Kebijakan Hukum Pidana Dalam Penanggulangan Tindak Pidana Prostitusi Melalui Media Online

BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Berbicara tentang pelacuran bukanlah merupakan sesuatu yang asing.
Pelacuran, sebagai suatu fenomena sosial, sudah ada sejak adanya manusia. Oleh
karena itu, perkembangan pelacuran akan terus berkembang mengikuti
perkembangan manusia.
Secara etimologis pelacuran berasal dari bahasa latin pro-stituere atau prostauree yang berarti membiarkan diri berbuat zinah, melakukan persundalan,
percabulan. Sedangkan prostitute adalah pelacur atau sundal yang dikenal pula
dengan istilah WTS (wanita tuna susila). Sementara orang berkata bahwa kata itu
berasal dari prostitusi yang berarti menyerahkan diri dengan terang-terangan
kepada perzinahan. 2
Pelacuran merupakan gejala sosial yang berintikan perzinahan dengan
motif ekonomis, bahwa pelaku-pelakunya bisa keduanya telah kawin, atau salah
satu pihak, atau keduanya belum kawin atau telah bercerai. Prostitusi merupakan
masalah yang tidak hanya melibatkan pelacurnya saja, tetapi lebih dari itu yaitu
merupakan suatu kegiatan yang melibatkan banyak orang seperti mucikari atau
germo, para calo, serta konsumen-konsumen yang sebagian besar pelakunya
merupakan laki-laki yang sering luput dari perhatian aparat penegak hukum. Di
Indonesia pemerintah tidak secara tegas melarang adanya praktek-praktek


2

Made Darma Wade, Kriminologi, Raja Grafindo Persada, Jakarta, 1996, hal. 99

1
Universitas Sumatera Utara

2

pelacuran. Ketidaktegasan sikap pemerintah ini dapat dilihat pada Pasal 296, Pasal
297 dan Pasal 506 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP). Pasal-pasal
tersebut dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana hanya melarang mereka
yang membantu dan menyediakan pelayanan seks secara illegal, artinya larangan
hanya diberikan untuk mucikari atau germo, sedangkan pelacurnya sendiri sama
sekali tidak ada pasal yang mengaturnya.
Sebagai suatu fenomena sosial, pelacuran selain dibenci juga disenangi
oleh masyarakat. Dengan kata lain, pelacuran masih dibutuhkan oleh para lelaki
hidung belang. Sebab itu tidaklah mengherankan bila bisnis pelacuran baik yang
terang-terangan maupun yang terselubung telah merebak demikian luas. Di kotakota besar, tempat-tempat wisata, bisnis maksiat ini tumbuh dengan subur.

Pelacuran merupakan salah satu penyakit sosial, atau lebih popular disebut
patologi sosial (social pathology). Jika diteliti sebab terjadinya patologi sosial ini,
maka dapat dikembalikan psychological tension. Secara psikologis manusia
memiliki nafsu-nafsu yang merupakan kekuatan sosial. Dalam kehidupan sosial
kita melihat dinamik yang dapat menggabungkan dan merenggangkan hubungan
antara anggota masyarakat. Jika manusia hendak hidup wajar harus dapat
memenuhi hasrat dan nafsu tadi. Seandainya keinginan-keinginan tadi tidak dapat
dipenuhi, maka hal ini dapat menimbulkan ketegangan-ketegangan batin. Jika
ketegangan-ketegangan ini meluas dalam masyarakat, maka terjadilah ketegangan
sosial. Bila ketegangan ini tidak segera dipecahkan dapat berkembang menjadi
penyakit sosial. Hal ini dapat dilihat dari pendapat Gillin, sebagai berikut:

Universitas Sumatera Utara

3

“Patologi sosial ialah suatu gejala dimana tidak ada persesuaian antara
berbagai unsur dari suatu keseluruhan, sehingga dapat membahayakan
kehidupan kelompok, atau yang sangat merintangi pemuasan keinginan
fundamental dari anggota-anggotanya dengan akibat bahwa pengikatan

sosial patah sama sekali”. 3
Prostitusi tetap eksis hingga sekarang dan bahkan semakin canggih metode
yang digunakan. Kini Negara yang memiliki teknologi di bidang informasi dan
komunikasi dipastikan dapat menjadi Negara yang maju apabila Negara tersebut
dapat mengolah, memanfaatkan media tersebut secara bijak dan bertanggung
jawab. Tetapi apa yang akan terjadi apabila sebuah Negara yang memiliki media
ini tidak dapat memanfaatkan dan mengolahnya dengan bijak dan bertanggung
jawab. Maka perkembangan tersebut bak pisau bermata dua, perkembangan media
interaksi berbasis internet juga memiliki sisi negatif apabila Negara tersebut tidak
dapat mengolah dan memanfaatkannya dengan baik. 4
Pada hari ini, ketika hampir seluruh perguruan tinggi berlomba-lomba
memasang jaringan internet dari provider yang menjual ruang-ruang web dan
fasilitas browsing tanpa berlangganan, bank-bank dan hotel mulai berlomba
membuka web-web mereka, dan berbagai usaha lain ikut memasang iklan di
internet, maka perusahaan-perusahaan teknologi informasi (IT) dunia mulai
merambah pasar Indonesia, maka sebenarnya masyarakat kita sedang berlenggang
menuju pintu gerbang informasi dunia.

3
3


Khoe Soe Khiam, Sendi-sendi sosiologi, Ganaco NV, Bandung, 1963, hal. 127
Dewi Bunga, Prostitusi Cyber, Udayana University Press, Denpasar, 2012, hal. 1

Universitas Sumatera Utara

4

Pada kelompok-kelompok masyarakat tertentu, penguasaan teknologi ini
benar-benar dimanfaatkan untuk pengembangan usaha, dunia pendidikan, jaringan
informasi, manajemen, sekuritas, dan sebagainya. Namun pada kelompok
masyarakat luas, terutama remaja, jaringan internet lebih banyak digunakan untuk
hiburan dan pergaulan, dan ternyata itu sangat digemari oleh remaja-remaja kita,
karena ternyata begitu banyak netter yang mengakses gambar-gambar erotik dan
porno dari situs-situs seks yang ada di internet.
Seiring dengan semakin merambahnya penggunaan internet di Indonesia,
aktivitas prostitusi cyber juga mengalami perkembangan. Para pelaku mulai
menggunakan situs-situs jejaring sosial seperti facebook untuk melancarkan
aksinya. Facebook yang awalnya digunakan untuk pertemanan, kini digunakan
untuk memasarkan transaksi seks. Istilah bisa pakai atau “bispak”, cowok

panggilan, cewek panggilan dan sejenisnya merupakan istilah yang dikenal dalam
dunia maya khususnya prostitusi cyber untuk menunjukkan bahwa individu yang
bersangkutan menawarkan jasa seks. 5
Sisi negatif lain dari perkembangan ini adalah munculnya cyber crime atau
kejahatan komputer yang berdampak pula pada hukum nasional yang telah ada,
sehingga dirasa diperlukannya penyesuaian hukum yang sesuai dengan kondisi dan
perkembangan tesebut. Di Indonesia, tingkat penyalahgunaan jaringan internet juga
tinggi hal ini dapat dilihat dari peneberitaan surat kabar Kompas yang berjudul Cyber
Media pada tanggal 19/3/2002 menulis bahwa berdasarkan AC Nielsen 2001

5

URL:http://media.kompasiana.com/group/new-media/2010/04/14/bisnis-menjanjikanprostitusi-dalam-facebook/, diakses tanggal 10 Mei 2013, Pukul 13.30 WIB

Universitas Sumatera Utara

5

Indonesia ternyata menempati posisi ke enam terbesar di dunia atau ke empat di Asia
dalam tindak kejahatan di internet.


