Faktor-Faktor Risiko Terjadinya Epilepsi Pada Anak Di Rsud Dr. Moewardi

DI RSUD DR. MOEWARDI SKRIPSI

Untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Kedokteran PARAMITA RISKI SETIANINGSIH G.0009166

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SEBELAS MARET Surakarta 2012

Paramita Riski Setianingsih, G0009166, 2012. Faktor-Faktor Risiko Terjadinya Epilepsi pada Anak di RSUD Dr. Moewardi. Skripsi. Fakultas Kedokteran Universitas Sebelas Maret, Surakarta.

Latar Belakang: Di Indonesia belum ada data epidemiologi tentang jumlah pasien epilepsi, tetapi dapat diperkirakan ada 900.000–1.800.000 pasien epilepsi. Kejang dapat dimulai pada semua umur, sekitar 30–32,9% penderita mendapat kejang pertama pada usia < 4 tahun, 50–51,5% terdapat pada kelompok usia < 10 tahun dan mencapai 75-83,4% pada usia < 20 tahun, 15% penderita pada usia > 25 tahun dan kurang dari 2% pada usia > 50 tahun. Beberapa faktor risiko yang dapat menyebabkan terjadinya epilepsi pada anak yaitu : riwayat herediter, asfiksia, kelahiran prematur, kejang demam kompleks, dan trauma kepala.

Metode Penelitian: Penelitian ini merupakan penelitian observasional analitik dengan pendekatan case-control. Sebanyak 84 subjek penelitian yang dipilih dengan metode consecutive sampling dan metode matching adalah pasien anak yang memeriksakan diri di Unit Rawat Jalan RSUD Dr. Moewardi. Pengambilan data dilakukan dengan wawancara terstruktur dan data rekam medik pasien. Hasil penelitian dianalisis menggunakan Chi-Square Test dilanjutkan dengan Regresi Logistik yang diolah menggunakan Statistical Product and Service Solution (SPSS) 16.00 for Windows.

Hasil Penelitian: Berdasarkan analisis data dengan metode Chi-Square Test didapatkan 2 faktor risiko tidak signifikan yaitu riwayat asfiksia (p = 0,121) dan riwayat kelahiran prematur (p = 0,393) serta 3 faktor risiko yang hasilnya signifikan, di antaranya riwayat herediter (p = 0,001), riwayat kejang demam kompleks (p = 0,000), dan riwayat trauma kepala (p = 0,001). Selanjutnya dilakukan analisis dengan metode regresi logistik, hasilnya faktor risiko yang berpengaruh dalam terjadinya epilepsi anak di Poli Anak RSUD Dr. Moewardi adalah kejang demam kompleks (OR = 18,267 ; Cl 95% 5,393 s.d. 61,873 ; p = 0,000) dan trauma kepala (OR = 16,341 ; Cl 95% 3,346 s.d. 79,801 ; p = 0,001).

Simpulan Penelitian: Faktor-faktor risiko terjadinya epilepsi anak yang paling berpengaruh dan memiliki nilai p yang signifikan adalah riwayat kejang demam kompleks dan riwayat trauma kepala. Penelitian lanjutan diperlukan untuk mengetahui faktor-faktor risiko lain yang berpengaruh dalam terjadinya epilepsi pada anak.

Kata Kunci: herediter, asfiksia, prematur, kejang demam kompleks, trauma kepala, epilepsi anak

Paramita Riski Setianingsih, G0009166, 2012. Risk Factors of Epilepsy on Children at RSUD Dr. Moewardi. Mini Thesis Faculty of Medicine Sebelas

Maret University, Surakarta.

Background: There is no definite epidemiologycal data about the number of patients with epilepsy in Indonesia, but it is estimated that there are 900.000– 1.800.000 epilepsy patients. The onset can be at any age, in which 30–32,9% patients experience the first convulsions less than 4 years age, in less than 10 years age group there is 50 51,5%, and in less than 20 years age 75–83,5%, in more than 25 years age 15% and in more than 50 years age 2%. Several risk factors that may cause epilepsy in children are hereditary, asphyxia, premature, complex febrille seizure, and head trauma.

Methods: This study was an observational analytical research using case-control approach. There is 84 subjects were selected using consecutive sampling and matching method consisting of pediatric patients who examined their health in Outpatient Units of Pediatric Clinics RSUD Dr. Moewardi. The data was collected by structured interview and by patient’s medical record. The data analyzed by Chi-Square test followed by Logistic Regression. All statistic analysis was measured by Statistical Product and Service Solution (SPSS) 16.00 for Windows.

Results: It could be found that two risk factors : asphyxia (p = 0,121) and premature (p = 0,393) was not significant and 3 risk factors : hereditary (p=0,001), febrille seizure (p = 0,000), and head trauma (p = 0,001). Logistic regression method result shows that the risk factors affecting epilepsy in children at RSUD Dr. Moewardi were Complex Febrille Seizure (OR = 18,267 ; Cl 95% 5,393 s.d. 61,873 ; p = 0,000) and head trauma (OR = 16,341 ; Cl 95% 3,346 s.d. 79,801 ; p = 0,001).

Conclusions: Risk factor of epilepsy in children were complex febrille seizure and head trauma history. There should be a further research to find out other factors affecting epilepsy in children incidence.

Keywords: hereditary, asphyxia, premature, complex febrille seizure, head trauma, epilepsy on children

PRAKATA

Alhamdulillah hirobbil’aalamin, segala puja dan puji penulis haturkan kehadirat Allah SWT, yang telah memberikan nikmatnya kepada penulis, sehingga dapat menyelesaikan penelitian yang berjudul Faktor-Faktor Risiko Terjadinya Epilepsi pada Anak di RSUD Dr. Moewardi. Penelitian tugas karya akhir ini merupakan salah satu persyaratan dalam menyelesaikan Program Sarjana Pendidikan Dokter di Fakultas Kedokteran Universitas Sebelas Maret Surakarta.

Penulis menyadari bahwa penelitian tugas karya akhir ini tidak akan berhasil tanpa adanya bantuan dari berbagai pihak, oleh karena itu dengan penuh rasa hormat ucapan terima kasih yang dalam saya berikan kepada:

1. Prof. Dr. Zainal Arifin Adnan, dr., Sp.PD-KR-FINASIM selaku Dekan Fakultas Kedokteran Universitas Sebelas Maret Surakarta. 2. Agus Soedomo, dr., Sp.S (K) selaku Pembimbing Utama yang telah

menyediakan waktu untuk membimbing hingga terselesainya skripsi ini. 3. Annang Giri Moelyo, dr., Sp.A, M.Kes. selaku Pembimbing Pendamping yang tak henti-hentinya bersedia meluangkan untuk membimbing hingga terselesainya skripsi ini.

