Sistem Pewarisan Bahasa Bali di Provinsi Lampung.

Prosiding
Seminar Nasional Bahasa Ibu VII.
ISBN ; 978-602-7776-89-0.

SISTEM PEWARISAN BAHASA BALI DI PROVINSI LAMPUNG
Ni Luh Nyoman Seri Malini
Luh Ketut Mas Indrawati
Universitas Udayana
seri.malini@fs.unud.ac.id

Abstract
This paper aims at discussing to real condition of Balinese (trans-) migrant in Lampung Province
related to their efforts to develop Balinese language in Lampung Province. The research were
conducted in Middle Lampung Regency with participation observation method. The results
showed that the inheritance system of Balinese Languange by Balinese (trans-) migrants in
Lampung region occurred informally and non-formal.
Key words : Balinese, Language, transmigrant, Lampung.

PENDAHULUAN
Bahasa adalah cara pandang dan pola pikir masyarakat pemakainya. Melenyapkan satu
bahasa identik dengan melenyapkan pola pikir manusia. Oleh karena itu, Koentjaraningrat (1985)

memasukkan bahasa sebagai salah satu aspek utama kebudayaan. Kita bisa mempelajari
pengetahuan tentang cara mengelola lingkungan, cara bertahan hidup, pengobatan, perbintangan,
dan lain-lain suatu bangsa dari bahasa bangsa tersebut. Pengetahuan tersebut secara turun-temurun
diwariskan baik dalam bentuk tulisan maupun lisan. Terkait dengan pewarisan bahasa , peran
orang tua menjadi sangat sentral. Orang tua merupakan mata rantai “pewarisan” bahasa daerah
ke anak-anaknya. Jika si anak tidak menggunakan bahasa daerah tersebut, maka kemungkinan
besar anak cucunya tidak memakai bahasa daerah tersebut. Ketidakterpakaian bahasa secara
berkesinambungan dengan jumlah penutur yang terus menurun merupakan permulaan kepunahan
suatu bahasa.
UNESCO sangat prihatin dengan ancaman kepunahan bahasa-bahasa ibu di dunia. Dalam
beberapa tahun terakhir di Indonesia, terjadi penurunan jumlah bahasa ibu, seperti di Papua dari
273 bahasa menjadi 271 bahasa, di Sumatera dari 52 bahasa kini 49 bahasa, dan di Sulawesi dari
116 bahasa turun menjadi 114 bahasa. Untuk itu, UNESCO pun merasa perlu menetapkan hari
bahasa ibu internasional yang jatuh setiap tanggal 21 Februari. Salah satu kegitan yang dapat
dilakukan untuk mencegah ancaman kepunahan suatu bahasa adalah dengan
mengindentifikasi sistem pewarisan bahasa ibu yang ada di daerah transmigran seperti
misalnya sistem pewarisan Bahasa Bali oleh transmigran Bali di Provinsi Lampung.

METODE
Penelitian ini dilakukan di wilayah transmigran Bali di Provinsi Lampung. Provinsi

Lampung termasuk provinsi yang penduduknya heterogen karena terdiri dari berbagai macam suku
bangsa. Hal tersebut dikarenakan sejarah Provinsi Lampung yang selalu membuka program
transmigrasi dari daerah manapun di Indonesia.
Provinsi Lampung dipilih sebagai tempat penelitian karena daerah ini merupakan daerah
tujuan transmigrasi pertama dengan jumlah kepala keluarga terbesar bagi transmigran Bali.
Adapun daerah yang menjadi fokus penelitian adalah enam desa di tiga kabupaten berbeda yang

Ni Luh Nyoman Seri Malini
Luh Ketut Mas Indrawati

menjadi desa rintisan transmigrasi dan daerah tujuan transmigrasi penduduk provinsi Bali. Desadesa yang menjadi lokasi penelitian adalah Desa Rama Gunawan, Rama Dewa, dan Rama Nirwana
di Kabupaten Lampung Tengah; Desa Toto Mulyo dan Mesuji di Kabupaten Tulang Bawang; dan
Desa Rejobinangun Raman Utara di Kabupaten Lampung Timur. Data penelitian bahasa terdiri
dari tiga jenis, yaitu ujaran lisan, data tulis, dan instuisi bahasa peneliti (Langacker, 1972:15).
Intuisi dapat dipakai apabila peneliti sekaligus sebagai penutur asli dari bahasa yang sedang diteliti.
Penelitian ini memanfaatkan dua jenis data, yaitu data lisan dan intuisi bahasa peneliti. Data lisan
dikumpulkan dari kata-kata dan tindakan nyata warga transmigran Bali. Pemerolehan data
dilakukan dengan menggunakan metode observasi dan metode wawancara. Analisis data penelitian
ini menggunakan teknik analisis data secara kualitatif dan secara kuantitatif.