Cyber crime merupakan salah satu bentuk atau dimensi baru dari kejahatan
masa kini yang mendapat perhatian luas di dunia internasional. Cyber crime
merupakan salah satu sisi gelap dari kemajuan teknologi yang mempunyai
dampak negatif sangat luas bagi seluruh bidang kehidupan modern saat ini.
Dengan memperhatikan dampak negatif dari perkembangan cyber crime ini maka
seyogyanya melakukan antisipasi terhadap upaya penanggulangan cyber crime
ini. 6
Keresahan akan aktivitas negatif di cyber space sangat dirasakan oleh
masyarakat. Apalagi dengan beberapa pemberitaan di media massa tentang
adanya prostitusi cyber. Kejahatan prostitusi cyber di Indonesia pertama kali
terungkap pada bulan Mei 2003 dimana pada waktu itu Satuan Reskrimsus cyber
crime Polda Metro Jaya berhasil menangkap mucikari cyber. Pelakunya adalah
sepasang suami istri, Ramdoni alias Rino dan Yanti Sari alias Bela. Prostitusi
cyber ini adalah modus baru yakni dengan menawarkan wanita melalui sebuah
alamat web. Pemilik web ini memajang foto-foto wanita tersebut dengan busana
minim yang siap melayani customer. Para peminat hanya cukup menghubungi
nomor handphone para mucikari tersebut yang ditampilkan di halaman web,
kemudian mucikari inilah yang mengantarkan pesanan ke kamar hotel atau ke
apartemen sesuai dengan keinginan pelanggan. 7


6

Barda Nawawi Arief, Tindak Pidana Mayantara:Perkembangan Kajian Cyber Crime di
Indonesia, RajaGrafindo Persada, Jakarta, 2006, hal 1-2
7
Sutarman, Cyber crime modus operandi dan penanggulangannya, Laksbang
PRESSIndo, Yogyakarta, 2007, hal. 67

Universitas Sumatera Utara

6

Cara yang dipakai mucikari untuk merekrut para penyedia jasa ini sangat
beragam, tetapi biasanya mucikari ini merekrut atau mencari gadis belia yang
berpenampilan menarik untuk dijadikan anak buahnya melalui layanan chating
dan sejenisnya yang beberapa tahun belakangan ini sudah menjadi trend di
kalangan anak muda. Setelah mucikari berhasil merayu para gadis belia untuk
menjadi anak asuhannya, mereka biasanya akan langsung ditawarkan lewat
website yang dikelola mucikari tersebut. Untuk bisa berkencan dengan gadis-gadis

muda ini, pada umumnya calon penyewa harus mendaftarkan diri dulu pada
website dimana gadis-gadis tersebut dipamerkan. Calon penyewa akan mengisi
formulir yang berisi nama, alamat, nomor telepon dan lainya. Setelah pendaftaran
selesai calon penyewa bisa langsung memilih gadis mana yang akan dikencani,
lalu calon penyewa bisa mulai bernegosiasi harga. Setelah semua proses
pendaftaran atau pemesanan selesai gadis pesanan akan diantarkan ke tempat yang
telah disepakati. 8
Aktivitas prostitusi cyber sangat meresahkan para netter dan para orang
tua, apalagi aktivitas ini cenderung menjadikan anak-anak sebagai objek
eksploitasi seksual. Laporan UNICEF menyebutkan, ada sekitar 2.000.000 anak di
seluruh dunia yang dieksploitasi secara seksual tiap tahunnya. Industri
perdagangan anak ini ternyata meraup keuntungan hingga 12 miliar dolar per
tahunnya (ILO). Di Indonesia sekalipun banyak gadis yang memalsukan umurnya,
diperkirakan 30 persen pekerja seks komersil wanita berumur kurang dari 18

6

URL: http://id.shvoong.com/internet-and-technologies/websites/1851387-prostitusi-diinternet, diakses 10 Mei 2013, Pukul 13.30 WIB
8
URL: http:// id.shvoong.com/internet-and-technologies/websites/1851387-prostitusi-diinternet, diakses 10 Mei 2013, Pukul 13.30 WIB


Universitas Sumatera Utara

7

tahun. Bahkan ada beberapa yang masih berumur 10 tahun. Diperkirakan pula ada
40.000 - 70.000 anak menjadi korban eksploitasi seks dan sekitar 100.000 anak
diperdagangkan tiap tahun. 9
Jika sebelumnya para hidung belang mengenal istilah "Gang Dolly", salah
satu nama yang merujuk ke satu kata, "Prostitusi alias pelacuran", bukan tidak
mungkin dalam beberapa waktu ke depan komunitas Cewe Bayaran Indonesia dan
Asia, akan menjadi nama baru yang digunakan jika para hidung belang yang ingin
menggunakan jasa pelayanan seksual. Bedanya, “CeweBisyar.com” bukanlah
suatu tempat yang bisa ditemui layaknya orang bertandang ke "Gang Dolly" atau
"Sarkem", melainkan hanyalah sebuah situs yang menjadi media informasi online
antara hidung belang dengan pelacur. Nama situs CeweBisyar.com dengan tagline
"Komunitas Cewe Bayaran Indonesia dan Asia" dalam pekan terakhir menjadi
perbincangan. Situs Prostitusi Online ini menawarkan "kopdar" alias kopi darat
pesta seks yang di adakan di beberapa kota besar di Indonesia seperti Jakarta,
Surabaya, Bandung, dan lainnya. Lokasinya di private room hotel bintang lima

ternama. Lokasi detailnya akan diberitahu setelah menjadi platinum member. 10
Dari paparan tersebut tampak adanya dilema dalam penanganan terhadap
pelacuran, khususnya kajian mengenai kebijakan penegakan hukum terhadap
tindak pidana prostitusi cyber. Oleh sebab itu pada kesempatan ini saya mencoba

9

Unicef, tanpa tahun edisi, “Lembar Fakta Tentang Eksploitasi Seks Komersil dan
Perdagangan Anak, Serial Online, (Cited 2010 Sept. 23), available from : URL
http://www.unicef.org/indonesia/id/Factsheet_CSEC_trafficking_Indonesia_Bahasa_Indonesia.pd
f, diakses tanggal 13 Mei 2013, Pukul 15.30 WIB
10
http://www.kabar24.com/index.php/Heboh-Keberadaan-www.CeweBisyar.com-SitusProstitusi Online- di- Indonesia, diakses tanggal 13 Mei 2013, Pukul 15.35 WIB

Universitas Sumatera Utara

8

untuk mengangkat topik Kebijakan Hukum Pidana Terhadap Tindak Pidana
Prostitusi Melalui Media Online.


B. Rumusan Permasalahan
Berdasarkan uraian latar belakang yang telah dipaparkan di atas, maka
merasa perlu dilakukan sebuah pembahasan yang membahas mengenai cara
pengaturan serta penanggulangan cyber crime, terutama mengenai kejahatan
prostitusi secara online lebih mendalam, dengan menggunakan perundangundangan Negara Republik Indonesia yang mempunyai keterkaitan dengan
tindak pidana prostitusi secara online. Untuk membatasi pokok kajian yang akan
dibahas dalam penulisan ini, maka permasalahan yang diangkat adalah sebagai
berikut:
1. Bagaimana pengaturan hukum tindak pidana prostitusi melalui
media online?
2. Bagaimana upaya non penal yang dapat dilakukan untuk mencegah
terjadinya tindak pidana prostitusi melalui media online di
Indonesia?

