Tinjauan Yuridis Penyelesaian Kredit Bermasalah Dengan Metode Restrukturisasi Pada Kantor PT. Bank Sumut Medan

BAB II
TINJAUAN UMUM PERJANJIAN KREDIT BANK
A. Pengertian Perjanjian
Menjalani kehidupan sehari-hari kita sering sekali mendengar istilah
perjanjian. Tetapi apa sebenarnya yang dimaksud dengan perjanjian tersebut.
Untuk mengerti lebih mendalam kita harus mengetahui terlebih dahulu istilah
perjanjian terjemahan dari verbintenis yang diatur dalam buku III Kitab UndangUndang Hukum Perdata (K.U.H. Perdata) maupun pengertian perjanjian menurut
para ahli.
Istilah ‘perikatan’ berasal dari bahasa Belanda yaitu ‘Verbintenis’. Namun
demikian, dalam kepustakaan hukum Indonesia memakai bermacam-macam
istilah

untuk

menerjemahkan

verbintenis.

Subekti

dan


Tjiptosudibio,

menggunakan istilah perikatan untuk verbintenis dan persetujuan untuk
overeenkomst. Utrecht, dalam bukunya Pengantar dalam Hukum Indonesia
memakai istilah perutangan untuk verbintenis dan perjanjian untuk overeenkomst.
Sedangkan Achmad Ichsan, menerjemahkan verbintenis dengan perjanjian dan
overeenkomst untuk persetujuan. 28 Dengan demikian, verbintenis ini dikenal
memiliki tiga istilah di Indonesia, yaitu perikatan, perutangan, dan perjanjian.
Sedangkan untuk overeenkomst, dipakai untuk dua istilah yaitu perjanjian dan
persetujuan.

28

Titik Triwulan Tutik Trianto, Hukum Perdata dalam Sistem Hukum Nasional, Kencana,
Jakarta, 2008, hal. 197

Universitas Sumatera Utara

Faktanya, dalam menerjemahkan verbintenis para sarjana hukum

Indonesia tidak ada kesepakatan pendapat. Tetapi ada juga sarjana yang
menerjemahkan verbintenis itu hanya dengan istilah perjanjian. Jelas ini
merupakan kesalahan yang prinsipil, karena perjanjian itu sendiri merupakan
salah satu bentuk perutangan.
Beberapa Sarjana Hukum memberikan definisi mengenai perjanjian antara
lain sebagai berikut:
Menurut Wiryono

Projodikoro, verbintenis diterjemahkan sebagai

perjanjian yang artinya adalah suatu perhubungan hukum mengenai harta
benda antara dua pihak, dalam mana suatu pihak berjanji atau dianggap
berjanji untuk melakukan suatu hal atau untuk tidak melakukan sesuatu
hal, sedang pihak yang lain berhak menuntut pelaksanaan janji itu. 29
Menurut Subekti, verbintenis diterjemahkan sebagai perikatan yang
artinya adalah suatu perhubungan hukum (mengenai harta kekayaan
benda) antara dua orang, yang memberi hak kepada yang satu untuk
menuntut sesuatu hal dari yang lainnya sedangkan orang yang lainnya ini
diwajibkan untuk memenuhi tuntutan itu.30
Hal tersebut berarti bahwa istilah perikatan menurut Subekti adalah tidak

semua perikatan di dalam ilmu hukum disebut verbintenis. Jadi istilah perikatan
terlalu luas sedangkan verbintenis hanya perikatan yang letaknya di dalam harta
kekayaan.

29

Wiryono Projodikoro, Azas-azas Hukum Perjanjian, Sumur Bandung, Jakarta, 1989,

hal. 7
30

Subekti, Hukum Perjanjian, Intermasa, Jakarta, 1987, hal. 1

Universitas Sumatera Utara

Subekti membedakan antara perikatan dan perjanjian, yaitu:
Perjanjian adalah suatu peristiwa dimana seorang berjanji kepada orang
lain atau dimana dua orang saling berjanji untuk melaksanakan sesuatu
hal.Dari peristiwa ini ditimbulkan suatu perhubungan antara dua orang itu
yang dinamakan perikatan tadi. Perjanjian tersebut menerbitkan suatu

perikatan antara dua orang yang membuatnya. Dalam bentuknya,
perjanjian itu berupa suatu rangkaian perkataan yang mengandung janjijanji atau kesanggupan yang diucapkan atau ditulis. 31
Pendapat Syahmin AK memberikan petunjuk bahwa dalam bentuknya
perjanjian itu berupa suatu rangkaian perkataan yang mengandung janji-janji atau
kesanggupan yang diucapkan atau ditulis. 32
Berdasarkan pandangan yang dikemukakan oleh Abdulkadir Muhammad,
perjanjian adalah suatu persetujuan dengan dua orang atau lebih yang saling
mengikatkan diri untuk melaksanakan suatu hal dalam lapangan harta kekayaan.
Dalam definisi tersebut, secara jelas terdapat konsensus antara para pihak, yaitu
persetujuan antara pihak satu dengan pihak lainnya. Selain itu juga, perjanjian
yang dilaksanakan terletak pada lapangan harta kekayaan. 33
M. Yahya Harahap berpendapat bahwa perjanjian maksudnya adalah
hubungan hukum yang menyangkut hukum kekayaan antara 2 (dua) orang atau
lebih, yang memberi hak pada satu pihak dan kewajiban pada pihak lain tentang
suatu prestasi. 34
Berdasarkan beberapa pengertian perjanjian di atas, penulis melihat bahwa
hubungan antara perikatan dengan perjanjian adalah bahwa perjanjian itu

31


Ibid.
Syahmin, Hukum Kontrak Internasional, Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2006, hal.140
33
Abdul Kadir Muhammad, Hukum Perikatan, Citra Aditya Bakti, Bandung, 1990, hal.4
34
M. Yahya Harahap, Segi-segi Hukum Perjanjian, Penerbit Alumni, Bandung, 1986,

