Penerapan Sistem Usahatani Terintegrasi Di Provinsi Bali

PENERAPAN SISTEM USAHATANI TERINTEGRASI DI
PROVINSI BALI

I KETUT MANU MAHATMAYANA

SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2017

PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN
SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA
Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis berjudul Penerapan Integrated
Farming System (IFS) di Provinsi Bali adalah benar karya saya dengan arahan
dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada
perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya
yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam
teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.
Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut
Pertanian Bogor.
Bogor, Februari 2017

I Ketut Manu Mahatmayana
NIM H351120181

RINGKASAN
I KETUT MANU MAHATMAYANA. Penerapan Sistem Usahatani Terintegrasi
di Provinsi Bali. Dibimbing oleh NUNUNG KUSNADI dan DWI RACHMINA.
Integrated Farming System (IFS) merupakan sebuah sistem pertanian yang
memadukan ternak, ikan, tanaman, dan agroindustri dalam sebuah sinergitas
sistem yang lebih luas, dengan memanfaatkan limbah usahatani sebagai input bagi
usahatani lainnya. Pemanfaatan limbah dilakukan baik secara langsung maupun
melalui proses pengolahan untuk menghasilkan produk sampingan berupa energi,
pupuk, dan pakan untuk meningkatkan produktivitas dengan biaya yang
minimum. Terdapat dua model IFS yang telah dipraktekkan oleh petani di
Provinsi Bali, yaitu integrasi pada unit usahatani (IFS unit) dan integrasi pada
kelompok (IFS wilayah). Tingkat penerapan IFS pada kedua model masih
bervariasi dan belum diketahui dampak yang ditimbulkan terhadap pendapatan
usahatani.
Penelitian ini memiliki tujuan untuk menganalisis dan membandingkan
tingkat penerapan pada model IFS unit dan model IFS wilayah. Menganalisis
faktor-faktor yang memengaruhi tingkat penerapan IFS pada model IFS unit dan

model IFS wilayah. Menganalisis dan membandingkan pendapatan usahatani dan
efisiensi usahatani pada model IFS unit dan model IFS wilayah. Data
dikumpulkan dari 67 petani contoh yang dipilih secara purposive dan insidental.
Metode analisis data menggunakan metode analisis deskriptif, regresi logistik,
analisis pendapatan usahatani dan analisis rasio R/C.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa tingkat penerapan IFS pada model IFS
wilayah relatif lebih tinggi dibandingkan dengan model IFS unit. Kondisi kandang
pada model IFS wilayah lebih baik, pemanfaatan limbah tanaman, urin ternak,
kotoran ternak dan biogas lebih tinggi dibandingkan dengan model IFS unit.
Pemanfaatan tenaga ternak pada kedua model termasuk sangat rendah, namun
pemanfaatan tenaga ternak pada model IFS unit lebih tinggi jika dibandingkan
dengan model IFS wilayah. Hasil analisis regresi logistik menunjukkan faktorfaktor yang memengaruhi tingkat penerapan IFS secara signifikan adalah tingkat
pendidikan dan pengalaman berusahatani. Tingkat pendidikan berpengaruh positif
terhadap tingkat penerapan IFS, sedangkan pengalaman berusahatani berpengaruh
negatif. Hasil analisis usahatani menunjukkan bahwa pendapatan total usahatani
model IFS wilayah lebih tinggi dibandingkan dengan model IFS unit. Pendapatan
total model IFS unit dengan luas lahan ≤ 0.50 hektar sebesar Rp 29 862 000 per
hektar per tahun, sedangkan model IFS unit dengan luas lahan > 0.50 hektar
sebesar Rp 30 553 000 per tahun per hektar. Pendapatan total model IFS wilayah
dengan luas lahan ≤ 0.50 hektar sebesar Rp 35 280 000 per hektar per tahun,

sedangkan model IFS wilayah dengan luas lahan > 0.50 hektar sebesar Rp 38 878
000 per hektar per tahun. Hasil uji beda menunjukkan bahwa terdapat perbedaan
yang nyata antara pendapatan total model IFS unit dan model IFS wilayah. Hasil
analisis tambahan keuntungan menunjukkan bahwa model IFS wilayah lebih
menguntungkan dan efisien dibandingkan dengan model IFS unit.
Kata kunci: Tingkat penerapan, regresi logistik, pendapatan usahatani

SUMMARY

I KETUT MANU MAHATMAYANA. Implementation of Integrated Farming
System in Bali Province. Supervised by NUNUNG KUSNADI and DWI
RACHMINA.
Integrated Farming System (IFS) is a systems that combine livestock,
aquaculture, agriculture and agro-industry in an expanded synergistic system, the
waste of one process become the input for other process, with or without
treatment to provide the means of production, such as energy, fertilizer, and feed
for optimum productivity at minimum cost. There are two IFS models that
implemented in Bali, integrated in unit at farmer (IFS unit) and integrated in area
at group of farmer (IFS group). The level of implementation of IFS in both model
is vary and it’s effect on farm income is still unknown.

This study aimed to analyse and compare the performance of IFS model in
farm unit and group. Analyse the factors that influance the performance of IFS.
Analyze and compare the farm income and farm efficiency. Cross-secional data
were collected from 67 farmer purposively selected and incidental. Descriptive
analysis, logistic regression analysis of farm income and R/C ratio were
performed.
The results showed that the rate of implementation of IFS group model is
relatively higher than IFS unit model. Cattle pen conditions in the IFS group
model, waste plant utilization, animal urine, manure and biogas is higher than
model IFS unit. Utilization of draft animals in both models very low, but the use
of draft animals on the IFS unit model higher than the IFS group model. The
results of logistic regression analysis showed the factors that significantly affected
the degree of implementation is the level of education farmers and experience of
farming. The level of education has positive influence on the level of
implementation of IFS, while the farming experience negative effect. Results of
the analysis showed that the total income of IFS group model higher than IFS
unit model. Total revenue on IFS unit model with land area ≤ 0.50 hectare Rp 29
862 million per hectare per year, while the IFS unit model with land area more
than 0.50 hectares Rp 30 553 million per year per hectare. Total revenue IFS
group model with land area ≤ 0.50 hectares Rp 35 280 million per hectare per

year, while the IFS group model with land area more than 0.50 hectares Rp 38 878
million per hectare per year. Different test results indicate that there are significant
differences between the total revenue on IFS unit models and IFS group models.
Results of additional analyzes showed that the model IFS profit area more
profitable and efficient than the model IFS unit.
Key words: Rate of implementation, logistic regression, farm income

© Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2017
Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang
Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan
atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan,
penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau
tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan
IPB
Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis ini
dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB

PENERAPAN SISTEM PERTANIAN TERINTEGRASI DI
PROVINSI BALI


I KETUT MANU MAHATMAYANA

Tesis
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Magister Sains
pada
Program Studi Agribisnis

SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2017

Penguji Luar Komisi pada Ujian Tesis: Dr Ir Suharno, MADev

33)71$17

7 ,/.,7$12+71"2,$7/$,2 /1$7$7/-4$,1$7 *$7

+7


7
7 2327,37"2+6,7

 7





$123'3$7 -)"7
-+$1$7+$+$, 7


7


/7 /7



/7 /7
57
,

237

$7
-27


$(2"3$7 -)"7

237/- /+723$7
 /$$1,%17

/-7
/7 /7 %2730+*%,7 7

,


*7'$,7  /3/$7 

,

)7 3*317

   