C. Tujuan Penulisan dan Manfaat Penulisan
Tujuan dan manfaat penulisan skripsi ini adalah :
1. Mengetahui

dan

menganalisis

penegakan

hukum

melalui

pengaturan hukum terhadap tindak pidana prostitusi melalui
media online dalam hukum pidana positif Indonesia.

Universitas Sumatera Utara

9

2. Mengetahui bagaimana bentuk kebijakan hukum pidana yang
dapat diterapkan dalam hukum positif Indonesia dalam mencegah
dan menanggulangi tindak pidana prostitusi melalui media online.
Manfaat dari penulisan skripsi ini adalah sebagai berikut:
1. Manfaat Teoritis
Sebagai sumbangan pemikiran pengembangan dan informasi bidang ilmu
hukum pidana khususnya terhadap tindak pidana di bidang teknologi
informasi sehubungan dalam hal bagaimana pengaturan hukum pidana dan
kebijakan hukum pidana positif di Indonesia dalam melakukan upaya
represif maupun preventif terhadap penanggulangan cyber crime,
khususnya mengenai tindak pidana prostitusi melalui media online.
2. Manfaat Praktis
a. Untuk memahami
salah

satu

kejahatan mayantara (cyber crime) sebagai

dampak

negatif dari

perkembangan

teknologi

globalisasi dewasa ini.
b. Untuk mengetahui apakah pengaturan hukum pidana positif di
Indonesia dalam menanggulangi tindak pidana prostitusi melalui
media online telah tepat pemberlakuannya.
c. Untuk mengetahui kebijakan hukum pidana yang tepat dilakukan
dalam upaya pencegahan dan penanggulangan tindak pidana
prostitusi melalui media online.

Universitas Sumatera Utara

10

D. Keaslian Penelitian
Dalam rangka mengembangkan ilmu pengetahuan yang diperoleh penulis
selama mengikuti perkuliahan di Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara
maka penulis menuangkannya dalam judul skripsi yang berjudul : “Kebijakan
Hukum Pidana Terhadap Tindak Pidana Prostitusi Melalui Media Online”
Dengan demikian, dilihat dari permasalahan serta tujuan yang hendak
dicapai melalui penulisan skripsi ini, maka dapat dikatakan bahwa judul skripsi ini
belum pernah ditulis di Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara. Hal ini
sejalan dengan pemeriksaan yang dilakukan oleh Departemen Hukum Pidana
mengenai keaslian judul penulisan skripsi ini. Dengan demikian dilihat dari
permasalahan dan tujuan penulisan yang ingin dicapai dalam penulisan ini, maka
dapat dikatakan bahwa skripsi ini merupakan karya sendiri yang asli dan bukan
jiplakan dari hasil orang lain.

E. Tinjauan Kepustakaan
1. Prostitusi di Indonesia
Pelacuran identik dengan kata dalam Bahasa Latin prostitution, diartikan
sebagai perilaku yang terang-terangan menyerahkan diri

kepada perzinahan.

Sementara itu, perzinahan diartikan sebagai perbuatan percintaan sampai
bersetubuh antara seseorang yang telah berkeluarga (baik isteri maupun suami)
dengan orang lain yang bukan isteri atau suaminya. Ada beberapa pendapat atau

Universitas Sumatera Utara

11

rumusan tentang pelacuran (prostitusi) menurut pendapat para sarjana, antara lain
sebagai berikut: 11
1. W.A BONGER, prostitusi adalah gejala kemasyarakatan dimana wanita
menjual diri melakukan perbuatan-perbuatan seksuil sebagai mata
pencaharian. Unsur esensil dalam pelacuran adalah motif ekonomis, tanpa
motif ini bukan pelacuran.
2. IWAN BLOCH, memberi batasan pelacuran sebagai suatu bentuk tertentu
dari hubungan kelamin di luar perkawinan dengan pola tertentu, yakni
kepada siapapun secara terbuka dan hamper selalu dengan pembayaran,
baik untuk hubungan badan maupun kegiatan seks lainnya yang
memberikan kepuasan yang diinginkan oleh yang bersangkutan.
3.

COMMENGE, prostitusi adalah suatu perbuatan dimana seorang wanita
memperdagangkan atau menjual tubuhnya, yang dilakukan untuk
memperoleh pembayaran dari laki-laki yang datang membayarnya dan
wanita tersebut tidak ada mata pencaharian nafkah lain dalam hidupnya,
kecuali yang diperoleh dengan melakukan hubungan sebentar-sebentar
dengan banyak orang.

4. PAULUS MOEDIKDO MOELJONO, pelacuran adalah penyerahan badan
wanita dengan menerima bayaran kepada orang banyak guna pemuasan
nafsu seksuil orang itu.
5. WAROUW, prostitusi adalah mempergunakan badan sendiri sebagai alat
pemuas seksuil untuk orang lain dengan mencapai keuntungan.
11

B Simandjuntak, Pengantar Kriminologi dan Patologi Sosial, Tarsito, Bandung, 1981,

hal. 35

Universitas Sumatera Utara

12

6. BUDISOESETYO, pelacuran adalah pekerjaan yang bersifat menyerahkan
diri kepada umum untuk perbuatan kelamin.
Keberadaan pelacuran ini juga menunjukkan adanya suatu perubahan dari
waktu ke waktu sesuai dengan perkembangan zaman. Seperti diketahui, praktik
pelacuran pada masa lalu mempergunakan fasilitas yang relatif sederhana,
sedangkan saat ini mereka memanfaatkan sarana seperti handphone, blackberry,
pager, dan media sosial. Bahkan bila dilihat lebih luas menunjukkan adanya suatu
keterkaitan tidak hanya bersifat ekonomi, namun menyangkut juga permasalahan
sosial dan budaya. Pemikiran di atas menunjukkan bahwa komunitas pelacuran
seperti yang terjadi di Sarkem,Yogyakarta berada pada era masyarakat global. 12
Prostitusi adalah realitas yang nyata ditengah-tengah kehidupan manusia
yang berbudaya dan selalu hadir untuk mewarnai generasi kehidupan setiap
bangsa yang ada. Perkembangan pelacuran di Indonesia, tampaknya mempunyai
ciri khas tersendiri. Belum lagi adanya perhatian terhadap para pelacur sehingga
mereka mempunyai istilah/diberi nama yang sewaktu-waktu bisa diperbaharui.
Prostitusi menurut James A. Inciardi sebagaimana dikutip oleh Topo
Santoso merupakan “The offering of sexual relations for monetary or other gain”
(penawaran hubungan seksual untuk memperoleh uang atau keuntungan lainnya).
Jadi prostitusi adalah seks untuk pencaharian, terkandung beberapa tujuan yang
ingin diperoleh, biasanya berupa uang. Termasuk didalamnya bukan saja
persetubuhan tetapi juga setiap bentuk hubungan seksual dengan orang lain untuk
mendapat bayaran. Dalam prostitusi terlibat tiga komponen penting yakni pelacur
12

Mudjijono, Sarkem:Reproduksi Sosial Pelacuran, Gadjah Mada University Press

hal.15-22

Universitas Sumatera Utara

13

(prostitute), mucikari atau germo (pimp) dan pelanggannya (client) yang dapat
dilakukan secara kovensional maupun melalui dunia maya. 13
Hugh D. Barlow sebagaimana yang dikutip Topo Santoso dalam bukunya
yang berjudul “Seksualitas dan Hukum Pidana” mengidentifikasi cara-cara praktik
prostitusi dengan menstratifikasi praktek prostitusi tersebut yakni: 14
a. Golongan yang paling rendah yaitu para pelacur jalanan (the street walkers
atau street hookers). Tempat praktiknya adalah di jalan-jalan, lorong-lorong
atau taman kota. Mereka adalah yang terendah dalam hal penerimaan order
dibanding pelacur lainnya.
b. Para pelacur yang bekerja di rumah-rumah bordil (biasa disebut dengan
borderloss, cathouses, atau whorehouses). Mereka bekerja di rumah-rumah
bordil yang dijalankan (meski tidak selalu dimiliki) oleh para mucikari yang
kemungkinan pernah berprofesi juga yang sama.
c.

