Kekerasan Verbal terhadap Anak dalam Keluarga:Kajian Sosiolinguistik

BAB II
KAJIAN PUSTAKA, LANDASAN TEORI, DAN KERANGKA TEORI
2.1 Kajian Pustaka
Sesungguhnya, kajian tentang kekerasan verbal bukanlah masalah yang
sama sekali baru dalam dunia telaah linguistik. Para linguis dan peneliti terdahulu
telah melakukan beberapa telaah atau penelitian dalam hal penggunaan kekerasan
verbal. Dalam konteks itu, penelitian tetang kekerasan verbal telah banyak
dilakukan oleh ahli atau peneliti dari pelbagai aspek. Misalnya, Odin Rosidin
(2010) melakukan penelitian tentang “ Kajian Bentuk, Kategori, dan Sumber
Makian serta Alasan Penggunaan Makian oleh Mahasiswa”. Penelitian tersebut
mengkaji klasifikasi dan deskripsi bentuk, kategori, dan sumber makian, serta
alasan penggunaan makian oleh responden laki-laki dan perempuan. Analisis yang
digunakan yaitu berdasarkan sudut pandang bentuk, kategori dan sumber makian,
serta alasan penggunaan Makian. Temuan penelitian penulisan tesis yang
dipublikasikan di Universitas Indonesia ini

menunjukkan (1) tidak terdapat

perbedaan klasifikasi bentuk Makian antara kekerasan verbal yang digunakan oleh
responden laki-laki dan oleh responden perempuan, (2) tidak terdapat perbedaan
klasifikasi kategori makian antara kekerasan verbal yang digunakan oleh

responden laki-laki dan oleh responden perempuan, (3) tidak terdapat perbedaan
klasifikasi sumber makian oleh perempuan, (4) tidak terdapat perbedaan
klasifikasi alasan penggunaan makian antara alasan responden laki-laki dan alasan
responden perempuan.

`
Universitas Sumatera Utara

Penelitian yang ditulis oleh Odin Rosidin tidaklah sama dengan penelitian
yang akan dilakukan karena pertama, objek dari penelitian tersebut yaitu
mengarah kepada mahasiswa sedangkan objek penelitian yang akan dilakukan
dalam tulisan ini yaitu mengarah kepada anak-anak. Kedua, penelitian ini meneliti
perbedaan bentuk, kategori, sumber kekerasan verbal, dan alasan penggunaan
kekerasan verbal oleh mahasiswa ataupun mahasiswi sedangkan penelitian yang
akan diteliti lebih khusus ingin meneliti bentuk kekerasan verbal yang dilakukan
orang tua dan faktor-faktor yang menyebabkannya. Akan tetapi tulisan ini samasama menyinggung tentang kekerasan verbal yang dilakukan oleh seseorang baik
pria maupun wanita terhadap orang di sebuah lingkungan masyarakat. Penelitian
ini memberikan konstribusi terhadap penelitian yang akan dilakukan

berupa


jenis-jenis kekerasan verbal yang dipaparkan sebelumnya yang sebenarnya juga
termasuk dalam kekerasan verbal. Hal itu membantu peneliti untuk tidak sulit lagi
mengklasifikasikan jenis-jenis kekerasan verbal yang dilakukan oleh orang tua
terhadap anak.
Penelitian yang hampir serupa dengan penelitian di atas adalah penelitian
yang dilakukan oleh Ambarwati (2013). Penelitian yang berjudul, “ Kekerasan
Verbal Bahasa Indonesia dalam Wacana Pasar Tradisional di Kota Denpasar” ini
meneliti bentuk-bentuk kekerasan verbal yang terjadi di pasar Tradisional beserta
dengan faktor-faktor pemicu penggunaan kekerasan verbal.
Temuan penelitian jurnal yang dipublikasikan di jurnal nasional
Universitas Udayana ini yaitu terdapat kekerasan verbal di pasar tradisional yang
diklasifikasikan berdasarkan bentuk-bentuknya sesuai dengan teori pragmatik
yaitu kekerasan verbal yang dilakukan terdapat dalam tindak tutur asertif, direktif,
`
Universitas Sumatera Utara

komisif, dan deklarasi, sedangkan kekerasan verbal tindak tutur ekspresif tidak
ditemukan. Selain itu penelitian yang menjadikan pedagang dan calon pembeli di
pasar tradisional menjadi objek penelitian ini juga menemukan tiga belas jenis

kekerasan verbal yang terjadi di pasar tradisonal Kota Denpasar, meliput
kekerasan verbal, hinaan, ancaman, tuduhan, paksaan, sindiran, protes,
kecurigaan, penolakan, kepurukan, sapaan, dan kebohongan. Ada lima faktor yang
mempengaruhi terjadinya kekerasan verbal di pasar tradisional Kota Denpasar.
Faktor-faktor tersebut adalah faktor keingingan untuk menyampaikan sesuatu,
suasana hati, situasi lingkungan, keadaan, dan tingkat sosial.
Penelitian yang ditulis oleh Ambarwati tidaklah sama dengan penelitian
yang akan dilakukan karena pertama, objek dari penelitian tersebut yaitu
mengarah kepada pedagang dan calon pembeli di pasar tradisional sedangkan
objek penelitian yang akan dilakukan dalam tulisan ini yaitu mengarah kepada
anak-anak dalam keluarga. Kedua, penelitian ini meneliti bentuk kekerasan verbal
berdasarkan teori pragmatik, sedangkan penelitian yang akan diteliti lebih khusus
ingin meneliti bentuk kekerasan verbal yang dilakukan orang tua dan faktor-faktor
yang menyebabkannya berdasarkan teori sosiolinguistik. Akan tetapi tulisan ini
sama-sama menyinggung tentang kekerasan verbal yang dilakukan oleh seseorang
baik pria maupun wanita terhadap orang di sebuah lingkungan masyarakat dan
penelitian yang diteliti sama-sama ingin mengupas faktor-faktor kekerasan verbal
yang dilakukan oleh penuturnya. Penelitian ini memberikan konstribusi terhadap
penelitian yang akan dilakukan


berupa jenis-jenis kekerasan verbal yang

dipaparkan sebelumnya yang sebenarnya juga termasuk dalam kekerasan verbal.
Hal itu membantu peneliti untuk tidak sulit lagi mengklasifikasikan jenis-jenis

