KENDALA and HAMBATAN TERKAIT PENGELOLAAN

KENDALA & HAMBATAN
TERKAIT PENGELOLAAN TATA RUANG LAUT
DI INDONESIA

Disusun oleh :
Muhammad Shohib
2011.06.0.0052

Fakultas Hukum
Universitas Hang Tuah Surabaya
2015

KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis panjatkan atas kehadirat Tuhan Yang Maha Esa,
Karena atas limpahan karunia-Nya, Penulis dapat menyelesaikan tugas
SUMBERDAYA KELAUTAN dan makalah yang berjudul KENDALA Dan
HAMBATAN TERKAIT PENGELOLAAN TATA RUANG LAUT DI INDONESIA.
Penulis mengucapkan banyak terima kasih kepada dosen pengajar
mata kuliah SUMBERDAYA KELAUTAN yang telah memberikan ilmu serta
bimbingannya


kepada penulis sehingga dapat menyelesaikan makalah

ini. Selain itu tidak lupa kami ucapkan terima kasih kepada teman-teman
yang selalu membantu serta mendukung penulis dalam membuat
makalah ini sehingga sekarang ini dapat dipelajari guna mengambil
manfaatnya.
Penulis menyadari bahwa masih begitu banyak kekurangan dalam
menyusun makalah ini. Oleh karena itu masukan dari semua pihak yang
bersifat membangun sangat kami harapkan guna menjadi evaluasi bagi
penulis agar di lain kesempatan penulis dapat menyusun makalah dengan
lebih baik lagi .
Demikian sedikit pengantar dari penulis, Semoga makalah ini dapat
menambah pengetahuan dan wawasan bagi pembaca.

Penulis

Surabaya, 29 January
2015


DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR………………………………………………………………………….
DAFTAR ISI……………………………………………………………………………………
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang…………………………………………………………………
B. Rumusan Masalah………………………………………………………..…….
C. Pengertian dan karakteristik wilayah laut dan pesisir………………………….
D. Tujuan……………………………………………………………………..…...
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
A.
B.
C.
D.

Pengertian Ruan, dalam UU no 26 Tahun 2007……………………………….
Prinsip penataan ruan laut, pesisir dan pulau-pulau kecil……………………..
Hak, Kewajiban, dan Peran masyarakat……………………………………….
Laut sebagai sumberdaya dan ekosistem………………………………………


BAB III PEMBAHASAN
A. Isu dan permasalahan dalam pengelolaan wilayah laut dan pesisir……………
B. Kedudukan pengolahan wilayah laut dan pesisir dalam penataan ruang wilaya
C. Kebijakan dan strategi pengelolaan wilayah laut dan pesisir………………….
BAB IV PENUTUP
A. Kesimpulan…..………………………………………………………………...
B. Saran…………………………………………………………………………...

DAFTAR PUSTAKA…………………………………………………………………………...

1

BAB I

PENDAHULUAN
1.1 LATAR BELAKANG
Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) merupakan negara kepulauan
terbesar di dunia, yang memiliki ± 18.110 pulau dengan garis pantai sepanjang
108.000 km. Berdasarkan Konvensi Hukum Laut (UNCLOS) 1982, Indonesia
memiliki kedaulatan atas wilayah perairan seluas 3,2 juta km2 yang terdiri dari

perairan kepulauan seluas 2,9 juta km2 dan laut teritorial seluas 0,3 juta km2. Selain
itu Indonesia juga mempunyai hak eksklusif untuk memanfaatkan sumber daya
kelautan dan berbagai kepentingan terkait seluas 2,7 km2 pada perairan ZEE (sampai
dengan 200 mil dari garis pangkal).
Sebagai negara kepulauan, laut dan wilayah pesisir memiliki nilai strategis
dengan berbagai keunggulan komparatif dan kompetitif yang dimilikinya sehingga
berpotensi menjadi prime mover pengembangan wilayah nasional. Bahkan secara
historis menunjukan bahwa wilayah pesisir ini telah berfungsi sebagai pusat kegiatan
masyarakat karena berbagai keunggulan fisik dan geografis yang dimilikinya.
Untuk mengoptimalkan nilai manfaat sumberdaya laut dan pesisir bagi
pengembangan wilayah secara berkelanjutan dan menjamin kepentingan umum secara
luas (public interest), diperlukan intervensi kebijakan dan penanganan khusus oleh
Pemerintah untuk pengelolaan wilayah laut dan pesisir. Hal ini seiring dengan agenda
Kabinet Gotong Royong untuk menormalisasi kehidupan ekonomi dan memperkuat
dasar bagi kehidupan perekonomian rakyat melalui upaya pembangunan yang
didasarkan atas sumber daya setempat (resourcebased development), dimana
sumberdaya pesisir dan lautan saat ini didorong pemanfaatannya, sebagai salah satu
andalan bagi pemulihan perekonomian nasional, disamping sumberdaya alam darat.
Agar pemanfaatan sumber daya laut dan pesisir dapat terselenggara secara
optimal, diperlukan upaya penataan ruang sebagai salah satu bentuk intervensi

kebijakan dan penanganan khusus dari pemerintah dengan memperhatikan
kepentingan stakeholders lainnya. Selain itu, implementasi penataan ruang perlu
didukung oleh program-program sektoral baik yang diselenggarakan oleh Pemerintah
Pusat, Pemerintah Daerah, dan masyarakat, termasuk dunia usaha. Makalah ini
bertujuan untuk memberikan deskripsi hal-hal yang berkaitan dengan pengelolaan

wilayah laut dan pesisir serta dukungan sektor terkait dalam pengelolaan wilayah laut
dan pesisir.
Salah satu pembangunan nasional yang mempunyai kedudukan penting dalam
pembangunan nasional di Indonesia adalah pembangunan penataan ruang dan
lingkungan hidup. Hal ini disebabkan aspek penataan ruang serta lingkungan hidup
terkait dengan hampir semua kegiatan dalam kehidupan manusia. Untuk upaya dalam
pelaksanaan pembangunan selalu dikaitkan dengan kepentingan pelestarian fungsi
lingkungan hidup dan pengembangan tata ruang.
Berkaitan dengan hal tersebut, peranan tata ruang yang pada hakekatnya
dimaksudkan untuk mencapai pemanfaatan sumber daya optimal dengan sedapat
mungkin menghindari konflik pemanfaatan sumber daya, dapat mencegah timbulnya
kerusakan lingkungan hidup serta meningkatkan keselarasan. Dalam lingkup tata
ruang itulah maka pemanfaatan dan alokasi lahan menjadi bagian yang tidak
terpisahkan dengan konsep ruang dalam pembangunan baik sebagai hasil atau akibat

