laporan sistem pertanian vertikultur 1
SISTEM PERTANIAN VERTIKULTUR
LAPORAN PRAKTIKUM
Oleh :
Kelompok 3
1. Randrianantenaina Aime
2. Avief Ainul Rizal
3. Mahendra Setyoko
4. Ahmad Suprayogi
5. Feri Fadli
6. Rizda Amilia Hardiyanti
7. Muhammad Efendi A. R.
8. Ainul Gufron Tamami
9. Muhammad Erfan
10. Reni Fidianingsih
(121510501201)
(121510501188)
(121510501192)
(121510501195)
(121510501197)
(121510501198)
(121510501199)
(121510501200)
(121510501202)
(121510501203)
PROGRAM STUDI AGROTEKNOLOGI
LABORATURIUM FISIOLOGI TUMBUHAN
FAKULTAS PERTANIAN
UNIVERSITAS JEMBER
2014
BAB 1 PENDAHULUAN
1.1.
Latar belakang
Pada masa sekarang ini, luas lahan yang dapat dimanfaatkan entah untuk
pembangunan entah untuk lahan pertanian semakin sempit sebab meningkatnya
jumlah penduduk yang semakin bertambah. Apalagi, lahan-lahan yang hanya sisah
tersedia pun sekarang ini masih beralih fungsi yaitu digunakan untuk bangunan
pabrik, perumahan, perkantoran dan lain sebagainya. Hal ini sangat berdampak
besar terhadap dunia pertanian terutama pada hasil produksinya yang justru
menurun akibat ketidaktersedianya lahan tersebut. Dengan demikian maka
dibutuhkan alternative-alternatif untuk mengatasi permasalahan lahan tersebut.
Salah satu alternative yang dapat dilakukan yaitu dengan menerapkan system
pertanian vertikultur.
Istilah vertikultur ini terdiri atas dua kata yang berasal dari Bahasa inggris
yaitu kata vertical yang berarti lurus dan culture yang berarti budidaya sehingga
bila dapat diartikan bahwa vertikultur adalah system budidaya pertanian yang
dilakukan secara bertingkat ataupun vertical, baik indoor maupun outdoor. System
budidaya ini merupakan konsep penghijauan yang sangat cocok pada daerah yang
sempit terutama di daerah perkotaan dimana lahan yang terbatas pun dapat
dimanfaatkan secara maksimal. Misalkan, pada system pertanian konvensional,
lahan 1 m2 hanya dapat ditanam tanaman sekitar 5 batang, sementara pada system
vertikultur, jumlah tanaman yang dapat ditanami bias sampai 4 kali lipat. System
vertikultur ini tidak hanya memberi manfaat pada luas lahan saja, tetapi juga bila
dipandang dari segi estetikanya, tanaman-tanaman yang diterapkan dengan system
ini sangat memberi nilai keindahan lingkungan sekitar.
Jika dilihat dari segi cara bercocok tanam, sistem vertikultur tidak jauh beda
dengan sistem pertanian konvensional namun perbedaannya terdapat pada cara
pemanfaatan lahan dimana sistem vertikultur jauh lebih efisien daripada sistem
konvensional meskipun luas lahan yang digunakan sama. Selain itu, pada sistem
pertanian vertikultur, sebab media tanam yang digunakan tidak bersentuhan secara
langsung dengan tanah sehingga kemungkinan untuk bertumbuhnya rumputrumputan atau gulma sangat minim, penggunaan pestisida dan pupuk juga sangat
hemat, sistem ini sangat mempermudah kegiatan perawatan tanaman dan tidak
memerlukan tenaga kerja yang banyak, kerusakan tanaman akibat hujan yang
deras juga dapat dicega oleh atap plastic yang digunakan, tanaman dapat
dipindah-pindah sesuai dengan keinginan pekebun karena terletak dalam suatu
wadah.
Wadah vertikultur mempunyai model, ukuran dan bahan yang bermacammacam namun pada umumnya yang sering digunakan ialah wadah yang berbentuk
segi tiga, persgi panjang, bentuk anak tangga. Bahan yang digunakan biasanya
berupa pipa paralon, bamboo, kaleng bekas ataupun karung beras. Salah satu
persyaratan vertikultur adalah mudah dipindahkan dan kuat. Tanaman yang akan
dibudidayakan secara vertikultur sebaiknya memiliki nilai ekonomis yang tinggi,
berakar pendek dan berumur pendek. Jenis tanaman yang sering dibudidayakan
secara vertikultur adalah tanaman sayur-sayuran seperti kangkung, pakcoy, selada,
kemangi, tomat, mentimun, pare, dan lain sebagainya.
1.2.
Tujuan
Mahasiswa mampu dan terampil dalam menyikapi permasalahan lahan kritis
dengan membudidayakan tanaman secara vertikultur.
BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA
Vertikulrure adalah cara bertanam dalam susunan vertikal keatas menuju ruang
udara bebas, dengan menggunakan tempat media tumbuh yang disusun secara
vertikal pula. Media tanam ditampung dalam kaleng kaleng, ralon pvc, riul,
maupun papan kayu dapat dipergunakan sebagai alternatif tempat media tanam.
Di Indonesia, sistem pertanian vertikal baru dikembangkan sejak tahun I 987,
sehingga apa yang dijelaskan ini sebagian besar sudah dilakukan pada kurun
waktu itu. Kolom verikal paling sederhana dapat dibuat dari mulsa hitam perak
dengan kerangka bamboo (Wartapa et al, 2010).
Sistem tanam vertikultur sangat cocok diterapkan, khususnya bagi para petani
atau pengusaha yang memiliki lahan sempit. Vertikultur dapat pula diterapkan
pada bangunan-bangunan bertingkat, perumahan umum, atau bahkan pada
pemukiman di daerah padat yang tidak punya halaman sama sekali. Dengan
metode vertikultur ini, kita dapat memanfaatkan lahan semaksimal mungkin.
Usaha tani secara komersial dapat dilakukan secara vertikultur, apalagi kalau
sekedar untuk memenuhi kebutuhan sendiri akan sayuran atau buah-buahan
semusim. Jenis tanaman yang cocok untuk dibudidayakan secara vertikultur
adalah jenis tanaman semusim yang tingginya tidak melebihi satu meter seperti
cabai, tomat, terong, kubis, sawi, selederi, daun bawang (Noverita, 2009).
Faktor lain yang menyebabkan rendahnya produksi cabai adalah ketersediaan
lahan budidaya. Faktor pertambahan penduduk yang pesat disertai dengan
kemajuan teknologi dan industri pada akhirnya akan menggeser fungsi lahan
pertanian menjadi lahan perumahan dan industri. Dengan kegiatan bertani secara
vertikultur, lahan yang sempit seperti halnya pekarangan rumah dapat
dimanfaatkan untuk kegiatan bercocok tanam. Pemanfaatan teknologi budidaya
cabai dengan menggunakan vertikultur, diharapkan kebutuhan akan cabai dapat
selalu terpenuhi, khususnya skala rumah tangga. (Roziq et al. 2013)
Budidaya secara vertikultur ada kelebihan dan kekurangan. Keuntungan
budidaya secara vertikultur adalah sebagai berikut : kualitas produksi lebih baik
dan lebih bersih; kuantitas produksi lebih tinggi dan kontinuitas produksi dapat
dijaga; mempercantik halaman dan benfungsi sebagai paru-paru kota; menunjang
pendapatan keluarga; menjadi lahan bisnis, baik langsung maupun tidak langsung;
dapat digunakan sebagai sumber tanaman obat bagi keluarga (toga); menarnbah
dan mernperbaiki gizi kcluarga; efisiensi lahan, pupuk, air, benih, dan tcnaga
kerja; menghilangkan stress atau mengurangi beban pikiran. Kekurangan sistern
vertikultur adalah sebagai berikut: rawan terhadap serangan jarnur; investasi awal
yang dibutuhkan cukup tinggi, terutarna untuk mernbuat bangunan; apabila
menggunakan atap plastik, harus dilak pcnyiraman tiap hari; perlu tangga at au
alat khusus yang dapat dinaiki perneliharaan dan pcrnanenan di lantai atas
(Rasapto, 2010).
Dalam pertanaman vertikultur sangat pen-ting diperhatikan jarak tanam antar
pot dalam satu tiang. Jarak antar pot akan mempengaruhi intersepsi cahaya
matahari ke daun tanaman. Berkurangnya sinar matahari pada daun tana-man
dapat mempengaruhi pertumbuhan dan produksi tanaman. Untuk mengatasi hal
tersebut dapat dilakukan pengaturan jarak antar pot sehingga daun tanaman yang
tumbuh tidak saling tumpang tindih (Desiliyarni et al. 2005).
Vertikultur dapat dilaksanakan dengan memanfaatkan bahan-bahan dan
peralatan yang ada di sekitar kita. Di samping itu, mudah dalam penyiapan dan
pemeliharaannya sehingga dapat dilakukan oleh setiap orang yang benarbenar
ingin rnenekuninya, Menurut Nitisapto (1993), beberapa rancangan wadah media
tanam yang sudah cukup banyak dicoba dan menunjukkan tingkat keberbasilan
yang tinggi, adalah sebagai berikut: Kolom wadah media tanam disusun secara
verrtikal, Kolom wadah media disusun secara horizontal, Wadah media digantung,
Pot susun (Sutarminingsih, 2003).
sistem pertanian secara vertikal harus menyediakan kondisi yang optimal bagi
tanaman untuk transisi benih melalui perkecambahan, vegetatif, reproduktif dan
fase panen. sebab merupakan sistem tertutup, hal yang harus diperhatikan yaitu
suhu, dan kelembaban relatif dalam ruang pertumbuhan. Selain itu, pengendalian
dan peningkatannya tingkat CO2 telah disimulasikan untuk memperoleh hasil
biomassa yang maksimal. Sejak tanaman tumbuh dalam sistem aeroponik, itu
lebih mungkin untuk mendaur ulang nutrisi yang berlebihan dari kabut udara. Hal
yang harus diutamakan dalam sistem tertutup tersebut juga yaitu untuk menyaring
kontaminasi dan jejak gas, seperti etilena, yang dilepaskan ke udara oleh tanaman.
