Analisis Faktor - Faktor Yang Mempengaruhi Kepatuhan Masyarakat Dalam Membayar Pbb Di Kota Medan

BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA

2.1

Mikobakterium

2.1.1

Mycobacterium tuberculosis complex
Tuberkulosis adalah suatu penyakit yang disebabkan oleh M. tuberculosis

complex, termasuk M. tuberculosis, M. bovis, M. africanum, M. pinnipedii, M.
microti, M. caprae, M. canettii. (Public health Agency of Canada, 2010).
2.1.2

Patogenesis mikobakterium
Terdapat perbedaan yang bermakna dalam kemampuan berbagai

mikobakterium untuk menyebabkan lesi pada berbagai macam spesies penjamu.
Manusia dan marmut sangat sensitif terhadap infeksi M. tuberculosis, sementara

unggas dan sapi resisten terhadap M. tuberculosis dan M. bovis. Pada negara
maju, M. bovis saat ini sangat jarang muncul. Beberapa mikobakterium "atipikal"
(misalnya, Mycobacterium kansasii) menyebabkan penyakit pada manusia yang
tidak dapat dibedakan dari tuberkulosis. Mikobakterium yang lain (misalnya, M.
fortuitum) hanya menyebabkan lesi pada permukaan atau berfungsi sebagai
oportunis (Brooks, 2007).
2.1.3

Morfologi dan struktur Mycobacterium tuberculosis
Mikobakteria berbentuk batang ramping yang sering menunjukkan bentuk

koloni

filamen

bercabang

menyerupai

miselium


jamur.

Maka

nama

“mikobakteria“ artinya adalah bakteri yang seperti jamur. Dalam kultur cair
mereka membentuk cetakan seperti kulit tipis (pelikel) (Ananthanarayan dan
Paniker, 2005).

Mikobakteria adalah genus basil gram-positif yang menunjukkan
karakteristik pewarnaan tahan asam. Mycobacterium tuberculosis adalah agen
etiologik tuberkulosis yang paling penting. Tuberkulosis merupakan salah satu
penyakit tertua dan penyebab utama kematian akibat penyakit infeksi di seluruh
dunia saat ini (Ryan dan Ray, 2010).
Mycobacterium tuberculosis termasuk genus Mycobacterium dari familia
Mycobacteriaceae, ordo Actinomycetales . Bersifat non-motil , aerob obligat yang
tidak membentuk spora. Dinding sel terdiri dari peptidoglikan, dan mirip dengan
organisme gram-positif lainnya yang banyak mengandung polisakarida rantai

cabang, protein dan lipid (Ryan dan Ray, 2010).
2.1.4

Genetika biosintesis dinding sel mikobakterium
Patogenitas M. tuberculosis terhadap manusia sebagian disebabkan karena

dinding selnya yang atipik, merupakan struktur berlapis yang mengandung
peptidoglikan, arabinogalaktan (AG), asam mikolat, glikolipid dan kapsul
polisakarida yang berada dibagian luar membran plasma. Struktur ini bersifat
impermiabel sehingga berperan sebagai pelindung alami terhadap serangan, baik
dari sistem imunitas tubuh host maupun dari banyak antibiotik. Dengan demikian,
dinding sel memainkan peran penting dalam kelangsungan hidup M. tuberculosis
(Briken et al., 2004).
Dinding sel mikobakteria sangat kaya lipid (sampai dengan 60% dari total
massa dinding sel), dan dari urutan genom M. tuberculosis terungkap bahwa
sebagian besar gen dikhususkan untuk produksi dan metabolisme lipid. Beberapa
komponen dinding sel M. tuberculosis seperti cord factor lipoarabinomannan
(LAM) dan asam mikolat menjadi salah satu faktor pendukung proses virulensi

dan penggangguan respon imun dari host, sedangkan komponen lain, misalnya

Arabinogalaktan dan peptidoglikan

memiliki peran lebih

pada struktur M.

tuberculosis. Hal ini menunjukkan pentingnya regulasi dinding sel baik untuk
pertumbuhan, virulensi dan bahkan basil ini mampu mengubah komposisi dinding
sel mereka sebagai respon terhadap perubahan lingkungan (Goude dan Parish,
2008).
Komponen utama dari dinding sel mikobakteria adalah lapisan mycolylarabinogalactan-peptidoglycan (Gambar 2.1). Stuktur dinding sel ini terdiri dari
beberapa komponen yang saling berhubungan, peptidoglikan terletak di luar
membran plasma yang secara kovalen terkait dengan arabinogalaktan (AG), pada
akhirnya akan teresterifikasi dengan asam mikolat. Polimer ini (mycolylarabinogalactan-peptidoglycan) membentuk kerangka struktural dari dinding sel
serta membentuk barier hidrofobik yang bertanggung jawab atas resistensi
intrinsik mikobakteria ke sejumlah antibiotik. Lapisan ini merupakan bagian
penting dari struktur sel, dan telah terbukti terdapat sejumlah enzim penting dalam
proses sintesisnya (Sacco et al., 2007; Amin et al., 2008).
Sejumlah studi terbaru mengidentifikasi enzim yang terlibat dalam
biosintesis struktur arabinogalaktan. Biosintesis arabinogalaktan sebagian besar

dikatalisis oleh enzim yang dikode dalam fragmen 50kb dari Rv3779 ke Rv3809c,
fragmen ini disebut “AG biosintesis gen cluster” (Mikusova et al.,2006).