dari pembangunan maupun sebagai arahan atau rencana pembangunan yang
dikehendaki. Kenyataan yang terjadi akhir-akhir ini menegaskan beberapa isu
strategis dalam penyelenggaraan penataan ruang nasional, yakni:
1. Terjadinya konflik kepentingan antar-sektor, seperti pertambangan,
lingkungan hidup, kehutanan, prasarana wilayah, dan sebagainya.
2. Belum berfungsinya secara optimal penataan ruang dalam rangka
menyelaraskan, mensinkronkan, dan memadukan berbagai rencana dan
program sektor.
3. Terjadinya penyimpangan pemanfaatan ruang dari ketentuan dan
norma yang seharusnya ditegakkan. Penyebabnya adalah inkonsistensi
kebijakan terhadap rencana tata ruang serta kelemahan dalam
pengendalian pembangunan.
4. Belum tersedianya alokasi fungsi-fungsi yang tegas dalam Rencana
Tata Ruang Wiyah Nasional atau RTRWN. Kelima, belum adanya
keterbukaan dan keikhlasan dalam menempatkan kepentingan sektor
dan wilayah dalam kerangka penataan ruang. Keenam, kurangnya
kemampuan menahan diri dari keinginan membela kepentingan
masing-masing secara berlebihan.

1.2 PENGERTIAN DAN KARAKTERISTIK WILAYAH LAUT DAN PESISIR

Perairan Indonesia, wilayah perairan Indonesia mencakup1:
A. Laut teritorial Indonesia; adalah jalur laut selebar 12 mil laut diukur dari garis
pangkal kepulauan Indonesia,
B. Perairan Kepulauan; adalah semua perairan yang terletak pada sisi dalam garis
pangkal lurus kepulauan tanpa memperhatikan kedalaman dan jarak dari
pantai.
C. Perairan pedalaman; adalah semua perairan yang terletak pada sisi darat dari
garis air rendah dari pantai-pantai Indonesia, termasuk ke dalamnya semua
bagian dari perairan yang terletak pada sisi darat pada suatu garis penutup.
Menurut Dayan2, perairan pedalaman adalah perairan yang terletak di mulut
sungai, teluk yang lebar mulutnyanya tidak lebih dari 24 mil laut, dan dipelabuhan. Di
luar wilayah kedaulatannya Indonesia mempunyai hak-hak ekseklusif dalam
memanfaatkan sumber daya kelautan yang terkandung dalam Zona Ekonomi Ekseklusif
(ZEE) dan Landas Kontinen menurut United Nation Conventions on The Law of The
Sea (UNCLOS) 1982.
A. Zona Ekonomi Ekseklusif adalah suatu bagian wilayah laut di luar dan
berdampingan dengan laut teritorial, yang tunduk pada rezim hukum khusus yang
ditetapkan dalam Bab V UNCLOS-82. ZEE mencakup wilayah laut sampai dengan
200 mil diukur dari garis pangkal. Di dalam ZEE Indonesia memiliki hak-hak
berikut:

1) Hak berdaulat untuk mengeksplorasi kekayaan alam atau eksploitasi
sumber daya alam yang bernilai ekonomi.
2) Hak yurisdiksi (kewenangan) yang berhubungan dengan pendirian dan
pemanfaatan pulau buatan, instalasi bangunan-bangunan, penelitian,
dan perlindungan serta pemeliharaan lingkungan laut.
3) Hak-hak dan kewajiban lainnya sesuai ketentuan UNCLOS-82.
Berkaitan dengan hak-hak tersebut, Indonesia dituntut untuk menetapkan dan
mengumumkan allowable catch di ZEE Indonesia. Hal ini berkaitan dengan ketentuan
UNCLOS-82 bahwa negara lain, terutama yang tidak memiliki pantai, berhak untuk
1 Lihat, Pasal 3 UU No. 6 tahun 1996 tentang Perairan Indonesia
2 Dayan. La Ode, Tindak Lanjut Atas Berlakunya Konvensi Hukum Laut Internasional tahun 1982 Terhadap
Kedaulatan Negara Kesatuan Republik Indonesia, Kertas Karya Perorangan, Kursus Reguler Angkatan XXVIII
Lemhanas, 1985.

memanfaatkan ”surplus” yang tidak dimanfaatkan oleh negara pantai yang memiliki
ZEE.
B. Landas Kontinen adalah dasar laut dan tanah di bawahnya di luar wilayah darat
negara yang bersangkutan, sampai pada pinggir terluar dari tepian kontinen
(continental margin). Beberapa ketentuan tambahan tentang landas kontinen adalah
sebagai berikut:

1) Bila pinggir terluar tepian kontinen berjarak kurang dari 200 mil dari
garis pangkal, batas landas kontinen ditetapkan 200 mil dari garis
pangkal (sama dengan ZEE).
2) Bila pinggir terluar tepian kontinen berjarak lebih dari 200 mil dari
garis pangkal, maka batas landas kontinen ditetapkan maksimal 350
mil dari garis pangkal atau 100 mil laut dari batas kedalaman 2.500
meter isodepth.
Sebagaimana ZEE, Indonesia juga memiliki hak untuk berdaulat atas
eksplorasi dan eksploitasi sumber daya alam yang terkandung di landas kontinen. Hak
pemanfaatan sumber daya alam di ZEE dan landas kontinen merupakan suatu hal
yang perlu dipertimbangkan dalam pelaksanaan pembangunan, sejak dari perencanaan
hingga pengendalian pemanfaatannya.
Karakteristik umum dari wilayah laut dan pesisir dapat disampaikan
sebagai berikut:
1) Laut merupakan sumber dari “common property resources” (sumber
daya

milik

bersama),


sehingga

kawasan

memiliki

fungsi

publik/kepentingan umum.
2) Laut merupakan “open access regime”, memungkinkan siapa pun
untuk memanfaatkan ruang untuk berbagai kepentingan.
3) Laut bersifat “fluida”, dimana sumber daya (biota laut) dan dinamika
hydrooceanography tidak dapat disekat/dikapling.
4) Pesisir merupakan kawasan yang strategis karena memiliki topografi
yang relatif mudah dikembangkan dan memiliki akses yang sangat
baik (dengan memanfaatkan laut sebagai “prasarana” pergerakan.

