Sistem Pewarisan Bahasa Bali Di Provinsi Lampung.
1
Ni Luh Nyoman Seri Malini
Luh Ketut Mas Indrawati
DAFTAR ISI
HALAMAN SAMPUL
KATA PENGANTAR
DAFTAR ISI
LINGUISTIK MIKRO
Pronomina Persona dan Pemarkahnya Antardialek dan Subdialek Bahasa Sumba
Anak Agung Putu Putra
Struktur Sintaksis Bahasa Jawa Banyumas
Restu Sukesti
Objek Ganda dalam Bahasa Indonesia
Vinsensius Gande
Leksem Pengungkap Konsep ‘Aktivitas Memasukkan Makanan ke dalam Mulut’ dalam
Bahasa Indonesia
Nuryantini
Balinese Middle Constructions and Agentivity
I Nyoman Udayana
Verba Melihat dalam Bahasa Bali: Suatu Kajian Metabahasa Semantik Alamiah
Ni Wayan Suastini
Konstruksi Pasif Bahasa Kemak
I Wayan Budiarta
Struktur dan Peran Verba Emosi Bahasa Jawa Timur melalui Teori Natural Semantics
Metalanguage (NSM)
Fardini Sabilah
Klausa Relatif Bahasa Sumba Dialek Waijewa (BSDW)
Ni Wayan Kasni
A Comparative study on the Lexicon in Terms of Form and Meaning of Usapi Sonbai Dialect
and Taloetan dialect of Uab Meto Language
Oktaviana Takene
Verba Tindakan Bahasa Bali Berbentuk Reduplikasi Parsial - Tinjauan Metabahasa
I Nengah Sudipa
Colour System in Lamaholot Language: A Semantic Analysis
Katharina Laka Ola
2
Morphological Study of Verb constructions in Elopada Dialect of Sumbanese Language
Yohanes Leonardo Ate
Morphological Change of Noun and Verb in Helong Language
Yandres Answo Djedelbert Lao
Preposition in Tetum Praca: A Syntactic Analysis
Fernando de Araujo Castelo Branco
Demonstrative Pronouns in Ba’a Dialect
Polce Aryanto Bessie
The Study of Affixation Process Found in Dawan Language
Selvi Merlin Otemusu
Makna Bonet pada Kalangan Masyarakat Kabupaten Timor Tengah Selatan
Merson Nome
Verba Terjatuh dalam Bahasa Minangkabau: kajian Metabahasa Semantik Alami
Arif Rahman Hadi
Komplemen dalam Bahasa Jepang
Made ratna Dian Aryani dan I Gede Oeinada
Ideologi Penamaan Khusus pada Masyarakat Suku Bali
Ni Made Suryati
Bentuk, Fungsi, dan Makna Kontekstual Verba “Memotong” dalam Bahasa Jawa
Setyarti
Struktur Semantik Verba Tindakan dalam Bahasa Bali: Suatu Kajian Metabahasa Semantik
Alami
Ni Putu Candra Gunasari
Bahasa Dayak Ngaju: Fonotaktik
Ristati
LINGUISTIK MAKRO
Aspek dan Kala dalam Bahasa Jepang Sebagai Cerminan Sikap Orang Jepang Terhadap
Waktu
Ketut Widya Purnawati
Bahasa Bakul Jamu Gendhong di Pasar Sayur Magetan Kabupaten Magetan
Erlin Kartikasari
Sistem Pewarisan Bahasa Bali di Provinsi Lampung
3
Ni Luh Nyoman Seri Malini
Luh Ketut Mas Indrawati
Ni Luh Nyoman Seri Malini dan Luh Ketut Mas Indrawati
Menelusuri Jejak Evolusi Etimon Austronesia *babuy ‘babi’ dalam Sejarah Perkembangan
Bahasa Bali
I Ketut Paramarta
Cultural Differences in Declining Requests
Renny Anggraeny
Dinamika Sistem Sapaan Bahasa Bali: Cermin Mencairnya Hubungan Sosial Vertikal pada
Masyarakat Bali
Ni Made Dhanawaty
Realitas Kebahasaan Bahasa Indonesia Kontemporer: Sebuah Studi Bandingan Antara
Konsep PPBI dan KBBI Edisi 2008
Nurul Hidayat
Dari Strategi Linguistik Menuju Strategi Kebudayaan Perspektif Pemertahanan Bahasa
Lokal di Indonesia
Putu Sutama dan Maria A. Luardini
Keterancaman Bahasa Bugis di Kelurahan Waliabuku, Kecamatan Bungi, Kota Baubau,
Sulawesi Tenggara
Pammuda
Analisis Sistemik Genre dan Struktur Potensi Generik Teks dalam Bahasa Waijewa
Magdalena Ngongo
Pengetahuan Leksikon-leksikon Lingkungan Kesungaian Katingan Generasi Muda Katingan
Santang
Campur Kode Tuturan Bahasa Jepang dalam Komunikasi antara Orang Jepang dan Orang
Indonesia
Ni Putu Candra Lestari, Ni Luh Ernawati, Ni Wayan Prilya Sinta
Bahasa Jawa Kuna, Bahasa Ibu yang Ditinggalkan: Pembentuk Karakter Bangsa dari
Pramodern hingga Postmodern
Made Reland Udayana Tangkas
Pendekatan Ekolinguistik dalam Rangka Saling Melestarikan antara Bahasa, Budaya, dan
Lingkungan
Aron Meko Mbete
Sawer Pengantin Sunda (Kajian Tindak Tutur)
Rita Maria Sahara dan Lien Darlina
Metafora dalam Ritual Sesaji “Tuturangia Andala” di Masyarakat Pulau Makasar, Buron
Wiwik Marlia
4
Komponen Register dalam Artikel Berbahasa Bali “Nglestariang Tetamian Budaya Bali”
Desak Putu Eka Pratiwi dan I Gusti Agung Sri Rwa Jayantini
Menurunnya Pemakaian Basa Alus di kalangan Generasi Muda Bali
I Made Yogi Marantika, Putu Galih Perdana Putra, dan Made Suardika Yasa
Pidginization or Not? A Case Study on English Used by Community of Gili Terawangan,
Lombok
I Made Rai Jaya Widanta, Paul Suardi, Luh Nyoman Chandra Handayani
Pemertahanan Bahasa Bali Aga di Desa Belantih, Kintamani-Bali
Ni Luh Yuniarti dan Dwi Lina Sari Tanjung
Bentuk, Fungsi, dan Makna Doa Bapa Kami Berbahasa Bali dalam Perspektif Ekolinguistik
Putu Chrisma Dewi
Profil Bahasa Minangkabau sebagai Bahasa Mayor di Sumatera
Ni Putu N. Widarsini
Bahasa Indonesia dan Bahasa Perancis: bahasa Sexis atau Non-sexis?
Putu Weddha Savitri
Struktur Preferen sebagai Pembentuk Karakter Penutur dalam Komunikasi Berbahasa Bali
I Gusti Ngurah Parthama
Salam dalam Bahasa Jepang: Bentuk dan Fungsi
Ni Made Andry Anita Dewi
Variasi Respon Tuturan Pujian Bahasa Jepang dalam Materi Ajar Bahasa Jepang untuk
Pemula
Ni Luh Kade Yuliani Giri
Eksistensi Bahasa Bali sebagai Bahasa Ibu: pada Anak-anak di Era Kekinian
I Dewa Ag. Gd. Ag. Suryaningrat, I Nengah Suryawan, dan I Putu Aryadi Jaya
Tindak Tutur Kesantunan Guru TK B Harapan Mulia
Fahim
Campur Kode dalam Lirik Lagu Bali “JPDA”
I Gede Pariasa
Alih Kode pada Anak-anak Dwibahasa di SD Negeri 4 Sesetan
I Ketut Oka Ribawa
Makna Tembang “Bibi Anu” (Pendekatan Antrophological Linguistics)
Ni Made Ayu Widyastuti, Sang Ayu Isnu Maharani, dan Yana Qomariana
Pasif “Gangguan” dalam Bahasa Jepang: Suatu Tinjauan Sosiolinguistik
5
Ni Luh Nyoman Seri Malini
Luh Ketut Mas Indrawati
Ni Made Wiriani
LINGUISTIK TERAPAN
Pengaruh Model Pembelajaran Pakem Berbantuan Media gambar untuk Meningkatkan
Motivasi dan Hasil Belajar Bahasa Jepang Kelas X SMA Katolik Soverdi Tuban Tahun
Pelajaran 2013-2014
I Gusti Ayu Niken Launingtia
Penerapan Teori Kognitivisme Ausubel dalam Pembelajaran Bahasa Inggris di Taman Kanak
Kanak
P. A. Angandari
Pemerolehan Bunyi Bahasa Indonesia pada Anak Usia 4 Tahun
Astri Mayasari
Learning Adonara Language by Sentence: A Syntactic Analysis
Patrick P. B. Mikael
Mengajarkan Kesantunan Berbahasa Bali melalui Teks Sastra
I Gusti Ayu Gde Sosiowati
Mother Tongue’s interference in The Pronunciation of English fricative consonants by
Balinese EFL Learners
I Kadek Restu Sumaranama
Pemerolehan Fonosintaktik pada Bilingualisme: Sebuah Studi Kasus Bahasa Sasak Indonesia pada Anak Usia Tiga Tahun
Irma Setiawan
An Effective and Efficient Way to Teach Two Different Registers in The Javanese Language at
The Same Time
Erna Zulaeni Wiles
Pemerolehan Bahasa Pertama Anak Usia Dua Tahun
Anak Agung Istri Manik Warmadewi
Penerapan Model Pembelajaran Berbasis Masalah dalam Kegiatan Pembelajaran Menulis
Teks Negosiasi
Gede Adistana Wira Saputra
Faktor “Kepribadian” dalam Pemerolehan Bahasa Indonesia bagi Orang Asing di
Lembongan
I Nyoman Mokoh Wijaya
Literal and Iniomatic Translation in Love and Death in Bali by Vicki Baum
Ni Made Kajeng Martha Puspita
6
Kesalahan Kata Ganti dan Ejaan dalam Karangan Deskriptif Berbahasa Inggris Konteks
Perkenalan Diri
Gusti Agung Ayu Dwi Wella Suhartatik
Implicit Situational in The Witch of Portobello and Its Translation Penyihir dari Portobello
Made Nunik Sayani
Kesepadana Makna Bahasa Inggris pada Papan Informasi di Wilayah Pura di Bali
Putu Ayu Asti Senja Pratiwi, Ni Luh Putu Krisnawati, Yana Qomariana, I Komang Sumaryana
Putra, Putu Weddha Savitri
Serial Verb found in Tapaleuk Rublic and The Sketch of Translating It: A Semantic Analysis
Teofilus Manu
Pelestarian Bahasa Ibu melalui Teknik Penerjemahan Adaptasi
Frans I Made Brata
Noun and Adjective Clause Translation of The Catwoman Text
Bonari
Equivalence and Shifts in Translating Noun Phrases from English into Indonesian
I. G. A. Agung Sintha Satwika
The Analysis of Translation Methods in Translating The cultural Terms Used in The Novel
Entitled The King, The Witch and The Priest by Pramoedya Ananta Toer
Putu Widna Yuniwahari
Roles Played by Semantic Theory on Translating SL into TL
Anita Permatasari
Penguasaan Kosakata Bahasa Inggris Anak Usia Dini dalam Kelas Bilingual
I Gusti Ayu Sri Krisnawati
Pengaruh Sikap Bahasa da Motivasi Belajar Bahasa terhadap Prestasi pada Mata Pelajaran
Bahasa Inggris dan Bahasa Indonesia Siswa SMA di Denpasar
I Gede Agus Suthanaya
Pengaruh Penggunaan Multimedia terhadap Keterampilan Menulis Huruf Hiragana dan
Katakana Peserta Didik di SMK Duta Bangsa Denpasar Tahun Pelajaran 2013/2014
Ni Wayan Ratih Darmayani
Semantic Role Play in Reality: Ideology of Impossibility of Translation
Polce Aryanto Bessie
Metodologies for Translation in The Legendary Story “Romeo and Juliet”
Ni Komang Lilik Arikusuma
7
Ni Luh Nyoman Seri Malini
Luh Ketut Mas Indrawati
Interference and Integration in Short Story Entitled “Just A dream” Written by Dwi Rahma
Sari
Ni Kadek Risda Apriantika Dewi
SASTRA
Tradisi Lisan Jawa Tondano di Gorontalo sebagai Kontribusi Pendidikan Karakter dan
Penguatan Jati Diri
Muawal Panji Handoko
Budaya Kritik di Ranah Tradisi lewat Media Modern: Studi Seni Magegitan melalui Radio di
Bali
I Wayan Suardiana
Makna dan Nilai Dibalik Cium Sabu
Lanny I. D. Koroh
Estetika Syair Danding pada Masyarakat Manggarai Timur
Imelda Olivia Wisang
Daya Hidup Bahasa Arkais Lamaholot dan Revitalisasinya dalam Bidang Sastra
Yoseph Yapi Taum
Meaning and Value Behind The Rituals Dab’a Ana in Jingitiu Belief on Sabu Island
Linda R. Tagie
“Kecantikan” Dewi Bharali Prajna Paramita dalam Kakawin Jinarthi Prakreti
Ida Bagus Rai Putra
Kajian Humor Berbahasa Bali dalam Pertunjukan Wayang Cenk Blonk
Putu Nur Ayomi
Lopo
Roby Nitbani
Metaphor Analysis of The Song “I Won’t Give Up” by Jason Thomas Mraz
Foni Nofita Fanggi
Sikap Religius dalam Novel “The Scarlet Letter” Karya Nathaniel Hawthorne
Ni Nyoman Tri Sukarsih dan Komang Tri Sutrisna Agustia
Seni Pertunjukan Dulmuluk: Upaya Pemertahanan Seni Budaya Lokal
Linny Oktovianny
Gaya Bahasa Komunitas Waria di Kota Manokwari: Sebuah Deskripsi Awal
Merry C. Rumainum
Simbol Rumah Adat Khowa Dhawe pada masyarakat Dhawe-Aesesa Kabupaten Nagekeo
8
Maria Marietta Bali Larasati
Ritual Koe Toko Embu Kajo Tradisi Masyarakat Roworeke Kabupaten Ende NTT
Veronika Genua
Kisah Persahabatan Angsa dan Kura-kura: Refleksi Pengendalian Emosi
I Ketut Ngurah Sulibra dan I Wayan Suteja
Pembentukan Karakter Anak Jepang melalui Puisi
Silvia Damayanti dan Ni Putu Luhur Wedayanti
Penguatan Identitas Kehinduan melalui Ritual Otonan
A. A. Kade Sri Yudari
Peranan Sekaa Santi dalam Pelestarian Bahasa dan Sastra Bali di Tingkat Pelajar Kabupaten
Badung
9
Ni Luh Nyoman Seri Malini
Luh Ketut Mas Indrawati
SISTEM PEWARISAN BAHASA BALI DI PROVINSI LAMPUNG
Ni Luh Nyoman Seri Malini
Luh Ketut Mas Indrawati
Universitas Udayana
[email protected]
Abstract
This paper aims at discussing to real condition of Balinese (trans-) migrant in Lampung Province related to
their efforts to develop Balinese language in Lampung Province. The research were conducted in Middle
Lampung Regency with participation observation method. The results showed that the inheritance system of
Balinese Languange by Balinese (trans-) migrants in Lampung region occurred informally and non-formal.