`
Universitas Sumatera Utara

kekerasan verbal yang dilakukan oleh orang tua terhadap anak dan membantu
untuk mengklasifikasikan faktor-faktor pemicu kekerasan verbal yang dilakukan
oleh penuturnya.
Selanjutnya, tesis yang dipublikasikan di Universitas Negeri Malang yang
berjudul Karakteristik Bahasa Kekerasan verbal Mahasiswa Sastra Indonesia
Universitas Negeri Malang. Kurniawan (2009) meneliti karakteristik bahasa
kekerasan verbal mahasiswa Sastra Indonesia Universitas Negeri Malang.
Penelitian itu menggunakan pendekatan kualitatif deskriptif. Pendekatan teori
yang digunakan adalah karakteristik bahasa dalam studi pragmatik dengan objek
kajian peristiwa tutur. Temuan penelitian tersebut adalah (1) bentuk ungkapan
kekerasan verbal merupakan wujud ujaran dengan pilihan kata-kata atau frasa
yang tepat digunakan sebagai alat pengungkap perasaan penutur, (2) strategi

penggunaan bahasa kekerasan verbal merupakan wujud dari penerapan teori
SPEAKING, dan (3) ragam fungsi ungkapan kekerasan verbal selain menjadi
sarana pengungkap rasa marah juga dapat digunakan sebagai sarana
pengungkapan rasa kesal, rasa kecewa, penyesalan, keheranan ataupun
penghinaan. Namun, sebaliknya, bahasa kekerasan verbal juga dapat digunakan
sebagai sarangan pengungkapan rasa keintiman atau dalam nuansa keakraban.
Penelitian ini hampir sama dengan penelitian yang akan dilaksanakan akan tetapi
penelitian Kurniawan menggunakan teori pendekatan pragmatik sedangkan
penelitian yang akan dilaksanakan menggunakan teori sosiolinguistik.
Penelitian berikutnya adalah penelitian yang dilakukan oleh Farida Yuni
Arsih (2010), yang menganalisis tentang “Studi Fenomenologis: Kekerasan Katakata (kekerasan verbal) pada Remaja.” Penelitian ini dipublikasikan dalam bentuk
`
Universitas Sumatera Utara

tesis di Universitas Diponegoro. Penelitian tersebut didasarkan pada database
yang berhasil dikumpulkan melalui kuesioner. Temuan yang dihasilkan dalam
penelitian ini yaitu remaja ketika mendapatkan perlakuan kekerasan kata-kata
(kekerasan verbal) adalah seperti memanggil nama dengan nama hewan, mengatai
“bodoh”, mencaci-maki, marah-marah, perasaan ketika mendapatkan perlakuan
kekerasan kata-kata (kekerasan verbal) bagi remaja adalah perasaan sedih,

dendam, dan ingin membalas. Respon ketika mendapatkan kekerasan kata-kata
adalah menghiraukan orang yang melakukan kekerasan kata-kata dan pengen
bantah, dampak dari kekerasan kata-kata pada remaja adalah dampak psikis dan
dampak positif seolah-olah akan menjadi penurut kepada orang tua.
Dari beberapa penelitian tersebut dapat disimpulkan bahwa penelitian
mengenai kekerasan verbal sesungguhnya telah banyak dilakukan peneliti lain
dari aspek yang sangat beragam, yakni bentuk, referensi, fungsi, faktor, sikap
sosial, aspek pragmatik, aspek sosiolinguistik, dan makna kekerasan verbal.
Sementara itu, berkenaan dengan penelitian yang melibatkan anak dalam keluarga
menjadi subjek masih minim dilakukan menjadi subjek penelitian. Penelitian ini
menjelaskan bentuk-bentuk kekerasan verbal, peristiwa tutur kekerasan verbal
dan faktor-faktor apa yang menyebabkan terjadinya kekerasan verbal berdasarkan
data kekerasan verbal yang dilakukan orang tua terhadap anaknya yang dilakukan
di Kelurahan Tanjung Mulia Hilir Lingkungan 22 Medan.

`
Universitas Sumatera Utara

2.2 Landasan Teori
2.2.1 Sosiolinguistik

Sosiolinguistik adalah cabang linguistik yang memperlajari hubungan dan
saling pengaruh antara perilaku bahasa dan perilaku sosial. Kajian utama
sosiolinguistik

adalah

keragaman

bahasa

yang

terjadi

di

masyarakat.

Sosiolinguistik lebih menitikberatkan teori-teorinya pada kegiatan berbahasa
sekelompok masyarakat dalam sebuah lingkungan.

Pengetahuan sosiolinguistik dimanfaatkan dalam berkomunikasi atau
berinteraksi. Sosiolinguistik memberikan pedoman untuk berkomunikasi dengan
menunjukkan bahasa, ragam bahasa atau gaya bahasa apa yang harus kita gunakan
jika berbicara dengan orang-orang tertentu. Dalam bukunya Alen dan Corder
(1975:156) yang mengungkapkan, “Sociolinguistics is the study of language in
operation, it’s purpose is to investigate how the convention of the language use
relate to other aspects of social behavior” itu berarti sosiolinguistik merupakan
kajian bahasa dalam penggunaan bahasanya, dengan tujuan untuk meneliti
bagaimana konvensi pemakaian bahasa itu sendiri yang berhubungan dengan
aspek-aspek lainnya dari tingkah laku sosialnya.
Senada dengan Alen dan Corder, Holmes (2001:1) menyatakan,
“Sociolinguists study the relationship between language and society. They are
interested ini explaining why we speak differently in different social contexts, and
they are concerned with identifying the social functions of language and the
wayas it is used to convey social meaning.” Definisi itu mengungkapkan bahwa
kajian sosiolinguistik mempelajari hubungan antara bahasa dan masyarakat sosial.

