KEBIJAKAN HUKUM PIDANA DALAM PENANGGULANGAN KASUS PROSTITUSI DI WILAYAH HUKUM DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA

(1)

KEBIJAKAN HUKUM PIDANA DALAM PENANGGULANGAN KASUS PROSTITUSI DI WILAYAH HUKUM

DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA

SKRIPSI

Skripsi ini disusun untuk melengkapi salah satu syarat dalam memperoleh gelar Sarjana Hukum pada Fakultas Hukum Universitas Muhammadiyah Yogyakarta.

Disusun Oleh:

Nama : Yusuf Khairul Gunawan NIM : 20120610202

Fakultas : Hukum Jurusan : Ilmu Hukum Bagian : Hukum Pidana

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH YOGYAKARTA TAHUN 2016


(2)

KEBIJAKAN HUKUM PIDANA DALAM PENANGGULANGAN KASUS PROSTITUSI DI WILAYAH HUKUM

DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA

SKRIPSI

Skripsi ini disusun untuk melengkapi salah satu syarat dalam memperoleh gelar Sarjana Hukum pada Fakultas Hukum Universitas Muhammadiyah Yogyakarta.

Disusun Oleh:

Nama : Yusuf Khairul Gunawan NIM : 20120610202

Fakultas : Hukum Jurusan : Ilmu Hukum Bagian : Hukum Pidana

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH YOGYAKARTA TAHUN 2016


(3)

PERNYATAAN KEASLIAN PENULISAN SKRIPSI Bismillahirrahmanirrahim

Saya yang bertanda tangan di bawah ini:

Nama : Yusuf Khairul Gunawan

NIM : 20120610202

Judul Skripsi KEBIJAKAN HUKUM PIDANA

DALAM PENANGGULANGAN

KASUS PROSTITUSI DI WILAYAH

HUKUM DAERAH ISTIMEWA

YOGYAKARTA

Menyatakan dengan sesungguhnya bahwa penulisan skripsi ini adalah betul-betul hasil karya dari saya sendiri berdasarkan hasil penelitian, pemikiran dan pemaparan asli dari saya sendiri. Hal-hal yang bukan karya saya dalam penulisan skripsi ini diberi tanda citasi dan ditunjukan dalam daftar pustaka. Apabila dikemudian hari terbukti pernyataan saya tidak benar, maka saya bersedia menerima sanksi akademik berupa pencabutan penulisan skripsi dan gelar yang saya peroleh dari penulisan hukum skripsi ini.

Yogyakarta, 6 September 2016 Yang menyatakan

Yusuf Khairul Gunawan 20120610202


(4)

MOTTO

ىَل َعَتَف

ُهَّا

ُهكِلَ ْلا

ُ قَحْلا

ا َو

ُْلَجْعَت

ُِ آْ هقْل ِب

ُْنِم

ُِلْبَق

ُْ َأ

ىَضْقهي

َُكْيَلِإ

ُهههيْح َو

ُْلهق َو

ُ ِ َر

يِنْد ِ

ً ْلِع

(

١١٤

)

“ Maha Tinggi Allah raja yang sebenar

-benarnya, dan janganlah kamu

tergesa-

gesa membaca Al Qur’an sebelum disempurnakan

mewahyukannya kepadamu, dan Katakanlah: “Ya Tuhanku,

tambahkanlah kepadaku ilmu pengetahuan.”

(Q.S Thaha Ayat 114 : 20)

Melakukan Hal Buruk Hanya Akan Membuatmu Terpuruk,

Lakukan Hal Baik Maka Kamu Akan Naik

(Yusuf Khairul Gunawan)

Majulah Tanpa Menyingkirkan, Naiklah Tanpa Menjatuhkan

(Yusuf Khairul Gunawan)


(5)

HALAMAN PERSEMBAHAN

Kupersembahkan penulisan hukum (skripsi) ini kepada :

Seseorang yang telah mempertaruhkan hidup dan matinya ketika melahirkanku dan selalu menasehatiku untuk orang yang lebih baik, yaitu Ibunda tercinta

Seseorang yang selalu mengorbankan seluruh hidupnya untuk memenuhi kebutuhanku, yaitu Ayahandaku tercinta

Seseorang yang aku sayangi dari dia kecil, selalu memberikan support dan semangatku, yaitu Adikku tercinta.


(6)

DAFTAR ISI

Halaman

HALAMAN JUDUL ... i

HALAMAN PERSETUJUAN ... ii

HALAMAN PENGESAHAN ... iii

PERNYATAAN KEASLIAN SKRIPSI ... iv

HALAMAN MOTTO ... v

HALAMAN PERSEMBAHAN ... vi

KATA PENGANTAR ... vii

DAFTAR ISI ... xii

DAFTARTABEL ... xv

ABSTRAK ... xvi

BAB I PENDAHULUAN ... 1

A. Latar Belakang Masalah ... 1

B. Rumusan Masalah ... 6

C. Tujuan Penelitian... 6

D. Tinjauan Pustaka ... 6

E. Metode Penelitian ... 12

F. Sistematika Penulisan ... 16

BAB II KEBIJAKAN HUKUM PIDANA ... 18


(7)

B. Kebijakan Pidana tentang Prostitusi dalam KUHP dan RUU KUHP ... 25

C. Kebijakan Kriminalisasi dan Penentuan Delik dalam Prostitusi ... 29

D. Prostitusi dalam Perspektif Hukum Pidana Islam ... 35

BAB III JENIS PROSTITUSI DAN UPAYA PENANGGULANGANNYA .. 39

A. Pengertian dan Ciri Prostitusi ... 39

B. Jenis Prostitusi ... 42

C. Penyebab Timbulnya Prostitusi ... 46

D. Akibat Prostitusi ... 48

E. Penanggulangan Prostitusi ... 50

BAB IV HASIL DAN ANALISIS DATA ... 54

A. Kebijakan Hukum Pidana dalam Penanggulangan Prostitusi ... 54

1.Kebijakan Hukum Pidana dalam Penanggulangan Prostitusi di Kabupaten Bantul ... 55

2.Kebijakan Hukum Pidana dalam Penanggulangan Prostitusi di Kabupaten Sleman ... 65

3.Kebijakan Hukum Pidana dalam Penanggulangan Prostitusi oleh Polda DIY ... 71

B. Kendala Penegakan Hukum terhadap Pelaku Prostitusi ... 74

1.Penegakan Hukum terhadap Pelaku Prostitusi di Kabupaten Bantul ... 75

2.Penegakan Hukum terhadap Pelaku Prostitusi di Kabupaten Sleman ... 84


(8)

BAB V PENUTUP ... 91

A. Kesimpulann ... 91 B. Saran ... 92

DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN


(9)

DAFTAR TABEL

Tabel 1 ... ... 57 Tabel 2 ... ... 59 Tabel 3 ... ... 67


(10)

(11)

xvi

ABSTRAK

Prostitusi merupakan penyakit masyrakat/penyimpangan sosial masyarakat yang dilakukan secara terorganisir yang terdiri dari mucikari, Pekerja Seks Komersial (PSK), dan lelaki hidung belang. Aturan hukum pidana dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) hanya mengatur mengenai mucikari, belum mengatur tentang PSK dan lelaki hidung belang. Belum adanya aturan mengenai PSK dan lelaki hidung belang di hukum positif Indonesia mengakibatkan praktek prostitusi ini tetap ada di tengah-tengah kehidupan bermasyarakat. Tujuan dari penulis dari penulisan ilmiah ini yaitu untuk mengetahui bagaimana kebijakan hukum pidana dalam penanggulangan kasus prostitusi dan kendala apa saja dalam penanggulangan masalah di wilayah hukum Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY).

Penulisan ilmiah ini menggunakan metode Pendekatan Perundang-undangan dan metode perbandingan mengenai aturan hukum yang satu dengan yang lainnya dengan cara mencari data-data faktual yang ada dalam peraturan perundang-undangan yang terkait dengan prostitusi untuk membantu penulis dalam melakukan analisis. Setelah melakukan penelitian di lokasi wilayah hukum Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) dengan mengambil sampel Kabupaten Bantul karena sudah memiliki peraturan mengenai larangan prostitusi dan Kabupaten Sleman sebagai sampel dari wilayah Kabupaten Kulonprogo, Gunung Kidul, dan Kota Yogyakarta yang belum memiliki peraturan mengenai larangan prostitusi. Kabupaten Sleman dipilih sebagai yang mewakili dari Kabupaten Kulonprogo, Gunung Kidul, dan Kota Yogyakarta karena di Kabupaten Sleman sudah terdapat permasalahan kasusnya sementara yang lain belum ada.

Wilayah DIY yang terdiri dari empat Kabupaten (Bantul, Sleman, Kulonprogo, Gunung Kidul) dan satu Kota Madya (Kota Yogyakarta) hanya kabupaten Bantul yang memiliki peraturan larangan prostitusi yaitu dengan adanya Perda Kabupaten Bantul No 5 tahun 2007, sementara lima wilayah lain termasuk kota Yogyakarta belum memiliki aturan mengenai larangan prostitusi. Kabupaten Sleman dipilih sebagai sampel dari wilayah kulonprogi, Gunung Kidul dan Kota Yogyakarta karena terdapat kasus mengenai prostitusi yang wilayahnya tetapi belum memiliki aturan mengenai larangan prostitusi, sehingga untuk menindak pelaku hanya bisa secara administratif dengan perda izin gangguan untuk praktek prostitusi dengan modus tempat usaha. Diperlukan kebijakan hukum seperti yang ada di Kabupaten Bantul untuk menanggulangi permasalahan prostitusi sehingga para pelakunya dapat ditindak secara hukum. Aturan mengenai prostitusi yang belum dimiliki oleh beberapa wilayah di provinsi DIY menjadi kendala nyata masih adanya praktek prostitusi di tengah-tengah kehidupan masyarakat.

Kata kunci : Prostitusi, kebijakan hukum pidana, mucikari, PSK, lelaki hidung belang.


(12)

1

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Dewasa ini di Indonesia Kejahatan Tindak Pidana yang terjadi di masyarakat sudah semakin kompleks yang mengakibatkan hukum yang mengatur untuk mecegah terjadinya tindak pidana tersebut semakin banyak. Kejadian yang terjadi di masyarakat merupakan efek dari perubahan atau globalisasi yang tidak mengenal batasan ruang dan waktu. Efek dari hal tersebut mengakibatkan hukum yang sudah ada tidak mampu untuk mencegah tindak pidana yang semakin berkembang akan menimbulkan dampak yang meresahkan masyarakat.

Diperlukan suatu kebijakan hukum pidana untuk menanggulangi dan mengatasi persoalan prostitusi yang semakin meresahkan masyarakat. Hal ini dikarenakan hukum yang digunakan untuk mencegah terjadinya tindak pidana yang ada di Indonesia merupakan warisan Belanda pada masa penjajahan dahulu, sehingga perlu adanya perubahan atau penambahan mengenai ketentuan-ketentuan yang ada di dalamnya untuk mengimbangi tindak-tindak pidana baru yang bermunculan seperti masa sekarang ini. Banyak pelaku tindak pidana baru yang belum bisa dijerat dengan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) sebagai hukum pidana yang masih digunakan seperti sekarang ini. Diperlukan suatu kebijakan hukum terutama di dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana untuk menanggulangi tindak kejahatan seperti prostitusi. Akan tetapi perlu adanya kajian lebih lanjut mengenai ketentuan-ketentuan yang ada di dalamnya sebagai pertimbangan hukum bagi hakim untuk menentukan dan memutuskan suatu perkara


(13)

2

tindak pidana. Menurut Marc Ancel diperlukan suatu kebijakan hukum pidana atau

dikenal dengan “penal policy” yang berarti suatu ilmu sekaligus seni yang pada

akhirnya mempunyai tujuan praktis untuk memungkinkan peraturan hukum positif dirumuskan secara lebih baik dan untuk memberi pedoman tidak hanya kepada pembuat undang, tetapi juga kepada pengadilan yang menerapkan undang-undang dan juga kepada penyelenggara atau pelaksana putusan pengadilan.1

Dalam kehidupan bermasyarakat banyak kejahatan yang belum bisa diatasi oleh hukum positif yang ada. Apabila terjadi pelanggaran atau kejahatan oleh masyarakat yang dimana hal tersebut belum diatur oleh Undang-Undang yang ada maka hukuman yang diberikan bagi yang melanggar adalah sanksi sosial dari masyarakat dengan tidak ada batasan waktu serta kewajiban apa yang harus ditanggung bagi yang melanggar. Diperlukan usaha dan kebijakan untuk membuat peraturan hukum pidana yang baik pada hakikatnya tidak dapat dilepaskan dari penanggulangan kejahatan yang dalam hal ini adalah prostitusi.2 Banyak kejahatan yang terjadi di masyarakat yang hanya diselesaikan dengan norma-norma dan hukum adat kebiasaan yang berlaku di masyarakat, misalanya dalam kasus prostitusi, seseorang yang terlibat dalam kasus prostitusi hanya akan mendapatkan sanksi sosial dari masyarakat. Hal ini merupakan permasalahan yang timbul karena hukum yang tidak mengikuti pola perkembangan kejahatan yang semakin maju karena perkembangan zaman. KUHP sebagai salah satu pendoman untuk menyelesaikan persoalan tersebut hanya dapat memberikan sanksi kepada mucikari atau penyedia jasanya saja. Belum adanya kebijakan hukum yang mengatur secara

1 Barda Nawawi Arief, Kebijakan Hukum Pidana (Perkembangan Penyusunan Konsep KUHP

Baru), Semarang, Prenadamedia Group, 2014, hlm. 23.


