunakan beberapa prosedur. Prosedur tersebut adalah sebagai berikut :

1. Mengambil daun dari setiap individu pohon sebanyak 1-2 helai daun 2. Daun tersebut selanjutnya dimasukkan ke dalam plastik klips yang berisi

silika gel dengan perbandingan 1:5

3. Pohon yang daunnya diambil diukur tinggi, diameter dan letak geografisnya dengan menggunakan alat ukur

4. Data mengenai tinggi, diameter dan letak geografis dicatat ke dalam

tallysheet

5. Data-data penunjang lain seperti tahun tanam, kelas umur, bonita, nomor. petak dan sejarah penanaman dicatat pada tallysheet.

Prosedur pengambilan kayu jati

Seperti halnya dengan prosedur pengambilan daun, proses pengambilan kayu jati juga terdiri dari beberapa prosedur. Prosedur untuk pengambilan kayu jati adalah sebagai berikut :

1. Kayu yang diambil adalah kayu yang berasal dari log kayu atau kayu yang tidak terpakai (berupa piringan kayu) dengan ukuran atau berbentuk melingkar, persegi atau balok sesuai dengan kondisi log kayu yang didapatkan di lapangan

2. Kayu yang diambil dari log, dilakukan pengukuran diameter dengan menggunakan alat ukur

3. Data mengenai diameter log kayu dicatat ke dalam tallysheet

4. Data-data penunjang lain seperti tahun tanam, kelas umur, bonita, No. petak dan sejarah kayu dicatat pada tallysheet.


(33)

Analisis DNA di Laboratorium

Ada beberapa tahapan yang harus dilakukan dalam melakukan analisis DNA. Secara umum, bagan prosedur penelitian mengenai analisa DNA di Laboratorium dapat dilihat padaGambar 6.

Gambar 6. Prosedur penelitian analisis DNA di Laboratorium

1. Ekstraksi DNA dari Daun

Prosedur yang dilakukan dalam ekstraksi DNA dari daun adalah menggunakan metode Promega. Susunan buffer dari Promega terdapat pada Lampiran 7. Menurut Promega (2005) disebutkan bahwa terdapat beberapa langkah dalam melakukan ekstraksi DNA. Secara umum rincian prosedur ekstraksi DNA dari daun disajikan pada Gambar 7.

PENGAMBILAN SAMPEL

EKSTRAKSI DNA

PCR-SCREENING PRIMER

RAPD

PEWARNAAN (STAINING)

PEMOTRETAN HASIL AMPLIFIKASI

DESKRIPTIF

ELEKTROFORESIS ELEKTROFORESIS

NTSYS POPGENE

INTERPRETASI DAN PENGOLAHAN ANALISIS DATA


(34)

Daun

Memasukkan 200µL Protein Precipititation

Solution, selanjutnya disentrifuse, kemudian supernatant

diambil dan dimasukkan ke dalam microtube baru dan ditambahkan 600 µL isopropanol dan disentrifuse kembali

ELEKTROFORESIS

Gambar 7. Ekstraksi DNA pada daun jati dengan menggunakan metode Promega

DNA hasil ekstraksi yang telah dielektroforesis kemudian diwarnai dengan menggunakan larutan Ethidium Bromide (EtBr) selama kurang lebih 15 menit. Keberadaan pita DNA dapat dilihat dengan menggunakan alat ultraviolet transilluminator.

2. Ekstraksi DNA dari Kayu

Prosedur yang dilakukan dalam proses ekstraksi DNA kayu jati digunakan menggunakan metode Cetyl Trimethyl Ammonium Bromide (CTAB). Susunan buffer CTAB terdapat pada Lampiran 8. Prosedur ekstraksi DNA kayu jati berdasarkan metode Promega adalah sama seperti dengan prosedur ekstraksi DNA dari daun. Rincian tahapan ekstraksi DNA kayu jati berdasarkan metode CTAB dapat dilihat pada Gambar 8.

Sama halnya pada sampel daun, DNA hasil ekstraksi yang telah dielektroforesis diwarnai dengan menggunakan larutan Ethidium Bromide (EtBr) selama kurang lebih 15 menit. Keberadaan pita DNA dapat dilihat dengan menggunakan alat ultraviolet transilluminator.

DNA

DNA

Memasukkan 60 µL Etanol (di ulang sebanyak 2 kali)

Melakukan pengikatan DNA dengan cara menambahkan 100 µL DNA Rehydration Solution kemudian diinkubasi selama 1 jam pada suhu 65°C

Melakukan uji kualitas DNA

DNA

Daun jati digerus lalu di vortex dan diinkubasi selama 1 jam di dalam waterbath


(35)

ELEKTROFORESIS

Gambar 8. Ekstraksi DNA pada kayu jati dengan menggunakan Metode CTAB

3. Seleksi Primer

Primer adalah rantai pendek DNA yang dihasilkan secara buatan biasanya terdiri antara 10-25 basa nukleotida (Finkeldey, 2005). Primer berfungsi sebagai titik awal terjadinya proses amplifikasi DNA. Sepasang primer yang sekuen targetnya ada pada rantai DNA nantinya digunakan dalam proses PCR. Segmen DNA diantara kedua titik pertemuan primer akan diamplifikasi dalam reaksi PCR. Primer berfungsi sebagai titik awal sintesis DNA oleh enzim Taq polymerase

yang diperoleh dari bakteri Thermus aquaticus. Enzim ini juga dikenal dengan

Taq DNA Polymerase. Enzim ini sesuai untuk proses amplifikasi karena dapat

bertahan pada suhu tinggi sampai 95ºC meskipun suhu optimum bagi aktifitas enzim adalah 72ºC.

Serbuk kayu selanjutnya digerus dan divortex, lalu diinkubasi selama 1 jam (dalam keadaan dishaker

secara terus menerus)

Tube yang berisi serbuk kayu selanjutnya ditambahkan Chloroform IAA sebanyak 300 µL dan larutan Fenol 20 µL, lalu disentrifuse dan diulang kembali (2 kali)

Tube kemudian ditambahkan larutan NaCl 300 µL dan Isopropanol dingin 500 µL

DNA Tube selanjutnya ditambahkan larutan Etanol 300

µL, kegiatan ini dilakukan sebanyak 2 kali

DNA Dilakukan uji kualitas DNA

Posisi Sampel

Kayu jati dibor dalam keadaan steril (ruang khusus) lalu diambil 3 bagian (gubal, transisi dan teras )pada setiap contoh uji kayu

Masing-masing bagian dari contoh uji diambil serbuk kayunya sebanyak 0,2 gram dan dimasukkan ke dalam tube


(36)

Pada penelitian ini dilakukan seleksi primer (screening primer) terhadap 30 primer produksi dari Operon Technology yaitu primer dari golongan OPO dan OPY. Primer dari golongan OPO yang digunakan untuk seleksi primer adalah primer yang memiliki kode O.1, O.2, O.4, O.5, O.6, O.7, O.8, O.9, O.10, O.11, O.12, O.13, O.14, O.15, O.16, O.18, O.19 dan O.20. Sedangkan primer dari golongan OPY yang digunakan dalam seleksi primer adalah dari golongan Y.2, Y.3, Y.6, Y.8, Y.9, Y. 11, Y.12, Y.13, Y.14, Y.15, Y.16 dan Y.17.