PRAKATA
Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa atas segala
karunia-Nya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Judul penelitian ini
adalah Penerapan Sistem Usahatani Terintegrasi di Provinsi Bali.
Terima kasih penulis ucapkan kepada Dr Ir Nunung Kusnadi, MS dan Dr Ir
Dwi Rachmina, MSi selaku pembimbing, serta Prof Dr Ir Rita Nurmalina, MS dan
Dr Ir Suharno, MADev selaku ketua Program Studi Magister Sains Agribisnis dan
penguji luar komisi ujian tesis. Ungkapan terimakasih juga disampaikan kepada
ayah, ibu, kakak, Ayu, serta seluruh keluarga, atas segala doa, dukungan, dan
kasih sayangnya. Di samping itu, penghargaan penulis sampaikan kepada Dinas
Pertanian Provinsi Bali yang telah membantu memberikan informasi selama
penelitian. Terakhir penulis sampaikan terima kasih atas doa dan dukungan

kepada rekan-rekan Indra Prastha (IP) dan reken-rekan MSA. Penulis
mengucapkan terimakasih kepada Beasiswa Unggulan DIKTI (BU DIKTI) atas
beasiswa yang diberikan kepada penulis selama kuliah di Program Pascasarjana
Institut Pertanian Bogor.
Semoga tesis ini bermanfaat.

Bogor, Februari 2017
I Ketut Manu Mahatmayana

DAFTAR ISI

DAFTAR TABEL

LAMPIRAN

37

DAFTAR TABEL
1 Jumlah kelompok penerima bantuan Simantri di Bali Tahun 2009 – 2014


2

2 Pengukuran tingkat penerapan pada IFS unit dan wilayah di Provinsi Bali

13

3 Pencapaian skor penerapan IFS

14

4 Faktor yang memengaruhi tingkat penerapan integrasi pada Gapoktan

15

5 Produksi tanaman pangan di Provinsi Bali menurut kabupaten tahun 2013

17

6 Produksi tanaman perkebunan di Provinsi Bali menurut kabupaten tahun
2013

18

7 Populasi ternak dan unggas Provinsi Bali menurut kabupaten tahun 2013

19

8 Karakteristik petani responden berdasarkan usia

19

9 Karakteristik petani responden berdasarkan tingkat pendidikan

20

10 Jarak tempat tinggal petani ke kandang ternak

21

11 Karakteristik petani model IFS unit dan IFS wilayah berdasarkan usia

21

12 Karakteristik petani model IFS unit dan IFS wilayah berdasarkan usia

22

13 Hasil estimasi faktor-faktor yang memengaruhi tingkat penerapan IFS

29

14 Hasil analisis pendapatan usahatani (000) dan rasio R/C per tahun per
hektar

31

DAFTAR GAMBAR
1 Model sederhana IFS

8

2 Model kompleks IFS

9

3 Kurva produksi lebih dari satu produk

10

4 Kerangka pemikiran operasional

11

5 Kondisi kandang ternak pada model IFS wilayah dan model IFS unit di
Provinsi Bali Tahun 2015

23

6 Kondisi kandang ternak model IFS wilayah (kiri) dan model IFS unit
(kanan)

23

7 Pemanfaatan limbah tanaman pada model IFS wilayah dan model IFS unit
di Provinsi Bali Tahun 2015

24

8 Limbah tanaman untuk pakan ternak tanpa proses pengolahan (kiri) dan
melalui proses pengolahan menjadi silase (kanan)

24

9 Pemanfaatan urin ternak pada model IFS wilayah dan model IFS unit di
Provinsi Bali Tahun 2015

25

10 Tangga instalasi pengolahan urin dan biourin yang sudah dikemas

26

11 Pemanfaatan kotoran ternak pada model IFS wilayah dan model IFS unit
di Provinsi Bali Tahun 2015

26

12 Proses pengolahan kompos dan pupuk kompos yang sudah dikemas

27

13 Pemanfaatan tenaga ternak pada model IFS wilayah dan model IFS unit di
Provinsi Bali Tahun 2015

27

14 Pemanfaatan biogas pada model IFS wilayah dan model IFS unit di
Provinsi Bali Tahun 2015

28

15 Pemanfaatan biogas menjadi sumber energi yang dapat diperbaharui

28

DAFTAR LAMPIRAN
1 Uji Regresi Logistik – Hosmer and Lemeshow Test

38

2 Hasil uji regresi logistik – Rasio Odd

38

3 Analisis uji beda

39

1

PENDAHULUAN
Latar Belakang

Orientasi usahatani yang sebelumnya untuk memenuhi kebutuhan keluarga
kini berubah menjadi orientasi pasar. Kondisi ini dipengaruhi oleh tingginya
permintaan pangan yang diakibatkan jumlah penduduk yang terus meningkat. Di
sisi lain sumberdaya pertanian terutama lahan terbatas. Sebagai respon
peningkatan jumlah penduduk, sistem pertanian berubah dengan penggunaan
input luar semakin tinggi. Penggunaan input luar secara besar-besaran dikenal
dengan istilah High External Input Agriculture (HEIA). HEIA bergantung pada
input kimia buatan seperti pupuk, pestisida, dan benih unggul serta mekanisasi
dengan penggunaan sumberdaya yang tidak dapat diperbaharui. Tujuan HEIA
adalah meningkatkan produktivitas lahan, mempersingkat waktu produksi dengan
penggunaan benih unggul, dan mengatasi masalah kekurangan tenaga kerja
dengan mekanisasi. HEIA dapat memberikan keuntungan dalam jangka pendek,
namun dalam jangka panjang produktivitas lahan menjadi stagnan bahkan
berkurang karena kerusakan lingkungan.
Sebagai upaya mengatasi kerusakan lingkungan, petani mulai beralih dari
sistem HEIA ke sistem pertanian yang lebih ramah lingkungan. Ketergantungan
pada input luar seperti pupuk dan pestisida tidak bisa langsung ditinggalkan.
Ketergantungan secara perlahan digantikan dengan penggunaan input yang lebih
alami dan ramah lingkungan. Sistem pertanian Low external Input Sustainable
Agriculture (LEISA) berupaya mengoptimalkan pemanfaatan sumberdaya lokal
dengan mengombinasikan berbagai macam komponen usahatani, saling bersinergi
dan melengkapi. LEISA meminimumkan penggunaan input dari luar, hanya
memanfaatkan input luar bila diperlukan. Tujuan LEISA adalah mencapai tingkat
produksi yang stabil dalam jangka panjang, menjaga kelestarian lingkungan serta
mengurangi biaya produksi dengan memanfaatkan input dari dalam.
Konsep LEISA yang mengoptimalkan pemanfaatan input dari dalam
usahatani sejalan dengan konsep Integrated Farming System (IFS). Sistem ini
mengintegrasikan pertanian, peternakan, perikanan, dan agro-industri dalam
sebuah sistem simbiosis yang bertujuan untuk memperluas sinergi. Konsep IFS
berusaha mengurangi penggunaan input dari luar dengan memanfaatkan limbah
sebagai input usahatani. Hasil sampingan (pupuk, pakan, biourin, biogas, dan
biopestisida) dapat dimanfaatkan sebagai input guna mengurangi biaya produksi
(Kanto, 2011; Gupta et al. 2012; Walia dan Kaur 2013).
Penerapan integrasi memberikan dampak yang bervariasi terhadap
usahatani. Contohnya adalah integrasi padi-bebek di Bangladesh (Hossain et al.
2002). Hasil penelitian menyatakan bahwa integrasi padi-bebek mampu
meningkatkan produksi padi, bebek dapat mengontrol gulma dan hama
pengganggu tanaman, sehingga petani dapat mengurangi biaya tenaga kerja dan
pembelian pestisida. Hasil penelitian Ahmed dan Garnett (2011) di Bangladesh
menyatakan bahwa integrasi padi-ikan mampu menghasilkan produktivitas yang
lebih tinggi dibandingkan dengan penanaman secara monokultur. Penerapan IFS
di Thailand juga mampu meningkatkan pendapatan petani dengan mengurangi
biaya produksi sebesar 37.06 persen dan peningkatan produksi hingga 69.19

