Manajemen Organisasi, Pelatihan, Dan Struktur Musik Di Gereja Bethel Indonesia (GBI) Medan Plaza Medan

(1)

MANAJEMEN ORGANISASI, PELATIHAN, DAN STRUKTUR

MUSIK DI GEREJA BETHEL INDONESIA (GBI) MEDAN

PLAZA MEDAN

SKRIPSI SARJANA

DIKERJAKAN O

L E H

NAMA : GUGUN P.SIHOMBING NIM : 050707029

Pembimbing I Pembimbing II

Dra. Frida Deliana, M.Si DR. M. Takari, M.Hum NIP. 19601118 198803 2 001 NIP. 19651221 199103 1 001 Skripsi ini diajukan kepada Panitia Ujian Fakultas Sastra Universitas Sumatera Utara untuk melengkapi salah satu syarat ujian Sarjana Seni dalam bidang Etnomusikologi

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA FAKULTAS SASTRA

DEPARTEMEN ETNOMUSIKOLOGI MEDAN


(2)

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis sampaikan kepada Tuhan Yesus Kristus yang telah memberikan pengetahuan, pengalaman, kekuatan serta kesempatan kepada penulis, sehingga karena kasih dan rahmat-Nya penulis mampu menyelesaikan skripsi ini. Skripsi ini berjudu l Manajemen Oeganisiasi, Pelatihan, dan Struktur Musik di Gereja Bethel Indonesia (GBI) Medan Plaza’ yang diajukan sebagai salah satu persyaratan untuk memperoleh gelar sarjana seni (SSn) pada Departemen Etnomusikologi Fakultas sastra Universitas Sumatera Utara.

Penulis menyadari akan kemampuan penulis yang masih kurang dan terbatas dalam menulis oleh karena itu, penulis merasa bahwa tulisan ini belumlah sempurna karena masih banyak kekurangan-kekurangan di dalam tata cara penulisan, perbendaharaan kata ataupun makna yang terkandung dalam penulisan ini. Dengan segala kerendahan hati penulis meminta maaf dan perhatian kepada para pembaca sebelumnya, agar dapat memberikan saran dan kritikan yang bersifat membangun di dalam penyempurnaan tulisan ini.

Dalam proses penyusunan skripsi ini, penulis menyadari tidak dapat menyelesaikan dengan sendiri, ada banyak pihak yang telah membantu dan mendukung agar dapat terlaksana dengan baik. Untuk itu pada kesempatan ini penulis ingin mengucapkan rasa terima kasih yang sebesar-besarnya kepada semua pihak yang telah membantu di dalam penyelesaian skripsi ini.


(3)

2. Ibu Dra. Frida Deliana, M.Si, selaku Ketua Dept. Etnomusikologi, sekaligus pembimbing I penulis yang telah banyak memberikan bimbingan serta masukan-masukan kepada penulis

3. Bapak DR. M. Takari, M.Hum, selaku dosen pembimbing II penulis, yang telah memberikan petunjuk serta saran terhadap materi dan tehnik-tehnik penulisan skripsi

4. Ibu Dra. Heristina, Mpd selaku Sekretaris Departemen Etnomusikologi, yang telah banyak membantu di dalam segala prosedur/ proses birokrasi kampus

5. Pdm. H. Obed. S, selaku koordinator Departemen Musik GBI Medan Plaza, yang telah memberikan izin kepada penulis dalam melakukan penelitian

6. Pdp. Bonie Gea, selaku koordinator Pendidikan dan Tehnik musik, yang telah banyak membantu dalam pemberian informasi selama penelitian di GBI Medan Plaza

7. Cana. T, selaku sekretaris Departemen Musik GBI Medan Plaza

8. Sahabat penulis Hans Marpaung, S.Sn, Marlan, S.Sn, Flora Hutagalung S.Sn, Rohani Panjaitan, S.Pd, Eva M. Siahaan, S.Sos, yang telah banyak memberikan masukan serta saran di dalam penyelesaian skripsi ini, Steven (Soundman), dan rekan-rekan mahasiswa stambuk 05 yang telah banyak memberikan semangat dan dukungan bagi penulis

9. Yang tersayang Esther Riama Simanjuntak, A.Md, yang selalu setia memberikan segala dukungan, waktu dan doa serta kekuatan kepada penulis di dalam penyelesaian skripsi ini


(4)

10. Secara khusus penulis mengucapkan terimakasih yang sebesar-besarnya kepada kedua orang tua R. Sihombing dan S. Sitinjak, serta kedua saudara tercinta Angan Marista Sihombing, dan Oki S. Rumadi Sihombing yang telah banyak memberikan dukungan serta doa selama masa study hingga saat ini dapat terlaksananya penulisan skripsi ini.

Harapan penulis, semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi pembaca umumnya dan bagi penulis khususnya.

Medan, April 2010 Penulis,


(5)

DAFTAR ISI

HAL KATA PENGANTAR ……… i

DAFTAR ISI ……….. iv

BAB I PENDAHULUAN ………... 1

1.1 Latar belakang masalah……… 1

1.2 Pokok permasalahan ……… 21

1.3 Tujuan dan manfaat penelitian ………. 22

1.3.1 Tujuan penelitian ………. 2 2

1.3.2 Manfaat penelitian ……… 22

1.4 Konsep dan Teori yang digunakan ……….. 2 4

1.4.1 Konsep ………. 24


(6)

1.4.2 Teori ………. 29

1.4.2.1 Teori Manajemen Organisasi……… 29 1.4.2.2 Teori Pelatihan Sumber Daya Manusia …….…. 31

1.4.2.3 Teori Weighted Scale dan Semiotik ……… 34

1.5 Metode penelitian ………... 36

1.5.1 Studi kepustakaan ………... 38

1.5.2 Kerja lapangan ……… 38

1.5.3 Wawancara ……….. 39

1.5.4 Observasi ………...………….. 40

1.5.5 Kerja laboratorium ………... 41

1.5.6 Pemilihan lokasi penelitian ………... 44


(7)

BAB II GEREJA BETHEL INDONESIA MEDAN PLAZA DALAM KONTEKS MASYARAKAT SUMATERA UTARA YANG

HETEROGEN ………. 45

2.1 Pengantar ……….. 45

2.2 Etnografi dan Geografi Sumatera Utara ……….. 46

2.3 Kota Medan ……….. 64

2.4 Sejarah Gereja Bethel Indonesia ………... 69

2.4.1 Masa Awal di Indonesia……….…. 69

2.4.2 Masa Pemisahan GBI dari GPDI ……… 72

2.5 Sejarah Gereja Bethel Indonesia Medan Plaza Rayon IV ………. 74

BAB III MANAJEMEN ORGANISASI GEREJA BETHEL INDONESIA MEDAN PLAZA DAN DEPARTEMEN MUSIK YANG ADA DIBAWAHNYA ……….. 81

3.1 Pengantar ….……….. 81

3.2 Struktur Organisasi Gereja Bethel Indonesia Medan Plaza …….. 82

3.2.1 Departemen Musik GBI Medan Plaza ………... 85

3.2.1.1 Visi dan Misi Departemen Musik …………. 85

3.2.1.2 Pembagian Departemen Musik (Divisi dan Sub divisi) ……… 87

3.2.1.3 Fungsi Utama Sub-divisi Pendidikan dan Teknis Musik ……….... 87


(8)

BAB IV MANAJEMEN PELATIHAN MUSIK GEREJA BETHEL

INDONESIA MEDAN PLAZA ……….. 95

4.1 Program Pelatihan Musik ………. 95

4.1.1 Tujuan Program Pelatihan Musik ………. 95

4.1.2 Alat Musik yang dipersiapkan ……….. 97

4.1.3 Persyaratan Menjadi Imam Musik ……… 98

4.1.4 Tata Cara dan Tahap-Tahap Pelatihan Musik …...…. 102

4.1.4.1 Tata Cara Pelatihan Musik ……….. 102

4.1.4.2 Tahap-Tahap Pelatihan Musik ………....… 104

4.2 Tugas dan Tanggung Jawab Trainer ……… 116

4.3 Tujuan Pembentukan Kelompok/ Team ……… 121

4.4 Prinsip, Proses dan Metode Pelatihan ……… 122

4.4.1 Prinsip Pelatihan ………. 123

4.4.2 Proses Pelatihan ……… 125

4.4.3 Metode Pelatihan ……….. 128

4.4.3.1 Metode Pada Babak Awal ………... 129

4.4.3.2 Metode Pada Babak Tengah ……… 130

4.4.3.3 Metode Pada Babak Akhir ………... 133

4.5 Evaluasi Pelatihan ………. 134

4.5.1 Evaluasi Secara Lisan ……….. 134

4.5.2 Evaluasi Secara Tertulis ……… 137


(9)

BAB V STRUKTUR MUSIK ……….. 145

5.1 Pengantar ……… 145

5.2 Struktur Alat-alat Musik yang digunakan ……….. 146

5.3 Lagu-lagu yang digunakan ………... 150

5.4 Struktur Melodi Lagu Allahku Dahsyat dan Penuhiku ……… 154

5.4.1 Tangga Nada ……… 157

5.4.2 Nada Pusat atau Nada Dasar ……….... 157

5.4.3 Wilayah Nada ……….. 162

5.4.4 Jumlah Nada ……… 162

5.4.5 Penggunaan Interval ……… 162

5.4.6 Pola-pola Kadensa ………... 164

5.4.7 Formula Melodi ……… 166

5.4.8 Kontur ……….. 167

5.5 Studi Teks Nyanyian ……….. 168

5.5.1 Analisis Semiotik Lagu Allahku Dahsyat ……… 170

5.5.2 Analisis Semiotik Lagu Penuhiku ………. 172

BAB VI KESIMPULAN DAN SARAN ………. 174

6.1 Kesimpulan ……… 174

6.2 Saran ………. 178


(10)

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Masalah

Pada saat sekarang ini, budaya musik semakin berkembang dibandingkan dengan masa-masa sebelumnya. Perkembangan ini, selaras dengan perkembangan kebudayaan manusia. Selain itu, perkembangan musik sangat didukung oleh penemuan teknologi-teknologi baru, di samping juga derasnya arus informasi dan komunikasi antar kelompok manusia di dunia ini. Semua kebudayaan di dunia, sekarang ini, saling memberikan pengaruh. Misalnya jika sebahagian manusia dilanda budaya bela diri kung fu, tai chi, capoeira, maka semua bangsa di dunia ini berlomba-lomba mempelajarinya. Demikian pula, musik populer yang dibawa oleh Michael Jackson, Mariah Carey, Britney Spears, Ricky Martin, kelompok ABBA, New Kit on the Block, maka orang-orang di seluruh dunia, terutama generasi mudanya cenderung menggunakan musik tersebut untuk berbagai kepentingan hidupnya.

Selain budaya musik Barat yang datang ke wilayah-wilayah dunia lainnya, di era globalisasi ini budaya musik Timur (Oriental) juga mempengaruhi dan diadopsi oleh pelbagai kelompok manusia di dunia. Misalnya lagu Kuch Kuch Ho Ta Hai dari film India, begitu popular di berbagai belahan dunia ini. Begitu juga gesekan biola Vanessia Mae seorang Amerika keturunan China. Begitu pula lagu-lagu dari daratan China begitu populer di seantero dunia. Bahkan gamelan Jawa mendapat perhatian


(11)

serius di berbagai perguruan tinggi ternama dunia dan berbagai kelompok musik populer di dunia ini.

Musik memberikan peranan yang sangat penting dalam sejarah manusia. Musik memiliki pengaruh yang sangat kuat bagi emosi manusia, karena musik dapat menjadi alat untuk merangsang emosi pendengarnya, memberikan inspirasi, mendorong ataupun sebaliknya dapat menjatuhkan.

Perkembangan budaya musik yang mendunia di era globalisasi ini, bukan hanya terbatas kepada budaya musik populer saja. Namun semua genre dan fungsi musik juga mengalami perkembangan dan pemungsian dalam masyarakat-masyarakat baru. Demikian juga musik agama atau musik religi. Jika di dalam agama Islam terdapat musik yang genrenya nasyid, maka musik ini menyebar ke seluruh Dunia Islam. Demikian juga musik zapin, musik padang pasir, hadrah, kasidah, dan lainnya.

Begitu juga agama Hindu dari India menggunakan elemen-elemen musik India dan tradisi Kitab Weda. Unsur-unsur ini kemudian ada yang menyebar seiring dengan kedatangan orang-orang Hindu dari India ke berbagai tempat. Begitu juga elemen musik Bali digunakan dalam ritus-ritus agama Hindu (Dharma Bali) di berbagai pura di tempat merantau orang-orang Bali yang beragama Hindu.

