Prevalensi Gangguan Sendi Temporomandibula pada Lansia Berdasarkan Jenis Kelamin, Kebiasaan Buruk, dan Dukungan Oklusal

(1)

PREVALENSI GANGGUAN SENDI

TEMPOROMANDIBULA PADA LANSIA BERDASARKAN

JENIS KELAMIN, KEBIASAAN BURUK,

DAN DUKUNGAN OKLUSAL

SKRIPSI

Diajukan untuk memenuhi tugas dan melengkapi syarat guna memperoleh gelar Sarjana Kedokteran Gigi

Oleh: MICHIKO NIM : 110600131

FAKULTAS KEDOKTERAN GIGI

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


(2)

Fakultas Kedokteran Gigi Departemen Prostodonsia Tahun 2015

Michiko

Prevalensi Gangguan Sendi Temporomandibula pada Lansia Berdasarkan Jenis Kelamin, Kebiasaan Buruk, dan Dukungan Oklusal

xii + 65 Halaman

Seiring dengan bertambahnya usia, masalah kesehatan sering timbul, salah satunya pada fungsi sendi temporomandibula untuk mengunyah. Hal ini dapat menurunkan kualitas hidup pada lansia akibat gangguan pengunyahan dan sakit yang ditimbulkan. Gangguan pada sendi temporomandibula disebabkan berbagai multifaktorial seperti umur, jenis kelamin, kebiasaan buruk, dan dukungan oklusal. Saat ini topik mengenai gangguan sendi temporomandibula (STM) ramai diperbincangkan dalam 2 dekade terakhir dan masih sedikit penelitian mengenai gangguan sendi temporomandibula pada lansia khususnya di Indonesia mengingat bahwa Indonesia termasuk lima besar negara dengan jumlah penduduk lanjut usia terbanyak di dunia. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui prevalensi terjadinya gangguan sendi temporomandibula pada lansia berdasarkan jenis kelamin, kebiasaan buruk, dan dukungan oklusal di Panti Jompo Karya Kasih Medan. Rancangan penelitian ini adalah deskriptif. Sampel pada penelitian ini berjumlah 71 orang lansia yang merupakan penghuni Panti Jompo Karya Kasih Medan. Wawancara, pengamatan dan pemeriksaan menggunakan kaliper digital dan stetoskop dilakukan untuk mendapatkan data mengenai jenis kelamin, kebiasaan buruk, dukungan oklusal, dan adanya gangguan sendi temporomandibula atau tidak. Penelitian ini menggunakan kuesioner RDC/TMD dan hasilnya disajikan dalam bentuk tabel distribusi frekuensi. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa prevalensi gangguan sendi temporomandibula sebanyak 85,4%. Berdasarkan jenis kelamin, diperoleh prevalensi sebanyak 83% pria dan 85% wanita memiliki gangguan STM. Berdasarkan kebiasaan buruk, diperoleh prevalensi sebanyak 92% orang yang mempunyai


(3)

kebiasaan buruk mengalami gangguan STM dan 75% orang yang tidak mempunyai kebiasaan buruk mengalami gangguan STM. Berdasarkan dukungan oklusal, diperoleh prevalensi gangguan STM sebanyak 75% orang di kelas A (terdiri dari 4 zona dukungan oklusal), 50% di kelas B1 (terdiri dari 3 zona dukungan oklusal), 83% di kelas B2 (terdiri dari 2 zona dukungan oklusal), 71% di kelas B3 (terdiri dari 1 zona dukungan oklusal), 100% di kelas B4 (hanya terdapat kontak pada anterior), dan 94% di kelas C (tidak terdapat kontak).


(4)

PERNYATAAN PERSETUJUAN

Skripsi ini telah disetujui untuk dipertahankan di hadapan tim penguji skripsi

Medan, 29 Juli 2015

Pembimbing Tanda tangan

Ricca Chairunnisa, drg., Sp.Pros ... NIP : 19800924 200501 2 003


(5)

TIM PENGUJI SKRIPSI

Skripsi ini telah dipertahankan di hadapan tim penguji pada tanggal 29 Juli 2015

TIM PENGUJI

KETUA : Prof. Ismet Danial Nasution, drg., Ph.D., Sp.Pros (K) ANGGOTA : 1. Ricca Chairunnisa, drg., Sp.Pros

2. Siti Wahyuni, drg


(6)

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa atas berkat rahmat dan karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini sebagai salah satu syarat untuk mendapatkan gelar Sarjana Kedokteran Gigi Universitas Sumatera Utara.

Rasa hormat dan ucapan terima kasih yang sebesar-besarnya penulis sampaikan kepada kedua orang tua tercinta, yaitu Ayahanda (Armansyah Kasan) dan Ibunda (Waty) yang telah membesarkan, memberikan kasih sayang yang tidak terbalas, doa, nasehat, semangat, dan dukungan baik moril maupun materil kepada penulis. Penulis juga menyampaikan terima kasih kepada ketiga saudara penulis Sapta Suparna, Hans Alexander, dan Julia yang senantiasa memberikan semangat dan dukungan kepada penulis selama penulisan skripsi ini.

Dalam penulisan skripsi ini, penulis telah banyak mendapat bantuan, bimbingan, serta saran dari berbagai pihak. Untuk itu, penulis mengucapkan terima kasih serta penghargaan yang sebesar-besarnya kepada:

1. Ricca Chairunnisa, drg., Sp.Pros selaku dosen pembimbing yang telah memberikan pengarahan, saran, nasehat, dorongan, serta meluangkan waktu, tenaga, pemikiran dan kesabaran kepada penulis selama penelitian dan penulisan sehingga skripsi ini dapat terselesaikan.

2. Prof. H. Nazruddin, drg., Ph.D., C.Ort, Sp.Ort selaku Dekan Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Sumatera Utara.

3. Prof. Haslinda Z. Tamin, drg., M.Kes, Sp.Pros (K) selaku koordinator skripsi Departemen Prostodonsia yang telah meluangkan waktu untuk membimbing dan memberikan pengarahan kepada penulis selama penulisan skripsi ini hingga selesai.

4. Syafrinani, drg., Sp.Pros (K) selaku Ketua Departemen Prostodonsia Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Sumatera Utara


(7)

5. Prof. Ismet Danial Nasution, Ph.D.,drg.,Sp.Pros (K) selaku ketua tim penguji skripsi yang telah memberikan saran dan masukan kepada penulis dalam menyelesaikan skripsi ini.

6. Putri Welda Utami Ritonga, drg., MDSc dan Siti Wahyuni, drg selaku anggota tim penguji yang telah memberikan saran dan masukan kepada penulis dalam menyelesaikan skripsi ini.

7. Yumi Lindawati, drg selaku penasehat akademik yang telah memberikan bimbingan dan motivasi selama masa pendidikan maupun selama penulisan skripsi di Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Sumatera Utara.

8. Seluruh staf pengajar serta pegawai Departemen Prostodonsia Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Sumatera Utara atas motivasi dan bantuan dalam menyelesaikan skripsi ini hingga selesai.

9. Sr. Theresia Sinaga, KSSY, selaku pimpinan Graha Residen Senior Karya Kasih Medan yang telah memberi izin untuk dapat dilakukannya penelitian ini.

