Prevalensi Gangguan Sendi Temporomandibula pada Lansia Berdasarkan Jenis Kelamin, Kebiasaan Buruk, dan Dukungan Oklusal
1
BAB 1
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Proses aging adalah proses alami yang disertai adanya penurunan kondisi
fisik, psikologis maupun sosial yang saling berinteraksi satu sama lain terjadi terus
menerus sejak seseorang lahir ke dunia. Keadaan itu cenderung berpotensi
menimbulkan masalah kesehatan secara umum maupun kesehatan jiwa secara khusus
pada lanjut usia (lansia). Manifestasi oral akibat proses aging ditandai dengan terjadi
degenerasi, penipisan mukosa, hiposalivasi, penurunan aktivitas dan massa otot, serta
terjadi kemunduran pada banyak fungsi tubuh dan salah satu diantaranya fungsi sendi
temporomandibula (STM) untuk mengunyah. Sendi temporomandibula terdiri dari
jaringan keras, jaringan lunak, otot, saraf, dan pembuluh darah. Perubahan yang dapat
terjadi pada STM seiiring bertambahnya usia adalah kemunduran pada otot, tulang,
atau meniskus sehingga STM mengalami remodelling, arthritis, atau efek dari
berkurangnya dimensi vertikal.1-3
Gangguan pada STM telah ramai dibahas dalam kedokteran gigi selama 2
dekade terakhir dikarenakan cukup banyak masyarakat yang mengalami gangguan
STM. Prevalensi terjadinya gangguan STM bervariasi dari 28% - 88% tergantung
dari tipe populasi yang diteliti dan sistem diagnosis yang digunakan. Penyebab
gangguan STM adalah multifaktorial, seperti umur, jenis kelamin, kebiasaan buruk,
dukungan oklusal, maloklusi, trauma, psikologis, dan pemakaian gigitiruan yang
lama. Gangguan STM mempunyai ciri khas seperti sakit di daerah preauricular , dan
sakit pada STM ketika mandibula sedang berfungsi. Gangguan STM juga merupakan
kumpulan dari gejala klinis yang meliputi otot mastikasi dan sendi, seperti sakit pada
sendi, kliking ketika membuka dan menutup mulut, terbatasnya pembukaan mulut,
gangguan mastikasi, dan sakit kepala. Hal tersebut dapat mengganggu kualitas hidup
pada lansia.4-10
Universitas Sumatera Utara
2
Banyak penelitian mengenai gangguan STM yang telah dilakukan di beberapa
negara terutama pada populasi dewasa muda dan sedikit pada populasi lansia.6
Menurut data dari Riskesdas, sebanyak 28,3% lansia yang berumur 55-64 tahun dan
19,2% lansia yang berumur >65 tahun mempunyai masalah gigi dan mulut.11 Hasil
Sensus Penduduk tahun 2010 menunjukkan bahwa Indonesia termasuk lima besar
negara dengan jumlah penduduk lanjut usia terbanyak di dunia yakni mencapai 18,1
juta jiwa pada 2010 atau 9,6 persen dari jumlah penduduk.12 Kantor Kementrian
Koordinator Kesejahteraan Rakyat (KESRA) melaporkan bahwa pada tahun 2020,
perkiraan penduduk lansia di Indonesia akan mencapai 28,8 juta atau 11,34% dari
total populasi.13 Dengan besarnya peningkatan jumlah lansia di Indonesia dan adanya
hubungan antara proses penuaan dengan gangguan STM, maka penelitian lebih lanjut
mengenai gangguan STM pada lansia perlu dikembangkan untuk mendapatkan
informasi tentang prevalensi gangguan STM pada lansia.6
Hasil penelitian Himawan LS dkk (2007) terhadap 50 lansia (33 wanita dan 17
pria) yang berusia 60 – 91 tahun di Rumah Sakit Umum Pusat Nasional Cipto
Mangunkusumo menunjukkan bahwa 68% mempunyai tanda dan gejala gangguan
STM. Faktor risiko pertama yaitu dari segi umur menunjukkan bahwa grup lansia
yang berumur 70 tahun (48%) menderita gangguan STM sebanyak 58,33%.