Untuk hal
ini,
tiga lantai
pengendalian
lingkungan
yang diperlukan,
mengendalikan kualitas udara dan mendaur ulang nutrisi lebih dari 8 -9 budidaya
tanaman pada masing-masing lantai (Banerjee, 2014).
Hasil studi menunjukkan penanaman di ruang vertikal 10 meter persegi per
lantai kondominium dengan jumlah lantai empat. Penanaman di vertikal bisa
menghemat ruang daripada tanaman horisontal. Irigasi tetes dan sistem
penyiraman tidak berbeda nyata hasil pertumbuhan tanaman yang diteliti baik
terhadap ukuran dan tinggi batang tanaman. Perbandingan hasil tanam per unit
areal dengan jumlah air yang digunakan penyiraman itu yang menjadi faktor
utama. Produktivitas tanaman pada kedua sistem irigasi siram dan tetes terlihat
kurang daripada menanam dengan irigasi normal. Karena penanaman dengan
irigasi yang biasa digunakan pupuk kimia dan biasanya ditanam di dataran. Tapi
tanaman ini ditanam di kondominium di mana tanaman menerima sinar matahari
tidak sempurna. Kondominium menerima sinar matahari hanya dalam waktu
singkat pada pagi dan sore hari ketika matahari bersinar diagonal ke
kondominium saja. Sementara tanam vertikal penelitian ini tidak menggunakan
pupuk kimia, tetapi digunakan air limbah dari kolam ikan bukan pupuk ikan yang
diberi pakan dengan kotoran ayam. Hal itu membuat tanaman tidak sepenuhnya
menerima nutrisi setara dengan tanaman yang diberikan pupuk secara langsung.
Keuntungan dari sistem ini adalah tidak terdapat residu kimia pada tanaman dan
sayuran yang ditanam. Penelitian ini dapat digunakan sebagai alternatif
penanaman bagi masyarakat perkotaan dan juga mengurangi biaya tanam
(Keeratiurai, 2013).
Pertanian vertikal adalah sistem produksi kontinu yang membudidayakan
tanaman tanpa intervensi manusia melalui kontrol otomatis dalam ruang yang
cocok untuk lingkungan pertumbuhan tanaman seperti cahaya, suhu, kelembaban,
tingkat karbon dioksida, dan nutrisi [1]. Oleh karena itu, dengan pengenalan
kebun vertikal, pertanian berdiri pada tangga sistematis dan otomatis revolusi
pertanian baru melalui konvergensi berbagai teknologi terbaru. Untuk revolusi
pertanian baru, banyak penelitian dan perkembangan sedang dilakukan untuk
memberikan layanan cerdas, dan tujuan mereka adalah sama bahwa mereka ingin
menciptakan lingkungan di mana-mana dengan peternakan vertikal. Namun,
layanan pintar yang ada memiliki keterbatasan dan kekurangan sebagai berikut:
(1) kebanyakan sistem layanan pintar yang ada tergantung pada sistem tertentu.
Jadi, dalam rangka untuk memperpanjang, memperbaiki atau menghapus layanan,
itu harus ditangani oleh pengembang asli. (2) Dan mereka masih kurang handal
karena adanya beberapa faktor lingkungan atau faktor kontrol untuk pertumbuhan
tanaman. (3) Dan juga mereka selalu membutuhkan intervensi manusia tentang
berbagai situasi yang luar biasa selama layanan (Kim et al. 2013).
Pertanian berkelanjutan adalah praktek yang memenuhi kebutuhan pada saat
ini dan dalam jangka panjang dengan makanan, serat, dan kebutuhan lain yang
terkait masyarakat sekaligus memaksimalkan keuntungan bersih melalui
konservasi sumber daya untuk mempertahankan layanan ekosistem lain
dan
fungsinya, dan pembangunan manusia dalam jangka panjang. Tampaknya
pertanian berkelanjutan lebih dari pergeseran praktek pertanian; melainkan harus
fokus pada meningkatkan kesadaran. Pengetahuan dan informasi terkait,
keterampilan, teknologi, dan sikap akan memainkan peran penting dalam
pertanian berkelanjutan. Akibatnya, sistem pertanian berkelanjutan adalah sistem
informasi-intensif karena input telah digantikan oleh keterampilan, tenaga kerja,
dan manajemen. Misalnya, bagi petani yang mempraktekkan pertanian
berkelanjutan untuk menjadi sukses dalam mengelola lahan pertanian mereka,
harus ada jaringan informasi terus menerus, teknologi baru, dan inovasi yang
tersedia untuk mereka. Layanan penyuluhan dapat memainkan peran penting
dalam menyediakan jaringan informasi ini tentang pendidikan pertanian
berkelanjutan. Dengan demikian, peran penyuluhan sangat penting untuk
mendukung pertanian berkelanjutan (Allahyari, 2009).
BAB 3. METODE PRAKTIKUM
3.1 Waktu dan Tempat
Praktikum Penerapan Sistem Pertanian Berkelanjutan dengan judul “ Sistem
Pertanian
Vertikultur” dilaksanakan tanggal 12 September 2014 jam 15.00-
selesai di Laboratorium Fisiologi Tumbuhan Dasar, Fakultas
Pertanian,
Universitas Jember.
3.2 Bahan dan Alat
3.2.1 Bahan
1. Benih tanaman kangkung
2. Nutrisi
3. Plastik bening
4. Tanah
5. Kompos
6. Pasir
3.2.2 Alat
1. Cangkul
2. Timba
3. Handsprayer
3.3 Cara Kerja
1. Menyiapkan bangunan vertikultur dari bahan bahan yang telah disediakan
2. Mengisi bangunan yang telah dibuat dengan campuran media yang telah ada.
Kemudian memberi nutrisi sebelum bibit ditanam
3.
Menanam
benih
membuat lubang kecil
langsung
ke
dalam
terlebih dahulu,
bangunan
vertikultur
dengan
kemudian menutup dengan media
tanam yang digunakan
4. Melakukan pengamatan secara teratur
5. Mengamati pertumbuhan tanaman sesuai parameter pengamatan.
BAB 4 HASIL DAN PEMBAHASAN
3.1. Hasil
4.1.1 Tabel Hasil Pengukuran Rata-rata Tinggi Tanaman
Kelompok Perlakuan
Hari ke- (cm)
3
6
9
12
15
18
21
1
0 ml/l
0
5.63
6.13
6.17
6.23
6.17
10.7
2
1 ml/l
0
5.6
6.33
6.4
6.47
6.4
11
3
2 ml/l
0
5.93
6.83
6.9
7
7
11.5
4
3 ml/l
0
4.63
5.07
5.13
5.17
5.13
9.16
15
7.00
5.00
6.33
4.33
18
7.00
5.00
6.33
4.33
21
9.3
7.3
8
6
15
7.00
5.00
6.33
4.33
18
2.67
3.00
3.00
2.67
21
4.7
4.03
4.8
3.16
15
0.40
0.40
3.33
0.43
18
0.37
0.37
0.33
0.40
21
1.36
0.9
1.13
0.46
4.1.2 Tabel Hasil Pengukuran Rata-rata Jumlah Daun
Kelompok Perlakuan
1
2
3
4
0 ml/l
1 ml/l
2 ml/l
3 ml/l
Hari ke3
6
0
4.67
0
4.67
0
5.30
0
4.33
9
7.00
5.00
5.33
3.33
12
7.00
5.00
6.33
4.33
4.1.3 Tabel Hasil Pengukuran Rata-rata Panjang Daun
Kelompok Perlakuan
1
2
3
4
0 ml/l
1 ml/l
2 ml/l
3 ml/l
Hari ke- (cm)
3
6
0
2.33
0
2.37
0
2.30
0
2.27
9
2.67
2.57
2.87
2.67
12
2.67
3.00
3
2.67
4.1.4 Tabel Hasil Pengukuran Rata-rata Lebar Daun
Kelompok Perlakuan
1
2
3
4
0 ml/l
1 ml/l
2 ml/l
3 ml/l
Hari ke- (cm)
3
6
0
0.27
0
0.33
0
0.30
0
0.33
9
0.37
0.32
0.33
0.4
12
0.37
0.37
0.33
0.40
4.1.5 Tabel Hasil Pengukuran Berat Basah dan Rerata Panjang Akar
Kelompok
Perlakuan
Berat Basah (g)
Panjang Akar (cm)
1
0 ml/l
1.26
2.58
2
1 ml/l
1.16
2.11
3
2 ml/l
1.63
1.83
4
3 ml/l
1.06
1.66
4.2. Pembahasan
Pada praktikum ini, dilakukan penanaman kangkung secara vertikulture
dengan model tegak. Tanaman kangkung ini diberi pupuk daun dengan berbagai
perlakuan yang berbeda yaitu perlakuan 1 0ml/l atau kontrol, perlakuan 2 1ml/l,
perlakuan 2ml/l dan perlakuan 4 yaitu 3ml/l. Setelah penanaman kangkung
tersebut maka dilakukan pengamatan terhadap pertumbuhan serta perkembangan
tanaman dimana parameter pengamatan meliputi pengukuran tinggi tanaman,
jumlah daun, panjang daun, lebar daun dan berat basah serta panjang akar.
