Gambaran Biokimia Hati Pada Anak Thalassemia Mayor di RSUP Haji Adam Malik Medan Tahun 2014

BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Thalassemia
2.1.1. Definisi
Thalassemiaadalah penyakit kelainan genetik yang paling sering terjadi dan
menjadi masalah kesehatan masyarakat dan memiliki angka kejadian yang tinggi
pada negara-negara tropis.Thalassemia merupakan kelompok heterogen anemia
hemolitik herediter yang ditandai dengan adanya penurunan kecepatan sintesis
satu rantai polipeptida hemoglobin atau lebih dan diklasifikasikan menurut rantai
yang terkena (

(Dorland, 2009).

2.1.2. Epidemiologi
Thalassemia dapat dijumpai pada laki-laki dan perempuan dengan
perbandingan yang sama. Angka kejadian terjadi pada sekitar 4,4 dari setiap
10.000 kelahiran hidup. Thalassemiaalfa merupakan yang paling umum terjadi
pada

penduduk


Afrika

dan

keturunan

dari

Asia

Tenggara.

Sementarathalassemiabeta paling sering terjadi pada individu-individu dari
Mediterania, Afrika dan keturunan Asia Tenggara (Weatherall, 2001).
Untuk thalassemia alfa di daerah perbatasan Muang Thai dan Laos
frekuensinya berkisar 30-40%, kemudian tersebar dalam frekuensi lebih rendah di
Asia Tenggara termasuk Indonesia (Weatherall, 2001).
Prevalensi carrier thalassemia di Indonesia sekitar 3-8%, artinya 3-8 dari
100 orang Indonesia membawa sifat thalassemia. Dari total populasi pembawa

sifat genetik thalassemia, 7% ditemukan di Palembang, 3,4% di Jawa dan 8% di
Makasar. Jika diasumsikan terdapat 5% saja carrier dan angka kelahiran 23 per
mil dari total populasi 240 juta jiwa, maka diperkirakan terdapat 3.000 bayi
penderita thalassemia setiap tahunnya. Secara keseluruhan di Indonesia
diperkirakan prevalensi carrier thalassemia alfa kira-kira 1-10% dan thalassemia
beta adalah 3,7% (Ganie, 2004).

4

5

Data yang diperoleh dari rekam medik di RSUP Haji Adam Malik Medan
tahun 2004-2005 ditemukan penderita thalassemia rawat inap sebanyak 35 orang,
pada tahun 2006-2008 ditemukan penderita thalassemia rawat inap sebanyak 120
orang (Ganie, 2004), dan setelah dilakukan survey awal di RSUP Haji Adam
Malik Medan pada tahun 2014 ditemukan penderita thalassemia rawat inap
sebanyak 133 orang.

2.1.3. Etiologi
Tubuh memiliki 3 jenis sel darah yaitu sel darah merah, sel darah putih, dan

trombosit.Sel darah merah mengandung hemoglobin, protein kaya zat besi yang
membawa oksigen dari paru-paru ke seluruh tubuh.Hemoglobin juga membawa
karbon dioksida dari tubuh untuk paru-paru (Ganie, 2005).
Hemoglobin manusia terdiri dari persenyawaan hem dan globin. Hem terdiri dari
zat besi dan globin adalah suatu protein yang terdiri dari rantai polipeptida.
Hemoglobin pada manusia normal terdiri dari 2 rantai alfa dan 2 rantai beta.
Rantai globin merupakan suatu protein, maka sintesisnya dikendalikan oleh suatu
gen. Dua kelompok gen yang mengatur yaitu kluster gen globin-αterletak pada
kromosom 16 dan kluster globin-βterletak pada kromosom 11. Penyakit
thalassemia diturunkan melalui gen yang disebut sebagai gen globin beta. Gen
globin beta ini yang mengatur pembentukan salah satu komponen pembentuk
hemoglobin. Gen globin beta hanya sebelah yang mengalami kelainan maka
disebut pembawa sifat thalassemia-beta. Seorang pembawa sifat thalassemia
tampak nomal atau sehat, sebab masih mempunyai 1 belah gen dalam keadaan
normal dan dapat berfungsi dengan baik dan jarang memerlukan pengobatan.
Kelainan gen globin yang terjadi pada kedua kromosom, dinamakan penderita
thalassemia mayor yang berasal dari kedua orang tua yang masing-masing
membawa sifat thalassemia (Ganie, 2005).

