Hubungan Status Gizi dengan Gangguan Tidur pada Anak di SDN 10 Samosir

4

BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Status Gizi
2.1.1 Pengenalan Gizi
Secara klasik kata gizi hanya dihubungkan dengan kesehatan tubuh, yaitu
untuk menyediakan energi, membangun, dan memelihara jarigan tubuh, serta
mengatur proses-proses kehidupan dalam tubuh. Tetapi, sekarang kata gizi
mempunyai pengertian lebih luas, disamping untuk kesehatan, gizi dikaitkan
dengan potensi ekonomi seseorang, karena gizi berkaitan dengan perkembangan
otak, kemampuan belajar, dan produktivitas kerja. Oleh karena itu, di Indonesia
yang sekarang sedang membangun, faktor gizi di samping faktor-faktor lain
dianggap penting untuk memacu pembangunan, khususnya yang berkaitan dengan
pengembangan sumber daya manusia berkualitas ( Almatsier, 2010).

2.1.2 Pengertian Status Gizi
Menurut Depkes (2002), status gizi merupakan tanda-tanda penampilan
seseorang akibat keseimbangan antara pemasukan dan pengeluaran zat gizi yang
berasal dari pangan yang dikonsumsi pada suatu saat berdasarkan pada kategori

dan indikator yang digunakan.

2.1.3 Status Gizi Anak di Indonesia
Secara nasional prevalensi kurus (menurut IMT/U) pada anak umur 5-12
tahun adalah 11.2 persen, terdiri dari 4,0 persen sangat kurus dan 7,2 persen
kurus. Prevalensi sangat kurus paling rendah di Bali (2,3%) dan paling tinggi di
Nusa Tenggara Timur (7,8%). Sebanyak 16 provinsi dengan prevalensi sangat
kurus diatas nasional, yaitu Sumatera Barat, Nusa Tenggara Barat, Kalimantan
Tengah, Kalimantan Timur, Papua, Papua Barat, Sulawesi Tengah, Banten, Jawa
Tengah, Kalimantan Selatan, Maluku, Sumatera Selatan, Kalimantan Barat, Riau,

Universitas Sumatera Utara

5

Gorontalo, dan Nusa Tenggara Timur. Masalah gemuk pada anak umur 5-12
tahun masih tinggi yaitu 18,8 persen, terdiri dari gemuk 10,8 persen dan sangat
gemuk (obesitas) 8,8 persen. Prevalensi gemuk terendah di Nusa Tenggara Timur
(8,7%) dan tertinggi di DKI Jakarta (30,1%). Sebanyak 15 provinsi dengan
prevalensi sangat gemuk diatas nasional, yaitu Kalimantan Tengah, Jawa Timur,

Banten, Kalimantan Timur, Bali, Kalimantan Barat, Sumatera Utara, Kepulauan
Riau, Jambi, Papua, Bengkulu, Bangka Belitung, Lampung dan DKI Jakarta.
Prevalensi kurus pada remaja umur 13-15 tahun adalah 11,1 persen terdiri
dari 3,3 persen sangat kurus dan 7,8 persen kurus. Prevalensi sangat kurus terlihat
paling rendah di Bangka Belitung (1,4 %) dan paling tinggi di Nusa Tenggara
Timur (9,2%). Sebanyak 17 provinsi dengan prevalensi anak sangat kurus
(IMT/U) diatas prevalensi nasional yaitu Riau, Aceh, Jawa Tengah, Lampung,
Jambi, Kalimantan Tengah, Sulawesi Selatan, Sumatera Barat, Kalimantan Barat,
Banten, Papua, Sumatera Selatan, Gorontalo, Papua Barat, Nusa Tenggara Barat,
dan Nusa Tenggara Timur. Prevalensi gemuk pada remaja umur 13-15 tahun di
Indonesia sebesar 10.8 persen, terdiri dari 8,3 persen gemuk dan 2,5 persen sangat
gemuk (obesitas). Sebanyak 13 provinsi dengan prevalensi gemuk diatas nasional,
yaitu Jawa Timur, Kepulauan Riau, DKI, Sumatera Selatan, Kalimantan Barat,
Bangka Belitung, Bali, Kalimantan Timur, Lampung, Sulawesi Utara dan Papua
Prevalensi kurus pada remaja umur 16-18 tahun secara nasional sebesar
9,4 persen (1,9% sangat kurus dan 7,5% kurus). Sebanyak 11 provinsi dengan
prevalensi kurus diatas nasional, yaitu Aceh, Riau, Kalimantan Selatan, Maluku
Utara, DKI Jakarta, Kalimantan Tengah, Banten, Sumatera Selatan, Nusa
Tenggara Barat, Maluku, Papua dan Nusa Tenggara Timur. Prevalensi gemuk
pada remaja umur 16 – 18 tahun sebanyak 7,3 persen yang terdiri dari 5,7 persen

