Peranan Program Kemitraan Dan Bina Lingkungan Terhadap Kesejahteraan Masyarakat (Studi Kasus:PT. Perkebunan Nusantara IV, Unit Usaha Gunung Bayu)

BAB II
KAJIAN PUSTAKA

2.1

Corporate Social Responsibility (CSR), Program Kemitraan dan Bina
Lingkungan (PKBL) dan Pembangunan
Sesuai dengan hukum alam, pendapatan yang berasal dari pemanfaatan fasilitas

alam akan berkelanjutan bila dayadukung alam tersebut dipelihara. Jika daya dukung
lingkungan tersebut rusak, pendapatan masyarakat sekitar akan menurun dan mereka
akan menganggap perusahaan sebagai penyebabnya (Ambadar, 2008). Perusahaan dalam
beroprasi, tanggung jawab pertama adalah tanggung jawab ekonomi untuk mendapatkan
laba.Disamping mendapatkan

laba khususnya perusahaan yang memanfaatkan

lingkungan dalam pengelolahan perusahaan, pastinya berdampak pada kondisi alam dan
akan mempengaruhi kehidupan masayarakat sekitar. Agar perusahaan tetap berjalan dan
stabil dan tidak adanya stakeholders yang dirugikan, maka disinilah peran Coorporate
Social Responsibility (CSR) dan Program Kemitraan dan Bina Lingkungan (PKBL)

untuk mengatasi dan bertanggung jawab kepada masyarakat sekitar perusahaan.
Masyarakat sekitar perusahaan sebagai bagian dari stakeholders memiliki hak
mendapat bantuan dari perusahaan sebagai bentuk wujud tanggung jawab perusahaan
untuk

pembangunanmasyarakat

sejahtera.Pembangunan
berkelanjutan(Sustainable

di

sehingga

Indonesia

Development)

tercapai


mengacu
dan

pada

tanggung

masyarakat
konsep
jawab

yang

pembangunan
pada lingkungan,

sebagaimana hasil KTT Bumi (Earth Summit) atau lebih dikenal konferensi PBB
tentang Lingkungan dan Pembangunan di Rio de Janeiro
Brasilpada tahun 1992,yang menegaskan mengenai konsep pembangunan berkelanjutan (
sustainabledevelopmen) sebagai suatu hal yang bukan hanya menjadikewajibanNegara

namun juga harus diperhatikan oleh kalangan korporasi atau perusahaan.Seperti definisi

Universitas Sumatera Utara

pembangunan sosial menurut Midgley (2005), yaitu suatu proses perubahan sosial
terencana yang didesain untuk mengangkat kesejahtreraan penduduk secara menyeluruh.
PT. Perkebunan Nusantara IV berstatus perusahaan BUMN mengaplikasikan
konsep CSR dengan Program CSR dan juga PKBL. Secara Etimologis pengertian CSR
dapat diartikan sebagai tanggung jawab sosial Perusahaan. Definisi dari CSR dapat
dilihat dalam pasal 1 butir 3 UUPT yang menyebutkanTanggung Jawab Sosial dan
Lingkungan adalah komitmen perseroan untuk berperan serta dalam pembangunan
ekonomi berkelanjutan guna meningkatkan kualitas kehidupan dan lingkungan yang
bermanfaatbaik bagi perseroan sendiri, komunitas setempat, maupun masyarakat pada
umumnya.
Dalam sejarah munculnya konsep tanggung jawab sosial perusahaan atau yang
sekarang dikenal dengan Corporate Social Responsibility (CSR) pertama kali
dikemukakan oleh Howard R. Bowen pada tahun 1953 pada karyanya yang berjudul
Social Responsibilities of the Businessman merupakan tonggak sejarah CSR Modren.
Perkembangan CSR sendiri secara umum terdiri dari 3 (tiga) periode penting yaitu
(Solihin, 2008):

1.