32

hal.6

Universitas Sumatera Utara

menerbitkan perikatan. Perjanjian adalah suatu sumber perikatan. Dengan
demikian, perjanjian adalah merupakan sumber penting dari perikatan, tetapi
masih ada sumber perikatan lainnya yang dilahirkan oleh undang-undang.
Perikatan itu merupakan suatu pengertian yang abstrak, sedangkan
perjanjian adalah pengertian konkrit. Hal ini dapat dikatakan demikian karena kita
tidak dapat melihat dengan panca indera kita wujud dari suatu perikatan itu,
melainkan kita hanya membayangkan dalam pikiran saja. Sedangkan mengenai

perjanjian, kita dapat melihat atau membaca suatu perjanjian ataupun mendengar
perkataan-perkataannya. 35
Hukum perjanjian pada dasarnya diatur dalam Buku III KUH Perdata yang
mengatur tantang perikatan karena perjanjian merupakan salah satu peristiwa yang
melahirkan hubungan hukum dalam lapangan harta kekayaan antara dua pihak
dimana di satu pihak ada hak dan di pihak lain ada kewajiban.
Suatu persetujuan adalah perbuatan dengan mana satu orang atau lebih
mengikatkan dirinya terhadap satu orang lain atau lebih. Perjanjian merupakan
peristiwa hukum yang berupa tindakan hukum yang mengakibatkan timbulnya
perikatan. 36
Berdasarkan pengertian perjanjian tersebut di atas, dapat dilihat bahwa
unsur-unsur pejanjian adalah: 37

35

Djohari Santoso dan Achmad Ali, Hukum Perjanjian di Indonesia, Perpustakaan Fak.
Hukum UII, Yogyakarta, 1989, hal. 17
36
Kitab Undang-undang Hukum Perdata, Pasal 1313
37

J. Satrio, Hukum Perikatan yang Lahir dari Perjanjian (Buku I), PT. Citra Aditya Bakti,
Bandung, 1995, hal. 25

Universitas Sumatera Utara

1. Perbuatan hukum
Perbuatan hukum yaitu perbuatan yang bertujuan menimbulkan akibat
hukum, sehingga menunjukkan bahwa akibat hukumnya dikehendaki
atau dianggap dikehendaki;
2. Satu orang atau lebih terhadap satu orang atau lebih
Dalam membuat suatu perjanjian, paling sedikit harus ada dua pihak
yang berhadap-hadapan dan saling menyatakan kehendak satu sama
lain;
3. Mengikatkan dirinya
Artinya dalam perjanjian terdapat unsur janji yang diberikan oleh satu
pihak kepada pihak yang lain sehingga para pihak terikat pada akibat
hukum yang muncul karena kehendaknya sendiri. Dengan arti seperti
itu, rumusan pasal 1313 KUH Perdata hanya menggambarkan
perjanjian sepihak saja.
Berdasarkan unsur-unsur perjanjian yang telah diuraikan di atas, menurut

J.Satrio perjanjian adalah suatu perbuatan hukum dengan mana satu orang
mengikatkan dirinya terhadap satu orang lain atau lebih atau dimana kedua belah
pihak saling mengikatkan diri. 38
Berbeda halnya dengan unsur-unsur perjanjian yang dikemukakan oleh
Salim H. S., bahwa pada suatu perjanjian terdapat beberapa unsur pokok, antara
lain: 39
1. Adanya kaidah hukum
Kaidah hukum perjanjian meliputi kaidah hukum tertulis dan kaidah
hukum tidak tertulis. Kaidah hukum tertulis yaitu kaidah hukum yang
terdapat dalam undang-undang, traktat dan jurisprudensi. Sedangkan
kaidah hukum tidak tertulis yaitu kaidah yang timbul, tumbuh dan
hidup dalam praktik kehidupan masyarakat (kebiasaan), seperti
transaksi gadai, jual tahunan atau jual lepas.
2. Adanya subjek hukum
Subjek hukum dalam hukum perjanjian terdiri dari kreditur dan
debitur. Kreditur adalah orang (badan hukum) yang berhak atas
prestasi. Sedangkan debitur adalah orang (badan hukum) yang
berkewajiban untuk memenuhi prestasi.
3. Adanya prestasi (objek perikatan)
Prestasi merupakan apa yang menjadi hak kreditur dan kewajiban

debitur. Prestasi terdiri dari:
38
39

Ibid., hal. 27
Titik Triwulan Tutik Trianto, Op.Cit., hal. 200

Universitas Sumatera Utara

a. memberikan (berbuat atau tidak berbuat) sesuatu;
b. dapat ditentukan;
c. mungkin dan diperkenankan; dan
d. dapat terdiri dari satu perbuatan saja atau terus-menerus.
4. Dalam bidang tertentu
Bidang yang dimaksud adalah bidang harta kekayaan, yaitu
menyangkut hak dan kewajiban yang dapat dinilai uang. Suatu harta
kekayaan dapat berwujud atau tidak berwujud.
Kata “perjanjian” secara umum dapat mempunyai arti yang luas dan
sempit. 40 Dalam arti luas suatu perjanjian berarti setiap perjanjian yang
menimbulkan akibat


hukum sebagai yang dikehendaki (atau dianggap

dikehendaki) oleh para pihak, termasuk di dalamnya perkawinan, perjanjian
kawin dan lain-lain. Sedangkan dalam arti sempit, “perjanjian” disini hanya
ditujukan kepada hubungan-hubungan hukum dalam lapangan hukum kekayaan
saja, seperti yang dimaksud oleh Buku III KUH Perdata. 41
Hal ini berarti bahwa hukum perjanjian merupakan bagian dari hukum
perikatan sedangkan hukum perikatan merupakan bagian dari hukum kekayaan,
maka hubungan yang timbul antara para pihak dalam suatu perjanjian adalah
hubungan hukum dalam lapangan hukum kekayaan. Oleh karena itu dapat
disimpulkan bahwa perjanjian menimbulkan perikatan.
Berdasarkan pengertian dan pendapat para ahli mengenai perjanjian yang
telah dijabarkan di atas, suatu perjanjian merupakan hubungan hukum antara dua
pihak atau lebih yang saling mengikatkan dirinya untuk melakukan suatu
persetujuan yang telah disepakati bersama, yang mana pengertian dari perjanjian
itu sendiri telah diatur di dalam KUH Perdata. Selain itu, KUH Perdata juga
mengenal bentuk-bentuk daripada perjanjian tersebut, yaitu sebagai berikut:
40
41


J. Satrio, Op.Cit., hal. 23
Ibid.

Universitas Sumatera Utara

1.