gemuk dan 1,6 persen obesitas. Provinsi dengan prevalensi gemuk tertinggi
adalah DKI Jakarta (4,2%) dan terendah adalah Sulawesi Barat (0,6%). Lima
belas provinsi dengan prevalensi sangat gemuk diatas prevalensi nasional, yaitu
Bangka Belitung, Jawa Tengah, Sulawesi Selatan, Banten, Kalimantan Tengah,
Papua, Jawa Timur, Kepulauan Riau, Gorontalo, DI Yogyakarta, Bali, Kalimantan

Universitas Sumatera Utara

6

Timur, Sulawesi Utara dan DKI Jakarta (Riskesdas, 2013).
2.2 Faktor – Faktor yang Mempengaruhi Status Gizi
Anak yang dilahirkan dengan berat badan rendah berpotensi menjadi anak
dengan gizi kurang, bahkan menjadi buruk. Faktor lain yang mempengaruhi status
gizi anak diantaranya adalah faktor ekonomi keluarga yang berdampak pola
makan dan kecukupan gizi anak; faktor sosial-budaya yang mendudukkan
kepentingan ibu hamil dan ibu menyusui setelah kepentingan bapak selaku kepala
keluarga, dan anak; faktor pendidikan yang umumnya rendah sehingga berdampak
pada pengetahuan ibu yang sangat terbatas mengenai pola hidup sehat dan
pentingnya zat gizi bagi kesehatan dan status gizi anak. Semakin besar jumlah

anggota keluarga, semakin besar persentase status gizi kurang ( Devi, 2010).
2.3 Penilaian Status Gizi
Penilaian status gizi pada dasarnya merupakan proses pemeriksaan gizi
seseorang dengan cara mengumpulkan data penting, baik yang bersifat objektif
maupun subjektif, untuk kemudian dibandingkan dengan baku yang tersedia. Data
objektif diperoleh dari data pemeriksaan laboratorium perorangan, serta sumber
lain yang dapat diukur oleh anggota tim penilai. Komponen penilaian status gizi
meliputi : asupan pangan, pemeriksaan biokimia, pemeriksaan klinis dan riwayat
mengenai

kesehatan,

pemeriksaan

antropometris,

serta

data


psikososial

(Arisman, 2010).
1) Asupan Pangan
Fase ini merupakan satu tahap penilaian status gizi yang paling sulit dan
tidak jarang membuat penilai frustasi karena berbagai sebab. Pertama, manusia
memiliki sifat lupa sehingga orang sering tidak mampu mengingat dengan pasti
jenis (apalgi jumlah) makanan yang telah disantap. Kedua, manusia sering
mengedepankan gengsi jika diberi tahu bahwa makanan mereka akan dinilai, pola
pangan pun dipaksakan berubah. Jika misalnya menu ayam goreng tidak pernah

Universitas Sumatera Utara

7

tercantum di menu keluarga, susunan menu seperti itu tidak jarang tersaji pada
saat penilaian dilaksanakan. Ketiga, sejauh ini belumlah mungkin penghitungan
komposisi makanan secara akurat, kecuali kegiatan pangan dapat terawasi dengan
ketat. Di samping itu masih terdapat kendala lain yang berpotensi menyendatkan
langkah penilaian ini. Kendala tersebut antara lain (a) daftar komposisi makanan

yang tersedia masih jauh dari sempurna bahkan lengkap saja belum, (b)
penghitungan zat gizi masih belum akurat, (c) masih banyak pangan atau makanan
yang baru/telah beredar belum tercantum dalam komposisi makanan atau
makanan siap santap,(d) cara memasak sangat bervariasi,baik secara kedaerahan
maupun perorangan dan ini sangat memengaruhi nilai gizi pangan dan (e)
perbedaan tempat tumbuh satu jenis buah dan sayur akan berpengaruh pada nilai
zat gizi yang terkandung (Arisman, 2010).
Metode yang dapat digunakan adalah :
a) Ingatan pangan 24 jam (24-hour food recall )
Mengingat kembali dan mencatat jumlah, serta jenis pangan dan minuman
yang telah dikonsumsi selama 24 jam merupakan metode pengumpulan data yang
paling banyak dan paling mudah digunakan. Kelebihan cara ini adalah
pewawancara yang menyiapkan model makanan dan mencatatnya, responden
tidak dituntut harus melek huruf. Hal yang mungkin menjadi sumber kesalahan,
antara lain (1) orang tidak dapat mengingat dengan tepat, (2) makanan yang
disantap kemarin mungkin bukan makanan yang biasa disantap, (3) orang sering
tidak melaporkan makanan yang dapat memalukan, misalnya petai, atau alkohol,
dan (4) wawasan pangan pewawancara tidak luas
b) Kuisioner frekuensi pangan (Food Frequency Questionnaire / FFQ)
Tujuan mengisi FFQ adalah melengkapi data yang tidak dapat diperoleh