Pengamatan dilakukan setiap 3hari sekali sampai hari ke-21 kecuali untuk berat
basah serta panjang akar yang dilakukan pada akhir pengamatan. Berdasarkan
hasil pengamatan tersebut maka didapatkan hasil sebagaimana dicantumkan di
atas dalam bentuk table. Data-data dari masing-masing parameter pengamatan
telah dirata-ratakan sehingga didapatkan juga data dibawah ini (Grafik 1) dalam
bentuk grafik sebagaimana tercantum dibawah ini:
Grafik 1: Grafik Tinggi Tanaman Kangkung
Dari grafik tersebut, dapat dikatakan bahwa tanaman kangkung tidak
belum mengalami pertumbuhan pada hari ke-3. Hal ini disebabkan oleh
pemberian pupuk yang belum dilakukan pada waktu itu. Namun pada hari ke-6,
tanaman sudah mulai bertumbuh yang ditandai dengan tinggi tanaman pada
perlakuan 1 yaitu 5.63cm, perlakuan yaitu 2 5.6cm , perlakuan 3 yaitu 5.93cm dan
pada perlakuan 4 tinggi tanaman mencapai 4.63cm. Mulai hari ke-6 sampai
dengan hari ke 18, tidak terdapat perbedaan pertumbuhan yang signifikan. Hal ini
dikarenakan oleh tingkat keperawatan tanaman yang kurang sehingga banyak
tanaman yang mengalami kekeringan akibat tidak disiram ataupun tidak adanya
upaya penyulaman. Namun, pada hari ke-21, tinggi tanaman mengalami
kenaikkan yang cukup besar karena pada perlakuan 1, tanaman mencapai tinggi
10.7cm, perlakuan 2 mencapai 11cm, perlakuan 3 mencapai 11.5cm dan pada
perlakuan 4 tinggi tanaman mencapai 9.16cm. Menurut grafik tersebut, tanaman
yang paling tinggi didapatkan pada perlakuan 3 dengan pemberian pupuk daun
2ml/l.
Selanjutnya, hasil rata-rata data pada jumlah daun yang didapatkan selama
21 hari dapat dilihat pada grafik sebagai berikut (Grafik 2):
Grafik 2: Grafik Jumlah Daun
Berdasarkan grafik di atas maka dapat dikatakan bahwa tanaman tidak
terdapat daun sama sekali pad ahari ke-3 sebab tanaman belum tumbuh. Namun,
pada hari ke-6, karena tanaman sudah mengalami pertumbuhan sehingga daundaunnya sudah muncul pula dimana pada masing-masing perlakuan menghasilkan
rerata daun yang hamper sama yaitu berkisar Antara 4.5 sampai 5.5 daun.
Kemudian, pada hari ke-9, daun tanaman terus meningkat jumlahnya dimana pada
perlakuan 1 didapatkan rerata jumlah daun sebanyak 7, pada perlakuan 2 rerata
daun sebanyak 5, pada perlakuan 3 rerata daun sebanyak 5.33. Kecuali pada
perlakuan 4 yang mengalami penurunan jumlah daun yaitu dari rerata 4.33 pada
hari ke-6 hingga 3.33 pada hari ke-9. Hal ini disebabkan oleh factor sulaman yaitu
tanaman pada perlakuan ini banyak yang disulam karena sebagian besar
mengalami kekeringan akibat kekurangan tingkat keperawatan. Mulai hari ke-9
sampai dengan hari ke-18, jumlah daun tidak mengalami kenaikkan sama sekali.
Namun pada hari ke-21, jumlah daun pada masing-masing perlakuan naik semua
dimana pada perlakuan 1 yang didapatkan hasil rerata jumlah daun yang paling
banyak yaitu 0.3, pada perlakuan 2 rerata daun yaitu 7.3, pada perlakuan 3, hasil
rarata daun mencapai 8, dan pada perlakuan 4 yang didapatkan hasil rerata jumlah
daun yang paling rendah yaitu 6.
Kemudian, hasil rata-rata data pada panjang daun yang didapatkan selama
21 hari dapat dilihat pada grafik sebagai berikut (Grafik 3):
Grafik 3: Grafik Panjang Daun
Dari data yang berupa grafik di atas, maka dapat diketahui perubahan
panjang daun selama 21-hari dimana pada hari ke-3, tanaman belum mempunyai
daun sebab tanaman belum mengalami pertumbuhan. Namun, pada hari ke-6,
tanaman sudah terdapat daun, sehingga dilakukan pengukuran terhadap panjang
daun tersebut sehingg didapatkan data sebagai berikut, pada hari ke-6 sampai
dengan hari ke-12, panjang daun tidak mengalami perubahan yang sigifikan
dimana pada perlakuan 1, rerata panjang daun berkisar antara 2.33-2.67, pada
perlakuan 2, rerata panjang daun berkisar antara 2.37-3, pada perlakuan 3, rerata
panjang daun berkisar antara 2.3-3 dan pada perlakuan 4, rerata panjang daun
berkisar antara 2.27-2.67. Namun pada hari ke-15, panjang daun mengalami
perubahan yang cukup besar dimana pada perlakuan 1 rerata daun mencapai 7cm,
pada perlakuan 2 rerata daun mencapai 5cm, pada perlakuan 3 rerata daun
mencapai 6.33cm dan pada perlakuan 4 rerata daun mencapai 4.33cm. Pada hari
ke-18, panjang daun mengalami penurunan lagi akibat dari uapaya sulaman yang
dilakukan. Penurunan tersebut mencapai setangah panjang daun yang didapatkan
sebelumnya. Setelah itu, panjang daun terus meningkat kembali dimana pada
perlakuan 3 didapatkan hasil yang paling baik dengan panjang daun 4.8cm
sedangkan panjang daun yang paling pendek terdapat pada perlakuan 4 yaitu
3.16cm.
Selanjutnya, hasil rata-rata data pada lebar daun yang didapatkan selama
21 hari dapat dilihat pada grafik sebagai berikut (Grafik 4):
Dari grafik tersebut, didapatkan data yang sama dengan data-data
sebelumnya hasil pengukuran pada hari ke-3. Pada hari ke-6 lebar daun sudah
dapat diukur sebab tanaman sudah memiliki daun, dimana pada perlakuan 1
didapatkan hasil rerata lebar daun 0.27cm, pada perlakuan 2 hasil rerata daun
mencapai 0.33, pada perlakuan 3 hasil rerata daun mencapai 0.3 dan pada
perlakuan 4 hasil rerata daun mencapai 0.33cm. kemudian, lebar daun mengalami
peningkatan secara terus menerus hingga hari ke 21 dimana pada perlakuan 1
yang didapatkan hasil terbaik dengan lebar daun 0.73cm, sedangkan yang lebar
daun yang paling pendek didapatkan pada perlakuan 3 yaitu 0.39cm. Pada
perlakuan lain yaitu perlakuan 2 lebar daun mencapai 0.5cm dan pada perlakuan
4, lebar daun mencapai 0.46cm.
Parameter pengamatan terahkir yaitu berat basah dan panjang akar.
Pengukurannya dilakukan hanya pada hari ke-21. Setalah hasil data pengukuran
dirata-ratakan maka didapatkan hasil sebagaimana tercantum dalam grafik
dibawah ini (Grafik 4):
Grafik 4: Grafik berat basah dan panjang akar
Berdasarkan grafik di atas maka dapat dikatakan bahwa, masing-masing
perlakuan mempunyai berat bawah serta panjang akar yang berbeda dimana pada
perlakuan 1 didapatkan berat basah 1.26g dengan panjang akar 2.58 cm, pada
perlakuan 2 didapatkan berat basah 1.16g dengan panjang akar 2.11 cm, pada
perlakuan 3 didapatkan berat basah 1.63g dengan panjang akar 1.83 cm dan pada
perlakuan 4 didapatkan berat basah 1.06g dengan panjang akar 1.66 cm. Dari hasil
rerata berat basah tersebut, maka dapat diketahui bahwa tanaman yang memiliki
berat basah paling banyak yaitu tanaman pada perlakuan 3 sedangkan yang paling
rendah yaitu pada perlakuan 4. Untuk panjang akar, ditemukan hasil rerata yang
paling banyak pada perlakuan 1 dan yang paling rendah pada perlakuan 4.
Secara garis besar, perlakuan yang paling baik yaitu perlakuan 3 sebab
sebagian besar hasil rerata data-data dari pengukuran terhadap parameter
pengamatan menunjukkan hasil yang paling tinggi. Sedangkan perlakuan yang
paling buruk yaitu perlakuan 4. Hal tersebut disebabkan oleh dosis pupuk daun
yang diberikan pada tiap tanaman. Pemberian pupuk merupakan suatu upaya yang
sangat penting dan perlu diperhatikan dalam praktek budidaya sebab akan
mempengaruhi pertumbuhan serta hasil produksi suatu tanaman. Dalam upaya
pemberian pupuk, terdapat beberapa persyaratan yang harus diperhatikan di
antaranya dosis pupuk, waktu pemupukan, jenis pupuk dan lain sebagainya. Dosis
yang digunakan harus disesuaikan dengan ayang dibutuhkan oleh tanaman. Bila
dosis pupuk yang diberikan melebihi ambang batas maka tanaman tersebut akan
mengalami keracunan sehingga pertumbuhannya akan terganggu dan bahkan mati
seperti yang dialami tanaman pada perlakuan 4. Begitu pula bila dosis pemupukan
kurang, tanaman tidak dapat bertumbuh secara optimal sebab kurang nutrisi
sehingga proses metabolism tanamannya pun akan terhambat. Begitulah yang
terjadi pada tanaman-tanaman pada perlakuan 1 dan perlakuan 2.
Vertikultur merupakan cara bertanam secara vertical yaitu wadah-wadah
yang berisi media tanam disusun secara vertical. Dengan menerapkan sistem
pananaman secara vertikultur maka permasalahn lahan teruatama bagi masyarakat
di kota dapat teratasi karena sistem vertikultur sangat efisien lahan. Namun tidak
semua tanaman dapat dibudidayakan secara vertikultur karena luas wadahnya
yang
cukup
terbatas.