Perjanjian bersyarat
Pasal 1253 KUH Perdata menyebutkan suatu perikatan adalah
bersyarat jika digantungkan pada suatu peristiwa yang mungkin
terjadi

dan

menangguhkan

memang

belum

terjadi,

baik

dengan

cara

berlakunya perikatan itu sampai terjadinya

peristiwa itu, maupun dengan cara membatalkan perikatan itu,
tergantung pada terjadi tidaknya peristiwa

itu.Berdasarkan

pengertian perjanjian bersyarat yang diatur dalam Pasal 1253 KUH
Perdata, Subekti berpendapat:
Jika suatu perjanjian digantungkan pada syarat, bahwa sesuatu
peristiwa akan terjadi di dalam waktu tertentu, maka syarat tersebut
harus dianggap tidak terpenuhi apabila waktu tersebut telah lampau
dengan tidak terjadinya peristiwa yang dimaksud. 42
2.

Perjanjian dengan ketetapan waktu
Perjanjian dengan ketetapan waktu tidak menangguhkan lahirnya
suatu perjanjian atau perikatan, melainkan hanya menangguhkan
pelaksanaannya, ataupun menentukan lama waktu berlakunya
suatu perjanjian atau perikatan. 43

3.

Perjanjian mana suka (alternatif)
Dalam perjanjian mana suka, objek prestasinya ada dua macam
barang. Dikatakan alternatif karena debitur boleh memenuhi
prestasinya dengan memilih salah satu dari dua barang yang
dijadikan objek perjanjian. Tetapi debitur tidak dapat memaksa

42

Subekti, Op.Cit.,hal. 5
Ibid., hal. 6

43

Universitas Sumatera Utara

kreditur untuk menerima sebagian barang yang satu dan sebagian
barang yang lainnya. Jika debitur talah memenuhi salah satu dari
dua barang yang disebutkan dalam perjanjian, ia dibebaskan dan
perjanjian berakhir. 44
4.

Perjanjian tanggung-menanggung
Perjanjian tanggung menanggung dapat terjadi apabila seorang
debitur berhadapan dengan beberapa orang kreditur, atau seorang
kreditur berhadapan dengan beberapa orang debitur. Dalam hal ini,
setiap kreditur berhak atas pemenuhan prestasi seluruh utang dan
jika prestasi tersebut sudah dipenuhi, debitur dibebaskan dari
utangnya dan perjanjian tersebut hapus. 45

5.

Perjanjian yang dapat dibagi dan yang tak dapat dibagi
Perikatan yang dapat dibagi-bagi terdapat lebih dari satu kali
pelaksanaan pokok perikatan dengan rumusan Pasal 1296
KUHPerdata dinyatakan bahwa “Suatu perikatan dapat dibagi-bagi
atau tak dapat dibagi-bagi sekedar perikatan tersebut mengenai
suatu barang yang penyerahannya atau suatu perbuatan yang
pelaksanaannya dapat dibagi-bagi atau tak dapat dibagi-bagi, baik
secara nyata-nyata maupun secara perhitungan.” Perikatan dapat
dibagi atau tidak, tergantung pada kemungkinan tidaknya membagi
prestasi. Pada hakekatnya tergantung pula dari kehendak atau
dimaksud kedua belah pihak yang membuat perjanjian. 46

44

Titik Triwulan Tutik Trianto, Op.Cit., hal. 216
Ibid., hal. 217
46
Kartini Muljadi dan Gunawan Widjaja, Perikatan pada Umumnya, Raja Grafindo
Persada, Jakarta, 2003, hal 177
45

Universitas Sumatera Utara

6.

Perjanjian dengan ancaman hukuman
Perjanjian dengan ancaman hukuman merupakan suatu perjanjian
yang mana ditentukan bahwa debitur, untuk jaminan pelaksanaan
perjanjiannya, diwajibkan melakukan sesuatu apabila perjanjiannya
tidak dipenuhi. Penetapan hukuman ini dimaksudkan sebagai ganti
kerugian yang diderita oleh kreditur akibat tidak terpenuhi
perjanjian tersebut oleh debitur. 47 Hal tersebut berarti bahwa jika
pihak debitur lalai terhadap kewajibannya maka ia harus
melaksanakan apa yang telah ditetapkan sebagai hukumannya
dalam kesepakatan yang telah dibuat sebelumnya.

B. Syarat Sahnya Perjanjian
Syarat sahnya perjanjian diperlukan untuk menentukan ada atau tidaknya
suatu perjanjian yang lahir dari perbuatan atau tindakan para pihak, sehingga akan
berimplikasi pada akibat hukum yang timbul dari perbuatan para pihak yang
melakukan perbuatan hukum tersebut. Adapun yang menjadi syarat-syarat sahnya
suatu perjanjian diperlukan empat syarat menurut undang-undang, yaitu: 48
1. Sepakat mereka yang mengikatkan dirinya;
2. Cakap untuk membuat suatu perjanjian;
3. Mengenai suatu hal tertentu;
4. Suatu sebab yang halal.
Dua syarat yang pertama, dinamakan syarat-syarat subyektif karena
mengenai orang-orangnya atau subyeknya yang mengadakan perjanjian,