Perkembangan awal konsep CSR di era tahun 1950-1960-an
Munculnya istilah CSR melalui karya Howard Bowen disepakati banyak
literatur.Definisi tanggung jawab sosial yang diberikan oleh Bowen telah memberi
landasan awal bagi pengenalan kewajiban pelaku bisnis untuk menetapkan tujuan
bisnis yang selaras dengan tujuan dan nilai-nilai masyarakat. Selanjutnya pada tahun
1960, banyak usaha yang dilakukan untuk memberikan formalisasi definisi CSR dan
salah satu akademis yang dikenal pada masa itu adalah Keith Davis. Pada saat itu ia
merumuskan tanggung jawab sosial sebagai, “businessmenmen’s decision and
actions taken for reason at least partially beyond the firm’s direct economic and

Universitas Sumatera Utara

technical interest”. Melalui definisi tersebut, Davis menegaskan adanya tanggung
jawab sosial perusahaan di luar tanggung jawab ekonomi semata. Argumen Davis
menjadi sangat relevan dengan keadaan pada saat itu. Dimana pandangan mengenai
tanggung jawab sosial perusahaan masih sangat didominasi oleh pemikiran para
ekonom klasik.
2.


Perkembangan konsep CSR periode tahun 1970-1980-an
Tahun 1971, Committe for Economic Development (CED) menerbitkan Social
Responsibilities of Business Corporations. Penertiban yang dapat dianggap bahwa
kegiatan usaha memiliki tujuan dasar untuk memberikan pelayanan yang konstruktif
untuk memenuhi kebutuhan dan kepuasan masyarakat. Tahun 1970-an juga ditandai
dengan pengembangan definisi CSR. Dalam artikel yang berjudul Dimensions of
Corporate Social Perfomance. Prakash Sethi memberikan penjelasan atas perilaku
korporasi yang dikenal dengan Social Obligation, Social Responsibility, dan Social
Responsiveness. Menurut Sethi, Social Obligation adalah perilaku korporasi yang
didorong oleh kepentingan pasar dan pertimbangan-pertimbangan hukum. Dalam hal
ini Social Obligation hanya menekankan pada aspek ekonoi dan hukum saja. Social
Responsibility merupakan perilaku korporasi yang tidak hanya menekankan pada
aspek ekonomi dan hukum saja tetapi menyelaraskan Social Obligation dengan
norma, nilai dan harapan kinerja yang dimiliki oleh lingkungan sosial. Social
Responsiveness merupakan perilaku korporasi yang secara responsif dapat
mngadaptasi kepentingan sosial masyarakat, Social Responsiveness merupakan
tindakan antisipasi dan preventif.Terdapat beberapa faktor yang sangat berpengaruh
terhadap perkembangan konsep CSR pada era tahun 1970-1980-an. Pertama, periode
awal tahun 1970-an merupakan periode berkembangnya pemikiran engenai

manajemen para pemangku kepentingan. Hasil-hasil penelitian empiris menunjukan

Universitas Sumatera Utara

perlunya perusahaan untuk memerhatikan kepentingan para pemangku kepentingan
dalamm keputusan-keputusan perusahaan yang akan memberikan dampak terhadap
para pemangku kepentingan. Kedua, perusahan yang melaksanakan program CSR
pada periode 1970-1980 mulai mencari model CSR yang dapat mengukur dampak
pelaksanaan CSR oleh perusahaan terhadap masyarakat serta sejauh mana
pelaksanaan CSR oleh perusahaan terhadap masyarakat serta sejauh mana
pelaksanaan CSR sebagai suatu investasi sosial memberikan kontribusi bagi
peningkatan kinerja keuangan perusahaan. Kebutuhan ini telah mendorong lahirnya
konsep Corporate Social Perfomance sebagai penyempurnaan atau konsep CSR
sebelumnya. Ketiga, periode tahun 1980-an merupakan periode tumbuh dan
berkembangnya perusahaan multinasional (Multinational Corporation-MNC).
3.