(14)

3

tegas mengenai larangan prostitusi, hanya disebutkan dalam Pasal 296 dan 506 KUHP yang hanya menyebut si mucikari (penyedia jasa). Akibat dari kebijakan hukum pidana yang belum mengatur prostitusi menyebabkan belum efektinya kebijakan hukum yang ada, oleh sebab itu muncul beberapa peraturan di daerah provinsi maupun kabupaten misalnya seperti Perda Bantul No 5 Tahun 2007 tentang larangan prostitusi. Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta dulunya mempunyai Perda No 18 Tahun 1954 tentang Larangan Pelacuran di Tempat Umum, akan tetapi karena terbenturnya aturan Perda DIY No 18 Tahun 1954 hanya mengatur megenai pelacuran yang dilakukan di tempat umum sehingga untuk sekarang Perda tersebut sudah dihapusakan. Prostitusi tidak hanya mucikari atau penyedia jasa saja yang andil dalam praktek haram tersebut. Dalam prostitusi terdapat beberapa pihak yang saling berkaitan satu sama lain dalam melakukan tindakan prostitusi tersebut, antara lain ada mucukari, Pekerja Seks Komersial (PSK), dan lelaki hidung belang. Mucikari disini bertugas sebagai penyedia jasa bagi para lelaki hidung belang yang menginginkan kepuasan seksualnya. PSK bertindak sebagai seorang perempuan yang menjual dirinya untuk melayani aktivitas seksual para lelaki hidung belang dengan maksud untuk mendapatkan upah atau imbalan atas jasa yang diberikannya. Sedangkan yang dimaksud dengan lelaki hidung belang adalah seorang laki-laki yang menyukai wanita bukan karena cinta melakinkan karena nafsu seksual yang dimilikinya lebih daripada laki-laki normal lainnya. Rangkaian proses tersebut merupakan alur untuk mencapai suatu tujuan yang menguntungkan masing-masing pihak baik dari mucikari, PSK, dan lelaki hidung belang.


(15)

4

Fenomena prostitusi bukan lagi menjadi hal tabu untuk dibicarakan oleh banyak pihak. Sejak terkuaknya kasus prostitusi di dunia maya yang melibatkan artis berinisial AA, prostitusi menjadi bahan perbincangaan yang menarik bagi akademisi, praktisi dan aparat yang mengkritik mengenai kasus prostitusi tersebut. Dapat dilihat seiring dengan berjalannya waktu, pembicaraan di media terkait prostitusi yang melibatkan AA ini hanya menjerat sang mucikari yang berinisial RA sang mucikari karena dalam hukum pidana di Indonesia berdasarkan Pasal 296 dan Pasal 506 KUHP yang dapat dijerat dengan hukum adalah mucikari atau si penyedia jasa prostitusi dengan hukuman maksimal satu tahun empat bulan dan denda Rp 15.000,00 rupiah.3

Hal ini menjadi concern tersendiri bagi Senator dari Provinsi DKI Jakarta,

Fahira Idris. Menurut beliau “Tidak tegasnya aturan hukum kita terkait prostitusi

menjadi faktor yang sangat signifikan maraknya prostitusi terutama prostitusi

online,” kata beliau dalam diskusi yang bertajuk “Fenomena Prostitusi Gaya Baru”

di Komplek Parlemen di Jakarta, Rabu (27/5).4 Perlu adanya pembaharuan atau

revisi atau bahkan membuat aturan baru yang pokoknya untuk menangani kasus prostitusi karena hukum yang digunakan sekarang untuk menjerat pelaku prostitusi belum mencerminkan nilai keadilan terutama keadilan sosial. Hal ini bisa dilihat sesuai apa yang telah disampaikan penulis di atas bahwa yang dapat dijeran dengan

3 Dini Nurilah, Merebaknya Bisnis Prostitusi Online di Ibukota, 19 Mei 2015,

http://news.liputan6.com/read/2234578/merebaknya-bisnis-prostitusi-online-di-ibukota, diunduh pada hari Rabu 3 Agustus 2016, jam 22:17 WIB.

4 Fahira Idris, Perlu Ada Sanksi Tegas Bagi Pelanggan PSK, 27 Mei 2015,

http://www.hukumonline.com/berita/baca/lt55659d405ce5c/perlu-ada-sanksi-tegas-bagi- pelanggan- psk., diunduh pada hari Rabu 28 Oktober 2015, jam. 02:25 WIB.


(16)

5

hukum pada kasus prostitusi hanyalah si penyedia jasa prostitusi atau mucikarinya saja. Padahal dalam teori hukum pidana dikenal dengan istilah penyertaan (deelneming) yang dapat diartikan apabila terjadi dalam suatu tindak pidana terlibat lebih dari satu orang harus dicari pertanggungjawaban masing-masing orang yang tersangkut dalam tindak pidana tersebut.5

Kaitannya dengan kasus prostitusi apakah hukum pidana saat ini sudah efektif untuk menanggulangi kasus prostitusi khususnya di wilayah hukum Daerah Istimewa Yogyakarta, karena dalam prakteknya hanya mucikari atau penyedia jasa prostitusi saja yang hanya bisa dikenakan sanksi hukum. Sementara pihak lain yang terlibat dalam kasus prostitusi yang dalam hal ini adalah PSK dan lelaki hidung belang tidak mendapakan sanksi secara pidana seperti si mucikari. Menurut penulis apakah kebijakan hukum pidana dalam menyelesaikan kasus prostitusi sudah memberikan rasa keadilan dengan hanya menghukum mucikari atau penyedia jasa saja sementara PSK dan lelaki hidung belang hanya mendapat sanksi sosial dari masyarakat, hal tersebut menjadi inti dari pembahasan dalam tugas akhir ini yang lebih lanjutnya akan disampaikan oleh penulis pada bagian selanjutnya.

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang di atas dapat ditarik rumusan masalah sebagai berikut:

1. Bagaimana kebijakan hukum pidana dalam penanggulangan kasus prostitusi di wilayah hukum Daerah istimewa Yogyakarta?

5 Loebby Loqman, Percobaan Penyertaan dan gabungan Tindak Pidana, Jakarta,


(17)

6

2. Apa saja kendala dalam penegakan hukum prostitusi di wilayah Daerah Istimewa Yogyakarta?

C. Tujuan Penelitian

Mengacu pada rumusan masalah di atas, tujuan dari penelitian ini adalah: 1. Untuk mengetahui bagaimana kebijakan hukum pidana dalam

penanggulangan kasus prostitusi.

2. Untuk mengetahui bagaimana kendala dalam penegakan hukum terhadap masalah prostitusi di wilayah Daerah istimewa Yogyakarta.

D. Tinjauan Pustaka

Indonesia sebagai negara hukum yang berdasarkan Pancasila haruslah memberikan perlindungan hukum kepada masyarakatnya sesuai dengan yang disebutkan di dalam Pancasila yaitu sila ke-5, yang bunyinya “Keadilan Sosial Bagi

Seluruh Rakyat Indonesia” sehingga perlu tindakan yang nyata untuk mewujudkan keadilan sosial tersebut akan harkat dan martabat manusia itu sendiri. Sebagai negara hukum sudah sepatutnya hukum dijadikan sebagai landasaan atau ujung tombak dalam penyelesaian suatu pelanggaran dan sengketa yang terjadi di dalam masyarakat guna mewujudkan keadilan sosial sesuai dengan apa yang tertuang dalam Pancasila yakni sila ke-5. Dalam penegakan hukum sudah seharusnya para aparat penegak hukum sadar bahwa tugas pokok dan fungsinya sudah diatur sesuai dengan apa yng tercantum dalam UUD 1945 dan UU lainnya sebagai landasan untuk menciptakan keadilan sosial bagi masyarakat serta sebagai kontrol agar masyarakat itu sendiri tidak melanggar hukum. Apabila terdapat pelanggaran


(18)

7

hukum yang dilakukan oleh masyarakat sudah seharusnya aparat penegak hukum melaksanakan tugasnya sesuai koridor hukumnya. Seseorang yang melakukan suatu pelanggaran maka ia harus dimintai pertanggung jawaban atas apa yang diperbuatnya. Dalam kasus prostitusi apakah sudah menjunjung tinggi keadilan sosial dalam penegakan hukumnya karena pada saat ini yang bisa dikenakan hukum dalam kasus prostitusi hanyalah mucikari saja. Padahal dalam prostitusi terdapat pihak pelaku (PSK) dan pelanggan (lelaki hidung belang) yang ikut andil dalam suatu kasus prostitusi tersebut. Di Negara-Negara modern, hampir setiap perbuatan prostitusi dianggap sebagai perbuatan yang melanggar kesusilaan. Seperti yang dikemukakan oleh W.A Bonger bahwa kejahatan merupakan sebagian dari perbuatan yang imoral, oleh sebab itu perbuatan imoral adalah perbuatan antisosial.6

Sesuai dengan apa yang telah disampaikan oleh penulis di atas apakah hukum yang berlaku di Indonesia yang pada pokoknya mengatur mengenai kasus prostitusi ini hanya bisa menjerat mucikarinya saja ataukah perlu adanya revisi dan/ pembaharuan mengenai hukum pidana. Sekarang ini belum ada UU khusus yang digunakan untuk menyelesaikan kasus prostitusi ini. Apabila terjadi pelanggaran yang dalam hal ini adalah kasus prostitusi landasan hukum untuk menyelesaikannya hanya mengacu seperti yang ada di dalam KUHP Buku ke-2 BAB XIV dari Pasal 281-309 dan Buku ke-3 BAB II Pasal 506. Oleh karena itu maka menurut penulis perlu aturan baru yang bisa dijadikan dasar hukum untuk menyelesaikan kasus


(19)

8

prostitusi yang dari waktu ke waktu semakin pesat perkembangannya, bahkan sudah menjarah kaum muda bangsa.