6


2.1.4. Klasifikasi
Thalassemia dapat di klasifikasikan menjadi thalassemia alfa dan
thalassemia beta (Eleftheriou, 2007).
1. Thalassemia Alfa
Thalassemia ini disebabkan oleh mutasi salah satu atau seluruh globin
rantai alfa yang ada.Thalasemia alfa terdiri dari : (a). ThalassemiaTrait ;(b).
Hemoglobin H ; (c). Fetalis Hydrops ;(d). Hemoglobin Bart(Eleftheriou, 2007).
Pada thalassemia trait, orang dengan hilang 2 alpha globin gen (αα / - / α-) akanmemiliki alpha thalassemia trait. Pada thalassemia ini biasanya
tidak menyebabkan masalah kesehatan tetapi dapat menyebab kadar sel darah
merah yang rendah (anemia) dan sel darah merah kecil (Eleftheriou, 2007).Ada 2
jenis alpha thalassemia trait, yaitu: (1). Seseorang dengan kehilangan satu gen
globin alpha pada setiap kromosom (α- / α-).Keadaan ini disebut bentuk trans
alpha thalassemia trait. Bentuk trans alpha thalassemia trait (α- / α-) umumnya
di Afrika-Amerika sekitar 20-30% ; (2). Seseorang dengan kehilangan 2 gen
globin alpha pada kromosom yang sama(αα / -).Keadaan ini disebut bentuk cis
alpha thalassemia trait. Orang dengan alpha thalassemia trait tidak akan
berkembang menjadi penyakit Hemoglobin H atau Hydrops Fetalis di kemudian
hari (Eleftheriou, 2007).
Pada Hemoglobin H, Jika satu (1) orang tua memiliki bentuk cis alpha

thalassemia trait (αα / -), dan orang tua lainnya adalah silent carrier(αα/α-), maka
kemungkinannya adalah 25% (1 dari 4) kesempatan dengan setiap kehamilan
memiliki anak dengan penyakit Hemoglobin H (Eleftheriou, 2007).
Seseorang dengan penyakit Hemoglobin H dapat mengalami pembesaran
limpa, jumlah sel darah yang rendah, dan batu empedu.Penyakit kuning mungkin
ada dalam derajat variable dan anak-anak mungkin menunjukkan hambatan
pertumbuhan. Komplikasi lain termasuk infeksi, borok kaki, kekurangan asam
folat dan episode hemolitik akut sebagai respon terhadap obat dan infeksi. Pasien
yang lebih tua sering memiliki beberapa tingkat zat besi overload. Hal ini
membutuhkan perawatan dokter (Eleftheriou, 2007).

7

Pada Fetalis Hydrops, jika kedua orang tua memiliki bentuk cis alpha
thalassemia trait(αα / -), ada 25% (1 dari 4) kesempatan dengan setiap kehamilan
memiliki anak dengan hidrops fetalis (-/-). Penyakit ini adalah kondisi kesehatan
yang serius yang biasanya dapat menyebab kematian sebelum atau segera setelah
lahir (Wilkins, 2009).
Gambaran klinisnya adalah bayi edema pucat dengan tanda-tanda gagal
jantung dan anemia intra-uterus yang berkepanjangan. Kondisi lain yang dijumpai

adalah hepatosplenomegali, keterbelakangan dalam pertumbuhan otak, tulang dan
kelainan bentuk kardiovaskular dan pembesaran plasenta (Wilkins, 2009).
Bayi dengan hidrop fetalis hampir selalu mati dalam rahim (23-38
minggu) atau segera setelah lahir, meskipun beberapa kasus telah dijelaskan
bahwa neonatus diberikan intensif pendukung kehidupan yaitu terapi dan diobati
dengan tranfusi darah (Wilkins, 2009).
Pada Hemoglobin Bart, seorang bayi dengan Hemoglobin Bart dapat
menyebabkan kadar sel darah merah yang rendah (anemia ringan) (Chui,
2002).Jika sejumlah kecil Hemoglobin Bart pada saat lahir, biasanya akan hilang
segera setelah lahir. Ini berarti anak tersebut memiliki alpha thalassemia trait atau
silent carrier.Tes skrinning bayi baru lahir biasanya tidak bisa mendeteksi kondisi
ini.Jika sejumlah besar Hemoglobin Bart pada saat lahir, biasanya akan
ditegakkan dengan penyakit Hemoglobin H pada tes skrinning bayi baru lahir
(Chui, 2002).

2. Thalassemia Beta
Sindrom thalassemia beta adalah kelompok kelainan darah herediter yang
ditandai dengan berkurangnya atau tidak ada sintesis rantai beta globin, sehingga
mengurangi kadar hemoglobin dalam sel darah merah (RBC), penurunan produksi
RBC dan dapat mengakibatkan anemia (Suyono, 2001).Thalassemia beta terdiri

dari: (a). Thalassemia Beta Mayor ; (b). Beta Thalassemia Intermedia ; (c). Beta
Thalassemia Minor ; (d). Dominan Beta Thalassemia ; (e). Beta Thalassemia
berhubungan dengan anomali Hb.