Key words : Balinese, Language, transmigrant, Lampung.
PENDAHULUAN
Bahasa adalah cara pandang dan pola pikir masyarakat pemakainya. Melenyapkan satu
bahasa identik dengan melenyapkan pola pikir manusia. Oleh karena itu, Koentjaraningrat (1985)
memasukkan bahasa sebagai salah satu aspek utama kebudayaan. Kita bisa mempelajari
pengetahuan tentang cara mengelola lingkungan, cara bertahan hidup, pengobatan, perbintangan,
dan lain-lain suatu bangsa dari bahasa bangsa tersebut. Pengetahuan tersebut secara turun-temurun
diwariskan baik dalam bentuk tulisan maupun lisan. Terkait dengan pewarisan bahasa , peran
orang tua menjadi sangat sentral. Orang tua merupakan mata rantai “pewarisan” bahasa daerah
ke anak-anaknya. Jika si anak tidak menggunakan bahasa daerah tersebut, maka kemungkinan
besar anak cucunya tidak memakai bahasa daerah tersebut. Ketidakterpakaian bahasa secara
berkesinambungan dengan jumlah penutur yang terus menurun merupakan permulaan kepunahan
suatu bahasa.
UNESCO sangat prihatin dengan ancaman kepunahan bahasa-bahasa ibu di dunia. Dalam
beberapa tahun terakhir di Indonesia, terjadi penurunan jumlah bahasa ibu, seperti di Papua
dari 273 bahasa menjadi 271 bahasa, di Sumatera dari 52 bahasa kini 49 bahasa, dan di
Sulawesi dari 116 bahasa turun menjadi 114 bahasa. Untuk itu, UNESCO pun merasa perlu
menetapkan hari bahasa ibu internasional yang jatuh setiap tanggal 21 Februari. Salah
satu kegitan yang dapat dilakukan untuk mencegah ancaman kepunahan suatu bahasa
adalah dengan mengindentifikasi sistem pewarisan bahasa ibu yang ada di daerah
transmigran seperti misalnya sistem pewarisan Bahasa Bali oleh transmigran Bali di
Provinsi Lampung.
METODE
Penelitian ini dilakukan di wilayah transmigran Bali di Provinsi Lampung. Provinsi Lampung
termasuk provinsi yang penduduknya heterogen karena terdiri dari berbagai macam suku bangsa. Hal
tersebut dikarenakan sejarah Provinsi Lampung yang selalu membuka program transmigrasi dari daerah
manapun di Indonesia.
Provinsi Lampung dipilih sebagai tempat penelitian karena daerah ini merupakan daerah tujuan
transmigrasi pertama dengan jumlah kepala keluarga terbesar bagi transmigran Bali. Adapun daerah yang
menjadi fokus penelitian adalah enam desa di tiga kabupaten berbeda yang menjadi desa rintisan
10
transmigrasi dan daerah tujuan transmigrasi penduduk provinsi Bali. Desa-desa yang menjadi lokasi
penelitian adalah Desa Rama Gunawan, Rama Dewa, dan Rama Nirwana di Kabupaten Lampung Tengah;
Desa Toto Mulyo dan Mesuji di Kabupaten Tulang Bawang; dan Desa Rejobinangun Raman Utara di
Kabupaten Lampung Timur. Data penelitian bahasa terdiri dari tiga jenis, yaitu ujaran lisan, data tulis, dan
instuisi bahasa peneliti (Langacker, 1972:15). Intuisi dapat dipakai apabila peneliti sekaligus sebagai penutur
asli dari bahasa yang sedang diteliti. Penelitian ini memanfaatkan dua jenis data, yaitu data lisan dan intuisi
bahasa peneliti. Data lisan dikumpulkan dari kata-kata dan tindakan nyata warga transmigran Bali.
Pemerolehan data dilakukan dengan menggunakan metode observasi dan metode wawancara. Analisis data
penelitian ini menggunakan teknik analisis data secara kualitatif dan secara kuantitatif.
KAJIAN PUSTAKA
Wolfowitz (1991) melakukan penelitian terhadap masyarakat imigran Jawa di Suriname. Masyarakat Jawa di
Suriname berasal dari desa di Jawa Tengah yang memiliki budaya Jawa yang ’tinggi’. Dengan menggunakan pendekatan
antropologi dan sosiologi, penelitian ini mengamati pilihan bahasa masyarakat Jawa di Suriname. Penelitian itu
menemukan bahwa generasi pertama menganggap kompetensi stilistik merupakan hal yang sangat penting pada status
sosial, sedangkan bagi sebagian kecil generasi kedua dan ketiga kompetensi tersebut merupakan masalah pendidikan
yang terkait dengan penghormatan. Hal lain yang ditemukan Wolfowitz pada masyarakat migran Jawa adalah bahwa
mereka memiliki paradigma leksikal yang harus dikuasi oleh semua orang dewasa dan remaja dalam berbagai
interaksi sosial.
Koesoebjono (2000) mengatakan bahwa para migran asal Jawa di Suriname yang berjumlah
sekitar 400.000 orang menduduki peringkat ketiga setelah orang- orang Creoles dan Hindu. Leluhur para
migran ini tiba pertama kali di Suriname pada tahun 1890 sebagai pekerja. Sebagian besar dari mereka
tinggal di Groningen, Amsterdam, Den Haag, Rotterdam, 'sHertogenbosch dan Zoetermeer. Meskipun
mereka telah berhasil berintegrasi dengan kehidupan dan budaya Belanda, mereka berupaya terus menerus
untuk mempertahankan identitas etnis kejawaannya dengan berbagai cara. Salah satu kegiatan yang
belakangan dilakukan adalah dengan memperingati perayaan 110 tahun tibanya para migran pertama dari
Jawa di Suriname. Keinginan orang-orang Jawa Suriname untuk mempertahankan dan mengembangkan
kebudayaan asal mereka terlihat jelas dari usaha-usaha yang dilakukan seperti mendirikan lembaga-lembaga
kerakyatan tradisional yang mereka kenal ada di Jawa. Mereka juga mengajarkan bahasa Jawa kepada
generasi muda mereka dan mewariskan tradisi-tradisi beserta ekspresi-ekspresi kebudayaan Jawa, seperti
pertunjukan wayang kulit, jaran kepang, tayuban, dan gamelan (Gooswit, 1988 dalam Koesobjono, 2000).
Mereka juga menyelenggarakan upacara slametan, merayakan akhir bulan puasa (lebaran atau bodo),
pernikahan ala Jawa, mitoni (upacara usia kehamilan tujuh bulan), dan sunatan. Seperti halnya di Jawa,
mereka memiliki orang-orang yang mempunyai keterampilan khusus untuk melakukan upacara-upacara yang
telah diungkapkan di atas, seperti dukun bayi (membantu orang melahirkan), dukun manten (memimpin
upacara perkawinan), dan dukun sunat (dalam upacara sunatan).
Penelitian ini menunjukkan bahwa pewarisan kebudayaan disampaikan secara oral dan sebagai
konsekuensinya adalah banyak aspek kebudayaan menjadi kabur, menyimpang dari aslinya, dan
mendapatkan interpretasi-interpretasi baru, atau bahkan hilang seiring perjalanan waktu. Adanya interpretasi
dan pemaknaan tradisi yang berbeda dan digunakannya kata-kata yang bervariasi oleh masyarakat
menunjukkan bahwa mereka datang atau berasal dari daerah yang berbeda di Jawa yang kemudian
berdampak pula terhadap praktek formal kehidupan keagamaan mereka. Didapatkan pula bahwa saat ini
kebudayaan Jawa Suriname telah dipengaruhi oleh kebudayaan kelompok etnis lain, termasuk juga oleh
budaya barat.
Dikatakan bahwa bahasa Jawa yang diwariskan kepada generasi muda Jawa Suriname merupakan
bagian dari ekspresi-ekspresi kebudayaan Jawa. Ini ditunjukkan dengan masih dipeliharanya aras tutur
bahasa Jawa yang diajarkan oleh migran generasi pertama di Suriname, seperti Jawa ngoko (variasi bahasa
Jawa untuk mereka yang memiliki status sosial rendah) dan sebaliknya Jawa kromo (variasi bahasa Jawa
untuk orang yang status sosialnya tinggi).
Hal tersebut dialami juga oleh warga migran di berbagai belahan dunia lain, misalnya penelitian
yang dilakukan oleh Dil dan Curry (1981:159) di Amerika Serikat pada tahun 1924 mengenai keberagaman
bahasa dan kontak bahasa. Mereka menyatakan bahwa dari tahun 1840 sampai dengan tahun 1924 di daerah-daerah
11
Ni Luh Nyoman Seri Malini
Luh Ketut Mas Indrawati
Amerika Serikat terdapat perkembangan penguasaan berbahasa para emigran. Pada tahun 1840 kaum emigran cenderung
menggunakan bahasa-bahasa kultur atau asalnya. Namun, pada tahun 1924 kaum emigran mengembangkan
kecenderungan hanya menggunakan satu bahasa, yaitu bahasa Inggris. Dapat disimpulkan bahwa generasi ketiga
kelompok emigran di Amerika Serikat cenderung melupakan bahasa kulturnya. Perubahan yang bersifat umum tersebut
menurut Dil (1981:266) ternyata memiliki pola-pola khusus. Dil, juga melaporkan hasil pengamatannya terhadap
perubahan kecenderungan penggunaan bahasa di negara-negara Eropa. Laporan tersebut menyatakan bahwa terdapat
kecenderungan perubahan penggunaan bahasa yang pada dasarnya bersifat individual sehingga membentuk gejala umum.
Artinya, makin dewasa individu suatu kelompok emigran atau kultur, makin besar kecenderungannya untuk meninggalkan
bahasa kultur dan menggunakan satu bahasa yang dipahami oleh anggota antarkultur.