Begitupun juga perkembangan musik gereja dalam agama Kristen dari waktu ke waktu semakin lama semakin berkembang fungsi dan strukturnya. Awalnya musik digunakan di Gereja Ortodoks dan Katholik. Musik dalam gereja ini menggunakan modus-modus seperti dorian, frigian, lidian, miksolidian, eolian, dan ionian, yang berkarakter kuat menggunakan melodi. Modus-modus musik gereja ini bertumpu


(12)

kepada masa Yunani dan Romaqi sebagai sumber kebudayaan Barat. Sementara musik-musik Gereja Ortodoks seperti di Eropa Timur dan Koptik seperti di Timur Tengah menggunakan modus-modus musik setempat. Kemudian selepas itu, muncullah Protestan sebagai gerakan reformasi karena berbagai “kesalahan” dalam praktik agama Kristen Katholik. Pada masa Protestan ini berkembang, maka tradisi musik di Eropa terutama yang berbentuk koor (choir) dan berasas kepada harmoni, begitu berkembang pesat. Di dalam Gereja Protestan unsur-unsur musik Eropa juga muncul dalam teori dan praktiknya. Demikian juga yang terjadi di dalam aliran kharismatik, khususnya di Gereja Bethel Indonesia.

Setelah era reformasi gereja yang digerakkan oleh Marthin Luther King dalam agama Kristen Protestan munculah aliran-aliran seperti Pietisme, Anglikan, Revival, dan Karismatik. Sebahagian besar perkembangan musik dalam aliran-aliran gereja tersebut banyak dipengaruhi oleh orang-orang Barat, yang berlatar belakang peradaban Barat. Persebaran atau difusi musik religi, selain bersumber kepada ajaran-ajaran agama yang bertumpukan kepada kitab suci juga membawa kebudayaan-kebudayaan dari mana agama tersebut dikembangkan. Dalam konteks persebaran agama Kristen ke seluruh dunia, selain ajaran-ajaran Kristen yang tertuang dalam Kitab Suci Injil, juga para penyiar agamanya (misionaris) membawa kebudayaan-kebudayaan seperti Timur Tengah, Eropa, maupun Amerika. Demikian pula yang terjadi dalam Gereja Bethel Indonesia.

Dalam ajaran agama Kristen, musik merupakan anugrah Allah kepada manusia. Marthin Luther King sebagai Bapak Reformasi Gereja mengatakan: ”Music is a gift of God, not of men” atau bila diterjemahkan adalah musik merupakan


(13)

pemberian dari Tuhan, bukan pemberian manusia. Ronald Allen dan Gordon Borror, penulis buku Worship Rediscovering The Missing Jewel (1952) mengatakan: “Allah menganugrahkan musik agar kita dapat menggunakannya dan mengembangkannya untuk mengungkapkan kreativitas kita dalam penyembahan dan ibadah manusia kepada Allah.” Oleh karena itu, musik dan ibadah tidak dapat dipisahkan, musik berperan untuk menciptakan kesadaran akan kehadiran Allah dan suasana untuk ibadah, menghidupkan jiwa manusia, menyatukan jemaat dalam suatu pengalaman ibadah bersama dan menyatakan iman jemaat kepada Allah. Dengan kata lain, musik dapat menjembatani hubungan antara iman seseorang dengan perasaan dan sikap hidupnya. Demikian pula yang diajarkan dalam Gereja Bethel Indonesia sebagai salah satu gereja yang beraliran kharismatik dan tidak terlepas dari peranan musik itu sendiri yakni sebagai media dalam ibadah.

Gereja Bethel Indonesia (GBI) merupakan salah satu organisasi keagamaan dan telah mengalami perjalanan sejarah yang cukup panjang. GBI didirikan oleh Pendeta (Pdt.) H.L Senduk beserta rekan-rekannya pada tanggal 6 Oktober 1970 di wilayah Sukabumi Jawa Barat. Kemudian gereja ini diakui pemerintah secara resmi melalui surat Keputusan Menteri Agama Republik Indonesia Nomor 41 pada tanggal 9 Desember 1972 di kota Jakarta. GBI pada masa itu dipimpin oleh Bapak Gembala Sidang Ir. Niko Njotorahardjo.

Sebagai sebuah organisasi keagamaan yang formal, Gereja Bethel Indonesia memiliki sistem organisasi yang dibangun oleh para kepengerjaan dan umatnya. Sistem ini dibangun berdasarkan kepentingan dan tujuan Gereja Bethel Indonesia. Adapun secara umum, Gereja Bethel Indonesia setiap cabangnya terdiri dari:


(14)

gembala pembina, koordinator departemen musik, bendahara, sekretaris, kepala divisi sosial, kepala divisi multimedia, kepala divisi musik. Kepala divisi sosial didukung oleh kepala bidang diakonia dan kepala bidang kemanusiaan. Sementara kepala divisi multimedia didukung oleh kepala bidang sound system, kepala bidang operator teks, dan kepala bidang ahli kamera (cameraman). Kepala divisi musik didukung oleh kepala bidang acara atau event, kepala bidang creative ministry, dan kepala bidang pendidikan dan teknis musik (lihat lebih jauh kajian organisasi ini pada Bab III). Organisasi Gereja Bethel Indonesia ini sangat menarik, selain struktutrnya yang khas, organisasi ini sangat memperhatikan pelatihan dan ptaktik musik, sebagai “ujung tombak” pengabaran Injil atau pewartaan dalam menuai jiwa-jiwa bagi Allah, sebagai ciri khas dari aliran kharismatik dalam agama Kristen.

GBI memiliki struktur kepengerjaan1

Departemen Musik GBI juga memiliki divisi-divisi, salah satunya ialah Divisi Musik yang terbagi ke dalam tiga sub-divisi atau bidang yakni: (a) Creative Ministry, (b) Pendidikan dan Teknis Musik, serta (c) Event/Acara. Adanya yang terbagi ke dalam departemen-departemen dan masing-masing departemen-departemen ini dikepalai oleh seorang koordinator. Salah satunya adalah Departemen Musik yang merupakan departemen yang membidangi pujian dan penyembahan, yang tugas utamanya adalah untuk mendukung seluruh visi gereja yaitu Pemulihan Pondok Daud dan melakukan penginjilan untuk memenangkan jiwa sebanyak-banyaknya melalui doa, pujian dan penyembahan.

1

Yang dimaksud dengan kepengerjaan adalah merupakan istilah yang umum digunakan dalam GBI yang maksudnya adalah karya secara menyeluruh semua umatnya untuk kepentingan penyebaran agama Kristen. Makna ini juga merujuk kepada struktur organisasi GBI, yang terdiri dari pendeta yang lazim disebut Bapak Pembina, departemen-departemen, serta umat.


(15)

pembagian kerja dalam sub-divisi atau bidang tersebut ialah guna mempermudah Divisi Musik untuk mencapai hasil kinerja yang maksimal dan dapat dipertanggungjawabkan kepada Departemen Musik.

Dalam ruang lingkup yang lebih kecil, penulis menspesifikasikan pembahasan meliputi fungsional dan program kerja agenda rutin dari sub-divisi/ bidang pendidikan dan teknis musik. Fungsi utama dari sub-divisi atau bidang ini ialah: (a) memonitoring pemusik, (b) mengarasemen musik, (c) mengadakan program pelatihan musik, serta (d) pelatihan singer dan choir. Namun dari keempat fungsi tersebut penulis akan mengkaji dan menjelaskan mengenai program pelatihan musik yang diadakan oleh sub-divisi atau bidang pendidikan dan teknis musik di Gereja Bethel Indonesia.

Program pelatihan musik merupakan program agenda tahunan yang dilaksanakan di GBI Medan Plaza lantai 7. Program tesebut adalah wadah bagi para calon pemusik baru yang akan dipersiapkan untuk menjadi Imam Musik yang militan, kemudian akan dibina dan diarahkan baik dari segi kerohanian maupun skill, oleh staff pengajar (trainer).

Program tersebut diawali dari tahap penyeleksian pemusik yang dilakukan dengan cara mengaudisi pemusik. Setelah lulus audisi, para pemusik kemudian menjalani tahap pelatihan yang dilaksanakan dalam kurun waktu lebih kurang 8 bulan. Setelah keberlangsungan program pelatihan dalam kurun waktu 8 bulan tersebut, maka materi-materi yang telah diberikan kepada para pemusik yang dilatih akan dipertanggungjawabkan, diuji, dan dalam tahap inilah yang akan menjadi tolak


(16)

ukur seorang pemusik dapat dinyatakan lulus atau tidaknya masuk ke dalam pelayanan Departemen Musik GBI.

Bagi jemaat GBI, menjadi pelayan musik gereja berarti orang yang melayani Allah pada seksi musik di dalam gereja (Ekklesia artinya Persekutuan Orang Percaya). Orang yang melayani musik gereja adalah pelayan Allah, sehingga secara khusus pelayan musik gereja tidak dinilai dari kecanggihannya memainkan musik dan keindahannya menyanyikan lagu dengan tepat sesuai partitur dan terdengar harmonis, tetapi lebih nauh juga menyangkut pada kepribadiannya sebagai seorang pelayan yakni dengan menjadi teladan yang terkandung dalam karakter sekaligus mencerminkan karakter itu sendiri sebagai seorang pelayan Allah. Teladan tersebut mencakup: niat, perkataan, tingkah laku, kasih sayang, kesetiaan, dan kesucian yang dinilai dalam kehidupan sehari-hari.

Pelayanan musik gereja bukanlah orang yang sekedar memiliki niat dan bakat musik saja melainkan mereka yang benar-benar mengembangkan bakat (talenta) dan minatnya itu ke dalam bentuk pelatihan yang kelak akan menghasilkan kecakapan atau profesionalitas. Hasil dari pelatihan itu tentu tidak menjadi sesuatu yang tidak dapat dinilai atau diukur, malah sebaliknya hal itu justru akan menjadi satu bentuk kemajuan yang memajukan pelayanan jemaat itu sendiri. Dalam upaya meningkatkan profesionalitas seseorang, dibutuhkan ruang dan waktu belajar yang memadai serta kerja keras, dan ketekunan.

Gereja Bethel Indonesia memiliki struktur kepengerjaan yang terorganisasi dan sistematis, sehingga membentuk sebuah divisi musik yang berperan aktif dan terlaksana ditandai dengan diadakannya program pelatihan musik itu sendiri. Konsep


(17)

awal dari program pelatihan tersebut tidak hanya mencakup hal praktek dan teori secara musikalitas seseorangnya saja namun juga pelatihan ini mempersiapkan seorang pelayan musik dari segi kerohaniannya meliputi kepribadian/ karakter serta penjiwaan saat bermain musik.

Program pelatihan ini juga menerapkan sebuah peraturan bagi setiap jemaat atau seseorang yang ingin mendaftar audisi sebagai calon peserta pelatihan dengan tidak diperbolehkannya seseorang memiliki musikalitas di bawah standar meliput i hal praktik maupun teori musik, karena departemen musik menganggap apabila seseorang yang ingin menjadi imam musik gereja ialah orang yang tidak hanya cukup sekedar memiliki niat dan bakat serta talenta saja, namun juga dapat dilihat dari faktor pendukung bagi seseorang dengan adanya kesungguhan yang tercermin dari persiapan niat hati seseorang tersebut guna mencapai nilai standar dalam dirinya secara musikalitas yakni dengan cara belajar baik les musik maupun otodidak (belajar dari pengalaman).

Selain itu, program pelatihan Gereja Bethel Indonesia Medan Plaza mempersiapkan sebuah materi pengajaran yang intensif bagi peserta pelatihan dalam kurun waktu yang telah ditetapkan yakni mengenai hal penguasaan kategori lagu-lagu gereja yang ada, sehingga para peserta dapat mampu terjun langsung kedalam pelayanan. Dalam hal ini imam pemusik hanya ditekankan pada persiapan latihan secara pribadi. Namun dengan catatan sesuai dengan perkembangan musik atau lagu-lagu yang smakin berkesinambungan artinya selalu ada yang terbaru, pemusik biasanya dikumpulkan dalam satu event latihan bersama yaitu guna mempelajari lagu


(18)

tersebut sesuai dengan jadwal yang telah ditetapkan lebih kurang dua kali dalam setahun.

Pelayan musik di gereja adalah penyembah Allah dan saat seorang pelayan musik gereja sedang menjalankan tugasnya maka ia tidak hanya memandu atau mengiringi lagu bagi jemaat tetapi ia juga sedang menyembah Allah bersama dengan jemaat. Tommy Tenney (2003:2) dalam bukunya yang berjudul God’s Eyeview menyatakan bahwa penyembahan adalah suatu proses saat anda mengulurkan lengan-lengan anda ke langit yang menggambarkan sebagai tanda penyerahan. Saat seorang pelayan sedang menjalankan tugasnya maka ia sedang mengerjakan dua dimensi pelayanan baik yang bersifat vertikal maupun horizontal. Namun yang senantiasa menjadi kelemahan di banyak gereja adalah penekanan yang terlalu berat pada dimensi horizontal yaitu bagaimana pelayanan itu menyenangkan jemaat yang duduk dibangku gereja. Padahal yang sesungguhnya adalah dimensi vertical yaitu fokus terhadap Allah, sang kepala gereja.