KAJIAN PUSTAKA
Wolfowitz (1991) melakukan penelitian terhadap masyarakat imigran Jawa di Suriname.
Masyarakat Jawa di Suriname berasal dari desa di Jawa Tengah yang memiliki budaya Jawa yang ’tinggi’.
Dengan menggunakan pendekatan antropologi dan sosiologi, penelitian ini mengamati pilihan bahasa
masyarakat Jawa di Suriname. Penelitian itu menemukan bahwa generasi pertama menganggap kompetensi
stilistik merupakan hal yang sangat penting pada status sosial, sedangkan bagi sebagian kecil generasi kedua
dan ketiga kompetensi tersebut merupakan masalah pendidikan yang terkait dengan penghormatan. Hal lain
yang ditemukan Wolfowitz pada masyarakat migran Jawa adalah bahwa mereka memiliki paradigma
leksikal yang harus dikuasi oleh semua orang dewasa dan remaja dalam berbagai interaksi sosial.
Koesoebjono (2000) mengatakan bahwa para migran asal Jawa di Suriname yang
berjumlah sekitar 400.000 orang menduduki peringkat ketiga setelah orang- orang Creoles dan
Hindu. Leluhur para migran ini tiba pertama kali di Suriname pada tahun 1890 sebagai pekerja.
Sebagian besar dari mereka tinggal di Groningen, Amsterdam, Den Haag, Rotterdam, 'sHertogenbosch dan Zoetermeer. Meskipun mereka telah berhasil berintegrasi dengan kehidupan
dan budaya Belanda, mereka berupaya terus menerus untuk mempertahankan identitas etnis
kejawaannya dengan berbagai cara. Salah satu kegiatan yang belakangan dilakukan adalah dengan
memperingati perayaan 110 tahun tibanya para migran pertama dari Jawa di Suriname. Keinginan
orang-orang Jawa Suriname untuk mempertahankan dan mengembangkan kebudayaan asal mereka
terlihat jelas dari usaha-usaha yang dilakukan seperti mendirikan lembaga-lembaga kerakyatan
tradisional yang mereka kenal ada di Jawa. Mereka juga mengajarkan bahasa Jawa kepada generasi
muda mereka dan mewariskan tradisi-tradisi beserta ekspresi-ekspresi kebudayaan Jawa, seperti

pertunjukan wayang kulit, jaran kepang, tayuban, dan gamelan (Gooswit, 1988 dalam Koesobjono,
2000). Mereka juga menyelenggarakan upacara slametan, merayakan akhir bulan puasa (lebaran
atau bodo), pernikahan ala Jawa, mitoni (upacara usia kehamilan tujuh bulan), dan sunatan. Seperti
halnya di Jawa, mereka memiliki orang-orang yang mempunyai keterampilan khusus untuk
melakukan upacara-upacara yang telah diungkapkan di atas, seperti dukun bayi (membantu orang
melahirkan), dukun manten (memimpin upacara perkawinan), dan dukun sunat (dalam upacara
sunatan).
Penelitian ini menunjukkan bahwa pewarisan kebudayaan disampaikan secara oral dan
sebagai konsekuensinya adalah banyak aspek kebudayaan menjadi kabur, menyimpang dari
aslinya, dan mendapatkan interpretasi-interpretasi baru, atau bahkan hilang seiring perjalanan
waktu. Adanya interpretasi dan pemaknaan tradisi yang berbeda dan digunakannya kata-kata yang
bervariasi oleh masyarakat menunjukkan bahwa mereka datang atau berasal dari daerah yang
berbeda di Jawa yang kemudian berdampak pula terhadap praktek formal kehidupan keagamaan
mereka. Didapatkan pula bahwa saat ini kebudayaan Jawa Suriname telah dipengaruhi oleh
kebudayaan kelompok etnis lain, termasuk juga oleh budaya barat.
Dikatakan bahwa bahasa Jawa yang diwariskan kepada generasi muda Jawa Suriname
merupakan bagian dari ekspresi-ekspresi kebudayaan Jawa. Ini ditunjukkan dengan masih
dipeliharanya aras tutur bahasa Jawa yang diajarkan oleh migran generasi pertama di Suriname,
seperti Jawa ngoko (variasi bahasa Jawa untuk mereka yang memiliki status sosial rendah) dan
sebaliknya Jawa kromo (variasi bahasa Jawa untuk orang yang status sosialnya tinggi).