Perkembangan Konsep CSR di era tahun 1990-an sampai saat iniTahun 1987,
Perserikatan Bangsa-Bangsa


melalui World Commision on Environment and

Development (WECD) menerbitkan laporan yang berjudul Our Comon Futurejuga
dikenal sebagai The Brundt Land Report Commission untuk menghormati Gro
Harlem Brundt Land yang menjadi ketua pada saat itu. Laporan tersebut menjadikan
isu-isu lingkungan sebagai agenda politik yang pada akhirnya bertujuan mendorong
pengambilan kebijakan pembangunan yang lebih sensitif pada isu-isu lingkungan.
Laporan ini menjadi dasar kerja sama multilateral dalam rangka melakukan
pembangunan berkelanjutan (sustanable develpoment)

menurut The Brutland

Commision yang dimaksud dengan pembangunan berkelanjutan (sustainability
development) adalah pembangunan yang dapat memenuhi kebutuhan manusia saat
ini tanpa mengorbankan kemampuan generasi yang akan datang dalam memenuhi
kebutuhan mereka. Perkembangan CSR saat ini juga dipengaruhi oleh perubahan
orientasi CSR dari suatu kegiatan bersifat sukarela untuk memenuhi kewajiban

Universitas Sumatera Utara


perusahaan yang tidak dimiliki kaitan dengan strategi dan pencapaian tujuan jangka
panjang.

Kotler dan lee menyebutkan beberapa manfaat yang dapat diperoleh

perusahaan melalui pelaksanaan CSR yang bersifat strategis ini, seperti peningkataan
penjualanan dan market share, memperkuat brand postioning, meningkatkan citra
perusahaan, menurunkan biaya operasi, serta meningkatkan daya tarik perusahaan di
mata para investor dan analisis keuangan.
Corporate Social Responsibility (CSR) memiliki fungsi sangat penting dalam
mengembangkan lingkungan sosial perusahaan sehingga perkembangan masyarakat akan
seiring dengan perkembangan perusahaan (Ambadar, 2008). Program CSR bertujuan
untuk mendorong perusahaan agar dapat mewujudkan pembangunan yang berkelanjutan
dan menjalankan tanggung jawab sosial yang dapat dirasakan masyarakat. Program CSR
yang berkelanjutan diharapkan akan dapat membentuk atau menciptakan kehidupan
masyarakat yang lebih sejahtera dan mandiri. Setiap kegiatan tersebut akan melibatkan
semangat sinergi dari semua pihak secara terus menerus membangun dan menciptakan
kesejahteraan dan pada akhirnya akan tercipta kemandirian dari masyarakat yang terlibat
dalam program tersebut.
Pemerintahan


Indonesia

mengambil

inisiatif

untuk

melakukan

regulasi

pelaksanaan CSR dengan mencantumkan kewajiban pelaksanaan untuk perusahaan yang
menjalankan kegiatan usaha di bidang sumber daya alam dan berkaitan dengan sumber
daya alam di kenal dengan istilah Program Kemitraan dan Bina Lingkungan (PKBL).
Program Kemitraan dan Bina Lingkungan (PKBL) adalah istilah CSR untuk BUMN di
seluruh Indonesia (Kartini, 2009). Dalam pelaksanaannya PKBL dibagi kedalam dua
bidang pekerjaan yaitu Program Kemitraan atau PK dan Bina Lingkungan atau BL.
Program Kemitraan (PK) bergerak dalam mengembangkan dan memperkuat usaha mikro

dan kecil masyarakat, selain itu program ini juga lebih memprioritaskan kelompok

Universitas Sumatera Utara

masyarakat miskin yang aktif secara ekonomi.Bentuk Program Kemitraan juga bisa
dilakukan dalam bentuk (a) Pemberian pinjaman untuk modal kerja dan/atau pembelian
Aktiva Tetap Produktif; (b) Pinjaman khusus bagi UMK yang telah menjadi binaan yang
bersifat pinjaman tambahan dalam rangka memenuhi pesanan dari rekanan usaha UMK
Binaan;

dan

(c)