Gambar 2.1 (A) Skema selubung sel M. tuberculosis. CM, AG, ML, PG, PGL, PDIM,
TDM, TMM dan SL. (B) struktur LAM, LM and PIM. AG: Arabinogalactan; CM:
Cytoplasmic membrane (membran sitoplasma); LAM: Lipoarabinomannan; LM:
Lipomannan; MAPG: Mycolyl-arabinogalactanpeptidoglycan; ML: Mycolic acid; PDIM:
Phthiocerol dimycocerosate; PG: Peptidoglycan; PGL: Phenolic glycolipid; PIM:
Phosphatidylinositol mannoside; SL: Sulpholipid; TDM: Trehalose dimycolate; TMM:
Trehalosemonomycolate (Goude dan Parish, 2008).

Asam mikolat merupakan asam lemak α-alkil-β-hidroksi kompleks yang
sangat panjang (C60-C90). Ditemukan baik terikat secara kovalen pada dinding sel
atau dalam bentuk trehalosa monomikolat (TMM) atau trehalosa dimikolat
(TDM). Lapisan ini menyebabkan permeabilitas yang sangat rendah dari dinding
sel mikobakteria dan menjelaskan ketahanan alami mikobakteria terhadap
antibiotik. Asam mikolat juga terlibat dalam virulensi M. tuberculosis. Biosintesis
asam mikolat melibatkan produksi asam lemak rantai panjang (meromikolat) dan
derivat asam lemak karboksilat yang lebih pendek, kemudian diikuti oleh
kondensasi untuk membentuk molekul akhir. Dinding sel M. tuberculosis terdiri

dari tiga jenis asam mikolat (α, metoksi dan keto), perbedaan ketiganya hanya

dalam kelompok-kelompok fungsional yang ditemukan dalam rantai meromikolat
(Goude dan Parish, 2008).
Sintesis rantai asam lemak dimulai oleh asetil-KoA karboksilase, terdiri
dari subunit α (AccA3) dan β (AccD6) yang mengatur aktivasi malonil-KoA
untuk berperan sebagai perantara bagi Fatty Acid Sinthase (FAS). Mikobakteria
memiliki dua sistem FAS, yaitu sistem FAS tipe I (FAS-I) dan tipe 2 (FAS-II)
(Gambar 2.2). FAS–I dikode oleh fas (Rv2524c). FAS-I adalah

enzim

multidomain berukuran besar (326kDa), yang melakukan beberapa aktivitas
katalitik. Enzim ini bertanggung jawab untuk sintesis de novo asam lemak rantai
pendek, studi terbaru menunjukkan bahwa ia juga bertanggung jawab dalam
produksi heksakosanoil-S-KoA pendek yang berperan dalam tahap kondensasi
akhir dengan rantai meromikolat. Kemudian asam lemak yang disintesis oleh
FAS-I diperpanjang oleh sistem FAS-II untuk menghasilkan asam meromikolat.
FAS-II adalah sistem yang multiprotein, terdiri dari empat aktivitas enzimatik
untuk memperpanjang asam lemak dengan dua unit karbon pada setiap siklusnya.

Pada setiap siklus terjadi aktivitas yang berurutan, yaitu dari β-ketoacyl-ACP
reductase (FabG1), trans-2-enoil-ACP reductase (inhA), (3R)-hydroxyacyl-ACP
dehydratasedan β-ketoacyl-ACP synthetase (Goude dan Parish, 2008).

Gambar 2.2 Biosintesis asam mikolat M. tuberculosis dan skema 3 tipe asam mikolat
yang ditemukan pada M. tuberculosis. FAS-I memproduksi asam lemak rantai pendek,
yang selanjutnya diperpanjang oleh FAS-II untuk sintesis meromikolat atau digunakan
sebagai cabang α asam mikolat. Berbagai enzim yang terlibat pada masing – masing
reaksi ditunjukkan dengan cetak tebal (Goude dan Parish, 2008).

2.1.5

Genom Mycobacterium tuberculosis
Mycobacterium tuberculosis memiliki sebuah kromosom sirkular dengan

jumlah DNA 4.411.532 bp dengan 4.031 gen pengkode dan 4109 transkrip gen.
Keseluruhan genom ini mengandung 65.5 % G (guanin) dan C (sitosin). Menurut

data terakhir dari The Sanger Centre pemetaan sekuens genomnya telah lengkap
dianalisa (Portillo et al., 2007; Ensembl, 2015).

2.1.6

Enzim katalase – peroksidase Mycobacterium tuberculosis
Katalase – peroksidase adalah enzim hasil ekspresi gen KatG M.

tuberculosis yang terdiri dari 740 asam amino. Merupakan enzim yang memiliki
dua fungsi (bifunctional enzyme) dengan aktivitas katalase dan peroksidase yang
luas (broad-spectrum). Berperan dalam aktivitas oksidasi NADH sebagai ekivalen
pereduksi dan pemasangan isoniazid aktif dengan NADH membentuk isonicotinic
acyl-NAD complex. Kemungkinan berperan dalam survival intraseluler M.
tuberculosis dan mungkin terlibat dalam repair DNA. Persamaan aktivitas
katalitiknya adalah, donor + H2O2 = donor teroksidasi + 2 H2O, juga 2H2O2 = O2
+ 2H2O. Mengikat 1 heme B (iron-protoporphyrin IX) sebagai ko-faktornya
(Uniprot, 2015).

