Erotisme dalam Lirik Lagu Dangdut Indonesia (Analisis Semiotika terhadap Lirik Lagu “Cinta Satu Malam”, “Mojok di Malam Jumat”, dan “Aw Aw” oleh Melinda)

BAB II
KAJIAN PUSTAKA

II. 1. Paradigma Kajian
Paradigma adalah cara melihat dunia, atau “cara berpikir secara umum
yang dimiliki bersama dalam komunitas ilmuwan”. Paradigma mempengaruhi
nilai, tujuan, dan gaya penelitian ilmuwan, dan tradisi tersebut mempengaruhi
kerja para peneliti. Paradigma yang akan mendasari teori- teori yang kita baca dan
gunakan. Paradigma menawarkan cara pandang umum mengenai komunikasi
antarmanusia; sementara teori merupakan penjelasan yang lebih spesifik terhadap
aspek tertentu dari perilaku komunikasi (West & Turner, 2008: 54).
Paradigma

adalah

cara

pandang

seseorang


terhadap

diri

dan

lingkungannya yang akan mempengaruhinya dalam berpikir (kognitif), bersikap
(afektif), dan bertingkah laku (konatif). Karenanya, paradigma sangat menentukan
bagaimana seorang ahli memandang komunikasi yang menjadi objek ilmunya
(Vardiansyah, 2008: 27). Sebuah paradigma sangat dibutuhkan dalam melakukan
sebuah penelitian, dimana paradigma tersebut diibaratkan sebagai wadah dalam
menganalisis berbagai fenomena komunikasi. Sebelum melakukan penelitian
komunikasi, peneliti harus tahu dengan tepat perspektif mana yang digunakan
dalam penelitian.
Banyak paradigma memberikan arahan kepada peneliti untuk bekerja saat
ini. Beberapa peneliti dipengaruhi oleh pandangan feminis, konstruktivisme, atau
Marxisme. Contohnya, peneliti yang beroperasi pada paradigma feminis
mempercayai bahwa wanita dimarginalkan dan bahwa keadaan ini harus diubah.
Paradigma konstruktivisme sosial menyatakan bahwa para individu secara berkala
menciptakan struktur sosial melalui aksi dan interaksi mereka; karenanya tidak

terdapat kebenaran abstrak. Para peneliti yang menganut paradigma Marxis
meyakini bahwa perilaku sosial dapat dipahami secara baik sebagai sebuah proses
konflik. Paradigma berkisar pada tiga area yaitu ontologi (ontology), pertanyaan
mengenai sifat realita; epistemologi (epistemology), pertanyaan mengenai
bagaimana kita mengetahui sesuatu; dan aksiologi (axiology), pertanyaan
mengenai apa yang layak untuk diketahui (West & Turner, 2008: 55). Artinya,

Universitas Sumatera Utara

pemikiran- pemikiran yang berorientasi paradigmatik mengandung konsekuensi
terhadap objektivitas, sistematika, dan juga metodologi dari suatu disiplin ilmu.

II. 1. 1. Paradigma Konstruktivisme
Paradigma ini berpendapat bahwa alam semesta, secara epistemologis
adalah sebagai hasil konstruksi sosial. Di samping itu, paham ini hampir
merupakan antitesis dari paham yang meletakkan pengamatan dan objektivitas
dalam menemukan suatu realitas atau pengetahuan (Anwar & Adang, 2008: 59).
Konstruktivisme menegaskan bahwa pengetahuan tidak lepas dari subjek
yang sedang belajar mengerti. Konstruktivisme merupakan salah satu filsafat
pengetahuan yang menekankan bahwa pengetahuan kita adalah konstruksi

(bentukan) kita sendiri. Para konstruktivis percaya bahwa pengetahuan itu ada
dalam diri seseorang yang sedang mengetahui. Pada proses komunikasi, pesan
tidak dapat dipindahkan begitu saja dari otak seseorang ke kepala orang lain.
Penerima pesan sendirilah yang harus mengartikan apa yang telah diajarkan
dengan menyesuaikan terhadap pengalaman mereka. Konsep penting perspektif
ini adalah bahwa pengetahuan bukanlah tertentu dan deterministik, tetapi suatu
proses menjadi tahu (Ardianto, 2020: 154). Proses konstruktivisme harus
mempunyai kemampuan mengingat dan mengungkap kembali pengalaman;
kemampuan membandingkan; mengambil keputusan mengenai persamaan dan
perbedaan; dan kemampuan untuk lebih menyukai pengalaman yang satu daripada
yang lain (Anwar & Adang, 2008: 60) .
Teori konstruktivisme menyatakan bahwa individu menginterpretasikan
dan beraksi menurut kategori konseptual dari pikiran. Realitas tidak
menggambarkan diri individu namun harus disaring melalui cara pandang orang
terhadap realitas tersebut (Ardianto, 2010: 158).
Dalam penjelasan ontologi paradigma konstruktivis, realitas merupakan
konstruksi sosial yang diciptakan oleh individu. Namun demikian kebenaran suatu
realitas sosial bersifat nisbi, yang berlaku sesuai konteks spesifik yang dinilai
relevan oleh pelaku sosial (Bungin, 2008: 187).
Von Glaserrsfeld membedakan adanya tiga macam tahap konstruktivisme:

1. Konstruktivisme radikal, yaitu yang mengesampingkan hubungan pengetahuan

Universitas Sumatera Utara

sebagai suatu kriteria kebenaran. Bagi konstruktivisme radikal, pengetahuan
tidak merefleksikan suatu kenyataan ontologis subjektif tetapi merupakan suatu
pengaturan dan organisasi dari suatu dunia yang dibentuk oleh pengalaman
seseorang.
2. Realisme hipotesis, yaitu suatu aliran yang menyatakan bahwa pengetahuan
(ilmiah) kita pandang sebagai suatu hipotesis dari struktur kenyataan dan
berkembang menuju suatu pengetahuan yang sejati, yang dekat dengan realitas.
3. Konstruktivisme yang biasa, yaitu filsafat yang menyatakan pengetahuan kita
merupakan suatu gambaran dari relaitas itu, pengethuan kita dipandang sebagai
suatu gambaran yang dibentuk dari kenyataan suatu objek dari dalam dirinya
sendiri.
Terdapat kesamaan dari ketiga macam konstruktivisme di atas. Hal
tersebut terjadi karena terdapat relasi sosial antara individu dengan lingkungan
atau orang sekitarnya. Kemudian individu membangun sendiri pengetahuannya
atas realitas yang dilihatnya tersebut (Anwar & Adang, 2008: 60).


II. 2. Uraian Teoritis
II. 2. 1. Komunikasi Massa
Komunikasi (communication) adalah proses sosial di mana individuindividu

yang

menggunakan

menginterpretasikan

makna

simbol-

dalam

simbol

lingkungan


untuk
mereka,

menciptakan
yang

dan

mencakup

komunikasi tatap muka maupun komunikasi dengan menggunakan media (West
& Turner, 2008: 5). Pada abad ini disebut dengan abad komunikasi massa.
Komunikasi telah mencapai suatu tingkat di mana orang mampu berbicara dengan
jutaan manusia secara bersamaan.
Komunikasi massa merupakan bentuk komunikasi yang menggunakan
saluran (media) dalam menghubungkan komunikator dan komunikan secara
massal, berjumlah banyak, bertempat tinggal yang jauh (terpencar), sangat
heterogen, dan menimbulkan efek tertentu (Ardianto & Komala, 2004: 3).
Komunikasi yang dilakukan melalui media massa, dimana komunikan yang terdiri
dari jumlah masyarakat yang sangat banyak dan sangat heterogen yang menyebar