47
48

Subekti, Op.Cit., hal. 11
Kitab Undang-undang Hukum Perdata, Pasal 1320

Universitas Sumatera Utara

sedangkan dua syarat yang terakhir dinamakan syarat-syarat obyektif karena
mengenai perjanjiannya sendiri oleh obyek dari perbuatan hukum yang dilakukan
itu. 49
Syarat pertama untuk sahnya suatu perjanjian adalah adanya kesepakatan
antara para pihak yang mengadakan perjanjian. Sepakat merupakan pertemuan
antara dua kehendak, dimana kehendak orang yang satu saling mengisi dengan
apa yang dikehendaki pihak lain. 50Agar dua kehendak bisa bertemu dan saling
mengisi maka harus ada pernyataan kehendak dari satu pihak berupa penawaran
dan penerimaan atau akseptasi dari pihak yang lain. Dengan demikian dapat
dikatakan juga bahwa yang dinamakan sepakat adalah suatu penawaran yang
diakseptasi.
Tiada sepakat yang sah apabila sepakat itu diberikan karena kekhilafan
atau diperolehnya karena paksaan atau penipuan. 51 Kekhilafan atau kekeliruan
terjadi apabila salah satu pihak khilaf tentang hak-hak yang pokok dari apa yang
diperjanjikan atau tentang sifat-sifat yang penting dari barang yang menjadi obyek
perjanjian ataupun mengenai orang dengan siapa diadakan perjanjian itu.
Kekhilafan tersebut harus sedemikian rupa hingga seandainya orang itu tidak
khilaf mengenai hal-hal tersebut, ia tidak akan memberikan persetujuan. 52
Mengenai kekhilafan itu diatur lebih lanjut dalam undang-undang yang
mengaturnya, yang ketentuannya adalah sebagai berikut: 53

49

Ibid., hal. 17
J. Satrio, Op.Cit., hal. 165
51
Kitab Undang-undang Hukum Perdata, Pasal 1321
52
Subekti, Op.Cit., hal. 23
53
Kitab Undang-undang Hukum Perdata, Pasal 1322
50

Universitas Sumatera Utara

“Kekhilafan tidak mengakibatkan batalnya suatu persetujuan selainnya
apabila kekhilafan itu terjadi mengenai hakekat barang yang menjadi
pokok persetujuan.
Kekhilafan tidak menjadi sebab kebatalan jika kekhilafan itu hanya terjadi
mengenai dirinya orang dengan siapa seorang bermaksud membuat suatu
persetujuan, kecuali jika persetujuan itu telah dibuat terutama karena
mengingat dirinya orang tersebut.”
Mengenai paksaan peraturannya adalah: 54
“Paksaan telah terjadi apabila perbuatan itu sedemikian rupa hingga dapat
menakutkan seseorang yang berfikiran sehat, dan apabila perbuatan itu
sedemikian rupa dapat menimbulkan ketakutan pada orang tersebut bahwa
dirinya atau kekayaannya terancam dengan suatu kerugian yang terang dan
nyata.”
Mengenai penipuan peraturannya adalah sebagai berikut: 55
“Penipuan merupakan alasan untuk pembatalan persetujuan apabila tipu
muslihat yang dipakai oleh salah satu pihak, adalah sedemikian rupa,
sehingga terang dan nyata, bahwa pihak lain tidak menyetujui perjanjian
serupa andaikata tidak dilakukan tipu muslihat itu.”
Berdasarkan penjabaran tersebut di atas, maka dapat disimpulkan bahwa
perjanjian tidaklah sah apabila kesepakatan terjadi karena kekhilafan seperti
penipuan dan pemaksaan.
Syarat kedua untuk sahnya suatu perjanjian adalah kecakapan para pihak
untuk membuat perjanjian. Menurut pasal 1329 KUH Perdata pada dasarnya
semua orang dianggap cakap untuk membuat perjanjian kecuali oleh undang54
55

Kitab Undang-undang Hukum Perdata, Pasal 1324
Kitab Undang-undang Hukum Perdata, Pasal 1328

Universitas Sumatera Utara

undang dinyatakan tidak cakap. Pada umumnya orang dikatakan cakap apabila
orang tersebut telah dewasa. Pasal 330 KUH Perdata menyatakan bahwa mereka
yang belum genap berumur 21 tahun dan tidak telah menikah adalah belum
dewasa. Secara a contrario dapat dikatakan bahwa dewasa adalah mereka yang
telah berumur 21 tahun dan mereka yang telah menikah, termasuk mereka yang
belum berusia 21 tahun tetapi telah menikah. 56Dalam ketentuan pasal 47 Jo. Pasal
50 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, seseorang
dianggap cakap untuk melakukan perbuatan hukum apabila telah berusia 18
tahun. Ketentuan pasal 47 Jo. Pasal 50 UUP tersebut mengesampingkan ketentuan
mengenai kedewasaan yang terdapat dalam pasal 330 KUH Perdata. Hal ini
berarti, bahwa anak yang telah mencapai usia 18 tahun telah lepas dari perwalian
dan dianggap dewasa, yang berarti anak tersebut dapat melakukan tindakan
hukum sendiri dengan sah. 57
Kitab Undang-Undang Hukum Perdata juga mengatur mengenai orangorang yang tidak cakap berbuat yaitu tertuang dalam Pasal 1330 KUH Perdata:
“Yang tak cakap untuk membuat persetujuan adalah:
1. anak yang belum dewasa;
2. orang yang ditaruh di bawah pengampuan;
3. perempuan yang telah kawin dalam hal-hal yang ditentukan undangundang dan pada umumnya semua orang yang oleh undang-undang
dilarang untuk membuat persetujuan tertentu.”
Syarat ketiga untuk sahnya melakukan suatu perjanjian adalah suatu hal
tertentu. Maksud dari suatu hal tertentu ini adalah objek dari pada perjanjian.
Menurut J. Satrio, objek perjanjian adalah isi dari prestasi yang menjadi pokok
56

J.Satrio, Hukum Perikatan yang Lahir dari Perjanjian (Buku II), PT. Citra Aditya Bakti,
Bandung, 2001, hal. 5
57
Ibid., hal. 9