2.2

Tuberkulosis Paru

2.2.1


Epidemiologi
Sumber infeksi yang paling sering berasal dari spesimen yang

diekskresikan manusia terutama dari traktus respiratorius berupa basil tuberkel
dalam jumlah banyak. Kontak erat (misalnya, dalam sebuah keluarga) dan pajanan
masif (misalnya, pada petugas kesehatan) membuat transmisi melalui droplet
paling mungkin terjadi. (Brook, 2007).
Pembagian penderita TB menjadi kasus baru dan kasus pengobatan
ulangan didasarkan pada riwayat pengobatan sebelumnya. Kasus baru adalah
penderita yang belum pernah diobati dengan OAT atau sudah pernah menelan

OAT kurang dari satu bulan (4 minggu). Sedangkan kasus pengobatan ulangan
adalah kasus yang sebelumnya pernah diobati dan menelan OAT selama 1 bulan
atau lebih, termasuk diantaranya kasus kambuh (relaps), kasus setelah putus
berobat (default), dan kasus setelah gagal (failure) (KEMENKES RI, 2011).
Kasus kambuh (relaps) adalah penderita tuberkulosis yang sebelumnya
pernah mendapat pengobatan tuberkulosis dan telah dinyatakan sembuh atau
pengobatan lengkap, didiagnosis kembali dengan BTA positif (apusan atau
kultur). Kasus setelah putus berobat (default) adalah pasien yang telah berobat dan

putus berobat 2 bulan atau lebih dengan BTA positif. Kasus setelah gagal (failure)
adalah pasien yang hasil pemeriksaan dahaknya tetap positif atau kembali menjadi
positif pada bulan kelima atau lebih selama pengobatan (KEMENKES RI, 2011).
Resistensi Obat Anti Tuberkulosis (OAT) diklasifikasikan berdasarkan tes
kerentanan terhadap obat / drug susceptibility testing (DST) meliputi; monoresistence: kekebalan terhadap satu OAT lini pertama saja,; polydrug-resistance:
kekebalan terhadap lebih dari satu OAT, selain kombinasi isoniazid dan
rifampisin,;

multidrug-resistance

(MDR):

kekebalan

terhadap

sekurang-

kurangnya isoniazid dan rifampisin,; extensive drug-resistance (XDR): MDR
ditambah kekebalan terhadap salah satu obat golongan flourokuinolon, dan

sedikitnya salah satu dari OAT injeksi lini kedua (kapreomisin, kanamisin dan
amikasin) (WHO, 2013; Soepandi, 2010).
Secara umum resistensi terhadap OAT dibagi menjadi: resistensi primer,
resistensi sekunder dan resitensi inisial. Resistensi primer adalah resistensi yang
terjadi pada M. tuberculosis terhadap OAT, dimana penderita tidak memiliki
riwayat pengobatan OAT atau pernah mendapat pengobatan OAT, namun kurang

dari 1 bulan. Sedangkan resistensi sekunder, pasien telah mempunyai riwayat
pengobatan OAT minimal 1 bulan. Pada resistensi inisial, bila tidak diketahui
pasti apakah pasien sudah ada riwayat pengobatan OAT sebelumnya atau belum
pernah (Sihombing, 2012).
2.2.2

Diagnosis
Seseorang ditetapkan sebagai tersangka penderita tuberkulosis paru

apabila ditemukan gejala klinis utama (simtom kardinal) pada dirinya. Gejala
utama pada tersangka tuberkulosis paru adalah : batuk berdahak lebih dari tiga
minggu, batuk berdarah, sesak nafas, nyeri dada. Gejala lainnya adalah
berkeringat pada malam hari, demam tidak tinggi/meriang, dan penurunan berat
badan. Dahak penderita harus diperiksa dengan pemeriksaan mikroskopik. Untuk
menegakkan diagnosa penyakit tuberkulosis dilakukan pemeriksaan laboratorium
untuk menemukan BTA (basil tahan asam) positif. Pemeriksaan lain yang
dilakukan yaitu pemeriksaan kultur bakteri dan tes kepekaan obat. Alat diagnostik
lain adalah pemeriksaan radiologis dan tuberculin skin test. Metode pemeriksaan
dahak (bukan liur) sewaktu, pagi, sewaktu (SPS) dengan pemeriksaan
mikroskopis membutuhkan 5 ml dahak dan biasanya menggunakan pewarnaan
panas dengan metode Ziehl- Nielsen (ZN) atau pewarnaan dingin Kinyoun-Gabbet
menurut Tan Thiam Hok. Bila dari dua kali pemeriksaan didapatkan hasil BTA
positif, maka pasien tersebut dinyatakan positif mengidap tuberkulosis paru
(Andina, 2012).
Secara teoritis metode polimerase chain reaction (PCR) lebih sensitif
dibandingkan metode konvensional mikroskopik. Metode PCR akan memberikan
hasil positif walaupun hanya terdapat 1-10 kuman dalam spesimen pemeriksaan,

dan juga PCR dapat memberikan hasil positif walaupun kuman mati/dormant atau
secara pewarnaan Ziehl-Nielsen telah konversi akibat pengobatan OAT lini
pertama (Lina et al., 2009; Andina, 2012).
Pada penelitian sputum menggunakan teknik PCR yang dilakukan
terhadap 36 pasien TB paru BTA negatif, didapatkan hasil pemeriksaan PCR
positif sebanyak 13 sampel (36.11%). Penelitian pada tahun 1996 di Rio de
Jeneiro terhadap TB paru mikroskopis BTA mendapatkan PCR positif sebesar
44.9% (Andina, 2012). Oleh sebab itu penelitian yang akan peneliti lakukan akan
menggunakan metode PCR untuk menentukan ada tidaknya M. tuberculosis pada
sputum subjek yang telah meminum INH sampai akhir minggu ke-4.
Saat ini, untuk menegakkan diagnosis resistensi obat TB diawali dengan
mengenali faktor resiko dan mempercepat dilakukannya diagnosis laboratorium.
Deteksi lebih awal dan memulai terapi TB-MDR merupakan faktor penting
mencapai keberhasilan pengobatan. Pemeriksaan dilakukan meliputi sputum
BTA, uji kultur M. tuberculosis dan resistensi obat. Kemungkinan resistensi obat
TB secara simultan dipertimbangkan dengan pemeriksaan sputum BTA sewaktu
menjalani panduan terapi awal. Diagnosis terjadinya resistensi OAT dilakukan
berdasarkan uji laboratorium untuk menunjukkan isolat M. tuberculosis yang
menginfeksi tubuh secara in vitro sensitif atau telah resisten terhadap satu atau
lebih obat-obat anti tuberkulosis (Andina, 2012).
2.2.3