4. Suratno, dr., Sp.S (K) selaku Penguji Utama yang telah memberikan banyak kritik dan saran dalam penyusunan skripsi ini. 5. Enny Ratna Setyowati, drg., M.Or selaku Penguji Pendamping yang telah

memberikan banyak kritik dan saran dalam penyusunan skripsi ini. 6. Prof Bhisma Murti, dr., MPH, MSc, PhD, Ari Probandari ,dr., MPH, Ph.D, Muthmainah, dr., M.Kes, S. Enny N, SH., MH, dan Mas Sunardi selaku Tim Skripsi FK UNS, atas kepercayaan, bimbingan, koreksi dan perhatian yang sangat besar sehingga terselesainya skripsi ini.

7. Yang tercinta kedua orang tua saya, Ayahanda Mulyadi dan Ibunda Endang Wahyuti, serta kakak dan adik saya, Novita Ayuningtyas dan Erlyta C. Astri tersayang dan seluruh keluarga besar yang senantiasa mendoakan tiada henti, dan memberikan support dalam segala hal sehingga terselesaikannya penelitian ini.

8. Yang tersayang Aditya Purnama Putra, yang selalu memberikan semangat, tenaga, serta doa untuk saya demi kelancaran skripsi ini. 9. Sahabat-sahabat terdekat Atika, Nita, Nilam, Qonita, Ratih, Puspa, Pratita, Isna, Acin, Asri, Brenda, Shita, teman-teman kelompok 19 dan angkatan 2009 atas semangat dan bantuan yang tak henti-henti dan waktu yang selalu tersedia.

10. Semua pihak yang secara langsung maupun tidak langsung membantu proses penelitian tugas karya akhir ini yang tidak mungkin disebutkan satu persatu.

Meskipun tulisan ini masih belum sempurna, penulis berharap skripsi ini dapat bermanfaat bagi pembaca. Saran, koreksi, dan tanggapan dari semua pihak sangat diharapkan.

Surakarta, November 2012

Paramita Riski Setianingsih

5. Karakteristik Sampel Berdasarkan Kondisi Kesehatan di luar Kejang...... .......................................................................................

55 B. Analisis Bivariat .................................................................................

55 1. Hubungan Riwayat Herediter dengan Terjadinya Epilepsi pada Anak.... ............................................................................................

56 2. Hubungan Riwayat Asfiksia dengan Terjadinya Epilepsi pada Anak ................................................................................................

57 3. Hubungan Riwayat Kelahiran Prematur dengan Terjadinya Epilepsi pada Anak .........................................................................

58 4. Hubungan Riwayat Kejang Demam dengan Terjadinya Epilepsi pada Anak .......................................................................................

59 5. Hubungan Riwayat Trauma Kepala dengan Terjadinya Epilepsi pada Anak .......................................................................................

60 C. Analisis Regresi Logistik Ganda ........................................................

60

BABV. PEMBAHASAN .......................................................................................

62

BABVI. SIMPULAN DAN SARAN .......................................................................

69 A. Simpulan .............................................................................................

69 B. Saran ...................................................................................................

69

DAFTAR PUSTAKA ...............................................................................................

70 LAMPIRAN

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Epilepsi merupakan salah satu penyakit tertua yang dikenal manusia dan merupakan kelainan neurologis paling umum yang mempengaruhi individu- individu dari segala usia (Banerjee et al., 2009). Epilepsi membawa banyak stigma negatif sehingga orang-orang dengan epilepsi tidak dapat menjalani hidup dengan normal. Anak-anak dengan epilepsi sering mengalami beban ganda karena ketidakmampuan belajar, gangguan kognitif, serta kinerja skolastik yang miskin (Attumalil et al., 2011).

Epilepsi dijumpai pada semua ras di dunia dengan insidensi dan prevalensi yang hampir sama, walaupun beberapa peneliti menemukan angka lebih tinggi di negara berkembang. Selain itu banyak juga ditemukan bahwa penderita laki-laki lebih banyak daripada penderita perempuan, dan lebih sering dijumpai pada anak pertama (Tjahjadi et al., 2009).

Menurut Riyadi dan Sukarmin (2009) Epilepsi merupakan gangguan susunan saraf pusat yang dicirikan oleh terjadinya serangan yang bersifat spontan dan berkala. Serangan dapat diartikan sebagai modifikasi fungsi otak yang bersifat mendadak dan sepintas yang berasal dari sekelompok sel-sel otak, bersifat sinkron dan berirama. Bangkitan kejang yang terjadi pada pasien epilepsi terjadi akibat lepasnya muatan listrik yang berlebihan di sel Menurut Riyadi dan Sukarmin (2009) Epilepsi merupakan gangguan susunan saraf pusat yang dicirikan oleh terjadinya serangan yang bersifat spontan dan berkala. Serangan dapat diartikan sebagai modifikasi fungsi otak yang bersifat mendadak dan sepintas yang berasal dari sekelompok sel-sel otak, bersifat sinkron dan berirama. Bangkitan kejang yang terjadi pada pasien epilepsi terjadi akibat lepasnya muatan listrik yang berlebihan di sel

Data mengenai insidensi kejang agak sulit diketahui. Diperkirakan bahwa 10% orang akan mengalami paling sedikit satu kali kejang selama hidupnya dan sekitar 0,3% sampai 0,5% akan didiagnosis epilepsi (didasarkan pada kriteria dua atau lebih kejang spontan/tanpa pemicu). Laporan-laporan spesifik jenis kelamin mengisyaratkan angka yang sedikit lebih besar pada laki-laki dibandingkan dengan perempuan. Insidensi berdasarkan usia memperlihatkan pola konsisten berupa angka paling tinggi pada tahun pertama kehidupan, penurunan pesat menuju remaja, dan pendataran secara bertahap selama usia pertengahan untuk kembali memuncak pada usia setelah 60 tahun. Lebih dari 75% pasien epilepsi mengalami kejang pertama sebelum usia 20 tahun; apabila kejang pertama terjadi setelah usia 20 tahun, maka gangguan kejang tersebut biasanya sekunder (Lombardo, 2005).

Menurut laporan World Health Organization (WHO) pada tahun 2000 diperkirakan penyandang epilepsi di seluruh dunia berjumlah 50 juta orang, 37 juta orang di antaranya adalah epilepsi primer dan 80% tinggal di negara berkembang. Diperkirakan 8,2 orang penyandang epilepsi aktif diantara 1000

2007). Di Indonesia belum ada data epidemiologis yang pasti tetapi dapat diperkirakan ada 900.000–1.800.000 penderita epilepsi. Awitan dapat dimulai pada semua umur tetapi terdapat perbedaan yang mencolok pada kelompok umur tertentu sekitar 30–32,9% penderita mendapat kejang pertama pada usia kurang dari 4 tahun, 50–51,5% terdapat pada kelompok usia kurang dari 10 tahun dan mencapai 75-83,4% pada usia kurang dari 20 tahun, 15% penderita pada usia lebih dari 25 tahun dan kurang dari 2% pada usia lebih dari 50 tahun (Tjahjadi et al., 2009).