Orientasi dari pelatihan musik itu sendiri adalah jiwa bukan sekedar program. Program adalah alat bantu untuk mencapai orientasi tersebut. Sama halnya dalam setiap pelayanan, hendaknya seluruh pelayan berpikir bahwa pelayanannya menjadi satu kesatuan dengan pemberita Fiman Allah untuk menyelamatkan jiwa dan bukan sekedar pemenuhan jadwal yang telah ditetapkan. Pada prinsipnya program pelatihan musik yang diadakan oleh Gereja Bethel Indonesia mengharapkan bahwa seorang pemusik yang nantinya masuk kedalam pelayanan gereja dapat berorientasi pada jiwa, sehingga semua pengerja yang terlibat didalamnya tidak akan pernah merasa bila melayani musik gereja hanyalah sebagai pelengkap dalam sebuah ibadah.


(19)

Untuk menjadi seorang pelayan musik gereja adalah berusaha mengembangkan minat dan bakat yang dimilikinya itu dalam bentuk pelatihan sehingga dapat menimbulkan kecakapan atau profesionalitas oleh karena itulah Gereja Bethel Indonesia mengadakan suatu program pelatihan musik untuk melatih para pemusik agar dapat masuk kedalam pelayanan gereja. Namun di samping tahap-tahap pelatihan yang dilakukan tersebut, program pelatihan juga memerlukan pentingnya melakukan sebuah evaluasi-evaluasi di mana akan mengantar pada perbaikan yaitu dengan senantiasa mengoreksi dan memperbaiki kekurangan-kekurangan yang ada sehingga dampak negatif dalam pelayanan di lapangan yang akan datang dapat dikurangi.

Selain itu, lagu-lagu yang dipersembahkan dalam rangka tata ibadah di GBI Medan Plaza, juga memiliki strukturnya yang bersifat khas. Lagu-lagu ini adalah hasil kreativitas seniman musik GBI, baik yang berasal dari Amerika Serikat, Jakarta, maupun Medan sendiri. Lagu-lagu yang dilatihkan dan dipertunjukkan semuanya adalah sebagai ekspresi ajaran-ajaran agama Kristen. Kegunaan lagu-lagu di GBI ini adalah sebagai ibadah, doa dan pewartaan Injil, yang tergambar dari sebahagian besar lirik/ teks lagu yang ada merupakan makna atau ungkapan dari penelaahan ayat-ayat kitab suci Al-kitab.

Secara etnomusikologis, pentingnya melakukan studi terhadap teks lagu atau nyanyian adalah untuk mengetahui dan memahami karakteristik masyarakat pengguna dan pendukung nyanyian tersebut. Seperti yang dinyatakan oleh Alan Lomax sebagai berikut ini.


(20)

A song style, like other human things, is a pattern of learned behavior, common to the people of a culture. Singing is specialized act of communication, akin to speech, but far more formally organized and redundant. Because of its heightened redundancy, singing attracts and holds the attention of group; indeed, as in most primitive societies, it invites group perticipation. Wheter chorally performed or not, however, the chief function of song is to express the shared feelings and hold the joint activities of some human community. It is to be expected, therefore, that the content of the sung communication should be social rather than individual, normative rather than perticular (Lomax, 1968:3).

Lomax menyatakan bahwa sebuah gaya nyanyian, pada prinsipnya sama dengan tingkah laku manusia yang menjadi sifat umum masyarakatnya dalam suatu kebudayaan. Nyanyian adalah aksi khusus dari komunikasi, yang berhubungan dengan ujaran bahasa, tetapi lebih jauh dari itu nyanyian ini diorganisasikan dan diwujudkan lebih formal dibandingkan bahasa. Nyanyian mendapat perhatian sekelompok manusia, karena penekanannya pada perwujudan (yang dilebih-lebihkan). Sungguhpun demikian, bagi sebahagian besar masyarakat primitif, nyanyian mengundang perhatian kelompoknya. Apakah disajikan dalam paduan suara atau tidak. Dengan demikian, fungsi utama nyanyian adalah untuk mengekspresikan rasa, dan sekaligus sebagai suatu aktifitas daripada berbagai jenis komunikasi manusia. Nyanyian sangat dibutuhkan oleh masyarakatnya. Selanjutnya isi nyanyian tersebut lebih bersifat komunikasi sosial dibandingkan dengan komunikasi individual yang lebih bersifat normatif dibandingkan menjelaskan fakta. Selain itu, teks juga turut berperanan dalam membentuk struktur umum yang menjadi acuan bagi penciptaan lagu di Gereja Bethel Indonesia. Dalam gereja ini, teks memberikan akomodasi pada garapan struktur musiknya. Dengan demikian teks juga perlu untuk dianalisis sebagai bahagian dari struktur musiknya.


(21)

Pernyataan ini didukung pula oleh pendapat Lomax tentang teks pada nyanyian rakyat (termasuk dalam gereja) seperti berikut.

SCHOLAR [sic.] and enthusiasts in the field of folk song have long believed that the orally transmitted poetry of a people, passed on by them as part of their noncritically accepted cultural heritage, might yield crucial information about their principal concerns and unique world-view. However, in spite of extensive study and collection of folk song texts, little has been done in a systematic way to test this idea. One of the very few such attempts is Sebeok's analysis of Cheremis lore (Sebeok, 1956, 1959, 1964). The present study develops the hypothesis: that folk song texts, if analyzed in a systematic fashion, give clear expression to the level of cultural complexity, and a set of norms which differentiate and sharply characterize cultures (Lomax, 1968:5).

Menurut Alan Lomax, sarjana dan orang-orang yang menaruh minat yang luar biasa di dalam lapangan nyanyian rakyat, telah lama percaya bahwa transmisi puisi secara oral pada suatu masyarakat, mereka lalui sebagai bahagian daripada penerimaan budaya warisan tanpa kritikan, yang dapat menghasilkan informasi yang penting tentang prinsip yang menjadi perhatian dan dunia-pandangan mereka yang unik. Walau dilakukan kajian dan koleksi teks-teks nyanyian rakyat secara luas, hanya sedikit saja yang dilakukan secara sistematik untuk menguji ide ini. Satu dari berbagai usaha ini adalah analisis terhadap cerita masyarakat Cheremis yang dilakukan Sebeok (1956, 1959, 1964). Kajian masa kini mengembangkan hipotesis: bahwa teks nyanyian rakyat, jika dianalisis dengan cara yang sistematik, memberikan ekspresi yang jelas tentang tingkat kompleksitas kebudayaannya, dan memberikan seperangkat norma yang membedakan dan memperjelas karakteristrik berbagai kebudayaan.


(22)

Sebagaimana tulisan ini dibuat yaitu dalam rangka menyelesaikan tugas akhir tulisan dalam bentuk skripsi, maka bagaimana pun harus mengacu kepada tujuan dan ruang lingkup kajian dalam etnomusikologi. Menurut Merriam (1964) bahwa etnomusikologi itu adalah sebuah disiplin ilmu yang mengkaji musik dalam kebudayaan manusia di seluruh dunia ini. Lebih lanjut dalam kaitannya dengan studi musik dengan kebudayaan ini adalah melihat music sebagai kebudayaan, musik dalam kebudayaan, dan musik dalam koteks kebudayaan.

Dalam menulis skripsi ini, fokus utama penulis adalah mengkaji manajemen organisasi, pelatihan, dan struktur musik di GBI Medan Plaza. Namun demikian, dengan berdasar kepada disiplin etnomusikologi, maka penulis juga harus memperhatian aspek-aspek yang berkaitan, terutama wilayah kajian etnomusikologi. Lebih jauh Merriam mengemukakan bahwa secara garis besar terdapat enam wilayah kajian etnomusikologi, seperti yang diuraikannya sebagai berikut.

(1) Yang pertama adalah kebudayaan material musik. Wilayah ini meliputi kajian terhadap alat musik yang disusun oleh peneliti dengan klasifikasi yang biasa digunakan, yaitu: idiofon, membranofon, aerofon, dan kordofon.2

2

Selepas ditemukannya alat-alat musik yang sinyal utamanya adalah bersumber dari listrik yang kemudian diubah menjadi suara, maka munxul sebuah klasisikasi lanjutan yang disebut dengen elektrofon. Namun perlu dipahami pula, bahwa setiap masyarakat pendukung musik tertentu memiliki sistem klasifikasinya sendiri. Misalnya masyarakat China mengklasifikasikan alat musik berdasarkan jenis bahan yang digunakan. Masyarakat Jawa mengklasifikasikan alat musik berdasarkan teknik memainkannya. Masyarakat Mandailing mengklasifikasi-kan alat musiknya berdasarmengklasifikasi-kan ensambel dan fungsi musikalnya.

Selain itu pula, setiap alat musik harus diukur, dideskripsikan, dan digambar dengan skala atau difoto; prinsip-prinsip pembuatan, bahan yang digunakan, motif dekorasi, metode dan teknik pertunjukan, menentukan nada-nada yang dihasilkan, dan masalah teoretis perlu pula dicatat. Selain masalah deskripsi alat musik, masih ada sejumlah masalah


(23)

analitis lain yang dapat menjadi sasaran penelitian lapangan etnomusikologi. Apakah ada konsep untuk memperlakukan secara khusus alat-alat musik tertentu di dalam suatu masyarakat? Adakah alat musik yang dikeramatkan? Adakah alat-alat musik yang melambangkan jenis-jenis aktivitas budaya atau sosial lain selain musik? Apakah alat-alat musik tertentu merupakan pertanda bagi pesan-pesan tertentu pada masyarakat luas? Apakah suara-suara atau bentuk-bentuk alat musik tertentu berhubungan dengan emosi-emosi khusus, keberadaan manusia, upacara-upacara, atau tanda-tanda tertentu?

Agama-agama di dunia ini juga tak terlepas dari penggunaan alat-alat musik. Agama Yahudi menggunakan teropet untuk memnggil umatnya beribadah. Agama Kristen menggunakan lonceng. Agama Islam di Nusantara menggunakan bedug atau kentongan dan kemudian melantunkan azan sebagai masuknya saat shalat.

Dalam kaitannya dengan penelitian ini, yaitu manajemen pelatihan musik dan struktur musik di Gereja Bethel Indonesia, maka penulis akan juga mengkaji alat-alat musik yang digunakan dalam tujuan pelayanan dan ibadah. Alat-alat musik ini akan dijelaskan dan diuraikan secara garis besar saja. Adapun alat-alat musik yang digunakan di GBI Medan Plaza adalah: drum trap set, keyboard, piano, bas elektrik, gitar melodi elektrik, dan lainnya.

(2) Kategori kedua adalah kajian tentang teks nyanyian. Kajian ini meliputi kajian teks sebagai peristiwa linguistik, hubungan linguistik dengan suara musik, dan berbagai masalah isi yang dikandung oleh teks tersebut. Masalah hubungan antara teks dengan musik telah banyak diteliti di dalam etnomusikologi karena memberi


(24)

manfaat yang jelas. Namun hingga kini belum pernah dilakukan kajian yang menggunakan linguistik modern dan teknik-teknik etnomusikologis.

Teks nyanyian mengejewantahkan perilaku kebahasaan yang dapat dianalisis dari sudut struktur dan isi. Bahasa teks nyanyian cenderung mempunyai perbedaan sifat dengan ungkapan harian, dan kadangkala, seperti pada nama-nama pujian, atau bunyi pertanda gendang, teks tersebut merupakan bahasa “rahasia” yang hanya diketahui sekelompok tertentu saja dari masyarakatnya. Dalam teks nyanyian, bahasa yang digunakan sering lebih elastis dibandingkan dengan bahasa sehari-hari, dan bahasa tersebut tidak hanya mengungkapkan proses kejiwaan seperti pengendoran tekanan, akan tetapi juga informasi tentang sifat yang tidak mudah diungkapkan. Dengan alasan yang sama, teks nyanyian sering mengungkapkan nilai-nilai yang dalam dan tujuan-tujuan yang hanya boleh dinyatakan dalam keadaan terpaksa di dalam ungkapan sehari-hari. Hal ini selanjutnya dapat mengarahkan kepada kepekaan terhadap simbol yang mengandung etos dari suatu kebudayaan, atau terhadap suatu jenis generalisasi karakter nasional. Pemahaman mengenai perilaku ideal dan nyata sering dapat diungkap melalui teks nyanyian, dan akhirnya teks juga digunakan sebagai catatan sejarah bagi kelompok tertentu, sebagai cara-cara untuk menanamkan nilai-nilai, dan sebagai cara untuk membudayakan generasi muda.