Universitas Sumatera Utara

perjanjian yang bersangkutan. Prestasi tersebut merupakan suatu perilaku tertentu,
bisa berupa memberikan sesuatu, melakukan sesuatu atau tidak melakukan
sesuatu. 58Setiap perjanjian haruslah mempunyai objek perjanjian dan hal ini diatur
dalam pasal 1332, 1333, dan 1334 KUHPerdata yang dapat disimpulkan sebagai
berikut:
1. Barang yang merupakan objek perjanjian tersebut haruslah barang yang
dapat diperdagangkan;
2. Barang yang merupakan objek perjanjian tersebut minimal harus dapat
ditentukan jenisnya;
3. Jumlah barang itu tidak perlu pasti, asal saja jumlah itu kemudian dapat
ditentukan atau dihitung;
4. Barang yang menjadi objek perjanjian dapat berupa barang yang baru
akan ada pada waktu yang akan datang; serta
5. Tidak dapat dibuat perjanjian terhadap barang yang masih dalam
warisan yang belum terbuka.
Syarat terakhir untuk sahnya suatu perjanjian menurut Pasal 1320 KUH
Perdata adalah suatu sebab yang halal. Mengenai suatu sebab yang halal diatur
dalam Pasal 1335 sampai dengan Pasal 1337 KUH Perdata yaitu sebagai berikut:
Pasal 1335 KUH Perdata menyatakan bahwa suatu persetujuan tanpa
sebab, atau dibuat berdasarkan suatu sebab yang palsu atau yang terlarang,
tidaklah mempunyai kekuatan.

58

J. Satrio, Op.Cit., hal. 32

Universitas Sumatera Utara

Pasal 1336 KUH Perdata menyatakan bahwa jika tidak dinyatakan suatu
sebab, tetapi memang ada sebab yang tidak terlarang, atau jika ada sebab lain
yang tidak terlarang selain dan yang dinyatakan itu, persetujuan itu adalah sah.
Pasal 1337 KUH Perdata menyatakan bahwa suatu sebab adalah terlarang,
jika sebab itu dilarang oleh undang-undang atau bila sebab itu bertentangan
dengan kesusilaan atau dengan ketertiban umum.
Menurut Subekti, sebab (oor zaak) yang dimaksudkan dalam Pasal 1320
KUH Perdata adalah isi dari pada perjanjian itu sendiri. Sebab bukanlah
sesuatu yang menyebabkan seseorang membuat perjanjian atau dorongan
jiwa untuk membuat suatu perjanjian pada azasnya tidak diperdulikan oleh
undang-undang. Yang diperhatikan oleh undang-undang hanyalah
tindakan-tindakan orang-orang dalam masyarakat.59
Contoh mengenai suatu sebab yang halal yang dimaksudkan dari pada isi
perjanjian misalnya perjanjian jual beli isinya pihak yang satu (si penjual)
menghendaki uang, sedangkan pihak yang lain (si pembeli) menghendaki sebuah
pisau. Dengan demikian jika seseorang membeli sebuah pisau di toko dengan
maksud untuk membunuh orang lain menggunakan pisau tersebut, tetapi si
penjual tidak mengetahui maksud pembunuhan tersebut, maka jual beli pisau
tersebut mempunyai sebab yang halal. Tetapi apabila soal membunuh
dimaksudkan dalam perjanjian misal si penjual hanya bersedia menjual pisaunya
jika si pembeli membunuh, maka isi perjanjian tersebut menjadi suatu yang
terlarang.
C. Pengertian Perjanjian Kredit
Istilah kredit berasal dari bahasa Yunani, yaitu “credere” yang berarti
kepercayaan. Oleh karena itu dasar dari perjanjian kredit adalah kepercayaan,
dalam arti bahwa apabila seseorang atau badan usaha mendapat fasilitas kredit
59

Subekti, Op.Cit., hal. 19

Universitas Sumatera Utara

dari bank (kreditur), maka orang atau badan usaha tersebut telah mendapat
kepercayaan dari bank pemberi kredit, dan penerima kredit (debitur) pada masa
yang akan datang akan sanggup memenuhi segala sesuatu yang telah dijanjikan. 60
Berdasarkan peraturan Pasal 1 angka 11 Undang-Undang Nomor 10 Tahun
1998 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang
Perbankan, kredit adalah penyediaan uang atau tagihan yang dapat dipersamakan
dengan itu, berdasarkan persetujuan atau kesepakatan pinjam-meminjam antara
bank dengan pihak lain yang mewajibkan pihak peminjam untuk melunasi
utangnya setelah jangka waktu tertentu dengan pemberian bunga.
Berdasarkan pengertian kredit yang ditetapkan oleh undang-undang
sebagaimana tersebut di atas, suatu pinjam meminjam uang akan digolongkan
sebagai kredit perbankan sepanjang memenuhi unsur-unsur sebagai berikut: 61
1. Adanya penyediaan uang atau tagihan yang dapat dipersamakan
dengan penyediaan uang;
2. Adanya persetujuan atau kesepakatan pinjam meminjam antara bank
dengan pihak lain;
3. Adanya kewajiban melunasi utang;
4. Adanya jangka waktu tertentu; serta
5. Adanya pemberian bunga kredit.
Muhammad Djumhana menyatakan bahwa perjanjian kredit pada
hakikatnya adalah perjanjian pinjam pengganti sebagaimana yang diatur di dalam
Pasal 1754 KUH Perdata, yang menyebutkan bahwa: 62
“Perjanjian pinjam pengganti adalah persetujuan dengan mana pihak yang
satu memberikan kepada pihak yang lain suatu jumlah tertentu barangbarang yang menghabis karena pemakaian, dengan syarat bahwa pihak
60

Thomas Suyatno, Dasar-dasar Perkreditan, Gramedia, Jakarta, 1989, hal.11
M.Bahsan, Hukum Jaminan dan Jaminan Kredit Perbankan Indonesia, Raja Grafindo
Persada, Jakarta, 2012, hal. 76
62
Muhammad Djumhana, Hukum Perbankan di Indonesia, Cetakan ketiga, Citra Aditya
Bakti, Bandung, 2000, hal. 385
61