1. Pengertian Kebijakan Hukum Pidana

Pengertian kebijakan atau politik hukum pidana dapat dilihat dari politik

hukum maupun dari politik kriminal. Menurut Sudarto, “Politik Hukum” adalah:

a. Usaha untuk mewujudkan peraturan-peraturan yang baik sesuai dengan keadaan dan situasi pada suatu saat.7

b. Kebijakan dari negara melalui badan-badan yang berwenang untuk

menetapkan peraturan-peraturan yang dikehendaki yang diperkirakan bisa digunakan untuk mengekspresikan apa yang terkandung dalam masyarakat dan untuk mencapai apa yang dicita-citakan.8

Bertolak dari pengertian yang demikian Prof. Sudarto selanjutnya

mengatakan, bahwa melaksanakan “politik hukum pidana” berarti mengadakan

pemilihan untuk mencapai hasil perundang-undangan pidana yang paling baik dalam arti memenuhi syarat keadilan dan daya guna.9 Dalam kesempatan lain beliau

menyatakan, bahwa melakssanakan “politik hukum pidana” berarti, “usaha

mewujudkan peraturan perundang-undangan pidana yang sesuai dengan keadaan dan situasi pada suatu waktu dan untuk masa-masa yang akan datang.10

Menurut A. Mulder11, “Strafrechtspolitiek” ialah garis kebijakan untuk

menentukan:

7 Sudarto, Hukum dan Hukum Pidana, Bandung, Alumni, 1981, hlm. 159.

8 Sudarto, Hukum Pidana dan Perkembangan Masyarakat, Bandung, Sinar Baru, 1983, hlm. 20.

9Ibid., hlm. 161. 10Ibid., hlm. 93.

11 A. Mulder dalam, bukunya Barda Nawawi Arief Kebijakan Hukum Pidana Perkembangan


(20)

9

a. Seberapa jauh ketentuan-ketentuan pidana yang berlaku perlu diubah atau diperbaharui.

b. Apa yang dapat diperbuat untuk mencegah terjadinya tindak pidana. c. Cara bagaimana penyidikan, penuntutan, peradilan, dan pelaksanaan pidana

harus dilaksanakan.

Definisi Mulder diatas bertolak dari pengertian “sistem hukum pidana”

menurut Marc Ancel12 yang menyatakan, bahwa tiap masyarakat yang terorganisir memiliki sistem hukum pidana yang terdiri dari:

a. peraturan-peraturan hukum pidana dan sanksinya. b. suatu prosedur hukum pidana.

c. suatu mekanisme pelaksanaan (pidana).

Kebijakan hukum pidana atau politik hukum pidana (penal policy) itu pada intinya adalah bagaimana hukum pidana dapat dirumuskan dengan baik dan memberikan pedoman kepada pembuat undang-undang (kebijakan legislatif), kebijakan aplikasi (yudikatif), dan pelakssanaan hukum pidana (kebijakan eksekutif). Hal ini perlu ada kesadaran baik dari masyarakat maupun pemeritah dalam merumuskan dan mengimplementasikan kebijakan hukum pidana tersebut. Dalam kaitannya dengan penulisan ilmiah ini menurut penulis perlu adanya suatu landasan atau dasar mengenai prostitusi untuk menyelesaikannya yang makin lama semakin meresahkan masyarakat banyak. Sampai saat ini belum terdapat undang-undang yang secara khusus mengatur mengenai prostitusi ini. Banyak pelaku

12 Marc Ancel dalam, bukunya Barda Nawawi Arief, Kebijakan Hukum Pidana (Perkembangan


(21)

10

seperti yang banyak diberitakan di media sekarang ini yang hanya mendapatkan pembinaan sehingga tidak ada pertanggungjawaban atas perbuatannya.

2. Kebijakan Penanggulangan Prostitusi

Kebijakan penanggulangan kejahatan atau yang biasa dikenal dengan istilah

“politik kriminal” dapat meliputi ruang lingkup yang cukup luas.Menurut G. P. Hoefnagles13 upaya penanggulangan kejahatan secara garis besar dapat dibagi dua,

yaitu lewat jalur “penal” (hukum pidana) dan lewat jalur “nonpenal” (bukan/di luar

hukum pidana).

Secara garis besar dapatlah dibedakan, bahwa upaya penanggulangan kejahatan lewat jalur “penal” lebih menitikberatkan pada sifat “repressif” (penindasan/ pemberantasan/penumpasan) sesudah kejahatan terjadi, sedangkan

jalur “nonpenal” lebih menitikberatkan pada sifat “preventif”

(pencegahan/penangkalan/ pengendalian) sebelum kejahatan terjadi. Dikatakan sebagai perbedaan secara kasar, karena tindakan represif pada hakikatnya juga dapat dilihat sebagai tindakan preventif dalam arti luas.14 Dalam kasus prostitusi

sudah ada tindakan preventif yang dilakukan untuk menanggulanginya, akan tetapi banyak faktor yang mempengaruhi sehingga tindakan tersebut seperti sia-sia. Diperlukan tindakan repressif juga untuk menanggulangi kejahatan prostitusi agar para pelaku mendpatkan efek jera dan tidak mengulangi perbuatannya lagi. Harus ada peraturan khusus mengenai prostitusi agar ada kepastian hukum dan para pelaku dapat mempertanggungjawabkan atas perbuatan yang dilakukannya.

13 G. P. Hoefnagels dalam, bukunya Barda Nawawi Arief, Kebijakan Hukum Pidana

(Perkembangan Penyusunan Konsep KUHP Baru), Semarang, Prenadamedia Group, 2014, hlm.

34.

14 Barda Nawawi Arief, Kebijakan Hukum Pidana (Perkembangan Penyusunan Konsep


(22)

11

3. Pelaku Tindak Pidana Prostitusi

Prostitusi merupakan salah satu bentuk penyakit masyarakat yang harus dihentikan penyebarannya, tanpa mengabaikan usaha pencegahan dan perbaikan.

Menurut W.A. Bonger dalam tulisannya “Maatschappelijke Orzaken der

Prostitutie”, prostitusi adalah gejala kemasyarakatan di mana wanita menjual diri

melakukan perbuatan-perbuatan seksual sebagai mata pencarian.15 Dalam hukum pidana dijelaskan dalam Pasal 296 KUHP mengenai prostitusi tersebut menyatakan

sebagai berikut: “Barang siapa yang pekerjaannya atau kebiasannya, dengan

sengaja mengadakan atau memudahkan perbuatan cabul dengan orang lain, dihukum dengan hukuman penjara selama-lamanya satu tahun empat bulan atau denda sebanyak-banyaknya seribu rupiah”.16 Pada penjelassan diatas lebih condong untuk para mucikari atau penyedia jasa prostitusi saja yang dapat dikenakan oleh undang-undang yang ada. Padahal dalam realitanya Prostitusi terdiri dari rangkaian peristiwa dimana di dalamnya tidak hanya terdapat satu pelaku melainkan banyak pelaku. Selain mucikari ada PSK dan lelaki hidung belang yang ikut dalam rangkaian perbuatan yang merupakan penyakit masyarakat tersebut. Harus ada peraturan yang tegas untuk mengatur mengenai hal tersebut agar semua pelaku dalam prostitusi dapat dikenakan jeratan hukum agar menimbulkan efek jera sehingga dapat menanggulangi penyakit masyarakat tersebut (prostitusi).

E. Metode Penelitian

15 W.A. Bonger dalam, bukunya Kartini Kartono, Patologi Sosial Jilid 1, Bandung, PT Rajagrafindo Persada, 1981, hlm. 214.

16 Kartini Kartono, Patologi Sosial Jilid 1, Bandung, Pt Rajagrafindo Persada, 1981, hlm. 214 dan 215.


(23)

12

Dalam menyusun dan menulis suatu karya ilmiah penentuan metode dalam sebuah penelitian merupakan hal yang sangat penting bagi penulis. Metode penelitian yang akan digunakan untuk penulisan skripsi ini adalah sebagai berikut:

1. Jenis penelitian

Penelitian ini menggunakan penelitian hukum sosioligal atau penelitian hukum kepustakaan dan penelitian hukum lapangan. Penelitian normatif adalah penelitian hukum yang meletakkan hukum sebagai sebuah sistem norma. Sistem norma yang dimaksud adalah mengenai asas-asas, norma, kaidah-kaidah dari peraturan perundang-undangan, putusan pengadilan, perjanjian serta doktrin (ajaran). Penelitian empiris adalah penelitian hukum yang berfungsi untuk melihat hukum dalam artian nyata dan meneliti bagaimana bekerjanya hukum di lingkungan masyarakat.17

2. Metode Pendekatan

Dalam penelitian ini, penulis meggunakan metode pendekatan Perundang-undangan (statute approach) yang dilakukan dengan cara mencari data-data faktual yang ada di dalam peraturan perundang-undangan sebagai landasan untuk membantu penulis dalam menganalisis. Selain itu penulis juga menggunakan metode pendekatan Perbandingan (comparatvie approach) yang dilakukan dengan cara memperbandingkan suatu isu hukum dilihat dari berbagai sistem hukum yang biasanya akan dilakukan dengan perbandingan unsur-unsur seperti substansi, struktur dan budaya antara sistem hukum yang satu dengan sistem hukum lainnya.

17 Mukhti Fajar, Yulianto Achmad, Dualisme Penelitian Hukum, Yogyakarta, Fakultas Hukum


(24)

13

3. Sumber data

Sumber data adalah subjek dari mana peneliti memperoleh informasi yang akan digunakan untuk penelitian ini. Sumber data dalam penulisan ini terdiri dari:

a. Sumber Data Primer

Sumber Data Primer didapatkan berdasarkan hasil penelitian lapangan di wilayah hukum Daerah Istimewa Yogyakarta melalui lembaga-lembaga yang terkait dengan karya ilmiah ini. Penelitian yang digunakan untuk mencari sumber data primer ini menggunakan teknik wawancara. b. Sumber Data Sekunder

Data sekunder yang merupakan bahan hukum, yaitu data yang diperoleh dari penelitian kepustakaan (library research) dan studi dokumentasi. Dengan demikian data yang digunakan untuk menunjang penelitian ini terdiri atas:

a. Bahan hukum primer, merupakan bahan kepustakaan yang berisikan peraturan perundang-undangan yang terdiri dari:

1. Undang-Undang Dasar 1945

2. Kitab Undang-Undang Hukum Pidana.

3. Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang- Undang Hukum Acara Pidana.

4. Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2007 tentang Tindak Pidana Perdagangan Orang.


(25)

14

b. Bahan hukum sekunder, yaitu bahan-bahan yang erat kaitannya dengan bahan hukum primer dan dapat membantu untuk proses analisis, yaitu:

1. Buku-buku ilmiah yang berkaitan dengan Prostitusi. 2. Makalah-makalah yang berkaitan dengan Prostitusi.

3. Jurnal-jurnal dan literatur yang berkaitan dengan Prostitusi. 4. Doktrin, pendapat dan kesaksian dari ahli hukum baik yang tertulis maupun tidak tertulis yang berkaitan dengan Prostitusi.

5.Media massa baik media cetak maupun media elektronik. c. Bahan hukum tersier

1. Kamus. 2. Ensiklopedia.

4. Lokasi Penelitian

Pada penelitian ini penulis akan melakukan penelitian di wilayah hukum Daerah Istimewa Yogyakarta yang meliputu Satuan Polisi pamong Praja Kabupaten Bantul dan Sleman, Pengadilan Negeri Bantul serta Kepolisian Daerah Istimewa Yogyakarta.

5. Narasumber

Satuan Polisi Pamong Praja (Satpol PP) Kabupaten Batul Bapak Anjar Arintaka Putra, selaku Kepala Bidang Penegakan Peraturan Perundang-undangan dan Kabupaten Sleman yakni Bapak Rusdi Rais SH., selaku Kepala Bidang Penegakan Peraturan Perundang-undangan, DIT RESKRIMUM Polda DIY yakni Bapak Sumadi, selaku Kanit Susila Polda DIY dan PN Bantul yakni Bapak Zaenal Arifin SH. M.Si selaku hakim.


(26)

15

6. Pengumpulan data

Pengumpulan data yang dilakukan yakni dengan teknik wawancara dan pengumpualan dokumen yang dilakukan di Satpol PP Kabupaten Bantul dan Kabupaten Sleman, Pengadilan Negeri Bantul, serta Polda DIY untuk menunjang penelitian ini.

7. Metode analisis data

Setelah semua data tersebut terkumpul, akan dianalisis secara perspektif deskriptif, dimaksud untuk memberikan gambaran secara jelas, sistematis, objektif dan kritis yang dipaparkan dalamhukum positif mengenai fakta-fakta yang bersifat normatif maupun empiris tentang permasalahan yang dibahas, dengan berusaha menyajikan bahan yang relevan dan mendukung.