8

Pada Thalassemia Beta Mayor, presentasi klinisnya dapat terjadi di antara
usia 6 hingga 24 bulan. Pada bayi yang terkena dapat menyebabkan gagal
berkembang dan menjadi pucat secara progresif. Adanya masalah pada intake
makanan, diare, iritabilitas, demam dengan serangan berulang, pembesaran
progresif dari perut yang disebabkan oleh limpa dan pembesaran hati juga dapat
terjadi (Aessopos, 2005).
Di beberapa negara berkembang, karena kurangnya sumber daya manusia
sehingga banyak pasien yang tidak tertangani dan tidak ditransfusi, gambaran
klinis dari thalassemia mayor tersebut dapat ditandai dengan retardasi
pertumbuhan,

pucat,

kuning,


perburukan

massa

otot,

genu

valgum,

hepatosplenomegali, kaki borok dan perubahan otot skeletal yang dihasilkan dari
ekspansi sumsum tulang. Perubahan tulang juga termasuk kelainan ada tulang
panjang pada kaki dan perubahan bentuk dari kraniofasial (malar lebih menonjol,
depresi pada jembatan dari hidung, hipertrofi maksilla yang cenderung akan lebih
memperlihatkan gigi atas) (Aessopos, 2005).
Jika program tranfusi sudah dimulai secara rutin sejak konsentrasi Hb dari
9,5-10,5 g/dL, maka pertumbuhan dan perkembangan cenderung normal hingga
10 sampai 12 tahun. Pasien yang ditransfusi dapat menyebabkan komplikasi yang
berhubungan dengan zat besi yang berlebihan bagi tubuhnya. Selain itu,

komplikasi pada anak-anak termasuk retardasi pertumbuhan dan keterlambatan
pematangan seksual. Adanya komplikasi dari zat besi yang berlebihan dapat
berhubungan dengan komplikasi pada jantung (pembesaran pada otot jantung),
hati (fibrosis dan sirosis), kelenjar endokrin (diabetes mellitus, hipogonadisme
dan insufisiensi dari kelenjar paratiroid, tiroid, pituitary dan yang paling jarang
terkena yaitu kelenjar adrenal) (Aessopos, 2005).
Komplikasi lain yang dapat terjadi yaitu hipersplenisme, hepatitis kronis
(yang dihasilkan dari infeksi virus yang dapat menyebabkan hepatitis B/C),
infeksi HIV, trombosis vena dan osteoporosis. Resiko terkena hepatoseluler
meningkat pada pasien dengan infeksi virus hati dan kadar besi yang berlebihan.
Kepatuhan pada terapi besi sangat mempengaruhi tingkat keparahan dari
terjadinya komplikasi tersebut. Individu-individu yang belum ditransfusi secara

9

teratur biasanya meninggal sebelum dekade kedua dan ketiga. Para penderita yang
telah dilakukan transfusi secara teratur dapat mencapai usia lebih dari 40 tahun.
Penyakit jantung yang disebabkan oleh siderosis dari miokard merupakan
komplikasi yang paling penting dari beban besi yang berlebihan dari beta
thalassemia. Bahkan, komplikasi jantung merupakan penyebab kematian sekitar

71% pada pasien dengan beta thalassemia mayor (Aessopos, 2005).
Pada Beta Thalassemia Intermedia, memiliki karakteristik anemia yang
lebih ringan dan tidak membutuhkan transfusi darah atau hanya kadang-kadang
jika dibutuhkan. Pada kasus yang dapat terjadi, pasien datang di antara usia 2
hingga 6 tahun dan walaupun dapat bertahan tanpa transfusi darah rutin dapat
terjadi gangguan pada pertumbuhan dan perkembangan. Pada kasus lain,pasienpasien sama sekali tidak menunjukkan gejala hingga dewasa dan hanya
mengalami anemia ringan (Hoffman, 2001).
Pada Beta Thalassemia Minor, biasanya tanpa gejala klinis namun
terkadang memiliki anemia ringan. Bila kedua orang tua merupakan pembawa
maka terdapat resiko 25% pada setiap kehamilan dengan anak yang memiliki
thalassemia homozigot (Hoffman, 2001).
Pada Dominan Beta Thalassemia, berbeda dengan pembentukan
thalassemia beta yang menyebabkan berkurangnya produksi rantai globin beta
normal. Beberapa mutasi langka dapat terjadi mengakibatkan adanya sindrom
varian beta globin yang tidak stabil yang mengendap pada eritroid dan dapat
menyebabkan eritropoiesis tidak efektif.Mutasi ini berhubungan dengan
thalassemia pada fenotip heterozigot oleh karena itu disebut sebagai dominan beta
thalassemia.Adanya hiperstabil Hb harus dicurigai pada setiap individu dengan
thalassemia intermedia dimana kedua orang tua dengan hasil darah normal atau
pada keluarga dengan pola dominan thalassemia.Beta globin tersebut yang

menetapkan diagnosis dominan beta thalassemia (Olivieri, 1999).
Pada Beta Thalassemia berhubungan dengan AnomaliHb, Interaksi HbE
dan hasil beta thalassemia pada fenotip thalassemia dapat berbeda kondisi
dimulai dari thalassemia mayor ke bentuk ringan pada thalassemia intermedia.
Dilihat dari tingkat keparahan gejala, ketiga kategori dapat di identifikasikan