Dengan
demikian,
tanaman-tanaman
yang
dapat
dibudidayakan secara vertical yaitu tanaman yang memiliki perakaran yang tidak
terlalu keras, dan bobot yang tidak terlalu berat, tanaman yang berumur pendek.
Pada umumnya, tanaman yang dibudidayakan dengan sistem ini merupakan
tanaman yang mempunyai nilai ekonomis yang sangat tinggi seperti golongan
tanaman hortikultura yaitu kangkung yang dijadikan sebagai bahan tanam pada
praktikum ini, selada, kalian, pak-choy, tomat, mentimun dan lain-sebagainya.
Manfaat dari penggunaan sistem budidaya secara vertikultur selain efisien lahan,
juga t
Secara umum, wadah-wadah media tanam dalam sistem upaya keperawatan tidak
terlalu sulit sperti bertanam dengan sistem konvensional, hasil produksi lebih
bermutu dan lebih bersih, hemat pupuk dan pestisida, mempunyai nilai estetik
yang tinggi bila terwat secara teratur. Meskipun banyak kelebihan dari sistem
vertikultur, namun terdapat juga beberapa kelemahan dari sistem ini yaitu
investasi awal cukup tinggi, tanaman rawan akan serangan jamur, penyiraman
harus teratur dan memerlukan peralatan tambahan seperti pipa, tangga bila model
susunan media terlalu tinggi, jenis tanaman yang dapat dibudidayakan terbatas.
Secara umum, wadah-wadah media tanam pada sistem vertikultur dapat
disusun susuai dengan keinginan penanam sendiri namun terdapat beberapa model
yang sudah terkenal yaitu:
1. Model tegak
Model ini biasanya terbuat dari bambu ataupun besi yang
berbentuk silindris. Bamboo atau besi tersebut diberdirikan dan pada
sisi kiri-kanannya terdapat lubang-lubang yang berfungsi sebagai
lubang tanam. Berikut ini adalah gambar yang menyerupai model
vertikultur tegak (Gambar 1):
Gambar 1: model vertikultur tegak
2. Model Vertikultur Rak
Model ini biasanya terbuat dari pipa yang besar, bamboo ataupun
besi yang berbentuk setengah silindris. Berbeda dengan model tegak,
model ini diletakkan secara horizontal. Bila dipandang, model ini
berupa
seperti
anak
tangga.
Berikut
ini
adalah
menyerupai model vertikultur rak (Gambar 2):
Gambar 2: model vertikultur rak
3. Model gantung
gambar
yang
Pada model ini, wadah media tanam digantungkan. Wadah ini dapat
berupa polybag, botol dan lain sebagainya. Berikut ini adalah gambar
yang menyerupai model vertikultur gantung (Gambar 3):
Gambar 3: Model vertikultur gantung
Walaupun, bertanam secara vertikultur hamper sama dengan bertanam di
lahan, namun demikian banyak factor yang perlu diperhatikan dalam
pelaksanaannya sebab dapat mempengaruhi pertumbuhan serta hasil produksi
tanaman. Factor-faktor tersebut yaitu bentuk bangunan vertikultur, monitoring,
unsur hara dan lain sebagainya.
a) Bentuk bangunan dari vertikultur: hal ini sangat penting dalam budidaya secara
vertikultur karena bentuk bangunan harus disesuaikan dengan morfologi tanaman
yang ditanam sehingga tanaman yang dibudidayakan dapat tumbuh dengan baik.
ketidaksesuaian bangunan dengan morfologi tanaman akan berdampak negative
terhadap pertumbuhan serta hasil produksi. Dengan demikian, bentuk bangunan
harus dirancang terlebih dahulu sebelum melaksanakan usaha budidaya
vertikultur.
b) Perawatan: hal ini dapat dikatakn mudah dilakukan namun harus dilakukan
secara kontinyu terutama upayai pengairan serta pengendalian OPT. Pengairan
haru dilakukan secara secara terus menerus karena tanaman yang dibudidayakan
merupakan tanaman hortikultura sehingga membutuhkan banyak air. Begitu pula
dengan pengendalian penyakit karena biasanya tanaman yang dibudidayakan
secara vertikultur sangat rawan terhadap serangan jamur sebab kadar air yang
terlalu tinggi pada media tanam. Penyakit juga muda menyebar sebab tanaman
pada sistem vertikultur sangat berdekatan.
c) Unsur hara: hal ini sangat mendukung pertumbuhan tanaman karena unsur hara
sebagai nutrisi sangat dibutuhkan oleh tanaman dalam proses metabolismenya.
Entah unsur hara makro entah unsur hara mikro, harus disesuaikan dengan dengan
kebutuhan tanaman dosis yang digunakan. Begitupula dengan cara pemberian,
ketepatan waktu, jenis pupuk yang digunakan, semua itu harus tepat agar
penyerapan unsur hara oleh tanaman dapat optimal sehingga pertumbuhan juga
berlangsung dengan baik.
Pada saat ini, semakin hari, semakin sempit lahan pertanian akibat
bertambahnya jumlah penduduk yang semakin pesat juga. Lahan-lahan yang
dahulunya masih kosong ataupun digunakan untuk budidaya tanaman, sekarang
ini sebagian besar telah dialihfungsikan sebagai tempat pemukiman, industry,
gedung sekolah
serta rumah sakit dan lain sebagainya. Dengan semakin
sempitnya lahan tersebut maka tingkat produksi tanaman pangan,perkebunan,
terutama hortikultura pada akhir-akhir ini semakin menurun juga sedangkan
jumlah masyarakat semakin bertambah. Dengan demikian, untuk mencukupi
kebutuhan masyarakat, selain mengimpor dibutuhkan suatu alternative yang dapat
mengatasi permasalahan lahan sempit. Salah satu alternative yang dapat
dianjurkan sebagai solusi lahan sempit yaitu bertanam secara vrtikultur. Tujuan
dari penerapan sistem budidaya vertikultur yaitu mengehematkan lahan
semaksimal mungkin. Solusi ini dianjurkan guna memenuhi kebutuhan
masyarakat akan tanaman hortikultura dan juga untuk menjaga konsep sistem
pertanian
berkelanjutan.
Dengan
menggunakan
sistem
bertanam
secara
vertikulture maka masalah lahan sempit dapat teratasi, terutama di daerah
perkotaan karena sistem vertikultur tidak memerlukan lahan yang luas namun
dapat memproduksi banyak. Dengan demikian, perlu dikembangkan lagi sistem
penanam vertikultur ini agar tidak mengalami krisis pangan dan juga tidak banyak
mengimpor hasil produksi tanaman dari luar negeri.
BAB 5 KESIMPULAN DAN SARAN
5.1. Kesimpulan
Berdasarkan hasil dan pembahasan di atas maka dapat disimpulkan bahwa:
Perlakuan yang menunjukkan hasil terbaik yaitu perlakuan 3 sedangkan
perlakuan yang paling buruk terdapat pada perlakuan 4
Perlakuan pupuk daun yang diberikan sangat berpengaruh terhadap
pertumbuhan tanaman kangkung
Vertikultur merupakan cara bertanam secara vertical
Banyak model yang dapat digunakan untuk menanam secara vertikultur
namun yang paling umum digunakan yaitu model rak, gantung dan tegak
Perawatan tanaman, model bangunan vertikultur dan unsur hara merupakan
factor utama yang dapat mempengaruhi pertumbuhan tanaman pada sistem
vertikultur
Dengan penerapan sistem bertanam secara vertikultur maka permasalahan
lahan sempit dapat teratasi.
5.2. Saran
Praktikan seharusnya lebih focus dalam hal perawatan tanamn agar
petumbuhan tanaman tersebut dapat berlangsung dengan baik sehingga hasil yang
didapatkan pada akhir pengamatan juga dapat lebih baik lagi.
DAFTAR PUSTAKA
Allahyari, M. S. 2009. Agricultural sustainability: implications for extension
systems. Agricultural research 4(9): 781 -786
Banerjee, C. 2014. Up, up and away! The economics of vertical farming.
Agricultural studies 2(1): 40-60
Desiliyarni, T., Y. Astuti dan J. Endah. 2005. Vertikultur: teknik bertanam di lahan
sempit. Agromedia Pustaka. Jakarta.
Keeratiurai, P. 2013. Comparison of drip and sprinkler irrigation system for the
cultivation plants vertically. Agricultural and Biological Science 8(11):
740-744
Kim, T., N. Bae, M. Lee, C. Shin, J. Park and Y. Cho. 2013. A study of an
agricultural ontology model for an intelligent service in a vertical farm.
Smart home 7(4): 117-126
Noverita, Sv.2009. Pengaruh konsentrasi pupuk pelengkap cair nipka- plus dan
jarak tanam terhadap pertumbuhan dan produksi tanaman baby kaylan
(Brassica oleraceae L. Var. Acephala DC.) Secara vertikultur. Penelitian
bidang ilmu pertanian 3(1): 1-10
Rasapto, P.W. 2010. Budidaya sayuran dengan vertikultur. Pusat penelitian dan
pengembangan peternakan 1(1): 424-439
Roziq, F., I. R. Sastrahidayat dan S. Djauhari. 2013. Kejadian hama dan penyakit
tanaman cabai kecil yang dibudidayakan secara vertikultur di sidoarjo.
HPT 1(4):30-37
Sutarminingsih, L. 2003. Pola bertanam secara vertikal, vertikultur. Kanisius.
Yogyakarta.