Dalam kaitannya dengen penelitian dan penulisan skripsi ini, teks nyanyian juga akan penulis perhatikan terutama yang berkaitan dengan struktur musik (vokal) GBI Medan Plaza. Adapun bahan kajian penulis dalam rangka mengkaji teks nyanyian, adalah menganalisis dua lagu yang berjudul Allahku Dahsyat dan Penuhiku (Surround Me). Kedua lagu ini akan dikaji secara semiotik.


(25)

(3) Aspek ketiga meliputi kategori-kategori musik yang dibuat oleh peneliti yang sesuai dengan kategori yang berlaku dalam kelompok tersebut. Di dalam hubungan ini tentunya peneliti menyusun acara rekamannya, yang diklasifikasikan utuk menyertakan contoh-contoh akurat dari semua jenis musik di dalam situasi-situasi pertunjukan yang direncanakan dan dipertunjukkan sebenarnya.

Dalam kaitannya dengan penelitian ini, kategori-kategori musik tidak begitu penulis tumpukan perhatian. Namun secara umum, dalam GBI Medan Plaza, kategori musik terdiri dari lagu dan musik instrumental. Yang paling umum adalah lagu-lagu pujian. Ditambah dengan lagu-lagu doa.

(4) Pemain musik dapat memberikan sasaran keempat bagi etnomusikolog. Dari sekian hal yang penting adalah latihan untuk menjadi pemusik. Apakah seseorang dipaksa oleh masyarakatnya untuk menjadi pemusik, atau ia memilih sendiri karirnya sebagai pemusik? Bagaimana metode latihannya, apakah sebagai pemain musik potensial yang mengandalkan kepada kemampuan sendiri; apakah ia mendapatkan pengetahuan dasar tentang teknik memainkan alat musiknya atau teknik menyanyi dari orang lain, atau apakah ia menjalani latihan yang ketat dalam kurun waktu tertentu? Siapa saja pengajarnya, dan bagaimanakan metode mengajarnya? Hal ini mengarahkan kepada masalah profesionalisme dan penghasilan. Sebuah masyarakat mungkin saja membedakan beberapa tingkatan kemampuan pemusik, membuat klasifikasi dengan istilah-istilah khusus, dan memberikan penghargaan tertinggi kepada sesuatu yang dianggap benar-benar profesional atau pemusik dapat saja tidak dianggap sebagai spesialis. Bentuk dan cara memberi penghargaan dapat sangat


(26)

berbeda untuk setiap masyarakat, dan dapat terjadi bahwa pemusik sama sekali tidak mendapat bayaran.

Sama penting dan menariknya adalah berbagai masalah tentang apakah pemusik dianggap sebagai seseorang yang mempunyai bakat luar biasa, atau apakah semua anggota masyarakat tersebut dianggap mempunyai bakat yang sama? Apakah pemusik mewariskan kemampuannya dan apabila demikian dari siapa dan dengan cara apa?

Sebagai anggota masyarakat, pemusik dapat memandang kemampuannya sebagai sesuatu yang membedakannya dengan orang-orang lain, dan dengan demikian ia dapat melihat dirinya sendiri dan masyarakatnya dalam rangka hubungan tertentu. Orang yang bukan pemusik pun dapat menganut konsep-konsep prilaku musikal yang dapat atau tidak dapat diterima, dan membentuk sikap-sikap terhadap pemusik dan tindakannya dengan dasar ini. Tentu saja pemusik dapat juga dianggap mempunyai sebuah kelas sosial tertentu dan mereka dapat membentuk berbagai asosiasi yang didasarkan atas keterampilan mereka di dalam masyarakat. Mereka dapat memiliki musik yang dihasilkan, jadi memunculkan lagi berbagai masalah ekonomi, dalam hal ini hubungan dengan barang-barang yang tidak tersangkut langsung.

Di dalam hubungan inilah pengkajian lintas budaya dari kemampuan musik dapat digunakan, meskipun tidak ada pengkajian bebas budaya sejauh ini yang dikembangkan, rumusan mereka akan sangat memperhatikan penafsiran kemampuan-kemampuan terpendam serta kemampuan nyata pemusik dan bukan


(27)

pemusik, seperti yang ditentukan masyarakat ataupun di dalam hubungan perorangan.

Dalam konteks penelitian ini, pemusik menjadi fokus utama kajian penulis. Kajian tentang pemusik ini diperhatikan bagaimana hubungannya dalam konteks manajemen pelatihan. Apa yang menjadi syarat menjadi pemusik di GBI? Bagaimana system pelatihannya? Bagaimana selain tujuan utama pelayanan juga mendapat honorarium dari organisasi dan jemaat atau orang yang mengundang mereka.

(5) Wilayah studi kelima adalah mengenai penggunaan dan fungsi musik dalam hubungannya dengan aspek budaya lain. Informasi yang kita dapatkan, menunjukkan bahwa didalam hubungan dengan penggunaan, musik meliputi semua aspek masyarakat, sebagai perilaku manusia, musik dihubungkan secara sinkronik dengan perilaku lainnya, termasuk religi, drama tari, organisasi sosial, ekonomi, struktur politik, dan berbagai aspek lainnya. Dalam mengadakan studi tentang musik, peneliti dituntut untuk mengadakan pendekatan budaya secara lengkap dalam mencari hubungan musik, dan di dalam maknanya yang dalam, ia mengetahui bahwa musik mencerminkan kebudayaan, sedangkan musik menjadi bagiannya.

Fungsi musik di dalam masyarakat merupakan objek penelitian lain dari penelitian tentang penggunaan tersebut, karena penelitiannya diarahkan kepada masalah-masalah yang jauh lebih dalam. Telah dinyatakan bahwa salah satu fungsi utama musik adalah untuk membantu mengintegrasikan masyarakat, suatu proses yang secara kontinu dilakukan di dalam kehidupan manusia. Fungsi lain adalah untuk melepaskan tekanan-tekanan jiwa. Perbedaan antara penggunaan dan fungsi


(28)

musik belum banyak dibicarakan di dalam etnomusikologi, dan studi-studi pada wilayah yang luas cenderung untuk memusatkan kepada masalah pertama dan mengenyampingkan masalah yang kedua. Studi-studi tentang fungsi jauh lebih menarik di antara keduanya, oleh karena studi tersebut seharusnya mengarahkan kepada pengertian yang lebih dalam tentang mengapa musik merupakan suatu gejala universal di dalam masyarakat.

Dalam kaitannya dengan penelitian ini, maka penggunaan musik yang dikaji adalah untuk ibadah dalam Gereja Bethel Indonesia Medan Plaza. Fungsi utama musik ini adalah untuk mengabsahkan ritus ibadah umat GBI. Fungsi lainnya adalah sebagai sarana/ media komunikasi antara jemaat dengan Allah. Fungsi lainnya adalah untuk stiar agama Kristen, khususnya sekte kharismatik. Tentu saja akan diikuti oleh fungsi-fungsi lainnya.

(6) Akhirnya peneliti lapangan dapat mempelajari musik sebagai aktivitas kreatif di dalam kebudayaan. Yang penting di sini adalah tahap-tahap dari studi musik yang memusatkan pada konsep-konsep musik yang digunakan di dalam masyarakat yang sedang diteliti. Yang mendasari semua pertanyaan adalah berbagai masalah perbedaan yang dibuat oleh pemusik dan bukan pemusik di antara apa yang dianggap musik dan bukan musik, merupakan sasaran yang baru mendapatkan sedikit perhatian di dalam etnomusikologi. Apa sumber-sumber musik itu? Apakah musik disusun hanya melalui perantaraan bantuan dan persetujuan manusia super, atau apakah musik merupakan gejala-gejala manusia biasa? Bagaimana nyanyian-nyanyian baru muncul? Apabila penyusun musik mempunyai status tinggi di dalam masyarakat, bagaimana ia menyusun musik, dan bagaimana pendapatnya tentang


(29)

proses penyusunan musik? Ukuran-ukuran kemampuan di dalam pertunjukan adalah penting sekali karena melalui pengertian ukuran ini peneliti dapat melihat musik yang baik dan buruk serta dapat melihatnya dengan cara-cara yang digunakan di dalam masyarakat. Masalah-masalah ini mengarahkan kepada evaluasi rakyatnya dan evaluasi analitis dari suatu teori tentang musik di dalam masyarakat tersebut, juga mengarahkan kepada berbagai masalah khusus di mana bentuk divisualisasikan sebagai sesuatu yang dapat dimanipulasikan, dan terhadap apakah aspek-aspek bentuk seperti interval musik atau pola-pola ritme inti khusus digunakan di dalam pemikiran pemusik dan bukan pemusik.

Dalam kaitannya dengan penelitian ini, penulis akan melihat sejauh apa kreativitas pemusik GBI Medan Plaza, dalam memenfaatkan bakar dan kemampuan musikalnya dalam rangka pelayanan dan ibadah kepada Allah. Kreativitas ini mencakup kemampuan mengeksplorasi bakat dan kemampuan. Begitu juga dengan mengaransemen lagu dan lainnya.

Kajian-kajian tersebut dipergunakan dalam mendukung kajian utama yaitu tentang manajemen organisasi, pelatihan, dan struktur musik di GBI Medan Plaza. Inilah yang menjadi fokus utama penulis. Hal-hal tersebut di ataslah yang membuat penulis tertarik untuk meneliti manajemen program pelatihan musik sehingga penulis ingin membuat sebuah kajian ilmiah dalam bentuk skripsi dengan judul: Manajemen Organisasi, Pelatihan, dan Struktur Musik di Gereja Bethel Indonesia Medan Plaza.


(30)

1.2 Pokok Permasalahan

Untuk menghindari ruang lingkup permasalahan yang terlalu luas, maka penulis perlu membuat pembatasan masalah dalam bentuk pokok permasalahan. Adapun pokok permasalahan dalam tulisan ini yaitu:

a. Bagaimana struktur organisasi Gereja Bethel Indonesia Medan Plaza, khususnya kedudukan Divisi Musik?

b. Bagaimana manajemen pelatihan musik di GBI Medan Plaza? Pokok masalah ini akan diurai oleh dua pertanyaan penelitian yaitu: (i) faktor-faktor apa yang menyebabkan awal mula diadakannya pelatihan musik di GBI Medan Plaza dan (ii) kriteria apa yang menjadi tolak ukur setiap pemusik yang dilatih dapat dikatakan lulus dan diperbolehkan masuk ke dalam pelayanan

c. Bagaimana struktur musik yang digunakan dalam pelatihan dan praktiknya dalam ibadah.

Tiga pokok permasalahan di atas akan diurai menurut konsep dan teori yang digunakan, dengan tetap berlandas kepada disiplin etnomusikologi. Dalam hal ini pendekatan multidisiplin dan interdisiplin sangatlah dibutuhkan, terutama dalam rangka mengurai tiga pokok permasalahan di atas.


(31)

1.3 Tujuan dan Manfaat Penelitian 1.3.1 Tujuan Penelitian

Adapun tujuan dari penelitian ini meliputi hal-hal seperti yang diuraikan berikut ini:

a. Untuk mengetahui bagaimana manajemen organisasi Gereja Berhel Indonesia Medan Plaza, dalam konteks mengelola berbagai kegiatannya. b. Untuk mengetahui dan memahami program pelatihan musik, sehingga

menghasilkan para pemusik yang handal baik dalam hal bakat, kemampuan, moralitas, dan keikhlasan untuk mengabdi kepada Tuhan melalui institusi gereja. Manajemen program pelatihan ini akan didukung oleh tujuan lainnya, yaitu untuk mengetahui secara jelas faktor-faktor yang menyebabkan diadakan pelatihan musik di GBI Medan Plaza. Juga untuk mendapatkan gambaran kriteria pemusik yang dilatih yang lulus dan dapat diperbolehkan masuk dalam pelayanan.

c. Untuk mengetahui struktur musik yang digunakan, difungsikan, dan menjadi bahan manajemen pelatihan pada organisasi GBI Medan Plaza. Musik yang dimaksud dalam hal ini mencakup instrumentasi, teks lagu, kreativitas, dan sejenisnya.

1.3.2 Manfaat Penelitian

Menurut Achsan Permas dalam bukunya manajemen seni pertunjukan dikatakan bahwa proses manajemen terdiri dari perencanaan, pengorganisasian, pengarahan, dan pengendalian. Berdasarkan sumber tersebut maka penulis


(32)

berkesimpulan bahwa manfaat dari penelitian ini adalah agar dapat mengetahui bagaimana proses manajemen program pelatihan musik di GBI Medan Plaza yang tidak terlepas dari perencanaan, pengorganisasian, pengarahan, dan pengendalian program pelatihan musik tersebut. Disamping itu, terdapat beberapa manfaat lain menurut penulis yang ingin dicapai dalam penelitian ini, yaitu:

1. Sebagai salah satu referensi ilmiah tentang manajemen pelatihan musik kepada disiplin ilmu etnomusikologi khususnya, dan dunia ilmu pengetahuan pada umumnya.