melalui ingatan 24 jam. Responden di beri tugas untuk melaporkan frekuensi
makanan yang lazim dikonsumsi berdasarkan daftar makanan dalam periode
waktu tertentu. Pada umumnya, FFQ digunakan untuk merangking orang

Universitas Sumatera Utara

8

berdasarkan besaran asupan zat gizi, tetapi tidak dirancang untuk memperkirakan
asupan secara absolut. Meskipun demikian, cara ini lebih akurat untuk
menentukan rata-rata asupan zat gizi jika menu makanan dari hari ke hari sangat
bervariasi.
Kelemahan cara ini antara lain (1) tidak dapat menghasilkan data
kuantitatif tentang asupan pangan karena pangan yang disantap tidak diukur , (2)
pengisian kuisioner hanya bermodalkan ingatan, (3) responden sering malas
mengisi formulir dengan lengkap, terutama jika proses pengisian dipercayakan
sepenuhnya pada mereka dan (4) tanpa bantuan komputer, proses analisis menjadi
sulit dan melelahkan. Kelebihan cara ini adalah relative murah, cocok jika
diterapkanpada penelitian kelompok besar yang asupan pangan setiap harinya
sangat variatif, pengisian formulir dapat diserahkan pada responden dan mudah

didistribusikan.
c) Riwayat Pangan (Dietary history)
Keterangan yang dapat dijaring melalui riwayat pangan adalah (1) keadaan
ekonomi, (2) kegiatan fisik, (3) latar belakang etnis dan budaya, (4) pola makan
dan kehidupan rumah tangga, (5) nafsu makan, (6) kesehatan gigi dan mulut, (7)
alergi makanan, (8) keadaan saluran pencernaan, (9) penyakit menahun, (10) obat
yang digunakan, (11) peubahan berat badan, serta (12) masalah pangan dan gizi.
Cara ini sesungguhnya menerapkan tiga komponen anamnesis asupan
pangan, yaitu ingatan pangan 24 jam, kuisioner frekuensi pangan, dan catatan
pangan. Dengan ingatan pangan 24 jam diperoleh data tentang pola makan
responden secara umum. Informasi ini selanjutnya dibandingkan dengan kuisioner
frekuensi pangan. Akhirnya, dilakukan pencatatan makanan selama tiga hari
dengan menggunakan ukuran rumah tangga. Kelebihan cara ini, antara lain,
responden tidak harus melek huruf, tidak menyebabkan perubahan pola makan.
Sementara kelemahannya berakar pada kebergantungannya pada daya ingat, sulit
menentukan jumlah, dan membutuhkan pewawancara yang terlatih.

Universitas Sumatera Utara

9


d) Catatan Pangan
Pasien diminta mencatat semua makanan dan minuman yang dikonsumsi
paling sedikit tiga hari dalam seminggu, yakni 2 hari biasa dan 1 hari libur.
Catatan harus rinci, termasuk bagaimana cara makanan dipersiapkan dan dimasak.
Jika makanan terbuat dari berbagai bahan pangan, misalnya, gado-gado, jenis
serta jumlah bahan mentahnya itu perlu ditulis, disamping resep pembuatannya.
Ukuran porsi makanan sebainya dicatat dengan mengacu pada ukran rumah
tangga (URT). Makanan yang telah terukur ini kemudian disalin kedalam ‘gram’.
Zat gizi yang terkandung dicari pada buku “daftar komposisi makanan” yang
sebelumnya harus tersedia. Jika santapan berupa makanan pabrik, carilah
kandungan zat gizinya pada label (Arisman, 2010)
2. Pemeriksaan Biokimia
Ada dua jenis protein, viseral dan somatic, yang layak dijadikan parameter
penentu status gizi. Parameter protein viseral ialah serum albumin, prealbumin,
transferrin, hitung jumlah limfosit, dan uji antigen pada kulit.
Sementara cadangan protein somatik bukan hanya dinilai secara biokimia, tetapi
juga dengan mengukur besarnya lingkaran pertengahan lengan atas (mid-arm
circumference) (Arisman, 2010)
3.Pemeriksaan Klinis