4. Amplifikasi DNA melalui RAPD

DNA hasil ekstraksi baik daun dan kayu diamplifikasi dengan menggunakan mesin PCR dengan teknik RAPD. DNA yang akan digunakan sebelumnya dilakukan pengenceran terlebih dahulu, dengan tujuan untuk menghindari hablurnya pita DNA pada saat elektroforesis. Pengenceran dilakukan dengan mengambil DNA tersebut sebanyak 1 uL dan ditambahkan 99 uL H2O

yang telah diautoklaf (aquabidest). Namun besarnya perbandingan antara DNA dengan aquabidest tergantung dari tebal tipisnya DNA genomik hasil ekstraksi.

Proses amplifikasi DNA (RAPD), pada intinya adalah proses perbanyakan DNA secara enzimatis. Pada tahap ini terdapat tiga proses, yaitu (1) proses denaturasi DNA pada suhu 950 C, (2) proses penempelan DNA (annealing) dan (3) proses ekstensi. Pada suhu tinggi pita ganda tersebut berpisah menjadi dua utas tunggal. Apabila pita ganda DNA telah terpisah, maka pada tahap kedua terjadi penempelan primer pada kedua ujung DNA sebagai titik awal pembacaan dan perbanyakan basa-basa DNA. Selanjutnya dilakukan proses pemanjangan dan pembentukan utas DNA yang baru (ekstensi). Adapun bahan-bahan yang dicampurkan dalam satu microtube pada proses amplifikasi RAPD disajikan pada Tabel 3.

Tabel 3. Komposisi Bahan dalam Proses Amplifikasi RAPD

No Bahan Kimia 1 x Reaksi

1 H2O 2.0 uL

2 Enzim Taq DNA polymerase 7.5 uL

3 Primer oligonukleid 1.2 uL


(37)

Proses PCR dilakukan dengan menggunakan primer hasil seleksi. Hasil proses PCR kemudian dianalisis dengan melakukan elektroforesis yaitu menggunakan 2 % gel agarose dalam larutan buffer 1x TAE dan distaining di dalam Ethidium Bromide. Pengaturan suhu pada mesin PTC-100 untuk proses RAPD didasarkan pada penelitian Parthiban et al. (2001) dalam ITTO (2003) seperti yang disajikan dalam Tabel 4.

Tabel 4. Tahapan-tahapan suhu dalam proses RAPD

Tahapan Suhu Waktu Jumlah Siklus

Initial denaturation

95°C 15 menit 1

Denaturation 95°C 1 menit 45

Annealing 36°C 1 menit 45

Extension 72°C 2 menit 45

Final Extension 72°C 10 menit 1

Stand By 4°C infinity

Sumber : Parthiban et al. (2001) dalam (ITTO, 2003)

Analisis Data 1. Analisis Variasi Genetik

Hasil elektroforesis akan menunjukkan beberapa pita atau band. Sebelum melakukan analisis diperlukan data scoring dari pita yang muncul pada setiap lokus. Scoring dimulai dari lokus yang paling atas yaitu DNA yang memiliki berat molekul paling ringan. Pita yang muncul diberi nilai 1 (satu) dan pola pita yang tidak muncul diberi tanda 0 (nol) seperti disajikan dalam Gambar 9. Hasil scoring

kemudian dianalisis dengan menggunakan software POPGENE versi 3.2 dan NTSYS 2.02 (Rohlf , 1998).


(38)

Lokus Individu

1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 L-1

L-2 L-3

L-4

Lokus Individu

1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11

L-1 1 1 1 1 1 0 1 0 1 0 1

L-2 1 1 1 0 1 1 1 1 0 1 1

L-3 1 1 0 1 0 0 1 1 0 0 1

L-4 1 0 1 1 1 1 0 1 1 1 1

Gambar 9. Cara penilaian pita dengan sistem skoring (1 = ada pita, 0 = tidak ada pita)

Parameter genetik yang diukur dalam penelitian ini adalah variasi genetik di dalam populasi dan antar populasi. Untuk keragaman genetik di dalam populasi parameter yang diukur adalah :

1. Persentase Lokus Polimorfik (PLP) = ((N(LP)/((N(LP) +(N(LM))) x 100% Keterangan :

N(LP) : jumlah lokus polimorfik N(LM) : jumlah lokus monomorfik

2. Jumlah alel yang diamati (na) = jumlah semua lokus/jumlah lokus yang diamati 3. Jumlah alel yang efektif (ne) = 1 / Σ(jumlah frekuensi alel (p))2

4. Heterozigitas harapan (He) = 1- Σ(jumlah frekuensi alel (p))2

Sedangkan parameter yang diamati untuk keragaman genetik antar populasi digunakan cluster analysis untuk menduga ada tidaknya hubungan kekerabatan berdasarkan jarak genetik yang diperoleh.


(39)

2. Analisis Fragmen pada Kayu

Hasil analisis pada kayu nantinya dipakai untuk menduga berapa besar DNA yang ada serta tingkat degradasi DNA pada kayu tersebut. Contoh ilustrasi analisis fragmen DNA pada kayu jati disajikan pada Tabel 5.

Tabel 5. Fragmen dominan secara manual dan hasil tabulasi

Fragmen

Ukuran Basa

(bp) Kontrol (Daun) S1 S2 S3 S4

1 100 - -

2 300 x -

3 500 - x

4 1000 - x

5 1500 - x

6 2000 x x

7 2500 - x

Total 5400 1900 400

% Fragmen 100% 400 X 100 %

1900

Keterangan = S1-S4 : Sampel kayu no 1 sampai no 4 - : DNA yang muncul band atau pitanya X : DNA yang tidak muncul band atau pitanya


(40)

80x

10x 100x

20x

HASIL DAN PEMBAHASAN

Optimasi Ekstraksi DNA

Ekstraksi DNA dilakukan untuk mengisolasi DNA yaitu dengan cara fisik (penggerusan) dibantu oleh senyawa-senyawa kimia dengan metode tertentu sehingga didapat DNA murni. Hasil ekstraksi DNA ini dapat diketahui dengan melakukan pengujian kuantitas dan kualitas DNA. Uji kuantitas dan kualitas DNA dilakukan dengan proses elektroforesis dengan menggunakan gel agarose. Selain itu uji kualitas DNA dilakukan juga untuk dapat menentukan perbandingan pengenceran DNA untuk dapat dipakai sebagai salah satu bahan pada tahap selanjutnya, yaitu tahapan PCR.