2. Sebagai bahan keilmuan dalam mengkaji otganisasi agama yang formal dalam konteks Medan dan Sumatera Utara yang heterogen secara aagama dan budaya.

3. Sebagai sarana untuk memperluas pengetahuan masyarakat tentang program pelatihan musik khususnya kegiatan keagamaan.

4. Memperluas wawasan dan pengetahuan penulis dalam mengaplikasikan ilmu yang diperoleh selama masa studi di Departemen Etnomusikologi. 5. Sebagai salah satu bahan informasi keberadaan musik pada ibadah

keagamaan.

6. Sebagai salah satu sumber ilmu penegtahuan untuk melihat struktur musik yang digunakan dalam ritual agama.

7. Sebagai bahan masukan dan informasi kepada para penggiat, pengamat atau pemerhati, akademis, masyarakat, serta pihak-pihak yang berkepentingan terhadapnya.


(33)

1.4 Konsep dan Teori yang Digunakan 1.4.1 Konsep

Koentjaraningrat (1991:21), mengemukakan konsep sebenarnya adalah definisi secara singkat dari sekelompok fakta atau gejala. Konsep merupakan defenisi dari apa yang kita amati, konsep menentukan antara variabel-variabel mana yang kita inginkan untuk menentukan hubungan empiris3

(1) Manajemen adalah suatu proses atau kerangka kerja yang melibatkan bimbingan suatu kelompok orang-orang kearah tujuan-tujuan organisasional atau maksud-maksud yang nyata

. Sehubungan dengan penulisan ini, akan diuraikan beberapa konsep yang dibutuhkan, yaitu :

4

(2) Organisasi, adalah sebuah istilah yang merupakan unsur serapan dari bahasa Inggris organizaion. Arti istiliah organisasi atau kata sifatnya pengorganisasian (organizing) adalah proses pengelom-pokkan kegiatan-kegiatan untuk mencapai tujuan-tujuan dan penugasan setiap kelompok kepada seorang

. Kemudian George R Terry dalam buku yang berjudul Organisasi dan Motivasi (1996:3) mengemukakan teorinya dimana manajemen merupakan suatu proses yang khas yang terdiri dari tindakan-tindakan perencanaan, pengorganisasian, pengarahan dan pengendalian yang dilakukan untuk menentukan serta mencapai sasaran-sasaran yang telah ditentukan melalui pemanfaatan sumberdaya manusia dan sumber-sumber lainnya.

3

Pendapat ini ditulis oleh Mely G Tan dalam buku yang disunting oleh Koentjaraningrat, yang bertajuk Metode Penelitian Masyarakat. Sampai sekarang buku ini selalu menjadi bahan acuan dan rujukan bagi para peneliti dan penulis masalah-masalah sosial dan budaya. Mereka itu berasal dari disiplin antropologi, sosiologi, sastra, filsafat, budaya, maupun etnomusikologi.

4

Baca Dasar-dasar Manajemen yang ditulis oleh George R Terry dan Leslie W Rue, terbitan Gramedia di Jakarta. Dalam buku ini dikupas secara rinsi dan detil a[a itu manajemen, bagaimana teori-teori yang digunakan dalam manajemen, bidang-bidang kajian manajemen, dan lain-laonnya.


(34)

manajer, yang mempunyai kekuasaan, yang perlu untuk mengawasi anggota-anggota kelompok (Terry dan Rue 2000:82). Pengorganisasian dapat dikonsepkan sama dengan sebagian atau susunan dalam binatang atau tumbuhan yang dipergunakan untuk melakukan berbagai tugas khusus, seperti hati, ginjal, jantung, dan sebagainya. Kata organize artinya adalah menyusun atau mengatur bagian-bagian yang saling berhubungan satu sama lainnya, sementara itu, setiap bagian-bagian mempunyai satu tugas khusus atau berhubungan dengan keseluruhan. Berdasarkan makna etimologis tersebut maka jelaslah bagi kita bahwa pengorganisasian tidak dapat diwujudkan tanpa adanya hubungan dengan yang lain dan tanpa menetapkan tugas-tugas tertentu untuk masing-masing unit.

Bartholomeus dalam Sukama (1992:37) mendefinisikan tentang organisasi sebagai berikut. Organization is an arrangement, presumably logical, of interdependent parts to form a unified whole, through which power and control can be exercise to the end of achieving a given purpose. Artinya organisasi adalah susunan yang agak logis, dari bagian-bagian yang saling berhubungan untuk mewujudkan suatu keseluruhan yang menyatu, sehingga kekuasaan dan pengawasan dapat dilaksanakan untuk mencapai tujuan yang telah ditetapkan.

Dalam rangka pengorganisasian ini ada lima aspek yang penting yaitu: (1) adanya tujuan yang akan dicapai, (2) adanya penetapan dan pengelompokkan pekerjaan, (3) adanya wewnang dan tanggung jawab, (4) adanya hubungan satu sama lainnya, dan (5) adanya penetapan orang-orang yang akan melakukan tugasnya.

Ada beberapa hal yang perlu diperhatikan untuk mengorganisasi sebuah organisasi secara baik. Menurut Terry (dalam Sukama 1992:39) adalah sebagai


(35)

berikut. (a) ketahuilah tujuan organisasi, (b) berbagilah pekerjaan yang akan dilakukan terhadap kegiatan-kegiatan bagian, (c) kelompokkanlah kegiatan-kegiatan itu ke dalam unit praktis, (d) untuk tiap-tiap pekerjaan atau kelompok pekerjaan yang akn dilakukan, tentukanlah dengan jelas tugas yang harus dilaksanakan dan sediakanlah alat-alat fisik yang diperlukan, (e) tempatkanlah pegawai yang cakapa dan handal dalam bidangnya, dan (f) limpahkanlah wewenang yang dibutuhkan terhadap pegawai yang telah ditetapkan.

Prinsip-prinsip organisasi menurut Koontz adalah mencakup: (a) prinsip kesatuan tujuan, (b) prinsip efisiensi, (c) prinsip rentangan manajemen, (d) prinsip hirarki, (e) prinsip pertanggungjawaban, (f) prinsip keseimbangan antara wewenang dan tanggung jawab, (g) prinsip kesatuan perintah, (h) prinsip tingkatan wewenang, (i) prinsip pembagian kerja, (j) prinsip penetapan tugas, (k) prinsip kelenturan atau penyesuaian, (l) prinsip keseimbangan, (m) prinsip kelangsungan, (n) prinsip kemudahan kepemimpinan.

Bagaimana mengorganisasi? Menurut Terry ada enam langkah untuk mengorganisasi, yaitu: (1) tentukan dan analisis tujuan atau sasaran-sasaran, oleh karena itu struktur organisasi harus dapat membantu mencapainya, (2) kumpulkan fakta-fakta mengenai organisasi yang sekarang, (3) siapkanlah rencana organisasi dipandang dari sudut di mana kita berada dan di mana kita ingin berada, (4) tetapkanlah waktu untuk melaksanakan organisasi, (5) ambillah tindakan persiapan untuk reorganisasi, dan (6) laksanakanlah reorganisasi yang telah disetujui.


(36)

(3) Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (1998:1104), program diartikan sebagai rancangan mengenai asas serta usaha yang akan dijalankan. Pelatihan diartikan sebagai hasil berlatih; bertujuan untuk memberikan pengetahuan dan keterampilan yang disyaratkan untuk melaksanakan suatu pekerjaan. Musik diartikan sebagai nada atau suara yang disusun demikian rupa sehingga mengandung irama, lagu dan keharmonisan (terutama yang menggunakan alat-alat yang menghasilkan bunyi-bunyi itu).

Jadi program pelatihan musik dapat diartikan sebagai rancangan atau usaha berlatih yang bertujuan memberikan pengetahuan dan keterampilan dalam menyusun nada dan suara sehingga menghasilkan bunyi yang mengandung irama, lagu dan keharmonisan. Sedangkan dalam tulisan ini yang dimaksud oleh penulis dengan program pelatihan musik ialah program agenda tahunan di GBI Medan Plaza dimana program tersebut adalah wadah dimana para calon pemusik baru akan dipersiapkan menjadi imam musik yang militan, dimana mereka akan dibina dan diarahkan baik dari segi kerohanian maupun skill oleh staf pengajar/pembimbing. Adapun alat musik yang dipersiapkan dalam pelatihan musik adalah keyboard, gitar bas, gitar elektrik, drum dan lain-lain.

(4) Struktur musik dapat dikonsepkan sebagai bagian-bagian suatu komposisi musik yang terintegrasi menjadi satu bentuk yang estetik (lihat Kamus Besar Bahasa Indonesis 1998). Struktur musik yang penulis maksudkan di sini adalah mencakup aspek melodi dan ritme. Kedua besaran pokok ini didukung oleh tangga nada, nada dasar, wilayah nada, persebaran nada-nada, interval, pola-pola kadensa, kontur, dan lainnya (Malm 1997). Di lain sisi struktur musik itu terdiri lagi dari teks atau lirik,


(37)

berupa bahasa verbal yang dinyanyikan atau dilantunkan. Aspek tekstual ini menjadi perhatian utama dalam rangka komunikasi antara jemaat dan antara jemaat dengan Tuhan. Selain itu, struktur musik ini akan memperhatikan bentuk instrumentasi, klasifikasi, dan deskripsi alat-alat musik yang digunakan di GBI Medan Plaza.

(5) Gereja Bethel Indonesia (GBI) adalah salah satu dari denominasi gereja yang ada di Indonesia yang beraliran kharismatik. Kata Bethel berasal dari bahasa Ibrani yaitu: la-tyb Beyth-‘El atau yang sering dikenal dengan istilah “Bethel” yang berarti “House of God” dalam bahasa Indonesia yang berarti “Rumah Tuhan”. Sedangkan, kata kharismatik berasal dari bahasa Yunani yaitu charis yang berarti “Kasih Karunia” dimana gerakan ini muncul pada awal 1950 yang dipelopori oleh Dennis Bennett dari Gereja Episkopal Amerika. Kharismatik merupakan sebuah istilah yang dipakai untuk mendeskripsikan kaum Kristiani yang percaya bahwa manifestasi roh kudus bisa terjadi dan seharusnya dipraktikkan bagi pengalaman pribadi setiap orang-orang yang percaya pada masa sekarang ini, yang dikenal ditandai dengan istilah Bahasa Lidah atau Bahasa Roh atau Glossolalia.

Gereja Bethel telah tersebar diseluruh Indonesia yaitu seperti Sumatera Utara, Jambi, Sumatera Selatan, Jawa, Sulawesi, dan lain-lain. Gereja Bethel Indonesia biasa disingkat dengan sebutan GBI.

Seperti yang dikemukakan oleh Koentjaraningrat (1986:160), bahwa masyarakat merupakan kesatuan hidup manusia yang berinteraksi menurut sistem adat tertentu yang bersifat kontiniu dan terkait oleh rasa identitas bersama.


(38)

1.4.2 Teori

Teori adalah salah satu acuan yang digunakan oleh penulis untuk menjawab masalah-masalah yang timbul dalam tulisan ini. Pengetahuan tersebut diperoleh dari buku-buku, dokumen-dokumen, serta pengalaman kita sendiri. Hal tersebut merupakan landasan dari pemikiran untuk memperoleh sebuah teori-teori yang bersangkutan (Koentjaraningrat 1991:30). Sesuai dengan permasalahan yang akan dibahas dalam skripsi ini, maka penulis menggunakan empat teori utama untuk mengkaji tiga pokok permasalah. (a) Untuk mengkaji manajemen otganisasi, digunakan teori manajemen organisasi. (b) Untuk mengkaji manajemen pelatihan musik digunakan teori pelatihan sumber daya manusia. (c) Untuk mengkaji struktur musik, digunakan teori weigted scale khusus untuk teks lagu digunakan teori semiotik.

