Gambaran Karakteristik Penderita Rinosinusitis Tipe Dentogen di RSUP H. Adam Malik Medan 2009-2012

BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA

2.1

Hidung

2.1.1 Anatomi Hidung
2.1.1.1 Anatomi Hidung Luar
Hidung luar berbentuk piramid dengan bagian-bagiannya dari atas ke
bawah: pangkal hidung (bridge), batang hidung (dorsum nasi), puncak hidung
(hip), ala nasi, kolumela dan

lubang hidung (nares anterior). Hidung luar

dibentuk oleh kerangka tulang dan tulang rawan yang dilapisi oleh kulit, jaringan
ikat dan beberapa otot kecil yang berfungsi untuk melebarkan atau menyempitkan
lubang hidung. Kerangka tulang terdiri dari 1)lubang hidung (os nasal), 2)
prosesus frontalis os maksila dan 3) prosesus nasalis os frontal; sedangkan
kerangka tulang rawan terdiri dari beberapa pasang tulang rawan yang terletak di
bagian bawah hidung, yaitu 1) sepasang kartilago nasalis lateralis superior, 2)

sepasang kartilago nasalis lateralis inferior yang disebut juga sebagai kartilago ala
mayor dan 3) tepi anterior kartilago septum (Soetjipto dan Wardani, 2007).

2.1.1.2 Anatomi Hidung Dalam
Rongga hidung atau kavum nasi berbentuk terowongan dari depan ke
belakang di pisahkan oleh septum nasi di bagian tengahnya menjadi kavum nasi
kanan dan kiri. Pintu atau lubang masuk kavum nasi bagian depan disebut nares
anterior

dan

lubang

belakang

disebut

nares

posterior


(koana)

yang

menghubungkan kavum nasi dengan nasofaring (Soetjipto dan Wardani, 2007).

Universitas Sumatera Utara

Dikutip dari: Atlas of Human Anatomy (Netter, F. H, 2006)
Gambar 2.1 Anatomi Hidung Dalam

Bagian dari kavum nasi yang letaknya sesuai dengan ala nasi, tepat
dibelakang nares anterior, disebut vestibulum. Vestibulum ini dilapisi oleh kulit
yang mempunyai banyak kelenjar sebasea dan rambut-rambut panjang yang
disebut vibrise. Tiap kavum nasi mempunyai 4 buah dinding medial, lateral,
inferior dan superior (Soetjipto dan Wardani, 2007).
Dinding medial hidung ialah septum nasi. Septum dibentuk oleh tulang
dan tulang rawan. Bagian tulang adalah 1)lamina perpendikularis os etmoid, 2)
vomer, 3) krista nasalis os maksila dan 4) krista nasalis os palatina. Bagian tulang

rawan adalah 1) kartilago septum (lamina kuadrangularis) dan 2) kolumela.
Septum dilapisi oleh perikondrium pada bagian tulang rawan dan periosteum pada
bagian tulang, sedangkan diluarnya dilapisi oleh mukosa hidung (Soetjipto dan
Wardani, 2007).

Universitas Sumatera Utara

Pada dinding lateral terdapat 4 buah konka. Yang terbesar dan letaknya
paling bawah ialah konka inferior, kemudian yang lebih kecil ialah konka media,
yang lebih kecil lagi ialah konka superior, sedangkan yang terkecil disebut konka
suprema. Konka suprema ini biasanya rudimenter. Konka inferior merupakan
tulang tersendiri yang melekat pada os maksila dan labirin etmoid, sedangkan
konka media, superior dan suprema merupakan bagian dari labirin etmoid
(Soetjipto dan Wardani, 2007).
Diantara konka-konka dan dinding lateral hidung terdapat rongga sempit
yang disebut meatus. Tergantung dari letak meatus, ada tiga meatus yaitu meatus
inferior, medius dan superior. Meatus inferior terletak diantara konka inferior
dengan dasar hidung dan dinding lateral rongga hidung. Pada meatus inferior
terdapat muara (ostium) duktus nasolakrimalis. Meatus medius terletak di antara
konka media dan dinding lateral rongga hidung. Pada meatus medius terdapat

muara sinus frontal, sinus maksila dan sinus etmoid anterior. Pada meatus
superior yang merupakan ruang diantara konka superior dan konka media terdapat
muara sinus etmoid posterior dan sinus sfenoid (Soetjipto dan Wardani, 2007).

2.1.1.3 Batas rongga hidung
Dinding inferior merupakan dasar rongga hidung dan dibentuk oleh os
maksila dan os palatum. Dinding superior atau atap hidung sangat sempit dan
dibentuk oleh lamina kribriformis, yang memisahkan rongga tengkorak dari
rongga hidung. Lamina kribriformis merupakan lempeng tulang berasal dari os
etmoid, tulang ini berlubang-lubang (kribrosa=saringan) tempat masuknya
serabut-sarabut saraf olfaktorius. Dibagian posterior, atap rongga hidung dibentuk
oleh os sfenoid (Soetjipto dan Wardani, 2007).