dimana- mana, dimana satu dengan yang lainnya tidak saling tahu- menahu

Universitas Sumatera Utara

bahkan tidak pernah bertemu dan berhubungan secara personal. Karena sifat
komunikasi massa yang melibatkan banyak orang, maka proses komunikasinya
sangat kompleks dan rumit.
Komunikasi massa adalah komunikasi yang berlangsung pada tingkat
masyarakat luas. Pada tingkat ini komunikasi dilakukan dengan menggunakan
media massa (Bungin, 2008: 33). Media massa melakukan penyebaran informasi
secara massal dan dapat juga diakses oleh masyarakat secara massal. Media
komunikasi yang termasuk media massa adalah radio siaran dan televisi, dikenal
sebagai media elektronik; surat kabar dan majalah, disebut sebagai media cetak;
serta media film. Dengan demikian komunikan dapat dengan leluasa memilih
bentuk pesan dan melalui media apa pesan tersebut akan disampaikan.
Dilihat dari defenisinya yaitu komunikasi massa adalah pesan yang
dikomunikasikan melalui media massa pada sejumlah besar orang (Ardianto &
Komala, 2004: 3). Jadi, walaupun komunikasi massa itu disampaikan kepada
khalayak yang banyak, seperti rapat akbar yang dihadiri oleh ribuan orang, jika
tidak menggunakan media massa, maka tidak disebut komunikasi massa. Oleh

karenanya, konteks komunikasi massa mencakup baik saluran maupun khalayak.
Sedangkan dari karakteristiknya, terdapat delapan karakter komunikasi
massa, yaitu:
a. Komunikator terlembagakan, dimana komunikasi massa melibatkan lembaga
dan komunikatornya bergerak dalam organisasi yang kompleks.
b. Pesan bersifat umum, yaitu komunikasi yang ditujukan untuk semua orang dan
tidak ditunjukkan untuk sekelompok orang tertentu, sehingga menghasilkan
pesan yang bersifat umum, berupa fakta, peristiwa, atau opini.
c. Komunikan anonim atau heterogen, dimana dalam komunikasi massa
komunikator tidak mengenal komunikannya (anonim). Pesan disampaikan
melalui media massa dan tidak tatap muka. Komunikasinya bersifat heterogen,
yang terdiri dari berbagai lapisan masyarakat dan dapat dikelompokkan
berdasarkan faktor: usia, jenis kelamin, pendidikan, pekerjaan, latar belakang
budaya, agama, dan tingkat ekonomi.
d. Media massa menimbulkan keserempakan. Dalam hal ini, komunikasi massa
memiliki kelebihan dalam hal jumlah sasaran khalayak atau komunikan yang

Universitas Sumatera Utara

relatif banyak dan tidak terbatas. Keserempakan media massa yakni

keserempakan kontak antara komunikator dengan sejumlah besar penduduk
dalam jarak yang jauh, dan penduduk tersebut berada dalam keadaan terpisah
antara satu dengan yang lainnya.
e. Komunikasi

mengutamakan

isi

dibandingkan

hubungan.

Pesan

yang

disampaikan sedemikian rupa berdasarkan sistem tertentu dan disesuaikan
berdasarkan karakteristik media massa yang akan digunakan.
f. Komunikasi massa bersifat satu arah, yaitu komunikasi massa dilakukan tanpa

kontak langsung antara komunikator dengan komunikan. Komunikasi terjadi
melalui media massa, di mana komunikator aktif menyampaikan pesan dan
komunikan aktif menerima pesan. Namun keduanya tidak dapat melakukan
feed back dalam proses komunikasinya, sehingga dikatan bersifat satu arah.

g. Stimulasi alat indra “terbatas”, yaitu penyampaian pesan dalam komunikasi
massa bersifat terbatas atau sesuai dengan media massa yang dugunakan
komunikan, seperti media cetak, radio, televisi, atau film yang masing- masing
memiliki stimulasi indra manusia yang sifatnya terbatas.
h. Umpan balik tertunda (delayed), yaitu penyampaian pesan dalam komunikasi
massa yang dilakukan melalui media massa tidak mampu menjalankan fungsi
umpan balik, karena sifatnya yang satu arah (Ardianto & Komala, 2004: 7).
Komunikasi

massa

berbeda

dengan


komunikasi

lainnya,

seperti

komunikasi antarpersona dan komunikasi kelompok. Perbedaan itu meliputi
komponen- komponen yang terlibat di dalamnya dan juga proses berlangsungnya
komunikasi tersebut.
Sedangkan dari segi fungsi terlihat ada kesamaan baik secara umum
maupun khusus. Fungsi komunikasi massa secara umum yaitu:
a. Fungsi Informasi
Media massa merupakan penyebar informasi bagi pembaca, pendengar atau
pemirsa. Berbagai informasi disajikan bagi khalayak sesuai dengan
kebutuhannya, di mana informasi tersebut mencakup segala sesuatu yang
terjadi disekitarnya.
b. Fungsi Pendidikan
Media massa mampu menyajikan hal-hal yang bersifat mendidik lewat nilai

Universitas Sumatera Utara

norma, etika serta aturan-aturan yang berlaku dalam kehidupan khalayak.
c. Fungsi Mempengaruhi
Media massa mampu mempengaruhi khalayak sesuai dengan apa yang
diinginkan media. Secara implisit terdapat dalam tajuk/ editorial, features,
iklan, artikel, dan sebagainya.
d. Fungsi Proses Pengembangan Mental
Media

massa

mampu

menambah

wawasan

serta

mengembangkan

intelektualitas khalayak. Berbagai pemberitaan mengenai peristiwa yang
disampaikan media juga akan semakin menambah pengalaman dan
ketergantungan khalayak dalam pengembangan mentalnya.
e. Fungsi Adaptasi Lingkungan
Proses penyampaian pesan dari komunikator kepada komunikan memerlukan
penyesuaian agar tetap tercipta tujuan komunikasi berupa kesamaan makna
diantara pelaku komunikasi.
f. Memanipulasi Lingkungan
Komunikasi massa merupakan alat kontrol utama dan pengaturan lingkungan
(Ardianto & Komala, 2004: 19).
Komunikasi massa merupakan aktivitas sosial yang berfungsi di
masyarakat. Penting untuk mengetahui fungsi- fungsi komunikasi massa, agar
dapat melihat konsekuensi komunikasi melalui media massa. Media massa akan
terus mengalami perubahan. Apakah nantinya fungsi komunikasi massa sebagai
memberi informasi, memberi pendidikan, mempengaruhi, sebagai proses
pengembangan mental, sebagai adapatasi lingkungan, dan memanipulasi
lingkungan hanya sekedar teori.
Sedangkan fungsi komunikasi massa secara khusus yaitu:
a. Meyakinkan
Dalam hal ini persuasi dapat datang dalam bentuk mengukuhkan atau
memperkuat sikap, kepercayaan atau nilai seseorang; mengubah sikap,
kepercayaan atau nilai seseorang; menggerakkan seseorang untuk melakukan
sesuatu; dan menawarkan sistem nilai tertentu.