Wartapa, A., S. Sugihartiningsih, S. Astuti dan Sukadi. 2010. Pengaruh jenis
pupuk dan tanaman antagonis terhadap hasil cabb rawit (Capsicum
frutencens) budidaya vertikultur. llmu-ilmu pertanian 6(2): 142-156
LAPORAN PRAKTIKUM
Oleh :
Kelompok 3
1. Randrianantenaina Aime
2. Avief Ainul Rizal
3. Mahendra Setyoko
4. Ahmad Suprayogi
5. Feri Fadli
6. Rizda Amilia Hardiyanti
7. Muhammad Efendi A. R.
8. Ainul Gufron Tamami
9. Muhammad Erfan
10. Reni Fidianingsih
(121510501201)
(121510501188)
(121510501192)
(121510501195)
(121510501197)
(121510501198)
(121510501199)
(121510501200)
(121510501202)
(121510501203)
PROGRAM STUDI AGROTEKNOLOGI
LABORATURIUM FISIOLOGI TUMBUHAN
FAKULTAS PERTANIAN
UNIVERSITAS JEMBER
2014
BAB 1 PENDAHULUAN
1.1.
Latar belakang
Pada masa sekarang ini, luas lahan yang dapat dimanfaatkan entah untuk
pembangunan entah untuk lahan pertanian semakin sempit sebab meningkatnya
jumlah penduduk yang semakin bertambah. Apalagi, lahan-lahan yang hanya sisah
tersedia pun sekarang ini masih beralih fungsi yaitu digunakan untuk bangunan
pabrik, perumahan, perkantoran dan lain sebagainya. Hal ini sangat berdampak
besar terhadap dunia pertanian terutama pada hasil produksinya yang justru
menurun akibat ketidaktersedianya lahan tersebut. Dengan demikian maka
dibutuhkan alternative-alternatif untuk mengatasi permasalahan lahan tersebut.
Salah satu alternative yang dapat dilakukan yaitu dengan menerapkan system
pertanian vertikultur.
Istilah vertikultur ini terdiri atas dua kata yang berasal dari Bahasa inggris
yaitu kata vertical yang berarti lurus dan culture yang berarti budidaya sehingga
bila dapat diartikan bahwa vertikultur adalah system budidaya pertanian yang
dilakukan secara bertingkat ataupun vertical, baik indoor maupun outdoor. System
budidaya ini merupakan konsep penghijauan yang sangat cocok pada daerah yang
sempit terutama di daerah perkotaan dimana lahan yang terbatas pun dapat
dimanfaatkan secara maksimal. Misalkan, pada system pertanian konvensional,
lahan 1 m2 hanya dapat ditanam tanaman sekitar 5 batang, sementara pada system
vertikultur, jumlah tanaman yang dapat ditanami bias sampai 4 kali lipat. System
vertikultur ini tidak hanya memberi manfaat pada luas lahan saja, tetapi juga bila
dipandang dari segi estetikanya, tanaman-tanaman yang diterapkan dengan system
ini sangat memberi nilai keindahan lingkungan sekitar.
Jika dilihat dari segi cara bercocok tanam, sistem vertikultur tidak jauh beda
dengan sistem pertanian konvensional namun perbedaannya terdapat pada cara
pemanfaatan lahan dimana sistem vertikultur jauh lebih efisien daripada sistem
konvensional meskipun luas lahan yang digunakan sama. Selain itu, pada sistem
pertanian vertikultur, sebab media tanam yang digunakan tidak bersentuhan secara
langsung dengan tanah sehingga kemungkinan untuk bertumbuhnya rumputrumputan atau gulma sangat minim, penggunaan pestisida dan pupuk juga sangat
hemat, sistem ini sangat mempermudah kegiatan perawatan tanaman dan tidak
memerlukan tenaga kerja yang banyak, kerusakan tanaman akibat hujan yang
deras juga dapat dicega oleh atap plastic yang digunakan, tanaman dapat
dipindah-pindah sesuai dengan keinginan pekebun karena terletak dalam suatu
wadah.
Wadah vertikultur mempunyai model, ukuran dan bahan yang bermacammacam namun pada umumnya yang sering digunakan ialah wadah yang berbentuk
segi tiga, persgi panjang, bentuk anak tangga. Bahan yang digunakan biasanya
berupa pipa paralon, bamboo, kaleng bekas ataupun karung beras. Salah satu
persyaratan vertikultur adalah mudah dipindahkan dan kuat. Tanaman yang akan
dibudidayakan secara vertikultur sebaiknya memiliki nilai ekonomis yang tinggi,
berakar pendek dan berumur pendek. Jenis tanaman yang sering dibudidayakan
secara vertikultur adalah tanaman sayur-sayuran seperti kangkung, pakcoy, selada,
kemangi, tomat, mentimun, pare, dan lain sebagainya.
1.2.
Tujuan
Mahasiswa mampu dan terampil dalam menyikapi permasalahan lahan kritis
dengan membudidayakan tanaman secara vertikultur.
BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA
Vertikulrure adalah cara bertanam dalam susunan vertikal keatas menuju ruang
udara bebas, dengan menggunakan tempat media tumbuh yang disusun secara
vertikal pula. Media tanam ditampung dalam kaleng kaleng, ralon pvc, riul,
maupun papan kayu dapat dipergunakan sebagai alternatif tempat media tanam.
Di Indonesia, sistem pertanian vertikal baru dikembangkan sejak tahun I 987,
sehingga apa yang dijelaskan ini sebagian besar sudah dilakukan pada kurun
waktu itu. Kolom verikal paling sederhana dapat dibuat dari mulsa hitam perak
dengan kerangka bamboo (Wartapa et al, 2010).
Sistem tanam vertikultur sangat cocok diterapkan, khususnya bagi para petani
atau pengusaha yang memiliki lahan sempit. Vertikultur dapat pula diterapkan
pada bangunan-bangunan bertingkat, perumahan umum, atau bahkan pada
pemukiman di daerah padat yang tidak punya halaman sama sekali. Dengan
metode vertikultur ini, kita dapat memanfaatkan lahan semaksimal mungkin.
Usaha tani secara komersial dapat dilakukan secara vertikultur, apalagi kalau
sekedar untuk memenuhi kebutuhan sendiri akan sayuran atau buah-buahan
semusim. Jenis tanaman yang cocok untuk dibudidayakan secara vertikultur
adalah jenis tanaman semusim yang tingginya tidak melebihi satu meter seperti
cabai, tomat, terong, kubis, sawi, selederi, daun bawang (Noverita, 2009).
Faktor lain yang menyebabkan rendahnya produksi cabai adalah ketersediaan
lahan budidaya. Faktor pertambahan penduduk yang pesat disertai dengan
kemajuan teknologi dan industri pada akhirnya akan menggeser fungsi lahan
pertanian menjadi lahan perumahan dan industri. Dengan kegiatan bertani secara
vertikultur, lahan yang sempit seperti halnya pekarangan rumah dapat
dimanfaatkan untuk kegiatan bercocok tanam. Pemanfaatan teknologi budidaya
cabai dengan menggunakan vertikultur, diharapkan kebutuhan akan cabai dapat
selalu terpenuhi, khususnya skala rumah tangga. (Roziq et al. 2013)
Budidaya secara vertikultur ada kelebihan dan kekurangan. Keuntungan
budidaya secara vertikultur adalah sebagai berikut : kualitas produksi lebih baik
dan lebih bersih; kuantitas produksi lebih tinggi dan kontinuitas produksi dapat
dijaga; mempercantik halaman dan benfungsi sebagai paru-paru kota; menunjang
pendapatan keluarga; menjadi lahan bisnis, baik langsung maupun tidak langsung;
dapat digunakan sebagai sumber tanaman obat bagi keluarga (toga); menarnbah
dan mernperbaiki gizi kcluarga; efisiensi lahan, pupuk, air, benih, dan tcnaga
kerja; menghilangkan stress atau mengurangi beban pikiran. Kekurangan sistern
vertikultur adalah sebagai berikut: rawan terhadap serangan jarnur; investasi awal
yang dibutuhkan cukup tinggi, terutarna untuk mernbuat bangunan; apabila
menggunakan atap plastik, harus dilak pcnyiraman tiap hari; perlu tangga at au
alat khusus yang dapat dinaiki perneliharaan dan pcrnanenan di lantai atas
(Rasapto, 2010).
Dalam pertanaman vertikultur sangat pen-ting diperhatikan jarak tanam antar
pot dalam satu tiang. Jarak antar pot akan mempengaruhi intersepsi cahaya
matahari ke daun tanaman. Berkurangnya sinar matahari pada daun tana-man
dapat mempengaruhi pertumbuhan dan produksi tanaman. Untuk mengatasi hal
tersebut dapat dilakukan pengaturan jarak antar pot sehingga daun tanaman yang
tumbuh tidak saling tumpang tindih (Desiliyarni et al. 2005).
Vertikultur dapat dilaksanakan dengan memanfaatkan bahan-bahan dan
peralatan yang ada di sekitar kita. Di samping itu, mudah dalam penyiapan dan
pemeliharaannya sehingga dapat dilakukan oleh setiap orang yang benarbenar
ingin rnenekuninya, Menurut Nitisapto (1993), beberapa rancangan wadah media
tanam yang sudah cukup banyak dicoba dan menunjukkan tingkat keberbasilan
yang tinggi, adalah sebagai berikut: Kolom wadah media tanam disusun secara
verrtikal, Kolom wadah media disusun secara horizontal, Wadah media digantung,
Pot susun (Sutarminingsih, 2003).
sistem pertanian secara vertikal harus menyediakan kondisi yang optimal bagi
tanaman untuk transisi benih melalui perkecambahan, vegetatif, reproduktif dan
fase panen. sebab merupakan sistem tertutup, hal yang harus diperhatikan yaitu
suhu, dan kelembaban relatif dalam ruang pertumbuhan. Selain itu, pengendalian
dan peningkatannya tingkat CO2 telah disimulasikan untuk memperoleh hasil
biomassa yang maksimal. Sejak tanaman tumbuh dalam sistem aeroponik, itu
lebih mungkin untuk mendaur ulang nutrisi yang berlebihan dari kabut udara. Hal
yang harus diutamakan dalam sistem tertutup tersebut juga yaitu untuk menyaring
kontaminasi dan jejak gas, seperti etilena, yang dilepaskan ke udara oleh tanaman.