10. Peiter Gozali, drg yang telah membantu penulis dalam penyelesaian skripsi ini.

11. Teman-teman seperjuangan yang melaksanakan penulisan skripsi di Departemen Prostodonsia Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Sumatera Utara: Prostho Army, PPDGS Prostodonsia, danteman- teman angkatan 2011 atas dukungan dan bantuannya selama penulisan skripsi. Penulis menyadari bahwa skripsi ini masih jauh dari kesempurnaan, oleh karena itu saran dan kritik yang membangun dari berbagai pihak sangat diharapkan. Akhir kata, penulis mengharapkan agar skripsi ini dapat berguna bagi pengembangan disiplin ilmu Departemen Prostodonsia, Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Sumatera Utara, dan bagi kita semua.

Medan, 29 Juli 2015 Penulis

(Michiko) NIM : 110600131


(8)

DAFTAR ISI

Halaman

HALAMAN JUDUL ... HALAMAN PERSETUJUAN ... HALAMAN TIM PENGUJI………...

KATA PENGANTAR………. ... iv

DAFTAR ISI ... vi

DAFTAR TABEL ... ix

DAFTAR GAMBAR ... x

DAFTAR GRAFIK………. ... xi

DAFTAR LAMPIRAN ... xii

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang ... 1

1.2 Permasalahan ... 5

1.3 Rumusan Masalah ... 5

1.4 Tujuan Penelitian ... 6

1.5 Manfaat Penelitian ... 6

1.5.1 Manfaat Teoritis ... 6

1.5.2 Manfaat Praktis ... 7

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Lansia ... 8


(9)

2.1.2 Proses Aging ... 8

2.1.3 Manifestasi Oral Akibat Proses Aging ... 9

2.1.3.1 Gigi ... 9

2.1.3.2 Periodonsium ... 9

2.1.3.3 Mukosa Mulut ... 10

2.1.3.4 Kelenjar Saliva ... 11

2.1.3.5 Sendi Temporomandibula ... 11

2.2 Anatomi Sendi Temporomandibula... 12

2.2.1 Jaringan Keras ... 13

2.2.1.1 Prosesus Kondilus Mandibula ... 13

2.2.1.2 Eminensia Artikularis ... 13

2.2.1.3 Fosa Glenoidalis ... 13

2.2.2 Jaringan Lunak ... 14

2.2.2.1 Diskus Artikularis ... 14

2.2.2.2 Kapsul Sendi ... 15

2.2.2.3 Ligamen Sendi ... 16

2.2.2.4 Membran Sinovial ... 17

2.2.3 Otot ... 17

2.2.4 Persyarafan ... 19

2.2.5 Pembuluh Darah ... 19

2.3 Gangguan Sendi Temporomandibula ... 20

2.3.1 Definisi ... 20

2.3.2 Klasifikasi ... 20

2.3.2.1 Otot ... 21

2.3.2.2 Dislokasi Diskus ... 21

2.3.2.3 Tulang artikular ... 23

2.3.3 Etiologi Gangguan Sendi Temporomandibula ... 24

2.3.3.1 Usia ... 24


(10)

2.3.3.4 Dukungan Oklusal ... 26

2.3.3.5 Maloklusi ... 28

2.3.3.6 Faktor Psikologis ... 29

2.3.3.7 Trauma ... 30

2.3.3.8 Pemakaian Gigitiruan yang Lama ... 31

2.4 Landasan Teori ... 32

2.5 Kerangka Konsep ... 33

BAB 3 METODOLOGI PENELITIAN 3.1 Rancangan Penelitian ... 34

3.2 Populasi Penelitian ... 34

3.3 Sampel Penelitian ... 34

3.3.1 Kriteria Inklusi ... 34

3.3.2 Kriteria Eksklusi ... 34

3.4 Variabel Penelitian ... 35

3.4.1 Variabel Bebas ... 35

3.4.2 Variabel Terikat ... 35

3.4.3 Variabel Terkendali ... 35

3.4.4 Variabel Tidak Terkendali ... 35

3.5 Definisi Operasional ... 35

3.6 Lokasi dan Waktu Penelitian ... 37

3.7 Prosedur Penelitian ... 37

3.7.1 Alat dan Bahan Penelitian ... 37

3.7.1.1 Alat Penelitian ... 37

3.7.1.2 Bahan Penelitian ... 37

3.7.2 Informed Consent ... 38

3.7.3 Cara Penelitian ... 38

3.8 Kerangka Operasional ... 43


(11)

BAB 4 HASIL PENELITIAN

4.1 Karakteristik Lansia di Panti Jompo Karya Kasih Medan ... 45 4.2 Prevalensi Gangguan Sendi Temporomandibula pada Lansia

di Panti Jompo Karya Kasih Medan ... 47 4.3 Prevalensi Gangguan Sendi Temporomandibula pada Lansia

Berdasarkan Jenis Kelamin di Panti Jompo Karya Kasih Medan 48 4.4 Prevalensi Gangguan Sendi Temporomandibula pada Lansia

Berdasarkan Kebiasaan Buruk di Panti Jompo Karya Kasih

Medan ... 49 4.5 Prevalensi Gangguan Sendi Temporomandibula pada Lansia

Berdasarkan Dukungan Oklusal di Panti Jompo Karya Kasih

Medan ... 50

BAB 5 PEMBAHASAN

5.1 Karakteristik Lansia di Panti Jompo Karya Kasih Medan…. 52 5.2 Prevalensi Gangguan Sendi Temporomandibula pada Lansia

di Panti Jompo Karya Kasih Medan ……… 53 5.3 Prevalensi Gangguan Sendi Temporomandibula pada Lansia

Berdasarkan Jenis Kelamin di Panti Jompo Karya Kasih Medan 54 5.4 Prevalensi Gangguan Sendi Temporomandibula pada Lansia

Berdasarkan Kebiasaan Buruk di Panti Jompo Karya Kasih

Medan……….…… 55

5.5 Prevalensi Gangguan Sendi Temporomandibula pada Lansia Berdasarkan Dukungan Oklusal di Panti Jompo Karya Kasih

Medan………. 56

BAB 6 KESIMPULAN DAN SARAN

6.1 Kesimpulan ... 58 6.2 Saran ... 58


(12)

DAFTAR PUSTAKA ... 60 LAMPIRAN


(13)

DAFTAR TABEL

Tabel Halaman

1 Klasifikasi gangguan sendi temporomandibula RDC/TMD………… 20

2 Definisi operasional variabel bebas………... 35

3 Definisi operasional variabel terikat………... 36

4 Definisi operasional variabel terkendali………... 37

5 Definisi operasional variabel tidak terkendali………... 37

6 Distribusi karakteristik lansia di Panti Jompo Karya Kasih Medan… 45

7 Distribusi frekuensi gangguan sendi temporomandibula pada lansia di Panti Jompo Karya Kasih Medan……… 47

8 Distribusi frekuensi gangguan sendi temporomandibula pada lansia berdasarkan jenis kelamin di Panti Jompo Karya Kasih Medan…… . 48

9 Distribusi frekuensi gangguan sendi temporomandibula pada lansia berdasarkan kebiasaan buruk di Panti Jompo Karya Kasih Medan.... 49 10 Distribusi frekuensi gangguan sendi temporomandibula pada lansia