1.4.2.1 Teori Manajemen Organisasi

Menurut George R Terry dan Leslie W Rue dalam bukunya yang berjudul Dasar-Dasar Manajemen, dituliskan bahwa: manajemen adalah suatu proses atau kerangka kerja, yang melibatkan bimbingan atau pengarahan suatu kelompok orang-orang kearah tujuan-tujuan organisasional atau maksud-maksud yang nyata. Manajemen merupakan suatu bentuk kegiatan yang pelaksanaannya adalah managing atau pengelolaan, sedang pelaksananya disebut manajer5

5

Baca lebih jauh buku yang bertajuk Dasar-dasar Manajemen yang ditulis oleh George R Terry dan Leslie W Rue


(39)

Sedangkan menurut H.B Iswanto M.Si dalam bukunya Pengantar Manajemen disebutkan juga bahwa: manajemen adalah ilmu dan seni untuk melakukan tindakan guna mencapai tujuan yang spesifikasi meliputi perencanaan, pengarahan, pemotivasian, dan pengendalian terhadap orang agar mencapai tujuan6

6

Baca buku yang bertajuk Pengantar Manajemen yang ditulis oleh H.B Siswanto, terbutan Gramedia kota Jakarta.

. Teori manajemen sistem organisasu menyatakan bahwa konsep-konsep sistem-sistem umum merupakan inti yang dikembangkan pendekatan ini. Satu sistem dapat dipandang sebagai suatu kumpulan dua komponen atau lebih, yang saling memiliki pola hubungan tertentu, dan satu kegiatan menimbulkan reaksi pihak lain. Dengan kata lain, sebuah sistem adalah seperangkat komponen yang saling berhubungan dan saling beraksi. Sistem-sistem bersifat fundamental untuk sebagian besar kegiatan. Apa yang dipikirkan sebagai suatu kegiatan, mungkin sebenamya adalah hasil dari banyak kegiatan kecil. Sebaliknya kegiatan kecil ini adalah hasil dari aktivitas-aktivitas yang lebih kecil lagi. Berpikir dalam kerangka sistem, akan menyederhanakan dan menyatukan konsepsi kegiatan-kegiatan yang banyak itu. Sebuah rencana manajemen, dapat digambarkan sebagai suatu sistem dengan manusia, uang, mesin, bahan-bahan informasi, dan kekuasaan. Pengikut-pengikut pendekatan sistem ini bertuiuan mengembangkan suatu kerangka sistematis untuk menguraikan hubungan-hubungan antara kegiatan. Pendekatan sistem-sistem dalam ilmu manajemen memberikan bantuan untuk melihat dengan jelas faktor-faktor yang bersifat tidak tetap, hambatan, dan interaksinya (Takari 2009)..


(40)

Dalam kaitannya dengan skripsi ini, eori manajemen orgnisasi berdasarkan sistem ini akan digunakan untuk mengkaji organisasi GBI Medan Plaza, yang khas dan spesifik. Termasuk pula untuk mengkaji hubungan di antara struktur organisasi gereja. Kemudian pendalaman juga dilakukan di bidang divisi musik.

1.4.2.2 Teori Pelatihan Sumber Daya Manusia

Dalam membahas program pelatihan penulis menggunakan teori pelatihan sumber daya manusia yang dikemukakan Agus M. Hardjana dalam bukunya yang berjudul Training SDM yang Efektif, disebutkan bahwa training atau pelatihan tidak dapat dipisahkan dengan pengembangan yang meningkat dalam setiap pelatihannya, meski tekanannya pada perolehan kecakapan (menjadi bisa), namun selalu menyangkut juga pada penampilan, pemahaman abstrak dan konsep-konsep teoritis.

Teori ini juga menjelaskan arti pelatihan secara luas yang mempunyai tujuan untuk membantu seseorang dalam: (1) mempelajari dan mendapatkan kecakapan-kecakapan baru; (2) mempertahankan dan meningkatkan kecakapan-kecakapan-kecakapan-kecakapan yang sudah dikuasai; (3) mendorong agar mau berkembang dengan belajar; (4) mempraktikkan hal-hal yang sudah dipelajari dan diperoleh dalam training; (5) mengembangkan pribadi calon pemusik; (6) mengembangkan efektivitas lembaga; (7) memberi motivasi kepada calon pemusik untuk terus belajar dan berkembang. Berdasarkan teori tersebut bila dihubungkan dengan program pelatihan musik yang dilaksanakan oleh GBI Medan Plaza untuk menghasilkan para calon pemusik baru yang akan dipersiapkan menjadi Imam Musik gereja, maka akan dibina dan


(41)

diarahkan dengan pelatihan dan pengembangan dengan tidak terlepas dari tujuan pelatihan.

Teguh Satriono (1997:4) juga mengemukakan bahwa sebuah pelatihan bisa dikatakan berhasil apabila para peserta dapat menerima dan mengalami peningkatan pengetahuan (knowledge), keterampilan (skill), maupun perilaku (attitude) oleh instruktur yang tepat serta menggunakan metode-metode dan media yang didisain khusus guna pencapaian peningkatan kinerja (kompetensi). Dalam pelaksanaan program pelatihan musik di GBI Medan Plaza telah dipersiapkan komponen-komponen alat atau media untuk menunjang pencapaian dari teori tersebut yaitu dengan adanya pelatihan yang intensif berdasarkan konsep awal program pelatihan itu sendiri yang mengacu pada musikalitas dan kerohanian bagi perserta secara bertahap.

Menurut pendapat Agus M. Hardjana (2001:16) bahwa training atau pelatihan merupakan kegiatan belajar. Dalam pelatihan yang baik, terjadi perubahan dalam hal pengetahuan, sikap, perilaku, kecakapan, dan ketermpilan, menjadi lebih baik, yang diakibatkan oleh adanya interaksi antara peserta dengan kegiatan-kegiatan pelatihan. Dalam proses pelatihan, peserta mendapatkan pengetahuan baru, pandangan baru, perilaku baru, cara kerja baru, kecakapan baru dan keterampilan baru. Pembelajaran melalui pelatihan tidak terjadi secara otomatis, hal ini berarti pelaksanaan pelatihan membutuhkan kerjasama antara trainer dan peserta yang dilatih. Oleh karena itu, yang terlibat dalam pelatihan bukan hanya trainer tetapi juga peserta pelatihan tersebut.


(42)

Peningkatan pengetahuan, keterampilan, dan perilaku peserta pelatihan yang meliputi secara musikalitas dan kerohanian dapat diketahui berhasil atau tidaknya dengan cara diadakannya evaluasi pelatihan yang dilaksanakan diakhir masa pelatihan. Bila ditinjau dari teori Agus M Hardjana (2001:63), bahwa evaluasi pelatihan berarti penilaian atas pelatihan yang sudah terlaksana yang dapat dinilai dari data evaluasi7

Adapun tahap program pelatihan tersebut akan berlangsung selama 8 bulan. Sedangkan sasaran berikutnya adalah untuk continous improvement (perbaikan kelanjutan) yang diadakan untuk menemukan kekuatan atau kelemahan penyelengaraan pelatihan terhadap peserta. Hal ini dapat dijadikan acuan untuk lebih meningkatkan kualitas pelatihan yang diselenggarakan. Bila selama proses program pelatihan tersebut para peserta dapat melaluinya dengan baik dan telah sesuai dengan program pelatihan GBI maka peserta dapat dinyatakan lulus dan masuk sebagai pelayanan gereja. Oleh karena itu lulus dan tidaknya seorang peserta sebagai

. Hal ini juga didukung oleh pendapat Teguh Satriono, MM (2007:5-6), bahwa pada umumnya, evaluasi pelatihan memiliki sasaran pelaksanaan untuk: (1) mengetahui tingkat efektivitas dari pelatihan yang diselenggarakan; (2) continuous improvement (perbaikan berkelanjutan); seperti dalam proses program pelatihan musik di GBI. Untuk mengetahui tingkat efektivitas pelatihan yang dilaksanakan dapat dilihat dari peningkatan pengetahuan peserta tentang musik gereja tersebut dan keterampilan bermain musik serta tercermin perilaku yang lahir baru dan sepenuhnya memiliki jiwa yang rindu untuk melayani Allah.

7

Data evaluasi dapat dikumpulkan dengan dua cara yaitu: (a) pre-test dan post-test untuk menilai sejauh mana tujuan tercapai; (b) pengamatan (observation), wawancara (interview), kuesioner (questionnare), daftar cek (check list), daftar isian (form) untuk mengukur hasil-hasil yang sudah dicapai peserta training (Agus M. Hardjana, 2001:63).


(43)

pelayan musik gereja ditentukan peserta itu sendiri dalam pencapaian atau keberhasilan pada program pelatihan tersebut.

Oleh karena itu, menurut penulis teori-teori dengan pendekatan data evaluasi dapat dikumpulkan dengan dua cara yaitu: (a) pre-test dan post-test untuk menilai sejauh mana tujuan tercapai; (b) pengamatan (observation), wawancara (interview), kuesioner (questionnaire), daftar cek (check list), daftar isian (form), untuk mengukur hasil-hasil yang sudah dicapai peserta pelatihan. Pendapat para ahli tersebut sangat relevan dengan topik permasalahan dalam tulisan ini, maka penulis akan menggunakan teori tersebut sebagai landasan kerangka berfikir untuk pembahasan selanjutnya.

1.4.2.3 Teori Weighted Scale dan Semiotik

Teori weighted scale adalah sebuah teori yang mengkaji keberadaan melodi berdasarkan kepada delapan unsurnya. Kedelapan unsur melodi itu menurut Malm (1977:15), adalah:: (1) tangga nada; (2) nada pusat atau nada dasae; (3) wilayah nada); (4) jumlah nada; (5) penggunaan interval; (6) pola cadensa; (7) formula melodi; dan (8) kontur. Teori ini dipergunakan untuk menganalisis melodi dua lagu dalam Gereja Bethel Indonesia Medan Plaza, yaitu lagu yang berjudul Allahku Dahsyat dan Penuhiku.

Dalam rangka mengkaji makna yang terkandung di dalam kedau lagu di atas, penulis menggunakan teori semiotik. Selanjutnya teori ini digunakan dalam usaha untuk memahami bagaimana makna diciptakan dan dikomunikasikan melalui sistem simbol yang membangun sebuah peristiwa seni. Dua tokoh perintis semiotika adalah Ferdinand de Saussure seorang ahli bahasa dari Swiss dan Charles Sanders Pierce,


(44)

seorang filosof dari Amerika Serikat. Saussure melihat bahasa sebagai sistem yang membuat lambang bahasa itu terdiri dari sebuah imaji bunyi (sound image) atau signifier yang berhubungan dengan konsep (signified). Setiap bahasa mempunyai lambang bunyi tersendiri.

Peirce juga menginterpretasikan bahasa sebagai sistem lambang, tetapi terdiri dari tiga bagian yang saling berkaitan: (1) representatum, (2) pengamat (interpretant), dan (3) objek. Dalam kajian kesenian berarti kita harus memperhitungkan peranan seniman pelaku dan penonton sebagai pengamat dari lambang-lambang dan usaha kita untuk memahami proses pertunjukan atau proses penciptaan. Peirce membedakan lambang-lambang ke dalam tiga kategori: ikon, indeks, dan simbol. Apabila lambang itu menyerupai yang dilambangkan seperti foto, maka disebut ikon. Jika lambang itu menunjukkan akan adanya sesuatu seperti timbulnya asap akan diikuti api, disebut indeks. Jika lambang tidak menyerupai yang dilambangkan, seperti burung garuda melambangkan negara Republik Indonesia, maka disebut dengan simbol.

Dua tokoh perintis semiotik adalah Ferdinand de Saussure seorang pakar bahasa dari Swiss dan Charles Sanders Peirce, seorang filosof dari Amerika Serikat. Saussure melihat bahasa sebagai sistem yang membuat lambang bahasa itu terdiri dari sebuah imaji bunyi (sound image) atau signifier, yang berhubungan dengan konsep (signified). Setiap bahasa mempunyai lambang bunyi tersendiri.

Semiotika atau semiologi adalah kajian teradap tanda-tanda (sign) serta tanda-tanda yang digunakan dalam perilaku manusia. Definisi yang sama pula dikemukakan oleh salah seorang pendiri teori semiotika, yaitu pakar linguistik dari


(45)

Swiss Ferdinand de Sausurre. Menurutnya semiotika adalah kajian mengenai “kehidupan tanda-tanda dengan masyarakat yang menggunakan tanda-tanda itu.” Meskipun kata-kata ini telah dipergunakan oleh filosof Inggris abad ke-17 yaitu John Locke, gagasan semiotika sebagai sebuah modus interdisiplin ilmu, dengan berbagai contoh fenomena yang berbeda dalam berbagai lapangan studi, baru muncul ke permukaan pada akhir abad ke-19 dan awal abad ke-20, ketika munculnya karya-karya Sausurre dan karya-karya-karya-karya seorang filosof Amerika Serikat, Charles Sanders Peirce.