Kismosuwartono (1991:107) yang mengkaji pola pengasuhan anak keluarga petani transmigran
Jawa dan Bali di Lampung Tengah. Salah satu aspek pembahasan yang dikemukakan yaitu penggunaan
bahasa Jawa oleh anak-anak transmigran Bali dalam kehidupan sehari-hari. Kendati pihak orang tua berbicara
bahasa Bali, anak-anak muda menjawabnya dengan bahasa Jawa. Hasil penelitian tersebut jelas
menggambarkan gejala keterdesakan bahasa Bali. Meskipun penelitian ini bersifat antropologis, penelitian ini
juga menyentuh masalah kebahasaan. Hasil penelitian yang menggambarkan adanya gejala memprihatinkan
terhadap bahasa Bali itu mengisyaratkan bahwa pentingnya langkah-langkah mempertahankan bahasa Bali.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Bahasa merupakan alat pengembangan kebudayaan, jalur penerus kebudayaan, dan inventaris ciri-ciri
kebudayaan. Oleh karena itu, bahasa juga merupakan faktor penting dalam membentuk identitas kultural dan
identitas sosial termasuk di dalamnya identitas etnis, anggota masyarakat. Terdapat dua faktor penting untuk menentukan
butir nilai kultural seorang dwibahasawan, yaitu butir-butir nilai yang dihasilkan dari kontak kebudayaan dan lingkungan
sosial yang spesifik dan lingkungan keluarga yang membentuk tipe pengalaman dwibahasawan tersebut. Dalam situasi
bahasa dan kebudayaan, terlihat beberapa kemungkinan kasus. Kemungkinan kasus-kasus yang akan muncul tersebut
adalah seperti berikut, 1) seseorang akan menggunakan satu bahasa di rumah, dan menggunakan bahasa lainnya di luar
rumah atau di masyarakat; 2) seseorang akan menggunakan dua bahasa di rumah dan satu bahasa di antaranya
dipergunakan di masyarakat; 3) seseorang akan menggunakan dua bahasa di rumah dan kedua-duanya juga dipakai di
luar/masyarakat; dan 4) seseorang akan menggunakan dua bahasa di rumah, tetapi kedua-duanya tidak dipakai di
luar/masyarakat.
Berbagai kemungkinan terhadap situasi kebahasaan juga ditemukan di daerah transmigran
Bali di Lampung. Di Provinsi Lampung, penutur bahasa Bali menggunakan bahasa Bali sebagai alat
komunikasi interetnis. Bahasa Bali digunakan khususnya dalam ranah-ranah tertentu seperti ranah
keluarga, kekariban, religi, pekerjaan-khususnya pertanian, dan ranah kesenian. Penutur bahasa Bali
juga memiliki ranah-ranah tersendiri dalam yang tanpa di sadari telah meningkatkan fungsi bahasa
Bali. Hal itu terlihat dari munculnya organisasi informal yang tergabung dalam sekeha-sekaha
(kelompok-kelompok) tertentu seperti sekaha gong, sekeha igel, sekeha tajen, sekeha mancing . Anggota
sekeha tersebut penutur bahasa Bali yang memiliki kesenangan yang sama dan rasa identitas etnis yang
sama. Dalam berinteraksi mereka menggunakan bahasa Bali. Tanpa mereka sadari, para penutur bahasa
Bali tersebut telah mengembangkan status fungsional bahasa Bali. Meskipun pengembangan sudah
dilakukan, namun peningkatan mutu berbahasa tetap perlu dilakukan di kalangan penutur Bahasa Bali
dalam hal ini transmigran Bali (Malini: 2011).
Berdasarkan hasil penelitian terhadap sistem pewarisan bahasa Bali ditemukan fakta bahwa
sistem pewarisan bahasa Bali terhadap generasi muda Bali berlangsung secara alamiah melalui jalur
informal dan non formal.
Bahasa Bali di Lampung tidak diajarkan sebagai bidang studi tersendiri di sekolah, tetapi
biasanya di selipkan dalam pelajaran agama Hindu. Hal tersebut dinyatakan oleh informan
mengenai pengajaran bahasa di sekolah, seperti pernyataan berikut.
12
Kutipan
[…………]
I
: Untuk pendidikan bahasa Bali di Lampung bu...Sebenarnya kita sekarang kan wajib mengikuti
bahasa lokal bu..Jadi anak-anak disini ya belajar Bahasa Lampung. ..
P
: Oh..ya.. Dari kelas satu ya bu..?
I
: Ya.. dari kelas satu sampai enam. Mereka bisa berbahasa Lampung, tapi ya tidak nyantol ... karena
mereka kan tidak pakai sehari-hari... Jadi kalau disuruh ngerjakan tugas sekolah ya mereka bisa..
P
: Aksaranya gimana bu...?
I
: Bisa... mereka bisa aksara Lampung...
P
: Gurunya bu...?
I
: Ya.. orang Bali atau Jawa...ndak ada yang orang Lampung. Jadi kemampuan gurunya ya begitu
bu...karena ndak pernah dipakai sehari-hari. Kalau Bahasa Bali hanya diselip-selipkan saja bu
kalau ada pelajaran agama Hindu... Tapi kan masalahnya kalau guru agamanya itu orang Bali,
kalau orang Jawa ? Soalnya agama Hindu itu kan tidak hanya orang Bali ya bu.. Ya akhirnya ndak
bisa juga... Menurut saya ya bu... Sekarang ini banyak orang salah kaprah tentang pengajaran
bahasa Bali. Bahasa itu diajarkan kepada anak ketika anak sudah besar. Jadi anak itu susah
bisanya bu.. Kalau saya ya bu..meskipun saya bukan Bali asli—saya ini sebetulnya keturunan Jawa
bu.., tapi saya sudah diangkat anak oleh orang Bali sejak kecil dan menikah sama orang Bali..—tapi
saya bisa berbahasa Bali, ya..walaupun yang bahasa halus tidak bisa bu.. Saya di rumah selalu
berbahasa Bali dengan keluarga. Walaupun anak-anak kadang-kadang menjawab dengan bahasa
Jawa atau Indonesia tapi saya tetep Bahasa Bali. Ke cucu saya pun saya selalu berbahasa Bali .
Karena bu.. menurut saya anak-anak kecil itu di rumah harus diajarkan bahasa daerahnya
sendiri, ya kalau kita kan Bahasa Bali ya. Bu.. Kalau yang orang Jawa ya.. bahasa Jawa. Bahasa
Indonesia ndak usah diajarkan di rumah pun nanti mereka otomatis TK aja udah bisa kok.. wong
bahasa pengantar di sekolah dan lingkungan begini kok.. Jadi intinya bu... bahasa Bali itu harus
diajarkan sejak awal, kalau ndak gitu bisa punah bu... Wong anak saya, saya marahi bu.. kalau
pake bahasa Indonesia..
P
: Kalau dimasukkan kurikulum bu....?
I
: Idealnya begitu bu... Tapi kan banyak orang.. ya susah juga.. Seperti murid saya bu...hampir
seluruhnya orang Jawa.., dua orang aja yang Hindu Bali, 2 orang Hindu Jawa .. Kalau diajarkan
bahasa Bali... ya repot juga bagi anak yang lain. Tapi caranya ya itu tadi bu.. pintar-pintarnya guru
agama Hindu Bali menyelipkan dan dilatih di rumah.
Dari uraian informan terlihat bahwa bahasa Bali tidak diajarkan di sekolah secara formal tetapi
hanya diselipkan saja pada mata pelajaran agama Hindu dan tentu saja dilakukan oleh guru agama Hindu
etnis Bali. Dapat diprediksi bahwa pembelajaran bahasa Bali di sekolah tidak berlangsung secara sistematik.
Informan juga tidak mengabaikan bahwa ditemukan kendala dalam pengajaran Bahasa Bali di sekolah yaitu
bahwa jumlah penutur Bali lebih sedikit daripada penutur bahasa mayoritas. Namun demikian, informan juga
mempunyai pandangan yang bahwa bahasa Bali harus diajarkan sejak dini dan dimulai dari rumah tangga.
Melihat fenomena yang terjadi mengenai pengajaran bahasa, informan juga menunjukkan kekhawatirannya
akan kepunahan bahasa Bali di masa mendatang. Kekwatiran tersebut perlu dijawab oleh berbagai pihak
khususnya penutur bahasa Bali itu sendiri.
Selain diselipkan pada pelajaran agama Hindu di sekolah, secara lebih terstruktur p elajaran bahasa
dan aksara Bali diajarkan di jalur nonformal, yaitu di pasraman-pasraman yang ada di Lampung seperti
yang terlihat dalam jadwal pelajaran berikut.
13
Ni Luh Nyoman Seri Malini
Luh Ketut Mas Indrawati
Gambar 1. Kurikulum Bahasa Bali di Pasraman Aditya Dharma.
Berdasarkan informasi yang diberikan oleh informan bahwasanya ketersediaan guru yang mahir
mengajarkan bahasa Bali di sekolah dan di lembaga nonformal seperti pasraman di Lampung sangat
terbatas. Ketiadaan buku pelajaran bahasa Bali juga menyulitkan para guru dan murid untuk mendapatkan
materi pelajaran bahasa Bali yang memadai. Kondisi riil di lapangan menuntut pemerintah dan penutur
bahasa itu sendiri untuk bersinergi dalam upaya pembinaan dan pengembangan bahasa daerah khususnya
dalam hal pendidikan.
Namun demikian berdasarkan pengamatan di lapangan, beberapa pura di Lampung
Tengah sudah menggunakan papan nama yang menggunakan aksara Bali, seperti terlihat pada
gambar berikut.
Gambar 2. Keberadaan aksara Bali pada Pura di Lampung
Dari fakta gambar di atas terlihat telah adanya upaya sosialisasi aksara Bali oleh tingkat elit Hindu
etnis Bali. Upaya lebih jauh terhadap sosialisi aksara Bali khususnya pada ranah-ranah sensitif seperti awigawig tampaknya belum dapat dilakukan oleh transmigran Bali. Hal tersebut dikarenakan karena keterbatasan
transmigran Bali dalam memahami aksara Bali. Upaya penggunaan aksara Bali juga telah dilakukan oleh
kalangan populis yaitu orang yang berpengaruh di kalangan transmigran Bali dengan menandai selesainya
pembangunan rumahnya seperti terlihat pada gambar berikut.
14
Gambar 3. Aksara Bali di rumah transmigran Bali
Pada saat ini penulisan aksara Bali oleh transmigran Bali masih menggunakan cara manual.
Transmigran Bali belum tersentuh penulisan aksara Bali dengan komputer dengan program Bali Simbar.
Aplikasi program Bali Simbar adalah piranti lunak aksara Bali. Bagi transmigran Bali hal tersebut
merupakan kendala tersendiri dalam upaya sosialisasi aksara Bali. Bagi transmigran Bali yang umumnya
berprofesi sebagai petani dan sebagian besar belum paham terhadap komputer jadi mengaplikasikan
program Bali Simbar merupakan sesuatu yang rumit. Bagi kaum terpelajar penggunaan dan penyebar luasan
informasi melalui aksara Bali juga merupakan kendala karena aksara Bali belum dikuasai oleh transmigran
Bali khususnya kalangan generasi muda (Malini, 2011)
Berdasarkan kutipan dan hasil observasi tersebut didapatkan gambaran bahwa upaya pewarisan
bahasa Bali dilakukan secara informal melalui lingkungan keluarga karena secara formal, melalui jalur
pendidikan, tidak ada kebijakan yang mengakomodasi untuk diajarkannya bahasa etnis asal di daerah
transmigrasi. Oleh karena itu, kemampuan berbahasa Bali anak cenderung lemah dan tidak standar, terlebih
lagi kondisi sosial di daerah transmigrasi yang beraneka ragam mengharuskan mereka untuk menguasai lebih
dari satu bahasa untuk bisa berkomunikasi dengan etnis lainnya. Selain itu, kekerapan mereka berkontak
dengan etnis lain berakibat pada menurunnya pajanan terhadap bahasa Bali dalam kehidupan transmigran
Bali. Sehingga dapat dikatakan bahwa dinamika kebahasaan yang terjadi terdiri atas dua garis besar, yakni 1)
Pajanan terhadap bahasa Bali di Lampung cenderung berkurang akibat faktor sosial-budaya; dan 2) Sistem
pewarisan bahasa Bali yang hanya mungkin ditempuh secara infomal melalui lingkungan keluarga
menyebabkan penggunaan atas bahasa Bali menjadi terdevaluasi karena bahasa Bali tidak berkembang
sesuai dengan fungsi sosiolinguistiknya. Faktor pendorong hal ini terutama disebabkan oleh menurunnya
penguasaan dan pemahaman terhadap bahasa Bali secara formal. Jadi secara implisit bisa dilihat bahwa
kedua hal tersebut saling terkait satu sama lain. Grosjean (1995:240) dan Fasold (1987:83) mengatakan
bahwa usaha pelestarian B 1 sangat bergantung pada situasi tempat bahasa itu digunakan, faktor pribadi, dan
faktor sikap. Faktor pribadi terkait dengan anak itu sendiri dan faktor sikap mengacu kepada sikap anak itu
sendiri, sikap orang tua anak, sikap keluarga dekat anak yang tinggal bersama, sikap teman-teman, guruguru, dan faktor lingkungan (Romaine,1995:236).