F. Sistematika Penulisan Skripsi

Untuk memberikan gambaran secara jelas mengenai keseluruhan dan isi penulisan skripsi ini, maka penulis membagi penulisan skripsi ini menjadi 5 (empat) bab, adapun sistematika dari penulisan skripsi ini adalah sebagai berikut :

BAB I : PENDAHULUAN, bagian ini memberikan gambaran mengenai topik penelitian yang hendak disajikan. Pada bab pertama ini memuat tentang, latar belakang masalah, perumusan masalah, maksud dan tujuan penulis, manfaat penulisan, kerangka teoritis dan kerangka analisis, metode penelitian dan sistematika penulisan. BAB II : KEBIJAKAN HUKUM PIDANA, bagian ini memberikan

gambaran bagaimana kebijakan hukum pidana yang berhubungan dengan topik penelitian.Pada bab kedua ini berisikan tentang,


(27)

16

kebijakan hukum pidana yang memuat kebijakan hukum pidana, kebijakan hukum KUHP dan RUU KUHP mengenai masalah prostitusi, kebijakan kriminalisasi dan delik tentang prostitusi.

BAB III : JENIS PROSTITUSI DAN UPAYA PENANGGULANGAN,

bagian ini menyajikan beberapa aspek yang berhubungan dengan topik peneltian.Pada bab ketiga ini penulis menguraikan tentang pengertian dari prostitusi, jenis prostitusi, penyebab timbulnya prostitusi, akibat

BAB IV : HASIL DAN ANALISIS DATA, bagian ini menyajikan hasil penelitian beserta analisis penulis pada penulisian ilmiah ini. Pada bab empat ini berisikan tentang hasil penelitian pada Satpol PP Kabupaten Bantul, Pengadilan Negeri Bantul, yang berupa data tindak pidana prostitusi di wilayah yang sudah mempunyai peraturan daerah mengenai larangan prostitusi, selain itu juga hasil penelitian di Satpol PP Kabupaten Sleman dan Polda DIY untuk mengetahui bagaimana kebijakan yang timbul di wilayah hukum Daerah istimewa Yogyakarta yang belum mempunyai perda mengenai larangan prostitusi atau pelacuran.

BAB V : PENUTUP, pada bagian ini berisi mengenai saran dan kesimpulan mengenai topik dari penulisan ilmiah ini. Pada bab kelima ini penulis akan menguraikan tentang kesimpulan dan saran penulis terhadap hasil yang telah diuraikan dalam skripsi.


(28)

18

BAB II

KEBIJAKAN HUKUM PIDANA

A. Pengertian Kebijakan Hukum Pidana

Secara terminologi kebijakan berasal dari istilah ”policy” (Inggris) atau “politiek” (Belanda). Terminologi tersebut dapat diartikan sebagai prinsip-prinsip umum yang berfungsi untuk mengarahkan pemerintah (termasuk penegak hukum) dalam mengelola, mengatur atau menyelesaikan urusan-urusan publik, masalah-masalah masyarakat atau bidang-bidang penyusunan peraturan perundang-undangan dan mengalokasikan hukum/peraturan dalam suatu tujuan (umum) yang mengarah pada upaya mewujudkan kesejahtraan dan kemakmuran masyarakat (Warga Negara).1

Bertolak dari kedua istilah asing tersebut, maka istilah kebijakan hukum pidana dapat pula disebut dengan politik hukum pidana. Dalam kepustakaan asing istilah politik hukum pidana ini dikenal dengan berbagai istilah, antara lain penal policy, criminal law policy atau strafrechtspolitiek.2

Pengertian kebijakan atau politik hukum pidana dapat dilihat dari politik

hukum maupun politik kriminal. Menurut Sudarto, “Politik Hukum” adalah3:

a. Usaha untuk mewujudkan peraturan-peraturan yang baik sesuai dengan keadaan dan situasi pada suatu saat.

1 Lilik Mulyadi, Bunga Rapai Hukum Pidana Perspektif Teoritis dan Praktik, PT. Alumni Bandung, 2008,hlm. 389.

2 Aloysius Wisnubroto, Kebijakan Hukum Pidana dalam Penanggulangan Penyalahgunaan

Komputer, Yogyakarta, Universitas Atmajaya, 1999, hlm : 10.


(29)

19

b. Kebijakan dari negara melalui badan-badan yang berwenang untuk menetapkan peraturan-peraturan yang dikehendaki yang diperkirakan bisa digunakan untuk mengekspresikan apa yang terkandung dalam masyarakat dan untuk mencapai apa yang dicita-citakan.4

Bertolak dari pengertian demikian Sudarto selanjutnya menyatakan, bahwa

melaksanakan “politik hukum pidana” berarti mengadakan pemilihan untuk

mencapai hasil perundang-undangan pidana yang paling baik dalam arti memenuhi syarat keadilan dan daya guna.5 Dalam kesempatan lain beliau menyatakan, bahwa

melaksanakan “politik hukum pidana” berarti, “usaha mewujudkan peraturan

perundang-undangan pidana yang sesuai dengan keadaan dan situasi pada suatu waktu dan untuk masa-masa yang akan datang.6

Dengan demikian, dilihat sebagai bagian dari politik hukum, maka politik hukum pidana mengandung arti, bagaimana mengusahakan atau membuat dan merumuskan suatu peraturan perundang-undangan pidana yang baik. Menurut Mahmud Mulyadi, politik hukum pidana merupakan upaya menentukan kearah mana pemberlakuan hukum pidana Indonesia di masa yang akan datang dengan melihat penegakkannya saat ini.7 Pengertian demikian terlihat pula dalam definisi

penal policy” dari Marc Ancel yakni “suatu ilmu sekaligus seni yang bertujuan

untuk memungkinkan peraturan hukum positif dirumuskan secara lebih baik”.8

Melihat dari uraian di atas yang dimaksud dengan “peraturan hukum positif” (the

4 Sudarto, Hukum Pidana dan Perkembangan Masyarakat, Bandung, Sinar Baru, 1983, hlm. 20.

5Ibid. hlm.161. 6Ibid. hlm. 93 dan 109.

7 Mahmud Mulyadi, Criminal Policy:Pendekatan Integral Penal Policy dan Non Penal Policy

Dalam

Penanggulangan Kejahatan Kekerasan, Pustaka Bangsa Press, Medan, 2008, hlm. 66.

8 Barda Nawawi Arief, Kebijakan Hukum Pidana Perkembangan penyusunan Konsep


(30)

20

positive rules) dalam definisi Marc Ancel itu jelas adalah peraturan

perundang-undangan dengan hukum pidana. Dengan demikian, istilah “penal policy” menurut

Marc Ancel adalah sama dengan istilah “kebijakan atau politik hukum pidana” yang

dikemukakan oleh Sudarto.9

Menurut A. Mulder10, “Strafrechtspolitiek” ialah garis kebijakan untuk

menentukan:

a. Seberapa jauh ketentuan-ketentuan pidana yang berlaku perlu diubah atau b. diperbarui.

c. Apa yang dapat diperbuat untuk mencegah terjadinya tindak pidana. d. Cara bagaimana penyidikan, penuntutan, peradilan, dan pelaksanaan pidana

yang

e. harus dilaksanakan.

Definisi Mulder di atas bertolak dari pengertian “sistem hukum pidana” menurut Marc Ancel yang menyatakan, bahwa tiap masyarakat yang terorganisir memiliki sistem hukum pidana yang terdiri dari:

a. Peraturan-peraturan hukum pidana dan sanksinya. b. Suatu prosedur hukum pidana.

c. Suatu mekanisme pelaksanaan pidana.11

Usaha dan kebijakan untuk membuat suatu peraturan hukum pidana yang baik pada hakikaktnya tidak dapat dilepaskan dari tujuan penanggulangan kejahatan. Dalam artian kebijakan atau politik hukum pidana juga merupakan

9Ibid. 28.

10 A. Mulder dalam, bukunya Barda Nawawi Arief Kebijakan Hukum Pidana Perkembangan

penyusunan Konsep KUHP Baru, Semarang, Kencana Prenadamedia Group, 2008, hlm.27.


(31)

21

bagian dari politik kriminal. Dilihat dari politik kriminal, maka politik hukum

pidana identik dengan pengertian “kebijakan penanggulangan kejahatan dengan hukum pidana”.

Usaha penanggulangan kejahatan dengan hukum pidana pada hakikatnya juga merupakan bagian dari usaha penegakan hukum (khususnya penegakan hukum pidana). Politik atau kebijakan hukum pidana sering dikatakan sebagai bagian dari penegakan hukum (law enforcement policy). Selain itu, usaha penanggulangan kejahatan lewat pembuatan undang-undang (hukum) pidana pada hakikatnya juga merupakan bagian integral dari usaha perlindungan masyarakat (social welfare). Oleh karena itu, wajar pula apabila kebijakan atau politik hukum pidana juga merupakan bagian integral dari kebijakan atau politik sosial (sosial policy).

Kebijakan sosial (social policy) apat diartikan sebagai segala usaha yang rasional demi mencapai kesejahteraan masyarakat dan sekaligus mencakup

perlindungan bagi masyarakat. Pengertian “social policy” dalam tulisan ini

mencakup juga didalamnya “social welfare policy” dan “social defencce policy”.

Melihat penjelasan di atas dapat ditegaskan, bahwa pembaharuan hukum pidana (penal reform) merupakan bagian dari kebijakan/politik hukum pidana (penal policy). Latar belakang diadakannya pembaharuan hukum pidana dapat ditinjau dari aspek sosiopolitik, sosiofilosofis, sosiokultural, atau dari berbagai aspek kebijakan (khususnya kebijakan sosial, kebijakan kriminal, dan kebijakan penegakan hukum). Artinya, pembaharuan hukum pidana pada hakikatnya harus merupakan perwujudan dari perubahan dan pembaruan terhadap berbagai aspek dan kebijakan yang melatarbelakangi pembaharuan tersebut. Pembaharuan hukum pidana secara umum mempunyai makna sebagai suatu upaya untuk melakukan


(32)

22

reorientassi dan reformasi hukum pidana yang sesuai dengan nilai-nilai sentral sosiopolitik, sosiofilosofis, dan sosiokultural masyarakat Indonesia yang melandasi kebijakan sosial, kebijakan kriminal, dan kebijakan penegakan hukum di Indonesia.

Dua masalah sentral dalam kebijakan kriminal dengang menggunakan penal policy (hukum pidana) yakni mengenai penentuan:

a. Perbuatan apa yang seharusnya dijadikan tindak pidana,

b. Sanksi apa yang sebaiknya digunakan atau dikenakan kepada si pelanggar.12

Dua masalah sentral ini tidak dapat dilepaskan dari konsepsi integral antara kebijakan kriminal dengan kebijakan sosial. Hal ini berarti pemcahan-pemecahan masalah di atas harus diarahkan untuk mencapai tujuan-tujuan tertentu dari kebijakan sosiopolitik yang telah ditetapkan. Dalam arti lain, kebijakan hukum pidana juga termasuk dalam menangani dua masalah sentral di atas, harus pula dilakukan dengan pendekatan yang berorientasi pada kebijakan (policy oriented approach).

Prof. Barda Nawawi mengemukakan pola hubungan antar kebijakan hukum pidana (penal policy) dengan upaya penanggulangan kejahatan, beliau mengatakan bahwa pencegahan dan penanggulangan kejahatan harus dilakukan dengan pendekatan integral dan ada keseimbangan antara penal dan non penal. Pencegahan dan pendekatan kejahatan dengan sarana penal merupaka Penal Policy (Penal Law Enforcement Policy), yang fungsionalisasinya melalui beberapa tahap seperti tahap Formulasi (kebijakan legislatif), Aplikasi (kebijakan yudikatif) dan Eksekusi

12 Barda Nawawi Arief, Kebijakan Hukum Pidana (Perkembangan Penyusunan Konsep


(33)

23

(kebijakan administratif). Dilihat dalam artian luas, kebijakan hukum pidana dapat mencakup ruang lingkup kebijakan di bidang hukum pidana materiil, di bidang hukum pidana formal dan di bidang pelaksanaan pidana.