(14)

DAFTAR GAMBAR

Gambar Halaman

1 Sendi temporomandibula ... 12

2 Jaringan keras sendi temporomandibula ... 14

3 Diskus artikularis ... 15

4 Kapsul sendi dan ligamen sendi ... 16

5 Otot ... 18

6 Persyarafan sendi temporomandibula ... 19

7 Dislokasi diskus ... 23

8 Indeks Eichner………. 28


(15)

DAFTAR GRAFIK

Grafik Halaman

1 Karakteristik lansia berdasarkan jenis kelamin di Panti

Jompo Karya Kasih Medan…….. ... 46 2 Karakteristik lansia berdasarkan kebiasaan buruk di Panti

Jompo Karya Kasih Medan ... . 46 3 Karakteristik lansia berdasarkan dukungan oklusal di Panti

Jompo Karya Kasih Medan ... 47 4 Prevalensi gangguan sendi temporomandibula pada lansia

di Panti Jompo Karya Kasih Medan ... 48 5 Prevalensi gangguan sendi temporomandibula pada lansia

berdasarkan jenis kelamin ... 49 6 Prevalensi gangguan sendi temporomandibula pada lansia

berdasarkan kebiasaan buruk ... 50 7 Prevalensi gangguan sendi temporomandibula pada lansia


(16)

DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran

1 Lembar penjelasan kepada subyek penelitian

2 Lembar persetujuan subyek penelitian (Informed Consent) 3 Kuesioner penelitian

4 Ethical Clearance 5 Surat Selesai Penelitian


(17)

Fakultas Kedokteran Gigi Departemen Prostodonsia Tahun 2015

Michiko

Prevalensi Gangguan Sendi Temporomandibula pada Lansia Berdasarkan Jenis Kelamin, Kebiasaan Buruk, dan Dukungan Oklusal

xii + 65 Halaman

Seiring dengan bertambahnya usia, masalah kesehatan sering timbul, salah satunya pada fungsi sendi temporomandibula untuk mengunyah. Hal ini dapat menurunkan kualitas hidup pada lansia akibat gangguan pengunyahan dan sakit yang ditimbulkan. Gangguan pada sendi temporomandibula disebabkan berbagai multifaktorial seperti umur, jenis kelamin, kebiasaan buruk, dan dukungan oklusal. Saat ini topik mengenai gangguan sendi temporomandibula (STM) ramai diperbincangkan dalam 2 dekade terakhir dan masih sedikit penelitian mengenai gangguan sendi temporomandibula pada lansia khususnya di Indonesia mengingat bahwa Indonesia termasuk lima besar negara dengan jumlah penduduk lanjut usia terbanyak di dunia. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui prevalensi terjadinya gangguan sendi temporomandibula pada lansia berdasarkan jenis kelamin, kebiasaan buruk, dan dukungan oklusal di Panti Jompo Karya Kasih Medan. Rancangan penelitian ini adalah deskriptif. Sampel pada penelitian ini berjumlah 71 orang lansia yang merupakan penghuni Panti Jompo Karya Kasih Medan. Wawancara, pengamatan dan pemeriksaan menggunakan kaliper digital dan stetoskop dilakukan untuk mendapatkan data mengenai jenis kelamin, kebiasaan buruk, dukungan oklusal, dan adanya gangguan sendi temporomandibula atau tidak. Penelitian ini menggunakan kuesioner RDC/TMD dan hasilnya disajikan dalam bentuk tabel distribusi frekuensi. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa prevalensi gangguan sendi temporomandibula sebanyak 85,4%. Berdasarkan jenis kelamin, diperoleh prevalensi sebanyak 83% pria dan 85% wanita memiliki gangguan STM. Berdasarkan


(18)

kebiasaan buruk mengalami gangguan STM dan 75% orang yang tidak mempunyai kebiasaan buruk mengalami gangguan STM. Berdasarkan dukungan oklusal, diperoleh prevalensi gangguan STM sebanyak 75% orang di kelas A (terdiri dari 4 zona dukungan oklusal), 50% di kelas B1 (terdiri dari 3 zona dukungan oklusal), 83% di kelas B2 (terdiri dari 2 zona dukungan oklusal), 71% di kelas B3 (terdiri dari 1 zona dukungan oklusal), 100% di kelas B4 (hanya terdapat kontak pada anterior), dan 94% di kelas C (tidak terdapat kontak).


(19)

BAB 1

PENDAHULUAN

1.1Latar Belakang

Proses aging adalah proses alami yang disertai adanya penurunan kondisi fisik, psikologis maupun sosial yang saling berinteraksi satu sama lain terjadi terus menerus sejak seseorang lahir ke dunia. Keadaan itu cenderung berpotensi menimbulkan masalah kesehatan secara umum maupun kesehatan jiwa secara khusus pada lanjut usia (lansia). Manifestasi oral akibat proses aging ditandai dengan terjadi degenerasi, penipisan mukosa, hiposalivasi, penurunan aktivitas dan massa otot, serta terjadi kemunduran pada banyak fungsi tubuh dan salah satu diantaranya fungsi sendi temporomandibula (STM) untuk mengunyah. Sendi temporomandibula terdiri dari jaringan keras, jaringan lunak, otot, saraf, dan pembuluh darah. Perubahan yang dapat terjadi pada STM seiiring bertambahnya usia adalah kemunduran pada otot, tulang, atau meniskus sehingga STM mengalami remodelling, arthritis, atau efek dari berkurangnya dimensi vertikal.1-3

Gangguan pada STM telah ramai dibahas dalam kedokteran gigi selama 2 dekade terakhir dikarenakan cukup banyak masyarakat yang mengalami gangguan STM. Prevalensi terjadinya gangguan STM bervariasi dari 28% - 88% tergantung dari tipe populasi yang diteliti dan sistem diagnosis yang digunakan. Penyebab gangguan STM adalah multifaktorial, seperti umur, jenis kelamin, kebiasaan buruk, dukungan oklusal, maloklusi, trauma, psikologis, dan pemakaian gigitiruan yang lama. Gangguan STM mempunyai ciri khas seperti sakit di daerah preauricular, dan sakit pada STM ketika mandibula sedang berfungsi. Gangguan STM juga merupakan kumpulan dari gejala klinis yang meliputi otot mastikasi dan sendi, seperti sakit pada sendi, kliking ketika membuka dan menutup mulut, terbatasnya pembukaan mulut, gangguan mastikasi, dan sakit kepala. Hal tersebut dapat mengganggu kualitas hidup pada lansia.4-10


(20)

Banyak penelitian mengenai gangguan STM yang telah dilakukan di beberapa negara terutama pada populasi dewasa muda dan sedikit pada populasi lansia.6 Menurut data dari Riskesdas, sebanyak 28,3% lansia yang berumur 55-64 tahun dan 19,2% lansia yang berumur >65 tahun mempunyai masalah gigi dan mulut.11 Hasil Sensus Penduduk tahun 2010 menunjukkan bahwa Indonesia termasuk lima besar negara dengan jumlah penduduk lanjut usia terbanyak di dunia yakni mencapai 18,1 juta jiwa pada 2010 atau 9,6 persen dari jumlah penduduk.12 Kantor Kementrian Koordinator Kesejahteraan Rakyat (KESRA) melaporkan bahwa pada tahun 2020, perkiraan penduduk lansia di Indonesia akan mencapai 28,8 juta atau 11,34% dari total populasi.13 Dengan besarnya peningkatan jumlah lansia di Indonesia dan adanya hubungan antara proses penuaan dengan gangguan STM, maka penelitian lebih lanjut mengenai gangguan STM pada lansia perlu dikembangkan untuk mendapatkan informasi tentang prevalensi gangguan STM pada lansia.6