Sutjaja (1996:220) menyampaikan bahwa komunitas Bali di Lampung menghadapi dua
permasalahan pada saat bersamaan, yakni (a) memudarnya penggunaan aras tutur (speech level) dan
tergantikan oleh penggunaan bentuk lumrah secara lebih dominan dan (b) bahasa Bali semakin jarang
dipergunakan dan tergantikan oleh Bahasa Indonesia dan bahasa Jawa. Hal itu dapat dikatakan bahwa bahasa
Bali yang dipergunakan di Lampung merupakan bentuk yang paling sederhana yang penggunaannya
dipertahankan di sepanjang pura-pura dan kuil Bali sebagai penanda utama identitas ke-Bali-an mereka.
Pejanan (exposure) terhadap Bahasa Bali menjadi jauh berkurang karena kontak dengan orang non-Bali yang
berbicara dalam bahasa Indonesia atau Jawa menjadi kian intensif yang mengharuskan orang Bali
menggunakan Bahasa Indonesia sebagai Lingua Franca. Bahkan, secara sosial anak-anak menjadi lebih
sering berbahasa Jawa kepada tetangga Jawa mereka, sebaliknya anak-anak Jawa amat jarang yang
berbahasa Bali. Dalam situasi menurunnya penggunaan bahasa Bali, dikatakan Sutjaja (1996:220) bahwa
kesenian memegang peranan vital dalam upaya pemertahanan bahasa Bali di Lampung seperti yang terjadi di
Bali. Berbagai bentuk kesenian mengemban peranan tersebut walaupun bentuk-bentuk kesenian ini telah
15
Ni Luh Nyoman Seri Malini
Luh Ketut Mas Indrawati
mengalami perubahan. Rekaman-rekaman seni tradisional dan kesusastraan (pepaosan, kidung, arja, drama
gong, dan wayang) yang didatangkan dari Bali dapat dianggap cara termudah untuk menjaga akses tradisi
Bali di Lampung.
SIMPULAN DAN SARAN
Penguasaan bahasa Bali sebagai bahasa ibu etnis Bali di Lampung berlangsung secara
alamiah. Artinya bahwa bahasa dikuasai karena interaksi dengan pemakai dalam pemakaian bahasa
yang dikuasai. Sistem dan mekanisme pewarisan bahasa baik yang dilakukan pada ranah formal
maupun informal Penguasaan bahasa ibu seperti ini tidak dirancang secara sistematik-formal.
Analisis terhadap sikap bahasa para responden terhadap bahasa Bali menunjukkan bahwa para transmigran
memiliki sikap positif terhadap bahasa Bali. Hal ini menjanjikan dampak yang cukup prospektif bagi
pemertahanan bahasa Bali di Lampung. Akan tetapi kondisi ini perlu didukung oleh model dan sistem
perencanaan bahasa yang komprehensif dan sesuai dengan konteks situasi kebahasan yang dialami
transmigran Bali. Alternatif model perencanaan bahasa yang dapat diperhitungkan adalah perencanaan
bahasa dengan prosedur perencanaan bahasa yang difokuskan pada fungsi bahasa dan dimensi perencanaan
yang difokuskan pada perencanaan pemerolehan bahasa (acquisition planning). Acquisition planning
menitikberatkan pada pengajaran dan pembelajaran bahasa, baik itu bahasa nasional, bahasa kedua atau
bahasa asing. Hal ini meliputi usaha-usaha untuk mempengaruhi jumlah pengguna dan distribusi suatu
bahasa dan aksaranya yang didapatkan dengan membuat suatu kesempatan dan insentif untuk mempelajari
bahasa yang bersangkutan. Acquisition planning berhubungan langsung dengan penyebaran suatu bahasa.
Hal ini biasanya dilakukan oleh suatu badan yang bertanggung jawab terhadap pengembangannya baik
dalam tingkat nasional, regional, atau lokal.
DAFTAR PUSTAKA
Abdullah, I. 2006. Konstruksi dan Reproduksi Kebudayaan. Yogyakarta: Pustaka Pelajar
Aitchison, J. 1991. Language Change: Progress or Decay. Sydney: Cambridge University Press
Alwasilah, C. 2002. Pokoknya Kualitatif: Dasar-Dasar Merancang dan Melakukan Penelitian Kualitatif.
Jakarta: PT. Dunia Pustaka Jaya
Alwi, Hasan. 2001. “Kebijakan tentang Bahasa Daerah “ dalam Dendy Sugono dan Abdul Rozak Zaidan
(eds).Bahasa Daerah dan Otonomi Daerah, Risalah konferensi Bahasa Daerah.hal 38-47. Jakarta:
Pusat Bahasa
Azwar, S. 2008. Sikap Manusia : Teori dan Pengukurannya (edisi kedua). Yogyakarta: Pustaka Pelajar
Bagus, I. G. N. 2003. “Hidup Bersama dan Etik Multikultural: Peluang dan Tantangannya dalam Hidup
Berbangsa” dalam Martono dkk (ed). Hidup Berbangsa dan Etika Multikultural. Universitas
Surabaya: Forum Rektor Indonesia Simpul Jawa Timur
Bell, R. T. 1976. Sociolinguistics: Goals, Approaches, and Problems. London: Batsford
Blum, L. A. 2001. “Antirasisme, Multikulturalisme, dan Komunitas antar-ras: Tiga Nilai yang Bersifat
Mendidik bagi Sebuah Masyarakat Multikultural” dalam L. May, S. Collins-Chobanian, dan K.
Wong (ed). Etika Terapan I: Sebuah Pendekatan Multikultural (terj). Hal. 15-25. Yogyakarta: PT.
Tiara Wacana
Budiono, P., Sugeng, P. H., dan Setiawan, A. 1997. “Strategi Budaya dalam Rangka Transformasi Budaya di
Daerah Transmigrasi” dalam Muhajir Utomo & Rofiq Ahmad (ed). 90 Tahun Kolonialisasai, 45
Tahun Transmigrasi. Hal 185-190.Jakarta: Puspawara
Chamber, J.K. 2003. Sociolinguistic Theory. UK/USA: Blackwell Publisher
Collins, J. T. 2006. ”Bahasa Daerah yang Terancam Punah: Tinjauan di Maluku dan Kalimantan”. Makalah
disajikan dalam Seminar Pelestarian Bahasa Daerah diselenggarakan oleh Pusat Bahasa
Departemen Pendidikan Nasional, Jakarta, 9 Desember
16
Dhanawathy, N. M. 2001. “Bahasa Jawa bagi transmigran Bali di Lampung Tengah: Sebuah Fenomena yang
mengisysratkan Pentingnya Pembinaan Bahasa Daerah Asal di Daerah Transmigrasi”. Makalah
dalam Kongres Bahas Jawa III di Yogyakarta.
Englebretson, R. 2003. Searching for Structure: The Problem of Complementation in Colloquial Jakarta
Indonesian Conversation. Amsterdam: John Benjamin Publishing
Fasold, R. 1984. The Sociolinguistics of Society. Oxford: Basil Blackwell
Fay, B. 2002. Filsafat Ilmu Sosial Kontemporer. Yogyakarta:Penerbit Jendela
Garvin, P.L dan Matthiot, M. 1968. “The Urbanization of the Guarani Language: Problem in Language and Culture”
dalam Fishman, Joshua (ed). Reading in the Sociology of Language. Mouton: The Hague
Geertz, C. 1959. “Form and Variation in Balinese Village Structure” dalam American Anthropologist, 61, hal.
991-1012
Grosjean, F. 1982. Life with Two Languages: An Introduction to Bilingualism. England: Harvard University Press.
Hamers, J. F. dan Blanc, M. H. A. 1989. Bilinguality and Bilingualism. Cambridge: Cambridge University Press.
Hasanudin. 2009. “Wacana Identitas Etnik Masyarakat Minangkabau di Bali” (Disertasi). Denpasar:
Universitas Udayana
Haugen, E. 1974. “Dialect, Language, Nations” dalam Pride, J. B dan Holmes, J (ed). Sociolinguistics.
London: Penguin Books
Haugen, E. 1978. “Bilingualism, Language Context, and Immigrant Language in the United States” dalam
Fishman, J. A. (ed). Advances in the Study of Social Multilingualism. The Hague: Mouton
Koentjaraningrat. 1985. Manusia dan Kebudayaan di Indonesia. Jakarta: Djambatan
Koesoebjono. 2000. “Towards a new Javaneseness” makalah yang disajikan pada The 12th Workshop of the
European Social Science Java Network/ESSSJN Amstredam, 20-21 Januari 2000
Krauss, Michael. 1992. “The World’s Languages in Crisis”. Languages LXVIII.1:4-10.
Labov, W. 1994. Principles of Linguistic Change. USA: Blackwell Publishers
Langacker, R, 1972. Fundamental of Linguistic Analysis. New York: Harcourt
Lincoln, Y dan Guba, E. 1985. Naturalistic Inquiry. Beverly Hills:Sage Publications
Lukman. 2002. “Pemertahanan Bahasa Warga Transmigran Jawa di Wonomulyo-Polmas” dalam Buku
Panduan Kongres Linguistik Nasional X. Denpasar: Masyarakat Linguistik Indonesia, Pusat Bahasa,
dan Fakultas Sastra Universitas Udayana
Mackey, W. F. 1968. “The Description of Bilingualism” dalam Fishman, J. A. (ed). Readings in the
Sociology of Language. The Hague: Mouton
Mahsun. 2005. Metode Penelitian Bahasa. Jakarta: PT RajaGrafindo
Malini, Ni Luh Nyoman Seri. 2011. ” Dinamika Bahasa Bali di Daerah Transmigran di Provinsi Lampung’’.
Disertasi. Universitas Udayana. Denpasar
Moeliono, A. M. 2010. ”Kebijakan Bahasa dan Perencanaan Bahasa di Indonesia: Kendala dan Tantangan”.
Makalah disajikan pada Simposium Internasional Perencanaan Bahasa diselenggarakan oleh Pusat
Bahasa Departemen Pendidikan Nasional, Jakarta
Pelly, U. 1994. Urbanisasi dan Adaptasi; Peranan Misi Budaya Minangkabau dan Mandailing.
Jakarta:Pustaka LP3ES Indonesia.
Poedjosoedarmo, S. 1982. “Javanese Influence on Indonesian”. Material in Languages of Indonesia. No. 7.
Series. D. Canberra: Pacific Linguistics
Pretty, J. et al. 1996. Participatory Learning and Action : Trainer’s Guidline. IIED
Salim, A. 2002. Perubahan Sosial: Sketsa Teori dan Refleksi Metodologi Kasus Indonesia. Yogyakarta: PT.
Tiara Wacana
Sardjadidjaja, R. 2004. Transmigrasi: Pembauran dan Integrasi Nasional.Jakarta: CV. Muliasari
Sobarna, C. 2007. ”Bahasa Sunda Sudah di Ambang Kematiankah?” dalam Makara: Humaniora, Sosial, jilid
11, No. 1, hal 13-17
Suhardi, B. 1996. Sikap Bahasa: Suatu Telaah Eksploratif atas Sekelompok Sarjana dan Mahasiswa di
Jakarta. Depok: Universitas Indonesia
Suherdi, D. 2010. “Menempatkan Bahasa Ibu pada Kedudukannya yang Paling Tepat: Menjamin Keadilan
bagi Kaum Minoritas” makalah disajikan pada Simposium Internasional Perencanaan Bahasa
diselenggarakan oleh Pusat Bahasa Departemen Pendidikan Nasional, Jakarta
Sumarsono. 1993. Pemertahanan Bahasa Melayu Loloan di Bali. Jakarta: Pusat Pembinaan dan
Pengembangan Bahasa
17
Ni Luh Nyoman Seri Malini
Luh Ketut Mas Indrawati
Suparno, E. 2007. Paradigma Baru Transmigrasi: Menuju Kemakmuran Rakyat. Jakarta: Departemen
Tenaga Kerja dan Transmigrasi
Sutjaja, I. G. M. 1996. “Balinese Transmigrants in Lampung: Language Change and Traditions” dalam
Adrian Vickers (ed). Being Modern in Bali: Image and Change. New Haven: Monograph 43/Yale
Southeast Asia Studies.
UNESCO Ad Hoc Expert Group on Endangered Language. 2003. “Language Vitality and Endangerment”
(dokumen keputusan International Expert Meeting on UNESCO Programme Safeguarding of
Endangered Language, Paris, 10-12 Maret)
Wijaya, P. 1999. “Bali” dalam I Wayan Supartha (ed). Bali dan masa Depannya. Hal 183-198. Denpasar: PT
Bali Post.
Wolfowitz, C. 1991 Language Style and Social Space; Stylistic Choice in Suriname Javanese. Urbana and Chicago :
Universiy of Illinois Press.