2.1.2 Fisiologi Hidung
Mukosa Olfaktorius mengandung tiga jenis sel: reseptor olfaktorius, sel
penunjang dan sel basal. Sel-sel penunjang mengeluarkan mukus yang melapisi
saluran hidung. Sel-sel basal adalah prekursor untuk sel-sel reseptor olfaktorius
yang baru, yang diganti setiap dua bulan. Sel-sel olfaktorius sendiri merupakan

Universitas Sumatera Utara


ujung-ujung neuron aferen khusus dan satu-satunya neuron yang mengalami
pembelahan sel. Akson-akson sel reseptor secara kolektif membentuk saraf
olfaktorius. Bagian reseptor dari sel olfaktorius terdiri dari sebuah kepala yang
menggembung dan berisi beberapa silia panjang yang meluas ke permukaan
mukosa. Silia ini mengandung tempat pengikatan untuk melekatnya molekulmolekul odoriferous (pembentuk bau) (Sherwood, 2001).
Agar dapat berikatan dengan sel-sel olfaktorius dan dapat membentuk bau maka
suatu bahan harus:




Cukup mudah menjadi gas (mudah menguap), sehingga sebagian
melekulnya dapat masuk ke hidung dalam udara yang dihirup
Cukup mudah untuk larut-air, sehingga dapat larut kedalam lapisan mukus
yang melapisi mukosa olfaktorius (Sherwood, 2001).
Pengikatan suatu molekul odoriferous ke tepat perlekatannya disilia akan

menyebabkan pembukaan saluran-saluran Na+ dan K+. Terjadi perpindahan ionion yang menimbulkan depolarisasi potensial reseptor yang menyebabkan
terbentuknya potensial aksi di serat aferen. Serat-serat aferen berjalan melalui

lubang-lubang halus di lempeng tulang datar yang memisahkan mukosa
olfaktorius dari jaringan otak diatasnya. Serat-serat tersebut segera bersinaps di
bulbus olfaktorius, suatu struktur saraf kompleks yang mengandung beberapa
lapisan sel yang berbeda-beda. Serat yang keluar dari bulbus olfaktorius berjalan
melalui dua rute:


Rute subkortikal yang terutama menuju ke daerah-daerah di sistem limbik,
khususnya sisi medial bawah lobus temporalis (yang dianggap sebagai



korteks olfaktorius primer) (Sherwood, 2001).
Rute talamus kortikal dimana rute ini mencakup keterlibatan hipotalamus,
memungkinkan koordinasi erat antara reaksi penciuman dan perilaku, dan
rute ini juga penting untuk persepsi sadar dan diskriminasi halus
penciuman (Sherwood, 2001).

Universitas Sumatera Utara


Fungsi Hidung


Fungsi respirasi untuk mengatur kondisi udara (air conditioning),
penyaring udara, humidifikasi, penyeimbang dalam pertukaran tekanan



dan mekanisme imunologik lokal (Soetjipto dan Wardani, 2007).
Fungsi penciuman karena terdapat mukosa olfaktorius dan reservoir udara
untuk menampung stimulus penghidung\fungsi fonetik yang berguna
untuk resonansi suara, membantu proses bicara dan mencegah hantaran



suara sendiri melalui konduksi tulang (Soetjipto dan Wardani, 2007).



terhadap trauma dan pelindung panas (Soetjipto dan Wardani, 2007).


Fungsi statik dan mekanik untuk meringankan beban kepala, proteksi

Refleks nasal (Soetjipto dan Wardani, 2007).

2.1.3 Persarafan Hidung (Cavum Nasi)
Nervus olfaktorius atau saraf penciuman, merupakan juluran sentral dari
sel-sel saraf reseptor olfaktorius didalam membran mukosa bagian atas rongga
hidung (diatas konka nasalis superior). Berkas-berkas serabut saraf ini berjalan
melalui lubang didalam lamina cribrosa os etmoidalis dan berakhir pada bulbus
olfaktorius didalam fossa cranii anterior. Dari ujung posterior bulbus olfaktorius
keluar sebuah pita putih yang disebut traktus olfaktorius yang berjalan kebelakang
menuju ke area olfaktorius cortex cerebri (Snell, 2006).
Saraf-saraf sensasi umum berasal dari divisi oftalmika dan maxillaris
nervus trigeminus. Persarafan bagian anterior cavum nasi berasal dari nervus
etmoidalis anterior. Persarafan bagian posterior cavum nasi berasal dari ramus
nasalis, ramus nasopalatinus, dan ramus palatinus ganglion pterygopalatinum (
Snell, 2006).

2.1.4 Vaskularisasi Hidung

Bagian atas rongga hidung mendapat perdarahan dari arteri etmoid anterior
dan posterior yang merupakan cabang dari arteri oftalmika dari arteri karotis
interna, dibagian bawah rongga hidung mendapat perdarahan dari cabang arteri
maksilaris interna diantaranya adalah ujung arteri palatina mayor dan arteri

Universitas Sumatera Utara

sfenopalatina

yang

keluar

dari

foramen

sfenopalatina

bersama


nervus

sfenopalatina dan memasuki rongga hidung di belakang ujung posterior
konka media. Bagian depan hidung mendapat perdarahan dari cabang-cabang
arteri Fasialis (Soetjipto dan Wardani, 2007).
Pada bagian depan septum terdapat anastomosis dari cabang-cabang arteri
sfenopalatina, etmoid, labialis superior, dan palatina mayor yang disebut pleksus
Kiesselbach (Little’s area). Pleksus Kiesselbach letaknya superfisial dan mudah
cedera oleh trauma, sehingga sering menjadi sumber epistaksis (perdarahan
hidung) terutama pada anak (Soetjipto dan Wardani, 2007).
Vena-vena hidung mempunyai nama yang sama dan

berjalan

berdampingan dengan arterinya. Vena di vestibulum dan struktur luar hidung
bermuara ke vena oftalmika yang berhubungan dengan sinus kavernosus. Venavena dihidung tidak memiliki katup sehingga merupakan predisposisi untuk
mudahnya penyebaran infeksi hingga ke intrakranial (Soetjipto dan Wardani,
2007).