Gambar 10. Hasil ekstraksi DNA daun

Pengenceran dilakukan untuk dapat memperoleh DNA yang lebih bersih dan murni. Setiap sampel DNA mempunyai perlakuan pengenceran yang berbeda-beda dan hal ini sangat tergantung dari kualitas DNA yang dihasilkan. Pengenceran dimaksudkan agar pada tahap PCR, primer dapat menempel pada pita DNA. Apabila DNA terlalu banyak kotoran, maka primer tidak dapat menempel sehingga tidak akan terjadi proses amplifikasi DNA.

Menurut Qiagen (2001), pita DNA yang tebal mengindikasikan bahwa hasil ekstraksi pada pita tersebut masih kotor. Hasil ekstraksi yang kotor ini masih mengandung larutan kloroform, kandungan fenol yang tinggi dan alkohol. Selain itu, hasil yang kotor tersebut masih mengandung kontaminasi protein,


(41)

polisakarida, dan RNA. Pita DNA yang tebal memerlukan perbandingan pengenceran yang lebih besar yaitu 100x (99 µL aquabidest : 1 µL DNA) dan hal ini mengindikasikan bahwa kualitas pita DNA tersebut kotor, sedangkan untuk pita yang paling tipis menggunakan perbandingan pengenceran 10x (9 µL

aquabidest : 1 µL DNA). Pengenceran yang lain mengikuti tebal tipisnya pita

seperti yang ditunjukkan pada Gambar 10.

Terdapat perbedaan metode ekstraksi antara sampel daun dan kayu. Pada sampel daun menggunakan metode Promega sedangkan pada sampel kayu menggunakan metode CTAB yang dimodifikasi. Berdasarkan data yang didapatkan di lapangan terdapat 4 sampel kayu dan daun yang berasal dari satu induk yang sama yaitu pohon dengan nomor 5719, 5722, 5710 dan 5721. Hasil yang didapatkan pada ekstraksi DNA dari kayu berbeda dengan ekstraksi pada daun, pita DNA yang dihasilkan pada kayu tipis bahkan ada beberapa pita yang sangat tipis. Meskipun sebelumnya belum pernah dilakukan penelitian tentang ekstraksi DNA pada kayu, namun sama halnya dengan ekstraksi pada sampel daun, pengenceran hasil ekstraksi pada kayu untuk kegiatan PCR tergantung pada tebal tipisnya pita DNA yang terbentuk. Sebagian besar pita DNA yang didapatkan hasilnya tipis sehingga perbandingan pengenceran yang dilakukan adalah 10x (9 µL aquabidest : 1 µL DNA).

Optimasi Seleksi Primer (Screening Primer)

Kegiatan seleksi primer dimaksudkan untuk mencari primer acak yang dapat menghasilkan amplifikasi, karena tidak semua primer nukleotida dapat menghasilkan produk amplifikasi (primer positif) dan dari primer positif tidak semuanya menghasilkan fragmen DNA polimorfik. Dalam penelitian ini, seleksi primer dilakukan terhadap primer produksi Operon Technology. Untuk menyeleksi primer yang akan digunakan, 30 primer diujicobakan untuk mengamplifikasi DNA gabungan hasil ekstraksi semua individu. Hasil percobaan amplifikasi seleksi primer menunjukkan bahwa 25 primer (angka berwarna merah) yang mampu menghasilkan produk amplifikasi akan tetapi kualitasnya beragam antara bagus dan kurang bagus dan 5 (angka berwarna hitam) primer


(42)

tidak menghasilkan produk amplifikasi. Untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada Gambar 11 dan Gambar 12.

M O1 O2 O4 O5 O6 O7 O8 O9 O10 O11 O12 O13 O14 O15 O16

Gambar 11. Hasil Seleksi Primer no 1-15

M O19 O20 Y2 Y3 Y6 Y8 Y9 Y11 Y12 Y13 Y14 Y15 Y16 Y17

Gambar 12. Hasil Seleksi Primer no 16-30

(Keterangan: M=marker ; O1-O20=Primer OPO1-OPO20 ; Y2-Y17=Primer OPY2-OPY17)

Hasil seleksi primer untuk sampel daun menunjukkan bahwa terdapat 3 (angka berwarna biru) primer yang mampu menghasilkan produk amplifikasi yang konsisten beserta polimorfismenya, yaitu primer OPO-13, OPY-02, dan OPY-09,


(43)

sedangkan untuk sampel kayu menggunakan 1 primer, yaitu primer OPY-11. Selanjutnya primer-primer ini digunakan untuk menduga analisis keragaman di dalam dan antar populasi sampel. Kualitas pita primer dalam seleksi 30 primer disajikan pada Tabel 6.

Tabel 6. Kualitas pita primer dalam seleksi primer

No. Primer Kualitas

pita No. Primer

Kualitas pita

1 OPO-1 * 16 OPO-18 **

2 OPO-2 ** 17 OPO-19 **

3 OPO-4 - 18 OPO-20 *

4 OPO-5 - 19 OPY-2 *

5 OPO-6 * 20 OPY-3 **

6 OPO-7 - 21 OPY-6 *

7 OPO-8 - 22 OPY-8 **

8 OPO-9 * 23 OPY-9 **

9 OPO-10 ** 24 OPY-11 **

10 OPO-11 * 25 OPY-12 **

11 OPO-12 ** 26 OPY-13 *

12 OPO-13 ** 27 OPY-14 *

13 OPO-14 ** 28 OPY-15 *

14 OPO-15 ** 29 OPY-16 *

15 OPO-16 * 30 OPY-17 **

Keterangan: - = tidak terdapat pita (tidak teramplifikasi)

* = terdapat pita namun teramplifikasi kurang jelas (kurang baik) ** = terdapat pita dan teramplifikasi jelas (baik)

Optimasi PCR (Polymerase Chain Reaction)

PCR merupakan suatu proses menggandakan atau mengamplifikasi DNA yang diisolasi pada sebuah tabung reaksi kecil dengan melalui replikasi berulang. PCR yang digunakan adalah melalui teknik RAPD baik pada jenis sampel daun maupun kayu. Dalam proses RAPD, primer yang dipakai adalah primer tunggal dan pendek (biasanya terdiri dari 10-20 basa nukleotida) yang akan menempel secara acak pada DNA.