5) Pesisir merupakan kawasan yang kaya akan sumber daya alam, baik
yang terdapat di ruang daratan maupun ruang lautan, yang dibutuhkan

untuk memenuhi kebutuhan manusia.
Wilayah laut dan pesisir beserta sumberdaya alamnya memiliki makna
strategis bagi pembangunan ekonomi Indonesia, karena dapat diandalkan sebagai
salah satu pilar ekonomi nasional. Disamping itu, fakta-fakta yang telah dikemukakan
beberapa ahli dalam berbagai kesempatan, juga mengindikasikan hal yang serupa.
Fakta-fakta tersebut antara lain adalah:
1) Secara sosial, wilayah pesisir dihuni tidak kurang dari 110 juta jiwa
atau 60% dari penduduk Indonesia yang bertempat tinggal dalam
radius 50 km dari garis pantai3. Dapat dikatakan bahwa wilayah ini
merupakan cikal bakal perkembangan urbanisasi Indonesia pada masa
yang akan datang.
2) Secara administratif kurang lebih 42 Daerah Kota dan 181 Daerah
Kabupaten berada di pesisir, dimana dengan adanya otonomi daerah
masing-masing daerah otonom tersebut memeliki kewenangan yang
lebih luas dalam pengelolaan dan pemanfaatan wilayah pesisir.
3) Secara fisik, terdapat pusat-pusat pelayanan sosial-ekonomi yang
tersebar mulai dari Sabang hingga Jayapura, dimana didalamnya
terkandung berbagai asset sosial (Social Overhead Capital) dan
ekonomi yang memiliki nilai ekonomi dan finansial yang sangat
besar.
4) Secara ekonomi, hasil sumberdaya pesisir telah memberikan
kontribusi terhadap pembentukan PDB nasional sebesar 24% pada
tahun 1989.
Selain itu, pada wilayah ini juga terdapat berbagai sumber daya masa depan
(future resources) dengan memperhatikan berbagai potensinya yang pada saat ini belum
dikembangkan secara optimal, antara lain potensi perikanan yang saat ini baru sekitar
58,5% dari potensi lestarinya yang termanfaatkan.

1.3 RUMUSAN MASALAH
1. Isu dan permasalahan dalam pengelolaan wilayah laut dan pesisir ?
3 Kantor Kementrian Negara Lingkungan Hidup (1998)

2. Kedudukan pengelolaan wilayah laut dan pesisir dalam penataan ruang
wilayah ?
3. Kebijakan dan strategi pengelolaan wilayah laut dan pesisir ?

1.4 TUJUAN
1. Agar mendapatkan pengetahuan lebih jelas dalam permasalahan penanganan
dan pengelolaan wilayah laut.
2. Mendapatkan kejelasan dalam kedudukan pengolahan wilayah laut dan pesisir
dalam pemetaan ruang wilayahnya.
3. Untuk mengetahui langkah kedepan dan kebijakan-kebijakan pemerintah
dalam mengatasi permasalahan strategi pengelolaan wilayah laut dan pesisir.

2

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA
2.1 PENGERTIAN RUANG, DALAM UU No. 26 TAHUN 2007
Ruang adalah wadah yang meliputi ruang darat, ruang laut, dan ruang udara,
termasuk ruang di dalam bumi sebagai satu kesatuan wilayah, tempat manusia dan
makhluk lain hidup, melakukan kegiatan, dan memelihara kelangsungan hidupnya. Tata
ruang adalah wujud struktur ruang dan pola ruang. Struktur ruang adalah susunan
pusat-pusat permukiman dan sistem jaringan prasarana dan sarana yang berfungsi
sebagai pendukung kegiatan sosial ekonomi masyarakat yang secara hierarkis memiliki
hubungan fungsional. Pola ruang adalah distribusi peruntukan ruang dalam suatu
wilayah yang meliputi peruntukan ruang untuk fungsi lindung dan peruntukan ruang
untuk fungsi budi daya. Penataan ruang adalah suatu sistem proses perencanaan tata
ruang, pemanfaatan ruang, dan pengendalian pemanfaatan ruang. Penyelanggaraaan
prnataan ruang.
pemerintah pusat selanjutnya disebut Pemerintah, adalah Presiden Republik
Indonesia yang memegang kekuasaan pemerintahan negara Republik Indonesia
sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia
Tahun 1945. Pemerintah daerah adalah Gubernur, Bupati, atau Walikota, dan perangkat
daerah sebagai unsur penyelenggara pemerintahan daerah. Pengaturan penataan ruang
adalah upaya pembentukan landasan hukum bagi Pemerintah, pemerintah daerah, dan
masyarakat dalam penataan ruang. Pembinaan penataan ruang adalah upaya untuk
meningkatkan kinerja penataan ruang yang diselenggarakan oleh Pemerintah,
pemerintah daerah, dan masyarakat. Pelaksanaan penataan ruang adalah upaya