Program

pendampingan dalam rangka peningkatan kapasitas (capacity). Sementara

itu,


Bina

Lingkungan (BL) sepenuhnya berupa bantuan langsung (charity).
Program Bina lingkungan atau BL yang ada dimasyarakat biasanya diberikan
perusahaan dalam bentuk bantuan dalam bidang kesehatan, pendidikan, lingkungan,
pembuatan dan perbaikan fasilitas umum, kepemudaan dan olahraga, agama, dll. Tujuan
dari program PKBL adalah sebagai pedoman dalam pelaksanaan Program Kemitraan dan
Bina lingkungan serta sebagai Tanggung Jawab Sosial Perusahaan TJSL di lingkungan
Perusahaan.Dalam pembangunan sudah menjadi paradigma baru dimana saat ini
perusahaan yang akan memulai usaha tidak semata-mata hanya mencari keuntungan saja,
tetapi juga mengupayakan peningkatan kesejahteraan masyarakat yang tinggal disekitar
perusahaan tersebut. Pembangunan yang berkelanjutan dengan CSRmemiliki keterkaitan
dalam hal tujuan perusahaan yang bukan semata-mata mencari keuntungan dan
pertumbuhan berkonsekuensi penting. Perusahaan harus mengakui keberadaannya
sebagai bagian dari sistem lingkungan dan sistem sosial, oleh karena itu perlu juga
mengakui adanya keterbatasan sumber daya alam dan mengasumsikan tanggung jawab
bersama atas penggunaan dan pengembangan sumber daya sosial sehingga paham betul
dengan dampak yang akan ditimbulkan oleh setiap tindakan yang diambil (Sukada et
al, 2007).
Pembangunan berkelanjutan suatu perusahaan hanya akan dapat dipertahankan
kalau ada keseimbangan antara aspek ekonomi, sosial dan lingkungan hidup yang

Universitas Sumatera Utara

menguntungkan. Dengan begitu, kehadiran perusahaan terasa memberi manfaat bagi
masyarakat disekitarnya dan menjadi bagian dalam kehidupan mereka(Ambadar, 2008).
Peran perusahaan terhadap pembangunan masyarakat sekitar perusahaan sangatlah
berpengaruh.

Perusahaan

adalah

perpanjangan

tangan

dari

pemerintah

untuk

mensejahterakan masyarakat sekitar. Tidak bisa dipungkiri masyarakat juga bergantung
terhadap perusahaan dikarenakan memerlukan bantuan-bantuan perusahaan melalui
Program CSR ataupun PKBL.
Dalam pandangan teori dependensi, pembangunan lebih tepat diartikan sebagai
peningkatan standar hidup bagi setiap penduduk di negara dunia ketiga. Oleh karenanya,
pembangunan tidak sekedar pelaksanaan program yang melayani kepentingan elite dan
penduduk perkotaan, tetapi lebih merupakan program yang dilaksanakan untuk
memenuhi kebutuhan dasar penduduk pedesaan, pencari kerja, dan sebagian besar kelas
sosial lain yang memerlukan bantuan. Setiap program pembangunan yang hanya
menguntungkan sebagian kecil masyarakat dan membebani mayoritas, menurut teori
dependensi tidaklah dapat dikatakan sebagai program pembangunan yang sebenarnya.
Salah satu tokoh yang pemikirannya sesuai dengan tema penelitian yaitu Dos
Santos (dalam Budiman, 1995). Seperti yang dikemukakan Dos Santos ada 3 (tiga)
bentuk ketergantungan adalah sebagai beriku;
1.

Ketergantungan Kolonial: hubungan antar penjajah dan penduduk setempat bersifat
eksploitatif. Pada teori imperialisme, Dos santos merumuskan bahwa hubungan dua
negara atau lebih “mengandung bentuk ketergantungan jika beberapa negara (yang
dominan) dapat berkembang dan memiliki otonomi dalam pembangunanya,
sementara negara lainya (yang tergantung) dapat melakukan hal yang serupa hanya
sekedar merupakan refleksi perkembangan negara dominan.