Universitas Sumatera Utara

b. Menganugerahkan Status
Penganugerahan status terjadi apabila berita yang disebarluaskan melaporkan
kegiatan individu- individu tertentu sehingga gengsi mereka meningkat.
Dengan memfokuskan kekuatan media massa pada orang- orang tertentu, maka
masyarakat akan menjadikan orang- orang tertentu mendapatkan suatu status
publik yang tinggi dalam masyarakat.
c. Membius
Apabila media menyajikan informasi tentang sesuatu, penerima pesan percaya
dengan sepenuhnya bahwa tindakan tertentu harus diambil. Sebagai akibatnya,
pemirsa atau penerima pesan terbius ke dalam keadaan pasif.
d. Menciptakan Rasa Kebersatuan
Komunikasi mampu untuk membuat para penerima pesannya merasa menjadi
anggota suatu kelompok.
e. Privatisasi
Kecenderungan bagi seseorang untuk menarik diri dari kelompok sosial dan
mengucilkan diri ke dalam dunianya sendiri (Ardianto & Komala, 2004: 23).
Pada satu sisi, konsep komunikasi massa mengandung pengertian sebagai
suatu proses di mana institusi media massa memproduksi dan menyebarkan pesan
kepada publik secara luas, namun pada sisi lain, komunikasi massa merupakan
proses di mana pesan tersebut dicari, digunakan, dan dikonsumsi oleh audience,
yang menjadi fokus kajian dalam komunikasi massa adalah media massa. Media
massa adalah institusi yang menebarkan informasi berupa pesan berita, peristiwa,
atau produk budaya yang memengaruhi dan merefleksikan suatu masyarakat
(Bungin, 2008: 258).
Dalam konteks komunikasi massa, memberikan kemampuan baik kepada
pengirim maupun pada penerima untuk melakukan kontrol. Selain itu, dalam
konteks komunikasi massa, komunikasi yang terjadi biasanya lebih terkendali dan
terbatas. Maksudnya, komunikasi dapat dipengaruhi oleh biaya, politik, dan
kepentingan- kepentingan lainnya.

Universitas Sumatera Utara

II. 2. 2. Musik sebagai Media Massa
Musik merupakan cabang kesenian yang menggunakan media suara
merupakan bentuk ungkapan perasaan dan nilai kejiwaan manusia yang dianggap
paling tua. Musik dapat berbicara melalui unsur- unsurnya, seperti ia bisa
dianggap sebagai alat atau bahasa komunikasi yang menggunakan kosa kata, tata
bahasa, struktur, idiom, dan simbol tertentu. Bahan, bentuk, atau konstruksi
instrumen, penggunaan jumlah dan jenis instrumentasi, pembentukan ansambel
musikal, penggunaan tanda nada, pengaturan organisasi musikal, penciptaan dan
bentuk/ struktur komposisi musik, teknik, pola, dan gaya permainan instrumen
dan vokal dan segala aspeknya, sangat berhubungan erat dengan cara berpikir,
cara hidup, cara bermasyarakat serta pandangan hidup seniman pengkarya, pelaku
serta masyarakat pemiliknya (Supanggah, Sumarno, Wijaya, & Anwar, 2009: 4).
Saat ini musik merupakan perangkat hiburan yang dipadukan dengan berbagai
seni lainnya. Hampir tidak dapat ditemui sebuah hiburan tanpa mengabaikan
peran musik.
Salah satu hal terpenting dalam sebuah musik adalah keberadaan lirik
lagunya kecuali musik instrumen yang memang tidak membutuhkan lirik di
dalamnya. Lirik lagu merupakan suatu bentuk ekspresi penulis lagu tentang
sesuatu hal yang sudah dilihat, didengar, maupun dialaminya dan berusaha untuk
menyampaikannya kepada khalayak. Sudah tentu banyak hal yang bisa
diungkapkan atau dikomunikasikan lewat lirik lagu. Artinya, lirik lagu menjadi
acuan untuk dapat memahami apa yang dikomunikasikan oleh penulis lagu
kepada khalayak.
Penulis

lagu

dalam

mengekspresikan

pengalamannya

melakukan

permainan kata- kata dan bahasa untuk menciptakan daya tarik dan menunjukkan
ciri khas terhadap liriknya. Permainan bahasa ini dapat berupa permainan vokal,
gaya bahasa maupun penyimpangan makna kata dan diperkuat dengan lirik
lagunya sehingga pendengar semakin terbawa dengan apa yang dipikirkan oleh
penulis lagu.
Komunikasi massa sebagai suatu bentuk komunikasi yang ditujukan
untuk semua orang, anonim, dan heterogen melalui media massa, baik media
cetak maupun elektronik sehingga pesan yang sama dapat diterima secara

Universitas Sumatera Utara

serempak oleh komunikan yang banyak tersebut. Demikian juga halnya dengan
penyanyi sebagai komunikator untuk menyampaikan pesan yang berbentuk lagu
menggunakan media seperi kaset, Compact Disk (CD), maupun Video Compact
Disk (VCD) kepada komunikan dalam jumlah yang banyak melalui media massa.

Musik dikemas, dipasarkan, dan disebarkan lewat media massa. Musik merupakan
salah satu bentuk komunikasi massa, memiliki beberapa unsur, karakteristik dan
fungsi yang sama dengan komunikasi massa. Musik, dalam hal ini lirik lagu
adalah pesan yang akan disampaikan pada khalayak melalui media massa tertentu
seperti radio, televisi, dan internet. Pesannya yang bersifat linier, dan dari segi
fungsi, musik dapat digunakan sebagai sarana hiburan, dan juga bisa digunakan
sebagai media untuk menyalurkan aspirasi.

II. 2. 3. Semiotika
Secara etimologis, istilah semiotik berasal dari kata Yunani semeion yang
berarti “tanda”. Tanda itu sendiri didefenisikan sebagai sesuatu yang atas dasar
konvensi sosial yang terbangun sebelumnya, dapat dianggap mewakili sesuatu
yang lain (Sobur, 2004: 95).
Secara terminologis, semiotika dapat diidentifikasikan sebagai ilmu yang
mempelajari sederatan luas objek- objek, peristiwa- peristiwa, seluruh kebudayaan
sebagai tanda. Pada dasarnya, analisis semiotika merupakan sebuah ikhtiar untuk
merasakan sesuatu yang aneh, sesuatu yang dipertanyakan lebih lanjut ketika kita
membaca teks atau narasi/ wacana tertentu. Analisisnya bersifat paradigmatic
dalam arti berupaya menemukan makna termasuk dari hal- hal yang tersembunyi
di balik sebuah teks (Wibowo, 2011: 5).
Semiotika sebagai suatu model dari ilmu pengetahuan sosial memahami
dunia sebagai sistem hubungan yang memiliki unit dasar yang disebut dengan
„tanda‟. Dengan demikian semiotika mempelajari hakikat tentang keberadaan
suatu tanda. Umberto Eco menyebut tanda tersebut sebagai “kebohongan”, dalam
tanda ada sesuatu yang tersembunyi di baliknya dan bukan merupakan tanda itu
sendiri. Menurut Saussure, persepsi dan pandangan kita tentang realitas,
dikonstruksikan oleh kata- kata dan tanda- tanda lain yang digunakan dalam
konteks sosial (Sobur, 2004: 87).