`
Universitas Sumatera Utara


Dalam hal ini, sosiolinguistik lebih tertarik dalam menjelaskan mengapa manusia
berkomunikasi secara berbeda-beda dalam situasi sosial yang berbeda pula dan
juga mengkaji mengenai fungsi sosial dari suatu bahasa dan cara bahasa tersebut
digunakan untuk menyampaikan sebuah pesan melalui penggunaan sebuah bahasa
tentunya. Sedangkan sosiolinguistik yang merupakan kajian kontekstual terhadap
variasi penggunaan bahasa masyarakat dalam sebuah komunikasi yang alami.
Menurut O‟Grady (1996:4) menyatakan, “The subdiscipline of linguistics
that treats the social aspects of language is called sociolinguistics” yang berarti
bahwa disiplin ilmu bahasa yang mempelajari aspek sosial dari bahasa disebut
sosiolinguistik. Ada pula pendapat menurut Radford, Andrew et.al (1999:20)
mengungkapkan, “Sociolinguistics is the study of the relationship between
language use and the structure of society.” Pengertian tersebut menunjukkan
bahwa sosiolinguistik mempelajari hubungan antara bahasa yang digunakan dan
struktur dalam masyarakat. Hubungan tersebut adalah hal yang mengawali adanya
perbedaan dalam berbahasa karena tidak semua bahasa diungkapkan dengan cara
yang sama oleh orang-orang yang berbeda, tentunya ada aturan-aturan tertentu
dalam kegiatan berbahasa dalam kehidupan bermasyarakat yang disesuaikan
dengan peran dan keadaannya masing-masing. Perbedaan dalam penggunaan
bahasa ini akan berbeda, apakah bahasa formal, tidak formal, halus, sopan atau
bergantung pada struktur sosial pelaku komunikasi tersebut dan faktor keadaan

yang sedang dihadapi oleh penuturnya saat sedang melakukan aktivitas
komunikasi.
Sebaliknya Chaer dan Agustina (2004:3) menyatakan, “Sebagai objek
dalam sosiolinguistik, bahasa tidak dilihat atau didekati sebagai bahasa,
`
Universitas Sumatera Utara

sebagaimana dilakukan oleh linguistik umum, melainkan dilihat atau didekati
sebagai sarana interaksi atau komunikasi di dalam masyarakat manusia.” Definisi
ini menjelaskan bahwa sosiolinguistik dalam mencari objeknya tidak harus selalu
mendekati bahasa itu melainkan mencoba mengambil dari segi bahasa yang
menjadi sarana interaksi dan berkomunikasi oleh masyarakat dalam kehidupannya
sehari-hari yang tidak akan lepas dari penggunaan sebuah bahasa.
Ada pun batasan yang dikemukakan oleh Trudgill (Sumarsono, 2009:3)
mengungkapkan, “Sosiolinguistics... is that part of linguistics which is concerned
with language as a social and cultural phenomenon”. Dengan kata lain
sosiolinguistik adalah bagian dari linguistik yang berkaitan dengan bahasa sebagai
gejala sosial dan gejala kebudayaan. Bahasa bukan hanya dianggap sebagai gejala
sosial melainkan juga gejala kebudayaan. Implikasinya ialah bahasa yang
dikaitkan dengan kebudayaan masih menjadi cakupan sosiolinguistik; dan ini

dapat dimengerti karena setiap masyarakat pasti memiliki kebudayaan tertentu.
Dari

batasan-batasan

di

atas,

dapat

ditarik

kesimpulan

bahwa

sosiolinguistik merupakan ilmu yang mempelajari hubungan antara bahasa dengan
masyarakat. Sosiolinguistik adalah kajian tentang bahasa yang dikaitkan dengan
kondisi kemasyarakatan dimana sosiolinguistik merupakan ilmu yang mendasari
pemikiran tentang keanekaragaman berbahasa dalam ruang lingkup bermasyarakat
dan sosiolinguistik pun memiliki peran penting dalam identifikasi sebuah kegiatan
komunikasi manusia dalam hal penggunaan bahasa dalam berkomunikasi.

`
Universitas Sumatera Utara

2.2.2 Peristiwa Tutur (Speech Event)
Peristiwa tutur adalah peristiwa sosial dalam interaksi antara penutur
dengan mitra tutur dalam peristiwa atau situasi tertentu. Seperti definisi peristiwa
tutur Chaer dan Agustina (2004:47) menyatakan,
“Yang dimaksud dengan peristiwa tutur (Speech Event) adalah
terjadinya atau berlangsungnya interaksi linguistik dalam satu
bentuk ujaran atau lebih yang melibatkan dua pihak, yaitu
penutur dan lawan tutur, dengan satu pokok tuturan, di dalam
waktu, tempat, dan situasi tertentu.”

Dengan kata lain peristiwa tutur merupakan proses berlangsungnya sebuah
interaksi komunikasi antara dua pihak di dalam waktu, tempat, dan situasi yang
tengah dihadapi. Dapat pula didefinisikan bahwa peristiwa tutur adalah
serangkaian tindak tutur yang diorganisasi secara sistematis untuk menyampaikan
gagasan untuk mencapai tujuan.
Terjadinya sebuah peristiwa tutur dapat diidentifikasi berdasarkan teori
SPEAKING Hymes yang diangkat dari Wadhaugh, 1990 (dalam buku Chaer dan
Agustina, 2004:48-49) sebagai berikut :
S (Setting and Scene)
P (Participants)
E (Ends : purpose and goal)
A ( Act sequences)
K (Key: tone or spirit of act)
I (Instrumentalities)
N (Norms of Interaction and Interpretation)
G (Genres)

`
Universitas Sumatera Utara

Setting and Scence. Setting berkenaan dengan waktu dan tempat tutur
berlangsung, sedangkan sciene mengacu pada situasi psikologis pembicaraan.
Waktu, tempat, dan situasi tuturan yang berbeda dapat menyebabkan variasi
bahasa yang berbeda.
Participants adalah pihak-pihak yang terlibat dalam pertuturan, bisa
pembicara, dan pendengar, penyapa dan pesapa, atau pengirim dan penerima
pesan.
Ends merujuk pada maksud dan tujuan pertuturan.
Act sequence mengacu pada bentuk ujaran dan isi ujaran. Bentuk ujaran ini
berkenaan dengan kata-kata yang digunakan, bagaimana penggunaanya, dan
hubungan antara apa yang dikatakan dengan topik pembicaraan.
Keys mengacu pada nada, cara, dan semangat, di mana suatu pesan
disampaikan dengan senang hati, dengan serius, dengan singkat, dengan sombong,
dengan mengejek, dan sebagainya. Hal ini dapat juga ditunjukkan dengan gerak
tubuh dan isyarat.
Instrumentalities mengacu pada jalur bahasa yang digunakan, seperti jalur
lisan, tertulis, melalui telegraf atau telepon. Instrumentalities ini juga mengacu
pada kode ujaran yang digunakan, seperti bahasa, ragam dialek, atau register.
Norm or interaction and interpretation mengacu pada norma atau aturan
dalam berinteraksi. Misalnya yang berhubungan dengan cara berinterupsi,
bertanya, dan mengacu pada norma penafsiran terhadap ujaran dari lawan bicara.