Pengobatan
Obat anti tuberkulosis (OAT) dibagi menjadi dua kelompok yang dikenal

dengan OAT lini pertama (first line) dan lini kedua (second line). Istilah lini
pertama digunakan untuk obat pilihan utama (isoniazid, etambutol, rifampisin,

pirazinamid, streptomisin) yang telah lama dipakai secara klinis serta
menunjukkan efikasi yang baik dan efek samping paling minimal. OAT lini kedua
(asam para-aminosalisilat, etionamid, sikloserin, flouroquinolon, kanamisin,
amikasin) digunakan ketika dijumpai resistensi M. tuberculosis terhadap obat lini
pertama atau ada obat lini pertama yang dikontraindikasikan pada penderita
tertentu. (Ryan KJ dan Ray CG, 2010).
Menurut KEMENKES RI (2011), kasus TB baru (TB paru BTA positif,
TB paru BTA negatif foto toraks positif, dan TB ekstra paru) yang belum pernah
mendapat pengobatan dikelompokkan sebagai kategori 1. OAT pada kategori 1 ini
adalah OAT lini pertama yang pemberiannya dalam 2 tahap, yaitu tahap intensif
(inisial) dan tahap lanjutan. Pada tahap intensif penderita menelan isoniazid (H),
rifampisin (R), pirazinamid (Z) dan etambutol (E) setiap hari selama 2 bulan,
sedangkan pada tahap lanjutan penderita menelan isoniazid (H) dan rifampisin (R)
tiga kali seminggu selama 4 bulan. Totalnya penderita menelan OAT selama 6
bulan. Panduan ini biasa disingkat penulisannya dengan 2(HRZE)/4(H3R3).
Sedangkan kasus BTA positif yang sebelumnya sudah pernah diobati
(kambuh, gagal dan setelah putus berobat) dikelompokkan sebagai kategori 2.
OAT pada kategori 2 ini adalah OAT lini pertama yang pemberiannya dalam 2
tahap, yaitu tahap intensif dan tahap lanjutan. Pada tahap intensif, awalnya
penderita mendapat isoniazid (H), rifampisin (R), pirazinamid (Z), etambutol (E)
dan streptomisin (S) setiap hari selama 2 bulan, kemudian dilanjutkan dengan
isoniazid (H), rifampisin (R), pirazinamid (Z) dan etambutol (E) setiap hari
selama 1 bulan berikutnya. Pada tahap lanjutan penderita menelan isoniazid (H),
rifampisin (R) dan etambutol (E) tiga kali seminggu selama 5 bulan. Totalnya

penderita menelan OAT selama 8 bulan. Panduan ini biasa disingkat penulisannya
dengan 2(HRZES)/HRZE/5(H3R3E3).

2.3

Farmakologi INH

2.3.1

Penemuan dan struktur

Gambar 2.3. Struktur Isoniazid (Becker et al., 2007)

Isoniazid disintesis oleh Meyer dan Mally di University of Prague Jerman
pada tahun 1912. Pada tahun 1952 secara independen dilakukan rediscovery oleh
Bayer Laboratories di Jerman, Hoffman-La Roche Laboratories di Switzerland /
USA, dan Squibb Laboratories di USA, masing-masing bekerja tanpa
sepengetahuan satu sama lain (IUATLD, 2002).
Nama generiknya adalah Isoniazid / Isonicotinic acid hydrazide (INH) / 4Pyridinecarboxylic acid hydrazide dengan struktur seperti terlihat pada gambar
2.3 (Becker et al., 2007).
2.3.2

Mekanisme kerja dan indikasi terapi
Isoniazid hanya aktif terhadap mikobakteria. Efeknya terutama terhadap

M. tuberculosis complex, dan pada tingkat lebih rendah terhadap beberapa spesies
mikobakteria lain misalnya, M. kansasii. Minimum Inhibition Concentration
(MIC) M. tuberculosis adalah 0.025-0.05 mg/L dalam kaldu dan 0.1-0.2 mg/L
dalam piring agar, hal ini menunjukkan ketidakpastian seputar penentuan MIC.

Isoniazid memiliki awal aktivitas bakterisidal yang paling ampuh dibandingkan
semua OAT lain. Menambahkan obat lain tidak akan meningkatkan aktivitas INH
tersebut. Dengan demikian, segera dapat diamati penurunan kemampuan
mikobakteria dalam penularan selama pengobatan tahap intensif, kemungkinan
besar ini disebabkan aktivitas bakterisidal dari isoniazid yang baik tersebut
(IUATLD, 2002).
WHO merekomendasikan rentang dosis 4-6 mg/kg, dengan dosis harian
maksimum tidak melebihi 300 mg. Dosis maksimum 300 mg juga digunakan
untuk terapi pencegahan pada populasi dengan resiko tinggi. Pada dosis ini
umumnya INH ditoleransi dengan baik (Becker et al., 2007).
Pada proses kinetikanya, INH cepat diserap melalui saluran cerna pada
pemberian per-oral (Sweetman, 2009; Becker et al., 2007; Teixeira et al., 2013)
dan mencapai hati melalui sistem vena porta. Sebelum mencapai sirkulasi
sistemik INH akan mengalami metabolisme lintas awal (first pass metabolism)
dihati dan terjadi pengurangan bioavailabilitasnya. Sekitar 75% - 95% dari INH
diekskresikan oleh ginjal dalam 24 jam pertama, terutama sebagai metabolit
berbentuk asam asetilisoniazid dan asam isonikotinat (Texeira et al., 2013).
Dalam jumlah yang kecil INH diekskresikan melalui feses, dan terbuang pada
proses hemodialisa (Sweetman, 2009).
Rute metabolik utama asetilasi isoniazid menjadi asetilisoniazid oleh
enzim N-asetiltransferase 2 (NAT2) ditemukan di hati dan usus halus. Dalam hati,
INH dimetabolisme menjadi asetilisoniazid oleh N-asetiltransferase 2 (NAT2),
diikuti oleh proses hidrolisis untuk menjadi asetilhidrazin dan kemudian
dioksidasi oleh sitokrom P4502E1 (CYP2E1) menjadi senyawa intermediet yang