Universitas Sumatera Utara

Semiotika telah digunakan sebagai salah satu pendekatan dalam menelaah
sesuatu yang berhubungan dengan tanda, misalnya karya sastra, dan teks berita
dalam media. Semiotika merupakan varian dari teori struktualisme. Struktualisme
berasumsi bahwa teks adalah fungsi dari isi dan kode, sedangkan makna adalah
produksi dari sistem hubungan (Sobur, 2006: 122).
Tanda- tanda (sign) adalah basis atau dasar dari seluruh komunikasi kata
pakar Komunikasi Littlejohn yang terkenal dengan bukunya: “Theories on
Human Behaviour” (1996). Menurutnya, manusia dengan perantaraan tandatanda dapat melakukan komunikasi dengan sesamanya dan banyak hal yang bisa
dikomunikasikan di dunia ini. Sedangkan menurut Umberto Eco ahli semiotika
yang lain, kajian semiotika sampai sekarang membedakan dua jenis semiotika
yakni semiotika komunikasi dan semiotika signifikasi. Dimana semiotika
komunikasi menekankan pada teori tentang produksi tanda yang salah satu
diantaranya mengasumsikan adanya enam faktor dalam komunikasi yaitu
pengirim, penerima kode atau sistem tanda, pesan, saluran komunikasi dan acuan
yang dibicarakan. Sedangkan semiotika signifikasi tidak mempersoalkan adanya
tujuan berkomunikasi, yang lebih diutamakan adalah segi pemahaman suatu tanda
sehingga proses kognisinya pada penerima tanda lebih diperhatikan daripada
prosesnya (Vardiansyah, 2008: 6).
Lebih lanjut dijelaskan bahwa semiotika adalah suatu ilmu atau metode
analisis untuk mengkaji tanda. Tanda- tanda adalah perangkat yang kita pakai
dalam upaya berusaha mencari jalan di dunia ini, di tengah- tengah manusia dan
bersama- sama manusia. Semiotika, atau dalam istilah Barthers, semiologi, pada
dasarnya hendak mempelajari bagaimana kemanusiaan (humanity) memaknai halhal (things). Memaknai (to signify) dalam hal ini tidak dapat dicampuradukkan
dengan mengkomunikasikan (to communicate). Memaknai berarti bahwa objekobjek tidak hanya membawa informasi, dalam hal mana objek- objek itu hendak
berkomunikasi, tetapi juga mengkonstitusi sistem terstruktur dari tanda (Sobur,
2003: 15).
Sembilan macam semiotika yang kita kenal yaitu:
1. Semiotika analitik, yakni semiotika yang menganalisis sitem tanda. Peirce
menyatakan bahwa semiotik berobjekkan tanda menganalisisnya menjadi ide,

Universitas Sumatera Utara

objek dan makna. Ide dapat dikatakan sebagai lambang, sedangkan makna
adalah beban yang terdapat dalam lambang yang mengacu kepada objek
tertentu.
2. Semiotika deskriptif, yakni semiotika yang memperhatikan sistem tanda yang
dapat kita alami sekarang, meskipun ada tanda yang sejak dahulu tetap seperti
yang disaksikan sekarang, misalnya langit yang mendung menandakan bahwa
hujan tidak lama lagi akan turun.
3. Semiotika faunal, yakni semiotika yang khusus memperhatikan sistem tanda
yang dihasilkan oleh hewan, misalnya ayam yang sedang berkotek- kotek
menandakan telah bertelur.
4. Semiotika kultural, yakni semiotika yang khusus menelaah sistem tanda yang
berlaku dalam kebudayaan masyarakat tertentu.
5. Semiotika naratif, yakni semiotika yang menelaah sistem tanda dalam narasi
yang berwujud mitos dan cerita lisan ada diantaranya mempunyai nilai kultural
tinggi.
6. Semiotika natural, yakni semiotika yang khusus menelaah sistem tanda yang
dihasilkan oleh alam. Air sungai yang keruh menandakan di hulu telah turun
hujan, banjir, atau tanah longsor memberi tanda bahwa manusia- manusia telah
merusak alam.
7. Semiotika normatif, yakni semiotika yang khusus menelaah sistem tanda yang
dibuat oleh manusia berwujud norma-norma misalnya rambu-rambu lalu lintas.
8. Semiotika sosial, yani semiotika yang khusus menelaah sistem tanda yang
dihasilkan oleh manusia yang berwujud lambang, baik lambang berwujud kata
maupun lambang yang berwujud kata dalam satuan yang disebut kalimat.
Semiotika sosial menelaah sistem tanda yang terdapat dalam bahasa.
9. Semiotika struktural, yakni semiotika yang khusus menelaah sistem tanda
yang dimanifestikan melalui struktur bahasa (Zamroni, 2009: 93).
Semiotika menaruh perhatian pada apa pun yang dapat dinyatakan sebagai
tanda. Sebuah tanda adalah semua hal yang dapat diambil sebagai penanda yang
mempunyai arti penting untuk menggantikan sesuatu yang lain. Sesuatu yang lain
tersebut tidak perlu harus ada, atau tanda itu secara nyata ada disuatu tempat pada
waktu tertentu. Dengan begitu semiotika pada prinsipnya adalah sebuah disiplin

Universitas Sumatera Utara

yang mempelajari apa pun yang bisa digunakan untuk menyatakan sesuatu
kebohongan. Jika sesuatu tersebut tidak dapat digunakan untuk mengatakan
sesuatu kebohongan, sebaliknya tidak bisa digunakan untuk mengatakan
kebenaran (Sobur, 2004:18).

II. 2. 4. Semiotika Roland Barthes
Roland Barthes dikenal sebagai salah seorang pemikir struktualis yang
tekun mempraktikkan model linguistik dan semiologi Saussurean. Ia juga
intelektual dan kritikus sastra Perancis yang ternama; eksponen penerapan
strukturalisme dan semiotika pada studi sastra, dan dikenal sebagai tokoh yang
memainkan peranan sentral dalam strukturalisme tahun 1960- an dan 70- an
(Sobur, 2004: 63).
Semiotika, atau dalam istilah Barthers, semiologi, pada dasarnya hendak
mempelajari bagaimana kemanusiaan (humanity) memaknai hal- hal (things).
Memaknai (to signify) dalam hal ini tidak dapat dicampuradukkan dengan
mengkomunikasikan (to communicate). Memaknai berarti bahwa objek- objek
tidak hanya membawa informasi, dalam hal mana objek- objek itu hendak
berkomunikasi, tetapi juga mengkonstitusi sistem terstruktur dari tanda (Sobur,
2003: 15).
Salah satu area penting yang dirambah Barthes dalam studinya tentang
tanda adalah peran pembaca (the reader). Konotasi, walaupun merupakan sifat
asli tanda, membutuhkan keaktifan pembaca agar dapat berfungsi. Barthes
mengulas sistem pemaknaan tataran ke- dua, yang dibangun di atas sistem lain
yang telah ada sebelumnya. Sistem kedua ini oleh Barthes disebut dengan
konotatif, yang didalamnya mitologinya secara tegas ia bedakan dari denotatif
atau sistem pemaknaan tataran pertama. Jadi, dalam konsep Barthes, tanda
konotatif tidak sekadar memiliki makna tambahan namun juga mengandung
kedua bagian tanda denotatif yang melandasi keberadaannya (Sobur, 2004: 69).
Barthes menciptakan peta bagaimana tanda bekerja sebagai berikut:

Universitas Sumatera Utara

1. Signifier

2. Signified

(Penanda)

(Petanda)

3. Denotative Sign (Tanda Denotatif)
4. Connotative Signifier

5. Connotative Signified

(Penanda Konotatif)

(Petanda Konotatif)

6. Connotative Sign (Tanda Konotatif)

Gambar II.1. Peta Tanda Roland Barthes
Sumber: Sobur, 2004: 69

Dari peta Barthes di atas terlihat bahwa tanda denotatif (3) terdiri atas
penanda (1) dan petanda (2). Akan tetapi, pada saat bersamaan, tanda denotatif
adalah juga penanda konotatif (4). Jadi, dalam konsep Barthes, tanda konotatif
tidak sekadar memiliki makna tambahan, namun juga mengandung kedua bagian
tanda denotatif yang melandasi keberadaannya. Hal tersebut merupakan unsur
material: hanya jika kita mengenal tanda “singa”, barulah konotasi seperti harga
diri, kegarangan dan keberanian menjadi mungkin.
Dalam kerangka Barthes, konotasi identik dengan operasi ideologi, yang
disebutnya dengan „mitos‟, dan berfungsi untuk mengungkapkan dan memberikan
pembenaran bagi nilai- nilai dominan yang berlaku dalam suatu periode tertentu.
Di dalam mitos juga terdapat pola tiga dimensi penanda, petanda, dan tanda,
namun sebagai suatu sistem yang unik, mitos dibangun oleh suatu rantai
pemaknaan yang telah ada sebelumnya atau dengan kata lain, mitos adalah juga
suatu sistem pemaknaan tataran kedua. Di dalam mitos pula sebuah petanda dapat
memiliki beberapa penanda (Sobur, 2004: 71).
Salah satu cara yang digunakan untuk membahas lingkup makna yang
lebih besar adalah dengan membedakan makna denotatif dengan makna konotatif.
Roland Barthes dikenal sebagai salah seorang pemikir strukturalis yang
mempraktikkan model linguistik dan semiologi Saussurean. Ia berpendapat
bahasa adalah sebuah sistem tanda yang mencerminkan asumsi- asumsi dari suatu
masyarakat tertentu dalam waktu tertentu.