Hal ini menunjukkan bahwa insiden terjadinya gangguan STM cenderung menurun
seiring pertambahan usia. Faktor risiko yang kedua yaitu jenis kelamin, sebanyak
63,64% wanita dan 76,47% pria menderita gangguan STM. Hasilnya adalah pria
menderita gangguan STM lebih banyak daripada wanita. Faktor risiko yang ketiga
adalah kebiasaan buruk, dari 70% orang yang mempunyai kebiasaan buruk menderita
gangguan STM sebanyak 62,86%. Hasilnya adalah kebiasaan buruk tidak dapat
dikatakan sebagai faktor risiko terjadinya gangguan STM. Hasil ini sesuai dengan
pernyataan oleh McNeill (1993 dalam Himawan, 2007:4) bahwa kebiasaan buruk
tidak menyebabkan gangguan STM. Faktor risiko yang terakhir adalah status gigi,
dari 56% orang yang kehilangan 13 gigi mengalami gangguan STM sebesar
Universitas Sumatera Utara
3
63,64%. Hasilnya adalah kehilangan lebih dari 13 gigi dapat menjadi faktor risiko
terjadinya gangguan STM.6
Di sisi lain, berbagai studi klinis menunjukkan bahwa prevalensi terjadinya
tanda dan gejala gangguan STM berbeda dari segi jenis kelamin, yaitu lebih sering
ditemukan pada wanita dibandingkan pria.4,6-9,14 Wanita cenderung menderita
gangguan STM 1,5 – 2 kali lebih tinggi dibandingkan pria dan 80% dari kasus
gangguan STM yang ditangani adalah pada wanita. Selain itu, prevalensi gangguan
STM pada wanita pada usia reproduktif lebih tinggi dibandingkan dengan wanita
post-menopause. Menurut penelitian Bagis B dkk (2012) bahwa wanita mempunyai
risiko yang lebih tinggi dan menderita gangguan STM dibandingkan pria.15,16
Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Mundt T dkk (2005) dari 2963
orang (1493 wanita dan 1470 pria) dengan rentang umur 35 – 74 tahun, terdapat
18,5% wanita dan 9,5% pria yang mengalami rasa sakit pada otot ketika dipalpasi.
Sebanyak 7,3% wanita dan 3,4% pria mengalami rasa sakit pada STM ketika diberi
tekanan. Hasilnya adalah wanita lebih banyak mengalami gangguan STM
dibandingkan pria dan hal ini juga didukung oleh penelitian yang dilakukan oleh
RGK Shet dkk (2013) terhadap 250 pasien dengan rentang umur 35 – 45 tahun. Dari
dukungan oklusal yang menggunakan Index Eichner terbagi 6 kelas, yaitu A
(minimal terdiri dari 4 zona dukungan oklusal), B1 (terdiri dari 3 zona dukungan
oklusal), B2 (terdiri dari 2 zona dukungan oklusal), B3 (terdiri dari 1 zona dukungan
oklusal), B4 (hanya terdapat kontak bagian anterior), C (edentulus penuh)
menunjukkan bahwa pada wanita mengalami rasa sakit pada otot mastikasi sebanyak
35,5% di kelas A, 11,6% di kelas B1 dan B2, 6,5% di kelas B3, 9,1% dikelas B4,
25,7% di kelas C. Pada pria yang mengalami rasa sakit pada otot mastikasi sebanyak
25% di kelas A, 14,3% di kelas B1, 7,1% di kelas B2, 10% dikelas B3, 10,7% di
kelas B4, 32,9% di kelas C. Hasil ini menunjukkan bahwa pria yang kehilangan
dukungan oklusal cenderung mengalami sakit pada otot mastikasi dan STM.