pencapaian tujuan penataan ruang melalui pelaksanaan perencanaan tata ruang,
pemanfaatan ruang, dan pengendalian pemanfaatan ruang. Pengawasan penataan ruang
adalah upaya agar penyelenggaraan penataan ruang dapat diwujudkan sesuai dengan
ketentuan peraturan perundangundangan. Perencanaan tata ruang adalah suatu proses
untuk menentukan struktur ruang dan pola ruang yang meliputi penyusunan dan
penetapan rencana tata ruang. Pemanfaatan ruang adalah upaya untuk mewujudkan
struktur ruang dan pola ruang sesuai dengan rencana tata ruang melalui penyusunan dan
pelaksanaan program beserta pembiayaannya. Pengendalian pemanfaatan ruang adalah
upaya untuk mewujudkan tertib tata ruang.
Rencana tata ruang adalah hasil perencanaan tata ruang. Wilayah adalah ruang
yang merupakan kesatuan geografis beserta segenap unsur terkait yang batas dan
sistemnya ditentukan berdasarkan aspek administratif dan/atau aspek fungsional.
Sistem wilayah adalah struktur ruang dan pola ruang yang mempunyai jangkauan
pelayanan pada tingkat wilayah. Sistem internal perkotaan adalah struktur ruang dan
pola ruang yang mempunyai jangkauan pelayanan pada tingkat internal perkotaan.
Kawasan adalah wilayah yang memiliki fungsi utama lindung atau budi daya. Kawasan
lindung adalah wilayah yang ditetapkan dengan fungsi utama melindungi kelestarian
lingkungan hidup yang mencakup sumber daya alam dan sumber daya buatan.
1. Kawasan budi daya adalah wilayah yang ditetapkan dengan fungsi utama untuk
dibudidayakan atas dasar kondisi dan potensi sumber daya alam, sumber daya
manusia, dan sumber daya buatan.
2. Kawasan perdesaan adalah wilayah yang mempunyai kegiatan utama pertanian,
termasuk pengelolaan sumber daya alam dengan susunan fungsi kawasan sebagai
tempat permukiman perdesaan, pelayanan jasa pemerintahan, pelayanan sosial,
dan kegiatan ekonomi.
3. Kawasan agropolitan adalah kawasan yang terdiri atas satu atau lebih pusat
kegiatan pada wilayah perdesaan sebagai sistem produksi pertanian dan
pengelolaan sumber daya alam tertentu yang ditunjukkan oleh adanya keterkaitan
fungsional dan hierarki keruangan satuan sistem permukiman dan sistem
agrobisnis.
4. Kawasan perkotaan adalah wilayah yang mempunyai kegiatan utama bukan
pertanian dengan susunan fungsi kawasan sebagai tempat permukiman perkotaan,
pemusatan dan distribusi pelayanan jasa pemerintahan, pelayanan sosial, dan
kegiatan ekonomi.

5. Kawasan metropolitan adalah kawasan perkotaan yang terdiri atas sebuah
kawasan perkotaan yang berdiri sendiri atau kawasan perkotaan inti dengan
kawasan perkotaan di sekitarnya yang saling memiliki keterkaitan fungsional
yang dihubungkan dengan sistem jaringan prasarana wilayah yang terintegrasi
dengan jumlah penduduk secara keseluruhan sekurang-kurangnya 1.000.000 (satu
juta) jiwa. Kawasan megapolitan adalah kawasan yang terbentuk dari 2 (dua) atau
lebih kawasan metropolitan yang memiliki hubungan fungsional dan membentuk
sebuah sistem.
6. Kawasan strategis nasional adalah wilayah yang penataan ruangnya diprioritaskan
karena mempunyai pengaruh sangat penting secara nasional terhadap kedaulatan
negara, pertahanan dan keamanan negara, ekonomi, sosial, budaya, dan/atau
lingkungan, termasuk wilayah yang telah ditetapkan sebagai warisan dunia.
7. Kawasan strategis provinsi adalah wilayah yang penataan ruangnya diprioritaskan
karena mempunyai pengaruh sangat penting dalam lingkup provinsi terhadap
ekonomi, sosial, budaya, dan/atau lingkungan. Kawasan strategis kabupaten/kota
adalah wilayah yang penataan ruangnya diprioritaskan karena mempunyai
pengaruh sangat penting dalam lingkup kabupaten/kota terhadap ekonomi, sosial,
budaya, dan/atau lingkungan. Ruang terbuka hijau adalah area memanjang/jalur
dan/atau mengelompok, yang penggunaannya lebih bersifat terbuka, tempat
tumbuh tanaman, baik yang tumbuh secara alamiah maupun yang sengaja
ditanam.

2.2 PRINSIP-PRINSIP PENATAAN RUANG LAUT, PESISIR DAN PULAUPULAU KECIL
1. Peran serta Masyarakat dan Pelaku Pembangunan, Penataan ruang dapat dilihat
sebagai kebijakan publik yang mengoptimalisasikan kepentingan antar pelaku
pembangunnan (pemerintah, swasta dan masyarakat) dalam pemanfaatan ruang laut
pesisir dan pulau-pulau kecil, sehingga di dalam proses perencanaan tata ruang yang
demokratis dan akomodatif terhadap semua kepentingan pelaku pembangunan.
Pengalaman-pengalaman masa lalu banyak menunjukkan bahwa perencanaan yang
prosedural, normatif dan kurang mengakomodasikan kepentingan para pelaku
pembangunan yang ada di dalam proses penyusunannya, menjadi kurang dapat
diimplentasikan karena menghadapi berbagai kendala di lapangan. Rencana-rencana

seperti itu selain kurang aspiratif juga cenderung tidak diakui, tidak diterima dan tidak
ditaati didalam pelaksanaannya.
2. Kompensasi, Masyarakat selama ini tidak mengetahui ataupun diberi hak untuk
menegosiasikan