Universitas Sumatera Utara

Barthes melontarkan konsep tentang denotatif dan konotatif sebagai kunci
dari analisisnya. Makna denotatif suatu kata adalah makna yang biasa kita
temukan dalam kamus, sedangkan makna konotatif adalah makna denotatif
ditambah dengan segala gambaran, ingatan dan perasaan yang ditimbulkan oleh
kata dari makna denotatif tersebut. Denotasi adalah hubungan yang digunakan di
dalam tingkat pertama sebuah kata secara bebas memegang peranan penting di
dalam ujaran. Makna denotasi bersifat langsung, yaitu makna khusus yang
terdapat dalam sebuah tanda, dan pada intinya dapat disebut sebagai gambaran
sebuah petanda. Makna konotasi adalah suatu jenis makna dimana stimulus dan
respon mengandung nilai-nilai emosional. Makna konotatif sebagian terjadi
karena pembicara ingin menimbulkan perasaan setuju- tidak setuju, senang- tidak
senang dan sebagainya kepada pendengar; dipihak lain kata yang dipilih itu
memperlihatkan bahwa pembicaranya juga memendam perasaan yang sama. Pada
dasarnya, konotasi timbul disebabkan masalah hubungan sosial atau hubungan
interpersonal, yang mempertalikan kita dengan orang lain, karena itu bahasa
manusia tidak sekadar menyangkut masalah makna denotatif atau ideasional dan
sebagainya (Sobur, 2004: 263).
Roland

Barthes

memberi

pelajaran

berharga

tentang

bagaimana

menganalisis tanda-tanda komunikasi yang ia sebut semiologi komunikasi, yaitu
mementingkan hubungan antara tanda dengan pengirim dan penerimanya. Dengan
begitu seorang Peneliti menganalisis setiap teks berdasarkan konteksnya,
referensinya dan dapat menggunakan penjelasan sintaksis (ketatabahasaan), dan
analisis semantik (makna tanda-tanda) dan teks tertulis (Zamroni, 2009: 92).
Semiotika membahas tentang keragaman bahasa dari tiga perspektif yakni:
a. Semantik
Semantik adalah studi tentang hubungan antara bentuk- bentuk linguistik
dengan entitas di dunia; yaitu bagaimana hubungan kata- kata dengan sesuatu
secara harafiah. Analasis semantik juga berusaha membangun hubungan antara
deskripsi verbal dan pernyataan- pernyataan hubungan di dunia secara akurat atau
tidak, tanpa menghiraukan siapa yang menghasilkan deskripsi tersebut (Yule,
2006: 5). Semantik adalah studi mengenai relasi antara tanda dan signifikasi atau
maknanya. Semantik merupakan studi tentang makna.

Universitas Sumatera Utara

b. Sintaktik
Sintaktik adalah studi tentang hubungan antara bentuk- bentuk kebahasaan,
bagaimana menyusun bentuk- bentuk kebahasaan itu dalam suatu tatanan atau
urutan dan tatanan mana yang tersusun dengan baik. Tipe studi ini biasanya
terjadi tanpa mempertimbangkan dunia referensi atau pemakai bentuk- bentuk itu
(Yule, 2006: 4).
Sintaktik berkaitan dengan studi mengenai tanda itu sendiri secara
individual maupun kombinasinya, khususnya analisis yang bersifat deskriptif
mengenai tanda dan kombinasinya (Piliang, 2012: 300). Sintaktik berurusan
dengan kaidah dan struktur yang menghubungkan tanda- tanda satu sama lain
misalnya tata bahasa.
c. Pragmatik
Pragmatik adalah studi tentang hubungan antara bentuk- bentuk linguistik
dan pemakai bentuk- bentuk itu. Manfaat belajar bahasa melalui pragmatik ialah
bahwa seseorang dapat bertutur kata tentang makna yang dimaksudkan orang,
asumsi mereka, dan jenis- jenis tindakan yang mereka perlihatkan ketika mereka
sedang berbicara (Yule, 2006: 5).
Pragmatik adalah studi mengenai relasi antara tanda dan penggunanya,
khususnya yang berkaitan dengan penggunaan tanda secara konkrit dalam
peristiwa serta efek atau dampaknya terhadap pengguna. Ia berkaitan dengan nilai,
maksud dan tujuan dari sebuah tanda, yang menjawab pertanyaan: untuk apa dan
kenapa, serta pertanyaan mengenai pertukaran dan nilai utilitas tanda bagi
pengguna. Pragmatik merupakan analisis penggunaan dan akibat permainan kata
(Piliang, 2012: 300).

II. 2. 4. 1. Tanda
Tanda adalah representasi dari gejala yang memiliki sejumlah kriteria
seperti: nama (sebutan), peran, fungsi, tujuan, keinginan. Tanda tersebut berada di
seluruh kehidupan manusia. Apabila tanda berada di seluruh kehidupan manusia,
maka ini berarti tanda dapat pula berada pada kebudayaan manusia, dan menjadi
sistem tanda yang digunakannya sebagai pengatur kehidupannya. Oleh karenanya
tanda- tanda itu (yang berada pada sistem tanda) sangatlah akrab dan bahkan

Universitas Sumatera Utara

melekat pada kehidupan manusia yang penuh makna (meaningful action) seperti
teraktualisasi pada bahasa, religi, seni sejarah, ilmu pengetahuan (Sobur, 2004:
124).
Ada beberapa cara untuk menggolongkan tanda- tanda, cara itu yakni:
tanda yang ditimbulkan oleh alam, yang kemudian diketahui manusia melalui
pengalamannya; misalnya kalau langit sudah mendung menandakan akan turun
hujan, tanda yang ditimbulkan oleh binatang; misalnya kalau anjing menyalak
kemungkinan ada tamu yang memasuki halaman rumah, atau tanda bahwa ada
pencuri; dan tanda yang ditimbulkan oleh manusia, dapat dibedakan atas verbal
dan nonverbal. Yang bersifat verbal adalah tanda- tanda yang digunakan sebagai
alat komunikasi yang dihasilkan oleh alat bicara, sedangkan yang bersifat
nonverbal dapat berupa: (1) tanda yang menggunakan anggota badan, lalu diikuti
dengan lambang, misalnya “Mari”; (2) suara, misalnya bersiul, atau membunyikan
ssst... yang bermakna memanggil seseorang; (3) tanda yang diciptakan oleh
manusia untuk menghemat waktu, tenaga, dan menjaga kerahasiaan misalnya
rambu- rambu lalu lintas, bendera, tiupan terompet; dan (4) benda- benda yang
bermakna kultural dan ritual, misalnya buah pinang muda yang menandakan
daging, gambir yang menandakan darah (Sobur, 2004: 122).
Tanda merupakan cerminan dari realitas, yang dikonstruksikan lewat katakata. Persepsi dan pandangan kita tentang realitas dikonstruksikan oleh kata- kata
dan tanda- tanda lain yang digunakan dalam konteks sosial (Wibowo, 2011: 7).
Saussure meletakkan tanda dalam konteks komunikasi manusia dengan
melakukan pemilahan antara apa yang disebut signifier (penanda) dan signified
(petanda). Signifier adalah bunyi yang bermakna atau coretan yang bermakna
(aspek material), yakni apa yang dikatakan dan apa yang ditulis atau dibaca.
Signified adalah gambaran mental, yakni pikiran atau konsep aspek mental dari