Dalam karya awal Peirce di lapangan semiotika ini, ia menumpukan perhatian kepada pragmatisme dan logika. Ia mendefinisikan tanda sebagai “sesuatu yang mendukung seseorang untuk sesuatu yang lain.” Salah satu sumbangannya yang besar bagi semiotika adalah pengkategoriannya mengenai tanda-tanda ke dalam tiga tipe, yaitu: (a) ikon, yang disejajarkan dengan referennya (misalnya jalan raya adalah tanda untuk jatuhnya bebatuan); (b) indeks, yang disamakan dengan referennya (asap adalah tanda adanya api) dan (c) simbol, yang berkaitan dengan referentnya dengan cara penemuan (seperti dengan kata-kata atau signal trafik). Ketiga aspek tanda ini penulis pergunakan untuk mengkaji teks dua lagu di GBI Medan Plaza, yaitu Allahku Dahsyat dan Penuhiku.

1.5 Metode Penelitian

Metode ialah cara atau jalan menyangkut masalah kerja yang dapat memahami objek yang menjadi sasaran ilmu yang bersangkutan (Koentjaraningrat:1985). Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (1998:581), metode


(46)

penelitian diartikan sebagai cara mencari kebenaran dan azas-azas alam, masyarakat atau kemanusiaan yang bersangkutan.

Metode penelitian yang digunakan penulis adalah metode deskriptif dengan pendekatan kualitatif, karena pendekatan ini lebih menggambarkan kata-kata secara terperinci dan perolehan datanya bersumber dari ungkapan, catatan, atau tingkah laku masyarakat yang diteliti. Bahan ataupun data penelitian dapat diperoleh dari tulisan-tulisan atau ceramah yang terekam dalam konteks yang berbeda-beda, bisa dari observasi, wawancara dan lain sebagainya. Sehingga penelitian ini bersifat sewajarnya mengenai masalah pada objek dan tidak mempersoalkan masalah populasi dan sampel seperti pada pendekatan kuantitatif.

Untuk melakukan penelitian tentang manajemen program pelatihan musik, penulis mengacu pada ilmu Etnomusikologi yang terdiri dari dua disiplin ilmu yaitu: disiplin lapangan (field discipline) dan disiplin laboratorium (laboratory discipline), dimana hasil dari kedua metode tersebut kemudian digabungkan menjadi satu hasil akhir (a final study) (Merriam,1964:37). Nettl (1964:62) juga berpendapat bahwa Etnomusikologi memiliki dua kerangka kerja yaitu kerja lapangan (field work) dan kerja laboratorium (desk work). Untuk merealisasikan hal tersebut penulis melakukan langkah-langkah seperti: mencari lokasi penelitian, mencari beberapa informan pangkal, dan mencari sejumlah informasi dilapangan serta melakukan studi kepustakaan.


(47)

1.5.1 Studi Kepustakaan

Sebelum penulis mengadakan penelitian, maka terlebih dahulu penulis melakukan studi pustaka yaitu dengan cara mencari dan membaca buku-buku atau tulisan yang relevan dengan objek penelitian sebagai kerangka landasan berfikir didalam tulisan ini. Buku-buku dan tulisan tersebut dapat berupa literature, makalah, tulisan ilmiah, dan berbagai catatan-catatan yang berkaitan dengan manajemen dan program pelatihan musik guna melengkapi kebutuhan dalam penulisan dan penyesuaian data dari hasil penelitian lapangan.

Adapun pembahasan yang dikaji oleh penulis ialah sebuah proses awal dimana seseorang yang ingin menjadi imam musik harus melalui program pelatihan musik yang dilaksanakan di GBI Medan Plaza, sehingga proses tersebut terangkum dalam sebuah tulisan ilmiah manajemen program pelatihan musik itu sendiri. Oleh karena hal tersebut maka penulis memerlukan referensi dari pada skripsi-skripsi pendahulu yang berkaitan dengan Gereja Bethel Indonesia. Di antaranya skripsi yang ditulis oleh Hans Marpaung yang mengkaji tentang tari tamborin dan musik pengiring pada ibadah raya di Gereja Bethel Indonesia Tanjung Sari Medan dan kemudian skripsi yang ditulis oleh Daud Satria dalam skripsinya yang membahas tentang guna dan fungsi serta peranan musik pengiring dalam ibadah terhadap jemaat di GBI Medan Plaza.

1.5.2 Kerja Lapangan

Penulis melakukan kerja lapangan dengan cara ikut serta dan mengamati secara langsung dilokasi penelitian. Dalam kerja lapangan penulis juga melakukan


(48)

wawancara dengan beberapa narasumber pendukung (dalam hal ini yang dimaksudkan adalah trainer dan para pemusik yang dilatih). Untuk mempermudah kerja lapangan ini, penulis melakukan wawancara tak berstruktur atau wawancara mendalam antara peneliti dan informan dengan mengajukan pertanyaan-pertanyaan yang telah dipersiapkan agar memperoleh keterangan-keterangan dan data-data yang dibutuhkan untuk mendukung kemudahan pelaksanaan penelitian.

1.5.3 Wawancara

Salah satu tehnik pengumpulan data dalam penelitian adalah tehnik wawancara. Dalam melakukan wawancara tersebut, penulis berpedoman pada metode wawancara yang dikemukakan oleh Koentjaraningrat (1991:139) dimana disebutkan bahwa metode wawancara memiliki tiga jenis yaitu: wawancara berfokus (focused interview), wawancara bebas (free interview), dan wawancara sambil lalu (casual interview).

Sesuai dengan pendapat diatas, sebelum penulis melakukan wawancara terlebih dahulu penulis membuat daftar-daftar pertanyaan. Hal tersebut dilakukan guna memperoleh informasi sebanyak-banyaknya tentang masalah-masalah yang menyangkut pada pokok permasalahan. Namun penulis juga berusaha mengembangkan pertanyaan kepada hal lain yang masih terkait dengan permasalahan demi memperoleh hasil wawancara yang tersusun dan terstrurktur dengan baik. Dalam hal ini, penulis melakukan wawancara dengan beberapa informan kunci yaitu, Gembala Sidang GBI Medan Plaza yaitu Pdt. R. Bambang Jonan, Koordinator Departemen Musik yaitu Pdm. Obed Sembiring, Kepala


(49)

Bidang/Sub divisi Pendidikan dan Teknis Musik yaitu Pdp. Boni Gea, serta para trainer/ pelatih dan para peserta yang mengikuti program pelatihan musik itu sendiri.

Pada proses wawancara, penulis menerapkan wawancara bebas dimana pertanyaan-pertanyaan yang diajukan oleh penulis kepada informan berlangsung dari suatu masalah ke masalah lain, namun tetap menyangkut pada pokok permasalahan. Sebagai alat bantu wawancara, penulis menggunakan tape recorder untuk merekam.

1.5.4 Observasi

Observasi atau pengamatan merupakan kegiatan untuk melakukan pengukuran dengan menggunakan indera penglihatan, yang berarti tidak mengajukan pertanyaan-pertanyaan. Salah satu teknik dalam pengumpulan data yang cukup baik untuk diterapkan adalah observasi langsung terhadap subjek dan objek yang diteliti.

Dalam hal ini penulis mengadakan observasi secara langsung pada saat dilaksanakannya program pelatihan musik tepatnya di GBI Medan Plaza Jl. Iskandar Muda No. 321 Medan (Gedung Medan Plaza Lantai 7).

Pengamatan ini penulis lakukan berulang kali sambil menafsir kejadian-kejasian yang telah diamati. Setelah itu observasi yang dilakukan berulangkali ini dikaji menurut kaidah-kaidah saintifik disiplin etnomusikologi. Namun demikian fokus perhatian penulis dalam observasi ini tetap mengikut kepada pokok permasalahan yang telah ditetapkan yaitu tiga aspek: manajemen organisasi, manajemen, pelatihan, dan struktur musik yang dilakukan di GBI Medan Plaza Kota Medan, Sumatera Utara.


(50)

1.5.5 Kerja Laboratorium

Data yang diperoleh dari penelitian lapangan dan studi kepustakaan selanjutnya akan diolah didalam kerja laboratorium. Sehingga penulis melakukan penyeleksian dan penganalisaan sumber data yang kemudian menyaringnya sehingga data tersebut menjadi lebih akurat dan bermanfaat. Data-data yang diteliti akan dievaluasi kembali dan diklasifikasikan untuk disusun dalam suatu laporan hasil penelitian berbentuk skripsi (Merriam, 1995:89) sesuai dengan teknik-teknik penulisan secara ilmiah.

Dalam rangka kerja laboratorium ini, penulis melakukan transkripsi terhadap dua lagu yaitu Allahku Dahsyat dan Penuhiku. Kedua lagu ini ditranskripsi dari hasil rekaman lapangan dan juga dibantu oleh notasi angka yang digunakan oleh Gereja Bethel Indonesia Medan Plaza.

(a) Teknik transkripsi dilakukan dalam notasi balok Barat. Pemilihan jenis notasi ini dilandasi alasan, bahwa notasi balok banyak dikenal dan digunakan dalam disiplin etnomusikologi dan juga berbagai kebudayaan musik di dunia ini, termasuk juga musik gereja. Contoh hasilnya adalah sebagai berikut.


(51)

(b) Lagu ditranskripsi dengan menggunakan nada-nada yang sesungguhnya dipraktikkan oleh para jemaat Gereja Bethel Indonesia Medan Plaza. Misalnya lagu Penuhiku dinyanyikan dalam tangga nada C mayor yang sering diistilahkan dengan C = do. Dalam hal ini penulis, menuliskannya di sisi sebelah kiri atas lagu yaitu C = do.

(c) Tanda birama yaitu 4/4 ditulis di sebelah kiri atas yang menandakan bahwa kedua lagu ini menggunakan meter dalam hitungan empat, sebagaimana umumnya meter dalam musik-musik gereja. Dalam tnotasi contohnya sebagai berikut.

(d) Tempo lagu juga ditulis di sebelah kiri atas, tujuannya adalah untuk acuan para jemaat dalam menyanyi. Misalnya untuk lagu Penuhiku, tanda temponya adalah slow-beat atau dalam bahasa Indonesianya adalah ketukan yang lambat.

(e) Lagu yang ditranskripsikan juga mencatat penciptanya. Misalnya untuk lagu Penuhiku, penciptanya adalah Robert dan Lea, sebagai jemaat Gereja Bethel di Amerika Serikat. Sementara lagu Allahku Dahsyat adalah ciptaan Franky Sihombing jemaat Gereja Bethel Indonesia. Contoh penulisan judul, nada dasar dan tangga nada, tanda birama, tanda tempo, dan pencipta lagu adalah sebagai berikut.

ALLAHKU DAHSYAT Do = Am (1=C)

Ciptaan: Franky Sihombing 4/4 Rap Feel Beat


(52)

SURROUND ME (PENUHIKU) Do = C 4/4

Ciptaan :

Slow – Beat Robert & Lea

(f) Teks lagu ditulis di bawah notasi balok yang ditulis di atasnya. Teks ini disesuikan dengan progresi melodi yang digunakan. Contoh penulisan teks lagu ini adalah sebgai berikut.

Kedua lagu ini selengkapnya dapat dilihat pada Bab V sebagai bahagian dari analisis struktur musik, khususnya melodi dan teks. Unsur yang akan dianalisis adalah


(53)

delapan unsur melodi seperti yang diurai dalam teori weighted scale dan untuk teks diurai menurut teori semiotik.

1.5.6 Pemilihan Lokasi Peneliltian

Lokasi penelitian berada di Gereja Bethel Indonesia Medan Plaza yang terletak di Jl. Iskandar Muda No. 321 Medan (gedung medan plaza lantai 7). Adapun alasan penulis memilih tempat penelitian tersebut dikarenakan penulis merupakan pengerja gereja departemen musik sekaligus salah satu trainer atau pelatih dari program pelatihan musik yang diadakan di GBI Medan Plaza itu sendiri, sehingga sudah jelas adanya hubungan langsung dari pada kajian penulis yang sangat mendukung dalam menentukan lokasi penelitian tersebut.

Selain itu pemilihan lokasi penelitian ini juga merupakan pengembangan lokasi penelitian GBI yang telah dilakukan oleh para etnomusikolog pendahulu penulis, yaitu GBI Padang Bulan dan GBI Tanjung Sari Medan. Hal ini dilakukan untuk peneliti selanjutnya dapat membandingkan bagaimana kedudukan ibadah dan pemungsian musik dalam GBI di berbagai tempat di Medan khsususnya dan Indonesia pada umumnya.


(54)

BAB II

GEREJA BETHEL INDONESIA MEDAN PLAZA

DALAM KONTEKS MASYARAKAT SUMATERA UTARA YANG HETEROGEN

2.1 Pengantar

Gereja Bethel Indonesia Medan Plaza, sebagai sebuah organisasi keagamaan yang sifatnya formal, tidak terlepas dari latar belakang kebudayaan jemaatnya yang terdiri dari berbagai ragam suku bangsa (etnik), terutama etnik yang terdapat di Sumatera Utara. Bagaimanapun jemaat Gereja Bethel Indonesia Medan Plaza ini akan membawa peradaban sukunya ke dalam ritual dan penghayatan agamanya.