bersifat hepatotoksik. Metabolit ini dapat merusak sel hepatosit, baik dengan cara
mengganggu homeostasis sel atau dengan memicu reaksi imunologis dimana
metabolit yang bersifat reaktif ini terikat pada protein plasma sel hepatosit dan
bertindak sebagai hapten. Jalur metabolisme lain yang berperan untuk
menghasilkan metabolit toksik adalah hidrolisis langsung INH menjadi hidrazin
(hepatotoksin yang poten). N-asetiltransferase 2 (NAT2) juga bertanggung jawab
untuk

mengkonversi

asetilhidrazin

menjadi

diasetilhidrazin

(komponen

nontoksik). Glutation S-transferase (GST) merupakan enzim detoksifikasi penting
pada fase II, berperan protektif sebagai pemungut/pengikat radikal bebas
intraseluler, melalui reaksi konjugasi glutation dengan metabolit toksik yang
dihasilkan dari CYP2E1. Konjugasi sulfhidril memfasilitasi pengeluaran metabolit
dari tubuh dan mengurangi efek toksik. Dalam beberapa tahun terakhir, semakin
banyak penelitian yang menunjukkan bahwa polimorfisme genetik pada gen
NAT2, CYP2E1 dan GST berkaitan dengan kerentanan terhadap kejadian
hepatotoksisitas yang diinduksi obat (drug-induced hepatotoxicity) selama
pengobatan TB (Gambar 2.4 a & b) (Teixeira et al., 2013).

Gambar 2.4a. Alur metabolisme INH dan enzim – enzim utama yang terlibat (terdapat
didalam tanda kotak) (Teixeira et al., 2013).

Gambar 2.4b. Alur metabolisme INH (Preziosi, 2007).

Isoniazid masuk ke dalam sel M. tuberculosis secara difusi pasif. Isoniazid
merupakan prodrug yang diaktivasi oleh enzim katalase-peroksidase (KatG) yang
berada didalam sel M. tuberculosis. Enzim KatG memasangkan isonicotinic acyl
(bentuk aktif INH) dengan NADH untuk membentuk isonicotinic acyl-NAD
complex. Kompleks ini berikatan erat pada enoylacyl-acyl carrier protein (ACP)
reductase yang dikenal sebagai InhA sehingga memblokade substrat alaminya
(enoyl-AcpM) untuk dapat berikatan dan memblokade aktivitas sintesis asam
lemak. Proses ini menghambat sintesis asam mikolat yang diperlukan untuk
dinding sel mikobakteria (gambar 2.5 a & b) (FAD, 2013). Kompleks AcpMKasA yang terlibat dalam sintesis asam mikolat berikatan dengan INH aktif
(Wang et al, 1997). Mekanisme kerja isoniazid secara detail masih tetap sulit
untuk dipahami, hanya mekanisme kerjanya secara umum yang telah dipahami
dengan baik (IUATLD, 2002).

Gambar 2.5a. Inhibisi sintesis asam mikolat oleh isoniazid (INH) (Wright, 2012).

Gambar 2.5b. Potensi keterlibatan superoksida dalam aktivitas INH . INH sebagai
prodrug yang diaktifkan oleh protein KatG (katalase - peroksidase) atau oleh Mn2+. Di
sebelah kiri gambar adalah skema yang menunjukkan bentuk KatG non-aktif (FeIII KatG)
yang diubah menjadi bentuk aktif oleh dua jalur, salah satunya (a) membutuhkan
superoksida (O2-). Di sebelah kanan adalah skema yang menunjukkan aktivasi INH oleh
jalur dependen Mn2+ yang juga melibatkan superoksida (b), jalur ini dapat dihambat oleh
superoksida dismutase (SOD). Jalur ini ditunjukkan dengan garis putus-putus karena
mungkin tidak signifikan secara in vivo. INH aktif (INH*) menghambat sintesis asam
mikolat dengan cara menonaktifkan InhA dan ACPM - KasA. Spesies oksigen reaktif
(ROS) timbul selama aktivasi INH atau akibat kehadiran superoksida (c). Protein AhpC
muncul untuk membatasi akumulasi kerusakan oksidatif makromolekul yang diharapkan
timbul dari aktivasi INH atau adanya superoksida. Garis bergelombang menunjukkan
penghambatan jalur, dan jalur dengan bar tegak lurus menunjukkan penghambatan enzim
(Wang et al., 1997).