bahasa. Hubungan antara keberadaan fisik tanda dan konsep mental tersebut
dinamakan signification. Dengan kata lain, signification adalah upaya dalam
memberi makna terhadap dunia. Pada dasarnya apa yang disebut signifier dan
signified tersebut adalah produk kultural. Hubungan diantara keduanya bersifat

arbitrer (manasuka) dan hanya berdasarkan konvensi, kesepakatan, atau peraturan

Universitas Sumatera Utara

dari kultur pemakai bahasa tersebut. Hubungan antara signifier dan signified
dibagi tiga, yaitu:
1. Ikon adalah tanda yang memunculkan kembali benda atau realitas yang
ditandainya, misalnya foto atau peta.
2. Indeks adalah tanda yang kehadirannya menunjukkan adanya hubungan dengan
yang ditandai, misalnya asap adalah indeks dari api.
3. Simbol adalah sebuah tanda di mana hubungan antara signifier dan signified
semata- mata adalah masalah konvensi, kesepakatan atau peraturan, misalnya
gambar timbangan di pengadilan sebagai lambang keadilan (Sobur, 2004: 125).

II. 2. 4. 2. Mitos
Setiap kebudayaan memiliki berbagai macam mitos yang selalu ada dan
berkelanjutan dari satu generasi ke generasi berikutnya. Mitos- mitos tersebut
hanya selalu ada dan diwariskan melalui bahasa dan tanda. Dengan perkataan lain,
mitos selalu terlihat melalui tanda- tanda.
Mitos adalah bagaimana kebudayaan menjelaskan atau memahami
beberapa aspek tentang realitas atau gejala alam. Mitos merupakan produk kelas
sosial yang sudah mempunyai suatu dminasi. Mitos primitif, misalnya mengenai
hidup dan mati, manusia dan dewa. Sedangkan mitos masa kini misalnya
mengenai feminitas, maskulinitas, ilmu pengetahuan dan kesuksesan. Mitos suatu
wahana dimana suatu ideologi terwujud. Mitos dapat berangkai menjadi mitologi
yang memainkan peranan penting dalam kesatuan- kesatuan budaya. Ditegaskan
bahwa siapapun bisa menemukan ideologi dalam teks dengan jalan meneliti
konotasi- konotasi yang terdapat di dalamnya (Wibowo, 2011: 17).
Mitos menurut pandangan Barthes terletak pada tingkatan tanda lapis
kedua, yang maknanya bersifat konvensional yaitu disepakati bahkan dipercayai
secara luas oleh sebuah anggota masyarakat. Mitos, dalam pemahaman semiotika
Barthes, adalah pengkodean makna dan nilai- nilai sosial (yang sebetulnya
arbitrer, terbuka, plural dan konotatif) sebagai sesuatu yang dianggap alamiah.
Artinya, mitos menambatkan atau mematok (anchorage) makna yang sebetulnya
mengapung bebas dan terbuka menjadi makna yang pasti dan terpatok. Mitos
mengalamiahkan sesuatu yang arbitrer (Piliang, 2012: 353).

Universitas Sumatera Utara

Mitos tidak dibentuk melalui penyelidikan, tetapi melalui anggapan
berdasarkan observasi kasar yang digeneralisasikan. Oleh karenanya lebih banyak
hidup dalam masyarakat. Sikap kita terhadap sesuatu ditentukan oleh mitos yang
ada dalam diri kita. Mitos ini menyebabkan kita mempunyai prasangka tertentu
terhadap sesuatu hal yang dinyatakan dalam mitos.
Di dalam mitos juga terdapat pola tiga dimensi penanda, petanda, dan
tanda, namun sebagai suatu sistem yang unik, mitos dibangun oleh suatu rantai
pemaknaan yang telah ada sebelumnya atau dengan kata lain mitos adalah juga
suatu sistem pemaknaan tataran kedua. Di dalam mitos pula sebuah petanda dapat
memiliki beberapa penanda (Sobur, 2004: 71).

II. 2. 4. 3. Lima Kode yang Ditinjau Roland Barthes
a. Kode Hermeneutika
Kode hermeneutika atau kode teka- teki berkisar pada harapan pembaca
untuk mendapatkan “kebenaran” bagi pertanyaan yang muncul dalam teks. Kode
teka- teki merupakan unsur struktur yang utama dalam narasi tradisional. Di
dalam narasi ada suatu kesinambungan antara pemunculan suatu peristiwa tekateki dan penyelesaiannya di dalam cerita (Sobur, 2004: 65).
Kode hermeneutika adalah kode yang mengandung unit- unit tanda yang
secara bersama- sama berfungsi untuk mengartikulasikan dengan berbagai macam
cara dialektik pertanyaan, respon, yang di dalam prosesnya jawaban atau
kesimpulan (cerita) ditangguhkan, sehingga menimbulkan semacam enigma
(Piliang, 2012: 162). Sebagai contoh di dalam novel, pembaca dibawa dari satu
pertanyaan ke pertanyaan lain (misalnya “siapakah sang pembunuh?”) dan
kesimpulan akan terlihat pada akhir cerita.

b. Kode Proaretik
Kode proaretik atau kode tindakan/ lakuan dianggapnya sebagai
perlengkapan utama teks yang dibaca orang; artinya antara lain semua teks yang
bersifat naratif. Secara teoretis Barthes melihat semua lakuan dapat dikodifikasi,
dari terbukanya pintu sampai petualangan yang romantis. Pada praktiknya, ia
menerapkan beberapa prinsip seleksi. Kita mengenal kode lakuan atau peristiwa

Universitas Sumatera Utara

karena kita dapat memahaminya. Pada kebanyakan fiksi, kita selalu mengharap
lakuan di “isi” sampai lakuan utama menjadi perlengkapan utama suatu teks
(Sobur, 2004: 65).
Kode proaretik adalah kode yang mengatur alur satu cerita atau narasi. Ia
disebut juga kode aksi. Setiap aksi dalam satu cerita dapat dipilih lagi menjadi
sub- bagiannya yang secara berurutan, dan urutan- urutan ini hanya dapat dilihat
dalam proses membaca satu aksi dalam konteks totalitasnya. Aksi tertentu
berdasarkan logika tertentu memampukan seorang pembaca memperkirakan aksi
sebelum dan aksi berikutnya. Kemampuan untuk menentukan hasil atau akibat
dari suatu tindakan secara rasional (Piliang, 2012: 162).

c. Kode Simbolik
Kode simbolik merupakan aspek pengkodean fiksi yang paling khas
bersifat struktural, atau tepatnya menurut konsep Barthes, pascastruktural. Hal ini
didasarkan pada gagasan bahwa makna berasal dari beberapa oposisi biner atau
pembedaan, baik dalam taraf bunyi menjadi fonem dalam proses produksi wicara,
maupun pada taraf oposisi psikoseksual yang melalui proses. Dalam suatu teks
verbal, perlawanan yang bersifat simbolik seperti ini dapat dikodekan melalui
istilah- istilah retoris seperti antitesis, yang merupakan hal yang istimewa dalam
sistem simbol Barthes (Sobur, 2004: 65).
Kode simbolik adalah kode yang mengatur kawasan anti- tesis dari tandatanda, dimana satu ungkapan atau tanda meleburkan dirinya ke dalam berbagai
substitusi, keanekaragaman penanda dan referensi, sehingga menggiring kita dari
satu kemungkinan makna ke kemungkinan lainnya dalam interdeterminasi. Kode
simbolik adalah kode yang juga mengatur aspek tak sadar dari tanda, dan dengan
demikian merupakan kawasan dari psikoanalisis (Piliang, 2012: 162).