Pemeriksaan klinis meliputi pemeriksaan fisik secara menyeluruh,
termasuk riwayat kesehatan. Bagian tubuh yang harus terlebih dahulu
diperhatikan dalam pemeriksaan klinis adalah kulit, gigi, bibir, lidah, mata, dan
alat kelamin. Riwayat kesehatan yang perlu ditanyakan adalah kemampuan
mengunyah dan menelan: Adakah gigi yang sakit? Adakah gigi yang ompong?
Apakah pasien menggunakan gigi palsu (jika ya, apakah letaknya tidak
mengganggu)? Apakah mulut dan tenggorokan terasa kering (salah satu tanda

Universitas Sumatera Utara

10

bahwa sekresi air ludah berkurang)? Perlu ditanyakan keadaan nafsu makan,
makanan yang digemari dan dihindari, serta masalah saluran pencernaan. Masalah
tersebut dapat mengganggu asupan pangan yang pada gilirannya akan
memengaruhi pula status gizi (Arisman, 2010)

4. Pemeriksaan Antropometri
Tujuan yang hendak dicapai dalam pemeriksaan antropometris adalah
besaran komposisi tubuh yang dapat dijadikan isyarat dini perubahan status gizi.

Tujuan ini dapat dikelompokkan menjadi 3 yaitu : (1) penapisan status gizi, (2)
survei status gizi, dan (3) pemantauan status gizi. Penapisan diarahkan pada orang
per orang untuk kepentingan khusus. Survei ditujukan untuk memperoleh
gambaran status gizi masyarakat pada saat tertentu, serta faktor-faktor yang
berkaitan dengan itu. Pemantauan bermanfaat sebagai pemberi gambaran
perubahan status gizi dari waktu ke waktu.
Tabel 2.1 Parameter yang dianjurkan WHO untuk diukur pada survei gizi
Usia

Pengamatan di lapangan

Pengamatan Lebih Rinci

0-1 thn

Berat dan panjang badan

Panjang batang badan; lingkar
kepala & dada ; diameter
krista iliaka, lipat kulit dada,
triseps, dan sub-skapula

1- 5 thn

Berat dan panjang badan (sampai 3 Panjang

batang

badan

(3

tahun), tinggi badan (diatas 3 tahun), tinggi duduk (di atas 3
tahun), lipat kulit biseps & triseps, tahun), lingkar kepala & dada
lingkar lengan

(inspirasi setengah), diameter
bikristal, lipat kulit dada &
sub-skapula,
rontgen

lingkar

betis

postero-anterior

Universitas Sumatera Utara

11

tangan dan kaki

5–20 thn

Berat dan tinggi badan, lipat kulit Tinggi
triseps

duduk,

diameter

bikristal,diameter
biakrominal, lipat kulit di
tempat lain, lingkar lengan &
betis, rontgen postero anterior
tangan dan kaki

> 20 thn

Berat dan tinggi badan, lipat kulit Lipat kulit di tempat lain,
triseps.

lingkar lengan dan betis

Sumber : Arisman (2010).
Pengukuran antropometri meliputi :
a) Tinggi Badan
Tinggi atau panjang badan merupakan indikator umum ukuran tubuh dan
panjang tulang. Namun, tinggi saja belum dapat dijadikan indikator untuk
menilai status gizi, kecuali jika digabungkan dengan indikator lain, seperti
usia dan berat badan. Tinggi badan diukur dalam keadaan berdiri tegak lurus,
tanpa alas kaki, kedua tangan merapat ke badan, punggung dan bokong
menempel pada dinding, dan pandangan diarahkan ke depan. Kedua lengan
tergantung relaks di samping badan.
b) Berat Badan
Berat badan merupakan ukuran antropometris yang paling banyak
digunakan karena parameter ini mudah dimengerti. Alat penimbang yang
dipilih haruslah kuat, tidak mahal, mudah dijinjing, dan akurat hingga 100 gr.
Disamping itu, timbangan harus diperiksa ulang (kalibrasi) setiap akan