18
Ni Luh Nyoman Seri Malini
Luh Ketut Mas Indrawati
DAFTAR ISI
HALAMAN SAMPUL
KATA PENGANTAR
DAFTAR ISI
LINGUISTIK MIKRO
Pronomina Persona dan Pemarkahnya Antardialek dan Subdialek Bahasa Sumba
Anak Agung Putu Putra
Struktur Sintaksis Bahasa Jawa Banyumas
Restu Sukesti
Objek Ganda dalam Bahasa Indonesia
Vinsensius Gande
Leksem Pengungkap Konsep ‘Aktivitas Memasukkan Makanan ke dalam Mulut’ dalam
Bahasa Indonesia
Nuryantini
Balinese Middle Constructions and Agentivity
I Nyoman Udayana
Verba Melihat dalam Bahasa Bali: Suatu Kajian Metabahasa Semantik Alamiah
Ni Wayan Suastini
Konstruksi Pasif Bahasa Kemak
I Wayan Budiarta
Struktur dan Peran Verba Emosi Bahasa Jawa Timur melalui Teori Natural Semantics
Metalanguage (NSM)
Fardini Sabilah
Klausa Relatif Bahasa Sumba Dialek Waijewa (BSDW)
Ni Wayan Kasni
A Comparative study on the Lexicon in Terms of Form and Meaning of Usapi Sonbai Dialect
and Taloetan dialect of Uab Meto Language
Oktaviana Takene
Verba Tindakan Bahasa Bali Berbentuk Reduplikasi Parsial - Tinjauan Metabahasa
I Nengah Sudipa
Colour System in Lamaholot Language: A Semantic Analysis
Katharina Laka Ola
2
Morphological Study of Verb constructions in Elopada Dialect of Sumbanese Language
Yohanes Leonardo Ate
Morphological Change of Noun and Verb in Helong Language
Yandres Answo Djedelbert Lao
Preposition in Tetum Praca: A Syntactic Analysis
Fernando de Araujo Castelo Branco
Demonstrative Pronouns in Ba’a Dialect
Polce Aryanto Bessie
The Study of Affixation Process Found in Dawan Language
Selvi Merlin Otemusu
Makna Bonet pada Kalangan Masyarakat Kabupaten Timor Tengah Selatan
Merson Nome
Verba Terjatuh dalam Bahasa Minangkabau: kajian Metabahasa Semantik Alami
Arif Rahman Hadi
Komplemen dalam Bahasa Jepang
Made ratna Dian Aryani dan I Gede Oeinada
Ideologi Penamaan Khusus pada Masyarakat Suku Bali
Ni Made Suryati
Bentuk, Fungsi, dan Makna Kontekstual Verba “Memotong” dalam Bahasa Jawa
Setyarti
Struktur Semantik Verba Tindakan dalam Bahasa Bali: Suatu Kajian Metabahasa Semantik
Alami
Ni Putu Candra Gunasari
Bahasa Dayak Ngaju: Fonotaktik
Ristati
LINGUISTIK MAKRO
Aspek dan Kala dalam Bahasa Jepang Sebagai Cerminan Sikap Orang Jepang Terhadap
Waktu
Ketut Widya Purnawati
Bahasa Bakul Jamu Gendhong di Pasar Sayur Magetan Kabupaten Magetan
Erlin Kartikasari
Sistem Pewarisan Bahasa Bali di Provinsi Lampung
3
Ni Luh Nyoman Seri Malini
Luh Ketut Mas Indrawati
Ni Luh Nyoman Seri Malini dan Luh Ketut Mas Indrawati
Menelusuri Jejak Evolusi Etimon Austronesia *babuy ‘babi’ dalam Sejarah Perkembangan
Bahasa Bali
I Ketut Paramarta
Cultural Differences in Declining Requests
Renny Anggraeny
Dinamika Sistem Sapaan Bahasa Bali: Cermin Mencairnya Hubungan Sosial Vertikal pada
Masyarakat Bali
Ni Made Dhanawaty
Realitas Kebahasaan Bahasa Indonesia Kontemporer: Sebuah Studi Bandingan Antara
Konsep PPBI dan KBBI Edisi 2008
Nurul Hidayat
Dari Strategi Linguistik Menuju Strategi Kebudayaan Perspektif Pemertahanan Bahasa
Lokal di Indonesia
Putu Sutama dan Maria A. Luardini
Keterancaman Bahasa Bugis di Kelurahan Waliabuku, Kecamatan Bungi, Kota Baubau,
Sulawesi Tenggara
Pammuda
Analisis Sistemik Genre dan Struktur Potensi Generik Teks dalam Bahasa Waijewa
Magdalena Ngongo
Pengetahuan Leksikon-leksikon Lingkungan Kesungaian Katingan Generasi Muda Katingan
Santang
Campur Kode Tuturan Bahasa Jepang dalam Komunikasi antara Orang Jepang dan Orang
Indonesia
Ni Putu Candra Lestari, Ni Luh Ernawati, Ni Wayan Prilya Sinta
Bahasa Jawa Kuna, Bahasa Ibu yang Ditinggalkan: Pembentuk Karakter Bangsa dari
Pramodern hingga Postmodern
Made Reland Udayana Tangkas
Pendekatan Ekolinguistik dalam Rangka Saling Melestarikan antara Bahasa, Budaya, dan
Lingkungan
Aron Meko Mbete
Sawer Pengantin Sunda (Kajian Tindak Tutur)
Rita Maria Sahara dan Lien Darlina
Metafora dalam Ritual Sesaji “Tuturangia Andala” di Masyarakat Pulau Makasar, Buron
Wiwik Marlia
4
Komponen Register dalam Artikel Berbahasa Bali “Nglestariang Tetamian Budaya Bali”
Desak Putu Eka Pratiwi dan I Gusti Agung Sri Rwa Jayantini
Menurunnya Pemakaian Basa Alus di kalangan Generasi Muda Bali
I Made Yogi Marantika, Putu Galih Perdana Putra, dan Made Suardika Yasa
Pidginization or Not? A Case Study on English Used by Community of Gili Terawangan,
Lombok
I Made Rai Jaya Widanta, Paul Suardi, Luh Nyoman Chandra Handayani
Pemertahanan Bahasa Bali Aga di Desa Belantih, Kintamani-Bali
Ni Luh Yuniarti dan Dwi Lina Sari Tanjung
Bentuk, Fungsi, dan Makna Doa Bapa Kami Berbahasa Bali dalam Perspektif Ekolinguistik
Putu Chrisma Dewi
Profil Bahasa Minangkabau sebagai Bahasa Mayor di Sumatera
Ni Putu N. Widarsini
Bahasa Indonesia dan Bahasa Perancis: bahasa Sexis atau Non-sexis?
Putu Weddha Savitri
Struktur Preferen sebagai Pembentuk Karakter Penutur dalam Komunikasi Berbahasa Bali
I Gusti Ngurah Parthama
Salam dalam Bahasa Jepang: Bentuk dan Fungsi
Ni Made Andry Anita Dewi
Variasi Respon Tuturan Pujian Bahasa Jepang dalam Materi Ajar Bahasa Jepang untuk
Pemula
Ni Luh Kade Yuliani Giri
Eksistensi Bahasa Bali sebagai Bahasa Ibu: pada Anak-anak di Era Kekinian
I Dewa Ag. Gd. Ag. Suryaningrat, I Nengah Suryawan, dan I Putu Aryadi Jaya
Tindak Tutur Kesantunan Guru TK B Harapan Mulia
Fahim
Campur Kode dalam Lirik Lagu Bali “JPDA”
I Gede Pariasa
Alih Kode pada Anak-anak Dwibahasa di SD Negeri 4 Sesetan
I Ketut Oka Ribawa
Makna Tembang “Bibi Anu” (Pendekatan Antrophological Linguistics)
Ni Made Ayu Widyastuti, Sang Ayu Isnu Maharani, dan Yana Qomariana
Pasif “Gangguan” dalam Bahasa Jepang: Suatu Tinjauan Sosiolinguistik
5
Ni Luh Nyoman Seri Malini
Luh Ketut Mas Indrawati
Ni Made Wiriani
LINGUISTIK TERAPAN
Pengaruh Model Pembelajaran Pakem Berbantuan Media gambar untuk Meningkatkan
Motivasi dan Hasil Belajar Bahasa Jepang Kelas X SMA Katolik Soverdi Tuban Tahun
Pelajaran 2013-2014
I Gusti Ayu Niken Launingtia
Penerapan Teori Kognitivisme Ausubel dalam Pembelajaran Bahasa Inggris di Taman Kanak
Kanak
P. A. Angandari
Pemerolehan Bunyi Bahasa Indonesia pada Anak Usia 4 Tahun
Astri Mayasari
Learning Adonara Language by Sentence: A Syntactic Analysis
Patrick P. B. Mikael
Mengajarkan Kesantunan Berbahasa Bali melalui Teks Sastra
I Gusti Ayu Gde Sosiowati
Mother Tongue’s interference in The Pronunciation of English fricative consonants by
Balinese EFL Learners
I Kadek Restu Sumaranama
Pemerolehan Fonosintaktik pada Bilingualisme: Sebuah Studi Kasus Bahasa Sasak Indonesia pada Anak Usia Tiga Tahun
Irma Setiawan
An Effective and Efficient Way to Teach Two Different Registers in The Javanese Language at
The Same Time
Erna Zulaeni Wiles
Pemerolehan Bahasa Pertama Anak Usia Dua Tahun
Anak Agung Istri Manik Warmadewi
Penerapan Model Pembelajaran Berbasis Masalah dalam Kegiatan Pembelajaran Menulis
Teks Negosiasi
Gede Adistana Wira Saputra
Faktor “Kepribadian” dalam Pemerolehan Bahasa Indonesia bagi Orang Asing di
Lembongan
I Nyoman Mokoh Wijaya
Literal and Iniomatic Translation in Love and Death in Bali by Vicki Baum
Ni Made Kajeng Martha Puspita
6
Kesalahan Kata Ganti dan Ejaan dalam Karangan Deskriptif Berbahasa Inggris Konteks
Perkenalan Diri
Gusti Agung Ayu Dwi Wella Suhartatik
Implicit Situational in The Witch of Portobello and Its Translation Penyihir dari Portobello
Made Nunik Sayani
Kesepadana Makna Bahasa Inggris pada Papan Informasi di Wilayah Pura di Bali
Putu Ayu Asti Senja Pratiwi, Ni Luh Putu Krisnawati, Yana Qomariana, I Komang Sumaryana
Putra, Putu Weddha Savitri
Serial Verb found in Tapaleuk Rublic and The Sketch of Translating It: A Semantic Analysis
Teofilus Manu
Pelestarian Bahasa Ibu melalui Teknik Penerjemahan Adaptasi
Frans I Made Brata
Noun and Adjective Clause Translation of The Catwoman Text
Bonari
Equivalence and Shifts in Translating Noun Phrases from English into Indonesian
I. G. A. Agung Sintha Satwika
The Analysis of Translation Methods in Translating The cultural Terms Used in The Novel
Entitled The King, The Witch and The Priest by Pramoedya Ananta Toer
Putu Widna Yuniwahari
Roles Played by Semantic Theory on Translating SL into TL
Anita Permatasari
Penguasaan Kosakata Bahasa Inggris Anak Usia Dini dalam Kelas Bilingual
I Gusti Ayu Sri Krisnawati
Pengaruh Sikap Bahasa da Motivasi Belajar Bahasa terhadap Prestasi pada Mata Pelajaran
Bahasa Inggris dan Bahasa Indonesia Siswa SMA di Denpasar
I Gede Agus Suthanaya
Pengaruh Penggunaan Multimedia terhadap Keterampilan Menulis Huruf Hiragana dan
Katakana Peserta Didik di SMK Duta Bangsa Denpasar Tahun Pelajaran 2013/2014
Ni Wayan Ratih Darmayani
Semantic Role Play in Reality: Ideology of Impossibility of Translation
Polce Aryanto Bessie
Metodologies for Translation in The Legendary Story “Romeo and Juliet”
Ni Komang Lilik Arikusuma
7
Ni Luh Nyoman Seri Malini
Luh Ketut Mas Indrawati
Interference and Integration in Short Story Entitled “Just A dream” Written by Dwi Rahma
Sari
Ni Kadek Risda Apriantika Dewi
SASTRA
Tradisi Lisan Jawa Tondano di Gorontalo sebagai Kontribusi Pendidikan Karakter dan
Penguatan Jati Diri
Muawal Panji Handoko
Budaya Kritik di Ranah Tradisi lewat Media Modern: Studi Seni Magegitan melalui Radio di
Bali
I Wayan Suardiana
Makna dan Nilai Dibalik Cium Sabu
Lanny I. D. Koroh
Estetika Syair Danding pada Masyarakat Manggarai Timur
Imelda Olivia Wisang
Daya Hidup Bahasa Arkais Lamaholot dan Revitalisasinya dalam Bidang Sastra
Yoseph Yapi Taum
Meaning and Value Behind The Rituals Dab’a Ana in Jingitiu Belief on Sabu Island
Linda R. Tagie
“Kecantikan” Dewi Bharali Prajna Paramita dalam Kakawin Jinarthi Prakreti
Ida Bagus Rai Putra
Kajian Humor Berbahasa Bali dalam Pertunjukan Wayang Cenk Blonk
Putu Nur Ayomi
Lopo
Roby Nitbani
Metaphor Analysis of The Song “I Won’t Give Up” by Jason Thomas Mraz
Foni Nofita Fanggi
Sikap Religius dalam Novel “The Scarlet Letter” Karya Nathaniel Hawthorne
Ni Nyoman Tri Sukarsih dan Komang Tri Sutrisna Agustia
Seni Pertunjukan Dulmuluk: Upaya Pemertahanan Seni Budaya Lokal
Linny Oktovianny
Gaya Bahasa Komunitas Waria di Kota Manokwari: Sebuah Deskripsi Awal
Merry C. Rumainum
Simbol Rumah Adat Khowa Dhawe pada masyarakat Dhawe-Aesesa Kabupaten Nagekeo
8
Maria Marietta Bali Larasati
Ritual Koe Toko Embu Kajo Tradisi Masyarakat Roworeke Kabupaten Ende NTT
Veronika Genua
Kisah Persahabatan Angsa dan Kura-kura: Refleksi Pengendalian Emosi
I Ketut Ngurah Sulibra dan I Wayan Suteja
Pembentukan Karakter Anak Jepang melalui Puisi
Silvia Damayanti dan Ni Putu Luhur Wedayanti
Penguatan Identitas Kehinduan melalui Ritual Otonan
A. A. Kade Sri Yudari
Peranan Sekaa Santi dalam Pelestarian Bahasa dan Sastra Bali di Tingkat Pelajar Kabupaten
Badung
9
Ni Luh Nyoman Seri Malini
Luh Ketut Mas Indrawati
SISTEM PEWARISAN BAHASA BALI DI PROVINSI LAMPUNG
Ni Luh Nyoman Seri Malini
Luh Ketut Mas Indrawati
Universitas Udayana
[email protected]
Abstract
This paper aims at discussing to real condition of Balinese (trans-) migrant in Lampung Province related to
their efforts to develop Balinese language in Lampung Province. The research were conducted in Middle
Lampung Regency with participation observation method. The results showed that the inheritance system of
Balinese Languange by Balinese (trans-) migrants in Lampung region occurred informally and non-formal.