Hasil penelitian Himawan LS dkk (2007) terhadap 50 lansia (33 wanita dan 17 pria) yang berusia 60 – 91 tahun di Rumah Sakit Umum Pusat Nasional Cipto Mangunkusumo menunjukkan bahwa 68% mempunyai tanda dan gejala gangguan STM. Faktor risiko pertama yaitu dari segi umur menunjukkan bahwa grup lansia yang berumur <70 tahun (52%) menderita gangguan STM sebanyak 76,92% dan grup lansia yang berumur >70 tahun (48%) menderita gangguan STM sebanyak 58,33%. Hal ini menunjukkan bahwa insiden terjadinya gangguan STM cenderung menurun seiring pertambahan usia. Faktor risiko yang kedua yaitu jenis kelamin, sebanyak 63,64% wanita dan 76,47% pria menderita gangguan STM. Hasilnya adalah pria menderita gangguan STM lebih banyak daripada wanita. Faktor risiko yang ketiga adalah kebiasaan buruk, dari 70% orang yang mempunyai kebiasaan buruk menderita gangguan STM sebanyak 62,86%. Hasilnya adalah kebiasaan buruk tidak dapat dikatakan sebagai faktor risiko terjadinya gangguan STM. Hasil ini sesuai dengan pernyataan oleh McNeill (1993 dalam Himawan, 2007:4) bahwa kebiasaan buruk tidak menyebabkan gangguan STM. Faktor risiko yang terakhir adalah status gigi, dari 56% orang yang kehilangan <13 gigi mengalami gangguan STM sebesar 71,43% dan dari 44% orang yang kehilangan >13 gigi mengalami gangguan STM sebesar


(21)

63,64%. Hasilnya adalah kehilangan lebih dari 13 gigi dapat menjadi faktor risiko terjadinya gangguan STM.6

Di sisi lain, berbagai studi klinis menunjukkan bahwa prevalensi terjadinya tanda dan gejala gangguan STM berbeda dari segi jenis kelamin, yaitu lebih sering ditemukan pada wanita dibandingkan pria.4,6-9,14 Wanita cenderung menderita gangguan STM 1,5 – 2 kali lebih tinggi dibandingkan pria dan 80% dari kasus gangguan STM yang ditangani adalah pada wanita. Selain itu, prevalensi gangguan STM pada wanita pada usia reproduktif lebih tinggi dibandingkan dengan wanita post-menopause. Menurut penelitian Bagis B dkk (2012) bahwa wanita mempunyai risiko yang lebih tinggi dan menderita gangguan STM dibandingkan pria.15,16

Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Mundt T dkk (2005) dari 2963 orang (1493 wanita dan 1470 pria) dengan rentang umur 35 – 74 tahun, terdapat 18,5% wanita dan 9,5% pria yang mengalami rasa sakit pada otot ketika dipalpasi. Sebanyak 7,3% wanita dan 3,4% pria mengalami rasa sakit pada STM ketika diberi tekanan. Hasilnya adalah wanita lebih banyak mengalami gangguan STM dibandingkan pria dan hal ini juga didukung oleh penelitian yang dilakukan oleh RGK Shet dkk (2013) terhadap 250 pasien dengan rentang umur 35 – 45 tahun. Dari dukungan oklusal yang menggunakan Index Eichner terbagi 6 kelas, yaitu A (minimal terdiri dari 4 zona dukungan oklusal), B1 (terdiri dari 3 zona dukungan oklusal), B2 (terdiri dari 2 zona dukungan oklusal), B3 (terdiri dari 1 zona dukungan oklusal), B4 (hanya terdapat kontak bagian anterior), C (edentulus penuh) menunjukkan bahwa pada wanita mengalami rasa sakit pada otot mastikasi sebanyak 35,5% di kelas A, 11,6% di kelas B1 dan B2, 6,5% di kelas B3, 9,1% dikelas B4, 25,7% di kelas C. Pada pria yang mengalami rasa sakit pada otot mastikasi sebanyak 25% di kelas A, 14,3% di kelas B1, 7,1% di kelas B2, 10% dikelas B3, 10,7% di kelas B4, 32,9% di kelas C. Hasil ini menunjukkan bahwa pria yang kehilangan dukungan oklusal cenderung mengalami sakit pada otot mastikasi dan STM. Kemudian ditinjau dari kebiasaan buruk, pada wanita (55,5%) dilaporkan lebih banyak mengunyah sebelah sisi dan bruxism mengalami sakit pada otot mastikasi dan


(22)

Penelitian yang menghubungkan adanya hubungan antara usia dan status gigi terhadap STM dilakukan oleh Ikebe dkk (2005) mengemukakan bahwa kekuatan gigit berkurang seiring bertambahnya umur karena kerusakan dan hilangnya gigi. Kehilangan gigi kemudian akan berpengaruh terhadap bertambahnya beban yang diberikan pada STM dan mengakibatkan perubahan pada struktur sendi.17

Kehilangan dukungan oklusal telah dianggap memainkan peran dalam terjadinya gangguan STM. Awalnya hal ini diperdebatkan. Namun, muncul pemikiran bahwa kehilangan dukungan oklusal dapat menyebabkan overclosure pada mandibula dan berdampak dislokasi pada sendi. Hal ini sesuai dengan penelitian Ciangcaglini dkk, bahwa 60,2% pasien yang tidak mempunyai dukungan oklusal mengalami gangguan STM Menurut penelitian Hatim NA dkk (2011) bahwa terdapat perpindahan dari kondilus bagian posterior pada pasien yang kehilangan gigi posterior atau pasien yang kehilangan dukungan oklusal. Begitu juga dengan penelitian yang dilakukan oleh RGK Shet dkk (2013) bahwa insidens dan intensitas terjadinya gangguan STM tinggi pada subyek yang kehilangan gigi di daerah zona dukungan oklusal.5,17-20

Faktor risiko lainnya yang berhubungan dengan gangguan STM adalah kebiasaan buruk seperti yang dilaporkan oleh penelitian dari Saheeb BDO (2005) melaporkan bahwa sebanyak 47,1% yang mempunyai kebiasaan buruk seperti bruxism mengalami sakit pada kedua STM dan sebanyak 82,8% pasien yang mempunyai kebiasaan mengunyah sebelah sisi mengalami sakit pada sendi. Penelitian dari Sato F dkk (2006) juga menyatakan bahwa sebanyak 50,3% pasien yang mengalami gangguan STM mempunyai kebiasaan buruk seperti bruxism.21,22

Berdasarkan uraian diatas, peneliti tertarik untuk meneliti prevalensi gangguan STM pada lansia berdasarkan jenis kelamin, kebiasaan buruk, dan dukungan oklusal dikarenakan penelitian mengenai tiga variabel tersebut terhadap gangguan STM telah dilakukan oleh beberapa peneliti yang lain tetapi hasilnya bervariasi sehingga hubungannya masih belum jelas. Selain itu ketiga variabel tersebut juga memungkinkan untuk diteliti. Penelitian dilakukan pada lansia disebabkan masih sedikit studi epidemiologis mengenai prevalensi terjadinya


(23)

gangguan STM yang dikaitkan dengan faktor risikonya terhadap lansia di Indonesia. Penelitian dilakukan di Panti Jompo Karya Kasih Medan karena lansia di panti ini memenuhi syarat untuk dijadikan sebagai sampel penelitian serta Panti Jompo Karya Kasih Medan lebih mudah dijangkau oleh peneliti.