Kemudian ditinjau dari kebiasaan buruk, pada wanita (55,5%) dilaporkan lebih
banyak mengunyah sebelah sisi dan bruxism mengalami sakit pada otot mastikasi dan
STM dibandingkan pria (40,4%).5,9
Universitas Sumatera Utara
4
Penelitian yang menghubungkan adanya hubungan antara usia dan status gigi
terhadap STM dilakukan oleh Ikebe dkk (2005) mengemukakan bahwa kekuatan
gigit berkurang seiring bertambahnya umur karena kerusakan dan hilangnya gigi.
Kehilangan gigi kemudian akan berpengaruh terhadap bertambahnya beban yang
diberikan pada STM dan mengakibatkan perubahan pada struktur sendi.17
Kehilangan dukungan oklusal telah dianggap memainkan peran dalam
terjadinya gangguan STM. Awalnya hal ini diperdebatkan. Namun, muncul
pemikiran bahwa kehilangan dukungan oklusal dapat menyebabkan overclosure pada
mandibula dan berdampak dislokasi pada sendi. Hal ini sesuai dengan penelitian
Ciangcaglini dkk, bahwa 60,2% pasien yang tidak mempunyai dukungan oklusal
mengalami gangguan STM Menurut penelitian Hatim NA dkk (2011) bahwa terdapat
perpindahan dari kondilus bagian posterior pada pasien yang kehilangan gigi
posterior atau pasien yang kehilangan dukungan oklusal. Begitu juga dengan
penelitian yang dilakukan oleh RGK Shet dkk (2013) bahwa insidens dan intensitas
terjadinya gangguan STM tinggi pada subyek yang kehilangan gigi di daerah zona
dukungan oklusal.5,17-20
Faktor risiko lainnya yang berhubungan dengan gangguan STM adalah
kebiasaan buruk seperti yang dilaporkan oleh penelitian dari Saheeb BDO (2005)
melaporkan bahwa sebanyak 47,1% yang mempunyai kebiasaan buruk seperti
bruxism mengalami sakit pada kedua STM dan sebanyak 82,8% pasien yang
mempunyai kebiasaan mengunyah sebelah sisi mengalami sakit pada sendi.
Penelitian dari Sato F dkk (2006) juga menyatakan bahwa sebanyak 50,3% pasien
yang mengalami gangguan STM mempunyai kebiasaan buruk seperti bruxism.21,22
Berdasarkan uraian diatas, peneliti tertarik untuk meneliti prevalensi
gangguan STM pada lansia berdasarkan jenis kelamin, kebiasaan buruk, dan
dukungan oklusal dikarenakan penelitian mengenai tiga variabel tersebut terhadap
gangguan STM telah dilakukan oleh beberapa peneliti yang lain tetapi hasilnya
bervariasi sehingga hubungannya masih belum jelas. Selain itu ketiga variabel
tersebut juga memungkinkan untuk diteliti.
Penelitian dilakukan pada lansia
disebabkan masih sedikit studi epidemiologis mengenai prevalensi terjadinya
Universitas Sumatera Utara
5
gangguan STM yang dikaitkan dengan faktor risikonya terhadap lansia di Indonesia.
Penelitian dilakukan di Panti Jompo Karya Kasih Medan karena lansia di panti ini
memenuhi syarat untuk dijadikan sebagai sampel penelitian serta Panti Jompo Karya
Kasih Medan lebih mudah dijangkau oleh peneliti.