1. Optimasi PCR pada Sampel Daun

Kegiatan PCR pada sampel daun menggunakan primer yang telah diseleksi dari 30 primer dan didapatkan primer-primer sebagai berikut yaitu OPO-13,


(44)

OPY-02 dan OPY-09. Primer-primer ini diaplikasikan pada sampel-sampel dari masing-masing lokasi. Jumlah fragmen DNA hasil amplifikasi 3 primer (OPO-13, OPY-02 dan OPY-09) berkisar antara 1 - 20 pita. Urutan basa dari masing-masing primer menurut Operon Technology adalah sebagai berikut :

OPO-13 : 5' GTCAGAGTCC '3

OPY-02 : 5' CATCGCCGCA '3

OPY-09 : 5' GTGACCGAGT '3

Dari hasil PCR yang dilakukan, pola pita yang dihasilkan adalah polimorfik, baik di dalam sampel maupun antar sampel. Adapun proses scoring

dilakukan dengan melihat pola pita hasil PCR, yang kemudian dianalisis dengan menggunakan program POPGENE 32 dan NTSYS untuk melihat adanya variasi genetik dan hubungan kekerabatan.

Dalam penelitian ini, masing primer diujicobakan pada masing-masing populasi (KPH). Masing-masing-masing lokasi terdiri atas 5 sampel untuk daun dan 4 sampel pada kayu yang berasal dari KPH Indramayu dimana terdiri dari 4 pohon induk yang masing-masing dianalisis menjadi 3 bagian sampel. Berdasarkan scoring, jumlah lokus terbanyak adalah pada primer OPO-13 yaitu 20 lokus, pada primer OPY-02 yaitu 23 lokus, dan primer OPY-09 yaitu 24 lokus. Untuk primer OPO-13, ukuran fragmen berkisar antara 100 bp-2500 bp. Untuk primer OPY-02, ukuran fragmen berkisar antara 300 bp-2500 bp. Sedangkan untuk primer OPY-09, ukuran fragmen berkisar antara 200 bp-2500 bp. Untuk lebih jelasnya gambar hasil PCR ketiga primer disajikan pada Gambar 13, Gambar 14 dan Gambar 15.

Dari penampilan gambar di bawah ada beberapa pita DNA yang kurang jelas, sehingga menimbulkan keraguan dalam menginterpretasikan dan menganalisis pita. Banyak faktor yang mungkin menyebabkan hal tersebut, diantaranya adalah kurang murninya DNA genom yang dihasilkan, proses pengenceran dan komposisi bahan-bahan yang kurang tepat. Menurut Qiagen (2001) pada dasarnya, DNA genom yang kurang murni dan pengenceran yang kurang tepat akan menyebabkan tidak menempelnya primer pada DNA yang diinginkan. Selain itu, adanya bahan-bahan kimia yang belum tercuci sempurna


(45)

2642 bp

100 bp 500 bp 1000 bp

1000 bp 2642 bp

2642 bp

1000 bp

500 bp

100 bp 100 bp 500 bp

pada saat ekstraksi (pencucian) dapat menghambat primer untuk menempel pada DNA yang diinginkan pada tahap PCR (annealing).

M 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15

Gambar 13. Hasil PCR Primer OPO-13 Lokasi Jawa Barat

M 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29 30

Gambar 14. Hasil PCR Primer OPY- 2 Lokasi Jawa Tengah

M 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15

Gambar 15. Hasil PCR Primer OPY- 9 Lokasi Jawa Barat

Keterangan: M=marker; 1-5=Jati Banten; 6-10=Jati Indramayu; 11-15=Jati Ciamis; 11- 15=Jati Kendal; 16-20=Jati Cepu; 21-25=Jati Randublatung


(46)

Proses PCR yang dilakukan dalam penelitian, baik pada daun maupun kayu adalah menggunakan produk dari Qiagen yaitu HotStar Taq Master Mix Kit.

HotStar Taq Master Mix Kit merupakan bahan yang paling penting untuk

berlangsungnya proses amplifikasi DNA. Bahan HotStar Taq Master Mix Kit

mengandung senyawa-senyawa kimia yang dibutuhkan pada proses PCR. HotStar

Taq Master Mix Kit terdiri dari komponen Taq DNA polymerase, buffer PCR,

campuran dNTP, MgCl2 dan air destilasi. Buffer PCR mengandung KCl dan

(NH4)2SO4. Menurut Brown (1991) konsentrasi ion Mg2+ sangat berpengaruh

pada proses PCR. Ion logam dan garam yang diperlukan untuk PCR adalah MgCl2, NaCl atau KCl. Ion Mg2+ akan mempengaruhi aktivitas enzim Taq DNA polymerase karena ion Mg2+ berfungsi sebagai kofaktor.

Menurut Brown (1991) konsentrasi yang tidak tepat dari MgCl2, NaCl atau

KCl akan menyebabkan penurunan aktivitas enzim dan juga akan mengakibatkan perubahan spesifikasi enzim, sehingga pemotongan DNA terjadi pada urutan pengenal tambahan yang tidak baku. Selain itu konsentrasi Magnesium yang optimum merupakan hal yang penting, karena Magnesium akan mempengaruhi penguatan primer, suhu penguraian pada utas cetakan dan PCR.

Selain itu, dari hasil amplifikasi DNA dengan menggunakan primer OPY-09 didapatkan pola pita yang khas antara DNA daun jati dari KPH yang berasal dari provinsi Jawa Barat-Banten, Jawa Tengan dan Jawa Timur. Pada gambar 16 di bawah, dapat dilihat bahwa pada KPH di provinsi Jawa Barat-Banten semua individu jati memiliki lokus dengan pita yang tebal dengan berukuran 750 bp. Sedangkan di Jawa Tengah sebagian besar individu jati tidak memiliki pita atau lokus DNA pada ukuran tersebut dan pada individu jati di Jawa Timur ada beberapa individu yang tidak memiliki pita atau lokus DNA pada ukuran 750 bp.