penyelesaian

konsekuensi-konsekuensi

konflik,

biaya

ataupun

dampak

yang

aspek

kompensasi

ditimbulkan

oleh

terhadap
akibat

diberlakukannya rencana tata ruang pada suatu kawasan, baik terhadap timbulnya
dampak lingkungan fisik ataupun sosial-ekonomi.
3. Otonomi Daerah dan Desentralisasi, Undang-Undang No.22/1999 tentang pemerintah
daerah memberi peluang kepada daerah agar leluasa mengatur dan melaksanakan
kewenangan atas dasar prakarsa sendiri sesuai dengan kepentingan masyarakat
setempat dan potensi setiap daerah. Kewenangan daerah tersebut dilaksanakan secara
luas, utuh dan bulat yang meliputi perencanaan, pelaksanaan, pengawasan,
pengendalian dan evaluasi pada semua bidang. Dalam kerangka negara kesatuan,
meskipun daerah diberikan otonomi secara luas, tetapi tetap diperlukan adanya
konsistensi baik hal keterpaduan substansi maupun kesamaan visi-misi secara
nasional. Oleh karena itu sesuai dengan kewenangannya, pemerintah pusat
berkepentingan dalam merumuskan kebijakan-kebijakan strategis dan pedomanpedoman teknis yang berlaku secara umum.
4. Penentuan Zona Preservasi, Konservasi dan Pemanfaatan Intensif, Prinsip
pembangunan berkelanjutan diterapkan pada penataan ruang dengan terlebih dahulu
membagi ruang kedalam zona preservasi, konservasi dan pemanfaatan intensif. Clark
(1976) mendefinisikan daerah preservasi, pemanfaatan intensif dan konservasi
sebagai berikut :
a. Zona preservasi adalah zona yang dapat dimanfaatkan untuk kepentingan
publik baik itu rekreasi, ekonomi, estetika maupun daerah proteksi banjir,
namun daerah ini direkomendasikan untuk dilindungi dari kegiatan
pembangunan yang dapat merusak ekosistem. Termasuk didalamnya
mangrove, rawa yang produktif dan bernilai bagi masyarakat pesisir.
b. Zona pemanfaatan intensif adalah zona yang secara fisik dapat dibangun,
daerah ini dapat dibangun langsung atau dengan syarat hanya perubahan yang
kecil.
c. Zona konservasi meliputi kawasan lindung yang secara ekologis sangat kritis
untuk dibangun, zona ini berfungsi sebagai penyanggah antara zona preservasi
dan daerah pemanfaatan intensif.

5. Penentuan Sektor Unggulan, Sektor unggulan merupakan sektor potensial untuk
dikembangkang pada zona konservasi dan zona pemanfaatan intensif. Sektor tersebut
memiliki kriteria, yaitu: penghasil devisa, menyerap tenaga kerja banyak dll.
6. Penentuan Struktur Tata Ruang, Struktur tata ruang wilayah yang meliputi sistem
jaringan dan pusat-pusat kegiatan yang membentuk ruang fisik wilayah harus
mendukung dan kondusif bagi pengembangan sektor unggulan yang telah ditentukan,
khususnya dalam hal kegiatan pemanfaatan ruang atau kegiatan pembangunan yang
menggunakan faktor-faktor produksi ( seperti tenaga kerja, kapital, teknologi dll.) dan
memiliki eksternalitas negatif baik dampak yang berupa bahan pencemar, sedimen,
maupun terhadap perubahan bentang alam, dll.
7. Tata Ruang Sistem Wilayah Aliran Sungai, Perlunya keterpaduan dengan kegiatan
penataan ruang dalam sistem wilayah aliran sungai di lahan atasnya. Kegiatan
pemanfaatan ruang di wilayah aliran sungai tersebut harus mengikuti persyaratan
lingkungan bagi pengembangan sektor unggulan serta persyaratan yang berlaku pada
zona preservasi di wilayah pesisir.
8. Jarak antar Zona Preservasi dengan Eksternalitas Negatif, Jarak minimal antar Zona
preservasi dengan kegiatan penataan ruang yang mengeluarkan eksternalitas negatif
( pencemaran, sedimen, dlll.)
9. Musyawarah dan Hak Adat/ Tradisional, Keputusan terhadap konflik kepentingan
dalam kegiatan pemanfaatan ruang yang terjadi antara para pelaku pembangunan
diselesaikan melalui pendekatan musyawarah, dan media partisipatif lainnya.
Penataan

ruang

juga

memperhatikan

dan

mengadopsi

akan

adanya

hak

adat/tradisional dan hak-hak lainnya yang sudah hidup dan berlaku dalam sistem
tatanan sosial setempat.
Penataan

ruang

merupakan

kebijakan

publik

yang

bermaksud

mengoptimalisasikan kepentingan antar pelaku pembangunan dalam kegiatan
pemanfaatan ruang. Penataan ruang juga menterpadukan secara spatial fungsi-fungsi
kegiatan pemanfaatan ruang, baik antar sektor maupun antar wilayah administrasi
pemerintahan agar bersinergi positif dan tidak mengganggu. Penataan ruang meliputi
proses perencanaan tata ruang, pemanfaatan ruang dan pengendalian pemanfaatan
ruang. Dalam perencanaan tata ruang perlu memperhatikan faktor-faktor yang
menentukan terjadinya produk rencana, yaitu :
1. Konsensus, adanya peran serta aktif dan kesepakatan-kesepakatan antar pelaku
pembangunnan di dalam penyusunan rencana

2. Konsistensi, secara teknis ada kesamaan materi dengan rencana-rencana pada
tingkat makro
3. Legitimasi, produk rencana diakui, dapat diterima dan ditaati oleh semua pelaku
pembangunan (karena memperhatikan faktor konsensus di atas)
4. Legal aspek, produk rencana mempunyai kekuatan dan kepastian hukum
5. Kompensasi, memperhatikan konsekuensi-konsekuensi biaya dampak yang
ditimbulkan oleh akibat rencana tata ruang dilaksanakan, baik terhadap biaya
dampak lingkungan fisik maupun sosial-ekonomi.

2.3 HAK, KEWAJIBAN, DAN PERAN MASYARAKAT
Dalam penataan ruang, setiap orang berhak untuk4:
1. mengetahui rencana tata ruang;
2. menikmati pertambahan nilai ruang sebagai akibat penataan ruang;
3. memperoleh penggantian yang layak atas kerugian yang timbul akibat
pelaksanaan kegiatan pembangunan yang sesuai dengan rencana tata ruang;
4. mengajukan keberatan kepada pejabat berwenang terhadap pembangunan yang
tidak sesuai dengan rencana tata ruang di wilayahnya;
5. mengajukan tuntutan pembatalan izin dan penghentian pembangunan yang tidak
sesuai dengan rencana tata ruang kepada pejabat berwenang; dan
6. mengajukan gugatan ganti kerugian kepada pemerintah dan/atau pemegang izin
apabila kegiatan pembangunan yang tidak sesuai dengan rencana tata ruang
menimbulkan kerugian.
Dalam pemanfaatan ruang, setiap orang wajib5:
A. menaati rencana tata ruang yang telah ditetapkan;
B. memanfaatkan ruang sesuai dengan izin pemanfaatan ruang dari pejabat yang
berwenang;
C. mematuhi ketentuan yang ditetapkan dalam persyaratan izin pemanfaatan
ruang; dan
D. memberikan akses terhadap kawasan yang oleh ketentuan peraturan
perundang-undangan dinyatakan sebagai milik umum.