1.2 Permasalahan
Seiring dengan bertambahnya usia, masalah kesehatan sering timbul, salah
satunya pada fungsi sendi temporomandibula (STM) untuk mengunyah. Hal ini dapat
menurunkan kualitas hidup pada lansia akibat gangguan pengunyahan dan sakit yang
ditimbulkan. Gangguan pada STM disebabkan berbagai multifaktorial seperti umur,
jenis kelamin, kebiasaan buruk, dan dukungan oklusal. Saat ini topik mengenai
gangguan STM ramai diperbincangkan dalam 2 dekade terakhir dan masih sedikit
penelitian mengenai gangguan STM pada lansia khususnya di Indonesia mengingat
bahwa Indonesia termasuk lima besar negara dengan jumlah penduduk lanjut usia
terbanyak di dunia. Berdasarkan latar belakang dan permasalahan yang telah
diuraikan diatas maka peneliti ingin meneliti tentang prevalensi terjadinya gangguan
STM pada lansia berdasarkan jenis kelamin, kebiasaan buruk, dan dukungan oklusal
di Panti Jompo Karya Kasih Medan.
1.3 Rumusan Masalah
1. Bagaimana karakteristik lansia di Panti Jompo Karya Kasih Medan?
2. Berapa prevalensi terjadinya gangguan STM pada lansia di Panti Jompo
Karya Kasih Medan?
3. Berapa prevalensi terjadinya gangguan STM pada lansia berdasarkan jenis
kelamin di Panti Jompo Karya Kasih Medan?
4. Berapa prevalensi terjadinya gangguan STM pada lansia berdasarkan
kebiasaan buruk di Panti Jompo Karya Kasih Medan?
5. Berapa prevalensi terjadinya gangguan STM pada lansia berdasarkan
dukungan oklusal di Panti Jompo Karya Kasih Medan?
Universitas Sumatera Utara
6
1.4 Tujuan Penelitian
Tujuan Penelitian adalah:
1. Untuk mengetahui karakteristik lansia di Panti Jompo Karya Kasih Medan.
2. Untuk mengetahui prevalensi terjadinya gangguan STM pada lansia di
Panti Jompo Karya Kasih Medan.
3. Untuk mengetahui prevalensi gangguan STM pada lansia berdasarkan jenis
kelamin di Panti Jompo Karya Kasih Medan.
4. Untuk mengetahui prevalensi gangguan STM pada lansia berdasarkan
kebiasaan buruk di Panti Jompo Karya Kasih Medan.
5. Untuk mengetahui prevalensi gangguan STM pada lansia berdasarkan
dukungan oklusal di Panti Jompo Karya Kasih Medan.
1.5 Manfaat Penelitian
1.5.1 Manfaat Teoritis
1. Bagi Dinas Kesehatan, penelitian ini diharapkan memberikan informasi
mengenai prevalensi gangguan sendi temporomandibula sehingga dapat dilakukan
perencanaan program kesehatan dengan melakukan penyuluhan dan peningkatan
kesehatan gigi dan mulut lansia sebagai salah satu cara mempertahankan dan
meningkatkan kualitas kehidupan dan kesehatan lansia.
2. Bagi Kepala Panti Jompo Karya Kasih Medan, penelitian ini diharapkan
memberikan informasi mengenai prevalensi gangguan sendi temporomandibula pada
lansia sehingga dapat diatasi di kemudian hari.
3. Bagi FKG USU, penelitian ini diharapkan dapat menjadi sumbangan atau
kontribusi bagi pengembangan ilmu pengetahuan mengenai sendi temporomandibula,
khususnya di bidang Prostodonsia.
4. Bagi masyarakat, penelitian ini diharapkan dapat menjadi sumber informasi
prevalensi gangguan STM pada lansia.
5. Sebagai data untuk melakukan penelitian lebih lanjut.
Universitas Sumatera Utara
7
1.5.2 Manfaat Praktis
Penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat bagi tenaga kesehatan (dokter dan
dokter gigi) dalam memahami dan mempromosikan pentingnya merawat kesehatan
gigi dan mulut terutama pada lansia sebagai bagian dari peningkatan kesehatan lansia
secara menyeluruh sehingga gangguan sendi temporomandibula dapat dihindari dan
kualitas hidup lansia meningkat.