(47)

750 bp

750 bp

750 bp

M 1 2 3 4 5 6 7 8 9 0 11 12 13 14 15

(a)

M 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29 30

(b)

M 31 32 33 34 35 36 37 38 39 40 41 42 43 44 45

(c)

Gambar 16. Hasil RAPD menggunakan primer OPY-09 pada populasi Jawa Barat (a), Jawa Tengah (b) dan Jawa Timur (c)

Keterangan: M=marker; 1-5=Jati Banten; 6-10=Jati Indramayu; 11-15=Jati Ciamis; 16-20=Jati Kendal; 21-25=Jati Cepu; 26-30=Jati Randublatung; 31-35=Jati Kebonharjo; 36-40=Jati Bojonegoro; 41-45=Jati Ngawi


(48)

2. Optimasi PCR pada Sampel Kayu

Kegiatan PCR pada sampel kayu menggunakan primer yang telah diseleksi dari 30 primer dan primer yang digunakan untuk kegiatan amplifikasi DNA pada kayu adalah primer OPY-11. Jumlah fragmen DNA hasil amplifikasi dengan primer OPY-11 berkisar antara 1 - 10 pita. Urutan basa nukleotida pada primer tersebut menurut Operon Technology adalah 5'AGACGATGGG'3. Sampel yang diambil dan digunakan untuk amplifikasi DNA dari kayu adalah sampel yang berasal dari KPH Indramayu. Sampel daun dan kayu jati yang berasal dari KPH Indramayu diambil dari satu induk yang sama. Pada saat dilakukan proses PCR dari kayu, sampel daun dan kontrol negatif juga ikut disertakan dalam kegiatan amplifikasi (PCR) yang berfungsi sebagai kontrol dan pembanding. Kontrol negatif hanya berisi H2O sehingga tidak menghasilkan pita. Hasil akhir PCR pada

kayu dihitung jumlah fragmen-fragmennya. Hasil PCR dari kayu jati dapat dilihat pada Gambar 17 dan untuk perhitungan jumlah fragmen disajikan dalam Tabel 7

M 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20

Gambar 17. Hasil PCR pada kayu

Keterangan: M=marker; 1-3= sampel kayu dengan no pohon 5719 ; 4= sampel daun dengan no pohon 5719; 5=kontrol negatif 6-8= sampel kayu dengan no pohon 5722 ; 9= sampel daun dengan no pohon 5722 ; 10=kontrol negatif ; 11-13= sampel kayu dengan no pohon 5710 ; 14= sampel daun dengan no pohon 5710 ; 15=kontrol negatif ; 16-18 sampel kayu dengan no pohon 5721 ; 19= sampel daun dengan no pohon 5721 ; 20=kontrol negatif


(49)

Tabel 7 . Fragmen dominan secara manual dan hasil tabulasi

Fragmen

Ukuran

Basa (bp) Kontrol (Daun) S1 S2 S3 S4 S1 S2 S3 S4

1 100 - - - x - - - -

2 300 - - - x - - x -

3 500 - - - - x x x -

4 1000 - - - - x x x x

5 1500 - - - - x x x x

6 2000 - x - - x x x x

7 2500 x x - x x x x

Total 7900 5400 3400 7900 5000 400 400 100 900

% Fragmen

100 68,35 43,04 100 63,29 5,06 5,06 1,26 11,39

Keterangan = S1-S4 : Sampel no 1 hingga 4 - : DNA yang muncul pitanya X : DNA yang tidak muncul pitanya

Dari hasil foto DNA dan tabel mengenai besarnya fragmen yang terbentuk di atas terlihat bahwa besarnya fragmen yang terbentuk pada kayu dan daun berbeda. Pada daun, ukuran fragmen yang terbentuk berkisar dari ukuran basa yang terkecil (100 bp) hingga ukuran basa yang paling besar (2500 bp) sedangkan pada kayu ukuran fragmen yang terbentuk hanya berkisar pada ukuran basa yang kecil (100 bp – 500 bp).

Variasi DNA dalam Populasi Pada Sampel Daun

Data variasi genetik di dalam populasi ditunjukkan oleh nilai parameter variabilitas genetik seperti disajikan pada Tabel 8. Parameter variabilitas genetik yang diukur adalah jumlah alel yang diamati (na), jumlah alel yang efektif (ne), jumlah lokus polimorfik, persen lokus polimorfik (PLP) dan heterozigitas harapan (He).

Berdasarkan pada tabel 8 di bawah, populasi Jati KPH Indramayu menunjukkan nilai-nilai variabilitas genetik yang tertinggi, yaitu: PPL=59,70%; na=1,5970; ne=1,5277; h=0,2753, sedangkan populasi Jati KPH Ngawi menunjukkan nilai-nilai variabilitas genetik yang terendah yaitu: PPL=19,40%; na=1,1940; ne=1,0979; h=0,0614. Nilai variabilitas genetik yang dimiliki oleh populasi lainnya berada pada kisaran kedua populasi tersebut.


(50)

Tabel 8. Variabilitas genetik dalam populasi jati di Jawa

No Populasi N PPL na ne h

1 KPH Banten 5 38,81 1,3881 1,3143 0,1711

2 KPH Indramayu 5 59,70 1,5970 1,5277 0,2753

3 KPH Ciamis 5 32,84 1,3284 1,2933 0,1540

4 KPH Kendal 5 40,30 1,4030 1,2883 0,1586

5 KPH Cepu 5 38,81 1,3881 1,2902 0,1565

6 KPH Randublatung 5 22,39 1,2239 1,1671 0,0920

7 KPH Kebonharjo 5 34,33 1,3433 1,2334 0,1308

8 KPH Bojonegoro 5 35,82 1,3582 1,2285 0,1302

9 KPH Ngawi 5 19,40 1,1940 1,0979 0,0614

Keterangan:

PPL= Percentage of Polymorphic Loci na = Observed number of alleles

ne = Effective number of alleles [Kimura and Crow (1964) dalam Yunanto (2006)] h = Nei's (1973) gene diversity dalam Yunanto (2006)

Nilai variabilitas genetik tersebut dapat dibandingkan dengan penelitian-penelitian sebelumnya yang menggunakan sampel berbasis individu, dimana hasil yang diperoleh belum tentu dapat dijadikan acuan bahwa jati di lokasi tertentu dengan sampel berbasis individu menghasilkan variasi genetik yang tinggi. Pendugaan keragaman genetik jati yang telah dilakukan oleh Widyatmoko (1996) menghasilkan nilai h sebesar 0,199 (berdasarkan 7 lokus polimorfik isozim). Apabila dibandingkan dengan nilai h pada tumbuhan berkayu di hutan tropis sebesar 0,191, maka jati termasuk jenis yang memiliki keragaman genetik sedang (Hamrick et al., 1992 dalam Finkeldey, 1998). Namun Kertadikara dan Prat (1995) melakukan penelitian terhadap berbagai provenans Jati (Indonesia, India, Thailand dan Afrika) dan menghasilkan keragaman genetik yang cukup tinggi sebesar 0,347.

Pengelolan hutan dilakukan untuk jangka waktu yang panjang. Menurut Namkoong et al. (1996) dalam Finkeldey (2005) salah satu indikator genetik dalam praktek manajemen hutan yang lestari adalah besarnya keragaman genetik. Keragaman genetik yang besar sangat mempengaruhi kemampuan suatu jenis untuk beradaptasi. Individu atau populasi dengan keragaman genetik yang sempit akan rentan terhadap kondisi lingkungan yang heterogen. Salah satu akibat yang disebabkan oleh sempitnya variasi genetik adalah mudah terserang oleh hama dan penyakit. Pada dasarnya kemampuan suatu jenis pohon hutan untuk beradaptasi


(51)

pada berbagai kondisi lingkungan sangat tergantung pada keragaman genetik dan multiplisitas individual pohon dalam populasi (Gregorius, 1989 dalam Hosius et al., 2000). Keragaman genetik suatu jenis dapat diduga melalui nilai heterozigositas harapan pada keseimbangan hokum HARDY-WEINBERG (He) hasil survei genetik pada lokus-lokus yang polimorfik.