Universitas Sumatera Utara

2.

Ketergantungan Finansial Industri : pengendalian dilakukan melalui kekuasaan
ekonomi dalam bentuk kekuasaan financial-industri.

3.

Ketergantungan Teknologis-Industrial: penguasaan terhadap surplus industri
dilakukan melalui monopoli teknologi industri. Dos Santos melihat batasan
struktural upaya pembangunan industri akan bergantung pada kemampuan sektor
ekspor. Hanya dengan ekspor, negara Dunia Ketiga dapat memperoleh devisa yang
hendak digunakan sebagai dana untuk membeli barang-barang modal (misalnya
mesin), yang merupakan salah satu masukan terpenting pembangunan industrinya.
Oleh karena itu negara Dunia Ketiga akan berusaha keras untuk tetap menguasai
sektor ekspor tradisional, yang dengan demikian negara Dunia Ketiga dipaksa
mempertahankan hubungan dan struktur produksi yang telah ada. Ini merupakan
pilihan yang tidak dapat dihindari karena jaringan pemasaran untuk sektor ekspor
modren biasanya telah berada di dalam kendali modal asing (Suwarsono dan Alvin,
2006:8-9).
Dalam pandangan teori dependensi dari Dos Santos (Dalam Budiman, 1995)

pembangunan lebih tepat diartikan sebagai peningkatan standar hidup bagi setiap
penduduk di negara dunia ketiga. Oleh karenanya, pembangunan tidak sekedar
pelaksanaan program yang melayani kepentingan elite dan penduduk perkotaan, tetapi
lebih merupakan program yang dilaksanakan untuk memenuhi kebutuhan dasar
penduduk pedesaan, pencari kerja, dan sebagian besar kelas sosial lain yang memerlukan
bantuan. Setiap program pembangunan yang hanya menguntungkan sebagian kecil
masyarakat dan membebani mayoritas, menurut teori dependensi tidaklah dapat
dikatakan sebagai program pembangunan yang sebenarnya.
Dalam segi pemberdayaan ekonomi, perusahaan melalui program CSR-nya dapat
membantu mengurangi kemiskinan (Radyati, 2008).Kinerja ekonomi perusahaan

Universitas Sumatera Utara

berkaitan dengan sejauh mana perusahaan mampu memberikan dampak ekonomi
(langsung/tidak langsung) kepada masyarakat. Menurut Brundtland Report dari World
Commission

on

Environment

and

Development(WECD)dalam

Radyati

(2008)

menyatakan bahwa menjaga keberlangsungan berarti memelihara dan memproduksi lagi
sumberdaya yang telah dipergunakan. Keyakinan konsumen yang dibangun melalui CSR
dapat mendukung pertumbuhan ekonomi (Amri, 2008).Dunia usaha perlu mencari polapola kemitraan (partnership) dengan seluruh stakeholder agar dapat berperan dalam
pembangunan, sekaligus meningkatkan kinerjanya agar tetap dapat bertahan dan bahkan
berkembang menjadi perusahaan yang mampu bersaing.
Peran perusahaan dalam program tanggung jawab sosial dan lingkungan dilihat
dari kepentingan masyarakat yang disasar adalah sebagai pemberi bantuan, berupa kredit
lunak, hibah dan pembangunan infrastruktur. Manfaat program secara langsung dan tidak
langsung adalah dalam rangka ikut membantu masyarakat untuk menyelesaikan
permasalahan mereka di bidang sosial, ekonomi dan budaya. Pelaksanaan program CSR
yang berhasil, dampaknya akan ikut mengangkat kesejahteraan mereka. Sekaligus
berkontribusi memberdayakan masyarakat membangun kemandirian.