2

Hal tersebut dialami juga oleh warga migran di berbagai belahan dunia lain, misalnya
penelitian yang dilakukan oleh Dil dan Curry (1981:159) di Amerika Serikat pada tahun 1924
mengenai keberagaman bahasa dan kontak bahasa. Mereka menyatakan bahwa dari tahun 1840 sampai
dengan tahun 1924 di daerah-daerah Amerika Serikat terdapat perkembangan penguasaan berbahasa para
emigran. Pada tahun 1840 kaum emigran cenderung menggunakan bahasa-bahasa kultur atau asalnya.
Namun, pada tahun 1924 kaum emigran mengembangkan kecenderungan hanya menggunakan satu bahasa,
yaitu bahasa Inggris. Dapat disimpulkan bahwa generasi ketiga kelompok emigran di Amerika Serikat
cenderung melupakan bahasa kulturnya. Perubahan yang bersifat umum tersebut menurut Dil (1981:266)
ternyata memiliki pola-pola khusus. Dil, juga melaporkan hasil pengamatannya terhadap perubahan
kecenderungan penggunaan bahasa di negara-negara Eropa. Laporan tersebut menyatakan bahwa terdapat
kecenderungan perubahan penggunaan bahasa yang pada dasarnya bersifat individual sehingga membentuk
gejala umum. Artinya, makin dewasa individu suatu kelompok emigran atau kultur, makin besar
kecenderungannya untuk meninggalkan bahasa kultur dan menggunakan satu bahasa yang dipahami oleh anggota
antarkultur.

Kismosuwartono (1991:107) yang mengkaji pola pengasuhan anak keluarga petani
transmigran Jawa dan Bali di Lampung Tengah. Salah satu aspek pembahasan yang dikemukakan
yaitu penggunaan bahasa Jawa oleh anak-anak transmigran Bali dalam kehidupan sehari-hari.

Kendati pihak orang tua berbicara bahasa Bali, anak-anak muda menjawabnya dengan bahasa Jawa.
Hasil penelitian tersebut jelas menggambarkan gejala keterdesakan bahasa Bali. Meskipun penelitian
ini bersifat antropologis, penelitian ini juga menyentuh masalah kebahasaan. Hasil penelitian yang
menggambarkan adanya gejala memprihatinkan terhadap bahasa Bali itu mengisyaratkan bahwa
pentingnya langkah-langkah mempertahankan bahasa Bali.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Bahasa merupakan alat pengembangan kebudayaan, jalur penerus kebudayaan, dan inventaris ciri-ciri
kebudayaan. Oleh karena itu, bahasa juga merupakan faktor penting dalam membentuk identitas kultural
dan identitas sosial termasuk di dalamnya identitas etnis, anggota masyarakat. Terdapat dua faktor penting
untuk menentukan butir nilai kultural seorang dwibahasawan, yaitu butir-butir nilai yang dihasilkan dari kontak
kebudayaan dan lingkungan sosial yang spesifik dan lingkungan keluarga yang membentuk tipe pengalaman
dwibahasawan tersebut. Dalam situasi bahasa dan kebudayaan, terlihat beberapa kemungkinan kasus.
Kemungkinan kasus-kasus yang akan muncul tersebut adalah seperti berikut, 1) seseorang akan menggunakan
satu bahasa di rumah, dan menggunakan bahasa lainnya di luar rumah atau di masyarakat; 2) seseorang akan
menggunakan dua bahasa di rumah dan satu bahasa di antaranya dipergunakan di masyarakat; 3) seseorang
akan menggunakan dua bahasa di rumah dan kedua-duanya juga dipakai di luar/masyarakat; dan 4) seseorang
akan menggunakan dua bahasa di rumah, tetapi kedua-duanya tidak dipakai di luar/masyarakat.

3


Ni Luh Nyoman Seri Malini
Luh Ketut Mas Indrawati

Berbagai kemungkinan terhadap situasi kebahasaan juga ditemukan di daerah
transmigran Bali di Lampung. Di Provinsi Lampung, penutur bahasa Bali menggunakan bahasa
Bali sebagai alat komunikasi interetnis. Bahasa Bali digunakan khususnya dalam ranah-ranah
tertentu seperti ranah keluarga, kekariban, religi, pekerjaan-khususnya pertanian, dan ranah
kesenian. Penutur bahasa Bali juga memiliki ranah-ranah tersendiri dalam yang tanpa di sadari
telah meningkatkan fungsi bahasa Bali. Hal itu terlihat dari munculnya organisasi informal yang
tergabung dalam sekeha-sekaha (kelompok-kelompok) tertentu seperti sekaha gong, sekeha igel,
sekeha tajen, sekeha mancing . Anggota sekeha tersebut penutur bahasa Bali yang memiliki
kesenangan yang sama dan rasa identitas etnis yang sama. Dalam berinteraksi mereka
menggunakan bahasa Bali. Tanpa mereka sadari, para penutur bahasa Bali tersebut telah
mengembangkan status fungsional bahasa Bali. Meskipun pengembangan sudah dilakukan, namun
peningkatan mutu berbahasa tetap perlu dilakukan di kalangan penutur Bahasa Bali dalam hal ini
transmigran Bali (Malini: 2011).
Berdasarkan hasil penelitian terhadap sistem pewarisan bahasa Bali ditemukan fakta
bahwa sistem pewarisan bahasa Bali terhadap generasi muda Bali berlangsung secara alamiah
melalui jalur informal dan non formal.