Universitas Sumatera Utara
BAB 1
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Proses aging adalah proses alami yang disertai adanya penurunan kondisi
fisik, psikologis maupun sosial yang saling berinteraksi satu sama lain terjadi terus
menerus sejak seseorang lahir ke dunia. Keadaan itu cenderung berpotensi
menimbulkan masalah kesehatan secara umum maupun kesehatan jiwa secara khusus
pada lanjut usia (lansia). Manifestasi oral akibat proses aging ditandai dengan terjadi
degenerasi, penipisan mukosa, hiposalivasi, penurunan aktivitas dan massa otot, serta
terjadi kemunduran pada banyak fungsi tubuh dan salah satu diantaranya fungsi sendi
temporomandibula (STM) untuk mengunyah. Sendi temporomandibula terdiri dari
jaringan keras, jaringan lunak, otot, saraf, dan pembuluh darah. Perubahan yang dapat
terjadi pada STM seiiring bertambahnya usia adalah kemunduran pada otot, tulang,
atau meniskus sehingga STM mengalami remodelling, arthritis, atau efek dari
berkurangnya dimensi vertikal.1-3
Gangguan pada STM telah ramai dibahas dalam kedokteran gigi selama 2
dekade terakhir dikarenakan cukup banyak masyarakat yang mengalami gangguan
STM. Prevalensi terjadinya gangguan STM bervariasi dari 28% - 88% tergantung
dari tipe populasi yang diteliti dan sistem diagnosis yang digunakan. Penyebab
gangguan STM adalah multifaktorial, seperti umur, jenis kelamin, kebiasaan buruk,
dukungan oklusal, maloklusi, trauma, psikologis, dan pemakaian gigitiruan yang
lama. Gangguan STM mempunyai ciri khas seperti sakit di daerah preauricular , dan
sakit pada STM ketika mandibula sedang berfungsi. Gangguan STM juga merupakan
kumpulan dari gejala klinis yang meliputi otot mastikasi dan sendi, seperti sakit pada
sendi, kliking ketika membuka dan menutup mulut, terbatasnya pembukaan mulut,
gangguan mastikasi, dan sakit kepala. Hal tersebut dapat mengganggu kualitas hidup
pada lansia.4-10
Universitas Sumatera Utara
2
Banyak penelitian mengenai gangguan STM yang telah dilakukan di beberapa
negara terutama pada populasi dewasa muda dan sedikit pada populasi lansia.6
Menurut data dari Riskesdas, sebanyak 28,3% lansia yang berumur 55-64 tahun dan
19,2% lansia yang berumur >65 tahun mempunyai masalah gigi dan mulut.11 Hasil
Sensus Penduduk tahun 2010 menunjukkan bahwa Indonesia termasuk lima besar
negara dengan jumlah penduduk lanjut usia terbanyak di dunia yakni mencapai 18,1
juta jiwa pada 2010 atau 9,6 persen dari jumlah penduduk.12 Kantor Kementrian
Koordinator Kesejahteraan Rakyat (KESRA) melaporkan bahwa pada tahun 2020,
perkiraan penduduk lansia di Indonesia akan mencapai 28,8 juta atau 11,34% dari
total populasi.13 Dengan besarnya peningkatan jumlah lansia di Indonesia dan adanya
hubungan antara proses penuaan dengan gangguan STM, maka penelitian lebih lanjut
mengenai gangguan STM pada lansia perlu dikembangkan untuk mendapatkan
informasi tentang prevalensi gangguan STM pada lansia.6
Hasil penelitian Himawan LS dkk (2007) terhadap 50 lansia (33 wanita dan 17
pria) yang berusia 60 – 91 tahun di Rumah Sakit Umum Pusat Nasional Cipto
Mangunkusumo menunjukkan bahwa 68% mempunyai tanda dan gejala gangguan
STM. Faktor risiko pertama yaitu dari segi umur menunjukkan bahwa grup lansia
yang berumur 70 tahun (48%) menderita gangguan STM sebanyak 58,33%.