d. Kode Gnomik
Kode gnomik atau kode kultural banyak jumlahnya. Kode ini merupakan
acuan teks ke benda- benda yang sudah diketahui dan dikodifikasi oleh budaya.
Menurut Barthes, realisme tradisional didefenisi oleh acuan ke apa yang telah
diketahui. Rumusan suatu budaya atau subbudaya adalah hal- hal kecil yang telah

Universitas Sumatera Utara

dikodifikasi yang di atasnya para penulis bertumpu. Tujuan analisis Barthes ini
bukan hanya untuk membangun suatu sistem klasifikasi unsur- unsur narasi yang
sangat formal, namun lebih banyak untuk menunjukkan bahwa tindakan yang
paling masuk akal, rincian yang paling meyakinkan, atau teka- teki yang paling
menarik, merupakan produk buatan, dan bukan tiruan dari yang nyata (Sobur,
2004: 65).
Kode gnomik adalah kode yang mengatur dan membentuk suara- suara
kolektif dan anonim dari pertandaan, yang berasal dari pengalaman manusia dan
tradisi yang beraneka ragam. Unit- unit ini dibentuk oleh beraneka ragam
pengetahuan dan kebijaksanaan yang bersifat kolektif (Piliang, 2012: 162).

e. Kode Semik
Kode semik atau kode konotatif banyak menawarkan banyak sisi. Dalam
proses pembacaan, pembaca menyusun tema suatu teks. Ia melihat bahwa
konotasi kata atau frase tertentu dalam teks dapat dikelompokkan dengan konotasi
kata atau frase yang mirip. Jika kita melihat suatu kumpulan satuan konotasi, kita
menemukan suatu tema di dalam cerita. Jika sejumlah konotasi melekat pada
suatu nama tertentu (Sobur, 2004: 65).
Kode semik adalah kode yang berada pada kawasan penanda, yakni
penanda khusus yang memiliki konotasi, atau penanda yang materialistisnya
sendiri, tanpa rantai pertandaan pada tingkat ideologis, sudah menawarkan makna
konotasi. Memanfaatkan isyarat, petunjuk, kilasan makna yang ditimbulkan oelh
penanda- penanda tertentu. Sebagai contoh, makna konotatif yang terdapat pada
nama, misalnya Tukiyem. Di dalam komunitas bahasa Jawa, akhiran yem pada
nama seseorang, sudah langsung menampilkan konotasi, tidak saja konotasi
feminimitas, akan tetapi juga asal geografis dari nama, yaitu ndeso (Piliang, 2012:
162).

Universitas Sumatera Utara

II. 2. 5. Erotisme dan Pornografi
Erotisme didefenisikan sebagai: 1. Keadaan bangkitnya nafsu berahi; 2.
Keinginan akan nafsu seks secara terus- menerus. Pada dasarnya erotisme didasari
oleh libido yang dalam perkembangannya selanjutnya teraktualisasi dalam
keinginan seksual (Hoed, 2011: 188).
Pornografi didefenisikan sebagai: 1. Penggambaran tingkah laku secara
erotis dengan lukisan atau tulisan untuk membangkitkan nafsu berahi; 2. Bahan
bacaan yang dengan sengaja dan semata- mata dirancang untuk membangkitkan
nafsu berahi dalam seks (Hoed, 2011: 189).
Pornografi sebagai materi yang disajikan di media tertentu yang dapat atau
ditujukan untuk membangkitkan hasrat seksual khalayak atau mengeksploitasi
seks. Media tertentu tersebut yakni media cetak dan elektronik, secara audio atau
visual. Lebih lanjut dijelaskan bahwa jika sesuatu yang membangkitkan hasrat
seksual tidak ditampilkan di media, maka hal tersebut tidak masuk dalam kategori
pornografi. Keterkaitan antara erotisme dan pornografi, merujuk pada dasarnya
yaitu libido, nafsu, berahi, dan nafsu seksual. Perbedaan antara keduanya adalah
bahwa erotisme, libido merupakan dasar atau ilham untuk menggambarkan
sesuatu yang lebih luas (misalnya, konsep cinta, perbedaan antarjenis, atau
masalah yang timbul dalam tradisi interaksi sosial), sedangkan dalam pornografi
yang menonjol adalah penggambaran secara sengaja tingkah laku seksual dengan
tujuan membangkitkan nafsu seksual (Hoed, 2011: 189).
Erotisme adalah suatu bentuk estetika yang menjadikan dorongan seksual
sebagai kajiannya. Dorongan seksual yang dimaksud adalah perasaan yang timbul
yang membuat orang siap beraktivitas seksual. Ini bukanlah sekadar
menggambarkan keadaan terangsang atau antisipasi (melayani rangsangan),
melainkan mencakup pula segala bentuk upaya atau bentuk representasi untuk
membangkitkan perasaan- perasaan tersebut. Ekspresi dari erotisme diistilahkan
dengan erotika atau sesuatu yang dianggap erotik, yaitu suatu bentuk estetika yang
menjadikan dorongan seksual sebagai kajiannya, yang dapat berupa mimik, gerak,
sikap tubuh, suara, kalimat, benda- benda, aroma, sentuhan, dan sebagainya; serta
kombinasinya (http://id.m.wikipedia.org/wiki/Erotisisme). Disadari bahwa erotika

Universitas Sumatera Utara

dapat membangkitkan gairah seksual, fantasi birahi yang indah mengenai objek
seks yang alami, sehat, dan menyenangkan.
Perdebatan tentang pornografi dan erotisme sering muncul ke permukaan,
perdebatan muncul hanya untuk menentukan makna sesungguhnya dari pornografi
atau erotisme itu sendiri. Istilah „porno‟ selalu dikaitkan dengan objek- objek seks
yang menjijikkan, tidak sehat dan merugikan individu. Sedangkan erotisme adalah
mengenai objek seks yang alami, sehat, dan menyenangkan. Pada kebanyakan
orang, pornografi terkadang dianggap tidak mampu merangsang nafsu birahi,
karena lebih dianggap menjijikkan, sedangkan erotisme dianggap secara lembut
dapat membangkitkan fantasi birahi yang indah dan membahagiakan.
Pornografi secara sengaja mengeksploitasi objek seks (tubuh dan alat
kelamin) sehingga merangsang syahwat dan untuk mencari keuntungan,
sedangkan erotisme menampilkan seni sebagai bagian kreativitas atas objek seks
sehingga dominasi seni menghilangkan syahwat. Defenisi ini pasti tidak
memuaskan banyak pihak karena begitu banyak benang merah yang harus ditarik
dari sudut ke sudut lain, terutama juga karena siapa yang bisa menentukan
perbedaan antara pornografi dan erotisme. Masing- masing orang yang berada
pada konteks budaya dan sosiologis ini memiliki kepentingan masing- masing
untuk membuat defenisi tentang pornografi dan erotisme sebagai bentuk dari
eksistensi mereka (Bungin, 2008: 344).
Pada saat karya patung Auguste Rodin Ketika Ciuman dipamerkan di Paris
tahun 1898, seorang pengkritik mengatakan: “sebuah karya besar!”. Namun karya
tersebut pada dasawarsa yang sama tidak jadi dipamerkan di Amerika yang pada
saat itu memiliki adat yang ketat mengenai masalah seks. Lalu karya Rodin itu
disingkirkan ke dalam kamar tersendiri pada Pekan Pameran Dunia dan bagi siapa
saja yang ingin melihatnya, harus memperoleh ijin khusus. Lain halnya pada
masyarakat suku Shavante di Brasilia Tengah yang hidup tanpa busana.
Masyarakatnya bahkan orang lain menganggap itu sebagai suatu kewajaran
subkultural, karena nilai- nilai masyarakat itu tidak melihatnya sebagai suatu
porno.
Dalam hal ini perlu dilihat konteksnya, di mana berbagai persoalannya,
terutama yang bersumber dari konteks budaya dan sosiologis. Konteks budaya

Universitas Sumatera Utara

berhubungan dengan bagaimana kultur lokal mengakomodasikan masalahmasalah porno sebagai bagian dari kearifan lokal, termasuk bagaimana budaya
lokal memberi konstribusi terhadap sikap dan perilaku porno itu sendiri. Dalam
konteks sosiologis, disini muncul persoalan kreativitas, persoalan seni, ekonomi
dan mata pencarian, perilaku dan sikap keagamaan, sampai dengan persoalan
politik dan kekuasaan, serta hubungan antara warga negara dan negara termasuk
juga hubungan dengan Tuhan (Bungin, 2008: 343).
Erotisme dan pornografi terdapat batasan- batasan yang samar. Hal ini
terjadi karena dalam pornografi selalu ada erotisme, tetapi tidak semua yang erotis
itu disebut pornografi.