1.2 Permasalahan

Seiring dengan bertambahnya usia, masalah kesehatan sering timbul, salah satunya pada fungsi sendi temporomandibula (STM) untuk mengunyah. Hal ini dapat menurunkan kualitas hidup pada lansia akibat gangguan pengunyahan dan sakit yang ditimbulkan. Gangguan pada STM disebabkan berbagai multifaktorial seperti umur, jenis kelamin, kebiasaan buruk, dan dukungan oklusal. Saat ini topik mengenai gangguan STM ramai diperbincangkan dalam 2 dekade terakhir dan masih sedikit penelitian mengenai gangguan STM pada lansia khususnya di Indonesia mengingat bahwa Indonesia termasuk lima besar negara dengan jumlah penduduk lanjut usia terbanyak di dunia. Berdasarkan latar belakang dan permasalahan yang telah diuraikan diatas maka peneliti ingin meneliti tentang prevalensi terjadinya gangguan STM pada lansia berdasarkan jenis kelamin, kebiasaan buruk, dan dukungan oklusal di Panti Jompo Karya Kasih Medan.

1.3 Rumusan Masalah

1. Bagaimana karakteristik lansia di Panti Jompo Karya Kasih Medan?

2. Berapa prevalensi terjadinya gangguan STM pada lansia di Panti Jompo Karya Kasih Medan?

3. Berapa prevalensi terjadinya gangguan STM pada lansia berdasarkan jenis kelamin di Panti Jompo Karya Kasih Medan?

4. Berapa prevalensi terjadinya gangguan STM pada lansia berdasarkan kebiasaan buruk di Panti Jompo Karya Kasih Medan?

5. Berapa prevalensi terjadinya gangguan STM pada lansia berdasarkan dukungan oklusal di Panti Jompo Karya Kasih Medan?


(24)

1.4 Tujuan Penelitian

Tujuan Penelitian adalah:

1. Untuk mengetahui karakteristik lansia di Panti Jompo Karya Kasih Medan. 2. Untuk mengetahui prevalensi terjadinya gangguan STM pada lansia di Panti Jompo Karya Kasih Medan.

3. Untuk mengetahui prevalensi gangguan STM pada lansia berdasarkan jenis kelamin di Panti Jompo Karya Kasih Medan.

4. Untuk mengetahui prevalensi gangguan STM pada lansia berdasarkan kebiasaan buruk di Panti Jompo Karya Kasih Medan.

5. Untuk mengetahui prevalensi gangguan STM pada lansia berdasarkan dukungan oklusal di Panti Jompo Karya Kasih Medan.

1.5 Manfaat Penelitian 1.5.1 Manfaat Teoritis

1. Bagi Dinas Kesehatan, penelitian ini diharapkan memberikan informasi mengenai prevalensi gangguan sendi temporomandibula sehingga dapat dilakukan perencanaan program kesehatan dengan melakukan penyuluhan dan peningkatan kesehatan gigi dan mulut lansia sebagai salah satu cara mempertahankan dan meningkatkan kualitas kehidupan dan kesehatan lansia.

2. Bagi Kepala Panti Jompo Karya Kasih Medan, penelitian ini diharapkan memberikan informasi mengenai prevalensi gangguan sendi temporomandibula pada lansia sehingga dapat diatasi di kemudian hari.

3. Bagi FKG USU, penelitian ini diharapkan dapat menjadi sumbangan atau kontribusi bagi pengembangan ilmu pengetahuan mengenai sendi temporomandibula, khususnya di bidang Prostodonsia.

4. Bagi masyarakat, penelitian ini diharapkan dapat menjadi sumber informasi prevalensi gangguan STM pada lansia.


(25)

1.5.2 Manfaat Praktis

Penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat bagi tenaga kesehatan (dokter dan dokter gigi) dalam memahami dan mempromosikan pentingnya merawat kesehatan gigi dan mulut terutama pada lansia sebagai bagian dari peningkatan kesehatan lansia secara menyeluruh sehingga gangguan sendi temporomandibula dapat dihindari dan kualitas hidup lansia meningkat.


(26)

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Lansia 2.1.1 Definisi

Lansia adalah kelompok lanjut usia yang mengalami proses menua yang terjadi secara bertahap dan merupakan proses alami yang tidak dapat dihindari. Menurut UU No. 4 tahun 1965 pasal 1 dinyatakan : “Seorang dapat dinyatakan sebagai seorang jompo atau lanjut usia setelah yang bersangkutan mencapai umur 55 tahun, tidak mempunyai atau tidak berdaya mencari nafkah sendiri untuk keperluan hidupnya sehari-hari dan menerima nafkah dari orang lain”. Saat ini berlaku UU No. 13 tahun 1998 tentang kesejahteraan lansia yang berbunyi : lansia adalah seseorang yang mencapai usia 60 tahun keatas. Menurut WHO, lansia dibagi menjadi tiga kriteria, yaitu :

a) Middle-aged : (45–59 tahun) b) Elderly : (60-74 tahun) c) Older : (≥75 tahun)

Orang yang berusia ≥ 90 tahun dikategorikan sebagai “very old”.23-25

2.1.2 Proses Aging

Proses aging adalah suatu proses menghilangnya secara perlahan-lahan kemampuan jaringan untuk memperbaiki diri atau mengganti dan mempertahankan fungsi normalnya sehingga tidak dapat bertahan terhadap infeksi dan memperbaiki kerusakan yang diderita. Aging atau penuaan secara praktis dapat dilihat sebagai suatu penurunan fungsi biologik dari usia kronologik. Aging tidak dapat dihindarkan dan berjalan dengan kecepatan berbeda, tergantung dari susunan genetik seseorang, lingkungan dan gaya hidup, sehingga aging dapat terjadi lebih dini atau lebih lambat tergantung kesehatan masing-masing individu.26


(27)

2.1.3 Manifestasi Oral Akibat Proses Aging

Pengaruh aging terhadap kondisi rongga mulut dapat berpengaruh pada kondisi gigi, struktur pendukung (periodonsium), mukosa mulut, kelenjar saliva, dan sendi temporomandibula (STM).27-31

2.1.3.1 Gigi

Dengan pertambahan umur, resesi gingiva, kehilangan perlekatan dan resorpsi dari tulang alveolar, umumnya para lansia akan mengalami pengurangan jumlah gigi. Berkurangnya gigi, terutama gigi posterior telah diindikasikan sebagai penyebab gangguan STM karena kondilus mandibula akan mencari posisi yang nyaman pada saat menutup mulut. Hal ini memicu perubahan letak kondilus pada fosa glenoidalis dan menyebabkan gangguan STM.18

