Pelayan Perempuan di Gereja Bethel Indonesia (GBI) Rayon IV Sumatera Resort

BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang
Penelitian yang berjudul “Pelayan Perempuan di Gereja Bethel Indonesia Rayon
IV Sumatera Resort” ini merupakan kajian antropologi religi yang berkaitan
dengan gender yang akan dibahas adalah tentang Pelayan Perempuan di Gereja
Bethel Indonesia (GBI) Rayon IV Medan yang berpusat di Sumatera Resort1.
Fokus penelitian yang akan peneliti lakukan adalah mengenai proses dan peranan
perempuan sebagai pelayan di Gereja Bethel Indonesia.
Antropologi agama merupakan kajian mengenai kehidupan

manusia yang

dikaitkan dengan sistem keyakinan, dalam hal ini keyakinan terhadap unsur
supranatural. Meskipun bersifat abstrak, keyakinan ini memiliki kekuatan untuk
mempengaruhi pemikiran dan mengatur tingkah laku manusia, termasuk juga
interaksinya dengan manusia lain, dan hubungan antara manusia dengan kekuatan
supranatural itu.
A. Nunuk P. Murniati (2004: 3) mengungkapkan bahwa ajaran dan ujaran agama
tentunya memiliki potensi dominan dalam penerapan ideologi gender. Dalam

konteks itu pula, agama bisa memberikan inspirasi atau dorongan munculnya
ketidakadilan gender. Namun, ketidakadilan itu bukan bersumber dari prinsip
1

GBI Sumatera Resort yang berada di Jalan Jamin Ginting merupakan pusat Gereja Bethel Rayon
IV yang ada di Kota Medan. Sumatera Resort merupakan pusat admisnistrasi maupun keperluan
lainnya untuk setiap Gereja Bethel yang ada di Kota Medan. Di tempat ini juga terdapat banyak
pelayan dan Majelis Gereja yang melayani di tempat ini.

1

Universitas Sumatera Utara

agama, melainkan karena proses perkembangan tafsiran agama dan pemikiran
manusia. Secara biologis perbedaan perempuan yakni sebagai kodrat dan ciri
fisik. Namun di dalam realitas sosial juga terdapat paham gender, yakni
perbedaan perempuan dan laki-laki baik dalam fungsi, tanggung jawab, perilaku
yang dibentuk oleh sosial budaya pada masing-masing masyarakat. Ideologi
gender juga dikonstruksi oleh agama yang merupakan salah satu unsur budaya
dalam masyakat. Namun di dalam praktiknya perempuan mengalami beberapa

perlakuan yang dianggap tidak setara yakni adanya pembatasan hak-hak
perempuan di dalam agama.
Ide untuk meneliti tentang proses dan peranan perempuan di GBI muncul ketika
peneliti mengamati adanya suatu fenomena di GBI. Dimana dalam aktifitas ritual
agama dan upacara-upacara (ibadah), tidak hanya laki-laki saja yang menjadi
pelayan

atau

orang-orang

yang

menjadi

perangkat-perangkat

dalam

berlangsungnya ibadah. Peneliti juga melihat banyaknya perempuan yang juga

terlibat dalam pelayanan di GBI Rayon IV. Namun, tampaknya sudah menjadi hal
yang umum jika ada perempuan yang melayani di gereja ini. Adapun jenis
pelayanan yang dilakoni perempuan yang peneliti amati sejauh ini ialah terdiri
dari berbagai macam mulai dari menjadi WL ( Worship Leader )2, Usher (Penerima
tamu dalam ibadah), pemusik, singer (penyanyi latar), penari tamborin, pendoa,
bahkan menjadi pendeta dan jenis pelayanan lainnya yang ada di GBI. Tak hanya
itu, beberapa perempuan di Gereja Bethel Indonesia juga masuk ke dalam struktur
gerejawi. Peneliti menyoroti adanya suatu fenomena pelayanan di Gereja Bethel
Indonesia yang mana banyak perempuan pun turut terlibat di segala aspek
2

Worship Leader merupakan sebutan bagi seseorang yang memimpin ibadah selama ibadah
berlangsung di Gereja Bethel Indonesia.

2

Universitas Sumatera Utara

pelayanan, bahkan banyak perempuan yang memimpin dan menjadi pengaruh.
Hal inilah yang menarik perhatian peneliti untuk melakukan penelitian guna

melihat fungsi, peranan, dan eksitensi pelayan perempuan dalam GBI Rayon IV
Sumatera Resort.
Gereja Bethel Indonesia, disingkat GBI merupakan gereja yang beraliran
Karismatik yang terdapat di seluruh Indonesia. Karismatik merupakan sebuah
istilah yang dipakai untuk mendeskripsikan kaum Kristiani yang percaya bahwa
manifestasi Roh Kudus, gereja beraliran karismatik umumnya mengakui kuasa
Roh Kudus. Selain itu juga menerima secara meluas Kesembuhan Ilahi dan
dikenal dengan gaya khotbah yang berapi-api dengan tata ibadah pujian
penyembahan3.
Gereja Bethel Indonesia sama halnya dengan gereja protestan lainnya, gereja ini
menerapkan ajaran yang sama dengan gereja-gereja lainnya yakni penerapan
ajaran Alkitab. Hanya saja letak perbedaannya ialah tata ibadah dan bahasa, jika
dalam gereja kesukuan maka ditemukan ibadah dalam bahasa lokal (etnis).
Sementara di GBI Rayon IV menggunakan Bahasa Indonesia dalam beribadah
dan berkomunikasi. Namun dalam praktiknya terdapat stigma yang menganggap
GBI berbeda karena pola ibadahnya yang bertepuk tangan, menari-nari,
mengangkat tangan, mengangis, serta tindakan ekspresif lainnya

yang


memandang ini „berbeda‟. Hal ini disebabkan adanya pemahaman atau perspektif
berbeda antar gereja Luteran dan Karismatik.