Posisi tertinggi adalah mereka yang disebut sebagai gadis panggilan (call
girl). Mereka memiliki metode operasi yang sedikit berbeda. Gadis
panggilan yang sudah mapan akan selalu menjaga para pelanggannya
dengan servis khusus. Rahasia mereka pun relatif lebih terjaga sebab untuk
berhubungan dengan mereka sering harus menggunakan referensi khusus,
yang biasanya adalah orang-orang terpercaya.

13
14

Topo Santoso, Seksualitas dan Hukum Pidana, Ind-Hill-Co, Jakarta, 1997, hal. 134
Ibid

Universitas Sumatera Utara

14

2. Pengertian Tindak Pidana Prostitusi Online
a. Pengertian Tindak Pidana
Istilah tindak pidana berasal dari istilah yang dikenal dalam hukum pidana
Belanda yaitu “strafbaar feit”. Strafbaar feit, terdiri dari tiga kata, yakni straf,
baar dan feit. Straf diterjemahkan dengan pidana dan hukum. Perkataan baar
diterjemahkan dengan dapat dan boleh. Sementara itu untuk feit diterjemahkan
dengan tindak, peristiwa, pelanggaran dan perbuatan. Walaupun istilah ini
terdapat dalam WvS Belanda, demikian juga WvS Hindia Belanda (KUHP), tetapi
tidak ada penjelasan resmi tentang apa yang dimaksud dengan strafbaar feit itu.
Oleh karena itu para ahli hukum mengemukakan istilah yang berbeda-beda dalam
upayanya memberikan arti dari strafbaar feit. Adami Chazawi telah
menginventarisir sejumlah istilah-istilah yang pernah digunakan baik dalam
perundang-undangan yang ada maupun dalam berbagai literatur hukum sebagai
terjemahan dari istilah strafbaar feit, yaitu sebagai berikut: 15
1. Tindak Pidana, dapat dikatakan berupa istilah resmi dalam perundangundangan pidana kita. Dalam hampir seluruh peraturan perundangundangan menggunakan istilah tindak pidana, seperti dalam UndangUndang No.6 Tahun 1982 jo. Undang-Undang No.19 Tahun 2002 tentang
Hak Cipta, Undang-Undang No.20 Tahun 2001 tentang Tindak Pidana
Korupsi,

dan

perundang-undangan

lainnya.

Ahli

hukum

yang

menggunakan istilah ini, misalnya seperti Prof.Dr.Wirjono Prodjodikuro,
S.H dalam bukunya Tindak-tindak Pidana Tertentu. Menurut beliau,
15

Adami Chazawi, Pelajaran Hukum Pidana, PT Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2002,

hal. 67

Universitas Sumatera Utara

15

tindak pidana adalah suatu perbuatan yang pelakunya dapat dikenakan
hukuman pidana;
2. Peristiwa pidana, digunakan oleh beberapa ahli hukum, misalnya:
R.Tresna dalam bukunya “Azas-Azas Hukum Pidana”, H.J van
Schravendijk dalam buku “Pelajaran tentang Hukum Pidana Indonesia”,
A.Zainal Abidin dalam bukunya “Hukum Pidana”. Pembentuk UndangUndang juga pernah menggunakan istilah peristiwa pidana, yaitu dalam
UUDS 1950 [ Pasal 14 ayat (1)];
3. Delik, yang sebenarnya berasal dari bahasa Latin “delictum” juga
digunakan untuk menggambarkan tentang apa yang dimaksud dengan
strafbaar feit. Istilah ini dapat dijumpai dalam berbagai literatur, misalnya
E.Utrecht, walaupun juga beliau menggunakan istilah lain yakni peristiwa
pidana dalam bukunya “Hukum Pidana I”. A.Zainal Abidin dalam buku
beliau “Hukum Pidana I”. Moeljatno pernah juga menggunakan istilah ini
seperti pada judul buku “Delik-Delik Percobaan Delik-Delik Penyertaan”,
walaupun menurutnya lebih tepat dipergunakan istilah perbuatan pidana;
4. Pelanggaran Pidana, dapat dijumpai dalam buku M.H.Tirtaatmidjaja yang
berjudul “Pokok-Pokok Hukum Pidana”;
5. Perbuatan yang boleh dihukum, istilah ini digunakan oleh Karni dalam
bukunya “Ringkasan tentang Hukum Pidana”. Begitu juga Schravendijk
dalam bukunya “Buku Pelajaran Tentang Hukum Pidana Indonesia”;

Universitas Sumatera Utara

16

6. Perbuatan yang dapat dihukum, digunakan oleh Pembentuk UndangUndang di dalam UU No. 12/Drt/1951 tentang Senjata Api dan Bahan
Peledak (Pasal 3);
7. Perbuatan pidana, digunakan oleh Moeljatno dalam berbagai tulisan
beliau, misalnya dalam buku “Azas-azas Hukum Pidana”;

Tidak ditemukan penjelasan tentang apa yang dimaksud dengan strafbaar
feit di dalam KUHP maupun di luar KUHP, oleh karena itu para ahli hukum
berusaha untuk memberikan arti dan isi dari istilah itu, yang sampai saat ini belum
ada keseragaman pendapat. Pengertian tindak pidana penting dipahami untuk
mengetahui unsur-unsur yang terkandung di dalamnya. Unsur-unsur tindak pidana
ini dapat menjadi patokan dalam upaya menentukan apakah perbuatan seseorang
itu merupakan tindak pidana atau tidak.
Barda Nawawi Arief menyebutkan, bahwa di dalam KUHP (WvS) hanya
ada asas legalitas (Pasal 1 KUHP) yang merupakan “landasan yuridis” untuk
menyatakan suatu perbuatan (feit) sebagai perbuatan yang dapat dipidana
(strafbaar feit). Namun apa yang dimaksud dengan “strafbaar feit” tidak
dijelaskan. Jadi tidak ada pengertian/batasan yuridis tentang tindak pidana 16.
Pengertian tindak pidana (strafbaar feit) hanya ada dalam teori atau pendapat para
sarjana:

16

Barda Nawawi Arief, Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana, (Perkembangan
Penyusunan Konsep KUHP baru), Kencana, Jakarta, 2008, hal.80