10

sebagai berikut:(1). Mild HbE/ beta thalassemia; (2). Moderately severe HbE/
beta thalassemia;dan (3). Severe HbE/ beta thalassemia(Olivieri, 1999).
Mild HbE/ beta thalassemia.Hal ini diamati pada sekitar 15% dari semua
kasus di Asia Tenggara.Pada kelompok pasien dipertahankan Hb antara 9 hingga
12 g/dL dan biasanya tidak ada masalah kelainan klinis.Tidak ada pengobatan
yang diperlukan (Olivieri, 1999).
Moderately severe HbE, beta thalassemia.Mayoritas kasus HbE/ beta
thalassemia termasuk di dalam kategori ini.Kadar Hb tetap pada 6-7 g/dL dan
gejala klinis mirip dengan thalassemia intermedia.Transfusi darah tidak
diperlukan kecuali adanya infeksi dapat memicu terjadinya anemia lebih
lanjut.Kadar besi yang berlebihan dapat terjadi (Olivieri, 1999).
Severe HbE/ beta thalassemia.Kadar Hb dapat serendah 4-5 g/dL. Pasien
pada kelompok ini memiliki gejala klinis sama dengan thalassemia mayor dan
diterapi sebagai pasien dengan thalassemia mayor. Pasien dengan HbC/ beta
thalassemia dapat hidup tanpa gejala dan dapat terdiagnosa melalui tes darah
rutin.Bila terjadi, gejala klinis merupakan anemia dan pembesaran pada
limpa.Transfusi darah jarang diperlukan.Mikrositosis dan hipokrom dapat
ditemukan pada setiap kasus (Olivieri, 1999).
2.1.5. Gejala Klinis
Gejala klinis pada pasien thalassemia mayor dapat berupa: (1). Facies
colley ; (2). Pucat yang berlangsung lama ; dan (3). Perut membuncit (TIF, 2008).
Facies cooley, terjadi keaktifan sumsum tulang yang luar biasa pada tulang
muka dan tulang tengkorak hingga mengakibatkan pertumbuhan tulang tersebut
dan umumnya terjadi pada anak usia lebih dari 2 tahun (TIF, 2008).
Pucat yang berlangsung lama, merupakan gejala umum pada penderita
thalassemia, yang berkaitan dengan anemia berat (TIF, 2008).
Perut membuncit, akibat pembesaran hati dan limpa.Hati dan limpa
membesar akibat dari hemopoiesis ekstrameduler dan hemosiderosis.Dan akibat
dari penghancuran eritrosit yang berlebihan, maka terjadi peningkatan bilirubin

11

indirek, sehingga menimbulkan kuning pada penderita thalassemia dan kadang
ditemui trombositopenia (TIF, 2008).
Gejala klinis lain yang dapat ditemukan yaitu: (1). Pada anak yang cukup
mendapat transfusi, pertumbuhan dan perkembangannya biasanya normal. Bila
terapi kelasi efektif, anak tersebut bisa mencapai pubertas dan terus mencapai usia
dewasa secara normal. Bila terapi kelasi tidak efektif, maka secara bertahap akan
terjadi penumpukan zat besi. Efeknya mulai tampak pada akhir dekade pertama,
efeknya dapat berupa komplikasi hati, endokrin dan jantung akibat kelebihan zat
besi mulai tampak, termasuk diabetes, hipertiroid, hipoparatiroid, dan kegagalan
hati progresif dan tanda-tanda seks sekunder akan terlambat atau tidak muncul
(TIF, 2008). ; (2).Gambaran klinis pasien yang tidak mendapat transfusi adekuat
sangat berbeda. Pertumbuhan dan perkembangan sangat terlambat dan
pembesaran

limpa

progresif.

Terjadi

perluasan

sumsum

tulang

yang

mengakibatkan deformitas tulang kepala, dengan zigoma yang menonjol,
memberikan gambaran khas wajah mongoloid. Pasien dapat terlihat pucat, kuning,
perut membesar oleh karena splenomegali (TIF, 2008).