Agak berbeda dengan gereja-gereja yang berlatar-belakang etnik tertentu, maka GBI berusaha memasukkan semua suku ke dalamnya, yang penting adalah mereka yang beragama Kristen Protestan, dan turut menjadi pengikut atau simpatisan aliran kharismatik. Di Sumatera Utara contoh gereja yang mayoritas jemaatnya berdasar kepada kelompok etnik tertentu, misalnya Huria Kristen Batak Toba (HKBP) adalah sebuah organisasi agama Kristen Protestan yang jemaatnya mayoritas beretnik Batak Toba. Kemudian ada Gereja Kristen Protestan Simalungun (GKPS) yang mayoritas jemaatnya adalah beretnik Simalungun. Selepas itu ada juga Gereja Batak Karo Protestan (GBKP) yang mayoritas beretnik Karo. Kemudian adala pula Gereja Batak Angkola yang berlatar-belakang kebudayaan etnik Angkola. Begitu pula dengan Gereja masyarakat Akpak-Dairi, Gereja Nias, dan lain-lainnya.


(55)

Gereja Bethel Indonesia Medan Plaza, jemaatnya menurut pengamatan penulis terdiri dari berbagai etnik yang ada di Sumatera Utara. Bahkan dalam awal sejarah perkembangannya, gereja ini dipimpin oleh berbagai etnik. Hal ini tak terlepas dari komposisi etnik yang menjadi jemaat GBI, baik di dalam konteks Indonesia, maupun Sumatera Utara. Untuk itulah pada bahagian ini akan diuraikan keberadaan Gereja Bethel Indoneia Medan Plaza dalam konteks Sumatera Utara yang heterogen secara etnik, budaya, bahasa, bahkan agama.

2.2 Etnografi dan Geografi Sumatera Utara

Pada saat Indonesia merdeka tahun 1945, Sumatera tetap dipertahankan sebagai satu wilayah pemerintahan yang disebut Provinsi Sumatera, yang dipimpin oleh seorang gubernur. Terdiri dari beberapa kabupaten yang dipimpin oleh bupati. Untuk memudahkan jalannya pemerintahan, maka Komite Regional Nasional Indonesia membagi Sumatera ke dalam tiga provinsi: (1) Sumatera Utara yang di dalamnya termasuk Aceh, Sumatera Timur, dan Tapanuli; (2) Sumatera Tengah, dan (3) Sumatera Selatan. Awal tahun 1949, sistem pemerintahan ini direstrukturisasi. Sumatera Utara dibagi dua daerah militer: (a) Aceh dan Tanah Karo dipimpin oleh Teungku Mohammad Daud Beureuh, sementara itu wilayah militer Sumatera Timur dan Sumatera Selatan dipimpin oleh Dr. F.L. Tobing.

Kawasan Sumatera Utara awalnya provinsi yang merupakan gabungan wilayah dari Aceh, Sumatera Timur, dan Tapanuli, yang sekarang hanya tinggal dua kawasan terakhir. Berdasarkan pengamatan lapngan, maka Sumatera Utara dihuni oleh tiga jenis pemukim, yaitu: (a) etnik-etnik native, yang terdiri dari: Melayu, Karo,


(56)

Pakpak-Dairi, Simalungun, Toba, Mandailing, Pesisir (Barat), dan Nias; (e) etnik-etnik pendatang Nusantara yang terdiri dari: Aceh, Minangkabau, Banjar, Jawa, Sunda, dan lainnya; dan (c) etnik-etnik pendatang dunia, seperti: Hokian, Kwong Fu, Hakka, Khek, Tamil, Hindustani, Sikh, Arab, Belanda, dan lain-lainnya. Sementara itu di kawasan budaya Mandailing-Angkola terdapat masyarakat Lubu dan Siladang. 8

Dengan demikian, Sumatera Utara adalah daerah yang multi etnik dan budaya. Mereka tetap memelihara berbagai unsur budaya yang diwarisi dari nenek moyangnya. Masyarakat Karo, Pakpak-Dairi, Simalungun, Toba, dan Mandailing-Angkola, kadangkala disebut juga dengan masyarakat Batak. Namun dalam kenyataannya ada pula di antara mereka yang menolak istilah generalisasi tersebut. Namun bagaimanapun ada berbagai persamaan budaya di antara kelompok-kelompok masyarakat tersebut. Misalnya pembagian tiga struktur masyarakat berdasarkan hubungan perkawinan dan darah (dalihan na tolu atau rakut sitelu). Dalam bidang bahasa pula ada dua alur utama, yaitu kelompok bahasa Karo dan

Masyarakat yang mendiami wilayah Provinsi Sumatera Utara terdiri dari delapan etnik setempat: (1) Melayu, (2) Batak Toba, (3) Mandailing-Angkola, (4) Simalungun, (5) Karo, (6) Pakpak-Dairi, (7) Pesisir Barat, dan (8) Nias. Selain itu ditambah pula oleh etnik pendatang seperti: Jawa, Sunda, Minangkabau, Aceh, Banjar, Tamil, Benggali, Tionghoa dan Eropah (Usman Pelly 1994).

8

Pada masa penjajahan Belanda, di Sumatera Utara terdapat dua provinsi (afdeeling), yaitu Sumatera Timur dan Tapanuli. Ada perbezaan pengertian di antara Sumatera Utara dengan Sumatera Timur. Wilayah Sumatera Timur (Oostkust van Sumatra dalam Bahasa Belanda atau East Coast

of Sumatra dalam Bahasa Inggeris) mencakup Provinsi Sumatera Utara sekarang di luar Tapanuli,

ditambah daerah Bengkalis Provinsi Riau--secara budaya termasuk pula Tamiang Provinsi Daerah Istimewa Aceh. Lebih jauh lihat Blink, Sumatra's Oostkust: In Here Opkomst en Ontwikkelings Als

Economisch Gewest, (s'Gravenhage: Mouton & Co., 1918:1 dan 9).


(1)

178

10. Mengikuti KOM (Komunitas Orientasi melayani) yaitu sebuah kelas pendalaman Alkitab.

11. Mengikuti audisi, yakni seorang calon peserta pelatihan harus mempertunjukan tingkat permainan musiknya yakni secara musikalitas sesuai instrumen yang telah dikuasainya.

12. Dapat menguasai akord mayor dan minor dan menguasai ritem, tempo, dan wawasan musik yang baik, memiliki perbendaharaan lagu-lagu gereja yang nantinya dapat dikembangkan dengan lagu-lagu yang lain.

Persyaratan untuk menjadi seorang pelayan musik atau imam musik sebagaimana dikemukakan diatas, tidak hanya sekedar dapat bermain musik dengan baik saja, namun juga harus memiliki motivasi yang sungguh untuk melayani di rumah Tuhan.

(3) Struktur musik yang terdapat pada Gereja Bethel Indonesia Medan Plaza, umumnya menggunakan musik yang bertangganada diatonik Barat.

6.2 Saran

Adapun saran yang diajukan oleh penulis berdasarkan kesimpulan tersebut adalah sebagai berikut:

1. Dikarenakan GBI Rayon 4 memiliki banyak cabang dan hal ini terkadang menyebabkan kurangnya pemusik di cabang-cabang tertentu sehingga apabila ada cabang yang secara tiba-tiba/ mendesak memerlukan pemain musik, maka solusi yang diambil ialah dengan cara menyuruh peserta pelatihan langsung terjun melayani walaupun masih berstatus sebagai peserta pelatihan walaupun peserta


(2)

yang melayani tersebut tetap menjalani program yang dijalankan sampai akhir. Oleh karena itu diharapkan GBI dapat mempersiapkan imam-imam musik yang siap untuk melayani di cabang-cabang GBI.

2. Berhubung karena peralatan musik gereja terpisah yakni peralatan musik yang pergunakan dalam pelatihan musik berbeda dengan peralatan musik yang dipergunakan pada pada saat ibadah. Hal tersebut memperlihatkan perbedaan yang mencolok. Meskipun pada dasarnya peralatan yang dipakai dalam program pelatihan dapat dikatakan sudah baik, namun masih dapat dikembangkan atau ditambah dengan fasilitas alat musik lainnya sehingga diharapkan program pelatihan GBI Medan Plaza dapat menjadi lebih baik lagi pada masa yang akan datang.


(3)

180

DAFTAR PUSTAKA

Adler, Mortimer J. et al. (eds.). 1983. Encyclopaedia Britannica (Vol. XII). Chicago: Helen Hemingway Benton.

Bachtiar, Harsya, W., 1985. “Pengamatan sebagai Metode Penelitian.” Dalam Metde-metode Penelitian Masyarakat. Kentjaraningrat (ed.). Jakarta: Gramedia.

Blacking, John. 1974. How Musical is Man? Seattle: University of Washington Press.

Castles, Lance. 1972. The Political Life of A Sumatra Resiency: Tapanuli 1915-1940. Yale: Yale University. Disertasi Doktoral.

Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. 1998. Kamus Besar Bahasa Indonesia, Jakarta : Balai Pustaka

Fisher, C.A., 1977. “Indonesia: Physical and Social Geography,” The Far East and Australasia 1977-78: A Survey and Directory of Asia and Pacific. London: Europa Publications Ltd.

Hall, D.G.E., 1968, A History of South-East Asia, St. Martin's Press, New York. Terjemahannya dalam bahasa Indonesia, D.G.E. Hall, Sejarah Asia


(4)

Tenggara, 1988, diterjemahkan oleh I.P. Soewasha dan terjemahan disunting oleh M. Habib Mustopo, Surabaya: Usaha Nasional.

Hasibuan, S.P. Malayu H.1996. Organisasi & Motivasi, Jakarta: Bumi Aksara

Hardjana, M Agus. 2001. Training SDM yang Efektif, Yogyakarta : Kanisius

Howell, W. 1973. The Pacific Islanders, London: Weidenfeld and Nicolson.Koentjaraningrat. 1991. Metode – Metode Penelitian Masyarakat, Jakarta : Gramedia Pustaka Utama

Langenberg, Michael van, 1976. National Revolution in North Sumatra: Sumatra Timur and Tapanuli 1942-1950. Tesis doktor falsafah. Sydney: University of Sidney.

Legge, J.D., 1964. Indonesia. Englewood Cliffs, New Jersey: Pren-tice Hall.

Menuhin, Yehudi, 1977. The Book of Music. London: New Burlington Books.

Malm,William P., 1977. Music Cultures of the Pacific, Near East, and Asia. New Jersey: Prentice Hall, Englewood Cliffs; serta terJemahannya dalam bahasa Indonesia, William P. Malm, 1993, Kebudayaan Musik Pasiflk, Timur Tengah, dan Asia, dialihbahasakan oleh Muhammad Takari, Medan: Universitas Sumatera Utara Press.


(5)

182

Merriam, Alan P. 1964. Anthoropology of Music. Blomington, Indiana : University Press.

Nettl, Bruno. 1964. Theory and Method in Etnomusicology, New York : The Free Press of Glencoe.

Rue, Leslie W dan Terry, George R. Dasar-dasar manajemen, Jakarta : Bumi Aksara

Sangti, Batara, 1977. Sejarah Batak. Balige: Karl Sianipar.Satriono, Teguh. 2007. How to measure 5 levels of training evaluation. Intellectual Capital Publishing.

Siswanto, HB. 2005. Pengantar Manajemen, Bandung : Bumi Aksara

Tenney, Tommy. 2003. God’s Eyeview, Jakarta : Immanuel

Withington, W.A., 1961. "The Distribution of Population in Sumatra, Indoensia.” The Journal of Tropical Geography, 17, 1963"

Sumber lain:

1. Buku panduan perorangan departemen musik GBI Medan Plaza

2.

3. Paper kelompok musik global mata kuliah musik gereja 2004/2005, Sekolah Tinggi Teologi Jakarta.

4.


(6)

5. Skripsi program S1 jurusan Etnomusikologi USU oleh;

- Hans Marpaung “ Deskripsi Tari Tamborin dan Musik Pengiring Pada Ibadah Raya Gereja Bethel Indonesia (GBI) Tanjung Sari Medan”. 2009. Daftar Informan Kunci:

1. Gembala Sidang GBI Medan Plaza, Pdt. R.B. Jonan 2. Koordinator Departemen Musik, Pdm. Obed Sembiring 3. Kepala Bidang Divisi Musik, Pdp. Boni Gea

4. Trainer/ Pelatih Program Pelatihan Musik: - Gugun Sihombing - Dapot Saragih - Donald Siburian - Rade Pardede 5. Peserta Pelatihan (sebanyak 21 orang)