2.4

Resistensi Mycobacterium tuberculosis Terhadap INH

2.4.1

Mutasi dan mekanisme resistensi
Mutasi adalah perubahan pada materi genetik suatu mahluk hidup yang

terjadi secara tiba-tiba dan acak, merupakan dasar bagi sumber variasi organisme
hidup yang bersifat terwariskan (heritable). Menurut kejadiannya, mutasi dapat
terjadi secara spontan (spontaneous mutation) dan juga dapat terjadi melalui
induksi (induced mutation). Mutasi spontan adalah mutasi yang terjadi akibat
adanya sesuatu pengaruh yang tidak jelas, baik dari lingkungan luar maupun dari
internal organisme itu sendiri. Sedangkan mutasi terinduksi adalah mutasi yang
terjadi akibat paparan dari sesuatu yang jelas misalnya paparan sinar UV, senyawa
kimia mutagenik, obat – obatan dll. Secara mendasar tidak terdapat perbedaan
antara mutasi yang terjadi secara alami dan mutasi hasil induksi (Warianto, 2011).
Resistensi terhadap OAT terutama terjadi karena mutasi pada gen M.
tuberculosis. Penyebaran resistensi M. tuberculosis terjadi paska amplifikasi
kuman resisten yang diinduksi oleh inadekuatnya obat disekitar kuman
(Sjahrurachman, 2010).
Beberapa mutasi gen pada M. tuberculosis yang berperan sebagai
penyebab resistensi INH telah dapat diidentifikasi. Mutasi yang terpenting
berlokasi di gen KatG. Kepekaan terhadap INH tergantung pada keberadaan
enzim katalase-peroksidase yang dikode oleh gen KatG. Mutasi pada gen ini
menyebabkan tingginya angka kejadian resistensi INH (IUATLD, 2002).
2.4.2

Gen KatG dan mutasi kodon Ser315Thr (G944C)
Gen KatG berada di posisi antara 2,153,445 – 2,156,555 dari keseluruhan

genom M. tuberculosis, dengan panjang 2223 bp dan merupakan bagian dari

pengkode protein katalase – peroksidase. Mutasi poin pada basa ke 944 dimana G
berubah menjadi C menghasilkan perubahan kodon 315 dari AGC  ACC. Hal
ini menyebabkan perubahan asam amino serin menjadi treonin (SerThr) yang
akan mengekspresikan protein katalase - peroksidase mutan (missense mutation)
(Ensembl, 2015; Genbank, 2015; Ahmad et al., 2002; Mokrosov et al., 2002; Guo
et al., 2006; Bostanabad et al., 2008; Marahatta et al., 2011).
Beberapa dekade terakhir, studi isolat M. tuberculosis pasien TB mencatat
bahwa terdapat hubungan antara resistensi INH dan hilangnya aktifitas enzim
katalase-peroksidase. Pengamatan ini mengarahkan untuk dilakukannya kloning
dan skuensing struktur gen KatG yang mengekspresikan enzim tersebut. Studi
genetika molekuler menegaskan bahwa KatG berperan dalam memediasi
kepekaan terhadap INH. Peneliti – peneliti dari beberapa benua melaporkan
bahwa terdapat beragam mutasi KatG yang unik terjadi pada strain M.
tuberculosis resisten INH, dan pergantian asam amino yang terletak pada posisi
kodon 315Ser adalah yang paling banyak terjadi (gambar 2.6) (Ramaswamy dan
Musser, 1998).
Terdapat beberapa varian mutasi pada kodon 315 gen KatG M.
tuberculosis

yaitu

Ser315Thr

(AGCACC),

Ser315Thr

(AGCACA),

Ser315Asn (AGCAAC), Ser315Ile (AGCATC), Ser315Arg (AGCCGC),
Ser315Arg (AGCAGA) dan Ser315Gly (AGCGGC) (Ramaswamy dan
musser, 1998), tetapi mutasi terbanyak adalah tipe mutasi Ser315Thr
(AGCACC). Seperti pada penelitian Bostanabad et al di Belarusia pada tahun
2008 mendapatkan dari 40 isolat DNA M. tuberculosis yang berasal dari sputum
penderita TB paru aktif dengan mutasi pada kodon 315 gen KatG, didapatkan 36

isolat (85%) merupakan mutasi Ser315Thr (G944C) (Bostanabad et al., 2008).
Mutasi gen KatG Ser315Thr (G944C) sangat potensial menjadi marker genetik
untuk menentukan strain M. tuberculosis resisten INH (Bostanabad et al., 2008;
Marahatta et al., 2011).

Gambar 2.6. Polimorfisme protein KatG pada M. tuberculosis INHR. Varian asam amino
diberi nomor secara vertikal. Dipakai singkatan asam amino satu huruf. Tampak dibawah
skema perubahan nukleotida dan asam amino yang muncul pada kodon dengan 2 atau
lebih varian kodon. A: alanin; C: sistein; D: asam aspartat; E: asam glutamat; F:
fenilalanin; G: glisin; H: histidin; I: isoleusin; M: metionin; N: asparagin; P: prolin; Q:
glutamin; R: arginin; S: serin; T: treonin; W: triptofan; V: valin (Ramaswamy dan
Musser, 1998).