`
Universitas Sumatera Utara

Genre mengacu pada jenis bentuk penyampaian, seperti narasi, puisi,
pepatah, doa, dan sebagainya.
Berdasarkan teori tersebut dapat disimpulkan setting dan scene merupakan
aspek yang meliputi waktu serta tempat berlangsungnya suatu pembicaraan,
participants mengacu pada penutur dan petutur dalam sebuah pembicaraan, latar
belakang penutur serta relasi dengan penutur merupakan konteks yang
mempengaruhi pembicaraannya, Ends merupakan maksud serta tujuan dari
sebuah pembicaraan, Act sequence mengacu kepada bagaimana suatu informasi
disampaikan, Key mengacu pada ekspresi penutur dan petutur pada saat
pembicaraan berlangsung dengan nada bicara tertentu. Instrumentalities mengacu
kepada gaya bahasa pada situasi tertentu, Norms of interaction and interpretation
mengacu kepada norma-norma yang ada di sekitar pelaku tutur dalam suatu
pembicaraan yang terdapat aturan-aturan sosial yang membatasi apa yang
seharusnya dan tidak seharusnya dibicarakan oleh penutur dan petutur, dan Genre
merupakan jenis dari kejadian atau jenis suatu cerita dalam suatu perbedaan
pembicaraan yang dapat mempengaruhi ungkapan penuturnya. Dengan kata lain
berdasarkan teori SPEAKING Hymes di atas peneliti dapat melihat betapa
kompleksnya

peristiwa

tutur

terbentuk.

Komponen-komponen

tersebut

membuktikan bahwa peristiwa tutur merupakan kegiatan tutur yang terkonsep.
Sama halnya seperti Aslinda dan Syafyahya (2010:33) yang mengungkapkan,
“Peristiwa tutur merupakan rangkaian dari sejumlah tindak tutur yang
terorganisasi untuk mencapai suatu ujaran”.

`
Universitas Sumatera Utara

2.2.3 Faktor-faktor yang Memengaruhi Orang Tua Melakukan Kekerasan
Verbal
Ada beberapa faktor yang memengaruhi orang tua melakukan kekerasan
verbal, di antaranya (Soetjiningsih, 1995) :
1. Faktor Internal
a. Faktor Pengetahuan Orang Tua
Kebanyakan orang tua tidak begitu mengetahui atau
mengenal informasi mengenai kebutuhan perkembangan anak,
misalnya anak belum memungkinkan untuk melakukan sesuatu tetapi
karena sempitnya pengetahuan orang tua anak dipaksa melakukan dan
ketika memang belum bisa dilakukan orang tua menjadi marah,
membentak dan mencaci anak. Orang tua yang mempunyai harapan
yang tidak realistik terhadap perilaku anak berperan memperbesar
tindakan kekerasan pada anak. Serta kurangnya pengetahuan orang tua
tentang pendidikan anak dan minimnya pengetahuan agama orang tua
melatarbelakangi kekerasan pada anak. Hal ini sejalan dengan hasil
penelitian Sutandio (2003) yang menyebutkan bahwa terdapat
hubungan yang kuat antara pengetahuan orang tua dengan pola asuh
orang tua anak jalanan dalam memberikan pengasuhan anak. Orang tua
yang tidak mengetahui atau mengenal sedikit informasi mengenai
perkembangan anak, dan mempunyai harapan-harapan yang tidak
realistik terhadap perilaku anak berperan memperbesar tindakan
kekerasan pada anak, misalnya usia anak belum memungkinkan untuk
melakukan sesuatu tetapi karena sempitnya pengetahuan orang tua, sia

`
Universitas Sumatera Utara

anak dipaksa melakukan dan ketika memang belum mampu orang tua
menjadi marah. Menurut Sirontak (2001) bahwa peningkatan angka
kejadian kekerasan pada anak merupakan hasil dari tidak adanya
kemampuan

dan

keterampilan

orang

tua

dalam

mendidik

anak.Pandangan yang keliru tentang posisi anak dalam keluarga.
Orang tua menganggap bahwa anak adalah seseorang yang tidak tahu
apa-apa. Dengan demikian pola asuh apapun berhak dilakukan oleh
orang tua (Fitri, 2008).
b. Faktor Pengalaman Orang Tua
Orang tua yang sewaktu kecilnya mendapat perlakukan
salah merupakan situasi pencetus terjadinya kekerasan pada anak.
Semua tindakan kepada anak akan direkam dalam alam bawah sadar
mereka dan akan dibawa sampai kepada masa dewasa. Anak yang
mendapat perilaku kejam dari orang tuanya akan menjadi agresif dan
setelah menjadi orang tua akan berlaku kejam pada anaknya. Orang tua
yang agresif akan melahirkan anak-anak yang agresif pula. Gangguan
mental (mental disorder) ada hubungannya dengan perlakuan buruk
yang diterima manusia ketika dia masih kecil (Rahmat, 2006).
Rahmawati (2006) mengatakan adanya pengalaman melihat orang tua
mereka bertengkar, ditakut-takuti, dan dimarahi dengan kata-kata kotor
oleh orang tua mereka yang dialami oleh responden sewaktu kecil akan
terekam dalam alam bawah sadar mereka dan akan dibawa sampai
kepada masa dewasa dan terus sepanjang hidupnya. Hal ini
menyebabkan kecenderungan orang tua untuk melakukan hal yang