Universitas Sumatera Utara

17

1) E.Utrecht
Menerjemahkan strafbaar feit dengan istilah peristiwa pidana yang sering
juga ia sebut delik, karena peristiwa itu suatu perbuatan handelen atau
doen positif atau suatu melalaikan nalaten-negatif, maupun akibatnya
(keadaan yang ditimbulkan karena perbuatan atau melalaikan itu).
Peristiwa pidana merupakan disinggung oleh suatu ketentuan pidana
dijadikan unsur yang mutlak dari peristiwa pidana hanya sebagian dapat
dijadikan unsure-unsur mutlak suatu tindak pidana yaitu perilaku manusia
yang bertentangan dengan hukum (unsur melawan hukum), oleh sebab itu
dapat dijatuhi suatu hukuman dan adanya seorang pembuat dalam arti kata
bertanggungjawab.
2) Pompe
Perkataan “strafbaar feit” itu secara teoretis dapat dirumuskan sebagai
“suatu pelanggaran norma (gangguan terhadap tertib hukum) yang dengan
sengaja ataupun tidak dengan sengaja telah dilakukan oleh seorang pelaku,
dimana penjatuhan hukuman terhadap pelaku tersebut adalah perlu demi
terpeliharanya tertib hukum dan terjaminnya kepentingan umum”. Secara
teoretis setiap pelanggaran norma atau setiap normo-vertreding itu harus
merupakan suatu perilaku atau gedraging yang telah dengan sengaja
ataupun telah tidak dengan sengaja dilakukan oleh seorang pelaku, yang di
dalam penampilannya merupakan suatu perilaku yang bersifat
bertentangan dengan hukum atau “in strijd met het recht” atau bersifat
“wederrechtelijk”.
3) Simons
“Strafbaar feit” itu sebagai suatu tindakan melanggar hukum yang telah
dilakukan
dengan
sengaja
oleh
seseorang
yang
dapat
dipertanggungjawabkan atas tindakannya dan yang oleh undang-undang
telah dinyatakan sebagai suatu tindakan yang dapat dihukum.
Menurut Simons, sifatnya yang melawan hukum seperti dimaksud di atas
itu timbul dengan sendirinya dari kenyataan, bahwa tindakan tersebut
adalah bertentangan dengan sesuatu peraturan dari undang-undang, hingga
pada dasarnya sifat tersebut bukan merupakan suatu unsur dari delik yang
mempunyai arti yang tersendiri seperti halnya dengan unsur-unsur yang
lain.
Di dalam beberapa rumusan delik, undang-undang telah mensyaratkan
secara tegas bahwa tindakan dari pelakunya itu harus bersifat
wederrechtelijke. Apabila sesuatu tindakan itu telah dilakukan dalam
keadaan dimana undang-undang sendiri telah menentukan akibat
hukumnya yakni bahwa pelakunya tidak dapat dihukum, maka jelaslah
bahwa sifat wederrechtelijke dari tindakannya itu telah ditiadakan oleh

Universitas Sumatera Utara

18

undang-undang dan dengan sendirinya orang juga tidak dapat berbicara
mengenai adanya suatu strafbaar feit. 17
4) Hazewinkel-Suringa
“Strafbaar feit” sebagai suatu perilaku manusia yang pada suatu saat
perilaku manusia yang pada suatu saat tertentu telah ditolak di dalam
sesuatu pergaulan hidup tertentu dan dianggap sebagai perilaku yang harus
ditiadakan oleh hukum pidana dengan menggunakan sarana-sarana yang
bersifat memaksa yang terdapat di dalamnya.
Menurut Moeljatno, untuk adanya perbuatan pidana itu harus ada unsurunsur yaitu: (1) perbuatan (manusia), (2) memenuhi rumusan dalam undangundang (syarat formil), (3) bersifat melawan hukum (syarat materiil).
Sehubungan dengan unsur-unsur tindak pidana tersebut, menurut Simons,
ada dua unsur yang harus dipenuhi agar suatu perbuatan itu dapat dikatakan
sebagai tindak pidana yaitu unsur objektif dan unsur subjektif. Unsur objektif
yaitu berupa tindakan yang dilarang atau diharuskan, serta akibat keadaan atau
masalah tertentu, sedangkan unsur subjektif yaitu berupa kesalahan (schuld) dan
kemampuan bertanggung jawab (toerekenings vatbaar) dari pelaku. 18
Jadi, berdasarkan doktrin-doktrin tersebut, dapat disimpulkan bahwa
unsur-unsur tindak pidana itu terdiri atas unsur subjektif dan unsur objektif.
1. Unsur Subjektif
Yaitu unsur yang berasal dari dalam diri si pelaku. Asas hukum pidana
yang menyatakan bahwa “ tidak ada hukuman kalau tidak ada kesalahan ” (actus
17

P.A.F Lamintang, Dasar-Dasar Hukum Pidana Indonesia, Citra Aditya Bakti,
Bandung, 1997, hal.185
18
E.Y. Kanter dan S.R. Sianturi, Asas-Asas Hukum Pidana di Indonesia dan
Penerapannya, Storia Grafika, Jakarta, 2002, hal. 209

Universitas Sumatera Utara

19

non facit reum nisi mens sit rea). Kesalahan yang dimaksud disini adalah
kesalahan yang diakibatkanoleh kesengajaan (intention/opzet/dolus) dan kealpaan
(negligence/culpa).
Undang-undang tidak memberikan pengertian mengenai kesengajaan.
Dalam Memorie van Toelichting (MvT) WvS Belanda ada sedikit keterangan
yang menyangkut mengenai kesengajaan ini, yang menyatakan: 19
“Pidana pada umumnya hendaknya dijatuhkan hanya pada barangsiapa
melakukan perbuatan yang dilarang, dengan dikehendaki (willens) dan
diketahui (wetens)”.
Dengan singkat dapat disebut bahwa kesengajaan itu adalah orang yang
menghendaki dan orang yang mengetahui. Setidak-tidaknya kesengajaan itu ada
dua, yakni kesengajaan berupa kehendak, dan kesengajaan berupa pengetahuan
(yang diketahui).
Mengenai MvT tersebut, Satochid Kartanegara menyebutkan bahwa yang
dimaksud dengan opzet willens en weten (dikehendaki dan diketahui) adalah: 20
“Seseorang yang melakukan suatu perbuatan dengan sengaja harus
menghendaki (willen) perbuatan itu serta harus menginsafi atau mengerti
(weten) akan akibat dari perbuatan itu.”
Dalam doktrin hukum pidana, dikenal ada tiga bentuk kesengajaan, yaitu:
1. Kesengajaan sebagai maksud/tujuan (opzet als oogmerk)
Bentuk kesengajaan sebagai maksud sama artinya dengan menghendaki
(willens) untuk mewujudkan suatu perbuatan (tindak pidana aktif),
19
20

Moeljatno, Azas-Azas Hukum Pidana, Bina Aksara, Jakarta, 1983, hal. 171
Leden Marpaung, Asas-Teori-Praktik Hukum Pidana, Sinar Grafika, Jakarta, 2005, hal.

13

Universitas Sumatera Utara

20

menghendaki untuk tidak berbuat/melalaikan kewajiban hukum (tindak
pidana pasif) dan/atau juga menghendaki timbulnya akibat dari
perbuatan itu (tindak pidana materiil).
Misalnya: untuk maksud membunuh, maka dengan sebilah pisau
ditikamnya korban sampai mati. Disini perbuatan menikam itu
dikehendaki, demikian juga kematian akibat tikaman itu juga ia
kehendaki.
2. Kesengajaan sebagai kepastian (opzet bij zekerheidsbewustzijn)
Yaitu kesadaran seseorang terhadap suatu akibat yang menurut akal
orang pada umumnya pasti terjadi oleh dilakukannya suatu perbuatan
tertentu.