2.2

Sinus Paranasal

2.2.1 Anatomi Sinus Paranasal
Sinus paranasal merupakan hasil pneumatisasi tulang-tulang kepala,
sehingga terbentuk rongga di dalam tulang. Semua sinus mempunyai muara
(ostium) ke dalam rongga hidung. Sinus paranasal terdiri dari empat pasang,
mulai dari yang terbesar yaitu sinus maksila, sinus frontal, sinus etmoid dan sinus
sfenoid kanan dan kiri (Soetjipto dan Mangunkusomo, 2007).
Secara embriologik, sinus paranasal berasal dari invaginasi mukosa rongga
hidung dan perkembangannya dimulai pada fetus usia 3-4 bulan, kecuali sinus
sfenoid dan sinus frontal. Sinus maksila dan sinus etmoid telah ada saat bayi lahir,
sedangkan sinus frontal berkembang dari sinus etmoid anterior pada anak yang
berusia kurang lebih 8 tahun. Pneumatisasi sinus sfenoid dimulai pada usia 8-10
tahun dan berasal dari bagian postero-superior rongga hidung. Sinus-sinus ini
umumnya mencapai besar maksimal pada usia antara 15-18 tahun (Soetjipto dan
Mangunkusomo, 2007).

Universitas Sumatera Utara

Dikutip dari: Atlas of Human Anatomy (Netter, F. H, 2006)
Gambar 2.2 Anatomi Sinus Paranasal

2.2.1.1 Sinus Maksila
Sinus maksila merupakan sinus paranasal yang terbesar. Saat lahir sinus
maksila bervolume 6-8 ml. Sinus kemudian berkembang dengan cepat dan
akhirnya mencapai ukuran maksimal, yaitu 15 ml saat dewasa (Soetjipto dan
Mangunkusomo, 2007).
Sinus maksila berbentuk piramid. Dinding anterior sinus ialah permukaan
fasial os maksila yang disebut fossa kanina, dinding posteriornya adalah
permukaan infra-temporal maksila, dinding medialnya ialah dinding lateral
rongga hidung, dinding superiornya ialah dasar orbita dan dinding inferiornya
ialah prosesus alveolaris dan palatum. Ostium sinus maksila di sebelah superior
dinding medial sinus dan bermuara ke hiatus semilunaris melalui infundibulum
etmoid (Soetjipto dan Mangunkusomo, 2007).

Universitas Sumatera Utara

Dikutip dari: Atlas of Human Anatomy (Netter, F. H, 2006)
Gambar 2.3 Anatomi Sinus Maksila

Dari segi klinik yang perlu diperhatikan dari anatomi sinus maksila adalah
1) Dasar sinus maksila sangat berdekatan dengan akar gigi rahang atas, yaitu
premolar (P1 dan P2), molar (M1 dan M2), kadang-kadang juga gigi taring
(C) dan gigi molar M3, bahkan akar-akar gigi tersebut dapat menonjol
kedalam sinus, sehingga infeksi gigi geligi mudah naik ke atas
menyebabkan sinusitis (Soetjipto dan Mangunkusomo, 2007).
2) Sinusitis maksila dapat menyebabkan komplikasi orbita (Soetjipto dan
Mangunkusomo, 2007).
3) Ostium sinus maksila terletak lebih tinggi dari dasar sinus, sehingga
drainase hanya tergantung dari gerak silia, lagipula drainase juga harus
melalui infundibulum yang sempit. Infundibulum ialah bagian dari sinus
etmoid anterior dan pembengkakan akibat radang atau alergi pada daerah
ini

dapat

menghalangi

drainase

sinus

maksila

dan

selanjutnya

menyebabkan sinusitis (Soetjipto dan Mangunkusomo, 2007).

Universitas Sumatera Utara

2.2.2

Kompleks Ostio-Meatal
Pada sepertiga tengah dinding lateral hidung yaitu di meatus medius, ada

muara-muara saluran dari sinus maksila, sinus frontal dan sinus etmoid anterior.
Daerah ini rumit dan sempit, dan dinamakan kompleks ostio-meatal (KOM),
terdiri dari infundibulum etmoid yang terdapat dibelakang prosesus unsinatus,
resesus frontallis, bula etmoid dan sel-sel etmoid anterior dengan ostiumnya dan
ostium maksila (Soetjipto dan Mangunkusomo, 2007).

Dikutip dari: (Gaillard, F., 2010)
Gambar 2.4 Anatomi Kompleks Ostio-Meatal

2.2.3 Sistem Mukosiliar
Seperti pada mukosa hidung, didalam sinus juga terdapat mukosa bersilia
dan palut lendir diatasnya. Didalam sinus silia bergerak secara teratur untuk
mengalirkan lendir menuju ostium alamiahnya mengikuti jalur-jalur yang sudah
tertentu polanya (Soetjipto dan Mangunkusomo, 2007).
Pada dinding lateral hidung terdapat 2 aliran transpor mukosiliar dari
sinus. Lendir yang berasal dari kelompok sinus anterior yang bergabung di

Universitas Sumatera Utara

infundibulum etmoid dialirkan ke nasofaring di depan muara tuba Eustachius.
Lendir yang berasal dari kelompok sinus posterior bergabung di resesus
sfenoetmoidalis, dialirkan ke nasofaring di postero-superior muara tuba. Inilah
sebabnya pada sinusitis didapati sekret pasca-nasal (post nasal drip), tetapi belum
tentu ada sekret di rongga hidung (Soetjipto dan Mangunkusomo, 2007).