2.5

Metode Pemeriksaan Yang Berperan Pada Deteksi Mutasi Gen KatG
Ser315Thr (G944C)

2.5.1

Pewarnaan ziehl-nielsen
Adalah suatu alat ukur untuk mendeteksi bakteri M. tuberculosis dengan

metode pewarnaan bakteri tahan asam dan dilihat dibawah mikroskop dengan
pembesaran 1000x. Prinsip pewarnaan ini adalah bahwa M. tuberculosis
mempunyai lapisan dinding lipid (asam mikolat) yang tahan terhadap asam.
Proses pemanasan mempermudah masuknya carbol fuchsin kedalam dinding sel,
dan sel tetap mengikat zat warna carbol fuchsin walaupun didekolorisasi dengan
asam alkohol (KEMENKES RI, 2012). Cara mengukurnya adalah dengan

menemukan bakteri tahan asam per-lapangan pandang. Hasil pengukuran pada
pemeriksaan mikroskopis dengan mengacu pada skala International Union
Against Tuberculosis and Lung Disease (IUATLD) yaitu:
− Negatif
− Scanty

: tidak ditemukan BTA dalam 100 lapang pandang
: ditemukan 1-9 BTA dalam 100 lapang pandang (ditulis jumlah
BTAyang ditemukan)

− 1+

: ditemukan 10 – 99 BTA dlm 100 lapang pandang

− 2+

: ditemukan 1 – 10 BTA setiap 1 lapang pandang (periksa minimal
50 lapang pandang)

− 3+

: ditemukan ≥ 10 BTA dalam 1 lapang pandang (periksa minimal
20 lapang pandang) (KEMENKES RI, 2012).
Pada penelitian ini, pasien dengan mikroskpik BTA positif (Scanty, 1+,

2+, 3+) pada pemeriksaan awal sputum sebelum meminum OAT

akan

dimasukkan kedalam sampel yang diinginkan, apabila M. tuberculosis – nya
belum mengalami mutasi gen KatG Ser315Thr (G944C) yang dikonfirmasi
dengan PCR-RFLP. Selanjutnya, setelah akhir minggu ke 4 minum OAT M.
tuberculosis sputum diperiksa kembali pola mutasinya dengan PCR-RFLP, dinilai
dan dihubungkan dengan tingkat kepatuhan selama pengobatan INH.
2.5.2

Polymerase chain reaction – Restriction fragment length polymorphism
(PCR-RFLP) dan elektroforesis
Polymerase chain reaction – Restriction fragment length polymorphism

(PCR-RFLP) dan elektroforesis digunakan sebagai alat ukur dan metode
visualisasi untuk mendeteksi gen KatG M. tuberculosis dengan mutasi Ser315Thr
(G944C).

Cara mengukurnya adalah dengan melipatgandakan secara eksponensial
suatu sekuens nukleotida tertentu dengan cara in vitro menggunakan metode
enzimatis. PCR dilakukan dengan tiga tahap yaitu denaturasi, annealing dan
extension. Hasil PCR akan diinkubasi dengan enzim restriksi (metode RFLP).
Hasil

akan divisualisasikan dengan agarosa. Visualisasi elektroforesis hasil

amplifikasi gen KatG dengan primer KatGF dan KatGR akan tampak pada band
200 bp. Pada proses restriksi, enzim MspI akan memotong di situs C↓CGG yang
palindrom pada gen . Apabila terjadi mutasi gen KatG kodon 315 AGC  ACC /
basa ke 944 GC maka akan terbentuk situs tambahan C↓CGG yang dapat
dipotong enzim MspI. Hasil produk RFLP terpanjang yang diperoleh adalah
fragmen 153 bp gen KatG wild type dan 132 bp fragmen gen KatG mutan yang
divisualisasikan dengan metode elektroforesis. Hasil pemotongan lain yang
pendek (6 – 21 bp) tidak diperhitungkan karena tidak terlihat pada hasil
elektroforesis dan dianggap tidak bermakna (gambar 2.7).

Gambar 2.7. Skema ilustrasi fragmen 200bp KatG yang di amplifikasi dengan primer
KatG. Garis lurus merupakan representasi situs restriksi Mspl (C↓CGG). Pada wild type,
produk PCR gen KatG tidak ada situs tambahan untuk restriksi Mspl dan fragmen
terpanjang adalah 153bp. Pada mutan produk PCR gen KatG ada tambahan situs restriksi
Mspl akibat basa ke 944 G  C dan menyebabkan fragmen terpanjang adalah 132bp
(Shrestha et al., 2011).

2.5.3

Mengukur kepatuhan terhadap pengobatan INH dan pemeriksaan

metabolit INH menggunakan Taxo urine test strip metode Arkansas

Metode untuk mengukur kepatuhan terhadap pengobatan INH meliputi
pelaporan langsung penderita secara personal (patient self-report), penghitungan
tablet (tablet counting), tes metabolit INH dalam urin (urine testing for INH
metabolites) dan perangkat elektronik yang merekam ketika kemasan tablet
dibuka (electronic devices that record when

tablet containers opened). Tes

metabolit INH dalam urin adalah yang paling objektif dibandingkan metode yang
lain (Hanifa et al., 2007).
The Arkansas Departement of Public Health mengembangkan sebuah
metode yang simpel untuk mengecek metabolit INH urin. Metode ini
dikembangkan oleh Potts, Cozart dan Reagan, tetapi tidak pernah mereka
publikasikan. Sampai kemudian Henderson yang bekerja pada laboratorium yang
sama dengan mereka mempublikasikannya. Metode Arkansas menggunakan 30
mg asam barbiturat, larutan kloramin-T 14 g/dl, larutan potasium sianida 5 g/dl. 4
tetes urin pasien dimasukkan ke dalam tabung reaksi yang sudah berisi 30 mg
asam barbiturat, kemudian ditambahkan masing – masing 2 tetes larutan
kloramin-T dan potasium sianida. Tabung reaksi dikocok selama ±10 detik.
Prinsip reaksi metode Arkansas pada ini adalah, cincin piridin dari asam nikotinat
yang terdapat pada INH dan metabolitnya akan dipecah oleh sianogen klorida
untuk membentuk derivat glutakonaldehid. Derivat ini akan berkondensasi dengan
asam barbiturat membentuk polimetin berwarna biru – ungu (Schraufnagel et al.,
1990).