2

persen (Kanto 2011). Walia dan Kaur (2013) yang menyatakan bahwa melalui
integrasi di Saint-Hilaire (1991-1995) mampu mengurangi penggunaan herbisida
10.1 persen, insektisida 28.3 persen, pupuk anorganik 41.3 persen dan fungsida
89.8 persen. Selain mengurangi biaya produksi, pemanfaatan ternak untuk
mengotrol hama dan gulma lebih ramah lingkungan dan aman bagi kesehatan
petani.
Perumusan Masalah
Petani di Provinsi Bali didominasi oleh petani kecil (63.89 persen) dengan
penguasaan lahan kurang dari 0.50 hektar (BPS 2015). Petani kecil dicirikan
dengan penguasaan lahan usahatani yang sempit, kurang akses permodalan dan
pasar, serta kurang adaptif terhadap teknologi baru namun secara tradisional telah
menerapkan integrasi (Devendra dan Thomas 2002; Paris 2002; Bahera dan
France 2016). Hubungan integrasi yang terjadi umunya bersifat komplementer
atau saling melengkapi, manakala limbah dari satu usahatani dimanfaatkan
sebagai input bagi usahatani lainnya dan sebaliknya. Namun hubungan
komplementer dapat berubah menjadi kompetitif jika sumberdaya usahataninya
terbatas (Kusnadi 2013).
Keterbatasan sumberdaya pada IFS unit dapat diatasi dengan pembentukan
kelompok. Tujuan penerapan integrasi berbasis kelompok adalah untuk
meningkatkan skala usahatani serta memperpanjang complemtary range atau
batas komplementer. Penerapan IFS berbasis kelompok di Provinsi Bali diadopsi
oleh petani dalam bentuk Program Sistem Pertanian Terintegrasi (Program
Simantri). Program Simantri telah berjalan sejak tahun 2009 dan sampai tahun
2014 jumlah total Simantri sudah mencapai 502 kelompok. Program Simantri
mengintegrasikan ternak dengan komoditi unggulan masing-masing daerah yang
dikelola oleh Kelompok Tani (Poktan) atau Gabungan Kelompok Tani
(Gapoktan).
Tabel 1 Jumlah kelompok penerima bantuan Simantri di Bali Tahun 2009 – 2014
No

Kabupaten

1
2
3
4
5
6
7
8
9

Buleleng
Jembrana
Tabanan
Badung
Denpasar
Gianyar
Bangli
Klungkung
Karangasem
Jumlah

Jumlah Simantri
2009
4
1
1
1
0
1
1
0
1
10

2010
12
2
4
1
1
2
6
3
9
40

2011
26
12
16
10
4
21
18
21
22
150

2012
20
12
21
5
3
20
20
12
12
125

2013
21
11
10
9
0
11
14
8
10
94

2014
19
11
15
7
0
9
8
7
7
83

Jumlah
102
49
67
33
8
64
67
51
61
502

Sumber: Distan Provinsi Bali (2015)

IFS di Provinsi Bali pada prakteknya dapat dibedakan menjadi dua model,
yaitu model unit dan model kelompok (wilayah). Petani yang bergabung dalam

3

kelompok termasuk dalam model IFS wilayah, sedangkan petani yang tidak ikut
bergabung dengan kelompok termasuk dalam model IFS unit. Penerapan IFS pada
kedua model tersebut masih bervariasi, terutama dalam tingkat pengolahan dan
pemanfaatan limbah usahatani. Variasi penerapan IFS tersebut diduga akan
menentukan pendapatan petani, oleh sebab itu perlu diteliti tingkat penerapan IFS
pada kedua model dan pengaruhnya terhadap pendapatan usahatani.
Berdasarkan hal tersebut, maka rumusan masalah dalam penelitian ini
dijabarkan sebagai berikut.
1. Model mana yang tingkat penerapan IFS-nya lebih tinggi?
2. Faktor-faktor apa saja yang memengaruhi tingkat penerapan IFS pada kedua
model?
3. Model mana yang lebih menguntungkan dan efisien serta bagaimana
pengaruhnya terhadap pendapatan usahatani?

Tujuan Penelitian
Tujuan penelitian berdasarkan rumusan masalah tersebut yakni.
1. Membandingkan tingkat penerapan IFS pada model IFS unit dan model IFS
wilayah.
2. Menganalisis faktor-faktor yang memengaruhi tingkat penerapan IFS pada
model IFS unit dan model IFS wilayah.
3. Menganalisis dan membandingkan pendapatan usahatani dan rasio R/C pada
model IFS unit dan model IFS wilayah.

Manfaat Penelitian
Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat dan menjadi
masukan bagi berbagai pihak yang berkepentingan dalam penerapan dan
pengembangan IFS, seperti.
1. Bagi pemerintah provinsi hasil penelitian dapat menjadi masukan dan
pertimbangan dalam pengembangan program IFS selanjutnya. Pemerintah
diharapkan lebih matang dalam memberikan bantuan sesuai dengan
kebutuhan petani.
2. Bagi petani sebagai bahan pertimbangan dan masukan dalam pengembangan
penerapan IFS, sehingga dapat memberikan pendapatan yang lebih tinggi.

Ruang Lingkup Penelitian
Penelitian dilakukan di delapan kabupaten di Provinsi Bali, yakni
Kabupaten Badung, Tabanan, Jembrana, Buleleng, Gianyar, Klungkung, Bangli,
dan Karangasem. Komoditas yang diteliti adalah tanaman, ternak, dan hasil
sampingan (limbah). Hasil sampingan yang diteliti berupa limbah ternak (padat
dan cair) dan limbah tanaman. Jenis tanaman yang diteliti adalah komoditi
unggulan dan jenis ternak yang diteliti adalah sapi. Hasil usaha tani dihitung
dalam waktu satu tahun dengan luasan per hektar.