Pada gigi lansia terjadi perubahan pada enamel, dentin, dan pulpa. Pada enamel akan terjadi atrisi, abrasi, erosi, dan penipisan. Hal ini mengakibatkan warna gelap (coklat kekuningan) pada gigi akibat warna dentin yang terlihat. Selanjutnya dentin akan berkurang, terjadi dentin sklerotik, aktivitas odontoblas akan menurun dan kemudian dentin menjadi keruh dan hipohidrasi. Pada pulpa akan terjadi penyempitan ruang pulpa karena berbagai faktor, seperti pembentukan dentin sekunder, kalsifikasi pada pulpa, resorpsi akar gigi bagian eksternal, bertambahnya kepadatan dan volume dari serat kolagen pada pulpa, berkurangnya aliran saraf.2,28,30,31

2.1.3.2 Periodonsium

Jaringan periodonsium merupakan jaringan yang mendukung gigi dan mempertahankan gigi pada soket alveolar. Jaringan periodonsium terdiri dari gingiva, ligamen periodontal, sementum dan tulang alveolar. Proses aging akan mengubah struktur jaringan periodontal secara anatomis dan fungsional.27,29

Gingiva merupakan jaringan yang melapisi kavitas oral dan terdiri dari epitelium dan jaringan ikat. Penipisan epitelium, penambahan jaringan ikat pada


(28)

papila, berkurangnya keratinisasi, dan resesi akan terjadi pada gingiva dikarenakan proses aging.29,31,32

Ligamen periodontal merupakan jaringan ikat yang tipis, mengikat gigi pada tulang alveolar dan berfungsi sebagai bantalan antara jaringan keras untuk mengurangi kekuatan oklusal yang ditimbulkan sewaktu pergerakan mandibula. Ligamen periodontal terdiri dari fibroblas, sementoblas, osteoblas, osteoklas, epitel malassez dan serat sharpey. Sel pada ligamen periodontal berperan dalam perbaikan tulang alveolar, sementum, dan ligamen periodontal itu sendiri. Seiring bertambahnya usia, jumlah sel dan serat pada ligamen periodontal akan berkurang dan struktur ligamen periodontal akan menjadi iregular.31

Sementum terdiri dari jaringan ikat yang melapisi akar dari gigi. Ketebalan sementum akan bertambah karena adanya deposisi sementum, bentuknya menjadi iregular dan aselular seiring bertambahnya usia.28

Tulang merupakan tempat penyimpanan kalsium. Apabila asupan kalsium berkurang pada masa lansia, maka akan terjadi resorpsi tulang. Tulang alveolar memiliki fungsi yang sama dengan ligamen periodontal yaitu untuk mendukung gigi. Formasi tulang akan berkurang seiring bertambahnya usia.28,29

Struktur periodontal akan menjadi iskemi dan mengalami perubahan fibrotik yang khas. Beberapa sel pada jaringan periodontal akan menjadi kurang aktif sehingga terjadi gangguan pada fungsi osteoblas dan fibroblas. Akibat yang terjadi adalah jaringan periodonsium akan menjadi atrofi dan rusak. Perubahan degeneratif pada jaringan periodonsium akan berdampak pada kehilangan perlekatan dari gigi dan kehilangan gigi yang menyebabkan dukungan oklusal berkurang sehingga terjadi gangguan STM.29

2.1.3.3 Mukosa Mulut

Mukosa mulut manusia dilapisi oleh lapisan epitel yang berfungsi terutama sebagai suatu barier terhadap pengaruh lingkungan dalam dan luar mulut. Dengan bertambahnya usia, lapisan epitel yang menutupi mukosa mulut cenderung mengalami penipisan, berkurangnya keratinisasi, berkurangnya pembuluh darah


(29)

kapiler dan suplai darah, serta serabut kolagen yang terdapat pada lamina propria akan mengalami penebalan. Akibat perubahan tersebut, mukosa akan terlihat lebih pucat, tipis, dan kering secara klinis. Proses penyembuhan menjadi lebih lambat, mukosa mulut lebih mudah mengalami iritasi terhadap gesekan dan hal ini diperberat karena berkurangnya aliran saliva pada lansia.28,29,31,32

2.1.3.4 Kelenjar Saliva

Saliva berperan dalam pertahanan rongga mulut dengan cara mengurangi jumlah karies, infeksi mukosa mulut, gangguan sensori, kesulitan bicara, kekurangan asupan nutrisi dikarenakan sulitnya proses mastikasi dan menelan, serta menambah retensi dari gigitiruan. Pada lansia terjadi perubahan kelenjar saliva yaitu meningkatnya jaringan ikat, deposisi dari jaringan adiposa dan berkurangnya sel asinar. Dengan adanya perubahan pada kelenjar saliva maka akan mempengaruhi kualitatif dan kuantitatif pada saliva, seperti Xerosotomia yang sering terjadi pada lansia diakibatkan berkurangnya aliran saliva.29,31

2.1.3.5 Sendi Temporomandibula

Proses menua menyebabkan terjadi kemunduran banyak fungsi tubuh. Salah satu di antaranya adalah fungsi STM untuk mengunyah. Adanya gangguan pada fungsi STM untuk mengunyah mengakibatkan berkurangnya asupan makanan sebagai sumber gizi. Perubahan yang dapat terjadi pada STM seiring bertambahnya usia adalah perubahan pada kondilus dan fosa agar sesuai satu sama lain, fosa menjadi lebih dangkal, pengurangan inklinasi dari dinding fosa bagian anterior dan kondilus, eminensia artikularis menjadi rata, penipisan pada diskus artikularis, perubahan pada jaringan tulang rawan sendi yaitu pengurangan ketebalan lapisan fibrokartilago pada permukaan kondilus sendi, konsistensi dari cairan sinovial menjadi kental dan jumlahnya berkurang sehingga akan mempengaruhi kelancaran pergerakan dari diskus artikularis.27-29,33,34


(30)

2.2 Anatomi Sendi Temporomandibula

Sendi adalah hubungan antara dua tulang. Sendi temporomandibula adalah persendian dari kondilus mandibula dengan fosa gleinodalis dari tulang temporal. Sendi temporomandibula dapat melakukan gerakan rotasi seperti suatu sendi ginglymoid, namun pada saat yang sama dapat melakukan gerakan meluncur seperti suatu sendi arthroidal. Dengan demikian secara teknis sendi temporomandibula adalah suatu ginglymoarthrodial. Sendi temporomandibula merupakan satu-satunya sendi yang ada di kepala yang bertanggung jawab terhadap pergerakan membuka dan menutup rahang, mengunyah serta berbicara yang letaknya di depan telinga. Apabila terjadi sesuatu kelainan pada salah satu sendi ini, maka seseorang akan mengalami masalah yang serius yaitu terasa nyeri saat membuka mulut, menutup mulut, makan, mengunyah, berbicara, bahkan dapat menyebabkan mulut terkunci. Lokasi dari persendian temporomandibula berada tepat di bawah telinga kiri dan kanan. Sendi temporomandibula merupakan sendi yang paling kompleks dan berfungsi menghubungkan rahang atas dan rahang bawah.19,35-40