Apabila

perbuatan

tertentu

yang

disadarinya

pasti

menimbulkan akibat yang tidak dituju itu, dilakukannya juga, maka
disini terdapat kesengajaan sebagai kepastian.
Misalnya: A bermaksud membunuh B dengan menggunakan sebuah
pistol, sedangkan B berada di balik sebuah kaca. Sebelum menggunakan
senjatanya, disadarinya bahwa dengan tembakan yang dilakukannya
akan berakibat pecahnya kaca itu. Kesadaran akan pecahnya kaca ini
adalah kesengajaan sebagai kepastian.
3. Kesengajaan sebagai kemungkinan (opzet bij mogelijkheidshewustjizn)
disebut juga dengan dolus eventualis
Yaitu kesengajaan untuk melakukan perbuatan yang diketahuinya
bahwa ada akibat lain yang mungkin dapat timbul yang ia tidak
inginkan dari perbuatan, namun begitu besarnya kehendak untuk
mewujudkan perbuatan, ia tidak mundur dan siap mengambil risiko
untuk melakukan perbuatan itu.
Misalnya: Arrest Kue Hoornse ( 19 Juni 1911)

Universitas Sumatera Utara

21

Di kota Hoorn, seorang berkehendak membunuh orang yang dibencinya
dengan cara mengirimkan kue tar yang di dalamnya telah diisi racun
yang mematikan. Setelah kue itu dikirim dan diterima oleh musuhnya
itu, ternyata kue tidak dimakan oleh yang dituju, melainkan dimakan
oleh istrinya, dan matilah sang istri. HR dalam putusannya menyatakan
bahwa pengirim kue telah melakukan: (a) pembunuhan berencana
terhadap istri; dan (b) percobaan pembunuhan terhadap suami. 21
Unsur kedua dari kesalahan (schuld) adalah kealpaan (culpa). Bila
kesengajaan adalah dikehendaki, maka kealpaan adalah tidak dikehendaki.
Kealpaan adalah bentuk kesalahan yang lebih ringan dari kesengajaan, sehingga
sanksi atau ancaman hukuman terhadap pelanggaran norma pidana yang
dilakukan dengan kealpaan pun lebih ringan.
Menurut Simons kealpaan adalah: 22
“Umumnya kealpaan itu terdiri dari dua bagian, yaitu tidak berhati-hati
melakukan suatu perbuatan, disamping dapat menduga akibat perbuatan
itu. Namun, meskipun suatu perbuatan dilakukan dengan hati-hati, masih
mungkin juga terjadi kealpaan jika yang berbuat itu telah mengetahui
bahwa dari perbuatan itu mungkin akan timbul suatu akibat yang dilarang
undang-undang.”
2. Unsur Objektif
Sebagaimana di bagian muka telah diterangkan bahwa di dalam rumusan
tindak pidana selalu dirumuskan unsur tingkah laku atau perbuatan. Keduaduanya menjadi suatu kesatuan yang tidak terpisahkan, dan menjadi unsur
esensialia atau mutlak tindak pidana. Unsur objektif ini berasal dari luar diri
pelaku, terdiri atas:
1. Perbuatan manusia, berupa:
a. Act, yaitu perbuatan aktif atau perbuatan positif;

21
22

Moeljatno, Op.Cit, hal. 176
Leden Marpaung, Op.Cit, hal. 25

Universitas Sumatera Utara

22

b. Omission, yaitu perbuatan pasif atau perbuatan negatif, seperti
mendiamkan atau membiarkan.
2. Akibat (result) perbuatan manusia
Akibat tersebut membahayakan atau merusak, bahkan menghilangkan
kepentingan-kepentingan yang dipertahankan oleh hukum, misalnya
nyawa, badan, kemerdekaan, hak milik, kehormatan, dan sebagainya.
3. Sifat dapat dihukum dan sifat melawan hukum
Sifat dapat dihukum berkenaan dengan alasan-alasan yang membebaskan
si pelaku dari hukuman. Adapun sifat melawan hukum, yakni berkenaan
dengan larangan atau perintah
Semua unsur tindak pidana yang telah diuraikan tersebut merupakan satu
kesatuan. Salah satu unsur saja tidak terbukti, dapat menyebabkan terdakwa
dibebaskan dari pengadilan.

b. Kejahatan Mayantara (Cybercrime)
Mengingat kejahatan merupakan gejala sosial, maka Muladi dan Barda
Nawawi Arief mengemukakan, pemahaman terhadap kejahatan harus didasarkan
pada konsep kejahatan sebagai penyakit individual (the personal disease), gejala
patologi individu atau manusia (a human or individually pathological
phenomenon), yang kemudian diseimbangkan dengan konsepsi kejahatan sebagai
penyakit sosial (a socially pathological phenomenon). 23 Begitu pula dalam
penanggulangan kejahatan seyogyanya didasarkan pada hasil studi interdisipliner.

23

Muladi dan Barda Nawawi Arief, Op.Cit, hal.169

Universitas Sumatera Utara

23

Sejalan dengan kemajuan teknologi informasi, telah muncul beberapa
kejahatan yang mempunyai karakteristik yang sama sekali baru. Kejahatan
tersebut adalah kejahatan yang timbul sebagai akibat penyalahgunaan jaringan
internet, yang membentuk cyber space (ruang siber). Kejahatan ini (cyber crime)
sering dipersepsikan sebagai kejahatan yang dilakukan dalam ruang atau wilayah
siber.
Pada perkembangannya internet ternyata membawa sisi negatif, dengan
membuka peluang munculnya tindakan-tindakan anti sosial yang selama ini
dianggap tidak mungkin terjadi atau tidak terpikirkan akan terjadi. Sebuah teori
menyatakan, crime is product of society its self, yang secara sederhana dapat
diartikan bahwa masyarakat itu sendirilah yang menghasilkan kejahatan.
Kejahatan yang lahir sebagai dampak negatif dari perkembangan aplikasi
internet ini sering disebut dengan cyber crime. 24 Dari pengertian ini tampak
bahwa cyber crime mencakup semua jenis kejahatan beserta modus operandinya
yang dilakukan sebagai dampak negatif aplikasi internet.
The US Department of Justice memberikan pengertian computer crime
sebagai: 25
“Any illegal act requiring knowledge of computer for its perpetration,
investigation, or prosecution”, artinya “setiap perbuatan melanggar
hukum

yang

memerlukan

pengetahuan

tentang

komputer

untuk

menangani, menyelidiki dan menuntutnya.”

23

Ari Juliano Gema, Cyber crime: Sebuah Fenomena di Dunia Maya, dapat dijumpai
dalam situs internet: http//www.theceli.com/dokumen/jurnal/ajo/a002.shtml diakses tanggal 11
April 2013, pukul 17.00 WIB
25
Ibid

Universitas Sumatera Utara

24

Indra Safitri mengemukakan kejahatan dunia maya adalah: 26
“Jenis kejahatan yang berkaitan dengan pemanfaatan sebuah teknologi
informasi tanpa batas serta memiliki karakteristik yang kuat dengan
sebuah rekayasa teknologi yang mengandalkan kepada tingkat keamanan
yang tinggi dan kredibilitas dari sebuah informasi yang disampaikan dan
diakses oleh pelanggan internet.”
Dalam laporan Kongres PBB X/2000 dinyatakan: 27
“Cyber crime atau computer-related crime, mencakup keseluruhan bentukbentuk baru dari kejahatan yang ditujukan pada komputer, jaringan
komputer dan para penggunanya, dan bentuk-bentuk kejahatan tradisonal
yang sekarang dilakukan dengan menggunakan atau dengan bantuan
peralatan komputer.”