`
Universitas Sumatera Utara

sama pada anak-anak mereka. Kebiasaan orang tua mereka dulu yang
membentak, memaki, dan mengancam saat berbicara turut berperan
pula dalam kecenderungan orang tua melakukan kekerasan yang sama.
2. Faktor Eksternal
a. Faktor Ekonomi
Sebagian besar kekerasan rumah tangga dipicu faktor
kemiskinan dan tekanan hidup atau ekonomi. Pangangguran, PHK, dan
beban hidup lain kian memperparah kondisi itu. Faktor kemiskinan dan
tekanan hidup yang selalu meningkat, disertai dengan kemarahan atau
kekecewaan pada pasangan karena ketidakberdayaan dalam mengatasi
masalah ekonomi menyebabkan orang tua mudah sekali melimpahkan
emosi kepada orang sekitarnya. Anak sebagai makhluk lemah, rentan,
dan dianggap sepenuhnya milik orang tua, sehingga menjadikan anak
paling mudah menjadi sasaran dalam meluapkan kemarahannya.
Kemiskinan sangat berhubungan dengan penyebab kekerasan pada
anak karena bertambahnya jumlah krisis dalam hidupnya dan
disebabkan mereka mempunyai jalan terbatas dalam mencari sumber
ekonomi. Karena tekanan ekonomi oran gtua mengalami stres yang
berkepanjangan, menjadi sensitif, mudah marah, kelelahan fisik tidak
memberinya kesempatan untuk bercanda dengan anak-anak, terjadilah
kekerasan verbal (Dita,2007).
Faktor ekonomi ini juga meliputi ketimpangan sosial. Kita
menemukan bahwa para pelaku juga korban kekerasan kebanyakan
berasal dari kelompok sosial ekonomi yang rendah. Karena tekanan

`
Universitas Sumatera Utara

ekonomi, orang tua mengalami stress berkepanjangan. Ia menjadi
sangat sensitif. Ia mudah marah. Kelelahan fisik tidak memberinya
kesempatan untuk bercanda dengan anak-anak. Maka terjadilah
kekerasan emosional. Pada saat tertentu orang uta bisa meradang dan
membentak anak dihadapan banyak orang. Sehingga terjadilah
kekerasan verbal.
b. Faktor Lingkungan
Faktor lingkungan juga memengaruhi tindakan kekerasan
pada anak. Lingkungan hidup dapat meningkatkan beban perawatan
pada anak. lingkungan yang keras turut berperan untuk timbulnya
kekerasan verbal. Televisi sebagai suatu media yang paling efektif
dalam menyampaikan berbagai pesan-pesan pada masyarakat luas
yang merupakan berpotensial paling tinggi untuk memengaruhi
perilaku kekerasan orang tua pada anak.
Orang tua menjadi memiliki masalah berat dalam
hubungannya dengan anak-anak mereka. Orang tua menjadi memiliki
konsep-konsep ang kuat dan kaku mengenai apa yang benar dan apa
yang salah bagi anak-anak mereka. Semakin yakin orang tua atas
kebenaran dan nilai-nilai keyakinannya, semakin cenderung orang tua
memaksakan kepada anaknya (Stuart dan Sundeen, 1991).

2.2.4 Kekerasan Verbal
Era globalisasi, memunculkan masalah baru dan kekerasan terhadap anak
di dalam rumah tangga sering dilakukan oleh orang tua. Salah satu kekerasan

`
Universitas Sumatera Utara

yang sering tidak disadari oleh orang tua adalah kekerasan verbal. Kekerasan
verbal atau biasa disebut kekerasan verbal adalah tindakan lisan atau perilaku
yang menimbulkan konsekuensi emosional yang merugikan.
Kekerasan verbal menurut Evans mengatakan, “Kekerasan verbal is
words that attack or injure, that cause one to believe the false, or that speak
falsely of one. Kekerasan verbal constitutes psychological violence” (2010:81).
Contoh dari tindak kekerasan verbal terjadi ketika orang tua menyuruh anak untuk
diam atau jangan menangis. Jika anak mulai bicara, ibu terus menerus
menggunakan kekerasan verbal seperti kamu bodoh, kamu cerewet, kamu kurang
ajar. Fokus dari kekerasan verbal adalah ucapan-ucapan yang membuat seseorang
merasa kurang dari dirinya yang sesungguhnya dan seharusnya atau kurang
percaya diri.
Situasi-situasi kekerasan verbal seringkali lebih dikenali dan dianggap
sebagai permasalahan biasa dalam hubungan keluarga. Pelaku kekerasan biasanya
tidak menyadari kecenderungan sikap mereka dan justru menyalahkan keluarga,
lingkungan, dan anaknya sebagai penyebab mengapa dia bersikap seperti itu.
Korban kekerasan verbal sering berpikir bahwa perlakuan yang ia terima
disebabkan oleh sesuatu pada dirinya atau yang ia lakukan yang mengakibatkan
orang tuanya menjadi marah, kasar, menjauh, kehilangan kepercayaan.
2.2.5 Bentuk Kekerasan Verbal
Bentuk dari kekerasan verbal adalah sebagai berikut (Martha, 2008) :
a. Tidak sayang dan dingin

`
Universitas Sumatera Utara

Tindakan tidak sayang dan dingin ini berupa misalnya :
menunjukkan sedikit atau tidak sama sekali rasa sayang kepada anak
(seperti pelukan), dan kata-kata sayang.
b. Intimidasi
Tindakan intimidasi bisa berupa: berteriak, menjerit, mengancam
anak, dan mengertak anak.
c. Mengecilkan atau mempermalukan anak
Tindakan mengecilkan atau mempermalukan anak dapat berupa
seperti: merendahkan anak, mencela nama, membuat perbedaan negatif
antar anak, menyatakan bahwa anak tidak baik, tidak berharga, jelek atau
sesuatu yang didapat dari kesalahan.
d. Kebiasaan mencela anak
Tindakan mencela anak bisa dicontohkan seperti: mengatakan
bahwa semua yang terjadi adalah kesalahan anak.
e. Tidak mengindahkan atau menolak anak
Tindakan tidak mengindahkan atau menolak anak bisa berupa:
tidak memerhatikan anak, memberi respon dingin, tidak peduli dengan
anak.
f. Hukuman ekstrim
Tindakan hukuman ekstrim bisa berupa: mengurung anak dalam
kamar mandi, mengurung dalam kamar gelap, mengikat anak di kursi
untuk waktu lama dan meneror.