Universitas Sumatera Utara

yang belakangan ini akan mengembalikan sejumlah yang sama dari
macam dan keadaan yang sama pula.”
Mariam Darus Badrulzaman juga memiliki pandangannya sendiri tentang
pengertian perjanjian kredit, ia berpendapat bahwa perjanjian kredit adalah
perjanjian pendahuluan dari penyerahan uang. Perjanjian pendahuluan ini
merupakan hasil permufakatan antara pemberi dan penerima pinjaman mengenai
hubungan-hubungan hukum antara keduanya. Perjanjian ini bersifat konsensuil
(pacta de contrahendo) oligatoir, yang dikuasai oleh undang-undang perbankan
dan bagian umum KUH Perdata.63
Hermansyah memiliki pendapat lain mengenai definisi daripada perjanjian
kredit. Menurutnya, perjanjian kredit adalah perjanjian pokok (prinsipil) yeng
bersifat riil. Sebagai perjanjian prinsipil, maka perjanjian jaminan adalah
assessor-nya. Ada dan berakhirnya perjanjian jaminan bergantung pada perjanjian
pokok. Arti riil ialah bahwa terjanjinya perjanjian kredit ditentukan oleh
penyerahan uang oleh bank kepada debitur. 64
Berdasarkan beberapa pengertian perjanjian kredit tersebut di atas, dapat
disimpulkan bahwa perjanjian kredit dilaksanakan dengan mana para pihak telah
sepakat untuk mengikatkan diri dalam melaksanakan perjanjian kredit yang mana
pihak debitur menerima sejumlah uang dari pihak kreditur dan pihak kreditur akan
menerima pembayaran atas hutang debitur dengan jumlah yang sama dengan
bunga dan pada waktu yang telah diperjanjikan dalam perjanjian kredit
tersebut.Pihak debitur diberikan kredit oleh pihak kreditur didasarkan atas dasar
kepercayaan bahwa pihak debitur akan melunasi hutangnya tepat pada waktunya.
63
64

Mariam Darus Badrulzaman, Perjanjian Kredit Bank, Alumni, Bandung, 1989, hal. 28
Hermansyah, Op.Cit., hal. 71

Universitas Sumatera Utara

Jadi apabila debitur telah mengembalikan apa yang diperjanjikan maka kreditur
juga berkewajiban menyerahkan jaminan kredit yang diberikan oleh debitur.
Dilihat

dari

bentuknya,

umumnya

perjanjian

kredit

perbankan

menggunakan bentuk perjanjian baku (standard contract). 65Setiap kredit yang
telah disetujui dan disepakati antara pihak kreditur dan debitur maka wajib
dituangkan dalam perjanjian kredit (akad kredit) secara tertulis. Dalam praktik
perbankan bentuk dan format dari perjanjian kredit diserahkan sepenuhnya kepada
bank yang bersangkutan namun demikian ada hal-hal yang tetap harus
dipedomani yaitu bahwa perjanjian tersebut rumusannya tidak boleh kabur atau
tidak jelas, selain itu juga perjanjian tersebut sekurang-kurangnya harus
memperhatikan keabsahan dan persyaratan secara hukum sekaligus juga harus
membuat secara jelas mengenai jumlah besarnya kredit, jangka waktu, tata cara
pembayaran kembali kredit serta persyaratan lainnya yang lazim dalam perjanjian
kredit.66 Hal-hal yang demikian perlu menjadi perhatian agar mencegah adanya
kebatalan dari perjanjian yang dibuat, sehingga pada saat dilakukannya perbuatan
hukum (perjanjian) tersebut jangan sampai melanggar suatu ketentuan peraturan
perundang-undangan. Dengan demikian pejabat bank harus dapat memastikan
bahwa seluruh aspek yuridis yang berkaitan dengan perjanjian kredit telah
diselesaikan dan telah memberikan perlindungan yang memadai bagi bank.
Beberapa pakar yang menentang kehadiran perjanjian baku ini, di
antaranya adalah: 67

65

Ibid.
Muhammad Djumhana, Hukum Perbankan di Indonesia, Cetakan keempat,Citra Aditya
Bakti, Bandung, 2003, hal. 385
67
Djoni S. Gazali dan Rachmadi Usman, Op.Cit., hal.323
66

Universitas Sumatera Utara

1. Sluitjer
Menurutnya perjanjian baku bukan merupakan perjanjian, sebab
kedudukan para pihak sama dengan pembentuk undang-undang
swasta.
2. Pitlo
Pitlo berpendapat bahwa perjanjian baku adalah suatu perjanjian
memaksa (dwangcontract), karena terdapatnya pelanggaran atas sifat
terbuka dan kebebasan para pihak dalam hukum perjanjian.
3. Eggens
Dikatakan olehnya kebebasan kehendak dalam perjanjian merupakan
tuntutan kesusilaan.
Sebaliknya, beberapa pakar menerima kehadiran perjanjian baku sebagai
suatu perjanjian, hal ini karena: 68
1. Perjanjian baku sebagai perjanjian berdasarkan kemauan dan
kepercayaan bahwa para pihak mengikatkan dirinya pada perjanjian
itu;
2. Setiap

pihak

yang

menandatangani

perjanjian

tersebut

pasti

mengetahui, menghendaki dan menyetujui isi daripada perjanjian yang
telah dituangkan di dalam formulir perjanjian baku tersebut;
3. Perjanjian baku mempunyai kekuatan hukum yang mengikat dan
berlaku di lingkungan masyarakat.
Hal ini berarti bahwa keabsahan perjanjian baku terletak pada penerimaan
masyarakat dan lalu lintas bisnis untuk memperlancar arus perdagangan dan
bisnis. Dunia perdagangan dan bisnis sangat memerlukan kehadiran perjanjian
baku guna menunjang dan menjamin kelangsungan hidup usaha perdagangan dan
bisnis.
Setiap perjanjian, khususnya perjanjian kredit antara bank dengan nasabah
wajib menerapkan asas-asas dalam perjanjian. Bank wajib menerapkan asas