Untuk hal
ini,
tiga lantai
pengendalian
lingkungan
yang diperlukan,
mengendalikan kualitas udara dan mendaur ulang nutrisi lebih dari 8 -9 budidaya
tanaman pada masing-masing lantai (Banerjee, 2014).
Hasil studi menunjukkan penanaman di ruang vertikal 10 meter persegi per
lantai kondominium dengan jumlah lantai empat. Penanaman di vertikal bisa
menghemat ruang daripada tanaman horisontal. Irigasi tetes dan sistem
penyiraman tidak berbeda nyata hasil pertumbuhan tanaman yang diteliti baik
terhadap ukuran dan tinggi batang tanaman. Perbandingan hasil tanam per unit
areal dengan jumlah air yang digunakan penyiraman itu yang menjadi faktor
utama. Produktivitas tanaman pada kedua sistem irigasi siram dan tetes terlihat
kurang daripada menanam dengan irigasi normal. Karena penanaman dengan
irigasi yang biasa digunakan pupuk kimia dan biasanya ditanam di dataran. Tapi
tanaman ini ditanam di kondominium di mana tanaman menerima sinar matahari
tidak sempurna. Kondominium menerima sinar matahari hanya dalam waktu
singkat pada pagi dan sore hari ketika matahari bersinar diagonal ke
kondominium saja. Sementara tanam vertikal penelitian ini tidak menggunakan
pupuk kimia, tetapi digunakan air limbah dari kolam ikan bukan pupuk ikan yang
diberi pakan dengan kotoran ayam. Hal itu membuat tanaman tidak sepenuhnya
menerima nutrisi setara dengan tanaman yang diberikan pupuk secara langsung.
Keuntungan dari sistem ini adalah tidak terdapat residu kimia pada tanaman dan
sayuran yang ditanam. Penelitian ini dapat digunakan sebagai alternatif
penanaman bagi masyarakat perkotaan dan juga mengurangi biaya tanam
(Keeratiurai, 2013).
Pertanian vertikal adalah sistem produksi kontinu yang membudidayakan
tanaman tanpa intervensi manusia melalui kontrol otomatis dalam ruang yang
cocok untuk lingkungan pertumbuhan tanaman seperti cahaya, suhu, kelembaban,
tingkat karbon dioksida, dan nutrisi [1]. Oleh karena itu, dengan pengenalan
kebun vertikal, pertanian berdiri pada tangga sistematis dan otomatis revolusi
pertanian baru melalui konvergensi berbagai teknologi terbaru. Untuk revolusi
pertanian baru, banyak penelitian dan perkembangan sedang dilakukan untuk
memberikan layanan cerdas, dan tujuan mereka adalah sama bahwa mereka ingin
menciptakan lingkungan di mana-mana dengan peternakan vertikal. Namun,
layanan pintar yang ada memiliki keterbatasan dan kekurangan sebagai berikut:
(1) kebanyakan sistem layanan pintar yang ada tergantung pada sistem tertentu.
Jadi, dalam rangka untuk memperpanjang, memperbaiki atau menghapus layanan,
itu harus ditangani oleh pengembang asli. (2) Dan mereka masih kurang handal
karena adanya beberapa faktor lingkungan atau faktor kontrol untuk pertumbuhan
tanaman. (3) Dan juga mereka selalu membutuhkan intervensi manusia tentang
berbagai situasi yang luar biasa selama layanan (Kim et al. 2013).
Pertanian berkelanjutan adalah praktek yang memenuhi kebutuhan pada saat
ini dan dalam jangka panjang dengan makanan, serat, dan kebutuhan lain yang
terkait masyarakat sekaligus memaksimalkan keuntungan bersih melalui
konservasi sumber daya untuk mempertahankan layanan ekosistem lain
dan
fungsinya, dan pembangunan manusia dalam jangka panjang. Tampaknya
pertanian berkelanjutan lebih dari pergeseran praktek pertanian; melainkan harus
fokus pada meningkatkan kesadaran. Pengetahuan dan informasi terkait,
keterampilan, teknologi, dan sikap akan memainkan peran penting dalam
pertanian berkelanjutan. Akibatnya, sistem pertanian berkelanjutan adalah sistem
informasi-intensif karena input telah digantikan oleh keterampilan, tenaga kerja,
dan manajemen. Misalnya, bagi petani yang mempraktekkan pertanian
berkelanjutan untuk menjadi sukses dalam mengelola lahan pertanian mereka,
harus ada jaringan informasi terus menerus, teknologi baru, dan inovasi yang
tersedia untuk mereka. Layanan penyuluhan dapat memainkan peran penting
dalam menyediakan jaringan informasi ini tentang pendidikan pertanian
berkelanjutan. Dengan demikian, peran penyuluhan sangat penting untuk
mendukung pertanian berkelanjutan (Allahyari, 2009).
BAB 3. METODE PRAKTIKUM
3.1 Waktu dan Tempat
Praktikum Penerapan Sistem Pertanian Berkelanjutan dengan judul “ Sistem
Pertanian
Vertikultur” dilaksanakan tanggal 12 September 2014 jam 15.00-
selesai di Laboratorium Fisiologi Tumbuhan Dasar, Fakultas
Pertanian,
Universitas Jember.
3.2 Bahan dan Alat
3.2.1 Bahan
1. Benih tanaman kangkung
2. Nutrisi
3. Plastik bening
4. Tanah
5. Kompos
6. Pasir
3.2.2 Alat
1. Cangkul
2. Timba
3. Handsprayer
3.3 Cara Kerja
1. Menyiapkan bangunan vertikultur dari bahan bahan yang telah disediakan
2. Mengisi bangunan yang telah dibuat dengan campuran media yang telah ada.
Kemudian memberi nutrisi sebelum bibit ditanam
3.
Menanam
benih
membuat lubang kecil
langsung
ke
dalam
terlebih dahulu,
bangunan
vertikultur
dengan
kemudian menutup dengan media
tanam yang digunakan
4. Melakukan pengamatan secara teratur
5. Mengamati pertumbuhan tanaman sesuai parameter pengamatan.
BAB 4 HASIL DAN PEMBAHASAN
3.1. Hasil
4.1.1 Tabel Hasil Pengukuran Rata-rata Tinggi Tanaman
Kelompok Perlakuan
Hari ke- (cm)
3
6
9
12
15
18
21
1
0 ml/l
0
5.63
6.13
6.17
6.23
6.17
10.7
2
1 ml/l
0
5.6
6.33
6.4
6.47
6.4
11
3
2 ml/l
0
5.93
6.83
6.9
7
7
11.5
4
3 ml/l
0
4.63
5.07
5.13
5.17
5.13
9.16
15
7.00
5.00
6.33
4.33
18
7.00
5.00
6.33
4.33
21
9.3
7.3
8
6
15
7.00
5.00
6.33
4.33
18
2.67
3.00
3.00
2.67
21
4.7
4.03
4.8
3.16
15
0.40
0.40
3.33
0.43
18
0.37
0.37
0.33
0.40
21
1.36
0.9
1.13
0.46
4.1.2 Tabel Hasil Pengukuran Rata-rata Jumlah Daun
Kelompok Perlakuan
1
2
3
4
0 ml/l
1 ml/l
2 ml/l
3 ml/l
Hari ke3
6
0
4.67
0
4.67
0
5.30
0
4.33
9
7.00
5.00
5.33
3.33
12
7.00
5.00
6.33
4.33
4.1.3 Tabel Hasil Pengukuran Rata-rata Panjang Daun
Kelompok Perlakuan
1
2
3
4
0 ml/l
1 ml/l
2 ml/l
3 ml/l
Hari ke- (cm)
3
6
0
2.33
0
2.37
0
2.30
0
2.27
9
2.67
2.57
2.87
2.67
12
2.67
3.00
3
2.67
4.1.4 Tabel Hasil Pengukuran Rata-rata Lebar Daun
Kelompok Perlakuan
1
2
3
4
0 ml/l
1 ml/l
2 ml/l
3 ml/l
Hari ke- (cm)
3
6
0
0.27
0
0.33
0
0.30
0
0.33
9
0.37
0.32
0.33
0.4
12
0.37
0.37
0.33
0.40
4.1.5 Tabel Hasil Pengukuran Berat Basah dan Rerata Panjang Akar
Kelompok
Perlakuan
Berat Basah (g)
Panjang Akar (cm)
1
0 ml/l
1.26
2.58
2
1 ml/l
1.16
2.11
3
2 ml/l
1.63
1.83
4
3 ml/l
1.06
1.66
4.2. Pembahasan
Pada praktikum ini, dilakukan penanaman kangkung secara vertikulture
dengan model tegak. Tanaman kangkung ini diberi pupuk daun dengan berbagai
perlakuan yang berbeda yaitu perlakuan 1 0ml/l atau kontrol, perlakuan 2 1ml/l,
perlakuan 2ml/l dan perlakuan 4 yaitu 3ml/l. Setelah penanaman kangkung
tersebut maka dilakukan pengamatan terhadap pertumbuhan serta perkembangan
tanaman dimana parameter pengamatan meliputi pengukuran tinggi tanaman,
jumlah daun, panjang daun, lebar daun dan berat basah serta panjang akar.