Key words : Balinese, Language, transmigrant, Lampung.
PENDAHULUAN
Bahasa adalah cara pandang dan pola pikir masyarakat pemakainya. Melenyapkan satu
bahasa identik dengan melenyapkan pola pikir manusia. Oleh karena itu, Koentjaraningrat (1985)
memasukkan bahasa sebagai salah satu aspek utama kebudayaan. Kita bisa mempelajari
pengetahuan tentang cara mengelola lingkungan, cara bertahan hidup, pengobatan, perbintangan,
dan lain-lain suatu bangsa dari bahasa bangsa tersebut. Pengetahuan tersebut secara turun-temurun
diwariskan baik dalam bentuk tulisan maupun lisan. Terkait dengan pewarisan bahasa , peran
orang tua menjadi sangat sentral. Orang tua merupakan mata rantai “pewarisan” bahasa daerah
ke anak-anaknya. Jika si anak tidak menggunakan bahasa daerah tersebut, maka kemungkinan
besar anak cucunya tidak memakai bahasa daerah tersebut. Ketidakterpakaian bahasa secara
berkesinambungan dengan jumlah penutur yang terus menurun merupakan permulaan kepunahan
suatu bahasa.
UNESCO sangat prihatin dengan ancaman kepunahan bahasa-bahasa ibu di dunia. Dalam
beberapa tahun terakhir di Indonesia, terjadi penurunan jumlah bahasa ibu, seperti di Papua
dari 273 bahasa menjadi 271 bahasa, di Sumatera dari 52 bahasa kini 49 bahasa, dan di
Sulawesi dari 116 bahasa turun menjadi 114 bahasa. Untuk itu, UNESCO pun merasa perlu
menetapkan hari bahasa ibu internasional yang jatuh setiap tanggal 21 Februari. Salah
satu kegitan yang dapat dilakukan untuk mencegah ancaman kepunahan suatu bahasa
adalah dengan mengindentifikasi sistem pewarisan bahasa ibu yang ada di daerah
transmigran seperti misalnya sistem pewarisan Bahasa Bali oleh transmigran Bali di
Provinsi Lampung.
METODE
Penelitian ini dilakukan di wilayah transmigran Bali di Provinsi Lampung. Provinsi Lampung
termasuk provinsi yang penduduknya heterogen karena terdiri dari berbagai macam suku bangsa. Hal
tersebut dikarenakan sejarah Provinsi Lampung yang selalu membuka program transmigrasi dari daerah
manapun di Indonesia.
Provinsi Lampung dipilih sebagai tempat penelitian karena daerah ini merupakan daerah tujuan
transmigrasi pertama dengan jumlah kepala keluarga terbesar bagi transmigran Bali. Adapun daerah yang
menjadi fokus penelitian adalah enam desa di tiga kabupaten berbeda yang menjadi desa rintisan
10
transmigrasi dan daerah tujuan transmigrasi penduduk provinsi Bali. Desa-desa yang menjadi lokasi
penelitian adalah Desa Rama Gunawan, Rama Dewa, dan Rama Nirwana di Kabupaten Lampung Tengah;
Desa Toto Mulyo dan Mesuji di Kabupaten Tulang Bawang; dan Desa Rejobinangun Raman Utara di
Kabupaten Lampung Timur. Data penelitian bahasa terdiri dari tiga jenis, yaitu ujaran lisan, data tulis, dan
instuisi bahasa peneliti (Langacker, 1972:15). Intuisi dapat dipakai apabila peneliti sekaligus sebagai penutur
asli dari bahasa yang sedang diteliti. Penelitian ini memanfaatkan dua jenis data, yaitu data lisan dan intuisi
bahasa peneliti. Data lisan dikumpulkan dari kata-kata dan tindakan nyata warga transmigran Bali.
Pemerolehan data dilakukan dengan menggunakan metode observasi dan metode wawancara. Analisis data
penelitian ini menggunakan teknik analisis data secara kualitatif dan secara kuantitatif.
KAJIAN PUSTAKA
Wolfowitz (1991) melakukan penelitian terhadap masyarakat imigran Jawa di Suriname. Masyarakat Jawa di
Suriname berasal dari desa di Jawa Tengah yang memiliki budaya Jawa yang ’tinggi’. Dengan menggunakan pendekatan
antropologi dan sosiologi, penelitian ini mengamati pilihan bahasa masyarakat Jawa di Suriname. Penelitian itu
menemukan bahwa generasi pertama menganggap kompetensi stilistik merupakan hal yang sangat penting pada status
sosial, sedangkan bagi sebagian kecil generasi kedua dan ketiga kompetensi tersebut merupakan masalah pendidikan
yang terkait dengan penghormatan. Hal lain yang ditemukan Wolfowitz pada masyarakat migran Jawa adalah bahwa
mereka memiliki paradigma leksikal yang harus dikuasi oleh semua orang dewasa dan remaja dalam berbagai
interaksi sosial.
Koesoebjono (2000) mengatakan bahwa para migran asal Jawa di Suriname yang berjumlah
sekitar 400.000 orang menduduki peringkat ketiga setelah orang- orang Creoles dan Hindu. Leluhur para
migran ini tiba pertama kali di Suriname pada tahun 1890 sebagai pekerja. Sebagian besar dari mereka
tinggal di Groningen, Amsterdam, Den Haag, Rotterdam, 'sHertogenbosch dan Zoetermeer. Meskipun
mereka telah berhasil berintegrasi dengan kehidupan dan budaya Belanda, mereka berupaya terus menerus
untuk mempertahankan identitas etnis kejawaannya dengan berbagai cara. Salah satu kegiatan yang
belakangan dilakukan adalah dengan memperingati perayaan 110 tahun tibanya para migran pertama dari
Jawa di Suriname. Keinginan orang-orang Jawa Suriname untuk mempertahankan dan mengembangkan
kebudayaan asal mereka terlihat jelas dari usaha-usaha yang dilakukan seperti mendirikan lembaga-lembaga
kerakyatan tradisional yang mereka kenal ada di Jawa. Mereka juga mengajarkan bahasa Jawa kepada
generasi muda mereka dan mewariskan tradisi-tradisi beserta ekspresi-ekspresi kebudayaan Jawa, seperti
pertunjukan wayang kulit, jaran kepang, tayuban, dan gamelan (Gooswit, 1988 dalam Koesobjono, 2000).
Mereka juga menyelenggarakan upacara slametan, merayakan akhir bulan puasa (lebaran atau bodo),
pernikahan ala Jawa, mitoni (upacara usia kehamilan tujuh bulan), dan sunatan. Seperti halnya di Jawa,
mereka memiliki orang-orang yang mempunyai keterampilan khusus untuk melakukan upacara-upacara yang
telah diungkapkan di atas, seperti dukun bayi (membantu orang melahirkan), dukun manten (memimpin
upacara perkawinan), dan dukun sunat (dalam upacara sunatan).
Penelitian ini menunjukkan bahwa pewarisan kebudayaan disampaikan secara oral dan sebagai
konsekuensinya adalah banyak aspek kebudayaan menjadi kabur, menyimpang dari aslinya, dan
mendapatkan interpretasi-interpretasi baru, atau bahkan hilang seiring perjalanan waktu. Adanya interpretasi
dan pemaknaan tradisi yang berbeda dan digunakannya kata-kata yang bervariasi oleh masyarakat
menunjukkan bahwa mereka datang atau berasal dari daerah yang berbeda di Jawa yang kemudian
berdampak pula terhadap praktek formal kehidupan keagamaan mereka. Didapatkan pula bahwa saat ini
kebudayaan Jawa Suriname telah dipengaruhi oleh kebudayaan kelompok etnis lain, termasuk juga oleh
budaya barat.
Dikatakan bahwa bahasa Jawa yang diwariskan kepada generasi muda Jawa Suriname merupakan
bagian dari ekspresi-ekspresi kebudayaan Jawa. Ini ditunjukkan dengan masih dipeliharanya aras tutur
bahasa Jawa yang diajarkan oleh migran generasi pertama di Suriname, seperti Jawa ngoko (variasi bahasa
Jawa untuk mereka yang memiliki status sosial rendah) dan sebaliknya Jawa kromo (variasi bahasa Jawa
untuk orang yang status sosialnya tinggi).
Hal tersebut dialami juga oleh warga migran di berbagai belahan dunia lain, misalnya penelitian
yang dilakukan oleh Dil dan Curry (1981:159) di Amerika Serikat pada tahun 1924 mengenai keberagaman
bahasa dan kontak bahasa. Mereka menyatakan bahwa dari tahun 1840 sampai dengan tahun 1924 di daerah-daerah
11
Ni Luh Nyoman Seri Malini
Luh Ketut Mas Indrawati
Amerika Serikat terdapat perkembangan penguasaan berbahasa para emigran. Pada tahun 1840 kaum emigran cenderung
menggunakan bahasa-bahasa kultur atau asalnya. Namun, pada tahun 1924 kaum emigran mengembangkan
kecenderungan hanya menggunakan satu bahasa, yaitu bahasa Inggris. Dapat disimpulkan bahwa generasi ketiga
kelompok emigran di Amerika Serikat cenderung melupakan bahasa kulturnya. Perubahan yang bersifat umum tersebut
menurut Dil (1981:266) ternyata memiliki pola-pola khusus. Dil, juga melaporkan hasil pengamatannya terhadap
perubahan kecenderungan penggunaan bahasa di negara-negara Eropa. Laporan tersebut menyatakan bahwa terdapat
kecenderungan perubahan penggunaan bahasa yang pada dasarnya bersifat individual sehingga membentuk gejala umum.
Artinya, makin dewasa individu suatu kelompok emigran atau kultur, makin besar kecenderungannya untuk meninggalkan
bahasa kultur dan menggunakan satu bahasa yang dipahami oleh anggota antarkultur.