3

https://id.wikipedia.org/wiki/Gerakan_Karismatik

3

Universitas Sumatera Utara

Gereja ini tentunya melibatkan setiap orang-orang Kristen yang sudah percaya
dalam melakukan pelayanan, demikian juga para pelayan perempuan. Setiap
pelayan perempuan di Gereja Bethel Indonesia memiliki masing-masing latar
belakang berbeda sehingga menjadi seorang pelayan di gereja. Hal ini jugalah
yang akan dibahas penelitian ini. Kata „pelayan‟ dalam Kamus Besar Bahasa
Indonesia diartikan sebagai orang yang melayani, pembantu atau pesuruh.
Sedangkan melayani artinya ialah membantu menyiapkan atau mengurus apa-apa
yang diperlukan seseorang atau meladeni, menerima dan mengendalikan.
Sementara pelayanan diartikan sebagai perihal atau cara melayani 4. Istilah kata

pelayan merupakan suatu fenomena yang terdapat dalam istilah teologi Kristen.
Di dalam Alkitab pelayan disebut sebagai diakonia atau yang dapat diartikan
sebagai seseorang yang melayani orang lain dalam konteks teologi.
Kata „pelayan‟ merupakan sebutan orang yang melayani di gereja (pelaku) dan
„pelayanan‟ dan „melayani‟ merupakan kata kerja dari tindakan si pelayan tersebut
di gereja. Salah satu bentuk pelayanan orang Kristen ialah di gereja. Pelayanan
tersebut khususnya di dalam gereja atau tempat-tempat yang dianggap kudus
untuk melayani orang lain dan Tuhan Yang dengan rendah hati atau kata lain
yakni „hati hamba‟. Adapun tugas pelayan di gereja ialah melayani dan
menfasilitasi jemaat yang beribadah dengan asas-asas rendah hati, mengasihi, dan
kemauan untuk melayani. Ungkapan kata pelayanan tidak hanya dilakukan di
gereja saja. Pelayanan bisa saja berbentuk perbuatan baik kepada sesama,
melakukan misi dan penginjilan, menolong, mengasihi, serta menjadi pelaku
firman dan sebagai pemuji dan penyembah Tuhan.
4

sumber : http://kbbi.web.id/pelayanan

4


Universitas Sumatera Utara

Melayani merupakan suatu hal ideal yang dirindukan dan diinginkan oleh setiap
umat Kristen. Di dalam Alkitab, Tuhan memberikan mandat bagi setiap manusia
di seluruh bumi untuk menjadi pelayan bagi Tuhan. Hal yang menjadi dasar
pelayanan ini tertulis di dalam Kitab Perjanjian Baru dengan judul perikop
„Perintah Untuk Memberitakan Injil‟, yang tertulis dalam Matius 28:19-20 “(19)
Karena itu pergilah, jadikanlah semua bangsa muridKu dan baptislah mereka
dalam nama Bapa dan Anak dan Roh Kudus, (20) dan ajarlah mereka melakukan
segala sesuatu yang Kuperintahkan kepadamu. Dan ketahuilah, Aku menyertai

kamu senantiasa sampai kepada akhir zaman.” Ayat tersebut tampaknya
merupakan perintah bagi umat manusia untuk menjadi pelayan bagi Tuhan.
Pelayanan bisa dilakukan sesuai dengan talenta (karunia) yang dimiliki oleh
masing-masing orang. Setiap orang memiliki talenta yang berbeda misalnya
menginjil, bermain musik, berbicara atau berkata-kata, berdoa, bernyanyi, menari,
fellowship5, dan hal-hal lain yang dapat diasah dan kemudian dipakai untuk

memuji dan memuliakan Tuhan melalui pelayanan. Sejak gereja muncul di
Indonesia yang mana ideologi agama dibawa oleh para Misionaris Barat,

pelayanan di gereja dilakukan oleh jemaat sesuai dengan kultur masyarakat yang
dimiliki, demikian juga GBI Rayon IV memiliki kultur dan ciri khasnya di dalam
pelayanan gerejawi.
Untuk mengkaji persoalan posisi, fungsi dan peranan perempuan peneliti juga
melihat adanya perbedaan secara historis dari aspek budaya etnis dan agama di
setiap masyarakat. Hal inilah yang menjadi sorotan penulis lalu melakukan
komparatif terhadap beberapa hal melalui sumber literatur yang ada. Dalam
5

Fellowship merupakan sikap ramah tamah, menyapa dan bersalam-salaman. Hal ini dilakukan
untuk mengakrabkan jemaat yang satu dengan yang lain.

5

Universitas Sumatera Utara

sejarah perkembangan feminis perempuan atau kelompok perempuan mempunyai
tantangan pembatas oleh otoritas keagamaan 6. Di dalam budaya masyarakat Jawa,
banyak istilah yang mendudukan posisi perempuan lebih rendah dari pada lakilaki. Dan istilah-istilah itu sudah tertanam dalam masyarakat sehingga, diterima
dan dimaklumi begitu saja. Seperti contoh dalam istilah budaya jawa ada yang

menyebutkan bahwa istri sebagai kanca wingking (teman belakang) sebagai teman
dalam mengelolah urusan rumah tangga, khususnya urusan anak, memasak,
mencuci dan lain-lain. Istilah lain pun yang ditujukan kepada perempuan suargo
nunut neroko katut, istilah ini juga diperuntutkan bagi para istri,bahwa suami

adalah yang menentukan istri akan masuk surga atau neraka7.
Dalam ajaran Islam, Al-Quran lebih menonjolkan kesetaraan gender yang
menganjurkan dan menegakkan prinsip keadilan. Seperti tertulis dalam Al-Quran,
surat Al-Hujurat ayat 14 berbunyi :“Sesungguhnya telah Kuciptakan kalian laki laki dan perempuan dan Aku jadikan kalian berbangsa dan bersuku-suku agar
kalian lebih mengenal; sesungguhnya yang mulia di antara kalian adalah yang
paling takwa”. Serta banyak lagi ayat Al-Quran yang mendukung pandangan

bahwa kaum perempuan tidaklah subordinasi. Di dalam islam laki-laki adalah
imam atau kepala di dalam sebuah keluarga maupun di dalam masyarakat dan
perempuan menjadi orang yang memang harus taat pada imamnya, Mansour
Fakih (1996:37).