II. 2. 6. Teks Erotisme
Erotisme dalam sebuah teks adalah penggambaran secara kebahasaan
tindakan, keadaan, atau suasana yang berkaitan dengan hasrat seksual. Jadi,
tindakan seksual itu bukanlah tindakan yang digambarkan secara visual melainkan
secara verbal. Namun, erotisme yang dilukiskan itu tidak ditujukan untuk
mengakibatkan timbulnya hasrat berahi atau nafsu seksual pembacanya.
Timbulnya nafsu seksual pada pembaca adalah karena pembaca menafsirkan teks
yang bersangkutan sehingga menimbulkan dampak erotis padanya (Hoed, 2011:
194). Teks yang berdampak erotis pada pembaca adalah teks tentang berkaitan
dengan tindakan, keadaan, atau suasana erotis atau teks lain yang memberikan
kemungkinan itu.
Teks erotis adalah teks yang menggambarkan kegiatan erotis atau situasi
atau suasana erotis. Disamping itu, ada pula teks yang disebut “berdampak erotis”,
yaitu yang menimbulkan hasrat seksual pada pembacanya. Teks erotis dibedakan
dengan teks pornografis dari segi tujuannya. Teks erotis tidak ditujukan untuk
menimbulkan dampak erotis, sedangkan teks pornografis memang bertujuan
memberikan dampak erotis (Hoed, 2011: 211).
Karya pornografis yang ditulis sebagai naskah cerita, testimonial, atau
pengalaman pribadi secara detail dan vulgar, sehingga pembaca merasa seakanakan ia menyaksikan sendiri, mengalami atau melakukan sendiri peristiwa
hubungan seks itu. Penggambaran yang detail secara narasi terhadap hubungan

Universitas Sumatera Utara

seks ini menyebabkan pembaca sedang mengalaminya sendiri, sehingga fantasi
seksual pembaca menjadi menggebu- gebu terhadap objek hubungan seks yang
digambarkan itu. Teks erotis mempunyai tujuan- tujuan yang lebih luas.

II. 2. 7. Musik atau Lagu Dangdut
Dangdut adalah musik yang lahir dari perpaduan musik populer India,
Arab, Barat, dan Melayu. Pada masa awal perkembangannya, musik dangdut
disebut Orkes Melayu (disingkat OM). Dalam periode awal itu, yaitu tahun 1960an, muncul beberapa penyanyi dan pencipta lagu terkenal. Diantaranya, Emma
Gangga, Hasnah Tahar, Said Effendi, Munif Bahaswan, Elly Khadam dan
sebagainya.
Penyebutan nama „dangdut‟ sendiri merupakan peniruan bunyi tabla
(dalam dunia dangdut disebut gendang), yaitu dang dan ndut. Pada awalnya nama
ini dianggap merendahkan musik tersebut. Selanjutnya perkembangan musik
dangdut sudah banyak dipengaruhi oleh aliran musik lainnya, antara lain musik
Pop, House Music, dan Rock. Pada awal tahun 1970- an, mantan pemusik rock
Rhoma Irama (sebelumnya bernama Oma Irama), bersama kelompok OM Soneta
(kemudian Soneta Group) dan pasangan duet Elvie Sukaesih, masuk dalam
blantika musik dangdut. Rhoma Irama mengurangi warna India dalam dangdut
dan meningkatkan warna Timur Tengah serta warna rock. Dengan perubahan ini
dangdut menjadi sangat populer, dan Rhoma Irama kemudian dinobatkan menjadi
“Raja Dangdut” (Purba & Pasaribu, 2006: 78).
Dangdut adalah musik yang digemari oleh kaum marginal baik secara
ekonomis maupun geografis. Secara ekonomis, dangdut merupakan musik yang
digemari oleh masyarakat dengan tingkat ekonomi yang rendah, misalnya para
buruh, sopir angkot, dan tukang beca. Sedangkan, dari segi geografis, dangdut
merupakan musik yang digemari oleh masyarakat yang tinggal di kota tetapi
bukan di bagian elit gedongan tetapi yang tinggal di kampung- kampung
pinggiran kota besar, yang tidak terdidik dan sedikit terdidik.
Musik dangdut mengalami pasang naik, dari segi penjualan rekaman,
pertunjukan dan produksi film. Kemudian semakin marak, seiring munculnya
penyanyi- penyanyi baru yang memiliki gaya tersendiri, diantaranya, A. Rafiq,

Universitas Sumatera Utara

Mansyur S, Muchsin Alatas, Rita Sugiarto, Meggi Z, Rama Aiphama, It

Dokumen yang terkait

Pemaknaan Lirik Lagu Judas (Studi Analisis Semiotika Lagu Lady Gaga yang berjudul Judas)

22 172 89

ANALISIS ISI UNSUR EROTISME PADA LIRIK LAGU DANGDUT KOPLO

7 33 47

Erotisme dalam Lirik Lagu Dangdut Indonesia (Analisis Semiotika terhadap Lirik Lagu “Cinta Satu Malam”, “Mojok di Malam Jumat”, dan “Aw Aw” oleh Melinda)

8 139 140

REPRESENTASI “SEKSUALITAS” PADA LIRIK LAGU “CINTA SATU MALAM” (Studi Semiologi Tentang Representasi “Seksualitas” Pada Lirik Lagu “Cinta Satu Malam” Oleh Melinda).

1 9 99

Erotisme dalam Lirik Lagu Dangdut Indonesia (Analisis Semiotika terhadap Lirik Lagu “Cinta Satu Malam”, “Mojok di Malam Jumat”, dan “Aw Aw” oleh Melinda)

0 0 13

Erotisme dalam Lirik Lagu Dangdut Indonesia (Analisis Semiotika terhadap Lirik Lagu “Cinta Satu Malam”, “Mojok di Malam Jumat”, dan “Aw Aw” oleh Melinda)

0 0 2

Erotisme dalam Lirik Lagu Dangdut Indonesia (Analisis Semiotika terhadap Lirik Lagu “Cinta Satu Malam”, “Mojok di Malam Jumat”, dan “Aw Aw” oleh Melinda)

0 0 9

Erotisme dalam Lirik Lagu Dangdut Indonesia (Analisis Semiotika terhadap Lirik Lagu “Cinta Satu Malam”, “Mojok di Malam Jumat”, dan “Aw Aw” oleh Melinda)

0 0 4

Erotisme dalam Lirik Lagu Dangdut Indonesia (Analisis Semiotika terhadap Lirik Lagu “Cinta Satu Malam”, “Mojok di Malam Jumat”, dan “Aw Aw” oleh Melinda)

0 0 5

REPRESENTASI “SEKSUALITAS” PADA LIRIK LAGU “CINTA SATU MALAM” (Studi Semiologi Tentang Representasi “Seksualitas” Pada Lirik Lagu “Cinta Satu Malam” Oleh Melinda)

0 0 22