Muladi dalam bukunya yang ditulis bersama Barda Nawawi Arief, “Bunga
Rampai Hukum Pidana” memandang cyber crime dengan pendekatan computer
crime (kejahatan komputer). Namun demikian, cyber crime sesungguhnya
berbeda dengan computer crime. 28
Walaupun begitu, sesungguhnya memang ada upaya untuk memperluas
pengertian komputer agar dapat melingkupi segala kejahatan di internet dengan

26

Indra Safitri, Tindak Pidana di Dunia Cyber, 1999, Insider,Legal Journal From
IndonesianCapital&InvestmentMarket,situsinternet:http//business.fourtunecity.com/buffet/842/art1
80199_tindak pidana.html, diakses tanggal 10 Mei 2013, Pukul 13.45 WIB
27
Barda Nawawi Arief, Kapita Selekta Hukum Pidana, Citra Aditya Bakti, Bandung,
2003, hal. 259
28
Agus Raharjo, Op.Cit, hal. 228

Universitas Sumatera Utara

25

peralatan apapun, seperti pengertian komputer dalam The Proposed West Virginia
Computer Crimes Act;
“An electronic, magnetic, optical, electrochemical or other high speed
data processing device performing logical, arithmetic, or storage
functions, and includes any data storage facility or communications
facility directly related to or operating in conjunction with such device,
but such term does not include an automated typewriter or type-setter, a
portable hand-held calculator, or other similar device.”
Terjemahannya: Peralatan pemerosesan data listrik, magnetik, optic,
elektro kimia, atau peralatan kecepatan tinggi lainnya dalam melakukan
logika aritmatika, atau fungsi penyimpanan dan memasukkan beberapa
fasilitas penyimpanan data atau fasilitas komunikasi yang secara langsung
berhubungan dengan operasi tersebut dalam konjungsi dengan peralatan
tersebut tidak memasukkan mesin ketik otomatis atau tipe-setter, sebuah
kalkulator tangan atau peralatan serupa lainnya.
Pendapat yang mengidentikkan cyber crime dengan computer crime dapat
dipahami dengan menggunakan pendekatan pemaknaan komputer yang diperluas
seperti pengertian tersebut di atas.
Belum ada kesepakatan mengenai definisi tentang cyber crime atau
kejahatan dunia siber, sebagaimana yang dikatakan oleh Muladi, “ Sampai saat ini
belum ada definisi yang seragam tentang cyber crime baik nasional maupun
global. 29 Ungkapan senada juga dinyatakan oleh Agus Raharjo, bahwa istilah
cyber crime sampai saat ini belum ada kesatuan pendapat bahkan tidak ada
pengakuan internasional mengenai istilah baku, tetapi ada yang menyamakan
istilah cyber crime dengan computer crime.
Barda Nawawi Arief menggunakan istilah “tindak pidana mayantara”
untuk menyebut cyber crime. Beliau mengatakan, dengan istilah “tindak pidana

29

http://www.suaramerdeka.com/harian/0207/24/nas13.htm, diakses tanggal 11 April
2013, pukul 16.45 WIB

Universitas Sumatera Utara

26

mayantara” dimaksudkan identik dengan tindak pidana di ruang siber (cyber
space) atau yang biasa juga dikenal dengan istilah “cyber crime”.
Cyber space (ruang siber) itu bersifat global, artinya tidak terikat pada
yurisdiksi nasional suatu negara. Hal ini dikarenakan bahwa cyber space ini
tercipta oleh adanya jaringan internet. 30 Internet itu merupakan medium
komunikasi elektronik global yang merupakan perwujudan dari gabungan semua
jaringan komputer yang ada di dunia (gigantic network), otomatis keberadaannya
dimiliki oleh setiap orang atau pihak-pihak yang membangunnya secara personal,
namun pada saat pengoperasiannya dan pemanfaatannya adalah merupakan
kepentingan global.
Kaitan antara cyber crime dengan computer crime dapat disimpulkan
bahwa cyber crime termasuk bagian dari computer crime. Singkatnya cyber crime
bisa disebut juga sebagai computer crime. Dalam perspektif ini bisa dipahami bila
cyber crime diidentikkan dengan computer crime. Tapi dalam perkembangannya
identifikasi ini tidak relevan lagi karena pelaku tidak harus menggunakan
komputer sebagai alat dalam aksinya. 31
Cyber crime merupakan gejala sosial (social phenomenon) yang sudah
mengarah pada ranah hukum pidana, yaitu berupa kejahatan (crime). Cyber crime
bukan hanya dianggap sebagai permasalahan individual, atau lokal, atau nasional,
atau regional, melainkan sudah menjadi permasalahan global. Setiap negara
mestinya peduli untuk menanggulangi kejahatan teknologi tinggi tersebut (high-

30
31

Agus Raharjo, Op.Cit, hal. 91
Ari Juliano Gema, Op.Cit

Universitas Sumatera Utara

27

tech crime), baik melalui kebijakan non-hukum pidana (nonpenal policy) maupun
kebijakan hukum pidana (penal policy). 32

c. Tindak Pidana Prostitusi Online (Cyber)
Berbagai

delik

kesusilaan

yang

dikemukakan

dalam

kejahatan

konvensional seperti yang tertuang dalam KUHP, dapat juga terjadi di ruang maya
(cyber space), terutama yang berkaitan dengan masalah pornografi, mucikari/calo,
pelanggaran

kesusilaan/percabulan/perbuatan

tidak

senonoh/zina.

Semakin

maraknya pelanggaran kesusilaan di dunia cyber ini, terlihat dengan munculnya
berbagai istilah seperti: cyber pornography (khususnya child pornography), online pornography, cyber-sex, cyber sexer, cyber lover, cyber romance, cyber
affair, on-line romance, sex on-line, cyber sex addicts.
Salah satu masalah cyber crime yang juga sangat meresahkan dan
mendapat perhatian berbagai kalangan adalah masalah cyber crime di bidang
kesusilaan. Jenis cyber crime di bidang kesusilaan yang sedang diungkapkan
adalah cyber pornography (khususnya child pornography) dan cyber sex.
Pelanggaran kesusilaan termasuk di dalamnya cyberporn dan prostitusi
dengan menggunakan sarana elektronik atau internet. Prostitusi merupakan
masalah yang tidak hanya melibatkan pelacurnya saja, tetapi lebih dari itu yaitu
merupakan suatu kegiatan yang melibatkan banyak orang seperti germo, para
calo, serta konsumen-konsumen yang sebagian besar pelakunya merupakan laki-

32

Widodo, Aspek Hukum Pidana Kejahatan Mayantara, Aswaja Pressindo, Yogyakarta,
2013, hal. 39