Universitas Sumatera Utara

12

digunakan. Penimbangan selayaknya diselenggarakan pagi hari, setelah
bangun tidur, mengenakan pakaian yang sama, sebelum makan dan setelah
buang air, serta ditimbang oleh petugas yang sama pula. Jika keadaaan
memungkinkan, subjek ditimbang bertelanjang atau berpakaian seminimal
mungkin.
c) Umur
Faktor umur sangat penting dalam penentuan status gizi. Kesalahan
penentuan umur akan menyebabkan interpretasi status gizi menjadi salah. Hasil
pegukuran tinggi badan dan berat badan yang akurat, menjadi tidak berarti bila
tidak disertai dengan penentuan umur yang tepat (Supariasa, dkk, 2001).
Parameter antropometri merupakan dasar dari penilaian status gizi.
Kombinasi antara beberapa parameter disebut Indeks Antropometri. Beberapa
indeks antropometri yang sering digunakan yaitu Berat Badan Menurut Umur
(BB/U), Tinggi Badan Menurut Umur (TB/U), dan Indeks Massa Tubuh menurut
Umur (IMT/U). Berikut diterangkan beberapa indeks antropometri tersebut :
1) Berat Badan Menurut Umur (BB/U)
Berat badan adalah salah satu paramaeter yang memberikan gambaran
massa tubuh. Massa tubuh sangat sensitif terhadap perubahan-perubahan yang
mendadak, misalnya karena terserang penyakit infeksi, menurunnya nafsu makan
atau menurunna jumlah makanan yang dikonsumsi. Dalam keadaan normal,
dimana keadaan kesehatan baik dan keseimbangan antara konsumsi dan
kebutuhan gizi terjamin, maka berat badan berkembang mengikuti pertambahan
umur. Mengingat karakterisktik berat badan yang labil, maka indeks BB/U lebih
menggambarkan status gizi seseorang saaat ini (current nutritional status).
2) Tinggi Badan Menurut Umur (TB/U)
Tinggi badan merupakan antropometri yang menggambarkan keadaan
pertumbuhan skeletal. Pada keadaan normal, tinggi badan tumbuh seiring dengan

Universitas Sumatera Utara

13

pertambahan umur. Pertumbuhan tinggi badan tidak seperti berat badan, relatif
kurang sensitif terhadap masalah kekurangan gizi dalam waktu yang pendek.
Pengaruh defisiensi zat gizi terhadap tinggi badan akan nampak dalam waktu
relatif lama. Berdasarkan karakteristik tersebut di atas, maka indeks TB/U
menggambarkan status gizi masa lalu.

3) Indeks Massa Tubuh menurut Umur (IMT/U)
IMT merupakan rumus matematis yang berkaitan dengan lemak tubuh
seseorang. IMT pada anak dan remaja berbeda dengan orang dewasa. Letak cutoff point yang digunakan berbeda antara anak remaja dan orang dewasa. Pada
anak dan remaja status gizi diperoleh dari perbandingaan IMT dan umur.
Indikator IMT/U merupakan indikator yang paling baik untuk mengukur keadaan
status gizi yang menggambarkan keadaan status gizi masa lalu dan masa kini
karena berat badan memiliki hubungan linear dengan tinggi badan. Dalam
keadaan normal, perkembangan berat badan akan searah dengan pertumbuhan
tinggi badan dengan kecepatan tertentu. Indeks ini tidak menimbulkan kesan
underestimate pada anak yang overweight dan obese serta kesan berlebihan pada
anak gizi kurang (WHO, 2007).
Karena belum memiliki baku acuan sendiri, di samping belum mampu
menyelenggarakan pengukuran dalam skala besar, Indonesia mengadopsi baku
acuan Harvard dan WHO-NHCS, yang sebelumnya telah dimodifikasi. Pada
prinsipnya, ada tiga cara pemaparan indikator antropometris yaitu persentase,
persentil, dan z-skor. Z-skor atau simpangan baku / standar deviasi (SD),
diterapkan pertamakali oleh WHO. Penilaian status gizi berdasarkan z-skor
dilakukan dengan cara melihat distribusi normal nilai pertumbuhan orang yang
diperiksa. Angka ini melukiskan jarak nilai baku median dalam urutan simpangan
baku. Nilai z-skor diperoleh dari hasil pembagian antara antropometris orang yang
diperiksa dengan nilai baku acuan.

Universitas Sumatera Utara

14

Dengan rumus ditulis :

� − ���� =

 ����� ���������� − ( ����� ������ �����)
��������� ���� ��������

Kategori dan Ambang Batas Status Gizi Anak berdasarkan Indeks Masa Tubuh
menurut Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor :
1995/MENKES/SK/XII/2010.
Tabel 2.2 Kategori dan Ambang Batas Status Gizi Anak Berdasarkan Indeks
Indeks
Berat

Kategori
Gizi
badan

Status Ambang batas (z-skor)

menurut Gizi buruk