6
7


Soe Morgan, Pendekatan Feminis dalam studi agama.
Sumber http://sainswindow.blogspot.co.id/2013/10/wanita-dalam-budaya-jawa.html

6

Universitas Sumatera Utara

Sementara dalam tradisi Hindu tidak mengakui bahwa kehidupan religius hanya
bersumber pada kitab suci saja. Terdapat ajaran-ajaran tradisi lisan maupun
praktik ritus. Perempuan dilihat sebagai pemberi keberuntungan, karena mereka
haid, menjadi istri, dan melahirkan anak yang diartikan sebagai kekuatan yang
membawa keuntungan dan keadilan.
Pada masyarakat Batak Toba, laki-laki lebih dihargai daripada perempuan. Istri
yang tidak bisa menurunkan anak laki-laki, membuat laki-laki (suaminya boleh
mengawini perempuan lain lagi untuk mendapatkan anak laki-laki). Perempuan
bekerja keras, laki-laki berkumpul di lapo tuak (kedai minum) sambil main catur
atau kartu, ini masih terdapat di beberapa daerah masyarakat Batak Toba. Dalam
suatu pesta Batak, kepala babi diberikan kepada laki-laki, sebagai manifestasi
falsafah Batak yang merupakan hak laki-laki. Hubungan darah berdasarkan marga
disebut paternalistik. Namun, sebenarnya masyarakat Batak mempunyai konsep

tiga tungku (dalihan natolu), yaitu boru, hula-hula, dan dongan sabutuha. Konsep
ini menunjukkan bahwa perempuan mempunyai status setara dengan laki-laki8.
Bagi masyarakat Batak sebenarnya kedudukan perempuan sangat dihormati, hal
ini terbukti dengan berbagai gelar kehormatan yang diberikan, seperti soripada ,
parsonduk bolon, tuan boru, boru ni raja dan lain-lain9. Namun dalam praktiknya

perempuan batak merupakan orang yang harus tunduk dan hormat pada laki-laki
dan menjadi pelayan yang baik bagi keluarga. Perempuan batak yang tidak
memiliki iboto (saudara laki-laki) dianggap sebagai sesuatu yang menyedihkan.
Karena peran laki-laki dalam budaya batak sangatlah penting dan berharga.

8
9

A. Ninuk P. Murniati, Getar Gender (Magelang: Indonesia Tera: 2004) hal. 89-90
Sebutan terhormat atau sanjungan kepada perempuan Batak Toba.

7

Universitas Sumatera Utara

Kaum perempuan di dalam masyarakat Minangkabau menduduki tempat yang
khas karena sistem matriarkhat. Di dalam adat istiadat perempuan Minangkabau
memiliki posisi tawar yang cukup tinggi dan dihargai. Namun, sebagai istri di
dalam kehidupan sehari-hari perempuan Minangkabau tidak banyak kuasanya,
perempuan merupakan factor yang melayani, misalnya di dalam keluarga aum
perempuanlah yang melayani suami dan anak dalam hal mengurus makanan,
pakaian, kebersihan rumah, mengurus anak, dan lain sebagainya. Demikian juga
dalam sebuah pesta adat, perempuan yang mengurus kebutuhan dan keperluan
dapur, memasak dan lainnya. Bagian terbesar pekerjaan sehari-hari jatuh kepada
pundaknya. Hal ini merupakan suatu realitas yang berkaitan dengan isu dan kasus
gender, kebudayaan memilah dan memilih peranan dan fungsi bagi laki-laki dan
perempuan.
Dahulu perempuan dalam Kristen haknya di dalam gereja dibatasi dengan
berbagai alasan. Dalam ajaran Katolik tidak semua bentuk pelayanan dapat
dilakukan perempuan, perempuan hanya bisa melayani sebagai suster dan
sejenisnya. Namun, kini di beberapa gereja di Indonesia ditemukan telah banyak
perempuan yang andil untuk melayani di gereja dengan menduduki berbagai
macam posisi pelayanan.
Dari pengamatan dan perbandingan yang penulis analisi dengan etnis maupun
agama lainnya tidak terdapat hal seperti kasus di GBI tersebut. Hal inilah yang
menarik perhatian penulis dan memunculkan ide bagi penulis untuk melakukan
penelitian tentang bagaimana Gereja Bethel Indonesia memberikan peluang bagi
perempuan untuk melayani serta membentuk budaya baru. Di samping itu juga

8

Universitas Sumatera Utara

akan melihat sejarah dan dasar-dasar apa saja yang menjadikan ideologi ini
muncul. Ketertarikan ini juga karena adanya perbedaan ideologi serta pemahaman
gender yang berbeda yang memunculkan perempuan sehingga memiliki hak yang
sama dengan kaum laki-laki di Gereja Bethel Indonesia untuk melakukan
pelayanan. Sehingga inilah yang menjadi dasar pemikiran penulis untuk
memahami dan memaknai fungsi dan peranan perempuan dalam perspektif
ideologi Gereja Bethel Indonesia Rayon IV Sumatera Resort.
1.2. Tinjauan Pustaka
Carol R. Ember dan Melvin Ember (dalam T.O. Ihromi 2006:18) mengemukakan
bahwa kebudayaan merupakan cara berperilaku yang dipelajari yang digerakkan
oleh naluri. Kebudayaan tidak tergantung dari transmisi biologis atau pewarisan
melalui unsur genetis. Sama halnya dengan James P. Spradley (terjemahan
2007:6) yang mengartikan bahwa kebudayaan merujuk pada pengetahuan yang
diperoleh, yang digunakan orang untuk meninterpretasikan pengalaman dan
melahirkan tingkah laku sosial. Dalam kesamaan mendefinisikan bahwa budaya
adalah suatu hal yang dipelajari dan kemudian diterapkan dalam kehidupan
sehari-hari dalam wujud tingkah laku. Kebudayaan juga berasal dari pengetahuan
dan pemahaman individu.
Manusia

merupakan

makhluk

yang

memiliki

kebudayaan,

dimana

Koentjaraningrat (1997:4) merincikan unsur-unsur kebudayaan yang terdapat di
dalam setiap masyarakat secara universal, yaitu : (1) bahasa, (2) sistem teknologi
(3) sistem ekonomi, (4) organisasi sosial, (5) sistem pengetahuan, (6) kesenian (7)