Secara garis besar upaya penanggulangan kejahatan dabat dibagi dua, yaitu lewat jalur “penal” (hukum pidana) seperti apa yang telah penulis terangkan di atas

dan lewat jalur “nonpenal” (bukan/di luar hukum pidana). Menurut G. P.

Hoefnagles13, upaya penanggulangan kejahatan dapat ditempuh dengan: a. Penerapan hukum pidana (criminal law application);

b. Pencegahan tanpa pidana (prevention without punishment); dan

c. Memengaruhi pandangan masyarakat mengenai kejahatan dan pemidanaan lewat mass media (influencing views of society on crime and punishment/mass media).

Upaya-upaya yang disebutkan oleh G. P. Hoefnagles diatas pada butir (b)

dan (c) dapat dimasukkan dalam kelompok upaya “nonpenal”.

Secara kasar dapat dibedakan, bahwa upaya penanggulangan kejahatan

lewat jalur “Penal” lebih menitikberatkan pada sifat “represif”

(pemberantasan/penumpasan) sesudah kejahatan terjadi, sedangkan jalur

“nonpenal” lebih menitikberatkan pada sifat “preventif”

(pencegahan/penangkalan/pengendalian) sebelum kejahatan terjadi. Dikatakan sebagai perbedaan secara kasar, karena tindakan represif pada hakekatnya juga dapat dilihat sebagai tindakan preventif dalam arti luas.14

13 G. P. Hoefnsgles dalam bukunya Barda Nawawi Arief Kebijakan Hukum Pidana

Perkembangan

penyusunan Konsep KUHP Baru, Semarang, Kencana Prenadamedia Group, 2008, hlm. 45.


(34)

24

Mengingat upaya penanggulangan kejahatan lewat jalur “nonpenal” lebih

bersifat tindakan pencegahan untuk terjadinya kejahatan, maka sasaran utamanya adalah menangani faktor-faktor kondusif penyebab terjadinya kejahatan. Faktor-faktor kondusif itu antara lain, berpusat pada masalah atau kondisi-kondisi sosial yang secara langsung maupun tidak langsung dapat menimbulkan kejahatan. Dilihat dari sudut pandang politik kriminal secara makro dan global, maka upaya-upaya nonpenal menduduki posisi kunci dan strategis dalam menanggulangi sebab-sebab dan kondisi-kondisi yang menimbulkan kejahatan.

Beberapa masalah dan kondisi sosial yang dapat merupakan faktor kondusif penyebab timbulnya kejahatan, hal tersebut jelas merupakan masalah yang tidak dapat diatasi semata-mata dengan “penal policy”. Di sinilah keterbatassan jalur

“penal” dan oleh karena itu, harus ditunjang dengan jalur “nonpenal”. Salah satu jalur “nonpenal” untuk mengatasai masalah-masalah sosial seperti dikemukakan di

atas adalah lewat jalur “kebijakan sosial”. Kebijakan sosial pada dassarnya adalah

kebijakan atau upaya-upaya yang secara rassional untuk mencapai kesejahteraan masyarakat.

Salah satu aspek kebijakan sosial yang kiranya patut mendpat perhatian adalah penggarapan masalah kesehatan jiwa masyarakat (social hygiene), baik secara individual sebagai anggota masyarakat maupun kesejahteraan keluarga, serta masyarakat luas pada umumnya. Apabila dilihat dari penjelasan sebelumnya, menurut penulis pendidikan agama dan berbagai bentuk media penyuluhan keagamaan dalam memperkuat kembali keyakinan dan kemampuan manusia untuk mengikuti jalan kebenaran dan kebaikan sangat penting dan strategis peranannya. Pendidikan dan penyuluhan agama yang efektif, tidak hanya diharapkan terbinanya


(35)

25

pribadi manusia yang sehat jiwa/rohaninya tetapi juga terbinanya keluarga yang sehat dan lingkungan sosial yang sehat. Hal ini berarti penggarapan kesehatan masyarakat atau lingkungan sosial yang sehat (sebagai slah satu upaya nonpenal dalam strategi politik kriminal), tidak hanya harus berorientasi pada penddekatan religius tetapi juga berorientasi pada pendekatan identitas budaya nasional.

B. Kebijakan Hukum Pidana tentang Prostitusi dalam KUHP dan RUU KUHP

1. Kebijakan Hukum Pidana tentang Prostitusi dalam KUHP

Berdasarkan Pasal 296, barangsiapa dengan sengaja menyebabkan atau memudahkan perbuatan cabul oleh orang lain dengan orang lain, dan menjdadikannya sebagai pencarian atau kebiasaan, diancam dengan pidana penjara paling lama satu tahun empat bulan atau denda paling banyak lima belas ribu rupiah. Selain pada Pasal 296 dalam Pasal 506 juga menerangkan bahwa, barang siapa menarik keuntungan dari perbuatan cabul seorang wanita dan menjadikannya sebaga pencarian, diancam dengan pidana kurungan paling lama satu tahun. Di dalam KUHP yang sekarang Pasal yang digunakan untuk menjerat pelaku prostitusi hanya bisa digunakan untuk mucikari saja, sedangkan untuk PSK dan lelaki hidung belang tidak bisa. Hal ini dikarenakan bahwasannya dalam KUHP yang sekarang tidak ada satupun Pasal yang bisa digunakan untuk menjerat si PSK dan lelaki hidung belang tersebut.

2. Kebijakan Hukum Pidana tentang Prostitusi dalam RUU KUHP

Prostitusi dalam pengaturan hukum pidana positif kita saat ini belumlah maksimal dan komperhensif karena yang dijerat hanyalah para mucikari atau


(36)

26

perantaranya, sedangkan objek penting dari prostitusi itu sendiri dalam hal ini para PSK dan lelaki hidung belang tidak terjerat. Padahal Pada kenyataanya dalam beberapa kasus prostitusi atau perdagangan orang, merekalah yang memiliki peran aktif dan inisiatif dalam proses terjadinya prostitusi dalam artian bahwa dengan

keinginan sendiri dan secara sadar ingin mendapatkan uang dengan cara “menjual diri” mereka untuk menjadi pemuas nafsu.

Dalam konsep RUU KUHP prostitusi atau pelacuran khusus berkaitan dengan objek dari prostitusi (PSK dan lelaki hidung belang) itu sendiri masuk dalam bagian kelima tentang zina. Di dalam Pasal 483 RUU KUHP menerangkan bahwa, (1) Dipidana karena zina, dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun:

a. laki-laki yang berada dalam ikatan perkawinan melakukan persetubuhan dengan perempuan yang bukan istrinya;

b. perempuan yang berada dalam ikatan perkawinan melakukan persetubuhan dengan laki-laki yang bukan suaminya;

c. laki-laki yang tidak dalam ikatan perkawinan melakukan persetubuhan dengan perempuan, padahal diketahui bahwa perempuan tersebut berada dalam ikatan perkawinan;

d. perempuan yang tidak dalam ikatan perkawinan melakukan persetubuhan dengan laki-laki, padahal diketahui bahwa laki-laki tersebut berada dalam ikatan perkawinan; atau

e. laki-laki dan perempuan yang masing-masing tidak terikat dalam perkawinan yang sah melakukan persetubuhan.


(37)

27

(2) Tindak pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak dilakukan penuntutan kecuali atas pengaduan suami, istri, atau pihak ketiga yang tercemar. (3) Terhadap pengaduan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) tidak berlaku ketentuan Pasal 25, Pasal 26, dan Pasal 28. (4) Pengaduan dapat ditarik kembali selama pemeriksaan di sidang pengadilan belum dimulai. Selain itu dalam Pasal 486 menerangkan bahwa, setiap orang yang bergelandangan dan berkeliaran di jalan atau di tempat umum dengan tujuan melacurkan diri, dipidana dengan pidana denda paling banyak Kategori I. Pengaturan prostitusi dalam RUU KUHP diatas masih perlu dikaji ulang karena masih mengandung makna yang kurang jelas untuk menjerat si PSK dan lelaki hidung belang. Hal tersebut tersirat seperti dalam Pasal 483 ayat 1 huruf e diatas. Penerangan pada Pasal tersebut bisa digunakan untuk menjerat PSK dan lelaki hidung belang asalkan ada pengaduan mengenai kegiatan prostitusi tersebut, sehingga apabila tidak ada pengaduan maka tidak bisa dikenakan pidana. Sedangkan dalam Pasal 486 seperti yang telah diterangkan diatas pasal tersebut hanya menjerat untuk PSK jalanan saja sementara untuk yang terselubung tidak bisa dikenakan pidana. Catatan penulis mengenai pengaturan hukum pidana kita mengenai prostitusi ini belumlah maksimal karena memang disatu sisi sudah cukup menjerat para mucikarinya tetapi disisi lain belum tegas menjerat objek penting dari prostitusi itu sendiri yakni para PSK dan lelaki hidung belang.

Sementara itu mucikari sebagai perantara antara PSK dengan lelaki hidung belang sudah sangat jelas diterangkan dalam RUU KUHP seperti dalam Pasal 495 (1) Setiap orang yang menghubungkan atau memudahkan


(38)

28

orang lain melakukan perbuatan cabul atau persetubuhan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 494 ayat (1) dan ayat (2), dipidana dengan pidana penjara paling singkat 2 (dua) tahun dan paling lama 9 (sembilan) tahun. (2) Setiap orang yang di luar hal-hal sebagaimana dimaksud pada ayat (1) menghubungkan atau memudahkan orang lain berbuat cabul atau persetubuhan dengan orang yang diketahui atau patut diduga belum berumur 18 (delapan belas) tahun dan belum kawin, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 3 (tiga) tahun dan paling lama 12 (dua belas) tahun. (3) Jika tindak pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2), dilakukan sebagai pekerjaan atau kebiasaan, maka pembuat tindak pidana dipidana dengan pidana penjara paling singkat 3 (tiga) tahun dan paling lama 15 (lima belas) tahun. Pada Pasal 494 dalam RUU KUP yang mengatur tentang mucikari juga terdapat dalam Pasal 496 dipidana dengan pidana penjara paling singkat 3 (tiga) tahun dan paling lama 12 (dua belas) tahun, setiap orang yang : a. menjadikan sebagai pekerjaan atau kebiasaan menghubungkan atau memudahkan orang lain berbuat cabul atau bersetubuh; atau b. menarik keuntungan dari perbuatan cabul atau persetubuhan orang lain dan menjadikannya sebagai mata pencaharian

C. Kebijakan Kriminalisasi dan Penentuan Delik tentang Prostitusi

Secara etimologi kata kriminalisasi berasal dari bahasa Inggris yaitu

Criminalization yang mempunyai padanan kata dalam bahasa Belanda


(39)

29

semula bukan tindak pidana atau tidak diatur dalam hukum pidana, tapi karena perkembangan masyaraka kemudian menjadi tindak pidana.15

Kejahatan selain merupakan masalah kemanusiaan juga merupakan permasalahan sosial yang kompleks. Menghadapi masalah kejahatan yang dari waktu ke waktu semakin banyak macamnya. Telah banyak upaya dilakukan untuk menanggulanginya, dan bahkan dimasukkan dalam kerangka kebijakan kriminal. Penanggulangan kejahatan dengan menggunakan sanksi pidana merupakan cara yang paling tua, setua peradaban manusia itu sendiri.16

Kebijakan kriminalisasi merupakan suatu kebijakan dalam menetapkan suatu perbuatan yang semula bukan tindak pidana (tidak dipidana) menjadi suatu tindak pidana (perbuatan yang dapat dipidana). Jadi pada hakikatnya kebijakan kriminalisasi merupakan bagian dari kebijakan kriminal (criminal policy) dengan menggunakan sarana hukum pidana (penal) sehingga termasuk bagian dari kebijakan hukum pidana (penal policy).17

Kejahatan dalam perkembangannya merupakan sebuah manifestasi dari keadaan jiwa seseorang yang abnormal, sehingga dalam perkembangannya diperlukan tindakan sebagai upaya untuk memperbaiki keadaan pelaku kejahatan. Kejahatan juga dipandang sebagai peerujudan ketidaknormalan atau

15 Teguh Prasetyo, Kriminalisasi dalam Hukum Pidana, Cet-2, Nusamedia, Bandung, 2011, hlm.

32

16 Teguh Prasetyo dalam bukunya Syaiful Bakhri yang berjudul Kebijakan Kriminal dalam

Perspektif

Pembaruan Sistem Peradilan Pidana Indonesia, Jakarta, Pusat Pengkajian dan Pengembangan

Ilmu Hukum (P3IH) Fakultas Hukum Universitas Muhammadiyah Jakarta, 2010, hlm. 29.