Kismosuwartono (1991:107) yang mengkaji pola pengasuhan anak keluarga petani transmigran
Jawa dan Bali di Lampung Tengah. Salah satu aspek pembahasan yang dikemukakan yaitu penggunaan
bahasa Jawa oleh anak-anak transmigran Bali dalam kehidupan sehari-hari. Kendati pihak orang tua berbicara
bahasa Bali, anak-anak muda menjawabnya dengan bahasa Jawa. Hasil penelitian tersebut jelas
menggambarkan gejala keterdesakan bahasa Bali. Meskipun penelitian ini bersifat antropologis, penelitian ini
juga menyentuh masalah kebahasaan. Hasil penelitian yang menggambarkan adanya gejala memprihatinkan
terhadap bahasa Bali itu mengisyaratkan bahwa pentingnya langkah-langkah mempertahankan bahasa Bali.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Bahasa merupakan alat pengembangan kebudayaan, jalur penerus kebudayaan, dan inventaris ciri-ciri
kebudayaan. Oleh karena itu, bahasa juga merupakan faktor penting dalam membentuk identitas kultural dan
identitas sosial termasuk di dalamnya identitas etnis, anggota masyarakat. Terdapat dua faktor penting untuk menentukan
butir nilai kultural seorang dwibahasawan, yaitu butir-butir nilai yang dihasilkan dari kontak kebudayaan dan lingkungan
sosial yang spesifik dan lingkungan keluarga yang membentuk tipe pengalaman dwibahasawan tersebut. Dalam situasi
bahasa dan kebudayaan, terlihat beberapa kemungkinan kasus. Kemungkinan kasus-kasus yang akan muncul tersebut
adalah seperti berikut, 1) seseorang akan menggunakan satu bahasa di rumah, dan menggunakan bahasa lainnya di luar
rumah atau di masyarakat; 2) seseorang akan menggunakan dua bahasa di rumah dan satu bahasa di antaranya
dipergunakan di masyarakat; 3) seseorang akan menggunakan dua bahasa di rumah dan kedua-duanya juga dipakai di
luar/masyarakat; dan 4) seseorang akan menggunakan dua bahasa di rumah, tetapi kedua-duanya tidak dipakai di
luar/masyarakat.
Berbagai kemungkinan terhadap situasi kebahasaan juga ditemukan di daerah transmigran
Bali di Lampung. Di Provinsi Lampung, penutur bahasa Bali menggunakan bahasa Bali sebagai alat
komunikasi interetnis. Bahasa Bali digunakan khususnya dalam ranah-ranah tertentu seperti ranah
keluarga, kekariban, religi, pekerjaan-khususnya pertanian, dan ranah kesenian. Penutur bahasa Bali
juga memiliki ranah-ranah tersendiri dalam yang tanpa di sadari telah meningkatkan fungsi bahasa
Bali. Hal itu terlihat dari munculnya organisasi informal yang tergabung dalam sekeha-sekaha
(kelompok-kelompok) tertentu seperti sekaha gong, sekeha igel, sekeha tajen, sekeha mancing . Anggota
sekeha tersebut penutur bahasa Bali yang memiliki kesenangan yang sama dan rasa identitas etnis yang
sama. Dalam berinteraksi mereka menggunakan bahasa Bali. Tanpa mereka sadari, para penutur bahasa
Bali tersebut telah mengembangkan status fungsional bahasa Bali. Meskipun pengembangan sudah
dilakukan, namun peningkatan mutu berbahasa tetap perlu dilakukan di kalangan penutur Bahasa Bali
dalam hal ini transmigran Bali (Malini: 2011).
Berdasarkan hasil penelitian terhadap sistem pewarisan bahasa Bali ditemukan fakta bahwa
sistem pewarisan bahasa Bali terhadap generasi muda Bali berlangsung secara alamiah melalui jalur
informal dan non formal.
Bahasa Bali di Lampung tidak diajarkan sebagai bidang studi tersendiri di sekolah, tetapi
biasanya di selipkan dalam pelajaran agama Hindu. Hal tersebut dinyatakan oleh informan
mengenai pengajaran bahasa di sekolah, seperti pernyataan berikut.
12
Kutipan
[…………]
I
: Untuk pendidikan bahasa Bali di Lampung bu...Sebenarnya kita sekarang kan wajib mengikuti
bahasa lokal bu..Jadi anak-anak disini ya belajar Bahasa Lampung. ..
P
: Oh..ya.. Dari kelas satu ya bu..?
I
: Ya.. dari kelas satu sampai enam. Mereka bisa berbahasa Lampung, tapi ya tidak nyantol ... karena
mereka kan tidak pakai sehari-hari... Jadi kalau disuruh ngerjakan tugas sekolah ya mereka bisa..
P
: Aksaranya gimana bu...?
I
: Bisa... mereka bisa aksara Lampung...
P
: Gurunya bu...?
I
: Ya.. orang Bali atau Jawa...ndak ada yang orang Lampung. Jadi kemampuan gurunya ya begitu
bu...karena ndak pernah dipakai sehari-hari. Kalau Bahasa Bali hanya diselip-selipkan saja bu
kalau ada pelajaran agama Hindu... Tapi kan masalahnya kalau guru agamanya itu orang Bali,
kalau orang Jawa ? Soalnya agama Hindu itu kan tidak hanya orang Bali ya bu.. Ya akhirnya ndak
bisa juga... Menurut saya ya bu... Sekarang ini banyak orang salah kaprah tentang pengajaran
bahasa Bali. Bahasa itu diajarkan kepada anak ketika anak sudah besar. Jadi anak itu susah
bisanya bu.. Kalau saya ya bu..meskipun saya bukan Bali asli—saya ini sebetulnya keturunan Jawa
bu.., tapi saya sudah diangkat anak oleh orang Bali sejak kecil dan menikah sama orang Bali..—tapi
saya bisa berbahasa Bali, ya..walaupun yang bahasa halus tidak bisa bu.. Saya di rumah selalu
berbahasa Bali dengan keluarga. Walaupun anak-anak kadang-kadang menjawab dengan bahasa
Jawa atau Indonesia tapi saya tetep Bahasa Bali. Ke cucu saya pun saya selalu berbahasa Bali .
Karena bu.. menurut saya anak-anak kecil itu di rumah harus diajarkan bahasa daerahnya
sendiri, ya kalau kita kan Bahasa Bali ya. Bu.. Kalau yang orang Jawa ya.. bahasa Jawa. Bahasa
Indonesia ndak usah diajarkan di rumah pun nanti mereka otomatis TK aja udah bisa kok.. wong
bahasa pengantar di sekolah dan lingkungan begini kok.. Jadi intinya bu... bahasa Bali itu harus
diajarkan sejak awal, kalau ndak gitu bisa punah bu... Wong anak saya, saya marahi bu.. kalau
pake bahasa Indonesia..
P
: Kalau dimasukkan kurikulum bu....?
I
: Idealnya begitu bu... Tapi kan banyak orang.. ya susah juga.. Seperti murid saya bu...hampir
seluruhnya orang Jawa.., dua orang aja yang Hindu Bali, 2 orang Hindu Jawa .. Kalau diajarkan
bahasa Bali... ya repot juga bagi anak yang lain. Tapi caranya ya itu tadi bu.. pintar-pintarnya guru
agama Hindu Bali menyelipkan dan dilatih di rumah.
Dari uraian informan terlihat bahwa bahasa Bali tidak diajarkan di sekolah secara formal tetapi
hanya diselipkan saja pada mata pelajaran agama Hindu dan tentu saja dilakukan oleh guru agama Hindu
etnis Bali. Dapat diprediksi bahwa pembelajaran bahasa Bali di sekolah tidak berlangsung secara sistematik.
Informan juga tidak mengabaikan bahwa ditemukan kendala dalam pengajaran Bahasa Bali di sekolah yaitu
bahwa jumlah penutur Bali lebih sedikit daripada penutur bahasa mayoritas. Namun demikian, informan juga
mempunyai pandangan yang bahwa bahasa Bali harus diajarkan sejak dini dan dimulai dari rumah tangga.
Melihat fenomena yang terjadi mengenai pengajaran bahasa, informan juga menunjukkan kekhawatirannya
akan kepunahan bahasa Bali di masa mendatang. Kekwatiran tersebut perlu dijawab oleh berbagai pihak
khususnya penutur bahasa Bali itu sendiri.
Selain diselipkan pada pelajaran agama Hindu di sekolah, secara lebih terstruktur p elajaran bahasa
dan aksara Bali diajarkan di jalur nonformal, yaitu di pasraman-pasraman yang ada di Lampung seperti
yang terlihat dalam jadwal pelajaran berikut.
13
Ni Luh Nyoman Seri Malini
Luh Ketut Mas Indrawati
Gambar 1. Kurikulum Bahasa Bali di Pasraman Aditya Dharma.
Berdasarkan informasi yang diberikan oleh informan bahwasanya ketersediaan guru yang mahir
mengajarkan bahasa Bali di sekolah dan di lembaga nonformal seperti pasraman di Lampung sangat
terbatas. Ketiadaan buku pelajaran bahasa Bali juga menyulitkan para guru dan murid untuk mendapatkan
materi pelajaran bahasa Bali yang memadai. Kondisi riil di lapangan menuntut pemerintah dan penutur
bahasa itu sendiri untuk bersinergi dalam upaya pembinaan dan pengembangan bahasa daerah khususnya
dalam hal pendidikan.
Namun demikian berdasarkan pengamatan di lapangan, beberapa pura di Lampung
Tengah sudah menggunakan papan nama yang menggunakan aksara Bali, seperti terlihat pada
gambar berikut.
Gambar 2. Keberadaan aksara Bali pada Pura di Lampung
Dari fakta gambar di atas terlihat telah adanya upaya sosialisasi aksara Bali oleh tingkat elit Hindu
etnis Bali. Upaya lebih jauh terhadap sosialisi aksara Bali khususnya pada ranah-ranah sensitif seperti awigawig tampaknya belum dapat dilakukan oleh transmigran Bali. Hal tersebut dikarenakan karena keterbatasan
transmigran Bali dalam memahami aksara Bali. Upaya penggunaan aksara Bali juga telah dilakukan oleh
kalangan populis yaitu orang yang berpengaruh di kalangan transmigran Bali dengan menandai selesainya
pembangunan rumahnya seperti terlihat pada gambar berikut.
14
Gambar 3. Aksara Bali di rumah transmigran Bali
Pada saat ini penulisan aksara Bali oleh transmigran Bali masih menggunakan cara manual.
Transmigran Bali belum tersentuh penulisan aksara Bali dengan komputer dengan program Bali Simbar.
Aplikasi program Bali Simbar adalah piranti lunak aksara Bali. Bagi transmigran Bali hal tersebut
merupakan kendala tersendiri dalam upaya sosialisasi aksara Bali. Bagi transmigran Bali yang umumnya
berprofesi sebagai petani dan sebagian besar belum paham terhadap komputer jadi mengaplikasikan
program Bali Simbar merupakan sesuatu yang rumit. Bagi kaum terpelajar penggunaan dan penyebar luasan
informasi melalui aksara Bali juga merupakan kendala karena aksara Bali belum dikuasai oleh transmigran
Bali khususnya kalangan generasi muda (Malini, 2011)
Berdasarkan kutipan dan hasil observasi tersebut didapatkan gambaran bahwa upaya pewarisan
bahasa Bali dilakukan secara informal melalui lingkungan keluarga karena secara formal, melalui jalur
pendidikan, tidak ada kebijakan yang mengakomodasi untuk diajarkannya bahasa etnis asal di daerah
transmigrasi. Oleh karena itu, kemampuan berbahasa Bali anak cenderung lemah dan tidak standar, terlebih
lagi kondisi sosial di daerah transmigrasi yang beraneka ragam mengharuskan mereka untuk menguasai lebih
dari satu bahasa untuk bisa berkomunikasi dengan etnis lainnya. Selain itu, kekerapan mereka berkontak
dengan etnis lain berakibat pada menurunnya pajanan terhadap bahasa Bali dalam kehidupan transmigran
Bali. Sehingga dapat dikatakan bahwa dinamika kebahasaan yang terjadi terdiri atas dua garis besar, yakni 1)
Pajanan terhadap bahasa Bali di Lampung cenderung berkurang akibat faktor sosial-budaya; dan 2) Sistem
pewarisan bahasa Bali yang hanya mungkin ditempuh secara infomal melalui lingkungan keluarga
menyebabkan penggunaan atas bahasa Bali menjadi terdevaluasi karena bahasa Bali tidak berkembang
sesuai dengan fungsi sosiolinguistiknya. Faktor pendorong hal ini terutama disebabkan oleh menurunnya
penguasaan dan pemahaman terhadap bahasa Bali secara formal. Jadi secara implisit bisa dilihat bahwa
kedua hal tersebut saling terkait satu sama lain. Grosjean (1995:240) dan Fasold (1987:83) mengatakan
bahwa usaha pelestarian B 1 sangat bergantung pada situasi tempat bahasa itu digunakan, faktor pribadi, dan
faktor sikap. Faktor pribadi terkait dengan anak itu sendiri dan faktor sikap mengacu kepada sikap anak itu
sendiri, sikap orang tua anak, sikap keluarga dekat anak yang tinggal bersama, sikap teman-teman, guruguru, dan faktor lingkungan (Romaine,1995:236).