2.1.6. Diagnosis
Penyakit thalassemia ini dapat di diagnosis dengan cara sebagai berikut:
(a). Anamnesa ; (b). Pemeriksaan fisik ; dan (c). Pemeriksaan penunjang
(Lawrence, 2003).
Pada anamnesa, penderita pertama datang dengan keluhan anemia/pucat,
tidak nafsu makan dan perut membesar. Keluhan umumnya muncul pada usia 6
bulan (Lawrence, 2003).
Pada Pemeriksaan fisik, didapati penderita thalassemia dengan bentuk
muka mongoloid (facies Cooley), ikterus, gangguan pertumbuhan, splenomegali
dan hepatomegaliyang menyebabkan perut membesar (Lawrence, 2003).
Pada Pemeriksaan penunjang, pemeriksaan laboratorium yang dilakukan
meliputi :Hb bisa sampai 2-3 g%, gambaran morfologi eritrosit ditemukan
mikrositik hipokromik, sel target, anisositosis berat dengan makroofalositosis,
mikrosferosit, polikromasi, basophilic stippling, benda Howell-Jolly,poikilositosis

12

dan sel target (Lawrence, 2003).
Pemeriksaan khusus juga diperlukan untuk menegakkan diagnosis
meliputi: Hb F meningkat 20%-90%, elektroforesis Hb (Lawrence, 2003).
Pembawa sifat penyakit thalassemia alpha.Pasien dengan 2 gen globin
alphaakan mengalami anemia ringan, dengan kadar hematokrit antara 28%
sampai 40%. Kadar volume eritrosit rata-rata (MCV) turun nyata (60-75fL)
meskipun pada derajat anemia yang paling ringan, Angka eritrosit bisa normal
atau meningkat.Angka retikulosit dalam batas normal.Elektroforesis hemoglobin
menunjukkan tidak ada peningkatan presentasi hemoglobin A2 atau F dan tidak
didapatkan hemoglobin H (Lawrence, 2003).
Penyakit hemoglobin H. Pada pasien ini terdapat anemia hemolitik dengan
derajat yang bervariasi.Kadar hematokrit 28% sampai 32%.Kadar MCV turun
nyata (60-70fL).Apusan darah tepi menunjukkan abnormalitas, hipokromi,
mikrositosis,

sel

target

dan

poikilositosis.Angka

retikulosis

meningkat.Elektroforesis hemoglobin menunjukkan adanya migrasi hemoglobin
yang berlangsung cepat(Lawrence, 2003).
Thalassemia beta minor. Pasien akan mengalami anemia ringan dengan
hematokrit berkisar antara 28% sampai 40%. Kadar MCV antara 55-75fL, dan
angka eritrosit bisa normal ataupun meningkat.Apusan darah tepi menunjukkan
abnormalitas ringan, dengan hipokromi, mikrositosis, dan sel target.Pada
thalassemia beta minor bisa dijumpai basophil stippling.Angka retikulosit bisa
normal atau sedikit meningkat. Elektroforesis hemoglobin menunjukkan
peningkatan hemoglobin A2 sampai 48%, dan terkadang didapatkan peningkatan
hemoglobin F 1-5% (Lawrence, 2003).
Thalassemia beta mayor. Thalassemia beta mayor menyebabkan anemia
berat, dan tanpa transfusi hematokrit dapat turun sampai di bawah 10%.Apusan
darah tepi menunjukkan abnormalitas (bizzare), adanya poikilositosis berat,
hipokromi, mikrositosis, sel target, basophil stippling dan eritrosit berinti.Tidak
didapati atau hanya sedikit terdapat hemoglobin A. Tampak hemoglobin A2
dengan jumlah bervariasi, danhemoglobin utama adalah hemoglobin F (Lawrence,
2003).

13

2.1.7. Terapi pada Thalassemia Mayor
Pengobatan pada penderita thalassemia dapat dilakukan dengan 3 cara,
yaitu dengan pemberian medikamentosa, terapi suportif dan terapi bedah. Macammacam terapi medikamentosa yaitu: (1). Pemberian iron chelating agent
(desferoxamine) ; (2). Vitamin C ; (c). Asam folat ; dan (d). Vitamin E(Bacon,
1996).
Pemberian iron chelating agent (desferoxamine), diberikan setelah kadar
ferritin serum mencapai 1000 mg/l atau saturasi ferritin lebih dari 50%.
Desferoxamine dengan dosis 25-50 mg/kg BB/hari subkutan melalui infus dalam
waktu 8-12 jam minimal selama 5 hari berturut setiap selesai transfusi darah
(Bacon, 1996).
Vitamin C di berikan dengan dosis 100-250 mg/hari selama pemberian
khalesi besi. Asam folat di berikan dengan dosis 2-5 mg/hari untuk memenuhi
kebutuhan yang meningkat. Vitamin E di berikan dengan dosis 200-400 IU setiap
hari sebagai antioksidan untuk memperpanjang umur sel darah merah(Bacon,
1996).
Terapi suportif pada thalassemia mayor adalah transfusi darah.Tujuan
terapi transfusi adalah untuk mengkoreksi anemia, menekan eritropoiesis dan
menghambat penyerapan besi pada saluran cerna dimana terjadi pada pasien yang
tidak ditransfusi. Keputusan untuk memulai terapi transfusi pada pasien dengan
diagnosis thalassemia harus berdasarkan dengan adanya anemia berat (Hb < 7
g/dL selama lebih dari dua minggu, tidak termasuk dengan adanya penyebab
lainnya seperti infeksi) (Lawrence, 2003).
Hemosiderosis adalah akibat terapi transfusi jangka panjang, yang tidak
dapat di hindari karena setiap 500 ml darah membawa kira-kira 200 mg besi ke
jaringan yang tidak dapat di ekskresikan secara fisiologis. Hemosiderosis dapat di
turunkan atau bahkan di cegah dengan pemberian parenteral obat pengkelasi besi
(iron chelating drugs) deferoksamin, yang membentuk kompleks besi yang dapat
di ekskresikan dalam urin (Lawrence, 2003).
Terapi bedah yang dapat dilakukan pada pasien thalassemia mayor yaitu
splenoktomi dan transplantasi sumsum tulang. Splenoktomi, transfusi yang terus