2.2. Kesejahteraan Masyarakat
Kesejahteraan atau sejahtera dalam istilah umum menunjuk ke keadaan yang baik,
kondisi manusia di mana orang-orangnya dalam keadaan makmur, dalam keadaan sehat
dan damai. Kesejahteraan masyarakat mencakup berbagai usaha yang dikembangkan
untuk meningkatkan taraf hidup manusia baik itu di bidang fisik, mental, emosional,
sosial, ekonomi dan spiritual. Cakupan dari segala yang dikembangkan untuk
meningkatkan taraf hidup maksudnya adalah gambaran tentang idealnya suatu kondisi

Universitas Sumatera Utara

kehidupan masyarakat serta indikator kesejahteraan sesuai dengan kondisi dan dan
kebutuhan masyarakat.

a.

Masyarakat Ideal
Menurut Soetomo (2014: 26) pada dasarnya setiap masyarakat mempunyai

gambaran tentang kondisi masa depan yang diidealkan. Dengan demikian, sebetulnya
disadari atau tidak setiap masyarakat mempunyai visi. Secara umum visi adalah kondisi
kehidupan yang sejahtera, oleh karena kondisi itu yang menjadi idaman dan dambaan.
Sehubungan dengan konsep sejahtera sebagai visi setiap masyarakat ini, dapat dilihat dari
persfektif subjektif maupun objektif. Perspektif maksudnya adalah penggambaran
kondisi sejahtera berdasarkan kontruksi masyarakat atau komunitas tertentu. Sementara
itu, perspektif objektif adalah gambaran kesejahteraan menurut kajian ilmu pengetahuan
yang dapat digunakan secara umum, sehingga dapat di generalisasi atau dapat juga
merupakan rumusan kesejahteraan berdasarkan pandangan politik dan ideologis tertentu.
Dalam perspektif subjektif, gambaran tentang kondisi kehidupan yang sejahtera tidak
dapat di geralisasi, oleh karena setiap masyarakat mempunyai kontruksi yang berbeda
tentang kondisi sejahtera tersebut. Walaupun kondisi sejahtera merupakan idaman tataran
yang lebih operasional, visi masyarakat bukanlah hal yang dapat dianggap seragam. Hal
itu disebabkan karena masing-masing mempunyai perspektif yang berbeda sesuai dengan
variasi kondisi sosiokultural (Soetomo, 2014: 27).

b. Indikator Kesejahteraan
Kehidupan yang tertata mengandung makna yang luas bukan hanya terciptanya
ketertiban dan keamanan melainkan juga keadilan dalam berbagai dimensinya. Suatu
kehidupan yang merasakan suasana nyaman, terlindungi, bebas dari rasa takut termasuk
menghadapi hari esok. Sementara komponen kemakmuran lebih benrnuansa ekonomik.

Universitas Sumatera Utara

Dengan demikian kondisi sejahtera yang diidamkan bukan hanya gambaran kehidupan
yang terpenuhi kebutuhan fisik, material, melainkan juga spiritual, bukan hanya
pemenuhan kebutuhan jasmaniah melainkan juga rohaniah (Soetomo, 2014: 47).
Kesejahteraan Sosial menurut UU No. 11 Tahun 2009 adalah kondisi terpenuhinya
kebutuhan material, spritual, dan sosial warga negara agar dapat hidup layak dan mampu
mengembangkan diri sehingga dapat melaksanakan fungsi sosialnya. Dalam memahami
kesejahteraan masyarakat, tidak cukup dilihat secara individual, karena pemikiran dan
kebutuhan warga