Berdasarkan latar belakang tersebut dan karena masih tingginya prevalensi penderita epilepsi pada anak maka penulis tertarik untuk meneliti faktor-faktor risiko yang berpengaruh dalam terjadinya epilepsi pada anak di RSUD Dr. Moewardi.

B. Rumusan Masalah

Apakah Faktor-Faktor Risiko yang Berpengaruh dalam Terjadinya Epilepsi pada Anak di RSUD Dr. Moewardi?

C. Tujuan Penelitian

1. Tujuan Umum Untuk mengetahui faktor-faktor risiko yang berpengaruh dalam terjadinya epilepsi pada anak di RSUD Dr. Moewardi.

a. Mengetahui jumlah anak yang menderita epilepsi di RSUD Dr. Moewardi pada bulan Juni - Agustus tahun 2012.

b. Mengetahui pengaruh risiko herediter, risiko perinatal (asfiksia dan kelahiran prematur), dan risiko postnatal (kejang demam dan trauma kepala) terhadap terjadinya epilepsi pada anak di RSUD Dr. Moewardi.

D. Manfaat Penelitian

1. Manfaat Teoritis Penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi ilmiah mengenai faktor-faktor risiko yang berpengaruh dalam terjadinya epilepsi pada anak.

2. Manfaat Praktis Penelitian ini dapat dijadikan sebagai salah satu upaya preventif untuk mencegah terjadinya epilepsi sedini mungkin.

LANDASAN TEORI

A. Tinjauan Pustaka

1. Definisi Epilepsi

Epilepsi merupakan gangguan fungsi otak yang ditandai terjadinya serangan kejang (bangkitan) dengan konsekuensi perubahan neurobiologis, kognitif, psikologis, dan sosial. Definisi ini membutuhkan setidaknya satu kali bangkitan epilepsi dalam satu tahun yang tidak diprovokasi (Fisher et al., 2005).

Epilepsi menurut JH Jackson dalam Octaviana (2008) didefinisikan sebagai suatu gejala akibat cetusan pada jaringan saraf yang berlebihan dan tidak beraturan. Cetusan tersebut dapat melibatkan sebagian kecil otak (serangan parsial atau fokal) atau yang lebih luas pada kedua hemisfer otak (serangan umum). Epilepsi merupakan gejala klinis yang kompleks yang disebabkan berbagai proses patologis di otak. Epilepsi ditandai dengan cetusan listrik abnormal yang berlebihan dari neuron, dapat dideteksi dari gejala klinis, rekaman elektroensefalografi (EEG) atau keduanya.

Kejang rekuren, spontan, dan tidak disebabkan oleh kelainan metabolisme yang terjadi bertahun-tahun disebut epilepsi. Bangkitan motorik generalisata yang menyebabkan hilangnya kesadaran dan kombinasi kontraksi otot tonik-klonik disebut kejang. Terjadinya kejang dapat menimbulkan kontraksi otot rangka yang hebat dan involunter yang Kejang rekuren, spontan, dan tidak disebabkan oleh kelainan metabolisme yang terjadi bertahun-tahun disebut epilepsi. Bangkitan motorik generalisata yang menyebabkan hilangnya kesadaran dan kombinasi kontraksi otot tonik-klonik disebut kejang. Terjadinya kejang dapat menimbulkan kontraksi otot rangka yang hebat dan involunter yang

Menurut Smithson dan Walker (2012) Epilepsi bukan merupakan satu kesatuan tetapi lebih mengarah pada sekelompok kondisi dengan manifestasi yang berbeda tergantung pada bagian otak yang terlibat, usia individu, penyebab yang mendasari, dan aktivitas penyebaran serangan (bangkitan). Referensi tertulis pertama yang dikenal adalah tulisan kuno Babylonian lebih dari 3000 tahun yang lalu, di dalamnya tertulis bahwa epilepsi dianggap sebagai kelainan yang disebabkan oleh setan atau arwah. Lima ratus tahun kemudian konsep yang sama muncul dalam teks-teks Yunani. Yunani kuno menganggap bahwa hanya dewa yang bisa masuk ke alam bawah sadar seseorang dan membuat tubuhnya menjadi tidak terkontrol.

Epilepsi (yang juga disebut “kejang ayan”) ditandai dengan aktivitas berlebihan yang tidak terkendali dari sebagian atau seluruh korteks serebral. Orang yang mempunyai faktor predisposisi timbulnya epilepsi akan mendapat serangan bila nilai basal eksitabilitas sistem saraf (bagian yang peka terhadap keadaan epilepsi) meningkat di atas nilai ambang kritisnya. Selama besarnya eksitabilitas tetap dijaga di bawah nilai ambang, serangan epilepsi tidak akan terjadi (Guyton dan Hall, 2007).

berbagai gejala klinis, disebabkan oleh lepasnya muatan listrik dari neuron- neuron otak secara berlebihan dan berkala (Tjahjadi et al., 2009).

Kejang pada pasien epilepsi terjadi sebagai akibat ketidakseimbangan antara pengaruh inhibisi dan eksitasi (Scharfman, 2007). Pada beberapa kejadian, hilangnya refleks inhibisi lebih spesifik daripada peningkatan eksitasi yang mungkin menjadi penyebab mendasar dari gangguan epilepsi (Yu et al., 2006; Ogiwara et al., 2007).

Presentasi kejang tergantung pada lokasi terjadinya di otak, pola propagasi, kematangan otak, penyakit pengganggu, siklus tidur-bangun, obat-obatan, dan berbagai faktor lainnya. Kejang dapat mempengaruhi berbagai fungsi di otak, misalnya : fungsi sensorik, motorik, serta otonom; kesadaran; keadaan emosi; memori; kognitif; dan perilaku. Tidak semua kejang dapat mempengaruhi hal tersebut, tetapi setidaknya terdapat satu pengaruh yang dapat timbul pada diri seeorang akibat kejang (Fisher et al., 2005).