17 Barda Nawawi Arief, Tindak Pidana Mayantara Perkembangan Kajian Cyber Crime Di

Indonesia,


(40)

30

ketidakmatangan pelaku kejahatan, sehingga sikap memidana harus diganti dengan sikap mengobati.18

Perkembangan baru mengenai dasar pemidanaan dimulai pada abad ke 19 dan permulaan abad ke-20 dengan mempergunakan hasil pemikiran baru yang diperoleh dari sosiologi, antropologi dan psikologi. Tujuan pentingnya adalah:

1. Tujuan pokok hukum pidana adalah penentangan terhadap perbuatan jahat, dipandang sebagai kejahatan masyarakat.

2. Pengetahuan hukum pidana dang perundang-undangan pidana harus memperhatikan hasil studi antropologi dan sosiologi.

3. Pidana merupakan suatu alat ampuh yang dikuasai oleh negara dalam penentangan terhadap kejahatan, tetapi bukan satu-satunya alat yang dapat diterapkan sendiri, tetapi selalu dengan kombinasi dengan tindakan sosial, khususnya dengan tindakan preventif.19

Perlu mendapatkan perhatian bahwa, ilmu hukum pidana adalah objek penyelidikannya khusus, mengenai aturan-aturan hukum pidana yang berlaku dalam suatu negara. Tujuannya adalah menyelidiki objek dari hukum pidana positif yakni yang terdiri dari, interpretasi agar dapat diketahui aturan hukum pidana masa lalu yang menghambat atau menghalangi perkembangan masyarakat. Konstruksi dimaksudkan untuk mengetahui unsur-unsur dari rumusan delik yang terdiri dari berbagai bagiannya. Sistematik, yaitu mengadakan sistem dalam suatu bagian hukum pada khususnya atau seluruhnya, dimaksudkan agar peraturan yang banyak

18Ibid. hal. 21.

19 Andi Zaenal Abidin dan Andi Hamzah, Bentuk-Bentuk Khusus Perujudan Delik (Percobaan,

Penyertaan, dan Gabungan Delik) dan Hukum Peneitensir, Jakarta, Sumber Ilmu Jaya, 2001,

hlm. 258.


(41)

31

itu tidak merupakan hutan belukar yang sukar dan berbahaya untuk diambil kemanfaatannya, dan tetap menjadi tanaman yang indah teratur serta memberikan kegunaan maksimal kepada masyarakat.20

Seperti yang telah diuraikan diatas dapat diketahui bahwa, dalam hukum pidana penentuan perbuatan-perbuatan apa yang perlu diancam dengan pidana, dan jenis-jenis pidana serta cara penerapannya. Sanksi pidana sangat penting, tetapi dalam penerapannya menurut penulis sanski tersebut masih jauh dari kata keadilan yang dapaat dilihat dari penjatuhan sanksi itu sendiri.

Perkembangan sistem sanksi dalam hukum pidana, memasuki pula perhatian mengenai kejahatan. Baik buruknya mengenai perangai seseorang tidak hanya ditentukan oleh dirinya ssendiri, tetapi lingkungannya ikut bertanggungjawab atass perbuatannya. Penjahat itu diciptakan bukanlah dilahirkan, sehingga manusia tidak dapat dilepaskan dari dirinya dan proses interaksi timbal balik antara diri dan lingkungan massyarakatnya. Hal tersebut menyebabkan setiap masyarakat mempunyai produk penjahatnya sendiri. Masyarakat menjadi ladang yang subur bagi aneka ragam bentuk kejahatan. Masyarakat yang sakit, masyarakat yang penuh patologi merupakan rahim yang produktif melahirkan aneka ragam penjahat. Apabila penjahat dibiarkan sebagai limbah masyarakat yang berserakan di seantero wilayah, dengan demikian masyarakat ibarat penghasil wabah.

KUHP pengaturan mengenai prostitusi belum banyak diatur. Hal ini dikarenakan dalam KUHP prostitusi masuk dalam ruang lingkup kejahatan kesusilaan. Prostitusi yang dengan kata lain kejahatan kesusilaan dalam penentuan


(42)

32

delik untuk menjerat para pelakunya belum begitu jelas diterangkan. Secara singkat prostitusi dapat termasuk dalam delik kesusilaan, dengan kata lain delik prostitusi berhubungan dengan (masalah) kesusilaan. Definisi singkat dan sederhana itu apabila dikaji lebih lanjut untuk mengetahui seberapa jauh ruang lingkupnya ternyata tidak mudah, dikarenakan pengertian dan batas-batas “kesusilaan” itu cukup luas dan dapat berbeda-beda menurut pandangan dan nilai-nilai yang berlaku di dalam masyarakat. Terlebih pada dasarnya setiap delik atau tindak pidana mengandung di dalamnya pelanggaran terhadap nilai-nilai kesusilaan, bahkan dapat dikatakan bahwa hukum itu sendiri pada hakikatnya merupakan nilai-nilai kesusilaan yang minimal.

Delik kesusilaan di dalam KUHP terdapat dalam Bab XIV Buku II yang

merupakan jenis “kejahatan” dan dalam Bab VI Buku III yang termasuk jenis “pelanggaran”. Disebutkan dalam Bab XIV Buku II dan VI Buku III yang termasuk dalam kelompok kejahatan kesusilaan meliputi perbuatan-perbuatan:21

a. Yang berhubungan dengan pelanggaran kesusilaan di muka umum dan yang berhubungan dengan benda-benda dan sebagainya yang melanggar

kesusilaan/bersifat porno (Pasal 281-283);

b. Zina dan sebagainya yang berhubungan dengan perbuatan cabul dan hubungan seksual (Pasal 284-296);

c. Perdagangan wanita dan anak laki-laki di bawah umur (Pasal 297);

d. Yang berhubungan dengan pengobatan untuk menggugurkan kehamilan (Pasal 299);

21 Barda Nawawi Arief Kebijakan Hukum Pidana Perkembangan penyusunan Konsep KUHP


(43)

33

e. Yang berhubungan dengan minuman memabukkan (Pasal 300); f. Menyerahkan anak untuk pengemisan dan sebagainya (Pasal 301); g. Penganiayaan terhadap hewan (Pasal 302);

h. Perjudian (Pasal 303 dan 303 bis).22

Menurut KUHP, seseorang yang melakukan hubungan kelamin atau persetubuhan di luar pernikahan atas dasar suka sama suka pada prinsipnya tidak dipidana, kecuali terbukti ada perzinahan (salah satu pihak sudah kawin). Dipidana menurut KUHP, hanya apabila persetubuhan di luar pernikahan itu dilakukan secara paksa (perkosaan), terhadap orang yang pingsan, tidak berdaya atau terhadap anak di bawah umur 15 tahun. Berdasarkan ketentuan demikian, maka menurut KUHP tidaklah merupakan tindak pidana dalam hal-hal sebagai berikut:23

1. Dua orang belum kawin yang melakukan persetubuhan, walaupun:

a. Perbuatan itu dipandang bertentangan dengan atau mengganggu persoalan moral masyarakat;

b. Wanita itu mau melakukan persetubuhan karena tipu muslihat atau janji akan dinikahi, tetapi diingkari;

c. Berakibat hamilnya wanita itu dan si laki-laki tidak bersedia menikahinya atau ada halangan untuk nikah menurut undang-undang.

2. Seorang laki-laki telah beristri menghamili seorang gadis (berarti telah melakukan perzinahan), tetapi istrinya tidak membuat pengaduan untuk menuntut.

3. Seseorang melakukan hidup bersama dengan orang lain sebagai suami istri di

22Ibid. hal. 254.


(44)

34

luar perkawinan, padahal perbuatan itu tercela dan bertentangan dengan atau mengganggu perasaan/moral masyarakat setempat.24

D. Prostitusi dalam Perspektif Hukum Pidana Islam

Prostitusi merupakan permasalahan yang sangat kompleks karena menyangkut berbagai aspek kehidupan masyarakat. Kegiatan prostitusi menyangkut aspek sosial, gender, hukum, kesehatan, moral dan etika, agama, pendidikan, psikologis, ekonomi dan industrialisasi, dan juga masalah politik.25 Permasalahan yang diakibatkan oleh prostitusi, antara lain:26

1. Ditinjau dari segi pendidikan, prostitusi berarti demoralisasi; 2. Ditinjau dari segi sosial, prostitusi dianggap kanker masyarakat; 3. Ditinjau dari sudut agama, prostitusi adalah haram;

4. Ditinjau dari sudut kesehatan, prostitusi membahayakan keturunan; Keempat hal tersebut dapat dilihat bagaimana prostitusi dapat dikatakan sebagai perbuatan yang sewajarnya dijauhi oleh masyarakat. Dua hal yang pertama mengatakan bahwa perbuatan prostitusi itu merupakan bentuk demoralisasi dan kanker masyarakat. Hal tersebut menunjukkan bagaimana tercelanya perbuatan prostitusi itu di mata masyarakat.

Pada hal yang ketiga adalah mengenai pandangan prostitusi dari sudut agama, khususnya Islam sebagai agama mayoritas di Indonesia. Sebagaimana

24Ibid. hal. 259.

25

Syafruddin, Prostitusi Sebagai Penyakit Sosial dan Problematika Penegakkan Hukum,

<http://library.usu.ac.id/modules.php?op=modload&name=Downloads&file=index&req=get it&lid=196>, diunduh pada hari Senin 29 Agustus 2016, pada pukul 16:43 WIB.

26

Soedjono D., Pelacuran Ditinjau Dari Segi Hukum Dan Kenyataan Dalam Masyarakat,

Bandung,


(45)

35

diketahui secara umum bahwa prostitusi itu sangat dekat dengan tindakan persetubuhan di luar nikah, yang mana dalam pandangan Islam tindakan tersebut dapat dikatakan sebagai zina.27

Al-Quran sendiri menyebutkan bahwa perbuatan zina itu tergolong sebagai perbuatan yang haram. Disebutkan antaralain dalam surah Al-Isra ayat 32:28

Dan janganlah kamu sekali-sekali melakukan perzinahan, sesungguhnya perzinahan itu merupakan suatu perbuatan yang keji, tidak sopan dan jalan yang buruk.

dan juga dalam surah An Nur ayat 2 yang menyatakan:29

Perempuan dan laki-laki yang berzina, deralah kedua-duanya, masing-masing seratus kali dera. Janganlah sayang kepada keduanya dalam menjalankan hukum Agama ALLAH, kalau kamu betul-betul beriman kepada ALLAH dan hari kemudian; dan hendaklah hukuman bagi keduanya itu disaksikan oleh sekumpulan orang-orang yang beriman.

Prostitusi dalam Agama Islam juga disebut dengan zina, zina termasuk perbuatan dosa besar. Hal ini dapat dilihat dari urutan penyebutannya setelah dosa

musyrik dan membunuh tanpa alasan yang haq (benar), Allah berfirman: “Dan

orang-orang yang tidak menyembah tuhan yang lain beserta Allah dan tidak membunuh jiwa yang diharamkan Allah kecuali dengan (alasan) yang benar dan

tidak berzina.” (QS. Al-Furqaan: 68). Imam Al-Qurthubi mengomentari, “Ayat ini menunjukkan bahwa tidak ada dosa yang lebih besar setelah kufur selain

27

Ahmad Wardi Muslich, Hukum Pidana Islam, Jakarta, Sinar Grafika, 2005, hal. 3.

28

H.B. Jassin, Al-Quran Bacaan Mulia, Jakarta, Djambatan, 1978, hal. 429.


(46)

36

membunuh tanpa alasan yang dibenarkan dan zina.”. Menurut Imam Ahmad,

perbuatan dosa besar setelah membunuh adalah zina.