`
Universitas Sumatera Utara

2.2.5.1 Klasifikasi Kekerasan Verbal Berdasarkan Bentuk
1) Kekerasan Verbal Berbentuk Kata
Kekerasan Verbal yang berbentuk kata dapat dibedakan menjadi dua,
yakni bentuk dasar dan bentuk kata jadian. Kekerasan verbal bentuk dasar adalah
kekerasan verbal yang berwujud kata-kata monomorfemis, seperti babi, bangsat,
setan, dan sebagainya.
Sementara itu, kekerasan verbal bentuk jadian adalah kekerasan verbal yang
berupa kata-kata polimorfemis. Kekerasan verbal polimorfemis dapat dibedakan
menjadi tiga jenis, yakni (1) kekerasan verbal berafiks, (2) kekerasan verbal
bentuk ulang, dan (3) kekerasan verbal bentuk majemuk. Kekerasan verbal
berbentuk kata berafiks, misalnya sialan, bajingan, kampungan.

2) Kekerasan Verbal Berbentuk Frasa
Ada dua cara yang dapat digunakan untuk membentuk frasa dalam bahasa
Indonesia, yakni dasar plus kekerasan verbal, seperti dasar bodoh, dasar gila, dan
kekerasan verbal plus mu, seperti mamakmu. Kata dasar dalam hal ini
dimungkinkan melekat dengan berbagai kekerasan verbal yanf referensinya
bermacam-macam, seperti binatang (dasar babi, dasar buaya, dan sebagainya),
profesi (dasar pelacur, dasar sundal, dan sebagainya), benda (dasar tai, dasar cabe,
dan sebagainya), keadaan (dasar gila, dasar keparat, dan sebagainya), dan makhlus
halus (dasar setan, dasar iblis, dan sebagainya). Sedangkan pada kata –mu hanya
dapat berdampingan dengan kata-kata kekerabatan (kakekmu, atokmu) dan bagian
tubuh (matamu).

`
Universitas Sumatera Utara

Secara kategorial, kekerasan verbal dapat digolongkan menjadi beberapa
jenis yakni kekerasan verbal yang berkategori nomina atau frasa nomina, seperti
bandot, tai matamu, iblis, sundal, dan sebagainya; kekerasan verbal berkategori
verba (khusunya verba statif) seperti diam kau, mati sana; kekerasan verbal
berkategori ajektiva, seperti goblok, gila, dan lain-lain.
3) Kekerasan Verbal berbentuk Klausa
Kekerasan verbal berbentuk klausa dalam bahasa Indonesia dibentuk
dengan menambahkan pronomina (pada umumnya) di belakang kekerasan verbal
dari berbagai referensi itu, seperti gila kamu, setan alas kamu, gila benar kamu,
dan sebagainya. Penempatan pronomina di belakang kata kekerasan verbal
dimaksudkan untuk memberikan penekanan kepada bentuk-bentuk kekerasan
verbal itu.

2.2.6 Sintaksis
Dalam penelitian ini, penulis mengkaji bentuk-bentuk kekerasan verbal
secara sintaksis. Dalam kajian sintaksis, kekerasan verbal berbentuk kata, frasa,
dan klausa dikaji untuk diketahui bentuk-bentuk kekerasan verbal apa yang sering
dilakukan orang tua terhadap anak.
Crane, et al (1981:102) berpendapat bahwa syntax is the way words are
put together to form phrases and sentences. Dari teori tersebut dapat dikatakan
bahwa sintaksis adalah studi yang mempelajari penggabungan kata-kata
membentuk frasa dan kalimat.
Kelas sintaksis merupakan salah satu yang ada dalam kajian sintaksis.
Kelas sintaksis terbagi menjadi empat yaitu kata, frasa, klausa, dan kalimat.

`
Universitas Sumatera Utara

“syntactic class is one having a distinctive functional potential; the words derived
by a particular lexical process, however, will not be referred to by any rule of
syntax.” (Huddleston, 1984:26). Pemaparan tersebut menerangkan bahwa kelas
sintaksis adalah kelas yang memiliki sebuah fungsi khusus yang potensial; di
mana kata diperoleh dari suatu prses leksikal tertentu, akan tetapi, kata tersebut
tidak merujuk dari aturan sintaksis. Dengan penggunaan kelas sintaksis, bentuk
kekerasan verbal dapat diketahui termasuk ke dalam kata, frasa, dan klausa.
1) Kata
Kridalaksana (2008:110) menyatakan bahwa kata adalah (1) morfem atau
kombinasi yang oleh bahasawan dianggap sebagai satuan terkecil yang dapat
diujarkan sebagai bentuk yang bebas, (2) satuan bahasa yang dapat berdiri
sendiri, terjadi dari morfem tunggal (misalnya batu, rumah, datang, dan
sebagainya) atau gabungan morfem (misalnya pejuang, mengikuti, pancasila,
mahakuasa, dan sebagainya, dan (3) satuan terkecil dalam sintaksis yang
berasal dari leksem yang telah mengalami proses morfologis. Sama halnya
dengan Richard, et al (1985:1213) yang menyatakan bahwa One or more
sounds which can be spoken to represent an idea, object, action, etc. The
smallest unit spoken language which has meaning and stand alone. Pengertian
tersebut dapat dipahami bahwa kata merupakan satu bunyi atau lebih yang
diutarakan untuk menggambarkan sebuah ide, objek, peristiwa, dan lain-lain.
Kata juga merupakan unit terkecil dalam bahasa yang memiliki makna dan
berdiri sendiri.
Serupa dengan yang diutarakan oleh Spencer (1991:43) A word is the
smallest that can exist its own. Uraian tersebut memerikan bahwa kata

`
Universitas Sumatera Utara

merupakan bahasa terkecil yang dapat berdiri sendiri. Dapat disimpulkan
bahwa kata merupakan salah satu level yang ada dalam kelas sintaksis yang
merupakan unit bahasa yang memiliki arti yang dapat menggambarkan segala
sesuatu yang ada, baik bersifat entitas maupun tidak bersifat entitas.
Contoh : tutup, cantik
Contoh di atas menunjukkan bahwa tutup dan cantik merupakan sebuah kata.
Kata tutup merupakan kata kerja yang bersifat proses. Kata cantik adalah
sebuah kata sifat.
2) Frasa
Frasa merupakan kumpulan kata yang di dalamnya tidak terdapat subjek
dan predikat. Seperti yang dikemukakan oleh Richard, et al. (1985:39) “ A
Phrase is a group of word which forms a grammatical unit, a phrase does not
contains a finite verb and does not have a subject-predicate structure.
Ungkapan tersebut menunjukkan frasa adalah suatu kumpulan kata yang
membentuk suatu unit gramatikal, frasa tidak memuat kata kerja terbatas dan
tidak mempunyai struktur subjek dan predikat.
Frasa terdiri dari lima jenis, seperti yang diungkapkan oleh Qucrk, et al.
(1985:60) “The five formal catagories of phrase are verb phrase, noun phrase,
adjective phrase, adverb phrase, and prepositional phrase. Penjelasan
tersebut menyatakan bahwa frasa memiliki lima kategori formal yaitu frasa
verba, frasa nomina, frasa ajektiva, frasa adverbia, dan frasa preposisi.
a.