9

Universitas Sumatera Utara

sistem kepercayaan atau religi yang merupakan salah satu unsur penting dalam
kebudayaan. Agama tak lepas dalam setiap kebudayaan masyarakat.
Menurut T.O. Ihromi (2006:32) walaupun benar bahwa unsur-unsur dari suatu
kebudayaan tidak dapat dimasukkan ke dalam kebudayaan lain tanpa
mengakibatkan sejum;ah perubahan pada kebudayaan itu, kita harus mengingat,
bahwa kebudayaan tidak bersifat statis, ia selalu berubah. Demikian juga halnya
dengan agama atau kepercayaan yang melalui proses dan tahapan perubahan dari
waktu ke waktu. Perubahan tersebut terjadi pada nilai-nilai dan ideologi agama
yang perlahan dari suatu waktu ke waktu berikutnya.
1.2.1. Agama
Agama merupakan suatu istilah yang sepadan yang digunakan untuk menjelaskan
keyakinan atau kepercayaan. Meskipun dalam konteks ini kedua hal ini
dinyatakan sama. Namun di Indonesia istilah agama digunakan untuk menjelaskan
sistem kepercayaan yang sudah dilembagakan, dan Kristen merupakan salah satu
bentuk kepercayaan sudah dilembagakan. Dalam antropologi agama diistilahkan
dalam ungkapan „religi‟ yang mendefinisikan kepercayaan atau keyanikan yang
dimiliki oleh setiap masyarakat.
Dalam bukunya yang berjudul Antropologi Agama, Tony Rudyansjah (2015:64)
mengatakan bahwa agama atau religi mengacu kepada definisi Durkheim,
merupakan sekumpulan keyankinan dan praktik yang berkaitan dengan sesuatu
yang scared (sakral). Salah satu konsep yang dipandang menjadi karakterisitik
dari segala sesuatu yang religius adalah konsep supranatural yang berada di luar
pemahaman manusia, sebagai misteri yang tak dapat diketahui atau tidak dapat
10

Universitas Sumatera Utara

ditangkap oleh akal dan indera manusia. Dalam hal ini agama dipandang sebagai
daya penentu kehidupan manusia.
Jonar Situmorang (2013:9) mengartikan sinonim agama dari bahasa asing,
„religion‟ yang berasal dari bahasa Latin „religare ‟ yang artinya kembali terikat.
Disini disimpulkan bahwa hidup yang beragama itu bukanlah hidup yang lepas
dan bebas, melainkan hidup terikat oleh norma-norma dan peraturan-peraturan.
Peraturan tentang kebaktian dan kewajiban-kewajibannya adalah alat untuk
mengikat dan mengutuhkan diri seseorang atau kelompok orang (persekutuan)
dalam hubungannya dengan Tuhan, sesama, dan alam yang mengitarinya.
Peraturan yang tinggi adalah peraturan yang berasal dari Tuhan. Demikian juga ia
mengungkapkan bahwa hidup beragama ialah hidup yang teratur, sesuai dengan
haluan, atau jalan yang telah dilimpahkan dan dijiwai sebagai semangat kebaktian
kepada Tuhan.
Tony Rudyansjah (2015:5) menjelaskan bahwa bagi ahli antropologi, religi
merupakan suatu fenomena budaya yang merupakan satu ekspresi mengenai apa
yang sekelompok manusia pahami, hayati, maupun yakini baik secara tersurat
maupun tersirat sebagai suatu kenyataan yang paling benar beserta berbagai
perilaku berkenaan dengannya, meskipun hal-hal yang dianggap paling benar
tidak dapat dibuktikan secara empiris.
Seperti hasil budaya manusia yang lain, agama dikembangkan berdasarkan pola
pikir yang sudah ada dalam masyarakat. Ideologi gender juga mewarnai
munculnya agama-agama dan perkembangannya. Warna atau pengaruh terdapat di
dalam aturan-aturan agama, dalam kitab suci, dan ajaran agama. Dari beberapa
11

Universitas Sumatera Utara

ajaran agama, dapat diketahui sejauh mana agama mempunyai andil
memantapkan ekses negatif dari ideologi gender (Nunuk P. Murniati 2004:5).
1.2.2. Pelayan dan Pelayanan
Koentjaraningrat (dalam Skripsi Hans Marpaung 2009:11) mengungkapkan
bahwa komponen upacara dalam sebuah kepercayaan ada 4 yakni :
1. Orang yang melakukan dan memimpin upacara
2. Tempat upacara
3. Benda upacara
4. Waktu upacara
Merujuk pada teori di atas, pelayan merupakan salah satu komponen upacara yang
penting. Pelayan merupakan orang-orang yang melakukan dan memimpin upacara
atau ibadah tersebut. Pelayan ibadah di GBI dari berbagai macam pelayanan
bersatu padu di dalam upacara untuk melakukan satu tujuan, baik Worship
Leader , Pemusik, Penari Tamborin, Usher, Singer , dan yang lainnya. Tanpa

adanya pelayan belum tentu ibadah atau upacara berlangsung sesuai dengan yang
dikehendaki.
Alexander Strauch (terjemahan 2008:61) mendefinisikan arti kata „pelayan‟ dalam
dari berbagai bahasa yang berbeda-beda seperti di bawah ini.
Inggris

Indonesia

Yunani

Latin

Servant

Servant

= Diakonos

= Diakonos

Minister

Pelayan

Deacon

Diaken

12

Universitas Sumatera Utara

Serve

Melayani
(kt.kerja)