Bahasa Bali di Lampung tidak diajarkan sebagai bidang studi tersendiri di
sekolah, tetapi biasanya di selipkan dalam pelajaran agama Hindu. Hal tersebut dinyatakan
oleh informan mengenai pengajaran bahasa di sekolah, seperti pernyataan berikut.
Kutipan
[…………]
I
: Untuk pendidikan bahasa Bali di Lampung bu...Sebenarnya kita sekarang kan wajib
mengikuti bahasa lokal bu..Jadi anak-anak disini ya belajar Bahasa Lampung. ..
P
: Oh..ya.. Dari kelas satu ya bu..?
I
: Ya.. dari kelas satu sampai enam. Mereka bisa berbahasa Lampung, tapi ya tidak nyantol ...
karena mereka kan tidak pakai sehari-hari... Jadi kalau disuruh ngerjakan tugas sekolah ya
mereka bisa..
P
: Aksaranya gimana bu...?
I
: Bisa... mereka bisa aksara Lampung...
P
: Gurunya bu...?

I
: Ya.. orang Bali atau Jawa...ndak ada yang orang Lampung. Jadi kemampuan gurunya
ya begitu bu...karena ndak pernah dipakai sehari-hari. Kalau Bahasa Bali hanya diselipselipkan saja bu kalau ada pelajaran agama Hindu... Tapi kan masalahnya kalau guru
agamanya itu orang Bali, kalau orang Jawa ? Soalnya agama Hindu itu kan tidak hanya
orang Bali ya bu.. Ya akhirnya ndak bisa juga... Menurut saya ya bu... Sekarang ini
banyak orang salah kaprah tentang pengajaran bahasa Bali. Bahasa itu diajarkan
kepada anak ketika anak sudah besar. Jadi anak itu susah bisanya bu.. Kalau saya ya
bu..meskipun saya bukan Bali asli—saya ini sebetulnya keturunan Jawa bu.., tapi saya
sudah diangkat anak oleh orang Bali sejak kecil dan menikah sama orang Bali..—tapi saya
bisa berbahasa Bali, ya..walaupun yang bahasa halus tidak bisa bu.. Saya di rumah selalu
berbahasa Bali dengan keluarga. Walaupun anak-anak kadang-kadang menjawab dengan
bahasa Jawa atau Indonesia tapi saya tetep Bahasa Bali. Ke cucu saya pun saya selalu
berbahasa Bali . Karena bu.. menurut saya anak-anak kecil itu di rumah harus
diajarkan bahasa daerahnya sendiri, ya kalau kita kan Bahasa Bali ya. Bu.. Kalau
yang orang Jawa ya.. bahasa Jawa. Bahasa Indonesia ndak usah diajarkan di rumah pun
nanti mereka otomatis TK aja udah bisa kok.. wong bahasa pengantar di sekolah dan
lingkungan begini kok.. Jadi intinya bu... bahasa Bali itu harus diajarkan sejak awal,
kalau ndak gitu bisa punah bu... Wong anak saya, saya marahi bu.. kalau pake bahasa
Indonesia..
P

: Kalau dimasukkan kurikulum bu....?
I
: Idealnya begitu bu... Tapi kan banyak orang.. ya susah juga.. Seperti murid saya
bu...hampir seluruhnya orang Jawa.., dua orang aja yang Hindu Bali, 2 orang Hindu
4