Frasa Verba
Carnie (2007:72) mengemukakan bahwa “Verb phrase minimally

consists of a single verb followed by a noun phrase, adverb phrase, and

`
Universitas Sumatera Utara

prepositional phrase. Paparan tersebut menjelaskan frasa verba terdiri dari
verba tunggal diikuti oleh frasa nomina, frasa adverbia, dan frasa presposisi.
Contoh : kipas angin
Frasa verba tersebut terdiri dari verba dan nomina. Verba kipas merupakan
induk atau inti yang diterangkan oleh nomina angin.
b.

Frasa Nomina
Carnie (2007:66) menyatakan bahwa “ Noun phrase contains of a noun

(ussually a poper noun [+proper], pronoun [+pron], mass noun [-count], or
plurall]), can be optionally modified by determiners and adjectives.
Pernyataan tersebut memaparkan bahwa frasa nomina terdiri dari nomina
(biasanya berupa kata ganti benda, kata ganti orang, kata benda yang tak
dapat dihitung, dan kata benda jamak), dapat secara opsional dimodifikasi
oleh determiners dan ajektiva.
Contoh : the big box
Det adj N
Frasa The big box yang terdiri dari determiner The, adjektiva big dan nomina
box merupakan frasa nomina karena nomina box adalah head atau induk yang
jika dihilangkan akan mengakibatkan frasa tersebut menjadi rancu.
c.

Frasa Adjektiva (adjective pharase)
Carnie (2007:68) berpendapat bahwa Adjective phrase consists of

an adjective as head, optionally proseeded and followed by modifying
elements. Ulasan tersebut mendefinisikan frasa adjektiva terdiri dari ajektiva
sebagai induk dan secara opsional didahului dan diikuti oleh unsur-unsur
yang menerangkan induk tersebut.

`
Universitas Sumatera Utara

Contoh : sangat cantik
Adv

adj

Frasa ajektiva sangat cantik terdiri dari adverbia sangat dan ajektiva cantik
yang mana adverbia sangat menerangkan ajektiva cantik sehingga ajektiva
cantik berfungsi sebagai induk.
d.

Frasa Adverbia (Adverb Phrase)
Carnie (2007:68) menyatakan bahwa Adverb phrase of an adverb

as head, optionally proceeded and followed by modifying elements.
Penjelasan tersebut mengungkapkan frasa adverbia terdiri dari adverbia
sebagai induk dan secara opsional didahului dan diikuti oleh unsur-unsur
yang menerangkan induk tersebut.
Contoh: amat sangat
Adv adv
Frasa adverbia amat sangat terdiri dari frasa adverbia amat dan juga adverbia
sangat. Walaupun frasa tersebut terdiri dari dua adverbia, adverbia yang
kedualah yang menjadi induk karena adverbia pertama menerangkan adverbia
kedua yaitu adverbia amat menerangkan adverbia sangat sehingga adverbia
sangat yang menjadi induk.
3) Klausa (Clauses)
Klausa merupakan kelas sintaksis yang terdiri dari nomina dan
verba tetapi berbeda dengan kalimat yang memiliki arti penuh. Crystal
(2001) mengungkapkan clause a term used in some models of grammar to
refer to a unit of grammatical smaller than the sentence but larger than
phrase, word or morphemes. Pengertian itu menunjukkan bahwa klausa

`
Universitas Sumatera Utara

digunakan dalam kajian grammar yang mengacu kepada sebuah unti
gramatikal yang lebih kecil dari kalimat tetapi lebih besar dari frasa, kata
ataupun morfem. Richards, et al. (1985:23) Clause is a group of words
which contain subject and finite verb. Batasan ringkas tersebut
menunjukkan bahwa klausa merupakan kumpulan kata yang memiliki
subjek dan kata kerja terbatas.
Klausa terbagi menjadi dua jenis, yaitu klausa bebas dan klausa
subordinator atau terikat seperti yang diungkapkan oleh Gucker (1966:76)
There are two types: mainn (or independent) clauses and subordinator (or
dependent) clause. Downing dan Locke (2006:13) mengungkapkan
perbedaan klausa bebas dan terikat bahwa All grammatically independent
clauses are finite. Dependent clauses may be finite or non-finite.
Pemahaman tersebut menunjukkan bahwa secara gramatikal klausa bebas
terdiri dari kata kerja terbatas. Klausa terikat dapat terdiri dari kata kerja
terbatas atau kata kerja tidak terbatas.
Contoh: mereka akan tidur ketika saya pergi ke kantor.
Klausa bebas

klausa terikat

Klausa mereka akan tidur merupakan klausa bebas yang dapat berdiri
sendiri tanpa adanya tambahan klausa lain. Klausa ketika saya pergi ke
kantor adalah klausa terikat yang tidak dapat berdiri sendiri yang
membutuhkan klausa lain agar klausa tersebut dapat dipahami maknanya.