Pengamatan dilakukan setiap 3hari sekali sampai hari ke-21 kecuali untuk berat
basah serta panjang akar yang dilakukan pada akhir pengamatan. Berdasarkan
hasil pengamatan tersebut maka didapatkan hasil sebagaimana dicantumkan di
atas dalam bentuk table. Data-data dari masing-masing parameter pengamatan
telah dirata-ratakan sehingga didapatkan juga data dibawah ini (Grafik 1) dalam
bentuk grafik sebagaimana tercantum dibawah ini:
Grafik 1: Grafik Tinggi Tanaman Kangkung
Dari grafik tersebut, dapat dikatakan bahwa tanaman kangkung tidak
belum mengalami pertumbuhan pada hari ke-3. Hal ini disebabkan oleh
pemberian pupuk yang belum dilakukan pada waktu itu. Namun pada hari ke-6,
tanaman sudah mulai bertumbuh yang ditandai dengan tinggi tanaman pada
perlakuan 1 yaitu 5.63cm, perlakuan yaitu 2 5.6cm , perlakuan 3 yaitu 5.93cm dan
pada perlakuan 4 tinggi tanaman mencapai 4.63cm. Mulai hari ke-6 sampai
dengan hari ke 18, tidak terdapat perbedaan pertumbuhan yang signifikan. Hal ini
dikarenakan oleh tingkat keperawatan tanaman yang kurang sehingga banyak
tanaman yang mengalami kekeringan akibat tidak disiram ataupun tidak adanya
upaya penyulaman. Namun, pada hari ke-21, tinggi tanaman mengalami
kenaikkan yang cukup besar karena pada perlakuan 1, tanaman mencapai tinggi
10.7cm, perlakuan 2 mencapai 11cm, perlakuan 3 mencapai 11.5cm dan pada
perlakuan 4 tinggi tanaman mencapai 9.16cm. Menurut grafik tersebut, tanaman
yang paling tinggi didapatkan pada perlakuan 3 dengan pemberian pupuk daun
2ml/l.
Selanjutnya, hasil rata-rata data pada jumlah daun yang didapatkan selama
21 hari dapat dilihat pada grafik sebagai berikut (Grafik 2):
Grafik 2: Grafik Jumlah Daun
Berdasarkan grafik di atas maka dapat dikatakan bahwa tanaman tidak
terdapat daun sama sekali pad ahari ke-3 sebab tanaman belum tumbuh. Namun,
pada hari ke-6, karena tanaman sudah mengalami pertumbuhan sehingga daundaunnya sudah muncul pula dimana pada masing-masing perlakuan menghasilkan
rerata daun yang hamper sama yaitu berkisar Antara 4.5 sampai 5.5 daun.
Kemudian, pada hari ke-9, daun tanaman terus meningkat jumlahnya dimana pada
perlakuan 1 didapatkan rerata jumlah daun sebanyak 7, pada perlakuan 2 rerata
daun sebanyak 5, pada perlakuan 3 rerata daun sebanyak 5.33. Kecuali pada
perlakuan 4 yang mengalami penurunan jumlah daun yaitu dari rerata 4.33 pada
hari ke-6 hingga 3.33 pada hari ke-9. Hal ini disebabkan oleh factor sulaman yaitu
tanaman pada perlakuan ini banyak yang disulam karena sebagian besar
mengalami kekeringan akibat kekurangan tingkat keperawatan. Mulai hari ke-9
sampai dengan hari ke-18, jumlah daun tidak mengalami kenaikkan sama sekali.
Namun pada hari ke-21, jumlah daun pada masing-masing perlakuan naik semua
dimana pada perlakuan 1 yang didapatkan hasil rerata jumlah daun yang paling
banyak yaitu 0.3, pada perlakuan 2 rerata daun yaitu 7.3, pada perlakuan 3, hasil
rarata daun mencapai 8, dan pada perlakuan 4 yang didapatkan hasil rerata jumlah
daun yang paling rendah yaitu 6.
Kemudian, hasil rata-rata data pada panjang daun yang didapatkan selama
21 hari dapat dilihat pada grafik sebagai berikut (Grafik 3):
Grafik 3: Grafik Panjang Daun
Dari data yang berupa grafik di atas, maka dapat diketahui perubahan
panjang daun selama 21-hari dimana pada hari ke-3, tanaman belum mempunyai
daun sebab tanaman belum mengalami pertumbuhan. Namun, pada hari ke-6,
tanaman sudah terdapat daun, sehingga dilakukan pengukuran terhadap panjang
daun tersebut sehingg didapatkan data sebagai berikut, pada hari ke-6 sampai
dengan hari ke-12, panjang daun tidak mengalami perubahan yang sigifikan
dimana pada perlakuan 1, rerata panjang daun berkisar antara 2.33-2.67, pada
perlakuan 2, rerata panjang daun berkisar antara 2.37-3, pada perlakuan 3, rerata
panjang daun berkisar antara 2.3-3 dan pada perlakuan 4, rerata panjang daun
berkisar antara 2.27-2.67. Namun pada hari ke-15, panjang daun mengalami
perubahan yang cukup besar dimana pada perlakuan 1 rerata daun mencapai 7cm,
pada perlakuan 2 rerata daun mencapai 5cm, pada perlakuan 3 rerata daun
mencapai 6.33cm dan pada perlakuan 4 rerata daun mencapai 4.33cm. Pada hari
ke-18, panjang daun mengalami penurunan lagi akibat dari uapaya sulaman yang
dilakukan. Penurunan tersebut mencapai setangah panjang daun yang didapatkan
sebelumnya. Setelah itu, panjang daun terus meningkat kembali dimana pada
perlakuan 3 didapatkan hasil yang paling baik dengan panjang daun 4.8cm
sedangkan panjang daun yang paling pendek terdapat pada perlakuan 4 yaitu
3.16cm.
Selanjutnya, hasil rata-rata data pada lebar daun yang didapatkan selama
21 hari dapat dilihat pada grafik sebagai berikut (Grafik 4):
Dari grafik tersebut, didapatkan data yang sama dengan data-data
sebelumnya hasil pengukuran pada hari ke-3. Pada hari ke-6 lebar daun sudah
dapat diukur sebab tanaman sudah memiliki daun, dimana pada perlakuan 1
didapatkan hasil rerata lebar daun 0.27cm, pada perlakuan 2 hasil rerata daun
mencapai 0.33, pada perlakuan 3 hasil rerata daun mencapai 0.3 dan pada
perlakuan 4 hasil rerata daun mencapai 0.33cm. kemudian, lebar daun mengalami
peningkatan secara terus menerus hingga hari ke 21 dimana pada perlakuan 1
yang didapatkan hasil terbaik dengan lebar daun 0.73cm, sedangkan yang lebar
daun yang paling pendek didapatkan pada perlakuan 3 yaitu 0.39cm. Pada
perlakuan lain yaitu perlakuan 2 lebar daun mencapai 0.5cm dan pada perlakuan
4, lebar daun mencapai 0.46cm.
Parameter pengamatan terahkir yaitu berat basah dan panjang akar.
Pengukurannya dilakukan hanya pada hari ke-21. Setalah hasil data pengukuran
dirata-ratakan maka didapatkan hasil sebagaimana tercantum dalam grafik
dibawah ini (Grafik 4):
Grafik 4: Grafik berat basah dan panjang akar
Berdasarkan grafik di atas maka dapat dikatakan bahwa, masing-masing
perlakuan mempunyai berat bawah serta panjang akar yang berbeda dimana pada
perlakuan 1 didapatkan berat basah 1.26g dengan panjang akar 2.58 cm, pada
perlakuan 2 didapatkan berat basah 1.16g dengan panjang akar 2.11 cm, pada
perlakuan 3 didapatkan berat basah 1.63g dengan panjang akar 1.83 cm dan pada
perlakuan 4 didapatkan berat basah 1.06g dengan panjang akar 1.66 cm. Dari hasil
rerata berat basah tersebut, maka dapat diketahui bahwa tanaman yang memiliki
berat basah paling banyak yaitu tanaman pada perlakuan 3 sedangkan yang paling
rendah yaitu pada perlakuan 4. Untuk panjang akar, ditemukan hasil rerata yang
paling banyak pada perlakuan 1 dan yang paling rendah pada perlakuan 4.
Secara garis besar, perlakuan yang paling baik yaitu perlakuan 3 sebab
sebagian besar hasil rerata data-data dari pengukuran terhadap parameter
pengamatan menunjukkan hasil yang paling tinggi. Sedangkan perlakuan yang
paling buruk yaitu perlakuan 4. Hal tersebut disebabkan oleh dosis pupuk daun
yang diberikan pada tiap tanaman. Pemberian pupuk merupakan suatu upaya yang
sangat penting dan perlu diperhatikan dalam praktek budidaya sebab akan
mempengaruhi pertumbuhan serta hasil produksi suatu tanaman. Dalam upaya
pemberian pupuk, terdapat beberapa persyaratan yang harus diperhatikan di
antaranya dosis pupuk, waktu pemupukan, jenis pupuk dan lain sebagainya. Dosis
yang digunakan harus disesuaikan dengan ayang dibutuhkan oleh tanaman. Bila
dosis pupuk yang diberikan melebihi ambang batas maka tanaman tersebut akan
mengalami keracunan sehingga pertumbuhannya akan terganggu dan bahkan mati
seperti yang dialami tanaman pada perlakuan 4. Begitu pula bila dosis pemupukan
kurang, tanaman tidak dapat bertumbuh secara optimal sebab kurang nutrisi
sehingga proses metabolism tanamannya pun akan terhambat. Begitulah yang
terjadi pada tanaman-tanaman pada perlakuan 1 dan perlakuan 2.
Vertikultur merupakan cara bertanam secara vertical yaitu wadah-wadah
yang berisi media tanam disusun secara vertical. Dengan menerapkan sistem
pananaman secara vertikultur maka permasalahn lahan teruatama bagi masyarakat
di kota dapat teratasi karena sistem vertikultur sangat efisien lahan. Namun tidak
semua tanaman dapat dibudidayakan secara vertikultur karena luas wadahnya
yang
cukup
terbatas.