2. Patofisiologi Kejang

Membran neuronal terdiri atas lipid dan protein (lipoprotein) di seluruh membran. Setiap neuron memiliki resting potensial (potensial istirahat) yaitu keadaan dimana sel memiliki muatan arus listrik atau terpolarisasi. Sel saraf yang sedang beristirahat, seperti sel lain dalam tubuh mempertahankan perubahan potensial listrik (voltase) pada membran sel antara bagian dalam sel dan cairan ekstraseluler di sekeliling sel. Voltase di Membran neuronal terdiri atas lipid dan protein (lipoprotein) di seluruh membran. Setiap neuron memiliki resting potensial (potensial istirahat) yaitu keadaan dimana sel memiliki muatan arus listrik atau terpolarisasi. Sel saraf yang sedang beristirahat, seperti sel lain dalam tubuh mempertahankan perubahan potensial listrik (voltase) pada membran sel antara bagian dalam sel dan cairan ekstraseluler di sekeliling sel. Voltase di

Beda potensial tersebut terjadi karena terdapat perubahan arus positif dan negatif yang melintasi membran sel. Dalam ruang ekstraseluler di sepanjang membran didominasi oleh ion Na + dan Cl - , sedangkan K + , protein intraseluler yang bermuatan negatif, dan asam organik ditemukan dalam ruang intraseluler (Browne dan Holmes, 2008). Konsentrasi ion K + di dalam membran sel lebih tinggi daripada di luar membran; konsentrasi ion Na + di luar membran sel lebih tinggi daripada di dalam sel. Membran neuron sangat permeabel terhadap ion K + dan Cl - serta relatif impermeabel terhadap ion Na + . Membran ini impermeabel terhadap molekul ion yang besar dan protein (Sloane, 2004).

Perubahan pada potensial membran terjadi karena perubahan pada perpindahan ion menembus membran. Perubahan pada perpindahan ion ditimbulkan oleh perubahan pada permeabilitas membran sebagai respon terhadap berbagai kejadian pemicu. Bergantung pada jenis sinyal listriknya, kejadian pemicu dapat berupa (1) perubahan muatan listrik di sekitar membran peka rangsang; (2) interaksi suatu perantara kimiawi dengan reseptor permukaan tertentu di membran sel saraf; (3) rangsangan, misalnya gelombang suara yang merangsang sel-sel saraf khusus di telinga; atau (4) perubahan spontan potensial akibat ketidak seimbangan siklus bocor-pompa (Sherwood, 2011).

tidak dapat menembus lapis-ganda-lemak membran plasma maka muatan ini hanya dapat menembus membran melalui saluran yang spesifik baginya. Saluran membran dapat berupa saluran bocor atau saluran berpintu/bergerbang. Saluran bocor selalu terbuka, sehingga ion-ionnya dapat menembus membran melalui saluran ini tanpa kontrol. Sebaliknya, saluran berpintu memiliki pintu yang kadang terbuka, memungkinkan ion melewati saluran, kadang tertutup, mencegah lewatnya ion melalui saluran. Terdapat empat jenis saluran berpintu, bergantung pada faktor yang memicu perubahan konformasi saluran : (1) saluran berpintu voltase, yang membuka atau menutup sebagai respon terhadap perubahan potensial membran; (2) saluran berpintu kimiawi, yang mengubah konformasinya sebagai respon terhadap pengikatan pembawa pesan kimiawi tertentu dengan reseptor membran yang berkaitan erat dengan saluran; (3) saluran berpintu mekanis, yang berespon terhadap peregangan atau deformasi mekanis yang lain; dan (4) saluran berpintu termal, yang berespon terhadap perubahan suhu lokal baik panas ataupun dingin (Sherwood, 2011).

Pengurangan negativitas pada keadaan polarisasi disebut depolarisasi, peningkatan negativitas saat potensial istirahat dikenal sebagai hiperpolarisasi. Bergeraknya ion Na + ke dalam sel menyebabkan terjadinya

depolarisasi dan bergeraknya K + keluar atau Cl - yang masuk ke dalam sel dapat menyebabkan terjadinya hiperpolarisasi (Browne dan Holmes, 2008). Kalsium dan Natrium merupakan ion-ion yang berperan dalam sistem depolarisasi dan bergeraknya K + keluar atau Cl - yang masuk ke dalam sel dapat menyebabkan terjadinya hiperpolarisasi (Browne dan Holmes, 2008). Kalsium dan Natrium merupakan ion-ion yang berperan dalam sistem

Untuk memulai suatu potensial aksi, kejadian pemicu menyebabkan membran mengalami depolarisasi dari potensial istirahat -70mV. Depolarisasi berjalan lambat pada awalnya, sampai tercapai suatu ambang kritis yang disebut potensial ambang, biasanya antara -50 dan -55mV. Di potensial ambang ini timbul depolarisasi yang eksplosif. Rekaman potensial pada saat ini memperlihatkan defleksi cepat ke atas hingga +30 mV karena potensial dengan cepat membalikkan dirinya sehingga bagian dalam sel menjadi positif dibandingkan dengan bagian luarnya. Membran kemudian mengalami repolarisasi sama cepatnya dan kembali ke potensial istirahat. Gaya-gaya yang menyebabkan repolarisasi membran sering mendorong potensial terlalu jauh, menyebabkan hiperpolarisasi ikutan singkat saat bagian dalam membran menjadi lebih negatif daripada normal (misalnya, -

80 mV) sebelum akhirnya potensial membran pulih. Keseluruhan perubahan cepat potensial membran dari ambang ke puncak dan kemudian kembali ke istirahat lagi disebut potensial aksi (Sherwood, 2011).

Peristiwa pertukaran ion melalui membran dapat terjadi dari konsentrasi tinggi ke konsentrasi yang lebih rendah. Na + masuk ke dalam sel dan K + ke luar sel (Browne dan Holmes, 2008). Transpor aktif ion Na + dan Peristiwa pertukaran ion melalui membran dapat terjadi dari konsentrasi tinggi ke konsentrasi yang lebih rendah. Na + masuk ke dalam sel dan K + ke luar sel (Browne dan Holmes, 2008). Transpor aktif ion Na + dan

Sinaps adalah titik pertautan antara dua neuron. Neuron berkomunikasi satu sama lain dengan melepaskan zat kimia ke dalam celah kecil (celah sinaps) yang memisahkan satu neuron dengan neuron lainnya. Zat kimia yang dilepaskan dari neuron tertentu disebut neurotransmiter. Biasanya neurotransmiter dilepaskan dari terminal akson satu neuron, berdifusi melintasi celah sinaps, dan berikatan dengan reseptor pada dendrit atau badan sel neuron lain. Akan tetapi, sinaps dapat terjadi antara dua dendrit, antara dendrit dan badan sel yang berbeda, atau antara akson dan terminal akson. Sel yang melepaskan neurotransmiter disebut neuron prasinaps. Neuron yang melengkapi sinaps disebut neuron pascasinaps. Beberapa neurotransmiter (misal asetilkolin dan nerepinefrin) dapat merangsang atau menghambat sel pasca sinaps. Akan tetapi, neurotransmiter sering kali memiliki efek yang sama (eksitasi atau inhibisi) pada semua sel yang diikatnya. Contoh neurotransmiter inhibisi adalah GABA, glisin, nitrogen monoksida, dan biasanya dopamin. Glutamin adalah contoh neurotransmiter eksitasi (Corwin, 2007).