Keragaman DNA (RAPD) antar Populasi Pada Sampel Daun

Berdasarkan analisis gerombol dan nilai jarak genetik yang telah dihitung berdasarkan software POPGENE versi 3.2 dengan menggunakan metode pemasangan kelompok aritmatika tidak berbobot (Unweighted Pair-Grouping

Method with Aritmatic Averaging, UPGMA) dengan menggunakan software

NTSYS versi 2.02 dihasilkan dendrogram jarak genetik antar populasi seperti terlihat pada Gambar 18.

Gambar 18. Pengelompokkan populasi jati berdasarkan analisis RAPD

(Keterangan: B=Banten; I=Indramayu; C=Ciamis; K=Kendal; Ce=Cepu; R=Randu-blatung; Kb=Kebonharjo; Bo=Bojonegoro; N=Ngawi)

Dendogram digunakan untuk mengetahui pola pengelempokkan populasi berdasarkan DNA yang dimiliki (memiliki hubungan kekerabatan) seperti yang disajikan dendogram pada gambar 18 di atas. Hasil dendrogram tersebut

Jabar-Banten

Jateng

Jatim


(52)

menunjukkan pengelompokkan yang sangat jelas menurut wilayah (provinsi) populasi tersebut berada. Hasil pengelompokkan memperlihatkan ada tiga gerombol, dimana Jati asal Jawa Barat-Banten tetap membentuk gerombol yang sama, sedangkan Jati Jawa Tengah dan Jawa Timur bersama-sama membentuk satu gerombol. Khusus di Jawa Tengah, Jati KPH Kendal, Cepu dan Randublatung memiliki keragaman genetik yang tidak jauh berbeda, sedangkan Jati KPH Ngawi, lebih mirip struktur genetiknya dengan Jawa Tengah. Jati KPH Kebonharjo dan Bojonegoro memiliki struktur genetik yang berdekatan dan terpisah dari gerombol Jati jawa Tengah lainnya.

Informasi sumber daya genetik khususnya mengenai pengelompokan populasi Jati secara genetik tersebut penting sebagai bahan pertimbangan dilakukannya upaya pemuliaan dimasa mendatang sehingga nantinya kegiatan pemuliaan dapat mapan dan berpengaruh terhadap produktivitas jati Jawa. Faktor aliran gen akan berpengaruh terhadap struktur dan variasi genetik populasi. Pola variasi genetik suatu jenis ditentukan oleh sistem perkawinan yang terjadi dan akan mempengaruhi struktur genetik dan dinamika populasi dalam jenis tersebut. Dengan mengetahui proses-proses perkawinan yang terjadi pada suatu jenis akan bermanfaat bagi efektifitas konservasi sumberdaya genetik dan optimalisasi upaya pemuliaan genetik jenis yang bersangkutan.

Sistem perkawinan pada Jati telah lebih dahulu dipelajari oleh Hedegart (1976) dan Kertadikara dan Prat (1995). Kedua penelitian tersebut melaporkan bahwa Jati merupakan jenis yang menyerbuk silang (allogami) dan ditemukan tingkat selfing yang sangat rendah (sekitar 2 %). Analisis yang dilakukan pada populasi keturunan di KBK juga menunjukkan hal yang sama dengan rata-rata tingkat selfing sekitar 3 %. Berdasarkan hasil tersebut maka alasan utama terjadinya defisit heterozigositas pada populasi keturunan bukan disebabkan oleh derajat selfing, karena defisit heterozigositas dapat terjadi bila derajat selfing

tinggi. Sebagai jenis yang menyerbuk silang, transfer polen pada Jati memerlukan agen penyerbuk yang menurut Hedegart (1973) dibantu oleh serangga berupa lebah dan kupu-kupu. Sehingga penjelasan yang paling mungkin untuk menerangkan fenomena defisit heterozigositas di KBK Jati Padangan adalah adanya keterbatasan gerak polinator yang berasosiasi dengan variasi iklim mikro,


(53)

seperti pengamatan yang dilakukan oleh Mathew et al. (1987). Hal ini cenderung akan meningkatkan perkawinan antar individu-individu pohon bertetangga dekat yang kemungkinan besar berkerabat. Perkawinan antar kerabat ini akhirnya akan menyumbang terjadinya defisit heterozigositas (Kertadikara dan Prat, 1996). Persilangan antar individu yang berkerabat pada tanaman yang penyerbukannya dibantu serangga cenderung tinggi, seperti dilaporkan Loveless dan Hamrick (1984) dalam Shapcott (1994).

Analisis Fragmen Kayu

Analisis fragmen kayu dilakukan untuk mengetahui seberapa besar jumlah DNA, khususnya pada jaringan kayu yang terdegradasi. Selanjutnya dapat digunakan sebagai pembanding antara jumlah DNA yang ada pada jaringan daun dan kayu.

Dari hasil penelitian terlihat bahwa ternyata letak DNA pada kayu dan daun berbeda. Pada daun, DNA yang ada hampir tersebar di seluruh sel sedangkan pada sebagian besar kayu, DNA hanya terletak pada bagian sel-sel tertentu saja hal ini disebabkan sampel kayu dan daun yang diambil adalah pohon-pohon yang sudah memasuki kelas umur tua dan sedang dilakukan penebangan. Sebagian besar lokus terbanyak terletak pada jaringan kayu yang paling luar, pada bagian ini jaringan yang terbentuk masih baru (muda) sehingga dapat dipastikan bahwa pada jaringan kayu yang masih muda bisa digunakan untuk menganalisis DNA.


(54)

SIMPULAN DAN SARAN

Simpulan

Dari penelitian mengenai variasi genetik jati di jawa, dapat diambil beberapa simpulan. Adapun simpulan yang dapat disimpulkan dari penelitian ini adalah sebagai berikut :

1. Ditemukan pola pita yang khas dari penggunaan primer OPY-09, di mana dari semua sampel daun dari KPH di provinsi Jawa Barat-Banten semua individu jati memiliki lokus dengan pita yang tebal berukuran 750 bp, sedangkan sampel daun dari KPH di Jawa Tengah dan Jawa Timur ada beberapa individu yang tidak memiliki pita atau lokus DNA pada ukuran 750 bp.