14

menerus menjadi salah satu pertimbangan untuk dilakukannya tindakan
splenoktomikarena dapat mengurangi hemolisis. Adapun indikasi dilakukannya
tindakan splenoktomi adalah limpa yang terlalu besar sehingga membatasi gerak
pasien dan menimbulkan peningkatan tekanan intra abdomen dan bahaya
terjadinya ruptur (Lawrence, 2003). Transplantasi sumsum tulangumumnya lebih
efektif dari transfusi darah, akan tetapi membutuhkan sarana yang khusus dan
biaya yang lebih besar, maka dari itu transplantasi sumsum tulang jarang
dilakukan (Lawrence, 2003).

2.2. Hati
Hati merupakan organ intestinal terbesar yang terletak dalam rongga perut
sebelah kanan atas tepatnya di bawah diafragma dan disamping kirinya terletak
organ limpa. Hati terbagi atas dua bagian besar yaitu lobus kanan dan kiri, juga
satu bagian kecil ditengah yaitu lobus asesorius. Hati tersusun atas tiga jaringan
yang meliputi saluran empedu, susunan pembuluh darah dan sel parenkim. Di
antara lembaran sel hati terdapat kapiler yang disebut sinusoid yang merupakan
cabang vena porta dan arteri hepatica. Sinusoid dibatasi oleh sel fagositik (sel
kupffer) yang merupakan sistem retikuloendotelial dan berfungsi menghancurkan
bakteri dan benda asing lain di dalam tubuh. Jadi, hati merupakan salah satu organ
utama pertahanan tubuh terhadap serangan bakteri dan organ toksik (Maller,
1994).
Hati merupakan organ terbesar dalam tubuh dan memiliki peran penting
dalam metabolisme dan berbagai fungsi tubuh yang lain. Kelainan yang terjadi
pada penyakit hati oleh karena penyebab tertentu, dapat merupakan kelainan
fungsi metabolisme (fungsi sintesis, penyimpanan dan ekskresi), kelainan fungsi
pertahanan tubuh (fungsi penawar racun) dan kerusakan sel hati (Kaplan, 1993).

2.2.1.Fungsi hati
Fungsi utama hati adalah pembentukan dan ekskresi empedu.Hati
mengekskresikan empedu sebanyak satu liter per hari ke dalam usus halus.Unsur
utama empedu adalah air (97%), elektrolit, garam empedu.Walaupun bilirubin

15

(pigmen empedu) merupakan hasil akhir metabolisme dan secara fisiologis tidak
memiliki peran aktif, tapi penting sebagai indikator penyakit hati dan saluran
empedu, karena bilirubin dapat memberi warna pada jaringan dan cairan yang
berhubungan dengannya (Kaplan, 1993).
Fungsi hati dalam metabolisme protein adalah menghasilkan protein
plasma berupa albumin (yang diperlukan untuk mempertahankan tekanan osmotik
koloid), protombin, fibrinogen, dan faktor bekuan lainnya (Kaplan, 1993).
Fungsi hati dalam metabolisme lemak adalah menghasilkan lipoprotein,
kolesterol, fosfolipid dan asam asetoasetat.Hati mempunyai multi fungsi yang
berkaitan dengan metabolisme makan gangguan faal hati dapat disebabkan oleh
kelainan prehepatik, intra hepatik dan post-hepatik. Kelainan prehepatik misalnya
pada anemia hemolitik, kelainan intrahepatik atau hepatoseluler misalnya pada
hepatitis, sirosis, dan karsinoma hepatis.Sedangkan kelainan post hepatik karena
adanya tumor (Kaplan, 1993).
2.2.2.