2 TINJAUAN PUSTAKA
Penerapan Integrated Farming System (IFS)
IFS merupakan sebuah sistem pertanian yang mengintegrasikan pertanian,
peternakan, perikanan, dan agro-industri dalam sistem simbiosis atau memperluas
sinergi, sehingga limbah dari satu proses menjadi masukan bagi proses lainnya,
dengan atau tanpa proses pengolahan untuk menyediakan input produksi, seperti
energi, pupuk, dan pakan untuk mencapai produksi optimal dengan biaya minimal
(CARDI 2010; Bahera dan Paris). Prinsip kunci IFS adalah (1) cyclic, sistem
pertanian membentuk siklus (sumber organik-ternak-tanah-tanaman), sehingga
keputusan yang terkait dengan salah satu komponen dapat memengaruhi
komponen lainnya, (2) rational, memanfaatkan limbah sebagai masukan untuk
menghindari kekurangan sumberdaya, (3) ecologically sustainable, IFS
meningkatkan produksi pertanian dengan tetap menjaga kelestarian lingkungan
dengan memanfaatkan bahan organik (Gupta et al. 2012).
Penerapan IFS memberikan dampak yang bervariasi. Beberapa penelitian
menyatakan penerapan IFS dapat meningkatkan pendapatan petani, namun ada
juga penelitian yang menyatakan sebaliknya. Penerapan usahatani secara
terintegrasi sudah banyak dilakukan baik oleh petani di dalam maupun luar negeri,
unit maupun wilayah. Penerapan IFS banyak dilakukan di negara-negara
berkembang seperti Afrika dan Asia dengan tujuan meningkatkan pendapatan
melalui pemanfaatan sumberdaya yang terbatas. Hasil dari beberapa penelitian
menunjukkan bahwa penerapan IFS juga terjadi pada negara-negara maju seperti
Eropa, Australia, dan Amerika.
Hossain et al. (2004) melakukan penelitian mengenai integrasi tanaman padi
dan bebek di Bangladesh. Integrasi antara tanaman padi dan bebek dilakukan
dengan melepaskan 20 day old ducklings (DOD) ke sawah setelah tanaman padi
berumur sepuluh hari. Jumlah DOD yang dilepaskan 350-400 ekor per ha. Bebek
dipanen dan dijual saat tanaman padi berumur 120 hari (tanaman mulai berbunga).
Integrasi tanaman padi dan bebek mampu menekan populasi serangga
pengganggu tanaman padi seperti wereng hijau, wereng coklat, walang sangit, dan
belalang. Integrasi ini juga memberikan dampak positif bagi tanaman padi seperti
meningkatkan tinggi tanaman, jumlah anakan per rumpun, jumlah malai per
rumpun, jumlah biji per malai, dan peningkatan hasil gabah per hektar
dibandingkan dengan penanaman padi secara tunggal. Senada dengan hasil
penelitian Ahmed dan Garnett (2011) di Bangladesh yang menunjukkan integrasi
padi-ikan mampu memberikan produktivitas yang lebih tinggi dibandingkan
dengan penanaman secara monokultur.
Nitis (1989) melakukan penelitian mengenai pengalaman pengembangan
tanaman-ternak berwawasan lingkungan di Bali. Sistem integrasi tanaman-ternak
menggunakan Sistem Tiga Strata (STS) dengan melakukan penanaman dan
pemangkasan ruput, legum, dan pohon untuk kebutuhan pakan ternak sepanjang
tahun. Secara ekonomi STS memberikan keuntungan bagi petani. Pendapatan
petani 29 persen lebih besar dan pendapatan memelihara 1 sapi Bali jantan dan 3
kambing PE 13 persen lebih besar daripada memelihara 12 kambing PE atau 2
sapi Bali jantan. Kayu bakar dari semak 29-112 kali lebih banyak dan dari pohon

5

75-271 kali lebih banyak. Produksi ternak yang dihasilkan melalui STS menjadi
lebih baik. Berat badan sapi bertambah lebih cepat, interval birahi sapi induk lebih
cepat, frekuensi birahi lebih sering, interval beranak lebih pendek, dan berat lahir
pedet lebih besar. Produksi dan daya tetas ayam kampung masing-masing
meningkat 56 dan 22 persen. Daya tampung STS adalah 1 sapi jantan berat 371
kilogram atau 1 sapi induk dengan pedet berat sapih atau 6 kambing PE berat 60
kilogram, dan dengan 12 ekor ayam petelur dan 1 koloni lebah madu. Secara
ekologi, penerapan STS mampu menurunkan tingkat erosi 57 persen, karena strata
2 dan 3 memiliki akar yang kuat untuk menahan batu dan kerikil, sedangkan strata
1 menahan tanah. Unsur hara dalam bentuk N 75 persen lebih tinggi, bahan
organik 13 persen lebih tinggi dan kandungan humus 23 persen lebih tinggi. STS
meningkatkan kesuburan lahan karena adanya bintil-bintil nitrogen dari tanaman
legum, humus dari akar dan daun lapuk dan pupuk kandang dari kotoran ternak.

Dampak Penerapan Integrated Farming System (IFS)
Petani senantiasa berusaha untuk meningkatkan pendapatan usahataninya,
baik dengan meningkatkan produksi, menghemat biaya-biaya usahatani dan
melakukan diversifikasi usahatani. Salah satu upaya yang dilakukan petani adalah
melaksanakan IFS yang mengintegrasikan beberapa jenis tanaman, ternak dan
ikan pada kawasan yang sama. Pada umumnya penerapan IFS berdampak secara
langsung pada peningkatan pendapatan petani dibandingkan single crop atau
penanaman secara tunggal (Hilimire 2011; Soni et al. 2014). Peningkatan
pendapatan dalam IFS disebabkan oleh peningkatan produksi, hasil produksi yang
beragam, dan menghemat biaya usahatani terutama biaya penyediaan input
produksi seperti pupuk, pakan, dan pestisida (Devendra dan Thomas 2002; Kanto
2011). Penghematan biaya dalam pembelian pupuk dan pakan ternak merupakan
hal yang penting bagi pelaku usahatani mengingat kedua komponen biaya tersebut
merupakan salah satu komponen biaya terbesar dalam usahatani. Menurut
beberapa penelitian, secara umum penerapan IFS memberikan dampak positif
bagi petani, diantaranya penyediaan pakan untuk ternak, penyediaan pupuk
organik, pengontrolan hama dan gulma tanaman, serta penghasil energi dan
tenaga.
Penyediaan pakan ternak
Penerapan IFS dapat menyediakan pakan untuk ternak ruminansia (sapi,
kerbau, kambing, domba) dan non-ruminansia melalui pemanfaatan limbah
tanaman dan agro-industri, sehingga menghemat biaya pakan ternak (Devendra
dan Thomas 2002). Senada dengan penelitian Nitis (1989) yang menyatakan
bahwa integrasi antara tanaman pangan, tanaman perkebunan dan ternak dalam
Sistem Tiga Strata (STS) yang dilakukan di Bali mampu menyediakan pakan
hijauan 91 persen lebih tinggi dibandingkan dengan sistem tradisional, sehingga
ketersediaan pakan ternak dapat terpenuhi sepanjang tahun.
Pemanfaatan limbah tanaman sebagai pakan ternak juga disampaikan oleh
Yamin et al. (2010) tentang integrasi sapi-sawit di Provinsi Sumatera Selatan.
Daun kelapa sawit yang dipisahkan lidinya dapat dijadikan pakan sebesar 1.32 ton
per hektar per tahun, sedangkan pelepah batang sawit sebesar 18.46 ton per hektar