4 Lihat, pasal 60, undang-undang no 26 tahun 2007 tentang penataan ruang
5 Lihat, pasal 61, undang-undang no 26 tahun 2007 tentang penataan ruang

Peran masyarakat dalam penataan ruang sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dilakukan, antara lain, melalui6:
1. partisipasi dalam penyusunan rencana tata ruang;
2. partisipasi dalam pemanfaatan ruang; dan
3. partisipasi dalam pengendalian pemanfaatan ruang.

2.4 LAUT SEBAGAI SUMBERDAYA DAN EKOSISTEM
Laut merupakan fenomena alam yang tersusun dalam suatu sistem yang
kompleks, terdiri dari komponen-komponen sumberdaya hayati dan non hayati dengan
keragaman dan nilai ekonomi yang tinggi. Setiap sumberdaya laut tersusun dalam suatu
ekosistem dengan karakteristik tertentu. Interaksi antar ekosistem ini membentuk suatu
keseimbangan lingkungan laut. Ekosistem laut beraksi relatif lebih sensitif dan selalu
berupaya mencari keseimbangan baru terhadap adanya perubahan. Hal ini berarti
bahwa adanya perubahan pada suatu ekosistem di laut dapat berdampak pada kawasan
yang luas atau bahkan hingga tingkat global. Indonesia sebagai Negara yang mengelola
laut dan perairan laut nusantara yang menghubungkan antar laut secara global, perlu
secara serius bukan hanya memperhatikan aspek keseimbangan lingkungan di wilayah
laut Indonesia, namun juga mempunyai kepentingan untuk memantau kualitas ekonomi
laut secara global. Walaupun masih dikelola secara sektoral, laut (termasuk pantai)
Indonesia telah dimanfaatkan untuk perikanan, rekreasi, pembuangan limbah, sumber
energi, sumber air, batubara, minyak, bahan bangunan, kehutanan, peternakan/tambak,
pemukiman dan industri.

3

BAB III

PEMBAHASAN
3.1 ISU DAN PERMASALAHAN DALAM PENGELOLAAN WILAYAH LAUT
DAN PESISIR
Dengan karakteristik wilayah laut dan pesisir sebagaimana disamapaikan diatas,
wilayah laut dan pesisir menghadapi berbagai isu dan permasalahan terkait dengan
penataan ruang sebagai berikut:
A. Potensi konflik kepentingan (conflict of interest) dan tumpang tindih antar sektor
dan stakeholders lainnya dalam pengelolaan dan pemanfaatan wilayah pesisir.
Kondisi ini muncul sebagai konsekuensi beragamnya sumberdaya pesisir yang
6 Lihat, pasal 65 ayat (2), undang-undang no 26 tahun 2007 tentang penataan ruang

ada serta karakteristik wilayah pesisir yang “open acces” sehingga mendorong
wilayah pesisir telah menjadi salah satu lokasi utama bagi kegiatan-kegiatan
beberapa sektor pembangunan (multi-use). Dalam hal ini, konflik kepentingan
tidak hanya terjadi antar “users”, yakni sektoral dalam pemerintahan dan juga
masyarakat setempat dan pihak swasta, namun juga antar penggunaan antara lain
1. Perikanan budidaya maupun tangkapan
2. Pariwisata bahari dan pantai
3. Industri maritime seperti perkapalan, pertambangan, seperti minyak, gas,
timah dan galian lainnya;
4. Perhubungan laut dan alur pelayaran dan yang paling utama adalah
kegiatan konservasi laut dan pesisir seperti hutan bakau (mangrove),
terumbu karang dan biota laut lainnya.
B. Potensi konflik kewenangan (jurisdictional conflict) dalam pengelolaan dan
pemanfaatan wilayah laut dan pesisir. Kondisi ini muncul sebagai konsekuensi
tidak berhimpitnya pembagian kewenangan yang terbagi menurut administrasi
pemerintah provinsi dan kabupaten/kota dengan kepentingan wilayah pesisir
tersebut yang seringkali lintas wilayah otonomi. Di satu sisi, kejelasan pembagian
kewenangan ini diharapkan dapat meningkatkan keberlanjutan dari pemanfaatan
sumberdaya pesisir, seiring dengan semakin pendeknya ”span control” dan
semakin jelasnya akuntabilitas dalam pengelolaanya. Di sisi lain, justru hal ini
berpotensi menimbulkan persoalan konflik antar wilayah dan potensi disintegrasi
ketika kualitas pengelolaan sumberdaya kelautan dan pantai di daerah otonom
dipengaruhi oleh kegiatan yang berada di wilayah Kabupaten/Kota lainnya yang
berada pada bagian atas daratan, hulu atau yang bersebelahan.
C. Rendahnya tingkat kesejahteraan masyarakat pesisir dan pulau-pulau kecil yang
bermatapencaharian di sektor-sektor non-perkotaan. Sebagian besar dari 126
kawasan tertinggal yang diidentifikasi dalam kajian Penyempurnaan RTRWN
merupakan wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil.
D. Timbul berbagai dampak pembangunan yang tidak hanya bersumber dari dalam
wilayah pesisir, tetapi juga dari wilayah laut dan pedalaman. Hal ini merupakan
konsekuensi dari fungsi wilayah pesisir sebagai “interface” antara ekosistem darat
dan laut, wilayah pesisir (coastal areas) memiliki keterkaitan antara daratan dan
laut. Dengan keterkaitan kawasan tersebut, maka pengelolaan kawasan di pesisir,
laut dan pulau-pulau kecil tidak terlepas dari pengelolaan lingkungan yang

dilakukan di kedua wilayah tersebut. Berbagai dampak lingkungan yang terjadi
pada wilayah pesisir merupakan akibat dari kegiatan pembangunan yang
dilaksanakan di wilayah daratan beserta perubahan rona lingkungan yang
diakibatkannya.
E. Pemanfaatan potensi sumber daya kemaritiman yang tidak optimal, terutama di

wilayah KTI dan perbatasan di mana sektor kelautan dan perikanan merupakan
prime mover pengembangan wilayah.
F.