68

Ibid., hal. 324

Universitas Sumatera Utara

keseimbangan dalam perjanjian kredit. Asas keseimbangan adalah asas yang
menghendaki kedua belah pihak memenuhi dan melaksanakan perjanjian yang
telah disepakati. Kreditur memiliki kekuatan untuk menuntut prestasi dan jika
diperlukan dapat menuntut pelunasan prestasi melalui kekayaan debitur, tetapi
kreditur juga mempunyai beban untuk melaksanakan perjanjian itu dengan itikad
baik. Disini dapat terlihat bahwa kedudukan kreditur yang kuat diimbangi dengan
kewajibannya untuk memperhatikan itikad baik sehingga kedudukan kreditur dan
debitur menjadi seimbang. Kedudukan bank yang dominan di bandingkan dengan
kedudukan nasabah, maka itikad baik sangat diperlukan dalam melaksanakan
perjanjian kredit oleh bank hal ini bertujuan untuk menghindari hal-hal yang dapat
mengarah pada ketidakadilan. Itikad baik sebagaimana Pasal 1338 ayat 3
KUHPerdata, bahwa suatu perjanjian harus didasari itikad baik, artinya
pelaksanaan suatu perjanjian itu harus didasarkan pada norma kepatutan atau
sesuatu yang dirasakan sesuai dengan yang patut dalam masyarakat. 69
Perjanjian kredit juga perlu memperoleh perhatian yang khusus baik oleh
pihak bank sebagai kreditur maupun oleh nasabah sebagai debitur, karena
perjanjian kredit mempunyai fungsi yang sangat penting dalam pemberian,
pengelolaan dan penatalaksanaan kredit tersebut. Berkaitan dengan itu, menurut
Ch. Gatot Wardoyo perjanjian kredit mempunyai fungsi-fungsi sebagai berikut:70
1. Perjanjian kredit berfungsi sebagai perjanjian pokok;
2. Perjanjian kredit berfungsi sebagai alat bukti mengenai batasanbatasan hak dan kewajiban di antara kreditur dan debitur;

69

Etty Mulyati, “Asas Keseimbangan pada Perjanjian Kredit Perbankan dengan Nasabah
Pelaku Usaha Kecil”, Jurnal Bina Mulia Hukum, Vol. 1 No. 1, 2016, hal. 39
70
Hermansyah, Op.Cit., hal. 72

Universitas Sumatera Utara

3. Perjanjian kredit berfungsi sebagai alat untuk melakukan monitoring
kredit.
D. Jenis Perjanjian Kredit
Perjanjian

kredit

pada

umumnya

dibuat

secara

tertulis,

karena

perjanjiankredit secara tertulis lebih aman dibandingkan dalam bentuk lisan.
Dengan bentuktertulis para pihak tidak dapat mengingkari apa yang telah
diperjanjikan, dan ini akan menjadi bukti yang kuat dan jelas apabila terjadi
sesuatu kepada kredityang telah disalurkan atau juga dalam hal terjadi ingkar janji
oleh pihak bank. 71
Hendrik Budi Untung memberikan penjelasan bahwa secara yuridis
terdapat 2 (dua) jenis perjanjian atau pengikatan kredit yang digunakan oleh bank
dalam memberikan kreditnya, yaitu: 72
1. Perjanjian kredit di bawah tangan atau akta di bawah tangan, yaitu
perjanjian pemberian kredit oleh bank kepada nasabahnya yang dibuat
hanya di antara mereka (kreditur dan debitur) tanpa notaris. Lazimnya
dalam penandatanganan akta perjanjian kredit, saksi turut serta
membubuhkan tandatangannya karena saksi merupakan salah satu alat
pembuktian dalam perkara perdata.
2. Perjanjian kredit notariil (autentik), yaitu perjanjian pemberian kredit
oleh bank kepada nasabahnya yang hanya dibuat oleh atau di hadapan
notaris. Dari pengertian perjanjian kredit notariil tersebut, dapat
ditemukan beberapa hal, antara lain:
a. Yang berwenang membuat akta otentik adalah notaris, terkecuali
wewenang tersebut diserahkan pada pejabat lain atau orang lain;
b. Akta otentik dibedakan dalam yang dibuat “oleh” dan yang dibuat
“di hadapan” pejabat umum. Isi dari akta otentik adalah:
1) semua “perbuatan” yang oleh undang-undang diwajibkan
dibuat dalam akta otentik;
2) semua “perjanjian” dan “penguasaan” yang dikehendaki oleh
mereka yang berkepentingan.
3) Akta otentik memberikan kepastian mengenai penanggalan
daripada aktanya yang berarti bahwa ia berkewajiban menyebut
dalam akta yang bersangkutan, tahun, bulan dan tanggal pada
waktu akta tersebut dibuat.
71
72

Djoni S. Gazali dan Rachmadi Usman, Op.Cit., hal. 319-320
H. Budi Untung, Kredit Perbankan di Indonesia, Andi Offset, Yogyakarta, 2000, hal.31

Universitas Sumatera Utara

Mengenai akta perjanjian kredit notariil atau autentik ini, terdapat
beberapa hal yang perlu diketahui, yaitu: 73
1. Kekuatan Pembuktian, terdapat 3 (tiga) macam, yaitu:
a. Pertama, membuktikan antara para pihak bahwa mereka sudah
menerangkan apa yang tertulis di dalam akta.
b. Kedua, membuktikan antara para pihak bahwa peristiwa yang
disebutkan dalam akta sunguh-sungguh terjadi.
c. Ketiga, membuktikan tidak hanya antara para pihak tetapi pihak
ketiga juga telah menghadap di muka pegawai umum (notaris) dan
menerangkan apa yang ditulis dalam akta tersebut.
2. Grosse Akta Pengakuan Hutang
Kelebihan dari akta perjanjian kredit atau pengakuan hutang yang
dibuat secara notariil (autentik) adalah dapat dimintakan Grosse Akta
Pengakuan Hutang yang mempunyai kekuatan eksekutorial, artinya
disamakan dengan keputusan hakim yang oleh bank diharapkan
pelaksanaan eksekusinya tidak perlu lagi melalui proses gugatan yang
biasanya menyita waktu lama dan memakan biaya besar.
3. Ketergantungan terhadap Notaris
Bahwa notaris sebagai pejabat umum tetap juga sebagai seorang
manusia biasa sehingga di dalam mengadakan perjanjian kredit atau
pengakuan hutang oleh atau di hadapan notaris, tetap dituntut berperan
aktif guna memeriksa segala aspek hukum dan kelengkapan yang
diperlukan.
E. Hapusnya Perjanjian Kredit
Pasal 1319 KUH Perdata menetapkan bahwa semua persetujuan baik yang
mempunyai nama khusus maupun yang tidak dikenal dengan suatu nama tertentu
tunduk pada peraturan-peraturan umum yang termuat di dalam bab ini dan bab
yang lain.
Mengingat bahwa perjanjian kredit merupakan perjanjian yang tidak diatur
di dalam KUH Perdata atau yang sering disebut dengan istilah perjanjian
innominaat, dengan adanya peraturan yang tertuang dalam Pasal 1319 KUH
Perdata tersebut di atas menetapkan bahwa perjanjian kredit juga harus tunduk