Hal ini menunjukkan bahwa insiden terjadinya gangguan STM cenderung menurun
seiring pertambahan usia. Faktor risiko yang kedua yaitu jenis kelamin, sebanyak
63,64% wanita dan 76,47% pria menderita gangguan STM. Hasilnya adalah pria
menderita gangguan STM lebih banyak daripada wanita. Faktor risiko yang ketiga
adalah kebiasaan buruk, dari 70% orang yang mempunyai kebiasaan buruk menderita
gangguan STM sebanyak 62,86%. Hasilnya adalah kebiasaan buruk tidak dapat
dikatakan sebagai faktor risiko terjadinya gangguan STM. Hasil ini sesuai dengan
pernyataan oleh McNeill (1993 dalam Himawan, 2007:4) bahwa kebiasaan buruk
tidak menyebabkan gangguan STM. Faktor risiko yang terakhir adalah status gigi,
dari 56% orang yang kehilangan 13 gigi mengalami gangguan STM sebesar
Universitas Sumatera Utara
3
63,64%. Hasilnya adalah kehilangan lebih dari 13 gigi dapat menjadi faktor risiko
terjadinya gangguan STM.6
Di sisi lain, berbagai studi klinis menunjukkan bahwa prevalensi terjadinya
tanda dan gejala gangguan STM berbeda dari segi jenis kelamin, yaitu lebih sering
ditemukan pada wanita dibandingkan pria.4,6-9,14 Wanita cenderung menderita
gangguan STM 1,5 – 2 kali lebih tinggi dibandingkan pria dan 80% dari kasus
gangguan STM yang ditangani adalah pada wanita. Selain itu, prevalensi gangguan
STM pada wanita pada usia reproduktif lebih tinggi dibandingkan dengan wanita
post-menopause. Menurut penelitian Bagis B dkk (2012) bahwa wanita mempunyai
risiko yang lebih tinggi dan menderita gangguan STM dibandingkan pria.15,16
Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Mundt T dkk (2005) dari 2963
orang (1493 wanita dan 1470 pria) dengan rentang umur 35 – 74 tahun, terdapat
18,5% wanita dan 9,5% pria yang mengalami rasa sakit pada otot ketika dipalpasi.
Sebanyak 7,3% wanita dan 3,4% pria mengalami rasa sakit pada STM ketika diberi
tekanan. Hasilnya adalah wanita lebih banyak mengalami gangguan STM
dibandingkan pria dan hal ini juga didukung oleh penelitian yang dilakukan oleh
RGK Shet dkk (2013) terhadap 250 pasien dengan rentang umur 35 – 45 tahun. Dari
dukungan oklusal yang menggunakan Index Eichner terbagi 6 kelas, yaitu A
(minimal terdiri dari 4 zona dukungan oklusal), B1 (terdiri dari 3 zona dukungan
oklusal), B2 (terdiri dari 2 zona dukungan oklusal), B3 (terdiri dari 1 zona dukungan
oklusal), B4 (hanya terdapat kontak bagian anterior), C (edentulus penuh)
menunjukkan bahwa pada wanita mengalami rasa sakit pada otot mastikasi sebanyak
35,5% di kelas A, 11,6% di kelas B1 dan B2, 6,5% di kelas B3, 9,1% dikelas B4,
25,7% di kelas C. Pada pria yang mengalami rasa sakit pada otot mastikasi sebanyak
25% di kelas A, 14,3% di kelas B1, 7,1% di kelas B2, 10% dikelas B3, 10,7% di
kelas B4, 32,9% di kelas C. Hasil ini menunjukkan bahwa pria yang kehilangan
dukungan oklusal cenderung mengalami sakit pada otot mastikasi dan STM.