Universitas Sumatera Utara

28

laki yang sering luput dari perhatian aparat penegak hukum. Di Indonesia
pemerintah tidak secara tegas melarang adanya praktek-praktek pelacuran.
Prostitusi cyber berasal dari dua kata yang masing-masing dapat berdiri
sendiri yakni prostitusi dan cyber. Prostitusi adalah istilah yang sama dengan
pelacuran. Pelacuran menurut Soerjono Soekanto dapat diartikan sebagai suatu
pekerjaan yang bersifat menyerahkan diri kepada umum untuk melakukan
perbuatan-perbuatan seksual dengan mendapat upah.
Istilah prostitusi cyber menggambarkan tempat dimana aktivitas ini
dilakukan. Cyber adalah istilah yang digunakan orang untuk menyatakan sesuatu
yang berhubungan dengan internet atau dunia maya.
Budi Rahardjo menyatakan bahwa kata cyber berasal dari kata cybernetics,
merupakan suatu bidang ilmu yang merupakan perpaduan antara robotik,
matematika, elektro dan psikologi yang dikembangkan oleh Norbert Wiener di
tahun 1948. 33 Salah satu aplikasi dari cybernetics adalah di bidang pengendalian
(robot) dari jarak jauh. Dalam hal ini tentunya yang diinginkan adalah sebuah
kendali yang betul-betul sempurna (perfect control). Karenanya sedikit
mengherankan jika kata “cyberspace” yang berasal dari kata “cyber” tidak dapat
dikendalikan. Cyber space dapat diatur, meskipun pengaturannya membutuhkan
pendekatan yang berbeda dengan cara yang digunakan untuk mengatur dunia
maya.
Prostitusi cyber adalah kegiatan menawarkan jasa pelayanan seksual
melalui dunia maya. Melihat stratifikasi praktik prostitusi sebagaimana yang
33

Budi Rahardjo, 2003, “Pernak pernik Peraturan dan Pengaturan Cyberspace di
Indonesia”, Serial Online, available from : URL: http://www.budi.insan.co.id, diakses tanggal 15
Mei 2013, pukul 13.30 WIB

Universitas Sumatera Utara

29

dikemukakan di atas sebelumnya, maka prostitusi cyber berada pada praktik
prostitusi dengan posisi tertinggi dimana pelacur dapat dipesan melalui media
cyber.
Prostitusi cyber merupakan bagian dari cyber crime yang menjadi sisi
gelap dari aktivitas di dunia maya. Barda Nawawi Arief bahkan dengan tegas
menggolongkannya sebagai cyber crime di bidang kesusilaan atau secara
sederhana diistilahkan dengan cyber sex. Lebih lanjut beliau dengan mengutip
pendapat dari Peter Davif Goldberg mengatakan bahwa cyber sex adalah
penggunaan internet untuk tujuan-tujuan seksual (the use of the internet for sexual
purposes). Pandangan yang sama juga dikemukakan oleh David Greenflied yang
mengatakan bahwa cyber sex adalah menggunakan komputer untuk setiap bentuk
ekspresi atau kepuasan seksual (using the computer for any form of sexual
expression or gratification). Dikemukakan juga olehnya, bahwa cyber sex dapat
dipandang sebagai kepuasan/kegembiraan maya (virtual gratification), dan suatu
bentuk dari keintiman (a new type of intimacy). Patut dicatat juga bahwa
hubungan intim atau keintiman (intimacy) itu dapat juga mengandung arti
hubungan seksual atau perzinahan. Ini berarti cyber sex merupakan bentuk baru
dari perzinahan. Dengan demikian prostitusi cyber merupakan aktivitas prostitusi
yang dilakukan melalui media internet dengan sistem operasi di cyber space. 34
Saat pelacuran telah dianggap sebagai salah satu komoditas ekonomi
(bisnis gelap) yang sangat menguntungkan, maka yang akan terjadi persaingan
antara para pemain dalam bisnis pelacuran tersebut untuk merebut pasar. Apabila

34

Barda Nawawi Arief, Op.Cit, 2006, hal.179

Universitas Sumatera Utara

30

persaingan telah mewarnai bisnis pelacuran, yang terjadi adalah usaha setiap
pemain bisnis pelacuran dapat memberikan pelayanan yang lebih baik dari para
pesaingnya. Untuk bisnis pelacuran, baik tidaknya pelayanan ditentukan oleh
umur yang relatif muda, warna kulit, status, kecantikan dan kebangsaan dari setiap
wanita yang ditawarkan dalam bisnis pelacuran tersebut. Tentulah tidak mudah
untuk mendapatkan pelayanan yang baik tersebut, mengingat tidak semua wanita
mau bekerja dalam bisnis pelacuran. Untuk mengatasi permasalahan ini para
pebisnis yang bergelut dalam bisnis pelacuran cenderung mengambil jalan pintas
dengan berbagai cara untuk mendapatkan apa yang diinginkannya itu.
Semakin berkembangnya teknologi menyebabkan semakin merebaknya
bisnis prostitusi karena dapat memanfaatkan sarana internet dalam bertransaksi
dan penawaran prostitusi. Konsumen dapat dengan mudah memilih melalui
gambar-gambar dan foto-foto bahkan tanpa busana atau dengan pakaian minim
yang tersedia dalam jaringan situs internet antara lain pebisnis prostitusi
menggunakan sarana Facebook. Oleh sebab itu, pemerintah membentuk UndangUndang Informasi dan Transaksi Elektronik Nomor 11 Tahun 2008 karena
semakin maraknya prostitusi melalui jaringan Facebook. Bahkan anak-anak
remaja semakin banyak yang terjerat dalam kasus prostitusi melalui situs online
internet. Pelacuran via internet kini menjadi trend bisnis prostitusi. Pengelola
bisnis prostitusi ini memanfaatkan domain gratis sebagai wadah memasarkan “hot
produk-nya”.
Namun walaupun telah diundangkannya Undang-Undang Nomor 11
Tahun 2008 belum berlaku efektif dalam menjerat dan menanggulangi bisnis

Universitas Sumatera Utara

31

prostitusi melalui online karena akses situs Facebook melalui chatingnya tidak
dapat dikontrol dan kurangnya perhatian juga dari Facebook sendiri guna
mengontrol para pengguna situsnya. Ada banyak akun Facebook yang
menawarkan dan memasang foto-foto gadis lengkap dengan data diri dan info
kontak yang bisa setiap saat kita hubungi baik lewat HP maupun email dan secara
jelas melakukan penawaran terhadap dirinya, bahwa memang dia adalah seorang
wanita penghibur yang bisa di kontak kapan saja asalkan sesuai harga
kesepakatan. Hal ini jelas merupakan satu bentuk prostitusi yang memanfaatkan
jasa

jejaring

sosial

Facebook

yang

disalah

gunakan

secara

tidak

bertanggungjawab.
Maraknya praktik prostitusi di dunia maya mendapat perhatian serius dari
aparat kepolisian. Jumlah website yang menyediakan konten pornografi
meningkat hingga 70 persen. Pornografi juga masih menjadi konsumsi tertinggi
bagi para pengakses internet. Bahkan, 12 persen situs di dunia mengandung
pornografi Beberapa akun jejaring sosial, termasuk Facebook. Setiap harinya
sebanyak 266 situs porno baru muncul dan diperkirakan ada 372 juta halaman
website pornografi, sebanyak 25 persen pengguna memanfaatkan search engine
untuk mencari halaman pornografi. 35

35

http://www.antaranews.com/berita/1267024044/internet-sehat-kurangipenyalahgunaan jejaring-sosial, diakses tanggal 11 April 2013, Pukul 16.45 WIB

Universitas Sumatera Utara

32

3.

Kebijakan Hukum Pidana dalam Penanggulangan Kejahatan
1

Upaya Penal (Penal Policy)
Istilah “kebijakan” berasal dari bahasa Inggris “policy” atau bahasa

Belanda “politiek”. Istilah ini dalam bahasa Indonesia sering diterjemahkan
dengan kata “politik”, oleh karena itu kebijakan hukum pidana biasa juga disebut
politik hukum pidana. Berbicara mengenai politik hukum pidana, maka tidak
terlepas dari pembicaraan mengenai