2.2.4 Fungsi Sinus Paranasal
Sampai saat ini belum ada persesuaian pendapat mengenai fisiologi sinus
paranasal. Ada yang berpendapat bahwa sinus paranasal ini tidak mempunyai
fungsi apa-apa, karena terbentuknya sebagai akibat pertumbuhan tulang muka
(Soetjipto dan Mangunkusomo, 2007).
Beberapa teori yang dikemukakan sebagai fungsi sinus paranasal antara lain:
A. Sebagai pengatur kondisi udara (air conditioning)
Sinus berfungsi sebagai ruang tambahan untuk memanaskan dan
mengatur kelembapan udara inspirasi. Keberatan terhadap teori ini ialah
karena ternyata tidak didapati pertukaran udara yang definitif antara sinus
dan rongga hidung. Volume pertukaran udara dalam ventilasi sinus kurang
lebih 1/1000 volume sinus pada tiap kali bernafas, sehingga dibutuhkan
beberapa jam untuk pertukaran udara total dalam sinus. Lagi pula mukosa
sinus tidak mempunyai vaskularisasi dan kelenjar yang sebanyak mukosa
hidung (Soetjipto dan Mangunkusomo, 2007).
B. Sebagai penahan suhu (thermal insulators)
Sinus paranasal berfungsi sebagai penahan (buffer) panas, melindungi
orbita dan fossa serebri dari suhu rongga hidung yang berubah-ubah.
(Soetjipto dan Mangunkusomo, 2007).
C. Membantu keseimbangan kepala
Sinus membantu keseimbangan kepala karena mengurangi berat
tulang muka. (Soetjipto dan Mangunkusomo, 2007).
D. Membantu resonansi suara
Sinus mungkin berfungsi sebagai rongga untuk resonansi suara dan
mempengaruhi kualitas suara. (Soetjipto dan Mangunkusomo, 2007).

Universitas Sumatera Utara

E. Sebagai peredam perubahan tekanan udara
Fungsi ini berjalan bila ada perubahan tekanan yang besar dan
mendadak, misalnya pada waktu bersin atau membuang ingus(Soetjipto,
dan Mangunkusomo, 2007).
F. Membantu produksi mukus
Mukus yang dihasilkan oleh sinus paranasal memang jumlahnya kecil
dibandingkan dengan efektif mukus dari rongga hidung, namun efektif
untuk membersihkan partikel yang turut masuk dengan udara inspirasi
karena mukus ini keluar dari meatus medius, tempat yang paling strategis
(Soetjipto dan Mangunkusomo, 2007).

2.3

Gigi

2.3.1 Anatomi Gigi
2.3.1.1 Bagian Gigi
Gigi mempunyai beberapa bagian, yaitu:
a) Bagian akar gigi, adalah bagian dari gigi yang tertanam di dalam tulang
dikelilingi (dilindungi) oleh jaringan periodontal.
b) Mahkota gigi adalah bagian dari gigi yang dapat dilihat
c) Cusp adalah tonjolan runcing atau tumpul yang terdapat pada mahkota
(Frencken (1997) dalam Sihombing (2009)).

2.3.1.2 Bentuk-bentuk Gigi Permanen
Orang dewasa biasanya mempunyai 32 gigi permanen, 16 ditiap rahang.
Di tiap rahang terdapat:
a) Empat gigi depan (gigi insisivus). Bentuknya seperti sekop dengan tepi
yang lebar untuk menggigit, hanya mempunyai satu akar. Gigi insisivus
atas lebih besar daripada gigi yang bawah (Frencken (1997) dalam
Sihombing (2009).
b) Dua gigi kaninus yang serupa dirahang atas dan rahang bawah. Gigi ini
kuat dan menonjol di “sudut mulut”. Hanya mempunyai satu akar
(Frencken (1997) dalam Sihombing (2009) .

Universitas Sumatera Utara

c) Empat gigi pre-molar/gigi molar kecil. Mahkotanya bulat hampir seperti
bentuk kaleng tipis, mempunyai dua tonjolan, satu di sebelah pipi dan satu
di sebelah lidah. Kebanyakan gigi pre-molar mempunyai satu akar,
beberapa mempunyai dua akar (Frencken (1997) dalam Sihombing (2009).
d) Enam gigi molar. Merupakan gigi-gigi besar disebelah belakang didalam
mulut digunakan untuk menggiling makanan. Semua gigi molar
mempunyai mahkota persegi seperti blok-blok bangunan. Ada mempunyai
tiga, empat atau lima tonjolan. Gigi molar di rahang atas mempunyai tiga
akar dan gigi molar rahang bawah mempunyai dua akar (Frencken (1997)
dalam Sihombing (2009).

Dikutip dari: Dental Anatomy (Fehrenbach, M.J, 2008)
Gambar 2.5 Bentuk-bentuk Gigi

2.3.1.3 Jaringan Gigi
Gigi terdiri dari beberapa jaringan, yaitu:
a. Enamel
Enamel merupakan bahan yang tidak ada selnya dan juga merupakan satusatunya komponen dalam tubuh manusia yang tidak mempunyai kekuatan
reparatif karena itu regenerasi enamel tidak mungkin terjadi. Struktur
enamel gigi merupakan susunan kimia kompleks, sebagian besar terdiri
dari 97% mineral (kalsium, fosfat, karbonat, dan fluor), air 1% dan bahan
organik 2%, yang terletak dalam suatu pola kristalin. Karena susunan
enamel yang demikian maka ion-ion dalam cairan rongga mulut dapat