6

per tahun. Satu hektar kebun kelapa sawit dapat menyediakan pakan ternak
sebesar 19.78 ton per tahun. Limbah pabrik kelapa sawit juga dapat menyediakan
pakan ternak berupa janjang kosong dan lumpur sebanyak 525 kilogram per ton
tandan buah segar. Selain pemanfaatan limbah tanaman, pemanfaatan sumberdaya
lokal yang ditanam pada lahan marginal atau sebagai pembatas lahan (kaliandra,
gamal, santen, waru, lamtoro dan jenis pohon lokal lainnya) juga dapat
dimanfaatkan sebagai pakan ternak dan mampu menjaga kesuburan tanah
(Rahmansyah et al. 2013; Witjaksono 2013; Soni et al. 2014).
Penyediaan pupuk organik
Devendra dan Thomas (2002b) menyebutkan bahwa ternak ruminansia dan
non ruminansia menghasilkan limbah ternak yang dapat dimanfaatkan sebagai
pupuk untuk menjaga dan meningatkan kesuburan tanah. Petani yang
memanfaatkan limbah ternak sebagai pupuk organik dapat mengurangi biaya
pembelian pupuk anorganik sehingga bermanfaat untuk mengurangi biaya
produksi. Selain mengurangi biaya produksi, beberapa hasil penelitian
menyatakan bahwa pemanfaatan limbah ternak membantu meningkatkan
kesuburan tanah dan produksi usahatani. Limbah ternak mengandung nutrisi yang
lengkap dan berimbang karena memiliki nutrisi mikro, makro, dan mineral
esensial yang baik untuk memenuhi kebutuhan nutrisi tanaman (Kanto 2011).
Lestari (2009) melakukan penelitian tentang pengembangan pertanian
berkelanjutan melalui substitusi pupuk anorganik dengan pupuk organik, hasil
penelitian menunjukkan bahwa pemberian pupuk organik untuk mengurangi
jumlah pemakaian pupuk anorganik mampu memberikan pertumbuhan dan hasil
yang tidak nyata dibandingkan dengan tanaman yang sepenuhnya memperoleh
pupuk anorganik. Hal ini menunjukkan bahwa pupuk organik dapat menggantikan
peran pupuk anorganik, terutama dalam peranannya sebagai penyuplai hara.
Selain dimanfaatkan untuk pupuk, limbah ternak dapat dimanfaatkan
sebagai pondasi kolam ikan dan pupuk bagi tanaman air (Prein 2002; Nhan et al.
2007; Soni et al. 2014). Kotoran ternak dimasukkan ke dalam karung dibenamkan
ke dasar kolam sebagai nutrisi untuk memproduksi phytoplankton dan
zooplankton yang dimanfaatkan sebagai pakan alami ikan. Pemberian pakan alami
dapat mengurangi bahkan menggantikan pemberian pelet ikan tanpa mengubah
kualitas ikan yang dihasilkan (Oribhabor dan Ansa 2006).
Mengontrol hama dan gulma tanaman
Pengembalaan ternak dalam satu kawasan usahatani membantu mengontrol
hama pengganggu tanaman. Petani dapat mengintegrasikan usahataninya dengan
mengusahakan ternak yang menjadi predator hama yang mengganggu tanaman.
Hasil penelitian Hossain et al. (2005) tentang integrasi antara tanaman padi-bebek
pada lahan sawah menyatakan bahwa pemeliharaan bebek di lahan sawah saat
tanaman padi berumur sepuluh hari sampai dengan tanaman mulai berbunga dapat
mengurangi populasi hama pengganggu tanaman padi. Hama penyerang tanaman
padi pada plot integrasi tanaman padi-bebek, seperti wereng loreng, wereng
coklat, walang sangit, dan belalang berkurang signifikan dibandingkan dengan
plot penanaman padi tanpa integrasi dengan bebek. Bebek mengontrol
pertumbuhan hama dengan memakan hama yang mengganggu tanaman.

7

Pengembalaan ternak di perkebunan seperti karet, kelapa sawit, kelapa dan
tanaman perkebunan lainnya dapat membantu mengontrol gulma dan mengurangi
biaya penggunaan herbisida (Devendra dan Thomas 2002; Yamin et al. 2010).
Pernyataan tersebut diperkuat dengan hasil penelitian Walia dan Kaur (2013) yang
menyatakan bahwa melalui integrasi di Saint-Hilaire (1991-1995) mampu
mengurangi penggunaan herbisida 10.1 persen, insektisida 28.3 persen, pupuk
anorganik 41.3 persen dan fungsida 89.8 persen. Selain mengurangi biaya
produksi, pengembalaan ternak untuk mengotrol hama dan gulma lebih aman bagi
kesehatan petani dan ramah terhadap lingkungan.
Penghasil energi dan tenaga
Manajemen pengelolaan limbah ternak dilakukan untuk menghasilkan
energi yang dapat diperbaharu dan mengurangi masalah pencemaran terutama
yang dihasilkan dari limbah padat (Petersen et al. 2007). Salah satu pengelolaan
limbah padat ternak adalah memanfaatkannya sebagai bahan baku utama
pembuatan biogas. Pengolahan limbah ternak menjadi biogas merupakan salah
satu upaya mengurangi pencemaran lingkungan, terutama pencemaran udara.
Pemanfaatan limbah ternak untuk memproduksi biogas dapat mengurangi
penggunaan kayu bakar. Hasil pengolahan limbah dalam bentuk bioslurry dapat
dimanfaatkan sebagai pupuk dan dapat dimanfaatkan sebagai pondasi kolam ikan
(Soni et al. 2014).
Tenaga ternak dimanfaatkan untuk membajak lahan untuk persiapan
sebelum musim tanam. Pemanfaatan tenaga ternak dapat menggantikan
penggunaan traktor, sehingga dapat menghemat penggunaan bahan bakar fosil
(Devendra dan Thomas 2002). Selain untuk membajak lahan, tenaga ternak juga
dapat dimanfaatkan untuk mengangkut hasil panen, sehingga membantu petani
mengurangi biaya pengangkutan. Pemanfaatan tenaga ternak dapat mengurangi
biaya produksi petani dan secara tidak langsung dapat meningkatkan pendapatan
petani.

3 KERANGKA PEMIKIRAN
Kerangka Pemikiran Teoritis
Konsep Integrasi Farming System (IFS)
IFS merupakan sebuah teknologi dalam pertanian yang mengusahakan lebih
dari satu cabang usahatani dan saling melengkapi (komplementer). Sistem ini
mengombinasikan tanaman pangan, ternak, ikan, maupun tanaman perkebunan
pada lahan yang sama dengan tujuan meningatkan produktivitas lahan yang
terbatas. Salah satu contoh integrasi yang banyak ditemui di Indonesia adalah
integrasi tanaman padi-sapi. Petani memanfaatkan tenaga sapi untuk membajak
sawah, kotorannya dimanfaatkan untuk pupuk. Hasil utama gabah yang dihasilkan
petani dikonsumsi dan sebagian ada yang dijual untuk memenuhi kebutuhan
keluarga. Limbah tanaman padi seperti jerami dimanfaatkan sebagai pakan ternak

8

saat memasuki musim kemarau. Secara sederhana integrasi tanaman padi-sapi
dapat dilihat pada Gambar 1.
Limbah jerami mudah diperoleh saat memasuki musim panen. Produksi
jerami padi rata-rata mecapai 6-8 ton per hektar, tergantung lokasi dan jenis
varietas padi yang ditanam. Dalam satu hektar tanaman padi, limbah Jerami yang
dihasilkan dapat dimanfaatkan sebagai pakan sapi dewasa dan mampu untuk
memenuhi kebutuhan 2-3 ekor sapi. Selain jerami padi, petani juga memanfaatkan
jerami jagung, kacang, dan jenis limbah tanaman lainnya.
Tanaman

Pupuk

Limbah

Pakan ternak

Ternak
Gambar 1 Model sederhana IFS
Sumber: dimodifikasi dari CARDI (2010)