73

Ibid., hal. 33

Universitas Sumatera Utara

pada ketentuan-ketentuan umum yang termuat di dalam Buku III KUH Perdata,
termasuk ketentuan-ketentuan tentang hapusnya suatu perikatan atau perjanjian.
Hapusnya suatu perikatan telah diatur di dalam Pasal 1381 KUH Perdata
yang ketentuannya adalah sebagai berikut:
“Perikatan hapus:
karena pembayaran;
karena penawaran pembayaran tunai, diikuti dengan penyimpanan atau
penitipan;
karena pembaruan utang;
karena perjumpaan utang atau kompensasi;
karena percampuran utang;
karena pembebasan utang;
karena musnahnya barang yang terutang;
karena kebatalan atau pembatalan;
karena berlakunya suatu syarat pembatalan, yang diatur dalam Bab I buku
ini;dan
karena lewat waktu, yang akan diatur dalam suatu bab sendiri.”
Pasal 1381 KUH Perdata tersebut di atas yang mengatur cara hapusnya
perikatan dapat diberlakukan pula pada perjanjian kredit bank. Dari sepuluh cara
yang disebutkan pada Pasal 1381 KUH Perdata, umumnya perjanjian kredit bank
harus hapus atau berakhir karena hal-hal sebagai berikut: 74
1. Pembayaran
Pembayaran (lunas) ini merupakan pemenuhan prestasi dari debitur,
baik pembayaran utang pokok, bunga, denda maupun biaya-biaya
lainnya yang wajib dibayar lunas oleh debitur. Pembayaran lunas ini
baik karena jatuh tempo kreditnya atau karena diharuskannya debitur
melunasi kreditnya secara seketika dan sekaligus (opelbaarheid
clause).
2. Subrogasi (subrogatie)
Pasal 1382 KUH Perdata menyebutkan kemungkinan pembayaran
(pelunasan) utang dilakukan oleh pihak ketiga kepada pihak berpiutang
(kreditur), sehingga terjadi penggantian kedudukan atau hak-hak
kreditur oleh pihak ketiga. Inilah yang dinamakan dengan subrogasi.
Jadi subrogasi ini terjadi karena adanya penggantian kedudukan atau
hak-hak kreditur lama oleh kreditur baru dengan mengadakan
pembayaran. Dengan adanya subrogasi, maka segala kedudukan atau
hak-hak yang dimiliki oleh kreditur lama beralih kepada pihak ketiga.
74

Rachmadi Usman, Aspek-aspek Hukum Perbankan di Indonesia, Gramedia Pustaka
Utama, Jakarta, 2001, hal. 279-280

Universitas Sumatera Utara

3. Pembaruan utang (novasi)
Pembaruan utang terjadi dengan jalan mengganti utang lama dengan
utang baru, debitur lama dengan debitur baru, dan kreditur lama
dengan kreditur baru. Dalam hal ini bila utang lama diganti dengan
utang baru, maka terjadilah penggantian objek perjanjian yang disebut
“novasi objektif”. Di sini utang lama akan lenyap. Dalam hal terjadi
penggantian orangnya (subjeknya), maka jika diganti debiturnya,
pembaruan ini disebut “novasi subjektif pasif”. Jika yang diganti itu
krediturnya, pembaruan ini disebut “novasi subjektif aktif”. Dalam hal
ini, utang lama lenyap.
Pada umumnya pembaruan utang yang terjadi dalam dunia perbankan
adalah dengan mengganti atau memperbarui perjanjian kredit bank
yang ada. Dalam hal ini yang diganti adalah perjanjian kredit banknya
dengan perjanjian kredit bank yang baru. Oleh karena itu otomatis
perjanjian kredit bank yang lama berakhir atau tidak berlaku lagi.
Pasal 1413 KUH Perdata menyebutkan tiga cara untuk melakukan
novasi, yaitu:
a. dengan membuat suatu perikatan utang baru yang menggantikan
perikatan utang lama yang dihapuskan karenanya;
b. dengan cara expromissie, yakni mengganti debitur lama dengan
debitur baru;
c. mengganti debitur lama dengan debitur baru sebagai akibat suatu
perjanjian baru yang diadakan.
4. Perjumpaan utang (kompensasi)
Kompensasi adalah perjumpaan dua utang yang berupa benda-benda
yang ditentukan menurut jenis (generieke ziken), yang dipunyai oleh
dua orang atau pihak secara timbal balik, di mana masing-masing
pihak berkedudukan baik sebagai kreditur maupun debitur terhadap
orang lain,sampai jumlah terkecil yang ada di antara kedua utang
tersebut.
Berdasarkan penjelasan di atas, dapat disimpulkan bahwa KUHPerdata
memang tidak mengatur tentang perjanjian kredit perbankan namun setiap orang
yang melakukan perjanjian kredit harus tunduk dan patuh terhadap seluruh
ketentuan-ketentuan mengenai perjanjian yang ada di dalam KUHPerdata. Karena
bagaimanapun juga perjanjian kredit merupakan suatu hubungan hukum yang
menimbulkan suatu perikatan dan ketentuan mengenai perikatan telah diatur di
dalam KUHPerdata.

Universitas Sumatera Utara