Jawa .. Kalau diajarkan bahasa Bali... ya repot juga bagi anak yang lain. Tapi caranya ya
itu tadi bu.. pintar-pintarnya guru agama Hindu Bali menyelipkan dan dilatih di rumah.
Dari uraian informan terlihat bahwa bahasa Bali tidak diajarkan di sekolah secara formal
tetapi hanya diselipkan saja pada mata pelajaran agama Hindu dan tentu saja dilakukan oleh guru
agama Hindu etnis Bali. Dapat diprediksi bahwa pembelajaran bahasa Bali di sekolah tidak
berlangsung secara sistematik. Informan juga tidak mengabaikan bahwa ditemukan kendala dalam
pengajaran Bahasa Bali di sekolah yaitu bahwa jumlah penutur Bali lebih sedikit daripada penutur
bahasa mayoritas. Namun demikian, informan juga mempunyai pandangan yang bahwa bahasa
Bali harus diajarkan sejak dini dan dimulai dari rumah tangga. Melihat fenomena yang terjadi
mengenai pengajaran bahasa, informan juga menunjukkan kekhawatirannya akan kepunahan
bahasa Bali di masa mendatang. Kekwatiran tersebut perlu dijawab oleh berbagai pihak khususnya
penutur bahasa Bali itu sendiri.
Selain diselipkan pada pelajaran agama Hindu di sekolah, secara lebih terstruktur pelajaran
bahasa dan aksara Bali diajarkan di jalur nonformal, yaitu di pasraman-pasraman yang ada di

Lampung seperti yang terlihat dalam jadwal pelajaran berikut.

Gambar 1. Kurikulum Bahasa Bali di Pasraman Aditya Dharma.
Berdasarkan informasi yang diberikan oleh informan bahwasanya ketersediaan guru yang
mahir mengajarkan bahasa Bali di sekolah dan di lembaga nonformal seperti pasraman di
Lampung sangat terbatas. Ketiadaan buku pelajaran bahasa Bali juga menyulitkan para guru dan
murid untuk mendapatkan materi pelajaran bahasa Bali yang memadai. Kondisi riil di lapangan
menuntut pemerintah dan penutur bahasa itu sendiri untuk bersinergi dalam upaya pembinaan dan
pengembangan bahasa daerah khususnya dalam hal pendidikan.

Namun demikian berdasarkan pengamatan di lapangan, beberapa pura di
Lampung Tengah sudah menggunakan papan nama yang menggunakan aksara Bali,
seperti terlihat pada gambar berikut.

5

Ni Luh Nyoman Seri Malini
Luh Ketut Mas Indrawati

Gambar 2. Keberadaan aksara Bali pada Pura di Lampung
Dari fakta gambar di atas terlihat telah adanya upaya sosialisasi aksara Bali oleh tingkat
elit Hindu etnis Bali. Upaya lebih jauh terhadap sosialisi aksara Bali khususnya pada ranah-ranah
sensitif seperti awig-awig tampaknya belum dapat dilakukan oleh transmigran Bali. Hal tersebut
dikarenakan karena keterbatasan transmigran Bali dalam memahami aksara Bali. Upaya
penggunaan aksara Bali juga telah dilakukan oleh kalangan populis yaitu orang yang berpengaruh
di kalangan transmigran Bali dengan menandai selesainya pembangunan rumahnya seperti terlihat
pada gambar berikut.

Gambar 3. Aksara Bali di rumah transmigran Bali
Pada saat ini penulisan aksara Bali oleh transmigran Bali masih menggunakan cara
manual. Transmigran Bali belum tersentuh penulisan aksara Bali dengan komputer dengan program
Bali Simbar. Aplikasi program Bali Simbar adalah piranti lunak aksara Bali. Bagi transmigran Bali
hal tersebut merupakan kendala tersendiri dalam upaya sosialisasi aksara Bali. Bagi transmigran
Bali yang umumnya berprofesi sebagai petani dan sebagian besar belum paham terhadap
komputer jadi mengaplikasikan program Bali Simbar merupakan sesuatu yang rumit. Bagi kaum
terpelajar penggunaan dan penyebar luasan informasi melalui aksara Bali juga merupakan kendala
karena aksara Bali belum dikuasai oleh transmigran Bali khususnya kalangan generasi muda
(Malini, 2011)
Berdasarkan kutipan dan hasil observasi tersebut didapatkan gambaran bahwa upaya
pewarisan bahasa Bali dilakukan secara informal melalui lingkungan keluarga karena secara
formal, melalui jalur pendidikan, tidak ada kebijakan yang mengakomodasi untuk diajarkannya
bahasa etnis asal di daerah transmigrasi. Oleh karena itu, kemampuan berbahasa Bali anak
cenderung lemah dan tidak standar, terlebih lagi kondisi sosial di daerah transmigrasi yang
beraneka ragam mengharuskan mereka untuk menguasai lebih dari satu bahasa untuk bisa
berkomunikasi dengan etnis lainnya. Selain itu, kekerapan mereka berkontak dengan etnis lain
berakibat pada menurunnya pajanan terhadap bahasa Bali dalam kehidupan transmigran Bali.
Sehingga dapat dikatakan bahwa dinamika kebahasaan yang terjadi terdiri atas dua garis besar,
yakni 1) Pajanan terhadap bahasa Bali di Lampung cenderung berkurang akibat faktor sosialbudaya; dan 2) Sistem pewarisan bahasa Bali yang hanya mungkin ditempuh secara infomal
melalui lingkungan keluarga menyebabkan penggunaan atas bahasa Bali menjadi terdevaluasi
karena bahasa Bali tidak berkembang sesuai dengan fungsi sosiolinguistiknya. Faktor pendorong
hal ini terutama disebabkan oleh menurunnya penguasaan dan pemahaman terhadap bahasa Bali
secara formal. Jadi secara implisit bisa dilihat bahwa kedua hal tersebut saling terkait satu sama
lain. Grosjean (1995:240) dan Fasold (1987:83) mengatakan bahwa usaha pelestarian B1 sangat
bergantung pada situasi tempat bahasa itu digunakan, faktor pribadi, dan faktor sikap. Faktor
pribadi terkait dengan anak itu sendiri dan faktor sikap mengacu kepada sikap anak itu sendiri,
sikap orang tua anak, sikap keluarga dekat anak yang tinggal bersama, sikap teman-teman, guruguru, dan faktor lingkungan (Romaine,1995:236).
6