Universitas Sumatera Utara

masuk ke enamel bagian dalam dan hal ini memungkinkan terjadinya
transport ion-ion melalui permukaan dalam enamel ke permukaan luar
sehingga akan terjadi perubahan enamel (Frencken (1997) dalam
Sihombing (2009).
b. Dentin
Dentin adalah jaringan berkapur yang lebih keras dari tulang karena
kandungan garam kalsiumnya yang lebih tinggi (70%) dari berat kering.
Dentin terutama terdiri atas serabut kolagen tipe satu, glikosaminoglikan,
fosfoprotein, fosfolipid, dan garam kalsium dalam bentuk kristal
hidroksiapatit. Dentin senstitif terhadap beberapa stimulus, seperti panas,
dingin, trauma, dan ph asam, dan semua stimulus ini dirasakan nyeri.
Dentin memiliki sedikit serabut saraf tak bermielin yang memasuki bagian
didalamnya (Janqueira dan Carneiro, 2003).
c. Sementum
Sementum menutupi dentin akar gigi dan susunannya serupa dengan
tulang. Sementum bersifat labil dan bereaksi terhadap stres yang
dialaminya dengan meresorpsi jaringan tua atau menghasilkan jaringan
baru (Janqueira dan Carneiro, 2003).
d. Pulpa
Pulpa terdiri atas jaringan ikat longgar. Komponen utamanya adalah
odontoblas, fibroblas, serabut kolagen halus, dan suatu substansi dasar
yang mengandung glikosaminoglikan. Pulpa merupakan jaringan yang
banyak mengandung pembuluh darah dan saraf. Serat pulpa sensitif
terhadap nyeri, yakni satu-satunya modalitas sensorik yang dapat dikenali
gigi (Janqueira dan Carneiro, 2003).

Universitas Sumatera Utara

Dikutip dari : (Douglass, A.B., 2003)
Gambar 2. 6 Anatomi Gigi

2.3.1.4 Hubungan Sinus Maksila dengan Gigi Geligi
Pada orang dewasa, akar dari ketiga molar yang permanen selalu menonjol
kedalam lumen, kedua premolar kadang-kadang juga begitu, namun caninus
jarang terjadi. Akar gigi dapat menonjol di dasar sinus dan menghasilkan
tonjolan-tonjolan yang tajam. Tonjolan dari akar gigi terlihat hanya dilapisi oleh
mukosa yang tipis (Lund, 1997).
Kadang kala tonjolan gigi ini bercelah dengan jaringan granulasi atau
polip yang terperangkap dan membuat pengeluaran pada waktu pembedahan
menjadi sulit. Kedekatan gigi dan lumen sinus dapat menerangkan bahwa sinusitis
maksila sering disebabkan oleh faktor gigi (Lund, 1997).

2.4

Rinosinusitis Dentogen

2.4.1 Definisi
Sinus maksila disebut juga dengan antrum Highmore, karena letaknya
yang dekat dengan akar gigi rahang atas maka infeksi gigi mudah menyebar ke
sinus disebut dengan rinosinusitis dentogen. (Hoesin, 2012). Kondisi ini dapat
menyebar ke sinus paranasal lainnya jika tidak diobati atau tidak mendapatkan
pengobatan yang adekuat. (Tucker M.R dan Schow S.R 2008).

Universitas Sumatera Utara

Lokasi gigi yang terbanyak menyebabkan rinosinusitis dentogen adalah
gigi molar pertama, premolar kedua, dan premolar pertama. Akar gigi premolar
kedua dan molar pertama berhubungan dekat dengan lantai dari sinus maksila dan
pada sebagian individu berhubungan langsung dengan mukosa sinus maksila
sehingga dapat terjadi penyebaran infeksi bakteri langsung dari akar gigi ke dalam
sinus maksila (Farhat, 2007).

2.4.2 Etiologi


Beberapa etiologi dari rinosinusitis dentogen adalah:
Penjalaran infeksi gigi seperti infeksi periapikal atau abses apikal gigi dari
gigi kaninus sampai gigi molar tiga atas. Biasanya infeksi lebih sering
terjadi pada kasus-kasus akar gigi yang hanya terpisah dari sinus oleh
tulang yang tipis, walaupun kadang-kadang ada juga infeksi mengenai
sinus yang dipisahkan oleh tulang yang tebal. (Ross (1999) dalam



Paramasivan (2011))
Prosedur ekstraksi gigi, pencabutan gigi ini dapat menyebabkan
terbukanya dasar sinus sehingga lebih mudah bagi penjalanan infeksi. (



Saragih (2007) dalam Paramasivan (2011))
Penjalaran penyakit periodontal yaitu dijumpai adanya penjalaran infeksi
dari membran periodontal melalui tulang spongiosa ke mukosa sinus. (



Prabhu et al (2009) dalam Paramasivan (2011))



sinus maksila. (Ross (1999) dalam Paramasivan (2011))

Trauma, terutama fraktur maksila yang mengenai prosesus alveolaris dan

Adanya benda asing dalam sinus berupa fragmen akar gigi dan bahan
tambalan akibat pengisian saluran akar yang berlebihan. (Saragih (2007)



dalam Paramasivan (2011))



(2001) dalam Paramasivan (2011))

Osteomielitis pada maksila yang akut dan kronis (Mangunkusumo & Rifki

Kista dentogen yang seringkali meluas ke sinus maksila seperti kista
radikuler dan folikuler (Prabhu et al (2009) dalam Paramasivan (2011))

Universitas Sumatera Utara



Deviasi septum kavum nasi, polip, serta neoplasma atau tumor dapat
menyebabkan obstruksi ostium yang memicu sinusitis. (Mangukusumo
dan Soetjipto (2007) dalam Paramasivan (2011))