Minister

Melayani

Service

Pelayanan

Ministry

Pelayanan

= Diakonia

Slave

Budak

= Duolus

= Diakoneo

Ministro

Servus

Dari uraian di atas mengungkapkan bahwa ia memilah kata-kata yang berbeda
dalam berbagai bahasa untuk mendefinisikan apa itu pelayan dan pelayanan.
Beberapa kata diantaranya digunakan dalam Alkitab Perjanjian Baru untuk
menggambarkan pelayan atau hamba dalam arti sessungguhnya.
Pdm. Markus S., M.Th (2010:196) kata „pelayanan‟ berasal dari bahasa Yunani,
yakni diakonia yang berarti melakukan sesuatu yang diperintahkan Tuhan kepada
kita. Bagi orang yang sudah percaya (kepada Yesus Kristus), pelayanan
merupakan suatu kewajiban. 1 Petrus 4:10 “Layanilah seorang akan yang lain,
sesuai dengan karunia yang telah diperoleh tiap-tiap orang sebagai pengurus

yang baik dari kasih karunia Allah.”
1.2.3. Melihat dalam Perspektif Gender
Secara umum gender merupakan pembedaan atau perbedaan peran laki-laki dam
perempuan baik dalam fungsi, tanggung jawab, perilaku, yang dibentuk oleh
sosial budaya pada masing-masing masyarakat tersebut.
Dalam pemahaman gender terdapat 2 teori, yakni :
13

Universitas Sumatera Utara

1. Teori nature yang beranggapan bahwa perbedaan psikologis antara
perempuan dan laki-laki hanya disebabkan oleh perbedaan fisiologis dan
biologis saja.
2. Teori nurture yang beranggapan bahwa perbedaan psikologis antara
perempuan dan laki-laki disebabkan oleh proses belajar dari lingkungan.
Konstruksi sosial budayalah yang memunculkan maskulinitas dan
feminimitas.
Dari uraian teori di atas, maka jelaslah bahwa agama merupakan hasil
budaya yang dibentuk oleh lingkungan yang merupakan factor dari teori
nurture.

Dalam bukunya yang berjudul “Getar Gender” Nunuk P. Murniati (2004: 5) juga
mengungkapkan bahwa agama dikembangkan berdasarkan pola pikir yang sudah
ada dalam masyarakat. Ideologi gender juga mewarnai munculnya agama-agama
dan perkembangannya. Warna atau pengaruh ini tampak dalam peraturan agama.
Dari beberapa agama dapat diketahui seberapa jauh agama mempunyai andil
memantapkan ekses negative dari ideologi gender.
A. Nunuk P. Murniati (2004: 9) mengungkapkan bahwa dalam agama Kristen
status perempuan dijadikan subjek dosa sehingga dihukum. Hal ini didukung oleh
adanya nats Alkitab yang mengatur cara hidup perempuan seakan perempuan
merupakan makhluk yang harus diberi hukuman. Di dalam alkitab tertulis seperti
di Amsal 31 :10-31, Imamat 15:19-24, Ulangan 22:13-20. Agama Kristen dalam
menilai perempuan berangkat dari cerita Adam dan Hawa, dimana sebagai
manusia Hawa sebagai perempuan lebih rendah dibanding Adam. Asal-usul Hawa
14

Universitas Sumatera Utara

dari tulang rusuk Adam merupakan hal yang paling tidak menyatakan status
inferior 10 perempuan. Dan dibenarkan oleh adanya cerita bahwa perempuanlah

yang pertama kali jatuh ke dalam dosa.
Ia juga menjelaskan bahwa beberapa perikop dalam Alkitab menafsirkan bahwa
para Bapa Gereja memojokkan perempuan. Perempuan tidak diberikan hak untuk
bicara dalam pertemuan jemaat. Kekuasaan ditentukan, seperti dalam gereja
Katolik yang berkuasa adalah laki-laki. Sebelumnya perempuan tidak boleh
menjadi imam dan pemimpin upacara atau ibadah. Namun, sekarang gereja mulai
memberi kesempatan untuk perempuan memimpin ibadah. Gereja-gereja Kristen
telah mentahbiskan pendeta perempuan, tak bisa dipungkiri masih banyak paham
hakikat pekerjaan perempuan cenderung melayani.
Dalam penelitian ini juga tidak hanya melihat perempuan saja di dalam gereja
namun juga melihat pembagian tugas dan peranan antara laki-laki dan perempuan.
Seperti yang dikatakan oleh Nunuk P. Muniarti bahwa analisis gender tidak hanya
melihat peran dan kegiatan antara laki-laki dan perempuan, namun juga melihat
relasi mereka. Bagaimana agama dalam mempengaruhi hubungan perempuan dan
laki-laki. Bersumber dari kitab suci yang ada, dibuat peraturan untuk beribadah
kekuasaan mulai ditentukan, seperti dalam gereja Katolik yang berkuasa adalah
laki-laki. Perempuan tidak boleh menjadi imam dan pemimpin upacara/ibadah.
Namun, sekarang gereja mulai memberi kesempatan bagi perempuan, bahkan
gereja Kristen, selain Katolik, sudah mentasbihkan pendeta perempuan.

10

Inferior = posisi perempuan yang cenderung dianggap lemah.

15

Universitas Sumatera Utara

Akan tetapi gambaran mengenai kedudukan perempuan di dalam masyarakat tidak
dapat kita peroleh sebelum kita meneliti arti kedudukan perempuan di dalam
rumah tangga dan meninjau ulang kasus-kasus tersebut. (T.O Ihromi dan Maria
Ulfa Subadio 1994:41) Dari teks di atas dapat diambil kesimpulan sementara
bahwa ideologi agama yang merupakan unsur kebudayaan yang mengalami
perubahan. Kebudayaan tidak bersifat statis ia selalu berubah. Dalam suatu
kebudayaan selalu ada sesuatu kebebasan tertentu pada para individu
memperkenalkan variasi hingga variasi-variasi tersebut diterima dan dapat
menjadi milik masyarakat. (T.O Ihromi 1980:32)
Trisakti Handayani dan Sugiarti (2008:15-18) mengungkapkan bahwa perbedaan
gender dapat melahirkan ketidakadilan. Adapun bentuk manifestasi ketidakadilan
tersebut di antaranya adalah11 :
1. Gender dan marginalisasi perempuan
Bentuk manifestasi ini merupakan proses marginalisasi atau pemiskinan terhadap
kaum perempuan atau disebut juga pemiskinan ekonomi.
2. Gender dan subordinasi pekerjaan perempuan.
Adanya anggapan bahwa perempuan tidak penting terlibat dalam pengambilan
keputusan. Perempuan cenderung tersubordinasi oleh faktor-faktor yang
dikonstruksikan secara sosial dan mengakibatkan adanya diskriminasi kerja bagi
perempuan.
3. Gender dan stereotip atas pekerjaan perempuan.
11