untuk reseptor. Salah satu contoh reseptor ialah reseptor ionotropik, yang merupakan transmitter-gated channels. Reseptor ini secara langsung dapat mengubah konduktivitas saluran ion ketika berikatan dengan neurotransmiter. Beberapa contoh reseptor ionotropik antara lain: γ-

aminobutyric acid (GABA A ), sebuah reseptor yang meningkatkan konduktivitas Cl - dan reseptor agonis glutamat (N-methyl-D- aspartate/NMDA

dan

alpha-amino-3-hydroxy-5-methylisoxazole-4- propionic acid/AMPA) yang berperan dalam transmisi sinaps eksitator yang cepat di otak. AMPA-gated channels permeabel terhadap Na + dan K + , sedangkan reseptor NMDA permeabel terhadap Na + , K + , dan Ca 2+ . Neurotransmiter (sebagai contoh: GABA) dapat menyebabkan hiperpolarisasi neuron dengan mekanisme Inhibitory Postsynaptic Potentials (IPSPs), yang berakibat muatan negatif intraseluler menjadi lebih besar. Neurotransmiter yang menyebabkan depolarisasi (sebagai contoh: asam amino) dengan mekanisme Excitatory Postsynaptic Potentials (EPSPs), yang mengakibatkan muatan positif masuk ke dalam sel melewati membran sinaptik. Apakah neuron dapat membangkitkan potensial aksi atau tidak ditentukan oleh keseimbangan relatif dari EPSPs dan IPSPs (Browne dan Holmes, 2008).

Tipe kedua dari neurotransmiter adalah reseptor metabotropik. Ketika transmiter mengikat reseptor metabotropik, sistem second-messenger protein G (guanyl nucleotide-binding protein) akan teraktivasi. Aktivasi dari Tipe kedua dari neurotransmiter adalah reseptor metabotropik. Ketika transmiter mengikat reseptor metabotropik, sistem second-messenger protein G (guanyl nucleotide-binding protein) akan teraktivasi. Aktivasi dari

GABA B , peptida dan reseptor katekolaminergik, serta reseptor metabotropik diaktivasi oleh glutamate (Browne dan Holmes, 2008). Dari sudut pandang biologi molekuler, bangkitan epilepsi disebabkan oleh ketidakseimbangan sekresi maupun fungsi neurotransmiter eksitatonik dan inhibitorik di otak. Keadaan ini bisa disebabkan sekresi neurotransmiter dari presinaptik tidak terkontrol ke sinaptik yang selanjutnya berperan pada reseptor NMDA atau AMPA di post-sinaptik. Keterlibatan reseptor NMDA subtipe dari reseptor glutamat (NMDAR) disebut-sebut sebagai patologi terjadinya kejang dan epilepsi. Secara farmakologik, inhibisi terhadap NMDAR ini merupakan prinsip kerja dari obat anti epilepsi (Purba, 2008).

Kejang terjadi akibat lepas muatan paroksismal yang berlebihan dari sebuah fokus kejang atau dari jaringan normal yang terganggu akibat suatu keadaan patologik. Aktivitas kejang sebagian bergantung pada lokasi lepas muatan yang berlebihan tersebut. Lesi di otak tengah, thalamus, dan korteks serebrum kemungkinan bersifat epileptogenik, sedangkan lesi di serebelum dan batang otak umumnya tidak memicu kejang (Lombardo, 2005).

memperlihatkan beberapa fenomena biokimiawi, termasuk yang berikut :

a. Instabilitas membran sel saraf, sehingga sel lebih mudah mengalami pengaktifan.

b. Neuron-neuron hipersensitif, dengan ambang untuk melepaskan muatan menurun dan apabila terpicu akan melepaskan muatan secara berlebihan.

c. Kelainan polarisasi (polarisasi berlebihan, hipopolarisasi, atau selang waktu dalam repolarisasi) yang disebabkan oleh kelebihan asetilkolin atau defisiensi GABA.

d. Ketidakseimbangan ion yang mengubah keseimbangan asam-basa atau elektrolit, yang mengganggu homeostasis kimiawi neuron sehingga terjadi kelainan pada depolarisasi neuron. Gangguan keseimbangan ini menyebabkan peningkatan berlebihan neurotransmiter eksitatorik atau deplesi neurotransmiter inhibitorik.

Perubahan-perubahan metabolik yang terjadi selama dan segera setelah kejang sebagian disebabkan oleh meningkatnya kebutuhan energi akibat hiperaktivitas neuron. Selama kejang, kebutuhan metabolik secara drastis meningkat; lepas muatan listrik per sel-sel saraf motorik dapat meningkat menjadi 1000 per detik. Aliran darah otak meningkat demikian juga respirasi dan glikolisis jaringan. Asetilkolin muncul di Cairan Serebrospinal (CSS) selama dan setelah kejang. Asam glutamat mungkin mengalami deplesi selama aktivitas kejang (Lombardo, 2005).

Klasifikasi epilepsi berdasarkan International Classification of Epileptic Seizures dalam Browne dan Holmes (2008) adalah :

a. Kejang Parsial Kejang diklasifikasikan sebagai parsial atau generalisata berdasarkan apakah kesadaran utuh atau lenyap. Kejang dengan kesadaran utuh disebut sebagai kejang parsial. Kejang parsial dibagi lagi menjadi kejang parsial sederhana dan parsial kompleks (Lombardo, 2005).

Epilepsi fokal dapat melibatkan hampir setiap bagian otak, baik regio setempat pada korteks serebri atau struktur-struktur yang lebih dalam pada serebrum dan batang otak. Epilepsi fokal paling sering disebabkan oleh lesi organik setempat atau adanya kelainan fungsional, seperti : (1) jaringan parut di otak yang mendorong jaringan neuron di dekatnya, (2) adanya tumor yang menekan daerah otak, (3) rusaknya suatu area pada jaringan otak, atau (4) kelainan sirkuit setempat yang diperoleh secara kongenital (Guyton dan Hall, 2007).

Lesi semacam ini dapat menyebabkan pelepasan impuls yang sangat cepat pada neuron setempat; bila kecepatan pelepasan impuls ini melebihi beberapa ratus per detik, gelombang sikron akan mulai menyebar di seluruh regio kortikal di dekatnya. Gelombang ini mungkin berasal dari sirkuit setempat yang secara bertahap membuat area korteks di dekatnya menjadi zone lepas-muatan epileptik (Guyton dan Hall,

Hall (2007) :

1) Parsial Sederhana Menurut Lombardo (2005) kejang parsial sederhana adalah kejang dengan kesadaran utuh atau tidak disertai penurunan kesadaran. Kejang ini biasanya berlangsung kurang dari 1 menit. Kejang parsial parsial dimulai di suatu daerah di otak, biasanya korteks serebrum.