Sutjaja (1996:220) menyampaikan bahwa komunitas Bali di Lampung menghadapi dua
permasalahan pada saat bersamaan, yakni (a) memudarnya penggunaan aras tutur (speech level)
dan tergantikan oleh penggunaan bentuk lumrah secara lebih dominan dan (b) bahasa Bali semakin
jarang dipergunakan dan tergantikan oleh Bahasa Indonesia dan bahasa Jawa. Hal itu dapat
dikatakan bahwa bahasa Bali yang dipergunakan di Lampung merupakan bentuk yang paling
sederhana yang penggunaannya dipertahankan di sepanjang pura-pura dan kuil Bali sebagai
penanda utama identitas ke-Bali-an mereka. Pejanan (exposure) terhadap Bahasa Bali menjadi jauh
berkurang karena kontak dengan orang non-Bali yang berbicara dalam bahasa Indonesia atau Jawa
menjadi kian intensif yang mengharuskan orang Bali menggunakan Bahasa Indonesia sebagai
Lingua Franca . Bahkan, secara sosial anak-anak menjadi lebih sering berbahasa Jawa kepada
tetangga Jawa mereka, sebaliknya anak-anak Jawa amat jarang yang berbahasa Bali. Dalam situasi
menurunnya penggunaan bahasa Bali, dikatakan Sutjaja (1996:220) bahwa kesenian memegang
peranan vital dalam upaya pemertahanan bahasa Bali di Lampung seperti yang terjadi di Bali.
Berbagai bentuk kesenian mengemban peranan tersebut walaupun bentuk-bentuk kesenian ini telah
mengalami perubahan. Rekaman-rekaman seni tradisional dan kesusastraan (pepaosan, kidung,
arja, drama gong, dan wayang) yang didatangkan dari Bali dapat dianggap cara termudah untuk
menjaga akses tradisi Bali di Lampung.
SIMPULAN DAN SARAN
Penguasaan bahasa Bali sebagai bahasa ibu etnis Bali di Lampung berlangsung secara
alamiah. Artinya bahwa bahasa dikuasai karena interaksi dengan pemakai dalam pemakaian bahasa
yang dikuasai. Sistem dan mekanisme pewarisan bahasa baik yang dilakukan pada ranah formal
maupun informal Penguasaan bahasa ibu seperti ini tidak dirancang secara sistematik-formal.
Analisis terhadap sikap bahasa para responden terhadap bahasa Bali menunjukkan bahwa para
transmigran memiliki sikap positif terhadap bahasa Bali. Hal ini menjanjikan dampak yang cukup
prospektif bagi pemertahanan bahasa Bali di Lampung. Akan tetapi kondisi ini perlu didukung oleh
model dan sistem perencanaan bahasa yang komprehensif dan sesuai dengan konteks situasi
kebahasan yang dialami transmigran Bali. Alternatif model perencanaan bahasa yang dapat
diperhitungkan adalah perencanaan bahasa dengan prosedur perencanaan bahasa yang difokuskan
pada fungsi bahasa dan dimensi perencanaan yang difokuskan pada perencanaan pemerolehan
bahasa (acquisition planning). Acquisition planning menitikberatkan pada pengajaran dan
pembelajaran bahasa, baik itu bahasa nasional, bahasa kedua atau bahasa asing. Hal ini meliputi
usaha-usaha untuk mempengaruhi jumlah pengguna dan distribusi suatu bahasa dan aksaranya
yang didapatkan dengan membuat suatu kesempatan dan insentif untuk mempelajari bahasa yang
bersangkutan. Acquisition planning berhubungan langsung dengan penyebaran suatu bahasa. Hal
ini biasanya dilakukan oleh suatu badan yang bertanggung jawab terhadap pengembangannya baik
dalam tingkat nasional, regional, atau lokal.