Sendi temporomandibula terdiri dari jaringan keras, jaringan lunak, otot, saraf, dan pembuluh darah.35,38


(31)

2.2.1 Jaringan Keras

2.2.1.1 Prosesus Kondilus Mandibula

Kondilus mandibula mempunyai letak dan posisi yang paling baik untuk bekerja sebagai poros dari pergerakan mandibula. Bagian dari tonjol kondilus mandibula, meluas kearah superior dan posterior dan sedikit ke medial dari ramus mandibula. Kondilus mandibula mempunyai ukuran dan bentuk yang bervariasi. Pada permukaan artikulasi antara kondilus dengan fosa terdapat diskus. Kondilus biasanya berbentuk cembung dan berbentuk elips pada orang dewasa. Kondilus mempunyai panjang 15-20 mm medio–lateralis dan lebar sebesar 8-10 mm antero-posterior. Pada saat relasi sentrik, kondilus terletak di bagian paling posterior dengan kondisi unstrained pada fosa glenoidalis.19,36-38,40-42

2.2.1.2 Eminensia Artikularis

Eminensia artikularis membentuk batas anterior dari fosa mandibularis yang meluas ke posterior dan dibatasi oleh linggir meatus akustikus eksternus. Eminensia artikularis mempunyai bentuk yang cembung dalam arah antero-posterior dan lurus atau sedikit cekung ke arah mesiolateral. Fosa dan eminensia membentuk huruf S dalam arah anteroposterior. Bentuk S tersebut muncul dan berkembang ketika seseorang berumur 6 tahun.35,38,40

2.2.1.3 Fosa Glenoidalis

Kondilus mandibula membentuk persendian dengan bagian tulang temporal pada dasar kranium. Bagian dari tulang temporal ini berbentuk cekungan yang ditempati kondilus mandibula. Bagian inilah yang disebut fosa glenoidalis. Fosa glenoidalis berbentuk cekung dalam dua arah, yaitu antero-posterior dan medio-lateral. Fosa ini lebih sempit pada arah antero-posterior dibandingkan dari arah medio–lateral. Sebelah anterior fosa terdapat eminensia artikularis dan di sebelah posterior terdapat kanalis auditorius. Fosa ini memiliki tulang yang sangat tipis pada bagian dalam dan tidak dapat mendukung mandibula. Hal ini didukung oleh


(32)

yang tipis (periosteum) sehingga struktur ini tidak dapat menahan beban yang besar.19,35

Gambar 2. Jaringan keras sendi temporomandibula 38

2.2.2 Jaringan Lunak

2.2.2.1 Diskus Artikularis

Ruang antara kondilus dan fosa glenoidalis ditempati oleh jaringan fibrosa kolagen dengan ketebalan yang bervariasi yang disebut diskus artikularis. Diskus artikularis merupakan jaringan ikat fibrosa avaskular yang berbentuk bikonkav. Diskus artikularis terdiri dari serat kolagen, tulang rawan seperti proteoglikan dan serat elastis Diskus ini juga terdiri dari beberapa sel tulang rawan dan disebut sebagai fibrocartilage.35,37,38,41

Diskus artikularis terbagi dalam 3 bagian berdasarkan ketebalannya. Bagian tengah adalah bagian paling tipis atau yang disebut dengan zona intermediat. Kondilus mandibula terletak pada zona intermediat pada keadaan normal. Bagian yang lebih tebal yang disebut sebagi anterior band dan posterior band dipisahkan oleh zona intermediat. Anterior band lebih tipis dibandingkan posterior ba nd. Diskus merupakan suatu jaringan lunak yang avaskular dan memiliki sedikit saraf sensori. Diskus juga membagi kavitas sendi menjadi dua bagian yaitu superior dan inferior. Dua bagian tersebut diisi oleh cairan sinovial yang berfungsi sebagai lubrikan dan nutrisi bagi struktur sendi.35-39,41


(33)

Selain sebagai pembatas tulang keras antara kondilus mandibula dengan fosa artikularis, diskus artikularis juga berperan sebagai bantalan yang menyerap getaran dan tekanan yang ditransmisikan melalui sendi dan mencegah tulang saling bergesekan sewaktu rahang bergerak. Apabila diskus mengalami dislokasi, maka akan timbul bunyi ketika rahang bergerak. Diskus artikularis dapat menjaga kestabilan sendi selama gerakan mengunyah, mencegah perubahan degeneratif yang besar pada fosa dan kondilus, serta mendukung pertumbuhan normal dari mandibula.35,38,39

Gambar 3. Diskus artikularis 38

2.2.2.2 Kapsul Sendi

Kapsul sendi berfungsi untuk menutup diskus artikularis dan ditutup oleh membran sinovial. Kapsul sendi tersusun dari jaringan ikat fibrosa. Kapsul ini menempel pada rim fosa glenoidalis dan permukaan artikular dari temporal di bagian atas. Pada bagian bawah menempel di leher kondilus. Pada bagian posterior menempel pada zona bilaminer. Kapsul sendi menyatu dengan ligamen collateral medial pada bagian medial dan menyatu dengan ligamen collateral lateral pada bagian lateral. Di sebelah anterior, kapsul berhubungan dengan insersi otot pterigoideus lateral. Kapsul sendi tipis pada bagian medial dan lebih tebal dan


(34)

oleh 2 lapisan, yaitu lapisan luar tersusun oleh jaringan ikat fibrosa padat yang diperkuat oleh ligamen sendi dan lapisan dalam merupakan membran sinovial yaitu jaringan ikat tipis yang terdapat pembuluh darah.19,36,37,40,41

Gambar 4. Kapsul sendi dan ligamen sendi 38

2.2.2.3 Ligamen Sendi

Ligamen merupakan jaringan ikat fibrosa avaskuler yang kuat. Ada empat ligamen yang berkaitan dengan sendi temporomandibula, yaitu ligamen sphenomandibula, ligamen temporomandibula, ligamen stilomandibula dan ligamen collateral. Dari ketiga ligamen tersebut, ligamen temporomandibula merupakan ligamen yang utama pada sendi temporomandibula, arahnya lateral terhadap kapsul sendi dan tidak mudah dipisahkan. Serat dari ligamen tersebut berjalan secara oblik ke tuberkulum artikularis dalam arah posterior dan inferior lalu ke bagian lateral dari arkus zigomatikus. Bagian dalam dari serabut ligamen ini berhubungan dengan kapsul sendi. Ligamen ini akan relaksasi selama posisi istirahat dan tegang pada saat gerakan retrusi dan protrusi. Ligamen ini membatasi pembukaan rotasi dari mandibula dan pembatasan gerak ke arah anterior dan posterior.19,36-38,40,41

Ligamen sphenomandibula berbentuk tipis datar dan melekat ke spina angularis os sphenoidalis pada bagian atas, melekat ke sebelah lingual dari foramen mandibula pada bagian bawah. Fungsinya adalah sebagai poros pada mandibula dalam mempertahankan tekanan yang sama ketika mandibula membuka dan menutup. Ligamen stilomandibula berbentuk bulat dan panjang, melekat ke prosesus