2.4.3 Patofisiologi
Kesehatan sinus dipengaruhi oleh patensi ostium-ostium sinus dan
lancarnya klirens mukosiliar (mucociliary clearance) di dalam KOM. Mukus juga
mengandung substansi antimikrobial dan zat-zat yang berfungsi sebagai
mekanisme pertahanan tubuh terhadap kuman yang masuk bersama udara
pernafasan. (Mangunkusumo dan Soetjipto, 2007).
Organ-organ yang membentuk KOM letaknya berdekatan dan bila terjadi
edema, mukosa yang berhadapan akan saling bertemu sehingga silia tidak dapat
bergerak dan ostium tersumbat. Akibatnya terjadi tekanan negatif didalam rongga
sinus yang menyebabkan terjadinya transudasi, mula-mula serous. Kondisi bisa
dianggap sebagai rinosinusitis non-bacterial dan biasanya sembuh dalam beberapa
hari tanpa pengobatan. (Mangunkusumo dan Soetjipto, 2007).
Bila kondisi ini menetap, sekret yang terkumpul dalam sinus merupakan
media baik untuk tumbuhnya dan multiplikasi bakteri. Sekret menjadi purulen.
Keadaan ini disebut sebagai rinosinusitis akut bakterial dan memerlukan terapi
antibiotik (Mangunkusumo dan Soetjipto, 2007).
Menurut Kieff & Busaba (2004) dalam Paramasivan (2011) terjadinya
obstruksi ostium sinus juga akan menyebabkan hipoksigenasi, yang menyebabkan
fungsi silia berkurang dan epitel sel mensekresikan cairan mukus dengan kualitas
yang kurang baik. Disfungsi silia ini akan menyebabkan retensi mukus yang
kurang baik pada sinus.
Menurut Prabhu et al, (2009) dalam Paramasivan (2011) kejadian
rinosinusitis maksila akibat infeksi gigi rahang atas terjadi karena infeksi bakteri
(anaerob) menyebabkan terjadinya karies profunda sehingga jaringan lunak gigi
dan sekitarnya rusak.

Universitas Sumatera Utara

Menurut Drakhe (1997) dalam Paramasivan (2011) pulpa terbuka maka
kuman akan masuk dan mengadakan pembusukan pada pulpa sehingga
membentuk gangren pulpa. Infeksi ini meluas dan mengenai selaput periodontium
menyebabkan periodontitis dan iritasi akan berlangsung lama sehingga terbentuk
pus. Abses periodontial ini kemudian dapat meluas dan mencapai tulang alveolar
menyebabkan abses alveolar. Tulang alveolar membentuk dasar sinus maksila
sehingga memicu inflamasi mukosa sinus. Disfungsi silia, obstruksi sinus serta
abnormalitas sekresi mukus menyebabkan akumulasi cairan dalam sinus sehingga
terjadinya rinosinusitis maksila

2.4.4 Gejala Klinis
Keluhan utama rinosinusitis akut ialah hidung tersumbat disertai nyeri/rasa
tekanan pada muka dan ingus purulen, yang seringkali turun ke tenggorok (post
nasal drip). Dapat disertai gejala sistemik seperti demam dan lesu. Keluhan nyeri
atau rasa tekanan di daerah sinus yang terkena merupakan ciri khas rinosinusitis
akut, serta kadang-kadang nyeri juga terasa di tempat lain (referred pain). Nyeri
pipi menandakan rinosinusitis maksila, nyeri di antara atau di belakang ke dua
bola mata menandakan rinosinusitis etmoid, nyeri di dahi atau diseluruh kepala
mendandakan rinosinusitis frontal. Pada rinosinusitis sfenoid, nyeri dirasakan di
verteks, oksipital, belakang bola mata dan daerah mastoid. Pada rinosinusitis
maksila kadang-kadang ada nyeri alih ke gigi dan telinga. Gejala lain adalah sakit
kepala, hiposmia / anosmia, halitosis, post nasal drip yang menyebabkan batuk
dan sesak pada anak. . (Mangunkusumo dan Soetjipto, 2007).
Keluhan rinosinusitis kronik tidak khas sehingga sulit di diagnosis.
Kadang-kadang hanya 1 atau 2 dari gejala-gejala dibawah ini yaitu sakit kepala
kronik, post nasal drip, batuk kronik, gangguan tenggorok, gangguan telinga
akibat sumbatan kronik muara tuba eustachius, gangguan ke paru seperti bronkitis
(sino-bronkitis), bronkiektasis dan yang paling penting adalah serangan asma
yang meningkat dan sulit diobati. Pada anak, mukopus yang tertelan dapat
menyebabkan gastroenteritis. (Mangunkusumo dan Soetjipto, 2007).

Universitas Sumatera Utara

Menurut Mansjoer (2001) dalam Paramasivan (2011) rinosinusitis
maksilaris dari tipe dentogen harus dapat dibedakan dengan rinogen karena terapi
dan prognosis keduanya sangat berlainan. Pada rinosinusitis maksilaris tipe
dentogen ini hanya terjadi pada satu sisi serta pengeluaran pus yang berbau busuk.
Disamping itu, adanya kelainan apikal atau periodontal mempredisposisi kepada
rinosinusitis tipe dentogen. Gejala rinosinusitis dentogen menjadi lebih lambat
dari tipe rinogen.

2.4.5 Diagnosis
Diagnosis ditegakkan berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik dan
pemeriksaan penunjang. Dalam anamnesis didapati riwayat rinore purulen dan
biasanya bau, riwayat infeksi atau trauma pada gigi, sumbatan hidung, nyeri
tekanan pada muka, nyeri kepala, demam, ingus belakang hidung (post nasal
drip), batuk, anosmia atau hiposmia, nyeri periorbital dan nyeri gigi (Hoesin,
2012).
Pada pemeriksaan fisik mungkin didapati temuan yang terbatas dan tidak
spesifik. Pembengkakan periorbital, dahi dan pipi terkadang. Rongga mulut dan
orofaring juga harus diperiksa untuk menilai keadaan gigi dan menilai adanya
post nasal drip. Pada pemeriksaan rinoskopi anterior didapati hiperemi mukosa
dan edema pada septum dan bagian inferior. Hal ini memungkinkan untuk menilai
sekret yang mukopurulen (Lane A.P dan Kennedy D.W, 2003).
Pemeriksaan fisik dengan rinoskopi anterior dan posterior, pemeriksaan
naso-endoskopi sangat dianjurkan untuk diagnosis yang lebih tepat dan dini.
Tanda khas ialah adanya pus di meatus media (pada rinosinusitis maksila dan
etmoid anterior dan frontal) atau di meatus superior (pada rinosinusitis etmoid
posterior dan sfenoid) (Mangunkusumo dan Soetjipto, 2007). Pemeriksaan
nasoendoskopi dilakukan untuk menilai kondisi kavum nasi hingga ke nasofaring.
Pemeriksaan ini dapat memperlihatkan dengan jelas keadaan dinding lateral
hidung ( Hoesin, 2012).