DAFTAR PUSTAKA
Abdullah, I. 2006. Konstruksi dan Reproduksi Kebudayaan. Yogyakarta: Pustaka Pelajar
Aitchison, J. 1991. Language Change: Progress or Decay. Sydney: Cambridge University Press
Alwasilah, C. 2002. Pokoknya Kualitatif: Dasar-Dasar Merancang dan Melakukan Penelitian
Kualitatif. Jakarta: PT. Dunia Pustaka Jaya
Alwi, Hasan. 2001. “Kebijakan tentang Bahasa Daerah “ dalam Dendy Sugono dan Abdul Rozak
Zaidan (eds).Bahasa Daerah dan Otonomi Daerah, Risalah konferensi Bahasa Daerah.hal
38-47. Jakarta: Pusat Bahasa
Azwar, S. 2008. Sikap Manusia : Teori dan Pengukurannya (edisi kedua). Yogyakarta: Pustaka
Pelajar

7

Ni Luh Nyoman Seri Malini
Luh Ketut Mas Indrawati

Bagus, I. G. N. 2003. “Hidup Bersama dan Etik Multikultural: Peluang dan Tantangannya dalam
Hidup Berbangsa” dalam Martono dkk (ed). Hidup Berbangsa dan Etika Multikultural.
Universitas Surabaya: Forum Rektor Indonesia Simpul Jawa Timur
Bell, R. T. 1976. Sociolinguistics: Goals, Approaches, and Problems. London: Batsford
Blum, L. A. 2001. “Antirasisme, Multikulturalisme, dan Komunitas antar-ras: Tiga Nilai yang
Bersifat Mendidik bagi Sebuah Masyarakat Multikultural” dalam L. May, S. CollinsChobanian, dan K. Wong (ed). Etika Terapan I: Sebuah Pendekatan Multikultural (terj).
Hal. 15-25. Yogyakarta: PT. Tiara Wacana
Budiono, P., Sugeng, P. H., dan Setiawan, A. 1997. “Strategi Budaya dalam Rangka Transformasi
Budaya di Daerah Transmigrasi” dalam Muhajir Utomo & Rofiq Ahmad (ed). 90 Tahun
Kolonialisasai, 45 Tahun Transmigrasi. Hal 185-190.Jakarta: Puspawara
Chamber, J.K. 2003. Sociolinguistic Theory. UK/USA: Blackwell Publisher
Collins, J. T. 2006. ”Bahasa Daerah yang Terancam Punah: Tinjauan di Maluku dan Kalimantan”.
Makalah disajikan dalam Seminar Pelestarian Bahasa Daerah diselenggarakan oleh Pusat
Bahasa Departemen Pendidikan Nasional, Jakarta, 9 Desember
Dhanawathy, N. M. 2001. “Bahasa Jawa bagi transmigran Bali di Lampung Tengah: Sebuah
Fenomena yang mengisysratkan Pentingnya Pembinaan Bahasa Daerah Asal di Daerah
Transmigrasi”. Makalah dalam Kongres Bahas Jawa III di Yogyakarta.
Englebretson, R. 2003. Searching for Structure: The Problem of Complementation in Colloquial
Jakarta Indonesian Conversation. Amsterdam: John Benjamin Publishing
Fasold, R. 1984. The Sociolinguistics of Society. Oxford: Basil Blackwell
Fay, B. 2002. Filsafat Ilmu Sosial Kontemporer . Yogyakarta:Penerbit Jendela
Garvin, P.L dan Matthiot, M. 1968. “The Urbanization of the Guarani Language: Problem in Language and
Culture” dalam Fishman, Joshua (ed). Reading in the Sociology of Language. Mouton: The Hague
Geertz, C. 1959. “Form and Variation in Balinese Village Structure” dalam American
Anthropologist, 61, hal. 991-1012
Grosjean, F. 1982. Life with Two Languages: An Introduction to Bilingualism. England: Harvard University
Press.
Hamers, J. F. dan Blanc, M. H. A. 1989. Bilinguality and Bilingualism. Cambridge: Cambridge University
Press.
Hasanudin. 2009. “Wacana Identitas Etnik Masyarakat Minangkabau di Bali” (Disertasi).
Denpasar: Universitas Udayana
Haugen, E. 1974. “Dialect, Language, Nations” dalam Pride, J. B dan Holmes, J (ed).
Sociolinguistics. London: Penguin Books
Haugen, E. 1978. “Bilingualism, Language Context, and Immigrant Language in the United States”
dalam Fishman, J. A. (ed). Advances in the Study of Social Multilingualism. The Hague:
Mouton
Koentjaraningrat. 1985. Manusia dan Kebudayaan di Indonesia. Jakarta: Djambatan
Koesoebjono. 2000. “Towards a new Javaneseness” makalah yang disajikan pada The 12th
Workshop of the European Social Science Java Network/ESSSJN Amstredam, 20-21
Januari 2000
Krauss, Michael. 1992. “The World’s Languages in Crisis”. Languages LXVIII.1:4-10.
Labov, W. 1994. Principles of Linguistic Change. USA: Blackwell Publishers
Langacker, R, 1972. Fundamental of Linguistic Analysis. New York: Harcourt
Lincoln, Y dan Guba, E. 1985. Naturalistic Inquiry. Beverly Hills:Sage Publications
Lukman. 2002. “Pemertahanan Bahasa Warga Transmigran Jawa di Wonomulyo-Polmas” dalam
Buku Panduan Kongres Linguistik Nasional X. Denpasar: Masyarakat Linguistik
Indonesia, Pusat Bahasa, dan Fakultas Sastra Universitas Udayana
Mackey, W. F. 1968. “The Description of Bilingualism” dalam Fishman, J. A. (ed). Readings in the
Sociology of Language. The Hague: Mouton
Mahsun. 2005. Metode Penelitian Bahasa. Jakarta: PT RajaGrafindo
Malini, Ni Luh Nyoman Seri. 2011. ” Dinamika Bahasa Bali di Daerah Transmigran di Provinsi
Lampung’’. Disertasi. Universitas Udayana. Denpasar
8