2. Adanya perbedaan besarnya fragmen DNA yang terbentuk antara kayu dan daun. Pada daun, ukuran fragmen yang terbentuk berkisar dari ukuran basa 100 bp hingga 2500 bp, sedangkan pada kayu ukuran fragmen yang terbentuk hanya berkisar pada ukuran basa yang kecil (100 bp – 500 bp).

3. Populasi Jati KPH Indramayu menunjukkan nilai-nilai variabilitas genetik yang tertinggi, yaitu: PPL=59,70%; na=1,5970; ne=1,5277; h=0,2753, sedangkan populasi Jati KPH Ngawi menunjukkan nilai-nilai variabilitas genetik yang terendah yaitu: PPL=19,40%; na=1,1940; ne=1,0979; h=0,0614. Nilai variabilitas genetik yang dimiliki oleh populasi lainnya berada pada kisaran kedua populasi tersebut.

4. Secara umum Jati Jawa Barat-Banten memiliki variasi genetik yang lebih tinggi (h=0,15-0,27) dibanding dengan Jati Jawa Tengah dan Jawa Timur (h=0,06-0,16). Diduga populasi Jati Jawa Barat-Banten dibangun dari sumber benih yang berbeda dengan Jati Jawa Tengah dan Jawa Timur serta mengalami proses evolusi yang lebih dinamis.

5. Dari hasil pengelompokkan memperlihatkan ada dua kelompok utama yaitu Jati asal Jawa Barat-Banten yang memisah membentuk satu gerombol yang sama dan Jati Jawa Tengah dan Jawa Timur yang bersama-sama membentuk satu kelompok lain). Khusus di Jawa Tengah, Jati KPH Kendal, Cepu dan Randublatung membentuk satu gerombol, sedangkan Jati KPH Kebonharjo dan Bojonegoro membentuk satu gerombol yang sama.


(1)

6. Metode Cetyl Trimetyl Ammonium Bromide (CTAB) dengan modifikasi dapat digunakan dan diterapkan untuk mengisolasi DNA dari kayu jati, yang selanjutnya dapat dipakai untuk kepentingan lacakbalak.

Saran

Teknik RAPD masih belum spesifik untuk dipakai dalam membedakan masing-masing populasi jati. Oleh karena itu diperlukan eksplorasi penanda genetik yang lain dan fingerprint DNA pada kayu untuk kepentingan komersial dan dapat memenuhi target dalam analisis jati sehingga dapat digunakan dalam kepentingan sertifikasi dan kegiatan lacak balak.


(2)

DAFTAR PUSTAKA

Barkeley. 2007. PCR-RAPD. http : // www.ucmp.berkeley.edu. [ 5 Januari 2007] Bhat KM. and O. Ma. 2004. Teak growers unite. Tropical Forest Update (14-1):

3-5

Brown, T. A. 1991. Pengantar Kloning Gena. Prof. Soemiati Ahmad Muhammad dan Praseno, penerjemah. Yogyakarta: Yayasan Essentia Medica. Terjemahan dari : Gene Cloning an Introduction.

Csaikl UM., Bastian, H., Brettschneider, R., Gauch, S., Meir, A., Schauerte, M., Scholz, F., Sperisen, C., Vornam, B., and Ziegenhagen, B. (1998). Comparative analysis of different DNA extraction protocols: a fast, universal maxi-preparation of high quality plant DNA for genetic evaluation and phylogenetic studies. Plant Molecular Biology Reporter 16: 69-86.

Crowder LV. 1997. Genetika Tumbuhan. Kusdiarti L, Soetarso, penerjemah; Soetarso, editor. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press. Terjemahan dari: Plants Genetics.

Deguilloux, M.-F., M.-H. Pemonge and R. J. Petit (2002). Novel perspectives in wood certification and forensics: dry wood as a source of DNA. The Royal Society 269: 1039-1046.

Departemen Kehutanan. 2002. Informasi Singkat Benih.

http://www.dephut.go.id/INFORMASI/RRL/IFSP/Tectona_grandis.pdf

[Kamis, 2 Februari 2006]

Dewi SP. 2003. Pendugaan keragaman genetik serta sistem perkawinan (mating system) di kebun benih klon jati (Tectona grandis Linn.f.) [Tesis]. Bogor: Program Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor.

Falconer DS. 1999. Introduction to Quantitative Genetics Third Edition. New York: John Wiley & Sons, Inc.

Finkeldey R. 2005. Pengantar Genetika Hutan Tropis. E.Jamhuri, I.Z. Siregar, U.J. Siregar dan A.W.Kertadikara, penerjemah. Gottingen : Institute of Forest Genetics and Forest Tree Breeding Georg-August-University Gottingen. Terjemahan dari : An Introduction to Tropical Forest Genetics. Futuyma DJ.1998. Evolutionary Biology. Third Edition. Sinauer Asociates Inc.


(3)

Gresshoff P. M. 1997. DNA Markers: Protocols, Applications, and Overviews. New York: Wiley-Liss.

Hamrick J L., and M. J. W. Godt (1996). Effects of life history traits on genetic diversity in plant species. Phil. Trans. Royal Soc. London, Ser. B. 351: 1291-1298.

Hartana A. 1992. Genetika Tumbuhan. Bogor: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi Pusat Antar Universitas Ilmu Hayat IPB.

Hedegart T .1973. Pollination of Teak. Sivae Genetica 4 : 124-128

Hedrick PW. 1983. Genetic of Population. Science book international van Nostard Reinhold Company

Hosius B, Bergman F, Konnert M, Henkel W. 2000. A concept for seed orchard based on isoenzim gene marker. Elsever : Forest Ecology and Management

ITTO. 2003. Quality timber product of TEAK from sustainable forest management. India : Kerala Forest Research Institute

Jusuf M. 1991. Genetika. Pusat Antar Universitas. Bogor: Institut Pertanian Bogor

Kertadikara AWS. 1996. Struktur genetik dan sistem perkawinan pada beberapa populasi jati (Tectona grandis L.f.). Di dalam: Prosiding Seminar Nasional Penerapan Prinsip-prinsip Pemuliaan Pohon dalam Pengelolaan Hutan Tanaman Industri; Yogyakarta, 27 Maret 1996. hlm 191-203. Lengkana F. 2007. Keragaman Jati Muna dan Jati Jawa (Tectona grandis Linn.

f.) Berdasarkan Penanda Genetik PCR-RFLP danRAPD. [Skripsi]. Bogor: Departemen Silvikultur, Fakultas Kehutanan, Institut Pertanian Bogor

Linhart YB, Mitton JB, Sturgeon KB, Davis ML. 1981. Genetic variation in space and time a population of ponderosa pine. Heredity 46:407-426.