Gejala kejang parsial bisa ilusional, olfaktorius, psikis, kognitif, afasik, sensoris, atau motorik (Rubenstein et al, 2007). Gejala ini bergantung pada lokasi fokus di otak. Sebagai contoh, apabila fokus terletak di korteks motorik, maka gejala utama mungkin adalah perubahan aktivitas otot. Gerakan tonik/klonik merupakan gambaran klinis yang biasanya terjadi. Apabila fokus terletak di korteks sensorik, maka pasien mengalami gejala-gejala sensorik termasuk baal, sensasi seperti ada yang merayap, seperti tertusuk-tusuk penghiduan, halusinasi/ilusi yang melibatkan sitem indera. Kejang sensorik biasanya disertai beberapa gerakan klonik, karena di korteks sensorik terdapat beberapa representasi motorik. Gejala autonom adalah kepucatan, kemerahan, berkeringat, dan muntah. Gangguan daya ingat, disfagia, dan dejavu adalah contoh gejala psikis pada kejang parsial (Lombardo, 2005).

Kejang parsial kompleks adalah kejang dengan ciri khas kesadaran berubah tetapi tidak hilang. Biasanya berlangsung 1-3 menit (Lombardo, 2005). Terutama “kejang lobus temporal” yang biasa diawali dengan aura atau tanda peringatan dapat terdiri dari gejala psikis (seperti rasa takut atau sensasi dejavu), halusinasi (olfaktorius, gustatonus, atau bayangan visual), atau sensasi tidak enak di epigastrium (Ginsberg, 2005).

Lepas muatan kejang pada kejang parsial kompleks (dahulu dikenal sebagai kejang psikomotor atau lobus temporalis) sering berasal dari lobus temporalis medial atau frontalis inferior dan melibatkan gangguan pada fungsi serebrum yang lebih tinggi serta proses-prose pikiran, serta perilaku motorik yang kompleks. Kejang ini dapat dipicu oleh musik, cahaya berkedip-kedip, atau rangsangan lain dan sering disertai oleh aktivitas motorik repetitif involunta yang terkoordinasi yang dikenal sebagai perilaku otomatis (automatic behavior ). Contoh dari perilaku ini adalah menarik-narik baju, meraba-raba benda, bertepuk tangan, mengecap-ngecap bibir, atau mengunyah berulang-ulang. Pasien mungkin mengalami perasaan khayal berkabut seperti mimpi. Pasien tetap sadar selama serangan tetapi umumnya tidak dapat mengingat apa yang terjadi (Lombardo, 2005).

Menurut Lombardo (2005) kejang parsial kompleks dapat meluas dan menjadi kejang generalisata.

b. Kejang Generalisata Kejang generalisata melibatkan seluruh korteks serebrum dan diensefalon serta ditandai dengan awitan aktivitas kejang yang bilateral dan simetrik yang terjadi di kedua hemisfer tanpa tanda-tanda bahwa kejang berawal sebagai kejang fokal. Pasien tidak sadar dan tidak mengetahui keadaan sekeliling saat mengalami kejang. Kejang ini biasanya muncul tanpa aura atau peringatan terlebih dahulu (Lombardo, 2005).

1) Absance (Petit mal) Epilepsi ini biasanya ditandai dengan timbulnya keadaan tidak sadar (atau penurunan kesadaran) selama 3 sampai 30 detik (Guyton dan Hall, 2007). Selama waktu serangan mungkin pasien tiba-tiba menghentikan pembicaraan, menatap kosong, atau berkedip-kedip dengan cepat (Lombardo, 2005). Keadaan ini selanjutnya diikuti dengan kembalinya kesadaran dan timbulnya kembali aktivitas sebelumnya. Rangkain kejadian keseluruhan ini disebut absance syndrome atau absance epilepsy. Pasien mengalami serangan seperti ini satu kali dalam beberapa bulan atau beberapa kali dalam sehari. Serangan petit mal biasanya terjadi pertama kali pada anak-anak masa

(Guyton dan Hall, 2007).

2) Mioklonik Gerakan konvulsif mendadak pada ekstremitas dan batang tubuh, biasanya pada anak-anak (Rubenstein et al., 2007).

3) Kejang Tonik Menurut Lombardo (2005) pasien dengan kejang tonik akan mengalami peningkatan mendadak tonus otot (menjadi kaku, kontraksi) wajah dan tubuh bagian atas; fleksi lengan dan ekstensi tungkai.

a) Mata dan kepala mungkin berputar ke satu sisi.

b) Dapat menyebabkan henti napas

4) Kejang Atonik Hilangnya secara mendadak tonus otot disertai lenyapnya postur tubuh/drop attacks (Lombardo, 2005). Kejang atonik dapat berlangsung singkat, dan kesadaran dapat hilang sesaat atau tidak sama sekali (Tjahjadi et al., 2009).

5) Kejang Klonik Gerakan menyentak, repetitif, tajam, lambat, dan tunggal atau multipel di lengan, tungkai, atau torso (Lombardo, 2005).

6) Kejang Tonik-Klonik Kejang tonik-klonik (dahulu disebut grand mal) adalah kejang epilepsi yang klasik. Kejang tonik-klonik diawali oleh hilangnya

ekspirasi paksa yang disebabkan oleh spasme toraks atau abdomen. Pasien kehilangan posisi berdirinya, mengalami gerakan tonik kemudian klonik, dan inkontinensia urin atau alvi (atau keduanya), disertai disfungsi autonom. Pada fase tonik, otot-otot berkontraksi dan posisi tubuh mungkin berubah. Fase ini berlangsung beberapa detik. Fase klonik memperlihatkan kelompok-kelompok otot yang berlawanan bergantian berkontraksi dan melemas sehingga terjadi gerakan-gerakan menyentak. Jumlah kontraksi secara bertahap berkurang tetapi kekuatannya tidak berubah. Lidah mungkin tergigit; hal ini terjadi pada sekitar separuh pasien (spasme rahang dan lidah). Keseluruhan kejang berlangsung 3 sampai 5 menit dan diikuti oleh periode tidak sadar yang mungkin berlangsung beberapa menit sampai

30 menit. Setelah sadar pasien mungkin tampak kebingungan, agak stupor, atau bengong. Tahap ini disebut sebagai periode pascaiktus. Umunya pasien tidak dapat mengingat kejadian kejangnya (Lombardo, 2005).