Lemahnya kerangka hukum pengaturan pemanfaatan sumber daya laut dan pesisir
serta perangkat hukum untuk penegakannya menyebabkan masih banyaknya
pemanfaatan sumberdaya yang tidak terkendali. Juga tidak adanya kekuatan
hukum dan pengakuan terhadap system-sistem tradisional serta wilayah laut
dalam pengelolaan sumber daya pesisir. Dalam konteks ini, RTRW dalam
berbagai tingkatan yang telah memiliki aspek legal berikut aturan-aturan
pelaksanaanya seharusnya dapat dimanfaatkan sebagai “guidance” dalam
pengelolaan wilayah pesisir.

G. Tingkat kerusakan biofisik lingkungan wilayah pesisir sangat mengkhawatirkan.
Adapun faktor-faktor yang turut mempengaruhi kerusakan biofisik wilayah
pesisir adalah:
1. Overeksploitasi sumberdaya hayati laut akibat penangkapan ikan yang
melampaui potensi (overfishing), pencemaran dan degradasi fisik hutan
mangrove dan terumbu karang sebagai sumber makanan biota laut tropis
2. Pencemaran akibat kegiatan industri, rumah tangga dan pertanian didarat
(land-based

pollution

sources)

maupun

akibat

kegiatan

dilaut

(marinebased pollution sources) termasuk perhubungan laut dan kapal
tanker dan kegiatan pertambangan dan energi lepas pantai.
3. Bencana alam seperti tsunami, banjir, erosi, dan badai
4. Konflik pemanfaatan ruang seperti antara pertanian dan kegiatan di
daerah hulu lainnya, aquakultur, perikanan laut, permukiman. Konflik
pemanfaatan ruang disebabkan terutama karena tidak adanya aturan yang
jelas tentang penataan ruang dan alokasi sumberdaya yang terdapat di
kawasan pesisir dan lautan.
5. Kemiskinan masyarakat pesisir yang turut memperberat tekanan
terhadap pemanfaatan sumberdaya pesisir yang tidak terkendali. Salah
satu faktor penyebabnya adalah belum adanya konsep pembangunan

masyarakat pesisir sebagai subyek dalam pemanfaatan sumberdaya
pesisir.

3.2 KEDUDUKAN PENGELOLAAN WILAYAH LAUT DAN PESISIR
DALAM PENATAAN RUANG WILAYAH
Penataan ruang merupakan sebuah pendekatan dalam pengembangan wilayah
yang bertujuan untuk meningkatkan kualitas kesejahteraan masyarakat dan lingkungan
hidup. Dalam mencapai tujuan tersebut, dilakukan upaya pengelolaan kawasan melalui
pengembangan kegiatan ekonomi masyarakat pada kawasan-kawasan budidaya dan
pelestarian kawasan-kawasan lindung, termasuk yang terdapat di ruang lautan dan
kawasan pesisir.
Pendekatan

penataan

ruang

dalam

rangka

pengembangan

wilayah

sebagaimana dijelaskan di atas terdiri atas tiga proses yang saling berkaitan, yakni:
a.

Proses perencanaan tata ruang wilayah, yang menghasilkan rencana tata ruang
wilayah. Disamping sebagai “guidance of future actions” rencana tata ruang
wilayah pada dasarnya merupakan bentuk intervensi yang dilakukan agar
interaksi manusia/makhluk hidup dengan lingkungannya dapat berjalan serasi,
selaras, seimbang untuk tercapainya kesejahteraan manusia/makhluk hidup serta
kelestarian

lingkungan

dan

keberlanjutan

pembangunan

(development

sustainability).
b.

Proses pemanfaatan ruang, yang merupakan wujud operasionaliasi rencana tata
ruang atau pelaksanaan pembangunan itu sendiri, dan

c.

Proses pengendalian pemanfaatan ruang yang terdiri atas mekanisme pengawasan
dan penertiban terhadap pelaksanaan pembangunan agar tetap sesuai dengan
RTRW dan tujuan penataan ruang wilayahnya.

3.3 KEBIJAKAN DAN STRATEGI PENGELOLAAN WILAYAH LAUT DAN
PESISIR
Dengan memperhatikan karakteristik, isu, dan permasalahan wilayah laut dan
pesisir, serta kedudukan pengelolaan wilayah laut dan pesisir dalam penataan ruang
wilayah sebagaimana diuraikan di atas, diperlukan kebijakan yang dapat dijadikan
landasan pelaksanaan pembangunan dalam rangka pemanfaatan sumber daya laut dan
pesisir secara optimal sekaligus mengatasi dan mencegah permasalahan pembangunan.

Beberapa kebijakan nasional yang terkait dengan pengelolaan wilayah laut dan pesisir
dapat disampaikan sebagai berikut:
1.

Integrasi matra darat, laut, dan udara serta integrasi lintas yurisdiksi dalam
penyelenggaraan penataan ruang untuk mewujudkan keselarasan, keserasian, dan
keseimbangan tata ruang. Penyelenggaraan penataan ruang yang terintegrasi ini
akan secara signifikan mengurangi faktor-faktor penyebab berbagai permasalahan
di wilayah laut dan pesisir.

2.

Revitalisasi kawasan berfungsi lindung, mencakup kawasan-kawasan lindung
yang terdapat di wilayah darat dan wilayah laut/pesisir, dalam rangka menjaga
kualitas lingkungan hidup sekaligus mengamankan kawasan pesisir dari ancaman
bencana alam. Salah satu faktor penyebab berbagai permasalahan di wilayah laut
dan pesisir adalah hilangnya fungsi lindung kawasan-kawasan yang seharusnya
ditetapkan sebagai kawasan lindung, termasuk kawasan lindung di wilayah
daratan yang mengakibatkan pendangkalan perairan pesisir, kerusakan padang
lamun, dan kerusakan terumbu karang (coral bleaching).

3.

Pengembangan ekonomi masyarakat pesisir berbasis potensi dan kondisi sosial
budaya setempat untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat melalui
pemanfaatan sumber daya laut dan pesisir secara optimal dan berkelanjutan.
Peningkatan tingkat kesejahteraan masyarakat pesisir merupakan salah satu kunci
dalam mengurangi tekanan terhadap ekosistem laut dan pesisir dari pemanfaatan
sumber daya yang tidak terkendali.

4.