Pemeriksaan laboratorium fungsi hati
Organ hati terdapat enzim-enzim sebagai detoksifikasi pada hati, sehingga

enzim-enzim tersebut dapat digunakan sebagai parameter kerusakan hati. Dua
macam enzim transaminase yang sering digunakan dalam diagnosis klinik
kerusakan sel hati adalah SGOT dan SGPT. Transaminaseadalah sekelompok
enzim yang berkerja sebagai katalisator dalam proses pemindahan gugus amino
dari suatu asam alfa amino ke suatu asam alfa keto. Transamine dalam plasma
pada kadar di atas nilai normal memberi gambaran peningkatan kecepatan
kerusakan jaringan (Combes, 1969).
SGOT dan SGPT dalam jumlah kecil di produksi oleh sel otot, jantung,
pankreas, dan ginjal. Sel-sel otot apabila mengalami kerusakan maka kadar kedua
enzim ini pun meningkat. Kerusakan sel-sel otot dapat disebabkan oleh aktivitas
fisik yang berat, luka, atau trauma (Combes, 1969).
SGOT disebut juga AST (aspartate aminotransferase).AST adalah protein
yang terbuat dari sel hati. Ketika sel-sel hati hancur, SGOT keluar ke pembuluh
darah dan nilai SGOT di dalam darah akan meningkat dari normal. Kenaikan

16

SGOT bisa bermakna kelainan non hepatik atau kelainan hati yang didominasi
kerusakan mitokondria karena SGOT berada dalam sitosol dan mitokondria
(Kelly, 1999).
SGPTdisebut

juga

ALT

(alanine

aminotransferase).Jaringan

hati

mengandung banyak SGPT daripada SGOT.SGPT paling banyak ditemukan
dalam sitoplasma sel hati, sehingga dianggap lebih spesifik untuk mendeteksi
kelainan hati di banding SGOT.Biasanya peningkatan SGPT terjadi bila kerusakan
pada selaput sel hati.Setiap jenis peradangan hati dapat menyebabkan peningkatan
pada SGPT.Peradangan pada hati dapat disebabkan oleh hepatitis virus, obatobatan, penggunaan alcohol, dan penyakit pada saluran cerna empedu (Kelly,
1999).
Pemeriksaan fungsi hati juga dapat dilakukan dengan pemeriksaan berikut:
(1). Alkaline phosphatase (ALP) ; (2). Gamma-glutamyltransferase (GGT) ; (3).
Albumin ; (4). Bilirubin ; dan (5). Lactat dehydrogenase(LDH)

(Combes,

1969).
Alkaline Phosphatase (ALP). ALP tinggi terdapat pada hati, saluran
empedu, plasenta, dan tulang. Enzim ini terutama terlibat dalam diagnosis
obstruksi empedu dan biasanya ditemukan pada dinding duktus intra dan ekstra
biller di hati. Jika ditemukan dalam tulang dan plasenta sehingga terjadi
peningkatan kadar ALP, mungkin hal ini disebabkan karena masalah di luar hati
seperti keganasan (Combes, 1969).
Gamma-Glutamyltransferase (GGT). Tes untuk mengukur jumlah enzim
GGT dalam darah. Enzim GGT terutama terdapat di hati, ginjal saluran empedu
dan pankreas. Enzim ini diperiksa untuk menentukan disfungsi sel hati atau
saluran empedu dan mendeteksi penyakit hati yang diinduksi oleh alkohol
(Whitby, 1980).
Albumin. Albumin merupakan substansi terbesar dari protein yang
diproduksi oleh hati dari asam amino yang diambil dari makanan.Albumin
berfungsi dalam mengatur tekanan onkotik sebagai pengangkut nutrisi, hormon,
asam lemak, dan zat sampah.Albumin juga membantu pergerakan molekulmolekul kecil dalam darah, termasuk bilirubin, kalsium, progesterone dan obat-

17

obatan.Hal ini merupakan peranan penting dalam menjaga cairan darah bocor
keluar ke jaringan (Soelaiman, 1976).
Pada penyakit hati yang luas, baru terjadi penurunan kadar albumin. Tetapi
kadar albumin yang rendah bukan hanya disebabkan kelainan hati, melainkan
dapat juga disebabkan adanya kebocoran albumin di tempat lain seperti pada
ginjal, usus, kulit yang disebabkan oleh peradangan atau infeksi (Soelaiman,
1976).
Bilirubin. Bilirubin merupakan pigmen kekuningan yang ditemukan pada
cairan empedu, yang dihasilkan oleh hati.Bilirubin di produksi sebagai hasil
pemecahan sel darah merah dalam tubuh (Zilva, 1979).
Bilirubin dalam jumlah besar di dalam tubuh dapat menyebabkan penyakit
kuning.Pasien kuning memiliki perubahan warna kulit dan sklera mata menjadi
kuning.Pemeriksaan ini dapat dilakukan untuk mendiagnosis masalah hati atau
kantung empedu. Namun, bilirubin tidak hanya meningkat pada penyakit hati,
tetapi bisa juga karena kondisi lain yang menyebabkan peningkatan kerusakan sel
darah merah (Zilva, 1979).
Lactat Dehydrogenase (LDH). Laktat dehidrogenase (LDH) adalah enzim
intraseluler yang terdapat pada hampir semua sel yang bermetabolisme, dengan
konsentrasi tertinggi dijumpai di jantung, otot rangka, hati, ginjal, otak, dan sel
darah merah (Soelaiman, 1976).
Hati merupakan organ terpenting untuk penyimpanan besi dengan kapasitas
terbesar untuk mensekuestrasi kelebihan besi. Perubahan periodik disfungsi organ
telah dipelajari pada pasien dengan thalassemia beta homozigot. Biasanya dalam
waktu 2 tahun transfusi, abnormalitas fungsi hati seperti peningkatan enzim
transaminase tidak terlalu nyata dan biasanya berada dalam batas normal atau
hanya sedikit meningkat. Selama periode ini, pemeriksaan biopsi hati akan
menunjukkan fibrosis ringan dengan inflamasi ringan dan deposisi besi. Secara
klinis, hati menjadi besar dan dapat dipalpasi dan pemeriksaan fungsi hati lainnya
dalam rentang normal atau sedikit meningkat. Oleh karenanya penting untuk
pasien-pasien tergantung transfusi dinilai secara menyeluruh untuk memastikan
adanya kelainan hati fibrotik atau sirosis dengan pemeriksaan CT-Scan, MRI dan