Kemudian ditinjau dari kebiasaan buruk, pada wanita (55,5%) dilaporkan lebih
banyak mengunyah sebelah sisi dan bruxism mengalami sakit pada otot mastikasi dan
STM dibandingkan pria (40,4%).5,9
Universitas Sumatera Utara
4
Penelitian yang menghubungkan adanya hubungan antara usia dan status gigi
terhadap STM dilakukan oleh Ikebe dkk (2005) mengemukakan bahwa kekuatan
gigit berkurang seiring bertambahnya umur karena kerusakan dan hilangnya gigi.
Kehilangan gigi kemudian akan berpengaruh terhadap bertambahnya beban yang
diberikan pada STM dan mengakibatkan perubahan pada struktur sendi.17
Kehilangan dukungan oklusal telah dianggap memainkan peran dalam
terjadinya gangguan STM. Awalnya hal ini diperdebatkan. Namun, muncul
pemikiran bahwa kehilangan dukungan oklusal dapat menyebabkan overclosure pada
mandibula dan berdampak dislokasi pada sendi. Hal ini sesuai dengan penelitian
Ciangcaglini dkk, bahwa 60,2% pasien yang tidak mempunyai dukungan oklusal
mengalami gangguan STM Menurut penelitian Hatim NA dkk (2011) bahwa terdapat
perpindahan dari kondilus bagian posterior pada pasien yang kehilangan gigi
posterior atau pasien yang kehilangan dukungan oklusal. Begitu juga dengan
penelitian yang dilakukan oleh RGK Shet dkk (2013) bahwa insidens dan intensitas
terjadinya gangguan STM tinggi pada subyek yang kehilangan gigi di daerah zona
dukungan oklusal.5,17-20
Faktor risiko lainnya yang berhubungan dengan gangguan STM adalah
kebiasaan buruk seperti yang dilaporkan oleh penelitian dari Saheeb BDO (2005)
melaporkan bahwa sebanyak 47,1% yang mempunyai kebiasaan buruk seperti
bruxism mengalami sakit pada kedua STM dan sebanyak 82,8% pasien yang
mempunyai kebiasaan mengunyah sebelah sisi mengalami sakit pada sendi.
Penelitian dari Sato F dkk (2006) juga menyatakan bahwa sebanyak 50,3% pasien
yang mengalami gangguan STM mempunyai kebiasaan buruk seperti bruxism.21,22
Berdasarkan uraian diatas, peneliti tertarik untuk meneliti prevalensi
gangguan STM pada lansia berdasarkan jenis kelamin, kebiasaan buruk, dan
dukungan oklusal dikarenakan penelitian mengenai tiga variabel tersebut terhadap
gangguan STM telah dilakukan oleh beberapa peneliti yang lain tetapi hasilnya
bervariasi sehingga hubungannya masih belum jelas. Selain itu ketiga variabel
tersebut juga memungkinkan untuk diteliti.
Penelitian dilakukan pada lansia
disebabkan masih sedikit studi epidemiologis mengenai prevalensi terjadinya
Universitas Sumatera Utara
5
gangguan STM yang dikaitkan dengan faktor risikonya terhadap lansia di Indonesia.
Penelitian dilakukan di Panti Jompo Karya Kasih Medan karena lansia di panti ini
memenuhi syarat untuk dijadikan sebagai sampel penelitian serta Panti Jompo Karya
Kasih Medan lebih mudah dijangkau oleh peneliti.