Peningkatan

pelayanan

jaringan

prasarana

wilayah

untuk

menunjang

pengembangan ekonomi di wilayah laut dan pesisir. Ketersediaan jaringan
prasarana wilayah yang memadai akan menunjang pemanfaatan sumber daya
kelautan dan pesisir secara optimal serta menunjang fungsi pesisir sebagai simpul
koleksi-distribusi produk kegiatan ekonomi masyarakat.
5.

Peningkatan peran masyarakat dalam pengelolaan wilayah laut dan pesisir.
Adanya peran yang seimbang dari seluruh stakeholders, termasuk dalam proses
pengendalian, akan meningkatkan transparansi dan akuntabilitas dalam
pelaksanaan pembangunan wilayah laut dan pesisir. Dengan demikian diharapkan
dapat mengurangi potensi konflik kepentingan dan konflik kewenangan.

6.

Pengembangan norma, standar, prosedur, dan manual (NSPM) yang focus
terhadap pengelolaan wilayah laut dan pesisir. Sejauh ini NSPM penataan ruang
yang langsung terkait dengan penyelenggaraan pembangunan di wilayah laut dan

pesisir masih dalam jumlah yang sangat terbatas. Perlu disadari bahwa adanya
NSPM ini akan mendorong efektivitas dan efisienasi penyelenggaraan penataan
ruang di wilayah laut dan pesisir, sehingga penyusunannya perlu diprioritaskan.

4

BAB IV
PENUTUP

4.1 KESIMPULAN
Wilayah laut dan pesisir memiliki nilai strategis bagi pengembangan ekonomi
nasional dan peningkatan kesejahteraan masyarakat dan sekaligus merupakan wilayah
yang sangat rentan terhadap kerusakan dan perusakan. Oleh karenanya diperlukan
pengelolaan yang bijaksana dengan menempatkan kepentingan ekonomi secara
proporsional dengan kepentingan lingkungan, baik dalam jangka pendek maupun
jangka panjang. Pengelolaan wilayah laut dan pesisir menghadapi tantangan
pembangunan yang kompleks mengingat sifat ekosistemnya yang kaya akan sumber
daya dan bersifat open access. Dalam upaya menangani permasalahan di wilayah laut
dan pesisir perlu dikembangkan pendekatan yang mengintegrasikan pengaturan
pemanfaatan ruang daratan, ruang lautan, dan ruang udara beserta seluruh sumber daya
yang ada di dalamnya agar berbagai permasalahan yang ada dapat diselesaikan sejak
dari sumbernya.

4.2 SARAN
Pemerintah, dalam hal ini termasuk sebagai pelaku pembangunan, sebaiknya
bukan hanya sebagai pengambil keputusan kebijakan tata ruang, tetapi dituntut
peranannya sebagai fasilitator dalam kegiatan penataan ruang, sehingga perencanaan
dapat lebih didekatkan kepada masyarakat ataupun pelaku pembangunan. Serta
membuat aturan-aturan yang tegas dalam penyempurnaan tata ruang wilayah laut dan
pesisir.

DAFTAR PUSTAKA

Dayan. La Ode, Tindak Lanjut Atas Berlakunya Konvensi Hukum Laut Internasional tahun
1982 Terhadap Kedaulatan Negara Kesatuan Republik Indonesia, Kertas Karya Perorangan,
Kursus Reguler Angkatan XXVIII, Lemhanas, 1985.
Departemen Permukiman dan Prasarana Wilayah, Strategi Pengembangan dan Penataan
Ruang Wilayah Pesisir, Keynote Speech Menteri Permukiman dan Prasarana Wilayah dalam
Workshop Perusakan Panatai dan Pesisir di wilayah Pantura Jawa Tengah, Semarang, 12 Mei
2001
Departemen Permukiman dan Prasarana Wilayah, Bahan Rapat Menteri Permukiman dan
Prasarana Wilayah dalam Pembahasan Pengajuan Izin Prakarsa Penyusunan Rancangan
Undang-Undang Pengelolaan Wilayah Pesisir (RUU PWP), Depkimpraswil, Jakarta, 13
Agustus 2003
Ditjen Penataan Ruang. Depkimpraswil, Materi Teknis Amandemen PP 47/1997 tentang
Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional (RTRWN), Jakarta, Nopember 2002.
Undang-Undang No 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang

Dokumen yang terkait

Analisis Komparasi Internet Financial Local Government Reporting Pada Website Resmi Kabupaten dan Kota di Jawa Timur The Comparison Analysis of Internet Financial Local Government Reporting on Official Website of Regency and City in East Java

19 819 7

POLA PENGELOLAAN ISU PT. KPC (KALTIM PRIMA COAL) Studi pada Public Relations PT. KPC Sangatta, Kalimantan Timur

2 50 43

ANTARA IDEALISME DAN KENYATAAN: KEBIJAKAN PENDIDIKAN TIONGHOA PERANAKAN DI SURABAYA PADA MASA PENDUDUKAN JEPANG TAHUN 1942-1945 Between Idealism and Reality: Education Policy of Chinese in Surabaya in the Japanese Era at 1942-1945)

1 29 9

EVALUASI PENGELOLAAN LIMBAH PADAT MELALUI ANALISIS SWOT (Studi Pengelolaan Limbah Padat Di Kabupaten Jember) An Evaluation on Management of Solid Waste, Based on the Results of SWOT analysis ( A Study on the Management of Solid Waste at Jember Regency)

4 28 1

Improving the Eighth Year Students' Tense Achievement and Active Participation by Giving Positive Reinforcement at SMPN 1 Silo in the 2013/2014 Academic Year

7 202 3

The Correlation between students vocabulary master and reading comprehension

16 145 49

Improping student's reading comprehension of descriptive text through textual teaching and learning (CTL)

8 140 133

The correlation between listening skill and pronunciation accuracy : a case study in the firt year of smk vocation higt school pupita bangsa ciputat school year 2005-2006

9 128 37

Transmission of Greek and Arabic Veteri

0 1 22

PENGAWASAN OLEH BADAN PENGAWAS LINGKUNGAN HIDUP KOTA BANDAR LAMPUNG TERHADAP PENGELOLAAN LIMBAH HASIL PEMBAKARAN BATUBARA BAGI INDUSTRI (Studi di Kawasan Industri Panjang)

7 72 52