Untuk meningkatkan kandungan nutrisi jerami dan mudah dicerna oleh
ternak perlu dilakukan proses fermentasi. Proses fermentasi membutuhkan waktu
21 hari dengan menggunakan probiotik yang dapat memacu proses degradasi
komponen serat dalam jerami. Selain meningkatkan kandungan nutrisi, proses
fermentasi dapat menambah daya simpan jerami hingga 4-8 bulan (Agustini
2010). Pengolahan pakan melalui proses fermentasi mampu menjamin
ketersediaan pakan ternak sepanjang tahun terutama saat musim kemarau.
Limbah padat yang dihasilkan ternak dapat dimanfaatkan sebagai bahan
baku pembuatan pupuk organik. Seekor sapi dapat menghasilkan kotoran basah
sebanyak 8-10 kilogram per hari. Pengolahan kotoran basah menjadi pupuk
organik akan mengalami penyusutan sebesar 30-40 persen, sehingga dapat
menghasilkan pupuk organik rata-rata 5-6 kg per hari atau 2.1 ton per tahun.
Penggunaan pupuk organik pada lahan sawah adalah 2 ton per hektar untuk setiap
kali penanaman, sehingga untuk memenuhi kebutuhan pupuk dalam setahun
dibutuhkan minimal dua ekor sapi. Selain sebagai bahan pembuatan organik,
limbah padat ternak juga dapat dimanfaatkan untuk bahan pembuatan biogas dan
pondasi kolam ikan (Prein 2002; Nhan et al. 2007; Soni et al. 2014).
IFS yang semakin kompleks menghasilkan produk yang lebih beragam.
Tanaman dapat menghasilkan produk utama seperti gabah, sayur, dan buah yang
dapat dijual atau dikonsumsi. Limbah tanaman yang dihasilkan dimanfaatkan
sebagai pakan ternak. Hasil utama ternak yang dipelihara umumnya berupa
daging, susu dan telur. Selain hasil utama, tenaga ternak dapat dimanfaatkan
untuk membajak sawah dan mengangkut hasil panen. Limbah ternak baik padat
maupun cair dapat diolah menjadi produk yang bermanfaat dan memiliki nilai
yang lebih tinggi. Manfaat dari limbah padat adalah sebagai bahan utama
pembuatan pupuk kompos dan biogas. Limbah cair dapat diolah dan dimanfaatkan

9

sebagai biourin dan biopestisida. Limbah padat juga dapat dimanfaatkan sebagai
pondasi kolam ikan, sedangkan pondasi kolam ikan dapat dimanfaatkan sebagai
pupuk dan hasil pengolahan ikan dapat dimanfaatkan sebagai campuran pakan
ternak. Tanaman juga dapat diintegrasikan dengan lebah untuk menghasilkan
madu. Model IFS yang lebih kompleks dapat dilihat pada Gambar 2.
Biopestisida

Madu

Gabah

Biourine

Lebah

Sayur
Buah

Limbah cair
Tanaman

Pupuk

Limbah

Kelapa

Pakan

Limbah padat

Kompos

Ternak

Biogas

Tenaga
Pondasi kolam

Daging

Masak

Pakan ikan

Susu

Energi

Ikan

Telur

Gambar 2 Model kompleks IFS
Sumber: dimodifikasi dari CARDI (2010)

Konsep Produksi Lebih dari Satu Produk dalam IFS
Salah satu upaya yang dilakukan petani untuk meningkatkan pendapatannya
adalah melalui penerapan diversifikasi. Diversifikasi merupakan penyelenggaraan
lebih dari satu cabang usahatani dalam satu unit usahatani yang didalamnya bisa
terdapat lebih dari satu jenis tanaman, satu jenis ternak, dan bisa terdapat berbagai
jenis ikan air tawar yang dipelihara di sawah atau di kolam (Kusnadi 2013).
Penyelenggaraan berbagai jenis cabang usaha tani tersebut dapat meminimalkan
risiko kerugian yang mungkin dialami oleh petani.
Usahatani disebut terintegrasi dicirikan dengan adanya hubungan fungsional
antara satu cabang usahatani dengan cabang usahatani lainnya. Hubungan yang
terjadi adalah hubungan komplementer atau saling melengkapi. Hubungan
komplementer terjadi saat limbah suatu usaha dapat dimanfaatkan sebagai input
bagi usaha lain dan sebaliknya (Devendra dan Thomas 2002; Thomas et al. 2002;
Gupta et al. 2012). Sepanjang AC pada Gambar 3 memperlihatkan hubungan

10

komplementer antara usaha tani padi (Y1) dan usaha ternak sapi (Y2). Hubungan
komplementer terjadi saat jerami dimanfaatkan sebagai pakan ternak dan limbah
ternak dimanfaatkan sebagai pupuk bagi usahatani padi.
Peningkatan produksi dari titik B ke titik C terjadi karena peningkatan
produksi usahatani tanaman sehingga menyebabkan peningkatan produksi ternak
atau sebaliknya. Peningkatan produksi tanaman terjadi karena pemanfaatan
limbah ternak sapi yang dimanfaatkan sebagai pupuk kandang, sehingga membuat
tanaman padi tumbuh lebih subur. Sedangkan kenaikan produksi ternak terjadi
karena pemanfaatan limmbah tanaman sebagai pakan ternak. Secara matematis
fungsi tersebut dapat dituliskan sebagai berikut: dY2/dY1 > 0 (Debertin 2002).
Y2

Daerah komplementer
C
Daerah kompetitif
B
A

Y1
Gambar 3 Kurva produksi lebih dari satu produk
Sumber: (Debertin 2012)

Terbatasnya sumberdaya yang dimiliki seperti modal, lahan dan tenaga kerja
menjadi faktor pembatas produksi dalam IFS sehingga mendorong terjadinya
hubungan yang kompetitif. Kondisi ini sering dialami petani kecil yang identik
dengan penguasaan lahan sempit, modal kecil, dan ketersediaan tenaga tenaga
kerja yang terbatas. Sumberdaya yang terbatas membuat peningkatan produksi
satu usaha akan diikuti dengan pengurangan produksi usaha lainnya. Hasil
penelitian Kusnadi (2013) memperlihatkan hubungan integrasi padi-ternak pada
usahatani kecil di Provinsi Jawa Barat adalah kompetitif karena terbatasnya lahan
dan tenaga kerja yang dimiliki oleh petani. Hubungan kompetitif terjadi saat
berproduksi melewati titik C, dimana peningkatan produksi ternak membuat
produksi tanaman turun atau sebaliknya.

Kerangka Pemikiran Operasional
Pada prakteknya penerapan IFS di Provinsi Bali dibedakan menjadi dua
model, yaitu model IFS unit dan model IFS wilayah. Petani yang bergabung
dalam kelompok termasuk dalam model IFS wilayah, sedangkan petani yang tidak
ikut bergabung dengan kelompok termasuk dalam IFS unit. Untuk mengetahui

11

tingkat penerapan IFS unit dan wilayah dilakukan analisis tingkat penerapan.
Tingkat penerapan dianalisis sesuai dengan indikator seperti: kondisi kandang
ternak, pemanfaatan limbah tanaman, pemanfaatan urin ternak, pemanfaatan
kotoran ternak untuk kompos, pemanfaatan tenaga ternak, pemanfaatan biogas,
pengendalian hama tanaman. Semakin banyak kriteria yang dipenuhi, maka
semakin tinggi tingkat penerapan IFS dan sebaliknya.
Faktor-faktor yang diduga memengaruhi tingat penerapan pada kedua model
adalah umur petani, pendidikan formal, jarak tempat tinggal, pengalaman
usahatani dan akses jalan yang memadai. Faktor-faktor tersebut dianalisis dengan
analisis regresi logistik. Tujuan terakhir adalah menganalisis pendapatan usahatani
pada kedua model. Adapun kegiatan usahatani pada kedua model adalah usahatani
tanaman, ternak, pengolahan pakan, pupuk, urin, dan biogas. Kerangka
operasioanal pemikiran penelitian dapat dilihat pada Gambar 4.
Integrated Farming System
(IFS) di Provinsi Bali
Model IFS Unit
(unit petani)

Tingkat Penerapan
1.
2.
3.
4.
5.
6.