Moeliono, A. M. 2010. ”Kebijakan Bahasa dan Perencanaan Bahasa di Indonesia: Kendala dan
Tantangan”. Makalah disajikan pada Simposium Internasional Perencanaan Bahasa
diselenggarakan oleh Pusat Bahasa Departemen Pendidikan Nasional, Jakarta
Pelly, U. 1994. Urbanisasi dan Adaptasi; Peranan Misi Budaya Minangkabau dan Mandailing.
Jakarta:Pustaka LP3ES Indonesia.
Poedjosoedarmo, S. 1982. “Javanese Influence on Indonesian”. Material in Languages of
Indonesia . No. 7. Series. D. Canberra: Pacific Linguistics
Pretty, J. et al. 1996. Pa rticipatory Learning and Action : Trainer’s Guidline. IIED
Salim, A. 2002. Perubahan Sosial: Sketsa Teori dan Refleksi Metodologi Kasus Indonesia .
Yogyakarta: PT. Tiara Wacana
Sardjadidjaja, R. 2004. Transmigrasi: Pembauran dan Integrasi Nasional.Jakarta: CV. Muliasari
Sobarna, C. 2007. ”Bahasa Sunda Sudah di Ambang Kematiankah?” dalam Makara: Humaniora,
Sosial, jilid 11, No. 1, hal 13-17
Suhardi, B. 1996. Sikap Bahasa: Suatu Telaah Eksploratif atas Sekelompok Sarjana dan
Mahasiswa di Jakarta . Depok: Universitas Indonesia
Suherdi, D. 2010. “Menempatkan Bahasa Ibu pada Kedudukannya yang Paling Tepat: Menjamin
Keadilan bagi Kaum Minoritas” makalah disajikan pada Simposium Internasional
Perencanaan Bahasa diselenggarakan oleh Pusat Bahasa Departemen Pendidikan
Nasional, Jakarta
Sumarsono. 1993. Pemertahanan Bahasa Melayu Loloan di Bali. Jakarta: Pusat Pembinaan dan
Pengembangan Bahasa
Suparno, E. 2007. Paradigma Baru Transmigrasi: Menuju Kemakmuran Rakyat. Jakarta:
Departemen Tenaga Kerja dan Transmigrasi
Sutjaja, I. G. M. 1996. “Balinese Transmigrants in Lampung: Language Change and Traditions”
dalam Adrian Vickers (ed). Being Modern in Bali: Image and Change. New Haven:
Monograph 43/Yale Southeast Asia Studies.
UNESCO Ad Hoc Expert Group on Endangered Language. 2003. “Language Vitality and
Endangerment” (dokumen keputusan International Expert Meeting on UNESCO
Programme Safeguarding of Endangered Language, Paris, 10-12 Maret)
Wijaya, P. 1999. “Bali” dalam I Wayan Supartha (ed). Bali dan masa Depannya. Hal 183-198.
Denpasar: PT Bali Post.
Wolfowitz, C. 1991 Language Style and Social Space; Stylistic Choice in Suriname Javanese. Urbana and
Chicago : Universiy of Illinois Press.

9