Trisakti Handayani, Sugiarti, Konsep dan Teknik Penelitian Gender (Malang: UMM Press,
2008) hal. 15-18

16

Universitas Sumatera Utara

Stereotip merupakan pelabelan terhadap suatu kelompok ataujenis pekerjaan
tertentu. Hal ini merupakan bentuk ketidakadilan, sehingga dinamakan pelabelan
negatif. Biasanya terjadi karena disebabkan pelabelan yang sudah melekat pada
laki-laki, misalnya laki-laki adalah manusia yang kuat, rasional, jantan, dan
perkasa. Sedangkan perempuan adalah makhlukyang lembut, cantik, emosional,
atau keibuan. Dengan adanya pelabelan tersebut membuat perempuan
dikonstruksikan sebagai kaum yang identik dengan pekerjaan-pekerjaan rumah,
maka peluang perempuan untuk bekerja di luar rumah sangat terbatas.
4. Gender dan kekerasan terhadap perempuan.
Jika diperhatikan bahwa kekerasan yang terjadi pada perempuan merupakan
kekerasan yang disebabkan adanya keyakinan gender.
5. Gender dan beban kerja lebih berat
Perkembangan perempuan tidaklah „mengubah‟ peranannya yang lama yaitu
peranan dalam lingkup rumah tangga. Maka dari itu, perkembangan peran
perempuan menambah dan menuntut perempuan mengerjakan peranannya
sekaligus, sehingga membuat beban kerja yang lebih berat.
Saumiman Saud (2006:59-66) menjelaskan bahwa dalam kehidupan seorang
wanita, ia haruslah berhikmat. Dimana ia mengartikan hikmat sebagai
kebijaksanaan dalam bertindak maupun mengambil keputusan yang seadiladilnya. Ia mengambil ayat Alkitab yang tertulis di Amsal 31:10-31 lalu
menguraikannya dan menjelaskan bahwa wanita yang berhikmat adalah :

17

Universitas Sumatera Utara

1. Wanita yang berhikmat mengasihi keluarganya.
2. Wanita yang berhikmat memperhatikan kebutuhan keluarganya.
3. Wanita yang berhikmat mendapat pujian orang banyak karena kualitas
kehidupannya yang baik. Kualitas yang baik dibuktikan dengan adanya
sikap dan tindakan yang taat dan melayani Tuhan.
Dalam bukunya yang berjudul “Lady in Waiting” Jeckie Kendall dan Debbie
Jones (2005:9-23 dan 73-87) menguraikan bagaimana seorang perempuan
harusnya menyerahkan diri kepada Allah untuk mengabdi dan melayani Tuhan.
Dalam tulisan ini dijelaskan bagaimana perempuan memutuskan untuk menjalin
hubungan yang baik dengan Tuhan Yesus serta menjadikan Yesus sebagai fokus
utama dalam kehidupan. Kata pengabdian yang dimaksudkan artinya ialah
mengabdia atau melayani dan memberikan diri sepenuhnya kepada Tuhan untuk
melakukan kehendak-Nya.
Harmona Daulay (2007:5) mengungkapkan bahwa gender merupakan konsepsi
yang mengaharapkan kesetaraan status dan peranan antara laki-laki dan
perempuan. Konsep gender melihat semua hal yang dapat dipertukarkan atau
berubah dari waktu ke waktu berbeda, dari suatu tempat ke tempat lain. Sehingga
stereotip-stereotip yang selama tentang laki-laki dan perempuan yang selama ini
dianggap kodrat bukan suatu harga mati yang harus dipertahankan yang tidak
menyeimbangkan kesetaraan hubungan laki-laki dan perempuan.
Dengan demikian sesungguhnya perempuan haruslah memiliki ciri ideal yang
diharapkan oleh lingkungan sekitarnya. Sekalipun dalam pelayanan, terdapat hal18

Universitas Sumatera Utara

hal yang memang harus dimiliki atau diubahkan oleh perempuan. Agar eksistensi
seorang perempuan dapat terus bertahan. Dalam kajian ini peneliti akan
menekankan tentang persepsi dan konstruksi, serta ideologi yang terdapat dalam
Gereja Bethel Indonesia Rayon IV Sumatera Resort.
1.3. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan di atas,

adanya peranan

perempuan di Gereja Bethel Indonesia yang menjadi pelayan gereja dan turut
mengabdikan dirinya untuk pelayanan gereja. Pada penelitian ini juga memiliki
pertanyaan penelitian yang merupakan suatu masalah yang ada pada pelayanan
perempuan di Gereja Bethel Indonesia Rayon IV Medan. Adapun pertanyaan
penelitian ini yaitu :
1. Bagaimana proses perekrutan serta peluang bagi pelayan perempuan di
Gereja Bethel Indonesia Rayon IV Sumatera Resort?
2. Bagaimana pandangan pendeta GBI tentang perempuan yang melayani di
GBI Rayon IV Sumatera Resort?
3. Bagaimana pelayanan yang dilakukan oleh perempuan di GBI Rayon IV
Sumatera Resort?
1.4. Tujuan dan Manfaat
Tujuan penelitian ini adalah :
a. Mengetahui bagaimana perekrutan pelayan gereja yang dilakukan oleh
GBI Rayon IV Sumatera Resort.
19

Universitas Sumatera Utara

b. Mengetahui pandangan pendeta tentang pelayanan yang dilakukan oleh
perempuan di GBI Rayon IV.
c. Memahami

pelayanan

yang dilakukan oleh perempuan serta

mengetahui perspektif ideologi GBI rayon IV dalam melibatkan
perempuan dalam pelayanan gereja dalam Gereja Bethel Indonesia
Rayon IV Medan.
Manfaat yang diharapkan dari penelitian ini ialah :
a.