Efek fisiologik kejang tonik-klonik bergantung pada lama kejang berlangsung. Kejang tonik-klonik yang berkepanjangan menyebabkan efek neurologik dan kardiorespirasi yang berat. Efek dini disebabkan oleh meningkatnya katekolamin dalam sirkulasi. Apabila kejang berlanjut lebih dari 15 menit, maka terjadi deplesi katekolamin yang menyebabkan timbulnya efek sekunder atau lambat.

henti jantung dan napas (Lombardo, 2005).

c. Kejang epileptik yang tidak dapat diklasifikasikan (karena data yang tidak lengkap)

4. Diagnosis Epilepsi

Menurut Hassan dan Alatas (2007) untuk menentukan apakah seseorang menderita bangkitan kejang atau epilepsi biasanya tidak sukar, asal dapat menyaksikan sendiri serangan tersebut atau dapat memperoleh anamnesis yang dapat dipercaya. Tiap penderita harus diperiksa secara teliti dengan melakukan anamnesis, pemeriksaan jasmani, dan pemeriksaan laboratorium yang dibutuhkan, antara lain :

a. Anamnesis Mengenai bangkitan kejang yang timbul perlu diketahui mengenai pola serangan, keadaan sebelum, selama, dan sesudah serangan, lama serangan, frekuensi serangan, waktu serangan terjadi dan faktor-faktor atau keadaan yang dapat memprovokasi atau menimbulkan serangan. Perlu diusahakan agar diperoleh gambaran lengkap mengenai pola serangan, agar dapat diketahui fokus serta klasifikasinya. Ditanyakan apakah ada gejala prodromal, aura, keadaan selama serangan (dimana atau bagaimana kejang mulai, bagaimana penjalarannya) dan keadaan sesudah kejang (parese Todd, nyeri kepala, segera sadar, mengacau, kesadaran menurun) (Hassan dan Alatas, 2007).

waktu serangan (pagi, siang, malam, waktu mau tidur, sedang tidur, mau tidur, sedang bangun). Apakah ada rangsang tertentu yang dapat menimbulkan serangan, misalnya melihat televisi, bernafas dalam, lapar, letih, menstruasi, obat-obatan tertentu dan sebagainya (Hassan dan Alatas, 2007).

Riwayat keluarga : ditanyakan apakah ada anggota keluarga yang menderita kejang, penyakit saraf, dan penyakit lainnya. Hal ini misalnya perlu untuk mencari adanya faktor herediter (Hassan dan Alatas, 2007).

Riwayat masa lalu (past history) : ditanyakan mengenai keadaan ibu waktu hamil (riwayat kehamilan), misalnya penyakit yang dideritanya, perdarahan per-vaginam, obat yang dimakan. Secara teliti ditanyakan pula mengenai riwayat kelahiran penderita, apakah letak kepala, letak sungsang, mudah atau sukar, apakah digunakan cunam atau vakum ekstraksi atau seksio caesar, apakah terdapat perdarahan antepartum, ketuban pecah dini, asfiksia. Penyakit apa saja yang pernah diderita (trauma kepala, radang selaput otak atau radang otak,ikterus, reaksi terhadap imunisasi, kejang demam). Bagaimana perkembangan (milestones) kecakapan mental dan motorik (Hassan dan Alatas, 2007).

b. Pemeriksaan Jasmani Dilakukan pemeriksaan yang meliputi pemeriksaan secara pediatris dan neurologis. Bila perlu dikonsultasikan ke Bagian Mata, THT, Hematologi, Endokrinologi dan sebagainya (Hassan dan Alatas, 2007).

perut, hati dan limpa, anggota gerak dan sebagainya (Hassan dan Alatas, 2007).

Pada pemeriksaan neurologis diperhatikan kesadaran, kecakapan, motorik dan mental, tingkah laku, berbagai gejala proses intrakranium, fundus okuli, penglihatan, pendengaran, saraf otak lain, sistem motorik (kelumpuhan, trofik, tonus, gerakan tidak terkendali, koordinasi, ataksia), sistem sensorik (parestesia, hipestesia, anastesia), refleks fisiologis dan patologis. Bila perlu dilakukan ‘tap’ subdural, pada anak dengan ubun- ubun yang masih terbuka, untuk melihat adanya hematoma subdural atau efusi subdural dan pungsi lumbal untuk memperoleh cairan serebrospinalis (Hassan dan Alatas, 2007).

c. Pemeriksaan Laboratorium Pemeriksaan darah : dilakukan pemeriksaan darah tepi rutin, pemeriksaan lain sesuai dengan indikasi (misal kadar gula darah, elektrolit). Pemerksaan serebrospinalis (bila perlu) untuk mengetahui tekanan, warna, kejernihan, berdarah, xantokrom, jumlah sel, hitung jenis sel, kadar protein, gula, NaCl dan pemeriksaan lain atas indikasi (Hassan dan Alatas, 2007).

d. Pemeriksaan Elektroensefalogram (EEG) Electroencephalogram (EEG) adalah suatu tes untuk mendeteksi kelainan aktivitas elektrik otak (Campellone, 2006).

epilepsi. Kelainan EEG yang sering dijumpai pada penderita epilepsi disebut “epileptiform discharge” atau “epileptiform activity”, misalnya ‘spike’, ‘sharp wave’ dan ‘paroxissmal slow activity’. Kadang-kadang rekaman EEG dapat menentukan fokus serta jenis epilepsi, apakah fokal, multifokal, kortikal, subkortikal, misalnya ‘petit mal’ mempunyai gambaran ‘3 cps spike and wave’ dan spasme infantil mempunyai gambaran hipsaritmia (Hassan dan Alatas, 2007).

Pemeriksaan EEG harus dilakukan secara berkala. Perlu diingatkan bahwa kira-kira 8-12% dari penderita epilepsi mempunyai rekaman EEG normal (Hassan dan Alatas, 2007).

e. Pemeriksaan Psikologis dan Psikiatris Tidak jarang anak yang menderita epilepsi mempunyai tingkat kecerdasan yang rendah (retardasi mental), gangguan tingkah laku (behaviour disorders), gangguan emosi, hiperaktif. Hal ini harus mendapat perhatian yang wajar, agar anak dapat berkembang secara optimal sesuai dengan kemampuanya. Hubungan antara penderita dengan orang tuanya juga perlu mendapat perhatian, yaitu apakah terdapat proteksi berlebihan, rejeksi atau ‘overanxiety’. Bila perlu dapat diminta bantuan dari psikolog atau psikiater (Hassan dan Alatas, 2007).

f. Pemeriksaan Radiologis Pada foto tengkorak diperhatikan simetri tulang tengkorak, destruksi tulang, kalsifikasi intrakranium abnormal (yang disebabkan f. Pemeriksaan Radiologis Pada foto tengkorak diperhatikan simetri tulang tengkorak, destruksi tulang, kalsifikasi intrakranium abnormal (yang disebabkan

Pneumoensefalografi dan ventrikulografi dilakukan atas indikasi tertentu, yaitu untuk melihat gambaran sistem ventrikel, sisterna, rongga subaraknoid serta gambaran otak. Dengan pemeriksaan ini dapat diketahui adanya atrofi otak, tumor serebri, hidrosefalus, araknoiditis. Pada pneumoensefalografi udara (zat kontras) dimasukkan melalui pungsi lumbal dan pada ventrikulografi udara (zat kontras) dimasukkan melalui pungsi ventrikel atau ‘burr hole’. Pada penderita dengan tekanan intrakranial meninggi dilakukan ventrikulografi, tetapi bila tidak meninggi dapat dilakukan pneumoensefalografi (Hassan dan Alatas, 2007).