Universitas Sumatera Utara

Pemeriksaan pembantu yang penting adalah foto polos atau CT scan. Foto
polos posisi waters, PA dan lateral, umumnya hanya mampu menilai kondisi
sinus-sinus besar seperti sinus maksila dan frontal. Kelainan akan terlihat
perselubungan, batas udara-cairan (air fluid level) atau penebalan mukosa. CT
scan sinus merupakan baku emas diagnosis rinosinusitis karena mampu menilai
anatomi hidung dan sinus secara keseluruhan dan perluasannya. Namun karena
mahal hanya dikerjakan sebagai penunjang diagnosis rinosinusitis kronik yang
tidak membaik dengan pengobatan atau pra-operasi sebagai panduan operator saat
melakukan operasi sinus (Mangunkusumo dan Soetjipto, 2007).
Pemeriksaaan mikrobiologik dan tes resistensi dilakukan dengan
mengambil sekret dari meatus medius/superior, untuk mendapat antibiotik yang
tepat guna. Lebih baik lagi bila diambil sekret yang keluar dari pungsi sinus
maksila. (Mangunkusumo dan Soetjipto, 2007).
Menurut Ross (1999) dalam Paramasivan (2011) kebanyakan rinosinusitis
disebabkan infeksi Streptococcus Pneumoniae, Haemophilus Influenza, Moraxella
Catarrhalis. Gambaran bakteriologik dari rinosinusitis yang berasal dari gigi
geligi didominasi oleh infeksi gram negatif sehingga menyebabkan pus berbau
busuk dan akibatnya timbul bau busuk dari hidung.
Pemeriksaan lanjutan berikutnya yang dapat dilakukan adalah sinuskopi,
dimana pemeriksaan ini dilakukan dengan pungsi menembus dinding medial sinus
maksila melalui meatus inferior, dengan alat endoskopi bisa dilihat kondisi sinus
maksila yang sebenarnya (Mangunkusumo dan Soetjipto, 2007).
Diagnosis rinosinusitis kronik ditegakkan secara klinis mengikuti kriteria
yang disusun oleh American Academy of Otorhinolaryngology, dengan kehadiran
2 atau lebih gejala signifikan seperti penyumbatan hidung/pembengkakan/blok,
rinorea anterior/posterior, hiposmia/anosmia,dan nyeri wajah yang berlangsung
lebih dari 12 minggu, disamping itu juga bisa ditegakkan berdasarkan
pemeriksaan lanjutan seperti nasal endoskopi dan/atau CT scan. (Marambaia et al,
2013).

Universitas Sumatera Utara

2.4.6 Penatalaksanaan
2.4.6.1 Medikamentosa
Tujuan terapi rinosinusitis ialah: mempercepat penyembuhan, mencegah
komplikasi dan mencegah perubahan menjadi kronik. Prinsip pengobatan ialah
membuka sumbatan di KOM (komplek ostiomeatal) sehingga drainase dan
ventilasi sinus-sinus pulih secara alami. Antibiotik dan dekongestan merupakan
terapi pilihan pada sinusitis akut bakterial, untuk menghilangkan infeksi dan
pembengkakan mukosa serta membuka sumbatan ostium sinus. (Mangunkusumo
dan Soetjipto, 2007)
Rinosinusitis maksila tipe dentogen biasanya melibatkan organisme yang
sering dihubungkan sebagai penyebab infeksi pada gigi, termasuk bakteri
streptokokus aerob dan anaerob, dan bakteri anaerob seperti Bacteroides dan
Enterobactericeae. Karena itu antibiotik yang efektif untuk infeksi dentogen
seperti penicillin, clindamycin dan metronidazole. (Tucker, R.M dan Schow, S.R
2008). Secara umum lamanya pemberian bervariasi antara 5 sampai 10 hari,
pemberian antibiotik dapat dilanjutkan selama 3 atau 4 hari setelah gejala klinis
menghilang (Higler, 1997).
Karena bervariasinya mikroorganisme yang berkontribusi menyebabkan
infeksi sinus maksila, maka penting untuk melakukan kultur pada sekret dan tes
sensitivitas apabila memungkinkan. Tes sensitivitas memungkinkan perubahan
penggunaan antibiotik jika organisme yang dikultur sensitif terhadap antibiotik
tertentu dan jika infeksi gagal merespon terhadap pengobatan tertentu. (Tucker,
R.M dan Schow, S.R 2008)
Jika pasien gagal dalam merespon terhadap pengobatan regimen dalam 72
jam, maka dibutuhkan penilaian kembali pengobatan dan penggunaan antibiotik.
Jika masalah penyebabnya masih belum diketahui dan dieliminasi, maka perlu
melakukan reevaluasi secara teliti. Hasil dari kultur dan tes sensitivitas dapat
dievaluasi dan perubahan mungkin dapat dilakukan jika terindikasi. Sebanyak
25% organisme yang dikultur dari rinosinusitis akut adalah β-lactamase, dan
banyak bakteri anaerob khususnya dalam menyebabkan rinosinusitis dentogen.
Jika organisme penyebab adalah β-lactamase maka antibiotik yang dapat