masyarakat

berbeda, apabila disatukan pemahaman tentang

kesejahteraan akan melebar. Untuk itu peneliti memfokuskan wujud dari Kesejahteraan
masyarakat sesuai dengan program PKBL yang berdampak langsung terhadap tingkat
kesejahteraan. Yaitu dari segi ekonomi bagaimana kemandirian serta kestabilan
pendapatan masyarakat, dari segi pendidikan dan kesempatan pendidikan dalam segala
tingkat pendidikan atau profesional kejuruan, sarana perhubungan serta fasilitas lain yang
memudahkan masyarakat sekitar perusahaan dalam mobilitas serta beraktivitas.
Kesempatan kerja yang sesuai keinginan dan kecakapanya, berkaitan dengan kualitas
SDM pada masyarakat desa dan terakhir fasilitas kesehatan yang memadai.
2.3. Konsep CIPP (Context, Input, Process, Product)Untuk Evaluasi Program
Evaluasi dari awal kemunculannya sampai dengan saat ini terus mengalami
perkembangan.Evaluasi merupakan istilah baru dalam kajian keilmuan yang telah
berkembang menjadi disiplin ilmu sendiri. Walaupun demikian, bidang kajian evaluasi
ternyata telah banyak memberikan manfaat dan kontribusinya didalam memberikan
informasi maupun data, khususnya mengenai pelaksanan suatu program tertentu yang
pada gilirannya akan menghasilkan rekomendasi dan digunakan oleh pelaksana program
tersebut untuk menentukan keputusan, apakah program tersebut dihentikan, dilanjutkan,
atau ditingkatkan lebih baik lagi. Dalam implementasinya ternyata evaluasi dapat

Universitas Sumatera Utara

berbeda satu sama lain, hal ini tergantung dari maksud dan tujuan dari evaluasi tersebut
dilaksanakan. Seperti evaluasi program pembelajaran tidak akan sama dengan evaluasi
kinerja pegawai. Evaluasi program pembelajaran dilakukan dengan dituan untuk melihat
sejauh mana hasil belajar telah tercapai dengan optimal sesuai dengan target dan tujuan
pembelajaran itu sediri. Sedangkan evaluasi kinerja pegawai dilakukan dengan tujuan
untuk melihat kualitas, loyalitas, atau motivasi kerja pegawai, sehingga akan menentukan
hasil produksi. Dengan adanya perbedaan tersebut lahirlah beberapa model evaluasi yang
dapat menjadi pertimbangan evaluator dalam melakukan evaluasi. Dari beberapa model
evaluasi yang ada, penulis hanya akan membahas model evaluasi CIPP (Context, Input,
Process, Product) yang dikembangkan oleh Daniel Stufflebeam.
Model evaluasi CIPP dalam pelaksanaannya lebih banyak digunakan oleh para
evaluator, hal ini dikarenakan model evaluasi ini lebih komprehensif jika dibandingkan
dengan model evaluasi lainnya.Model evaluasi ini dikembangkan oleh Stuffleabem,
dkk(1967) di Ohio State University.Model evaluasi ini pada awalnya digunakan untuk
mengevaluasi ESEA (The Elementary and Secondary Education Act).CIPP merupakan
singkatan dari, context evaluation: evaluasi terhadap konteks, input evaluation: evaluasi
terhadap masukan, process evaluation: evaluasi terhadap proses, dan product evaluation :
evaluasi terhadap hasil. Keempat singkatan dari CIPP tersebut itulah yang menjadi
komponen evaluasi.
2.3.1. Model CIPP(Contex, Input, Process, Product)
1. Context Evaluation (Evaluasi Konteks)
Stufflebeam (dalam Hasan, 2002:128) menyebutkan, tujuan evaluasi konteks
yang utama adalah untuk mengetahui kekutan dan kelemahan yang dimiliki
evaluan. Dengan mengetahui kekuatan dan kelemahan ini, evaluator akan
dapat memberikan arah perbaikan yang diperlukan. Arikunto menjelaskan