Menambah kepustakaan Departemen Antropologi FISIP USU dalam
kajian mengenai Antropologi Agama yang berkaitan dengan Gender
tentang pelayan perempuan di gereja.

b.

Menambah wawasan keilmuan khususnya dalam bidang Antropologi
Religi dan Antropologi Gender.memberikan pemahaman bagi
masyarakat tentang isu gender di dalam gereja

c.

Terbentuknya pola pikir yang kritis dalam memandang persoalan
gender dan teologi, dan tidak lagi memandang perempuan dalam
agama sebagai suatu hal yang bias. Menimbulkan respon masyarakat,
peneliti, maupun pakar-pakar agama, serta ilmu sosial dan budaya
untuk lebih peka dalam memandang persoalan religi yang berkaitan
dengan gender.

1.5. Metode Penelitian
Metode penelitian yang akan digunakan dalam penelitian ini adalah metode
penelitian

lapangan

dengan

metode

kualitatif

deskripif.

Peneliti

akan

menggunakan metode berbasis etnograsi native‟s point of view dalam memahami
20

Universitas Sumatera Utara

pelayan perempuan di Gereja Bethel Indonesia Rayon IV Medan. Penelitian akan
dilakukan di Gereja Bethel Indonesia Rayon IV Medan di Sumatera Resort,
Medan. Teknik pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini ialah:
1. Wawancara
Wawancara adalah pertemuan dua orang untuk bertukar informasi melalui proses
tanya jawab sehingga diperoleh makna dari topik yang dibahas. Wawancara
mendalam melalui proses dilakukan agar memperoleh keterangan untuk tujuan
penelitian dengan cara tanya jawab sambil bertatap muka antara pewawancara
dengan informan atau orang yang diwawancarai dengan menggunakan pedoman
wawancara (interview guide )12, dimana pewawancara dan informan terlibat dalam
kehidupan sosial atau huungan komunikasi yang

relatif intens. Penulis juga

mungkin akan menggunakan rekaman bila diberi izin oleh informan untuk
direkam. Wawancara merupakan satu-satunya teknik yang dapat digunakan untuk
memperoleh keterangan tentang kejadian yang oleh peneliti tak dapat diamati oleh
peneliti secara langsung.
Dalam pengumpulan data peneliti akan mencari data dengan melakukan
wawancara dengan informan yang mampu memberikan informasi yang akurat
tentang

pelayanan perempuan di GBI Rayon IV. Informan yang akan

diwawancara dimulai dari informan pangkal yaitu orang yang mungkin dapat
membantu memberi tahu tentang informasi awal dan memberikan petunjuk
kepada siapa saja kita akan melakukan wawancara. Kemudian informan kunci
ialah informan yang memiliki banyak pengetahuan dan mau bertukar informasi,

12

Interwiew Guide merupakan pertanyaan-pertanyaan panduan yang akan kita gunakan ketika
melakukan wawancara informan.

21

Universitas Sumatera Utara

yang intensitas pertemuannya berulang kali. Yang menjadi target peneliti untuk
diwawancara ialah perempuan yang merupakan

pelayan di Gereja Bethel

Indonesia Sumatera Resort, peneliti akan mewawancarai empat orang pelayan
perempuan untuk medeskripsikan kisah pelayanannya, dan pandangan orang
sekitarnya baik teman maupun keluarganya, serta pandangan dari pihak gereja
maupun pemimpin atau ahli teologi yang ada di gereja (Pendeta).
2. Observasi (Pengamatan)
Observasi merupakan teknik pengumpulan data yang dilakukan melalui
pengamatan dan pengindraan yang meninjau secara cermat dan langsung di
lapangan dan lokasi penelitian. Pengamatan ini berupa melakukan tindakan
mengamati berbagai ruang dan tempat, dimana peneliti mencoba masuk ke dalam
kehidupan sosial pelayan perempuan Gereja Bethel Indonesia dan melakukan
kegiatan interaksi sehari-hari yang akan dilakukan peneliti bersama dengan
masyarakat yang menjadi sasaran penelitian.
Dalam penelitian ini penulis mungkin akan dilakukan teknik observasi partisipant
13

dimana peneliti observasi secara langsung dalam kegiatan di lapangan dan

mungkin akan mengikuti ibadah dan kegiatan lainnya. Sehingga penulis dapat
menggunakan pengetahuan budaya yang dimilki masyarakat. Tujuan dari
observasi adalah untuk menghasilkan sebuah deskripsi yang lengkap dan
berkualitas melalui proses interaksi sosial yang dialami. Dimana peneliti akan
membangun rapport14 dengan mendekatkan diri dengan masyarakat/informan. Tak
lupa juga dalam observasi penulis bila diizinkan akan mendokumentasikan
13

Observasi partisipant adalah sebuah cara pengumpulan data dengan ikut serta teribat dalam
aktivitas kehidupan sehari-hari masyarakat yang ditelitinya dan mungkin saja bisa tinggal bersama
dengan mereka untuk beberapa waktu tertentu.
14

Rapport adalah hubungan yang baik dengan informan.