Mahfudz, Fauzi MA, Yuliah, Herawan T, Prastyono, Supriyanto H. 2004. Sekilas Tentang Jati (Tectona grandis). Yogyakarta: Pusat Penelitian dan Pengembangan Bioteknologi dan Pemuliaan Tanaman Hutan.

Mandang YI, IKN Pandit. 2002. Pedoman Identifikasi Jenis Kayu di Lapangan. Bogor : Yayasan Prosea


(4)

Munarti. 2005. Analisis Keragaman Genetik Jati Asal Sulawesi Selatan Berdasarkan Marker Simple Sequence Repeat [Tesis]. Bogor. Institut Pertanian Bogor. Program Pasca Sarjana

Murthy K. 1992. One Century of Sustainable Forest Management: Managing Teak Forest to Anticipate The Coming Problems of Biodiversity and Global Warming with Special References to India and South East Asia. [Prosiding]. Yogyakarta: Perum Perhutani dan Fakultas Kehutanan Universitas Gajah Mada.

Na’iem M. 200. Pentingnya Penggunaan Benih Unggul Dalam Pembuatan Tanaman Jati dan Standarisasi Mutu Bibit Secara Nasional. Yogyakarta. Kumpulan Makalah Diskusi Penyediaan Bibit Unggul Jati. P3BPTH.

Palupi E. R. 2006. Genetic, Biotic, and Physiological Factors in Seed Production of Teak (Tectona grandis L.f.): A case study in clonal seed orchard in East Java. [Disertasi]. Bogor: Institut Pertanian Bogor.

Palupi ER, Owens JN. 1997. Pollinations, fertilizations and embriogenesis of teak (Tectona grandis L.f). Int J. Plant Sci 158 (3): 259-273

Pasaribu H. 2002. Sambutan Kepala Badan Litbang Kehutanan. Disampaikan pada Acara Diskusi Penyediaan Bibit Unggul Jati di P3BPTH. Yogyakarta.

Promega 2005. Technical Manual. Wizard Genomic DNA Purification Kit. USA: Promega Corporation

Qiagen. 2001. HotStarTaq PCR Handbook. Germany: Qiagen

Rahmawati H, Irianto D, Hansen CP. 2002. Informasi Singkat Benih Jati. Bandung. Direktorat Perbenihan Tanaman Hutan.

Resmisari R. S. 2006. Variasi DNA Kloroplas Shorea leprosula di Indonesia dengan Penanda PCR-RFLP. [Tesis]. Bogor: Program Pasca Sarjana, Institut Pertanian Bogor.

Rifa’I LS. 2000. Pengaruh Konsentrasi Hormon IBA dan Umur Tegakan Perakaran Stek Pucuk Jati (Tectona grandis, L.f). [Skripsi]. Yogyakarta: Fakultas Kehutanan, Universitas Gadjah Mada.


(5)

Soerianegara I., Djamhuri E. 1979. Pemuliaan Pohon Hutan. Bogor: Departemen Manajemen Hutan, Fakultas Kehutanan IPB

Sadharjo. 2002. Upaya Penyediaan Bibit Jati Yang Semakin Bermutu di Indonesia. Kumpulan Makalah Diskusi Penyediaan Bibit Unggul Jati. P3BPTH. Yogyakarta.

Sastrosumarto S dan Hendi suhaendi. 1995. Tinjauan Mengenai Program Pemuliaan Jati (Tectona grandis L.f) di Indonesia. Pusat Penelitian dan Pengembangan Hutan. Bogor.

Septimayani I. 2002. Studi Keragaman Genetik 16 Aksesi Blewah (Cucumis melo L) dengan Metode Random Amplified Polymorphic DNA (RAPD). [Skripsi]. Bogor: Departemen Budi Daya Pertanian, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor.

Sjostrom E. 1995. Kimia Kayu, Dasar- Dasar dan Penggunaan. Edisi 2. Sastrohamidjojo H, penerjemah; Prawirohatmodjo S, editor. Yogyakarta: Gadjah MDA University Press. Terjemahan dari : Wood Chemistry, Fundamentals and Aplication Second Edition

Siswamartana S. dan A. Wibowo. 2003. Identifikasi Identitas Genetik Klon Jati dengan Marker SCAR. Resume Hasil-Hasil Penelitian Perum Perhutani 1998-2003. Pusbang SDH Perum Perhutani. Cepu

Siregar IZ. 2000. Genetic Aspects of the Reproductive System of Pinus merkusii Jugh et de Vriese in Indonesia. Gottingen: Cuvillier Verlag. 147 hlm.

Siregar,M.2005. Potensi Budidaya Jati. http://library.usu.ac.id/download/fp/hutan-edi%20batara10.pdf. [11 Oktober 2006].

Sulistyono E. 2003. Uji Identitas Klon dan Variasi Genetik Jati di Kebun Benih Klon (KBK) Padangan dan Kebun Pangkas Pusbang SDH perum Perhutani, Cepu. [Skripsi]. Bogor: Departemen Manajemen Hutan, Fakultas Kehutanan, Institut Pertanian Bogor.

Sumarna Y. 2003. Budi Daya Jati. Cimanggis Depok: Penerbit Swadaya.

Widianto AN, A. Pancoro, D. Sasmitamihardja, M.R. Moeis, A. Pingkan. 2000. Laporan Akhir Penelitian. Bioteknologi Tanaman Hutan: Analisis Keragaman Genetik dan Rekayasa Genetik Pohon Jati. Lembaga Penelitian IPB. Bandung.

Widyatmoko AYPBC. 1996. Identifikasi klon jati berdasarkan marker isozyme. Ekspose Hasil-hasil Penelitian dan Pengembangan Pemuliaan Benih Tanaman Hutan; Yogyakarta, 28 Maret 1996. Yogyakarta. hlm 241-257.


(6)

Yeh FC. Rongcai, Y and Boyle, T. 1997. POPGENE version 1.2 : Microsoft window-based software for population genetic analysis. A Quick User’s Guide. A Joint Project Development of University of Alberta and CIFOR. Yunanto T. 2006. Implikasi Genetik Sistem Silvikultur Tebang Pilih Tanam Jalur (TPTJ) pada Jenis Shorea johorensis berdasarkan Metode RAPD (Random Amplified Polymorphic DNA). [Skripsi]. Bogor: Departemen Silvikultur, Fakultas Kehutanan, Institut Pertanian Bogor

Yulianti. 1995. Evaluasi uji keturunan saudara tiri (Half sib) tanaman jati di Kendal, Cepu dan Saradan [Tesis]. Bogor : Program Pasca Sarjana, Institut Pertanian Bogor

Yuniarti .2005. Genetic Variation Analyses On Several Population Of Smooth Cayenne Pineapple (Ananas comosus) By RAPD. [Skripsi]. Bogor : Fakultas Pertanian , Institut Pertanian Bogor.