18

analisis biokimia termasuk pemeriksaan transaminase serum (Tavill, 1993).
2.2.3. Gambaran Biokimia Hati Pada Thalassemia Mayor
Thalassemia merupakan penyakit hemolitik kronis dengan gejala utama
anemia dan memerlukan transfusi darah berulang. Transfusi darah berulang dan
peningkatan absorpsi besi di usus sebagai akibat eritropoiesis yang tidak efektif
pada penderita thalassemia menyebabkan penimbunan besi. Hati merupakan
organ utama yang terganggu karena hati merupakan tempat penyimpanan utama
cadangan besi. Pada keadaan penimbunan besi, kadar besi serum, saturasi
transferin dan feritin akan meningkat serta transferin binding capacity (TBC)
terlampaui, hal ini dapat menyebabkan reaksi radikal bebas yang bersifat
sitotoksik sehingga mengakibatkan kerusakan oksidasi lipid, protein dan asam
nukleat. Penimbunan besi kronis di hati mengakibatkan fibrosis serta sirosis hati,
dan biopsi hati merupakan baku emas untuk menilai penimbunan besi di hati juga
dapat memberi informasi mengenai derajat kerusakan hati. terhadap setiap donor
darah (Bacon, 1993).
Pada keadaan penimbunan besi, terjadi peningkatan kadar besi serum,
feritin serum dan saturasi transferin. Saturasi transferin umumnya mencapai lebih
dari 80%. Sebagai akibat peroksidasi lipid, maka akan terjadi kerusakan sel hati.
Seperti pada kerusakan sel hati akibat penyebab yang lain, penimbunan besi akan
menyebabkan peningkatan kadar enzim transaminase serum, yaitu SGOT dan
SGPT (Kaplan, 1993).
Pasien thalassemia mayor sangat ketergantungan dengan transfusi darah,
karena terjadi kerusakan 2 gen yang mensintesis rantai

pada globin, sehingga

penderitanya tidak dapat mensistesis hemoglobin normal, akibatnya akan terjadi
anemia berat, dan untuk menaikkan kadar Hb perlu dilakukan transfusi darah
secara rutin. Untuk mengetahui efek yang timbul dan terapi transfusi darah
terhadap nilai SGOT dan SGPT (Kelly, 1999).
SGOT dan SGPT adalah enzim yang terdapat di dalam hati yang berperan
dalam sintesis protein di hati. Serium aminotransferase merupakan indikator yang

19

sensitif untuk menunjukkan cedera sel hati dan sangat membantu dalam
pendeteksian penyakit hati (Suyono, 2001).
Transfusi darah yang terlalu sering dilakukan dapat mengakibatkan
penumpukan besi (Fe) di jaringan, salah satunya di hati, karena besi (Fe)
terkandung dalam setiap sel darah merah yang ditransfusikan. Semua racun atau
senyawa-senyawa yang dapat berbahaya bagi tubuh akan menumpuk di hati untuk
di detoksifikasi. Dalam keadaan normal, setelah 120 hari sel darah merah akan
mengalami apoptosis dan komponen-komponen penyusunnya akan diuraikan dan
selanjutnya digunakan kembali untuk eritropoiesis. Besi yang di bebaskan dari
proses tersebut dibawa ke dalam system retikuloendotelial/makrofag (hati, limpa
dan sumsum tulang) dan digunakan kembali untuk eritropoiesis. Penumpukan besi
(Fe) dalam hati menyebabkan timbulnya aktifitas oksigen atau radikal bebas.
Radikal bebas inilah yang dapat merusak lapisan lemak dan protein pada
membrane dan organel sel hati, sehingga dapat menyebabkan nekrosis atau
kebocoran membran sel hati. Akibatnya, enzim SGOT dan SGPT yang secara
normal terdapat dalam sel hati keluar ke plasma. Kedua kadar enzim inilah yang
diukur untuk mengetahui adanya kerusakan fungsi hati (Ganie, 2005).