Sutjaja (1996:220) menyampaikan bahwa komunitas Bali di Lampung menghadapi dua
permasalahan pada saat bersamaan, yakni (a) memudarnya penggunaan aras tutur (speech level) dan
tergantikan oleh penggunaan bentuk lumrah secara lebih dominan dan (b) bahasa Bali semakin jarang
dipergunakan dan tergantikan oleh Bahasa Indonesia dan bahasa Jawa. Hal itu dapat dikatakan bahwa bahasa
Bali yang dipergunakan di Lampung merupakan bentuk yang paling sederhana yang penggunaannya
dipertahankan di sepanjang pura-pura dan kuil Bali sebagai penanda utama identitas ke-Bali-an mereka.
Pejanan (exposure) terhadap Bahasa Bali menjadi jauh berkurang karena kontak dengan orang non-Bali yang
berbicara dalam bahasa Indonesia atau Jawa menjadi kian intensif yang mengharuskan orang Bali
menggunakan Bahasa Indonesia sebagai Lingua Franca. Bahkan, secara sosial anak-anak menjadi lebih
sering berbahasa Jawa kepada tetangga Jawa mereka, sebaliknya anak-anak Jawa amat jarang yang
berbahasa Bali. Dalam situasi menurunnya penggunaan bahasa Bali, dikatakan Sutjaja (1996:220) bahwa
kesenian memegang peranan vital dalam upaya pemertahanan bahasa Bali di Lampung seperti yang terjadi di
Bali. Berbagai bentuk kesenian mengemban peranan tersebut walaupun bentuk-bentuk kesenian ini telah
15
Ni Luh Nyoman Seri Malini
Luh Ketut Mas Indrawati
mengalami perubahan. Rekaman-rekaman seni tradisional dan kesusastraan (pepaosan, kidung, arja, drama
gong, dan wayang) yang didatangkan dari Bali dapat dianggap cara termudah untuk menjaga akses tradisi
Bali di Lampung.
SIMPULAN DAN SARAN
Penguasaan bahasa Bali sebagai bahasa ibu etnis Bali di Lampung berlangsung secara
alamiah. Artinya bahwa bahasa dikuasai karena interaksi dengan pemakai dalam pemakaian bahasa
yang dikuasai. Sistem dan mekanisme pewarisan bahasa baik yang dilakukan pada ranah formal
maupun informal Penguasaan bahasa ibu seperti ini tidak dirancang secara sistematik-formal.
Analisis terhadap sikap bahasa para responden terhadap bahasa Bali menunjukkan bahwa para transmigran
memiliki sikap positif terhadap bahasa Bali. Hal ini menjanjikan dampak yang cukup prospektif bagi
pemertahanan bahasa Bali di Lampung. Akan tetapi kondisi ini perlu didukung oleh model dan sistem
perencanaan bahasa yang komprehensif dan sesuai dengan konteks situasi kebahasan yang dialami
transmigran Bali. Alternatif model perencanaan bahasa yang dapat diperhitungkan adalah perencanaan
bahasa dengan prosedur perencanaan bahasa yang difokuskan pada fungsi bahasa dan dimensi perencanaan
yang difokuskan pada perencanaan pemerolehan bahasa (acquisition planning). Acquisition planning
menitikberatkan pada pengajaran dan pembelajaran bahasa, baik itu bahasa nasional, bahasa kedua atau
bahasa asing. Hal ini meliputi usaha-usaha untuk mempengaruhi jumlah pengguna dan distribusi suatu
bahasa dan aksaranya yang didapatkan dengan membuat suatu kesempatan dan insentif untuk mempelajari
bahasa yang bersangkutan. Acquisition planning berhubungan langsung dengan penyebaran suatu bahasa.
Hal ini biasanya dilakukan oleh suatu badan yang bertanggung jawab terhadap pengembangannya baik
dalam tingkat nasional, regional, atau lokal.
DAFTAR PUSTAKA
Abdullah, I. 2006. Konstruksi dan Reproduksi Kebudayaan. Yogyakarta: Pustaka Pelajar
Aitchison, J. 1991. Language Change: Progress or Decay. Sydney: Cambridge University Press
Alwasilah, C. 2002. Pokoknya Kualitatif: Dasar-Dasar Merancang dan Melakukan Penelitian Kualitatif.
Jakarta: PT. Dunia Pustaka Jaya
Alwi, Hasan. 2001. “Kebijakan tentang Bahasa Daerah “ dalam Dendy Sugono dan Abdul Rozak Zaidan
(eds).Bahasa Daerah dan Otonomi Daerah, Risalah konferensi Bahasa Daerah.hal 38-47. Jakarta:
Pusat Bahasa
Azwar, S. 2008. Sikap Manusia : Teori dan Pengukurannya (edisi kedua). Yogyakarta: Pustaka Pelajar
Bagus, I. G. N. 2003. “Hidup Bersama dan Etik Multikultural: Peluang dan Tantangannya dalam Hidup
Berbangsa” dalam Martono dkk (ed). Hidup Berbangsa dan Etika Multikultural. Universitas
Surabaya: Forum Rektor Indonesia Simpul Jawa Timur
Bell, R. T. 1976. Sociolinguistics: Goals, Approaches, and Problems. London: Batsford
Blum, L. A. 2001. “Antirasisme, Multikulturalisme, dan Komunitas antar-ras: Tiga Nilai yang Bersifat
Mendidik bagi Sebuah Masyarakat Multikultural” dalam L. May, S. Collins-Chobanian, dan K.
Wong (ed). Etika Terapan I: Sebuah Pendekatan Multikultural (terj). Hal. 15-25. Yogyakarta: PT.
Tiara Wacana
Budiono, P., Sugeng, P. H., dan Setiawan, A. 1997. “Strategi Budaya dalam Rangka Transformasi Budaya di
Daerah Transmigrasi” dalam Muhajir Utomo & Rofiq Ahmad (ed). 90 Tahun Kolonialisasai, 45
Tahun Transmigrasi. Hal 185-190.Jakarta: Puspawara
Chamber, J.K. 2003. Sociolinguistic Theory. UK/USA: Blackwell Publisher
Collins, J. T. 2006. ”Bahasa Daerah yang Terancam Punah: Tinjauan di Maluku dan Kalimantan”. Makalah
disajikan dalam Seminar Pelestarian Bahasa Daerah diselenggarakan oleh Pusat Bahasa
Departemen Pendidikan Nasional, Jakarta, 9 Desember
16
Dhanawathy, N. M. 2001. “Bahasa Jawa bagi transmigran Bali di Lampung Tengah: Sebuah Fenomena yang
mengisysratkan Pentingnya Pembinaan Bahasa Daerah Asal di Daerah Transmigrasi”. Makalah
dalam Kongres Bahas Jawa III di Yogyakarta.
Englebretson, R. 2003. Searching for Structure: The Problem of Complementation in Colloquial Jakarta
Indonesian Conversation. Amsterdam: John Benjamin Publishing
Fasold, R. 1984. The Sociolinguistics of Society. Oxford: Basil Blackwell
Fay, B. 2002. Filsafat Ilmu Sosial Kontemporer. Yogyakarta:Penerbit Jendela
Garvin, P.L dan Matthiot, M. 1968. “The Urbanization of the Guarani Language: Problem in Language and Culture”
dalam Fishman, Joshua (ed). Reading in the Sociology of Language. Mouton: The Hague
Geertz, C. 1959. “Form and Variation in Balinese Village Structure” dalam American Anthropologist, 61, hal.
991-1012
Grosjean, F. 1982. Life with Two Languages: An Introduction to Bilingualism. England: Harvard University Press.
Hamers, J. F. dan Blanc, M. H. A. 1989. Bilinguality and Bilingualism. Cambridge: Cambridge University Press.
Hasanudin. 2009. “Wacana Identitas Etnik Masyarakat Minangkabau di Bali” (Disertasi). Denpasar:
Universitas Udayana
Haugen, E. 1974. “Dialect, Language, Nations” dalam Pride, J. B dan Holmes, J (ed). Sociolinguistics.
London: Penguin Books
Haugen, E. 1978. “Bilingualism, Language Context, and Immigrant Language in the United States” dalam
Fishman, J. A. (ed). Advances in the Study of Social Multilingualism. The Hague: Mouton
Koentjaraningrat. 1985. Manusia dan Kebudayaan di Indonesia. Jakarta: Djambatan
Koesoebjono. 2000. “Towards a new Javaneseness” makalah yang disajikan pada The 12th Workshop of the
European Social Science Java Network/ESSSJN Amstredam, 20-21 Januari 2000
Krauss, Michael. 1992. “The World’s Languages in Crisis”. Languages LXVIII.1:4-10.
Labov, W. 1994. Principles of Linguistic Change. USA: Blackwell Publishers
Langacker, R, 1972. Fundamental of Linguistic Analysis. New York: Harcourt
Lincoln, Y dan Guba, E. 1985. Naturalistic Inquiry. Beverly Hills:Sage Publications
Lukman. 2002. “Pemertahanan Bahasa Warga Transmigran Jawa di Wonomulyo-Polmas” dalam Buku
Panduan Kongres Linguistik Nasional X. Denpasar: Masyarakat Linguistik Indonesia, Pusat Bahasa,
dan Fakultas Sastra Universitas Udayana
Mackey, W. F. 1968. “The Description of Bilingualism” dalam Fishman, J. A. (ed). Readings in the
Sociology of Language. The Hague: Mouton
Mahsun. 2005. Metode Penelitian Bahasa. Jakarta: PT RajaGrafindo
Malini, Ni Luh Nyoman Seri. 2011. ” Dinamika Bahasa Bali di Daerah Transmigran di Provinsi Lampung’’.
Disertasi. Universitas Udayana. Denpasar
Moeliono, A. M. 2010. ”Kebijakan Bahasa dan Perencanaan Bahasa di Indonesia: Kendala dan Tantangan”.
Makalah disajikan pada Simposium Internasional Perencanaan Bahasa diselenggarakan oleh Pusat
Bahasa Departemen Pendidikan Nasional, Jakarta
Pelly, U. 1994. Urbanisasi dan Adaptasi; Peranan Misi Budaya Minangkabau dan Mandailing.
Jakarta:Pustaka LP3ES Indonesia.
Poedjosoedarmo, S. 1982. “Javanese Influence on Indonesian”. Material in Languages of Indonesia. No. 7.
Series. D. Canberra: Pacific Linguistics
Pretty, J. et al. 1996. Participatory Learning and Action : Trainer’s Guidline. IIED
Salim, A. 2002. Perubahan Sosial: Sketsa Teori dan Refleksi Metodologi Kasus Indonesia. Yogyakarta: PT.
Tiara Wacana
Sardjadidjaja, R. 2004. Transmigrasi: Pembauran dan Integrasi Nasional.Jakarta: CV. Muliasari
Sobarna, C. 2007. ”Bahasa Sunda Sudah di Ambang Kematiankah?” dalam Makara: Humaniora, Sosial, jilid
11, No. 1, hal 13-17
Suhardi, B. 1996. Sikap Bahasa: Suatu Telaah Eksploratif atas Sekelompok Sarjana dan Mahasiswa di
Jakarta. Depok: Universitas Indonesia
Suherdi, D. 2010. “Menempatkan Bahasa Ibu pada Kedudukannya yang Paling Tepat: Menjamin Keadilan
bagi Kaum Minoritas” makalah disajikan pada Simposium Internasional Perencanaan Bahasa
diselenggarakan oleh Pusat Bahasa Departemen Pendidikan Nasional, Jakarta
Sumarsono. 1993. Pemertahanan Bahasa Melayu Loloan di Bali. Jakarta: Pusat Pembinaan dan
Pengembangan Bahasa
17
Ni Luh Nyoman Seri Malini
Luh Ketut Mas Indrawati
Suparno, E. 2007. Paradigma Baru Transmigrasi: Menuju Kemakmuran Rakyat. Jakarta: Departemen
Tenaga Kerja dan Transmigrasi
Sutjaja, I. G. M. 1996. “Balinese Transmigrants in Lampung: Language Change and Traditions” dalam
Adrian Vickers (ed). Being Modern in Bali: Image and Change. New Haven: Monograph 43/Yale
Southeast Asia Studies.
UNESCO Ad Hoc Expert Group on Endangered Language. 2003. “Language Vitality and Endangerment”
(dokumen keputusan International Expert Meeting on UNESCO Programme Safeguarding of
Endangered Language, Paris, 10-12 Maret)
Wijaya, P. 1999. “Bali” dalam I Wayan Supartha (ed). Bali dan masa Depannya. Hal 183-198. Denpasar: PT
Bali Post.
Wolfowitz, C. 1991 Language Style and Social Space; Stylistic Choice in Suriname Javanese. Urbana and Chicago :
Universiy of Illinois Press.
18