Islam melarang dengan tegas perbuatan zina karena perbuatan tersebut adalah kotor dan keji. Syaikh Abdurrahman bin Nashir As-Sa’di, seorang ulama

besar Arab Saudi, berkomentar: “Allah Swt telah mengategorikan zina sebagai perbuatan keji dan kotor. Artinya, zina dianggap keji menurut syara’, akal dan fitrah

karena merupakan pelanggaran terhadap hak Allah, hak istri, hak keluarganya atau suaminya, merusak kesucian pernikahan, mengacaukan garis keturunan, dan

melanggar tatanan lainnya”.30

Islam telah menetapkan hukuman yang tegas bagi pelaku zina dengan hukuman cambuk seratus kali bagi yang belum nikah (zina ghairu muhsan) dan hukuman rajam sampai mati bagi orang yang menikah (zina muhsan). Tindak pidana zina dalam hukum pidana Islam memiliki potret khas. Pertama, ancaman hukuman bagi pelakunya sangat berat. Kedua, proses pembuktiannya lebih berat dari tindak pidana lain. Ketiga, tuduhan zina yang tidak terbukti (tuduhan palsu zina) diancam dengan hukuman berat juga, yakni 80 kali cambukan dan tidak diterima lagi sebagai saksi (sebagai hukuman moral). Keempat, jika seorang terpidana menerima hukuman itu dengan ikhlas dan taubat, maka sanksi di dunia itu sebagai pengganti sanksi di akhirat (ada kaitan antara berlakunya hukum di dunia dan akibat di akhirat). Kelima, baik orang yang sudah menikah (muhsan) maupun yang belum menikah (ghairu muhsan) dapat menjadi subjek (pelaku)

30

Wikipedia, Pelacuran dalam Pandangan Agama Islam,

https://id.wikipedia.org/wiki/Pelacuran_menurut_agama#Pelacuran_dalam_Pandangan_Agama_ Islam, diunduh pada hari Sabtu 27 Agustus 2016, pada pukul 14:20 WIB.


(47)

37

tindak pidana zina.31 Selain hukuman fisik tersebut, hukuman moral atau sosial juga diberikan bagi mereka yaitu berupa diumumkannya aibnya, diasingkan (taghrib), tidak boleh dinikahi dan ditolak persaksiannya. Hukuman ini sebenarnya lebih bersifat preventif (pencegahan) dan pelajaran berharga bagi orang lain. Hal ini mengingat dampak zina yang sangat berbahaya bagi kehidupan manusia, baik dalam konteks tatanan kehidupan individu, keluarga (nasab) maupun masyarakat.

31 Topo Santoso, Membumikan Hukum Pidana Islam Penegakan Syariat dalam Wacana dan


(48)

39

BAB III

JENIS PROSTITUSI DAN UPAYA PENANGGULANGANNYA

A. Pengertian dan Ciri Prostitusi 1. Pengertian Prostitusi

Kata prostitusi berasal dari bahasa latin “prostitution (em)”, kemudian diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris menjadi ”prostitution”, yang

memiliki arti pelacuran, persundelan, ketuna-susilaan, dan kemudian menjadi prostitusi dalam bahasa Indonesia. Banyak para ahli yang mendefinisikan mengenai prostitusi diantaranya:

1. Menurut James A. Inciardi sebagaimana yang dikutip oleh Topo Santoso, prostitusi adalah penawaran hubungan seksual untuk memperoleh uang atau keuntungan lainnya.1

2. Iwan Bloch berpendapat, prostitusi adalah suatu bentuk perhubungan kelamin di luar pernikahaan dengan pola tertentu, yakni kepada siapa pun secara terbuka dan hampir selalu dengan pembayaran baik untuk persebadanan, maupun kegiatan seks lainnya yang memberikan kepuasaan yang diinginkan oleh yang bersangkutan.2

3. W.A. Bonger dalam tulisannya MaatschapplelijkeOorzaken der Prostitutie

menulis definisi sebagai berikut. Prostitusi ialah gejala kemasyarakatan di mana wanita menjual diri melakukan perbuatan-perbuatan seksual sebagai

1 Dewi Bunga, Prostitusi Cyber (Diskursus Penegakan Hukum Dalam Anatomi Kejahataan

Tradisional), Bali, Udayana University Press, 2011, hlm. 11.

2 Soerjono D., Pelacuran Ditinjau Dari Segi Hukum Dan Kenyataan Dalam Masyarakat, PT.


(49)

40

mata pencarian.3 Menurut definisi yang dikemukakan oleh W.A. Bonger ini jelas dinyatakan adanya peristiwa penjualan diri sebagai profesi atau mata pencarian sehari-hari dengan melakukan hubungan seksual dengan lawan jenisnya.

4. P.J. de Bruine van Amstel menyatakan bahwa prostitusi adalah penyerahan diri dari wanita kepada banyak laki-laki dengan pembayaran. Definisi menurut P.J de Bruine van Amstel di atas mengemukakan adanya unsur-unsur ekonomis dan penyerahan diri wanita yang dilakukan secara berulang-ulang atau terus menerus dengan banyak laki-laki.4

5. Menurut Kartini Kartono prostitusi adalah bentuk penyimpangan seksual, dengan pola organisasi impuls/dorongan seks yang tidak wajar dan terintegrasi dalam bentuk pelampiasan nafsu-nafsu sek tanpa kendali dengan banyak orang (promiskuitas), disertai eksploitasi dan komersialisasi yang impersonal tanpa afeksi sifatnya.5

Dari uraian yang dikemukakan oleh beberapa tokoh di atas penulis mendefinisikan bahwa prostitusi adalah suatu kegiatan komersil dari hubungan seks antara laki-laki dengan perempuan dimana terdapat seseorang yang menghubungkan antara laki-laki yang mencari kepuasan seks dengan wanita yang menjajakan seks demi memperoleh imbalan dari jasa seks yang diberikannya.

2. Ciri-Ciri Prostitusi

3 Kartini Kartono, Patologi Sosial Jilid 1, Bandung, PT RajaGrafindo Persada, 1981, hlm. 213 dan 214.

4Ibid. hal. 218.

5 Heriana Eka Dewi, Memahami Perkembangan Fisik Remaja, Yogyakarta, Gosyen Publishing,


(50)

41

Di desa-desa, hampir-hampir tidak terdapat pelacur. Jika ada, mereka itu adalah pendatang-pendatang dari kota yang singgah unttuk beberapa hari atau pulang ke desanya. Hal tersebut merupakan realitas yang ada di masyarakat bahwasannya prostitusi merupakan efek dari modernisasi dan globalisasi demi pemenuhan kebutuhan seks. Seseorang yang tanpa mempunyai suatu keterampilan akan sulit bersaing pada era globalisasi seperti sekarang ini.

Dengan modal pengetahuan dan keterampilan yang seadanya, tanpa mengetahui perbedaan yang sangat kontras antara perdesaan di kota-kota kecil dengan perkotaan merupakan kendala utama dalam memperoleh pekerjaan yang diimpikan sebelumnya. Keadaan terpaksa oleh kegagalan demi kegagalan untuk mendapatkan pekerjaan legal, keengganan untuk kembali ke desa, ditunjang dengan tipuan dan rayuan para lelaki hidung belang merupakan langkah awal menuju dunia prostitusi.

prostitusi merupakan profesi tertua di dunia. Semenjak ada kehidupan manusia, telah ada prostitusi, dan akan terus ada selama masih ada kehidupan manusia. Menurut Kartini Kartono hal ini didasarkan anggapan bahwa secara naluriah, manusia baik sebagai mahluk individu maupun sebagai mahluk sosial, melalui berbagai cara dan usaha dalam bentuk budaya, mempunyai kehendak yang antara lain:6 (1) mempertahankan dirinya dari gangguan dan tantangan yang ada; (2) mempertahankan hidup dan mengembangkan kehidupannya; (3) mempertahankan hidup generasinya melalui perkawinan; (4) mengadakan hubungan seksual antara kedua jenis kelamin untuk memenuhi kebutuhan biologis; dan lain-lain

6


(51)

42

Dari pendapat beberapa ahli melalui hasil penelitiannya dapat disimpulkan bahwa di dalam praktek prostitusi terdapat unsur-unsur atau ciri-ciri sebagai berikut:7

a. Para pelaku atau subyek prostitusi adalah orang laki-laki dan orang perempuan di luar hubungan pernikahan.

b. Peristiwa yang dilakukan adalah hubungan seksual atau hubungan persetubuhan, yang dilakukan atas kesepakatan bersama antara kedua pihak, atau bukan karena paksaan.

c. Tujuannya adalah pemenuhan kebutuhan biologis (bagi laki-laki), dan kebutuhan uang (bagi perempuan).

B. Jenis Prostitusi

Menurut Kartini Kartono jenis prostitusi dapat dibagi menurut aktivitasnya yaitu terdaftar dan terorganisasi, dan yang tidak terdaftar :8

1) Prostitusi yang terdaftar

Pelakunya diawasi oleh bagian Vice Control dari Kepolisian, yang dibantu dan bekerja sama dengan Jawatan Sosial dan Jawatan Kesehatan. Pada umumnya mereka dilokalisasi dalam satu daerah tertentu.

2) Prostitusi yang tidak terdaftar

Termasuk dalam kelompok ini ialah mereka yang melakukan prostitusi secara gelap-gelapan dan liar, baik secara perorangan maupun dalam kelompok. Perbuatannya tidak terorganisasi, tempatnya pun tidak tertentu. Mereka tidak mencatatkan diri kepada yang berwajib.

7 Nardi, Prostitusi sebagai Pionir Pengembangan Kota, Yogyakarta, Perpustakaan Universitas Gadjah Mada, 2013, hlm: 11.


(52)

43

Kompleks pelacuran yang terdaftar dan teratur dengan rapi di Indonesia ialah Silir, yang terletak di pinggiran kota Solo sebelah Timur. Bagi pengunjungnya disediakan karcis masuk, dan semua kendaraan harus diparkirkan di sebelah luar. Selain di Solo, Yogyakarta juga mempunyai tempat prostitusi yang terdaftar yang telah dikenal sampai luar daerah Yogyakarta sendiri yaitu Sarkem. Sarkem yang kepanjangannya Pasar kembang merupakan tempat prostitusi yang terletak di sebelah selatan Stasiun Tugu Yogyakarta yang bersebelahan dengan Pasar Kembang. Sebelum masuk pengunjung memarkirkan kendaraanya di sebelah utara pintu masuk yang ditandai dengan gapura kecil. Pengunjung juga diwajibkan membayar biaya masuk ke Sarkem.

Daerah Wonogiri yang secara geofisik sangat miskin gersang dan kering pada musim pecekik menjadi supplayer/penghasil wanita tunasusila dan penghuni

Silir paling banyak. Maka prostitusi dianggap sebagai “obat mujarab” untuk

memerangi kemiskinan dan perut yang lapar.

Menurut jumlahnya, prostitusi dapat dibagi menjadi :9

1) Prostitusi yang beroperasi secara individual merupakan single operator atau; 2) Prostitusi yang bekerja dengan bantuan organisasi dan sindikat yang teratur

rapi akan diatur melalui satu system kerja suatu organisasi.

Menurut tempat penggolongannya atau lokasinya, prostitusi dapat dibagi menjadi :10

9Ibid. hal. 252.


(53)

44

1) Segregasi atau lokalisasi, yang terisolasi atau terpisah dari kompleks penduduk lainnya. Kompleks ini dikenal sebagai daerah lampu merah, atau petak-petak daerah tertutup;

2) Rumah-rumah panggilan (call houses, tempat rendezvous, parlour); 3) Di balik front organisasi atau di balik bisnis-bisnis terhormat.

Lokalisasi itu pada umumnya terdiri atas rumah-rumah kecil yang berlampu merah, yang dikelola oleh mucikari atau germo. Di luar negri, germo mendapt sebutan

“madam”, sedang di Indonesia mereka biasa dipanggil dengan sebutan “mama” atau “mamy”. Di tempat tersebut disediakan segala perlengkapan, tempat tidur,

kursi tamu, pakaian, dan alat berhias. Disiplin di tempat-tempat lokalisasi tersebut diterapkan dengan ketat. Wanita-wanita pelacur itu harus membayar pajak rumah dan pajak obat-obatan, sekaligus juga uang keamanan agar mereka terlindungi dan terjamin identitasnya.