Universitas Sumatera Utara

bahwa, evaluasi konteks adalah upaya untuk menggambarkan dan merinci
lingkungan kebutuhan yang tidak terpenuhi, populasi dan sampel yang
dilayani, dan tujuan proyek.
2. Input Evaluation (Evaluasi Pemasukan)
Tahap kedua dari model CIPP adalah evaluasi input, atau evaluasi masukan.
Menurut Widoyoko (2009: 136), evaluasi masukan membantu mengatur
keputusan, menentukan sumber-sumber yang ada, alternative apayang diambil,
apa rencana dan strategi untuk mencapai tujuan, dan bagaimana prosedur kerja
untuk mencapainya. Komponen evaluasi masukan meliputi:
a. sumber daya manusia
b. sarana dan peralatan pendukung
c. dana atau anggaran
d. berbagai prosedur dan aturan yang diperlukan.
Menurut Stufflebeam (dalam Arikunto, 2010: 56), mengungkapkan bahwa
pertanyaan yang berkenaan dengan masukan mengarah pada pemecahan
masalah yang mendorong diselenggarakannya program yang bersangkutan.
3. Process Evaluation (Evaluasi Proses)
Worthen & Sanders 1981 (dalam Widoyoko, 2009: 137) menjelaskan bahwa,
evaluasi proses menekankan pada tiga tujuan: “ (1) do detect or predict in
procedural design or its implementation during implementation stage, (2) to
provide information for programmed decision, and (3) to maintain a record of
the procedure as it occurs “. Evaluasi proses digunakan untuk menditeksi atau
memprediksi rancangan prosedur atau rancangan implementasi selama tahap
implementasi, menyediakan informasi untuk keputusan program dan sebagai
rekaman atau arsip prosedur yang telah terjadi. Evaluasi proses meliputi

Universitas Sumatera Utara

koleksi data penilaian yang telah ditentukan dan diterapkan dalam praktik
pelaksanaan program. Pada dasarnya evaluasi proses untuk mengetahui sampai
sejauh mana rencana telah diterapkan dan komponen apa yang perlu
diperbaiki. Sedangkan menurut Suharsimi Arikunto (2010), evaluasi proses
dalam model CIPP menunjuk pada “apa” (what) kegiatan yang dilakukan
dalam program, “siapa” (who) orang yang ditunjuk sebagai penanggung jawab
program, “kapan” (when) kegiatan akan selesai. Dalam model CIPP, evaluasi
proses diarahkan pada seberapa jauh kegiatan yang dilaksanakan didalam
program sudah terlaksana sesuai dengan rencana.
4. Product Evaluation (Evaluasi Produk/Hasil)
Sax 1980 (dalam Widoyoko, 2009: 598) memberikan pengertian evaluasi
produk/hasil adalah “ to allow to project director (or techer) to make decision
of program ”. Dari evaluasi proses diharapkan dapat membantu pimpinan
proyek atau guru untuk membuat keputusan yang berkenaan dengan
kelanjutan, akhir, maupun modifikasi program. Sementara menurut Farida
Yusuf Tayibnapis (dalam Widoyoko, 2009:14) menerangkan, evaluasi produk
untuk membantu membuat keputusan selanjutnya, baik mengenai hasil yang
telah dicapai maupun apa yang dilakukan setelah program itu berjalan.
Dari pendapat di atas maka dapat ditarik kesimpulan bahwa, evaluasi produk
merupakan penilaian yang dilakukan guna untuk melihat ketercapaian/ keberhasilan
suatu program dalam mencapai tujuan yang telah ditentukan sebelumnya.Pada tahap
evaluasi inilah seorang evaluator dapat menentukan atau memberikan rekomendasi
kepada evaluan apakah suatu program dapat dilanjutkan, dikembangkan/modifikasi, atau
bahkan dihentikan.

Universitas Sumatera Utara

Tujuan evaluasi program model CIPP adalah untuk keperluan pertimbangan dalam
pengambilan sebuah keputusan/kebijakan.Fungsi dari evaluasi model CIPP adalah
membantu penanggung jawab program tersebut (pembuat kebijakan) dalam mengambil
keputusan apakah meneruskan, modifikasi, atau menghentikan program.Apabila tujuan
yang ditetapkan program telah mencapai keberhasilannya, maka ukuran yang digunakan
tergantung pada kriteria yang telah ditetapkan sebelumnya.

Universitas Sumatera Utara