Taxo urine test strip menggunakan prinsip metode Arkansas yang
dikembangkan oleh Kilburn et al, untuk memonitor pasien yang mendapat
pengobatan INH. Tes ini membantu tenaga medis untuk mengetahui apakah
pasien patuh menelan INH dengan cara yang lebih sederhana dan mudah.
Potongan kertas (paper strip) yang telah diresapi reagen berupa kloramin T,
potasium tiosianat, asam sitrat dan asam barbiturat ini akan mendeteksi
keberadaan INH dan metabolitnya didalam urin.

Pada pemeriksaan dengan Taxo urine test strip, munculnya warna biru,

ungu, biru kehijauan atau hijau pada paper strip menunjukkan hasil positif
terdapatnya INH atau metabolit INH dalam spesimen urin. Hasil positif didapat
pada larutan INH / metabolitnya pada konsentrasi antara 100 µg/mL – 5 µg/mL.
Hasil dinyatakan negatif apabila tidak terjadi perubahan warna pada strip, atau
terjadi perubahan warna selain warna untuk hasil positif (Hanifa et al., 2007).
Metode Arkansas memiliki sensitifitas dan spesifisitas yang tinggi pada
populasi di Eropa, sensitifitasnya sebesar 96 – 99% sampai 24 jam setelah
menelan INH (Schraufnagel et al., 1990; Hanifa et al., 2007). Tidak ada publikasi
data mengenai perbedaan karakteristik metode Arkansas pada populasi tipe
asetilator cepat dibandingkan dengan populasi tipe asetilator lambat (Meissner et
al 2002; Hanifa et al., 2007).

2.6

Kepatuhan Terhadap Pengobatan OAT
Di negara berkembang kepatuhan terhadap pengobatan OAT menghadapi

masalah tersendiri akibat keadaan epidemiologik dan sosial ekonomi yang ada.
Studi yang dilakukan di Aleksandria Mesir tentang hubungan karakteristik

demografi dengan kepatuhan terhadap pengobatan OAT menunjukkan adanya
perbedaan – perbedaan tingkat kepatuhan akibat perbedaan karakteristik
demografi penderita. Perbedaan karakteristik demografi tersebut berupa usia, ras,
jenis kelamin, tingkat pendidikan, dan status sosial ekonomi penderita (Gad et al.,
1997).
Perbedaan karakteristik demografi tersebut memunculkan perbedaan –
perbedaan seperti berikut:
• Pemahaman dan pengetahuan tentang regimen pengobatan

• Persepsi penderita atas manfaat yang diperoleh dari pengobatan

• Persepsi penderita atas hambatan – hambatan dalam pengobatan

• Dukungan sosial dan stresor dari kehidupan. Dukungan sosial biasanya akan
kurang pada tunawisma, penyakit mental, sosial ekonomi lemah.

• Keyakinan budaya tertentu tentang penggunaan obat, proses penularan
penyakit, dan perkembangan penyakit.
Perbedaan – perbedaan karakteristik tersebut mengakibatkan perbedaan tingkat
kepatuhan dalam menjalankan proses pengobatan tuberkulosis (Frank et al.,
2005).
Jika ditelaah lebih mendalam, kepatuhan adalah sebuah fenomena multidimensi yang mencakup lima faktor penting, yaitu:
1. Faktor terkait sosial ekonomi.
Beberapa kondisi sosioekonomi yang dapat mempengaruhi kepatuhan pada
pengobatan tuberkulosis adalah tidak adanya sistem dukungan yang efektif,
lingkungan yang tidak stabil, faktor budaya sekitar, stigma, mahalnya biaya
medikasi, mahalnya biaya transportasi, dan lain sebagainya.

2. Faktor terkait sistem layanan kesehatan.
Pelayanan kesehatan yang buruk, dan adanya hubungan yang kurang baik
antara pasien dengan penyedia layanan kesehatan, petugas yang kurang
terlatih, serta ketidaktersediaan dokter ahli, berakibat kepatuhan pasien menjadi
berubah.
3. Faktor terkait kondisi.
Beberapa kondisi khusus yang dialami oleh pasien dapat memberikan pengaruh
buruk pada kepatuhan meminum obat, misalnya kasus asimtomatik, penurunan
kesadaran akibat penyalahgunaan obat, stres psikologis, dan depresi.
4. Faktor terkait terapi.
Pengobatan TB merupakan hal yang kompleks, tidak jarang menimbulkan efek
samping dan dapat pula menimbulkan efek toksik sebagai akibat dari
mengkonsumsi obat.
5. Faktor terkait pasien.
Pada dasarnya, seluruh aspek kepatuhan dikembalikan kembali pada sifat dari
pasiennya. Kepatuhan yang buruk akan ditemui pada pasien pelupa, pasien
dengan penyalahgunaan obat, depresi, stres, maupun pasien yang terasingkan
sebagai akibat dari stigma yang ada. Kondisi berbeda akan ditemui pada pasien
yang telah mendapatkan motivasi yang cukup ataupun percaya benar pada
efektifitas terapi (WHO, 2003).

2.7

Kerangka Konsep

Pasien TB paru
BTA (+)

INH
(prodrug
)
ekspresi

Gen KatG

Enzim

M. tuberculosis

Mutasi spontan gen

Mutasi gen KatG Ser315Thr

KatG Ser315Thr

(G944C) diinduksi

(G944C) sebelum

inadekuatnya kadar terapeutik

mulai pengobatan

INH selama pengobatan

aktivasi

INH
(drug)
Gen KatG
M. tuberculosis
(mutan)

Analisa

Mutasi gen KatG

Kepatuhan meminum

Ser315Thr (G944C)

INH selama pengobatan

Wild type

Patuh

Mutan

Tidak patuh

Ruang lingkup penelitian:
=variabel dependent
=variabel independent

Gambar 2.8. Kerangka Konsep