`
Universitas Sumatera Utara

2.3

Defenisi Orang Tua dan Anak

2.3.1

Orang Tua
Orang tua adalah komponen keluarga yang terdiri atas ayah dan ibu dan

merupakan hasil dari sebuah ikatan perkawinan yang sah yang dapat
membentuk sebuah keluarga (Habibi, 2008). Ayah dan ibu ditambah dengan
anak akan membentuk sebuah unit terkecil dalam masyarakat yang disebut
dengan keluarga (Soetjiningsih, 1995).
Peran orang tua dalam keluarga yang ideal maka ada 2 individu yang
memainkan peranan penting yaitu peran ayah dan ibu, secara umum peran
kedua individu tersebut adalah :
a. Peran ibu adalah
1)

Memenuhi kebutuhan biologis dan fisik,

2)

Merawat dan mengurus keluarga dengan sabar, penuh kasih sayang

dan konsisten,
3)

Mendidik, mengatuh, dan mengendalikan anak,

4)

Menjadi contoh yang teladan bagi anak.

b. Peran ayah adalah:
1)

Ayah sebagai pencari nafkah,

2)

Ayah

sebagai suami yang penuh pengertian dan pemberi rasa

aman,
3)

Ayah berpartisipasi dalam pendidikan anak,

4)

Ayah sebagai pelindung atau tokoh yang tegas, bijaksana dan

mengasihi.

`
Universitas Sumatera Utara

2.3.2

Anak
Menurut Undang-Undang No 23 Tahun 2002 pasal 1 tentang

Perlindungan Anak, anak adalah seseorang yang belum berusia 18 (delapan
belas) tahun, termasuk anak yang masih dalam kandungan. Anak mengalami
fase pertumbuhan dan perkembangan yang berbeda-beda berdasarkan tahap
perkembangannya. Dalam penelitian ini, peneliti mengambil salah satu tahap
perkembangan anak yaitu anak dengan fase prasekolah.
Anak prasekolah yaitu anak dengan usia antara 3 dan 6 tahun,
tantangan-tantangan perkembangan dari periode sebelumnya diakhiri dalam
keadaan lingkungan sosial yang luas dan dibentuk kembali oleh pertambahan
bahasa

yang

rumit

(Soetjiningsih:2002).

Berikut

pertumbuhan

dan

perkembangan yang terjadi pada anak prasekolah:
a.

Pertumbuhan fisik
1) Rata-rata penambahan berat badan anak kira-kira 2 kg dan tinggi
badan 7 cm setiap tahunnya.
2) Bagian utama perut anak menjadi rata dan tubuh menjadi lebih
langsing.
3) Puncak energi fisik dan kebutuhan tidur menurun sampai 11-13 jam/
24 jam, biasanya termasuk sekali tidur siang.
4) Ketajaman penglihatan mencapai 20/ 30 pada usia 3 tahun dan 20/ 20
pada usia 4 tahun.
5) Semua gigi primer telah muncul pada usia 3 tahun.
6) Frekuensi nada dan pernapasan menurun sedikit demi sedikit.

`
Universitas Sumatera Utara

7) Telah mencapai kontrol malam hari terhadap usus dan kandung kemih
mulai pada usia 3 tahun
b. Perkembangan bahasa
1) Perkembangan bahasa terjadi paling cepat antara usia 2 dan 5 tahun.
2) Perbendaharaan kata bertambah dari 50-100 kata sampai 2000 lebih.
3) Bicara tanpa henti tanpa peduli apakah seseorang memperhatikannya.
4) Mengajukan banyak pertanyaan.
5) Menceritakan cerita dilebih-lebihkan.
6) Sedikit tidak sopan bila berhubungan dengan orang yang lebih besar.
7) Anak tidak hanya meniru ucapan orang dewasa, lebih tepatnya
meringkas aturan tata bahasa yang rumit dari bahasa sekitarnya
dengan membuat hipotesa lengkap dan memodifikasikannya secara
terus menerus.
8) Anak yang diperlakukan dengan kejam dan diacuhkan, dikorelasikan
dengan

bahasa

yang

tertunda,

terutama

kemampuan

untuk

menyampaikan keadaan emosi.
c.

Perkembangan kognitif
1) Periode prasekolah dapat disamakan dengan stadium praoperasional
2) Egosentris dalam berpikir dan perilaku.
3) Pemikiran yang didominasi oleh kesadaran.
4) Mulai memahami waktu.
5) Mengalami perbaikan konsep tentang ruang.
6) Mulai mampu memandang konsep dari perspektif yang berbeda.
7) Ada fase berpikir intuitif.

`
Universitas Sumatera Utara

8) Hubungan sebab akibat masih dihubungkan dengan kemungkinan
kejadian.
9) Patuh karena orang tua mempunyai batasan, bukan karena memahami
hal salah dan benar.
d. Perkembangan emosi
1) Rasa ingin tahu tentang alat kelamin.
2) Watak pemarah
3) Keagresifan secara fisik maupun verbal.
4) Anak prasekolah biasanya mengalami perasaan sulit terhadap orang
tuanya, cinta yag kuat dan kecemburuan serta kebencian dan
ketakutan bahwa perasaan marah dapat menyebabkan pengabaian.
5) Cenderung untuk keras kepala dan tidak sabar.
e.

Perkembangan sosialisasi
1) Mentoleransi perpisahan dari orang tua.
2) Kurang mungkin untuk takut pada orang asing.
3) Mulai meniru orang tua.
4) Ekspresif emosi, memiliki tempertantrum.
5) Peniru yang baik (mimikri domestik).
6) Permainan paralel dan asosiatif.
7) Sangat mandiri.

`
Universitas Sumatera Utara

2.4 Kerangka Kerja
Gambar 2.1 Kerangka Kerja

Kekerasan Verbal

Bentuk

Peristiwa tutur

Faktor

Sosiolinguistik

Analisis Data

Temuan

`
Universitas Sumatera Utara

Kekerasan verbal yang dilakukan orang tua terhadap anak dalam keluarga
mempunyai karakteristik yang unik untuk diteliti. Berdasarkan bentuknya,
kekerasan verbal yang dilakukan orang tua beragam cara dari mulai membentak,
mengancam, memarahi, memakin, dan lain sebagainya. Karakteristik pemakaian
bentuk-bentuk kekerasan verbal terhadap anak dalam

keluarga tergantung

konteksnya, karena hal itu disebabkan oleh faktor-faktor yang memengaruhi orang
tua untuk melakukan kekerasan verbal tersebut terhadap anak. Sebagai kerangkan
pikir awal, model acuan dalam penelitian kekerasan verbal berdasarkan teori
yang digunakan adalah berupa bentuk-bentuk kekerasan verbal, peristiwa tutur
kekerasan verbal, dan faktor yang memengaruhi orang tua melakukan kekerasan
verbal dan selanjutnya dianalisis dengan teori yang digunakan.

`
Universitas Sumatera Utara