Arteriografi (memasukkan kontras ke dalam pembuluh darah) dilakukan untuk melihat keadaan pembuluh darah di otak, apakah ada peranjakan (neoplasma, hematoma, abses), penyumbatan (trombosis), peregangan (hidrosefalus) atau anomali pembuluh darah (malforasi arteri-vena, hemangioma). Zat kontras dapat dimasukkan melalui suntikan di arteri karotis interna, arteri vertebralis, arteri brakialis atau arteri femoralis (dengan menggunakan kateter) (Hassan dan Alatas, 2007).

a. Herediter Berdasarkan studi case-control yang dilakukan di Kerala–India oleh Attumalil dkk (2011) mendapatkan hasil bahwa riwayat keluarga dengan epilepsi merupakan faktor risiko terjadinya epilepsi (OR : 3.17 with 95% CI 2.12-4.73).

Salah satu patofisiologi epilepsi dapat disebabkan adanya mutasi genetik. Mutasi genetik terjadi sebagian besar pada gen yang mengkode protein kanal ion. Contoh : Generalized epilepsy with febrile seizure plus, benign familial neonatal convulsions. Pada kanal ion yang normal terjadi keseimbangan antara masuknya ion natrium (natrium influks) dan keluarnya ion kalium (kalium efluks) sehingga terjadi aktivitas depolarisasi dan repolarisasi yang normal pada sel neuron. Jika terjadi pada mutasi pada kanal Na seperti yang terdapat pada generalized epilepsy with febrile seizures plus , maka terjadi natrium influks yang berlebihan sedangkan kalium efluks tetap seperti semula sehingga terjadi depolarisasi dan repolarisasi yang berlangsung berkali-kali dan cepat atau terjadi hipereksitasi pada neuron. Hal yang sama terjadi pada benign familial neonatal convulsion dimana terdapat mutasi kanal kalium sehingga terjadi efluks kalium yang berlebihan dan menyebabkan hipereksitasi sel neuron (Octaviana, 2008).

Kanal Natrium SCN1A, SCN1B,

SCN2A, GABRG2

Generalized epilepsies with febrile seizures plus

Kanal Kalium KCNQ2, KCNQ3 Benign familial neonatal convulsions Kanal Kalsium CACNA1A,

CACNB4, CACNA1H

Episodic ataxia tipe 2 Childhood absance epilepsy

Kanal Klorida CLCN2 Juvenile myoclonic epilepsy Juvenile absance epilepsy Epilepsy with grand mal seizure on awakening

Ligand-gated

Reseptor asetilkolin

CHRNB2, CHRNA4

Autosomal dominant frontal lobe epilepsy

Reseptor GABA

GABRA1, GABRD

Juvenile myoclonic epilepsy

(Octaviana, 2008) Risiko epilepsi pada saudara kandung penderita epilepsi primer

kurang lebih 4%. Bila orang tua dan salah satu anaknya sama–sama menderita epilepsi primer, maka anak yang lain berpotensi terkena epilepsi sebesar 10% (WHO, 2002).

b. Asfiksia Asfiksia perinatal adalah keadaan dimana fetus atau neonatus mengalami kekurangan oksigen (hipoksia) dan atau menurunnya perfusi (iskemia) ke berbagai macam organ. Keadaan ini menyebabkan

asidosis. American Academy of Pediatric (AAP) and the American College of Obstetricians and Gynecologist (ACOG) membuat definisi asfiksia sebagai berikut : (1) adanya asidosis metabolik atau mixed acidemia (ph < 7.00) pada darah umbilikus atau menganalisis gas darah arteri apabila fasilitas tersedia; (2) adanya persisten nilai apgar 0-3 selama > 5 menit; (3) manifestasi neurologis segera pada waktu perinatal dengan gejala kejang, hipotonia, koma, ensefalopati hipoksik iskemik; dan (4) adanya gangguan fungsi multiorgan segera pada waktu perinatal (Utama et al., 2006).

Faktor predisposisi terjadinya trauma lahir antara lain primigravida, disproporsi sefalopelvik (ibu pendek, kelainan rongga panggul), persalinan yang berlangsung terlalu lama atau terlalu cepat, presentasi abnormal (sungsang), ekstraksi forceps atau vakum, bayi dengan berat badan lahir rendah atau prematur, makrosomia, ukuran kepala janin besar, dan anomali janin (Hassan dan Alatas, 2007).

Untuk menentukan tingkat asfiksia bayi dapat dinilai dengan Apgar Score . Pemantauan nilai apgar dilakukan pada menit ke-1, menit ke-5, dan menit ke-10 setelah lahir (Hassan dan Alatas, 2007).

Tanda

Frekuensi Jantung

tidak ada

lebih dari 100/menit

Usaha Bernapas

tidak ada

menangis kuat

Tonus Otot tidak ada

ekstremitas fleksi sedikit

gerakan aktif

Refleks

tidak ada

gerakan sedikit

Menangis

Warna

biru / pucat tubuh kemerahan,

ekstremitas biru

tubuh dan ekstremitas kemerahan

(Hassan dan Alatas, 2007) Berdasarkan tabel di atas, asfiksia neonatorum dapat dibagi dalam

(Hassan dan Alatas, 2007) :

1) Vigorous baby dengan skor apgar 7-10. Dalam hal ini bayi dianggap

sehat dan tidak memerlukan tindakan istimewa.

2) Mild-moderate asphyxia (asfiksia sedang) dengan skor apgar 4-6. Pada pemeriksaan fisik akan terlihat frekuensi jantung lebih dari 100/menit, tonus otot kurang baik atau baik, sianosis, refleks iritabilitas tidak ada.

3) Asfiksia berat dengan skor apgar 0-3. Pada pemeriksaan fisik ditemukan frekuensi jantung kurang dari 100/menit, tonus otot buruk, sianosis berat dan kadang-kadang pucat, refleks iritabilitas tidak ada.

Asfiksia berat dengan henti jantung , yang dimaksudkan keadaan henti jantung adalah (1) bunyi jantung fetus menghilang tidak lebih dari