Tujuan dari lokalisasi ialah :11

1) Untuk menjauhkan masyarakat umum dari pengaruh-pengaruh immoral dari praktik pelacuran;

2) Memudahkan pengawasan para PSK, terutama mengenai kesehatan dan keamanannya. Memudahkan tindakan preventif dan kuratif terhadap penyakit kelamin;

3) Mencegah pemerasan yang keterlaluan terhadap para PSK;


(54)

45

4) Memudahkan bimbingan mental bagi para pelacur, dalam usaha rehabilitasi dan resosialisasi. Khususnya diberikan pelajaran agama guna memperkuat iman, agar bias tabah dalam penderitaan;

5) Kalau mungkin diusahakan pasangan hidup bagi para wanita tunasusila yang bener-bener bertanggung jawab, dan mampu membawanya ke jalan benar. Usaha ini bisa mendukung program pemerataan penduduk dan memperluas kesempatan kerja di daerah baru.

Suasana dalam kompleks lokalisasi PSK itu sangat kompetitif, khususnya dalam bentuk persaingan memperebutkan lelaki hidung belang. Apa yang disebut sebagai rumah pangilan atau call houses ialah rumah biasa di tengah kampong atau lingkungan penduduk baik-baik, dengan organisasi yang teratur rapi dalam bentuk sidikat yang secara gelap menyediakan macam-macam tipe wanita pelacur. Keadaan rumahnya tidak menyolok, agak tersembunyi atau anonim. Gadis-gadis yang diperlukan dipanggil melalui telepon atau dijemput dengan kendaraan khusus milik organisasi, disebut pula sebagai call-girls. Mereka itu pada umumnya melakukan relasi seks klandestin/gelap sebagai part time job atau pekerjaan sambilan.

Ringkasnya, pelacuran itu tumbuh dengan pesatnya di kota-kota yang tengah berkembang. Semakin besar kebutuhan kaum pria akan pemuasan dorongan-dorongan seksnya sebagai kompensasi dari kegiatan kerjanya setiap hari untuk melepaskan segenap ketegangan, semakin pesat pula bertumbuhan pusat-pusat pelacuran di kota-kota dan ibu kota.


(1)

91 BAB V PENUTUP

A. Kesimpulan

Berdasarkan uraian pembahasan yang telah dijelaskan maka penulis dapat menarik kesimpulan sebagai berikut:

1. KUHP sebagai sumber hukum pidana yang belum mengatur mengenai bagi pelaku prostitusi membuat prostitusi masih eksis aktivitasnya di tengah-tengah masyarakat. Adapun aturan yang dapat digunakan untuk menjerat pidana PSK dan lelaki hidung belang diatur di luar KUHP menurut kebijakan masing-masing pemerintah daerah di wilayah Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta. Kabupaten Bantul memiliki kebijakan mengenai praktek prostitusi di wilayahnya dalam Perda Bantul No 5 tahun 2007 tentang Larangan Pelacuran. Bagi daerah yang belum memeiliki aturan prostitusi seperti yang ada di Kabupaten Bantul sulit untuk menindak secara hukum para pelakunya. Smenetara itu Kabupaten Sleman yang belum memiliki aturan mengenai larangan prostitusi menggunakan aturan mengenai izin gangguan untuk menindak secara administratif terhadap pelaku prostitusi diwilayahnya yang menggunakan modus tempat usaha seperti panti pijat, salon, dan kos-kosan. Hal tersebut menandakan bahwa aturan mengenai prostitusi lewat kebijakan pemerintah daerah sudah baik akan tetapi perlu aturan yang mengatur secara nasional agar semua pelaku prostitusi dapat ditindak secara hukum dan memberikan efek jera sehingga tidak mengulangi perilaku menyimpangnya tersebut.


(2)

92

2. Kendala dalam penegakan hukum terhadap prostitusi yang belum maksimal karena belumada aturan untuk menjerat mucikari, PSK dan lelaki hidung belang. Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta yang terdiri dari empat kabupaten dan satu kotamadya hanya Kabupaten Bantul memiliki Perda No 5 Tahun 2007 tentang Larangan Pelacuran, sementara itu Kabupaten Sleman, Kulonprogo, Gunung Kidul belum mimiliki. Apabila terjadi penangkapan oleh aparat penegak hukum terhadap pelaku prostitusi maka akan sulit untuk menjeratnya, hanya mucikarinya saja yang dapat dijerat sementara PSK dan lelaki hidung belangnya tidak. Selain dari segi peraturan perundang-undangan yang belom ada fasilitas sarana dan prasarana yang ada di kantor Satuan Polisi Pamong Praja belum memadai. Belum adanya tempat penyidikan dan tempat penahanan sementara yang akan digunakan untuk mempersiapkan Berita Acara Pemeriksaan. Hal itu menjadi keluhan karena Satuan Polisi Pamong Praja juga merupakan aparat penegak hukum yang dalam menunjang tugas dan kewajibannya memerlukan hal tersebut. B. Saran

Berdasarkan uraian pembahasan yang telah diuraikan maka saran penulis sebagai berikut:

1. RUU KUHP yang segera dibahas oleh DPR RI perlu memuat Bab atau Pasal mengenai prostitusi yang dimana didalamnya memuat hukuman bagi pelaku prostitusi baik mucikari, PSK, maupun lelaki hidung belang.

2. Harus ada aturan untuk menindak pelaku prostitusi baik itu dalam pengaturan secara nasional maupun melalui kebijakan setiap daerah.


(3)

93

3. Pemerintah Daerah yang belum mempunyai Perda tentang larangan prostitusi atau pelacuran harus berinisiatif untuk membuat agar ada aturan hukum yang bisa digunakan untuk menjerat pelaku prostitusi, sehingga tidak menimbulkan ketidakadilan karena hanya mucikarinya saja yang dikenakan jeratan hukum.

4. Hukuman dijatuhkan kepada pelaku prostitusi baik mucikari, PSK, maupun lelaki hidung belang yang termasuk recidive harus lebih berat baik itu hukuman pidana penjara maupun pidana denda untuk memberikan efek jera.


(4)

DAFTAR PUSTAKA

Abdulsyani, 1978, Sosiologi Kriminalitas, Bandung, Remaja Karya.

Aloysius Wisnubroto, 1999, Kebijakan Hukum Pidana dalam Penanggulangan Penyalahgunaan Komputer, Yogyakarta, Universitas Atmajaya

Andi Zaenal Abidin dan Andi Hamzah, 2001, Bentuk-Bentuk Khusus Perujudan Delik (Percobaan, Penyertaan, dan Gabungan Delik) dan Hukum Peneitensir, Jakarta, Sumber Ilmu Jaya.

Ahmad Wardi Muslich, 2005, Hukum Pidana Islam, Jakarta, Sinar Grafika.

Barda Nawawi Arief, 2014, Kebijakan Hukum Pidana (Perkembangan Penyusunan Konsep KUHP Baru), Semarang, Prenadamedia Group.

Barda Nawawi Arief, 2006, Tindak Pidana Mayantara Perkembangan Kajian Cyber Crime Di Indonesia, Jakarta, Raja Grafindo Persada.

Dewi Bunga, 2011, Prostitusi Cyber (Diskursus Penegakan Hukum Dalam Anatomi Kejahataan Tradisional), Bali, Udayana University Press.

Heriana Eka Dewi, 2012, Memahami Perkembangan Fisik Remaja, Yogyakarta, Gosyen Publishing.

H.B. Jassin, 1978, Al-Quran Bacaan Mulia, Jakarta, Djambatan.

Lilik Mulyadi, 2008, Bunga Rapai Hukum Pidana Perspektif Teoritis dan Praktik, Bandung, PT. Alumni.

Loebby Loqman, 1995, Percobaan Penyertaan dan gabungan Tindak Pidana, Jakarta, Universitas Tarumanegara UPT.

Kartini Kartono, 1981, Patologi Sosial Jilid 1, Bandung, PT Rajagrafindo Persada. Mahmud Mulyadi, 2008, Criminal Policy:Pendekatan Integral Penal Policy dan Non Penal Policy Dalam Penanggulangan Kejahatan Kekerasan, Medan, Pustaka Bangsa Press.

Moeljatno, 1993, Asas-Asas Hukum Pidana, Jakarta, Rineke Cipta.

Mudjijono, 2005, Sarkem “Reproduksi Sosial Pelacuran, Yogyakarta, UGM (Gadjah Mada University Press).

Mukhti Fajar, Yulianto Achmad, 2007, Dualisme Penelitian Hukum, Yogyakarta, Fakultas Hukum Universitas Muhammadiyah Yogyakarta.


(5)

Nardi, 2013, Prostitusi sebagai Pionir Pengembangan Kota, Yogyakarta, Perpustakaan Universitas Gadjah Mada.

Sudarto, 1981, Hukum dan Hukum Pidana, Bandung, Alumni.

Sudarto, 1983, Hukum Pidana dan Perkembangan Masyarakat, Bandung, Sinar Baru.

Syaiful Bakhri, 2010, Kebijakan Kriminal dalam Perspektif Pembaruan Sistem Peradilan Pidana Indonesia, Jakarta, Pusat Pengkajian dan Pengembangan Ilmu Hukum (P3IH) Fakultas Hukum Universitas Muhammadiyah Jakarta. Soedjono D, 1997, Pelacuran Ditinjau Dari Segi Hukum Dan Kenyataan Dalam

Masyarakat, Bandung, Karya Nusantara.

Teguh Prasetyo, 2011, Kriminalisasi dalam Hukum Pidana, Cet-2, Bandung, Nusamedia.

Topo Santoso, 2003, Membumikan Hukum Pidana Islam Penegakan Syariat dalam Wacana dan Agenda, Jakarta, Gema Insani.

Peraturan Perundang-undangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana

Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana

Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2007 tentang Tindak Pidana Perdagangan Orang Perda Bantul Nomo 5 Tahun 2007 tentang Larangan Pelacuran

Perda Sleman No 5 Tahun 2014 tentang Izin Gangguan

PERBUP Sleman No 36 Tahun 2015 tentang Petunjuk Pelaksanaan Perda No 5 Tahun 2014

Jurnal/ Majalah/ Website

Dini Nurilah, Merebaknya Bisnis Prostitusi Online di Ibukota, 19 Mei 2015, http://news.liputan6.com/read/2234578/merebaknya-bisnis-prostitusi-online-di-ibukota, diunduh pada hari Rabu 3 Agustus 2016, jam 22:17 WIB. Fahira Idris, Perlu Ada Sanksi Tegas Bagi Pelanggan PSK, 27 Mei 2015,


(6)

http://www.hukumonline.com/berita/baca/lt55659d405ce5c/perlu-ada-sanksi-tegas-bagi-pelanggan-psk., diunduh pada hari Rabu 28 Oktober 2015, jam. 02:25 WIB.

Syafruddin, Prostitusi Sebagai Penyakit Sosial dan Problematika Penegakkan Hukum,<http://library.usu.ac.id/modules.php?op=modload&name=Downl oads&file=index&req=getit&lid=196>, diunduh pada hari Senin 29 Agustus 2016, pada pukul 16:43 WIB.

Wikipedia, Pelacuran dalam Pandangan Agama Islam, https://id.wikipedia.org/wiki/Pelacuran_menurut_agama#Pelacuran_dalam _Pandangan_Agama_Islam, diunduh pada hari Sabtu 27 Agustus 2016, pada pukul 14:20 WIB.

Sunartono, Prostitusi Terselubung di Sleman Berkedok Rumah Kos, Pasang Iklan

Panti Pijat, 11 Oktober 2014,

http://www.solopos.com/2014/10/11/prostitusi-terselubung-di-sleman-berkedok-rumah-kos-pasang-iklan-panti-pijat-543359, diunduh pada hari Senin 15 Agustus 2016, jam 01:20 WIB.