Universitas Sumatera Utara

digunakan ialah kombinasi trimethoprim-sulfamethoxazole (Bactrim, Septra)
mungkin dapat efektif. Cefaclor atau kombinasi dari amoxicillin dan kalium
clavulanate (Augmentin) juga menunjukkan hasil yang efektif (Tucker, R.M dan
Schow, S.R 2008).
Terapi lain yang dapat diberikan jika diperlukan seperti analgetik,
mukolitik, steroid oral/topikal, pencucian rongga hidung dengan NaCl atau
pemanasan (diatermi). Antihistamin tidak rutin diberikan, karena sifat
antikolinergiknya dapat menyebabkan sekret jadi lebih kental. Bila ada alergi
berat sebaiknya diberikan antihistamin generasi ke-2. Irigasi sinus maksila atau
Proetz displacement therapy juga merupakan terapi tambahan yang dapat
bermanfaat. Imunoterapi dapat dipertimbangkan jika pasien menderita kelainan
alergi yang berat (Mangunkusumo dan Soetjipto, 2007).

2.4.6.2 Tindakan Operasi
Bila pengobatan konservatif gagal, dilakukan terapi pembedahan utnuk
mengangkat mukosa yang patologik dan membuat drainase dari sinus yang
terkena, yaitu (Soetjipto dan Mangunkusumo, 2007)
a. Irigasi Sinus Maksila
Caranya ialah dengan memakai trokar yang ditusukkan di meatus inferior,
diarahkan ke sudut luar mata atau tepi atas daun telinga. Gunanya adalah
agar sekret atau pus yang terkumpul dalam rongga sinus maksila dapat
dikeluarkan. Selanjutnya dilakukan irigasi sinus dengan larutan garam
fisiologis, sekret atau pus akan keluar melalui ostium sinus. Pungsi dan
irigasi sinus maksila dapat juga dilakukan

melalui fossa kanina dan

saluran akar gigi penyebab (Higler, 1997)
b. Operasi Caldwell-Luc
Operasi ini merupakan pilihan pada keadaan-keadaan 1) Pengobatan
radikal pada rinosinusitis kronis dengan mengeluarkan sebagian atau
seluruh membran lumen sinus. 2) Inspeksi dan biopsi kecurigaan suatu
neoplasma. 3) Pembedahan untuk menutup fistula oroantral. 4)

Universitas Sumatera Utara

Pembedahan untuk kista dental. 5) Bagian dari manuver yang diperlukan
untuk pengeluaran yang adekuat dari polip antrokoanal (Higler, 1997)
c. BSEF (Bedah Sinus Endoskopi Fungsional)
BSEF merupakan operasi terkini untuk rinosinusitis kronik yang
memerlukan operasi. Tindakan ini telah menggantikan hampir semua jenis
bedah sinus terdahulu karena memberikan hasil yang lebih memuaskan
dan tindakan lebih ringan dan tidak radikal. (Mangunkusumo

dan

Soetjipto, 2007).
Indikasinya berupa rinosinusitis kronik yang tidak membaik setelah terapi
adekuat, rinosinusitis kronik disertai kista atau kelainan yang irreversibel,
polip ekstensi, adanya komplikasi rinosinusitis serta rinosinusitis jamur
(Mangunkusumo dan Soetjipto, 2007)

2.4.7

Komplikasi
Komplikasi rinosinusitis telah menurun secara nyata sejak ditemukannya

antibiotik. Komplikasi berat biasanya terjadi pada sinusitis akut atau pada sinusitis
kronis dengan eksaserbasi akut, berupa komplikasi orbita atau intrakranial.
(Mangunkusumo dan Soetjipto, 2007)


Kelainan orbita, disebabkan oleh sinus paranasal yang berdekatan dengan
mata (orbita). Yang paling sering ialah sinusitis etmoid, kemudian sinusitis
frontal dan maksila. Penyebaran infeksi tejadi melalui tromboflebitis dan
perkontinuitatum. Kelinan yang dapat timbul ialah edema palpebra,
selulitis orbita, abses subperiostal, abses orbita dan selanjutnya dapat



terjadi trombosis sinus kavernosus (Mangunkusumo dan Soetjipto, 2007)
Kelainan intrakranial, dapat berupa meningitis, abses ektradural atau
subdural, abses otak dan trombosis sinus kavernosus (Mangunkusumo dan
Soetjipto, 2007)



Komplikasi juga dapat terjadi pada sinusitis kronis, berupa:
Osteomielitis dan abses subbperiosteal, paling sering timbul akibat
sinusitis frontal dan biasanya ditemukan pada anak-anak. Pada

Universitas Sumatera Utara

osteomielitis sinus maksila dapat timbul fistula oroantral atau fistula pada


pipi (Mangunkusumo dan Soetjipto, 2007).
Kelainan paru, seperti bronkitis kronik dan bronkiektasis. Adanya
kelainan sinus paranasal disertai dengan kelainan paru ini disebut
sinobronkitis. Selain itu dapat juga menyebabkan kambuhnya asma
bronkial yang sukar dihilangkan sebelum rinosinusitisnya disembuhkan
(Mangunkusumo dan Soetjipto, 2007).

2.4.8

Prognosis
Prognosis rinosinusitis tipe dentogen sangat tergantung kepada tindakan

pengobatan yang dilakukan

dan komplikasi penyakitnya. Jika drainase sinus

membaik dengan terapi antibiotik atau terapi operatif maka pasien mempunyai
prognosis yang baik. (Pederson, 1996).

Universitas Sumatera Utara