22

Universitas Sumatera Utara

kegiatan yang dilakukan baik menggunakan catatan lapangan ( field note) dan
mengabadikannya menggunakan kamera.
1.6 Lokasi Penelitian
Lokasi penelitian ini di Gereja Bethel Indonesia Rayon IV fokus penelitian di GBI
Sumatera Resort Medan. Gereja ini berlokasi di Jalan Jamin Ginting Km. 11,5,
Simpang Selayang, Medan. Pemilihan lokasi ini didasarkan ketertarikan peneliti
terhadap pelayanan perempuan di gereja tersebut untuk melakukan penelitian di
lokasi ini.
1.7. Analisis Data
Data-data yang diperoleh dari lapangan yang berebentuk rekaman maupun
verbatim note akan ditranskripkan atau dipindahkan dalam bentuk field note

(catatan lapangan). Catatan lapangan yang ditulis merupakan catatan yang lebih
rinci. Setelah itu data-data tersebut diuraikan dan dideskripsikan dalam skripsi.
Penulis juga akan menggunakan data kepustakaan guna melengkapi informasi
yang berkaitan dengan penelitian. Data-data kepustakaan berupa sumber-sumber
tertulis seperti buku-buku buletin, warta, dan sumber-sumber elektronik seperti
internet.
1.8. Pengalaman Penelitian
Penelitian ini berjudul Pelayan Perempuan di Gereja Bethel Indonesia Rayon IV
Sumatera Resort. Penelitian ini dilakukan setelah melalui proses dan tahapan
akademis yang berlaku, hingga disetujui untuk dilakukan penelitian. Adalah hal
yang baru bagi peneliti untuk masuk ke dalam lingkungan GBI Rayon IV,
23

Universitas Sumatera Utara

meskipun sudah beberapa kali mengikuti ibadah namun peneliti bukan merupakan
jemaat tetap gereja tersebut.
Awalnya melakukan penelitian ini cukup antusias dan merasa ragu mengingat
GBI Rayon IV merupakan gereja besar namanya. Ada ketakutan yang muncul jika
saja tidak diberikan izin untuk melakukan penelitian di tempat tersebut. Tak lama
kemudian sekitar akhir Maret, setelah surat lapangan yang dikeluarkan oleh
Fakultas sudah di genggaman kemudian peneliti mendatangi pihak Sekretariat
GBI dan memperkenalkan diri serta memohon izin penelitian dan menjelaskan
maksud dan tujuan. Bahagia sekali ketika pihak gereja terbuka dan memberikan
izin.
Peneliti kemudian diarahkan untuk menemui pihak sekretariat yang merupakan
staff WBI (Wanita Bethel Indonesia) yakni Kak Mei. Peneliti mulai terlibat dalam
beberapa kegiatan ibadah WBI serta mulai beradaptasi dan mengenal lingkungan
GBI Rayon IV. Seiring berjalannya waktu peneliti mengikuti banyak kegiatan
yang ada di antaranya ialah kut serta dalam membagikan sarapan pagi serta
berpartisipasi memasak untuk konsumsi tukang yang sedang membangun Rumah
Persembahan bersama para perempuan-perempuan WBI.
Dari hasil perbincangan dengan beberapa pihak yang mau membantu peneliti
diarahkan untuk menjumpai pihak Departemen Musik karena sebagian daripada
informan yang akan peneliti wawancara adalah pelayan yang di bawah anungan
Departemen Musik. Oleh pihak Departemen Musik peneliti juga diberikan
rekomendasi para pelayan perempuan yang dapat diwawanacarai, peneliti pun
memulai kontak awal dengan satu-persatu di antara mereka. Kami pun membuat
24

Universitas Sumatera Utara

janji untuk bertemu. Namun, untuk jumpa dengan beberapa informan sangatlah
sulit dan pernah beberapa kali reschedule (atur ulang jadwal) karena jadwal
informan yang sangat padat dan kesibukan yang tidak bisa dielakkan.
Setelah bertemu waktu yang tepat, maka kami berjumpa dan mengobrol satu sama
lain, pertemuannya bisa dikatakan tidak hanya sekali saja. Peneliti juga
berhubungan dengan informan tidak hanya dengan komunikasi tatap muka,
namun juga melalui panggilan telepon maupun SMS ( Short Message Service )
bahkan beberapa informan juga menggunakan sosial media seperti LINE, untuk
berkomunikasi dengan peneliti.
Penelitian yang dilakukan membuat peneliti harus selalu rajin datang ke GBI
Rayon IV Sumatera Resort beberapa kali dalam seminggu. Bahkan peneliti pernah
setiap hari harus datang agar bisa bertemu dengan salah seorang informan yang
cukup sibuk. Tidak hanya di gereja, peneliti juga pernah beberapa kali berjumpa
dan melakukan wawancara dengan informan di Kafe dan tempat-tempat lain di
luar gereja. Bahkan beberapa informan lainnya juga harus peneliti hampiri ke
rumahnya.
Selama penelitian, bahkan melakukan wawancara dengan informan, peneliti
mendapatkan banyak pengetahuan-pengetahuan baru yang bahkan tak pernah
diketahui sebelumnya. Bertemu dengan para informan dengan latar belakang
kehidupan dan latar belakang pelayanan yang berbeda merupakan pengalaman
yang tak mudah didapat. Disamping itu peneliti merasa bahwa semua informan
baik dan terbuka untuk setiap pertanyaan yang peneliti berikan. Peneliti juga

25

Universitas Sumatera Utara

berhubungan baik dan menjadi cukup akrab dengan informan yang sebelumnya
sama sekali tidak saling kenal.
Secara spiritual, peneliti juga mendapatkan pengetahuan baru tentang pelayanan
dan pengetahuan tentang berdoa dalam gereja karismatik yang notobene peneliti
berasal dari gereja kesukuan, yaitu HKBP (Huria Kristen Batak Protestan).
Namun ini menjadikan peneliti belajar dan menggunakan sudut pandang yang
berbeda.
Penelitian ini memakan waktu yang cukup lama sekitar empat bulan karena tak
mudah untuk berjumpa dengan setiap informan. Peneliti sempat merasa jenuh
karena masalah waktu tersebut sementara peneliti harus sesegara mungkin
menyelesaikannya. Namun peneliti tetap mengambil sisi positif dari hal tersebut
karena bagaimanapun penelitian merupakan sebuah proses yang memang harus
dilalui dan proses tersebut membuat peneliti mempelajari banyak hal dengan
perspektif yang berbeda.

26

Universitas Sumatera Utara