1.2 Permasalahan
Seiring dengan bertambahnya usia, masalah kesehatan sering timbul, salah
satunya pada fungsi sendi temporomandibula (STM) untuk mengunyah. Hal ini dapat
menurunkan kualitas hidup pada lansia akibat gangguan pengunyahan dan sakit yang
ditimbulkan. Gangguan pada STM disebabkan berbagai multifaktorial seperti umur,
jenis kelamin, kebiasaan buruk, dan dukungan oklusal. Saat ini topik mengenai
gangguan STM ramai diperbincangkan dalam 2 dekade terakhir dan masih sedikit
penelitian mengenai gangguan STM pada lansia khususnya di Indonesia mengingat
bahwa Indonesia termasuk lima besar negara dengan jumlah penduduk lanjut usia
terbanyak di dunia. Berdasarkan latar belakang dan permasalahan yang telah
diuraikan diatas maka peneliti ingin meneliti tentang prevalensi terjadinya gangguan
STM pada lansia berdasarkan jenis kelamin, kebiasaan buruk, dan dukungan oklusal
di Panti Jompo Karya Kasih Medan.
1.3 Rumusan Masalah
1. Bagaimana karakteristik lansia di Panti Jompo Karya Kasih Medan?
2. Berapa prevalensi terjadinya gangguan STM pada lansia di Panti Jompo
Karya Kasih Medan?
3. Berapa prevalensi terjadinya gangguan STM pada lansia berdasarkan jenis
kelamin di Panti Jompo Karya Kasih Medan?
4. Berapa prevalensi terjadinya gangguan STM pada lansia berdasarkan
kebiasaan buruk di Panti Jompo Karya Kasih Medan?
5. Berapa prevalensi terjadinya gangguan STM pada lansia berdasarkan
dukungan oklusal di Panti Jompo Karya Kasih Medan?
Universitas Sumatera Utara
6
1.4 Tujuan Penelitian
Tujuan Penelitian adalah:
1. Untuk mengetahui karakteristik lansia di Panti Jompo Karya Kasih Medan.
2. Untuk mengetahui prevalensi terjadinya gangguan STM pada lansia di
Panti Jompo Karya Kasih Medan.
3. Untuk mengetahui prevalensi gangguan STM pada lansia berdasarkan jenis
kelamin di Panti Jompo Karya Kasih Medan.
4. Untuk mengetahui prevalensi gangguan STM pada lansia berdasarkan
kebiasaan buruk di Panti Jompo Karya Kasih Medan.
5. Untuk mengetahui prevalensi gangguan STM pada lansia berdasarkan
dukungan oklusal di Panti Jompo Karya Kasih Medan.
1.5 Manfaat Penelitian
1.5.1 Manfaat Teoritis
1. Bagi Dinas Kesehatan, penelitian ini diharapkan memberikan informasi
mengenai prevalensi gangguan sendi temporomandibula sehingga dapat dilakukan
perencanaan program kesehatan dengan melakukan penyuluhan dan peningkatan
kesehatan gigi dan mulut lansia sebagai salah satu cara mempertahankan dan
meningkatkan kualitas kehidupan dan kesehatan lansia.
2. Bagi Kepala Panti Jompo Karya Kasih Medan, penelitian ini diharapkan
memberikan informasi mengenai prevalensi gangguan sendi temporomandibula pada
lansia sehingga dapat diatasi di kemudian hari.
3. Bagi FKG USU, penelitian ini diharapkan dapat menjadi sumbangan atau
kontribusi bagi pengembangan ilmu pengetahuan mengenai sendi temporomandibula,
khususnya di bidang Prostodonsia.
4. Bagi masyarakat, penelitian ini diharapkan dapat menjadi sumber informasi
prevalensi gangguan STM pada lansia.
5. Sebagai data untuk melakukan penelitian lebih lanjut.
Universitas Sumatera Utara
7
1.5.2 Manfaat Praktis
Penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat bagi tenaga kesehatan (dokter dan
dokter gigi) dalam memahami dan mempromosikan pentingnya merawat kesehatan
gigi dan mulut terutama pada lansia sebagai bagian dari peningkatan kesehatan lansia
secara menyeluruh sehingga gangguan sendi temporomandibula dapat dihindari dan
kualitas hidup lansia meningkat.
Universitas Sumatera Utara