Kondisi kandang
Limbah tanaman
Urin ternak
Kotoran ternak
Tenaga ternak
Biogas

Model IFS Wilayah
(petani kelompok)

Faktor-faktor yang
memengaruhi
1.
2.
3.
4.
5.

Analisis deskriptif
Regresi logistik

Umur petani
Pendidikan
Jarak
Pengalaman
Akses Jalan

Pendapatan IFS
1.
2.
3.
4.
5.
6.

Usaha tanaman
Pengusahaan ternak
Pengolahan pakan
Pengolahan pupuk
Pengolahan urin
Pengolahan biogas

Analisis usahatani
Analisis R/C rasio

Perbandingan tingkat penerapan,
faktor-faktor yang memengaruhi,
pendapatan usahatani, dan rasio R/C
Rekomendasi hasil penelitian

Gambar 4 Kerangka pemikiran operasional

4 METODOLOGI PENELITIAN
Waktu dan Tempat Penelitian
Penelitian ini dilakukan di delapan kabupaten di Provinsi Bali yakni,
Kabupaten Badung, Tabanan, Jembrana, Buleleng, Gianyar, Klungkung, Bangli,
dan Karangasem. Pemilihan lokasi penelitian dilakukan secara purposive atau
sengaja dengan pertimbangan terdapat dua model IFS yang diterapkan oleh petani
di Provinsi Bali. Pengumpulan data dilaksanakan pada bulan November 2015 Januari 2016.

Jenis dan Sumber Data
Data yang digunakan dalam penelitian adalah data primer dan data
sekunder. Data primer diperoleh melalui pengamatan langsung dilapangan dan
wawancara dengan responden dengan menggunakan alat bantu kuesioner. Data
primer yang dikumpulkan seperti luas lahan, penggunaan input, biaya produksi,
penggunaan tenaga kerja, produksi (tanaman, ternak, limbah), produktivitas lahan,
dan pendapatan. Data sekunder yang digunakan dalam penelitian ini seperti Data
Gapoktan Penerima Bantuan Simantri tahun 2009-2014. Data Sekunder diperoleh
dari instansi dan dinas terkait seperti Badan Pusat Statistik Provinsi Bali (BPS),
Dinas Pertanian Tanaman Pangan Provinsi Bali, jurnal, buku, internet, dan
berbagai sumber lain yang relevan dengan topik penelitian.

Metode Pengumpulan Data
Pengumpulan data primer diperoleh dari responden yang terkait dengan
penelitian ini, yaitu petani peserta IFS unit dan IFS wilayah. Metode
pengumpulan data yang digunakan adalah metode survei, pengamatan, dan
wawancara langsung kepada responden dengan menggunakan alat bantu
kuesioner yang sudah disiapkan. Penggunaan metode ini untuk mendapatkan
informasi yang lebih mendalam dari objek yang akan diteliti.

Metode Penentuan Sampel
Pada penelitian ini, Kabupaten yang menjadi sampel penelitian adalah
Kabupaten Badung, Tabanan, Jembrana, Buleleng, Gianyar, Klungkung, Bangli,
dan Karangasem. Penentuan sampel untuk petani peserta IFS unit dilakukan
secara insidental karena tidak ada kerangka sampel petani peserta yang
menerapkan IFS unit. Sedangkan metode pengambilan sampel petani peserta IFS
wilayah dilakukan secara purposive. Total jumlah sampel dalam penelitian ini
adalah 67 petani, terdiri dari 30 petani peserta IFS unit dan 37 petani peserta IFS
wilayah. Petani contoh peserta IFS unit dipilihh secara insidental, karena tidak ada
kerangka sampling, sedangkan petani contoh peserta IFS wilayah dipilih secara
purpossive.

13

Metode Analisis Data
Analisis Deskriptif
Analisis deskriptif digunakan untuk mengetahui tingkat penerapan IFS pada
model IFS unit dan model IFS wilayah. Tingkat penerapan terdiri dari beberapa
indikator, pada masing-masing indikator terdapat parameter yang berhubungan
dengan tingkat penerapan IFS. Indikator-indikator yang digunakan memiliki skor
yang disesuaikan dengan kriteria yang ditentukan oleh Dinas Pertanian Tanaman
Pangan Provinsi Bali (2015). Pengukuran tingkat penerapan dapat dilihat pada
Tabel 2.
Tabel 2 Pengukuran tingkat penerapan pada IFS unit dan wilayah di Provinsi Bali
Indikator
Kondisi
kandang ternak

Pemanfaatan
limbah tanaman

Pemanfaatan
urin ternak

Pemanfaatan
kotoran ternak

Pemanfaatan
tenaga ternak

Pemanfaatan
biogas

Parameter
Kandang permanen dan beratap untuk
melindungi ternak
Lokasi kandang mudah diakses
Kandang dilengkapi tempat pakan dan
saluran kotoran padat dan cair
Kandang bersih dan nyaman untuk
ternak
Limbah tanaman diamanfaatkan untuk
pakan ternak
Limbah tanaman diolah dan difermentasi
untuk pakan ternak
Limbah tanaman dimanfaatkan untuk
pupuk
Volume limbah yang dimanfaatkan
Urin ternak dimanfaatkan untuk pupuk
Urin ternak di fermentasi untuk
meningatkan kualitas pupuk
Volume biourin yang diproduksi
Volume biourin yang dimanfaatkan
Kotoran ternak dimanfaatkan untuk
pupuk
Kotoran ternak diolah menjadi kompos
Volume kompos yang di produksi
Volume kompos yang dimanfaatkan
Tenaga ternak dimanfaatkan untuk
membajak sawah
Tenaga ternak dimanfaatkan untuk
mengangkut hasil panen
Biogas dimanfaatkan untuk memasak
Biogas dimanfaatkan untuk sumber
penerangan
Jumlah pengguna biogas

Skor
1 2 3 4
1 2 3 4
1 2 3 4

Keterangan
1 = Buruk
2 = cukup baik
3 = baik
4 = sangat baik

1 2 3 4
1 2 3 4
1 2 3 4

1 = Rendah
2 = Cukup tinggi
3 = Tinggi
4 = Sangat tinggi

1 2 3 4
1 2 3 4
1 2 3 4
1 2 3 4
1 2 3 4
1 2 3 4
1 2 3 4
1
1
1
1

2
2
2
2

3
3
3
3

4
4
4
4

1 2 3 4
1 2 3 4
1 2 3 4
1 2 3 4

1 = Rendah
2 = Cukup tinggi
3 = Tinggi
4 = Sangat tinggi
1 = Rendah
2 = Cukup tinggi
3 = Tinggi
4 = Sangat tinggi
1 = Rendah
2 = Cukup tinggi
3 = Tinggi
4 = Sangat tinggi
1 = Rendah
2 = Cukup tinggi
3 = Tinggi
4 = Sangat tinggi

Menghitung interval kelas dilakukan dengan membagi rentang dengan kelas
interval. Rentang merupakan nilai tertinggi pada setiap indikator dikurangi dengan
nilai terendah. Kelas interval merupakan jumlah kategori yang ditentukan, dalam
penelitian ini adalah empat kategori, yaitu sangat tinggi, tinggi, cukup tinggi dan

14

rendah. Pengukuran interval kelas secara lebih ringkas dapat dituliskan sebagai
berikut:

Ketrangan :
IK
: interval kelas
Rentang
: nilai tertinggi – nilai terendah
Kelas interval : jumlah kategori yang ditentukan
Pencapaian skor masing-masing indikator dilakukan dengan menjumlahkan
skor masing-maisng parameter dan dibagi dengan jumlah parameter. Pencapaian
skor penerapan IFS dapat dilihat pada Tabel 3. Pencapaian skor 1.00-1.75
termasuk dalam kategori buruk atau rendah, skor 1.76-2.50 termasuk dalam
kategori cukup baik atau cukup tinggi, skor 2.51-3.25 termasuk dalam kategori
baik atau tinggi, dan skor 3.26-4.00 termasuk dalam kategori sangat baik atau
sangat tinggi.
Tabel 3 Pencapaian skor penerapan IFS
Pencapaian
skor
3.26-4.00
2.51-3.25
1.76-2.50
1.00-1.75

Kondisi
kandang ternak
Sangat baik
Baik
Cukup baik
Buruk

Pemanfaatan
limbah
tanaman
Sangat tinggi
Tinggi
Cukup tinggi
Rendah

Indikator
Pemanfaatan
Pemanfaatan
kotoran
urin ternak
ternak
Sangat tinggi
Sangat tinggi
Tinggi
Tinggi
Cukup tinggi
Cukup tinggi
Rendah
Rendah

Pemanfaatan
tenaga ternak

Pemanfaatan
biogas

Sangat tinggi
Tinggi
Cukup tinggi
Rendah

Sangat tinggi
Tinggi
Cukup tinggi
Rendah

Total skor tingkat penerapan IFS dihitung dengan menjumlahkan skor pada
masing-masing indikator. Total skor tingkat penerapan dibagi menjadi empat
kategori, yaitu rendah (6.00-10.5), cukup tinggi (10.60-15.50), tinggi (15.5119.50), dan sangat tinggi (19.51-24.00). Semakin tinggi total skor yang diperoleh
maka semakin tinggi tingkat penerapan IFS dan sebaliknya.
Analisis Regresi Logistik
Analisis regresi logistik (logit) adalah uji regresi yang digunakan pada
pelitian apabila variabel dependen berskala dikotomi (nominal dengan 2 kategori)
untuk mengidentifikasi faktor-faktor yang mempengaruhi tingkat penerapan IFS.
Model logit dapat digunakan untuk menganalisis peluang seseorang memilih
pilihan tertentu (Gasperz 1991). Faktor-faktor yang digunakan dalam penelitian
ini dikembangkan dari penelitian Hosu dan Mushunje (2013) dan Ogwumba
(2010). Faktor-faktor yang diperkirakan memiliki korelasi terhadap tingkat
penerapan IFS dapat dilihat pada Tabel 4. Model regresi logistik dapat
diformulasikan sebagai berikut:

15

Dimana:
Y = β0 + β1X1 + β2X2 + β3X3 + ...+ BnXn
Keterangan:
P
= Peluang tinggi rendahnya tingkat penerapan IFS
e
= Bilangan natural (2.71828)
Y
= Tingkat penerapan IFS
β0 = Intersep
βn = koefisien regresi faktor ke n
Xn = Faktor ke-n (n=1,2,3,...,n)
Tabel 4 Faktor yang memengaruhi tingkat penerapan integrasi pada Gapoktan
Variabel

Batasan Operasional

Satuan

Hubungan yang
diharapkan

Usia
Pendidikan
formal
Jarak tempat
tinggal
Pengalaman
usahatani
Akses jalan

Usia petani responden
Lamanya responden menempuh
pendidikan formal
Jarak antara tempat tinggal petani
ke lokasi kandang
Lamanya waktu responden bertani
maupun berternak
Terdapat akses yang memadai
untuk mencapai lokasi

tahun
tahun

+

km

-

tahun

+

-

+

Analisis Pendapatan Usahatani
Indikator keberhasilan suatu usaha layak untuk diterapkan salah satunya
dapat dilihat dari total pendapatan yang diperoleh petani. Pendapatan usahatani
diperoleh melalui penjualan output yang dihasilkan. Total penerimaan atau total
revenue (TR) yang diperoleh petani merupakan jumlah output yang dihasilkan
oleh petani dikali dengan harga output (Debertin 2012). Secara matematis
penerimaan dapat dirumskan sebagai berikut:
TR = P.Q
Keterangan:
TR = Total penerimaan
P
= Harga produk
Q = Hasil produksi (output)
Biaya produksi total atau total cost (TC) merupakan biaya yang dikeluarkan
untuk menghasilkan produk atau jasa dengan tujuan memperoleh keuntungan
(Guan et al. 2009). TC merupakan hasil penjumlahan dari biaya tetap dan biaya
variabel. Biaya tetap atau fixed cost (FC) merupakan biaya yang harus dikeluarkan
oleh petani saat sedang berproduksi atau tidak berproduksi (Debertin 2012).
Dalam jangka pendek besarnya FC tidak akan berubah, tetapi akan berubah jika
produksi berubah pada jangka panjang. Biaya tetap hanya ada pada jangka
pendek, sedangkan pada jangka panjang akan bernilai nol. Variable cost (VC)

16

merupakan biaya produksi yang besarnya akan berubah bergantung pada jumlah
output yang diproduksi oleh petani, baik pada jangka pendek maupun jangka
panjang (Debertin 2012, Kay et al. 2004).
TC = VCi + FCi
Keterangan:
TC = biaya total (Rp)
VC = biaya variable (Rp)
FC = biaya tetap
Keuntungan yang diperoleh petani merupakan selisih antara total
penerimaan atau total revenue (TR) dikurangi dengan total cost (TC). Semakin
tinggi selisih antara TR dan TC, maka semakin tinggi keuntungan yang diperoleh
oleh petani (Debertin 2012). Secara matematis keuntungan yang diperoleh dapat
dituliskan dalam persamaan berikut:
= TR-TC
Keterangan:
π
= Pendapatan usahatani (Rp)
TR = Total penerimaan (Rp)
TC = Total biaya (Rp)
Analisis Imbangan Penerimaan dan Biaya (R/C)
Analisis imbangan penerimaan dan biaya (R/C ratio anaysis) digunakan
untuk mengetahui kriteria kelayakan dari usaha yang dilakukan. Rasio R/C
membandingkan antara penerimaan usahatani (TR) dengan total biaya (TC).
Rumus Rasio R/C atas biaya tunai dapat dituliskan dalam persamaan berikut:
Rasio R/C =
Keterangan:
R/C = analisis rasio
TR = Total penerimaan
TC = Total biaya
Apabila hasil perhitungan menunjukkan R/C > 1, maka penerimaan yang
diperoleh lebih besar dibandingkan biaya yang dikeluarkan, sehingga dapat
disimpulkan bahwa usaha yang dijalankan menguntungkan. Sebaliknya apabila
nilai R/C < 1, penerimaan yang diperoleh lebih kecil dibandingkan dari biaya
yang dikeluarkan, ini berarti usaha yang dijalankan tidak menguntungkan.

5 HASIL DAN PEMBAHASAN
Gambaran Umum Lokasi Penelitian
Bali merupakan salah satu provinsi di Indonesia dengan Ibukota Denpasar.
Letaknya di antara Pulau Jawa dan Pulau Lombok. Secara keseluruhan Bali
memiliki luas wilayah 5 636.66 km2 atau sebesar 0.29 persen dari luas seluruh
kepulaun Indonesia (BPS Provinsi Bali, 2015). Bali memiliki empat pulau kecil,
yakni Pulau N