Dengan
demikian,
tanaman-tanaman
yang
dapat
dibudidayakan secara vertical yaitu tanaman yang memiliki perakaran yang tidak
terlalu keras, dan bobot yang tidak terlalu berat, tanaman yang berumur pendek.
Pada umumnya, tanaman yang dibudidayakan dengan sistem ini merupakan
tanaman yang mempunyai nilai ekonomis yang sangat tinggi seperti golongan
tanaman hortikultura yaitu kangkung yang dijadikan sebagai bahan tanam pada
praktikum ini, selada, kalian, pak-choy, tomat, mentimun dan lain-sebagainya.
Manfaat dari penggunaan sistem budidaya secara vertikultur selain efisien lahan,
juga t
Secara umum, wadah-wadah media tanam dalam sistem upaya keperawatan tidak
terlalu sulit sperti bertanam dengan sistem konvensional, hasil produksi lebih
bermutu dan lebih bersih, hemat pupuk dan pestisida, mempunyai nilai estetik
yang tinggi bila terwat secara teratur. Meskipun banyak kelebihan dari sistem
vertikultur, namun terdapat juga beberapa kelemahan dari sistem ini yaitu
investasi awal cukup tinggi, tanaman rawan akan serangan jamur, penyiraman
harus teratur dan memerlukan peralatan tambahan seperti pipa, tangga bila model
susunan media terlalu tinggi, jenis tanaman yang dapat dibudidayakan terbatas.
Secara umum, wadah-wadah media tanam pada sistem vertikultur dapat
disusun susuai dengan keinginan penanam sendiri namun terdapat beberapa model
yang sudah terkenal yaitu:
1. Model tegak
Model ini biasanya terbuat dari bambu ataupun besi yang
berbentuk silindris. Bamboo atau besi tersebut diberdirikan dan pada
sisi kiri-kanannya terdapat lubang-lubang yang berfungsi sebagai
lubang tanam. Berikut ini adalah gambar yang menyerupai model
vertikultur tegak (Gambar 1):
Gambar 1: model vertikultur tegak
2. Model Vertikultur Rak
Model ini biasanya terbuat dari pipa yang besar, bamboo ataupun
besi yang berbentuk setengah silindris. Berbeda dengan model tegak,
model ini diletakkan secara horizontal. Bila dipandang, model ini
berupa
seperti
anak
tangga.
Berikut
ini
adalah
menyerupai model vertikultur rak (Gambar 2):
Gambar 2: model vertikultur rak
3. Model gantung
gambar
yang
Pada model ini, wadah media tanam digantungkan. Wadah ini dapat
berupa polybag, botol dan lain sebagainya. Berikut ini adalah gambar
yang menyerupai model vertikultur gantung (Gambar 3):
Gambar 3: Model vertikultur gantung
Walaupun, bertanam secara vertikultur hamper sama dengan bertanam di
lahan, namun demikian banyak factor yang perlu diperhatikan dalam
pelaksanaannya sebab dapat mempengaruhi pertumbuhan serta hasil produksi
tanaman. Factor-faktor tersebut yaitu bentuk bangunan vertikultur, monitoring,
unsur hara dan lain sebagainya.
a) Bentuk bangunan dari vertikultur: hal ini sangat penting dalam budidaya secara
vertikultur karena bentuk bangunan harus disesuaikan dengan morfologi tanaman
yang ditanam sehingga tanaman yang dibudidayakan dapat tumbuh dengan baik.
ketidaksesuaian bangunan dengan morfologi tanaman akan berdampak negative
terhadap pertumbuhan serta hasil produksi. Dengan demikian, bentuk bangunan
harus dirancang terlebih dahulu sebelum melaksanakan usaha budidaya
vertikultur.
b) Perawatan: hal ini dapat dikatakn mudah dilakukan namun harus dilakukan
secara kontinyu terutama upayai pengairan serta pengendalian OPT. Pengairan
haru dilakukan secara secara terus menerus karena tanaman yang dibudidayakan
merupakan tanaman hortikultura sehingga membutuhkan banyak air. Begitu pula
dengan pengendalian penyakit karena biasanya tanaman yang dibudidayakan
secara vertikultur sangat rawan terhadap serangan jamur sebab kadar air yang
terlalu tinggi pada media tanam. Penyakit juga muda menyebar sebab tanaman
pada sistem vertikultur sangat berdekatan.
c) Unsur hara: hal ini sangat mendukung pertumbuhan tanaman karena unsur hara
sebagai nutrisi sangat dibutuhkan oleh tanaman dalam proses metabolismenya.
Entah unsur hara makro entah unsur hara mikro, harus disesuaikan dengan dengan
kebutuhan tanaman dosis yang digunakan. Begitupula dengan cara pemberian,
ketepatan waktu, jenis pupuk yang digunakan, semua itu harus tepat agar
penyerapan unsur hara oleh tanaman dapat optimal sehingga pertumbuhan juga
berlangsung dengan baik.
Pada saat ini, semakin hari, semakin sempit lahan pertanian akibat
bertambahnya jumlah penduduk yang semakin pesat juga. Lahan-lahan yang
dahulunya masih kosong ataupun digunakan untuk budidaya tanaman, sekarang
ini sebagian besar telah dialihfungsikan sebagai tempat pemukiman, industry,
gedung sekolah
serta rumah sakit dan lain sebagainya. Dengan semakin
sempitnya lahan tersebut maka tingkat produksi tanaman pangan,perkebunan,
terutama hortikultura pada akhir-akhir ini semakin menurun juga sedangkan
jumlah masyarakat semakin bertambah. Dengan demikian, untuk mencukupi
kebutuhan masyarakat, selain mengimpor dibutuhkan suatu alternative yang dapat
mengatasi permasalahan lahan sempit. Salah satu alternative yang dapat
dianjurkan sebagai solusi lahan sempit yaitu bertanam secara vrtikultur. Tujuan
dari penerapan sistem budidaya vertikultur yaitu mengehematkan lahan
semaksimal mungkin. Solusi ini dianjurkan guna memenuhi kebutuhan
masyarakat akan tanaman hortikultura dan juga untuk menjaga konsep sistem
pertanian
berkelanjutan.
Dengan
menggunakan
sistem
bertanam
secara
vertikulture maka masalah lahan sempit dapat teratasi, terutama di daerah
perkotaan karena sistem vertikultur tidak memerlukan lahan yang luas namun
dapat memproduksi banyak. Dengan demikian, perlu dikembangkan lagi sistem
penanam vertikultur ini agar tidak mengalami krisis pangan dan juga tidak banyak
mengimpor hasil produksi tanaman dari luar negeri.
BAB 5 KESIMPULAN DAN SARAN
5.1. Kesimpulan
Berdasarkan hasil dan pembahasan di atas maka dapat disimpulkan bahwa:
Perlakuan yang menunjukkan hasil terbaik yaitu perlakuan 3 sedangkan
perlakuan yang paling buruk terdapat pada perlakuan 4
Perlakuan pupuk daun yang diberikan sangat berpengaruh terhadap
pertumbuhan tanaman kangkung
Vertikultur merupakan cara bertanam secara vertical
Banyak model yang dapat digunakan untuk menanam secara vertikultur
namun yang paling umum digunakan yaitu model rak, gantung dan tegak
Perawatan tanaman, model bangunan vertikultur dan unsur hara merupakan
factor utama yang dapat mempengaruhi pertumbuhan tanaman pada sistem
vertikultur
Dengan penerapan sistem bertanam secara vertikultur maka permasalahan
lahan sempit dapat teratasi.
5.2. Saran
Praktikan seharusnya lebih focus dalam hal perawatan tanamn agar
petumbuhan tanaman tersebut dapat berlangsung dengan baik sehingga hasil yang
didapatkan pada akhir pengamatan juga dapat lebih baik lagi.
DAFTAR PUSTAKA
Allahyari, M. S. 2009. Agricultural sustainability: implications for extension
systems. Agricultural research 4(9): 781 -786
Banerjee, C. 2014. Up, up and away! The economics of vertical farming.
Agricultural studies 2(1): 40-60
Desiliyarni, T., Y. Astuti dan J. Endah. 2005. Vertikultur: teknik bertanam di lahan
sempit. Agromedia Pustaka. Jakarta.
Keeratiurai, P. 2013. Comparison of drip and sprinkler irrigation system for the
cultivation plants vertically. Agricultural and Biological Science 8(11):
740-744
Kim, T., N. Bae, M. Lee, C. Shin, J. Park and Y. Cho. 2013. A study of an
agricultural ontology model for an intelligent service in a vertical farm.
Smart home 7(4): 117-126
Noverita, Sv.2009. Pengaruh konsentrasi pupuk pelengkap cair nipka- plus dan
jarak tanam terhadap pertumbuhan dan produksi tanaman baby kaylan
(Brassica oleraceae L. Var. Acephala DC.) Secara vertikultur. Penelitian
bidang ilmu pertanian 3(1): 1-10
Rasapto, P.W. 2010. Budidaya sayuran dengan vertikultur. Pusat penelitian dan
pengembangan peternakan 1(1): 424-439
Roziq, F., I. R. Sastrahidayat dan S. Djauhari. 2013. Kejadian hama dan penyakit
tanaman cabai kecil yang dibudidayakan secara vertikultur di sidoarjo.
HPT 1(4):30-37
Sutarminingsih, L. 2003. Pola bertanam secara vertikal, vertikultur. Kanisius.
Yogyakarta.
Wartapa, A., S. Sugihartiningsih, S. Astuti dan Sukadi. 2010. Pengaruh jenis
pupuk dan tanaman antagonis terhadap hasil cabb rawit (Capsicum
frutencens) budidaya vertikultur. llmu-ilmu pertanian 6(2): 142-156