(35)

stiloideus os temporalis di bagian atas. Pada bagian bawah melekat ke angulus mandibula dan margo posterior dari ramus mandibula Fungsinya adalah membantu dalam membatasi pergerakan protusi dari mandibula. Ligamen yang terakhir adalah ligamen collateral yang terdiri dari 2 ligamen yaitu medial dan lateral. Ligamen collateral atau yang dikenal sebagai ligamen diskus tersusun dari jaringan ikat kolagen. Fungsi dari ligamen collateral adalah menahan pergerakan diskus agar tetap berartikulasi dengan kondilus.37,39,41

2.2.2.4 Membran Sinovial

Membran sinovial merupakan jaringan ikat tipis yang lentur menutupi hampir seluruh sisi artikular dan berfungsi menyediakan nutrien, pelumas dan pembersihan untuk permukaan-permukan sendi serta menanggung beban. Cairan sinovial dikeluarkan oleh membran sinovial ke kompartemen sendi untuk memberi nutrisi dan sebagai pelumas pada permukaan artikular dari sendi. Membran sinovial terdiri dari lapisan sel–sel sekretori khusus pada permukaan dan tidak terdapat organ ujung syaraf dalam membran sinovial sehingga membran ini tidak sensitif terhadap rangsangan nyeri.35-39

Cairan sinovial disekresikan dengan jumlah yang cukup sebagai pelumas. Daerah yang avaskular seperti permukaan artikular dari eminensia, kondilus dan diskus artikularis mendapat asupan nutrien dari cairan sinovial. Cairan sinovial juga berfungsi sebagai pembersih dari potongan-potongan yang sudah rusak dan sel–sel katabolit yang keluar dari permukaan sendi.19,36,38

2.2.3 Otot

Pergerakan dari sendi temporomandibula dan rahang dikontrol oleh otot terutama otot pengunyahan yang terletak di sekitar rahang dan sendi temporomandibula, seperti otot masseter, otot temporalis, otot pterigoideus lateralis dan otot pterigoideus medialis. Otot masseter terbagi dua bagian, yaitu bagian superfisial dan bagian dalam. Fungsi utama otot ini ada pada proses mastikasi dan


(36)

Otot temporalis secara luas melekat pada tengkorak bagian lateral dan dibagi menjadi tiga bagian, yaitu anterior, tengah dan posterior. Bagian posterior otot temporalis berfungsi dalam retrusi mandibula. Bagian tengah dari otot temporalis berfungsi dalam elevasi dan retrusi mandibula. Sedangkan bagian anterior otot temporalis berfungsi dalam membuka mandibula. Otot pterigoideus lateral dibagi menjadi dua bagian, yaitu bagian inferior dan bagian superior. Bagian inferior dari otot lateral pterigoideus berfungsi dalam protrusi dan pembukaan mandibula, sedangkan bagian superior berfungsi dalam retrusi dan penutupan mandibula. Yang terakhir adalah otot pterigoideus medial yang berfungsi dalam penutupan, protrusi, dan pergerakan kontralateral dari mandibula.36-39,41

Gambar 5. Otot (a) Otot pterigoid 38 (b) Otot Masseter 38 (c) Otot Temporalis 36

c

b a


(37)

2.2.4. Persyarafan

Persyarafan pada sendi temporomandibula diinervasi terutama oleh nervus trigeminus yaitu nervus mandibula yang kemudian bercabang menjadi nervus aurikulotemporal. Nervus ini memberi persyarafan sensori pada sendi temporomandibula. Selain nervus aurikulotemporal, nervus temporal dan nervus masseter juga menginervasi sendi pada bagian anterior. Kedua nervus ini merupakan nervus motorik tetapi juga mengandung serabut sensori yang terdistribusi pada bagian anterior dari kapsul sendi temporomandibula.36-38,41

Gambar 6. Persyarafan sendi temporomandibula 38

2.2.5 Pembuluh Darah

Arteri karotis eksterna merupakan suplai darah utama pada struktur temporomandibula. Arteri karotis eksterna berjalan dari leher menuju ke superior dan posterior, tertanam pada kelenjar parotis. Arteri tersebut terbagi menjadi dua cabang yaitu arteri lingual dan arteri fasial. Ketika mencapai leher kondilus, arteri karotis eksterna tersebut terbagi dua menjadi arteri temporalis superfisial dan arteri maksilaris interna. Kedua arteri ini mensuplai darah ke otot mastikasi dan STM.36-38,41


(38)

2.3 Gangguan Sendi Temporomandibula 2.3.1 Definisi

Gangguan STM merupakan suatu istilah generik yang digunakan untuk masalah yang berhubungan dengan sendi temporomandibula. Gangguan STM merupakan serangkaian kondisi yang menyebabkan sakit dan disfungsi pada sendi temporomandibula dan otot yang mengatur pergerakan rahang. Tanda–tanda gangguan sendi temporomandibula bisa berupa rasa sakit pada sendi temporomandibula dan otot, bunyi pada sendi, dan keterbatasan gerak fungsi rahang.35,36,43,44

2.3.2 Klasifikasi

Klasifikasi Research Diagnostics Criteria (RDC)/TMD awalnya dikembangkan hanya untuk penelitian tetapi kemudian klasifikasi STM tersebut berguna juga dalam praktek klinis untuk membantu dokter gigi. Sistem Research Diagnostic Criteria (RDC) memperbolehkan diagnosa lebih dari satu untuk setiap individual dengan syarat hanya satu diagnosis pada otot, satu diagnosis pada diskus dan satu diagnosis pada tulang artikular. Istilah yang digunakan sudah jelas didefinisikan dan kriteria yang diperlukan untuk mendiagnosis sudah dirinci dengan baik.38

Tabel 1. Klasifikasi gangguan sendi temporomandibula RDC/TMD 38

Lokasi Klinis Diagnosis

Otot

Nyeri miofasial

Nyeri miofasial disertai keterbatasan pembukaan mulut

Dislokasi diskus

Dislokasi diskus dengan reduksi Dislokasi diskus tanpa reduksi, disertai

keterbatasan pembukaan mulut Dislokasi diskus tanpa reduksi, tidak


(39)

disertai keterbatasan pembukaan mulut

Tulang Artikular

Arthralgia

Osteoarthritis pada STM Osteoarthrosis pada STM

2.3.2.1 Otot

a)Nyeri miofasial

Nyeri miofasial merupakan gangguan pada otot akibat kebiasaan parafungsional seperti bruxism, gangguan psikologis seperti depresi dan stress. Gejala dari sindrom ini bisa berupa rasa sakit di rahang, pelipis, daerah preuaricular, dalam telinga ketika mandibula sedang istirahat atau sedang berfungsi, sakit pada saat dipalpasi di dua atau lebih otot dan kadang–kadang disertai suara sendi dan sakit kepala.36,38,43,45,46

b)Nyeri miofasial disertai keterbatasan pembukaan mulut

Nyeri miofasial disertai keterbatasan pembukaan mulut merupakan gangguan pada otot yang sama dengan nyeri miofasial, hanya saja terdapat pembatasan pada pembukaan rahang, pembatasan pembukaan rahang ini tidak disertai rasa sakit dan terbagi menjadi 2 dari segi pembukaan rahang, yaitu dibantu dan tanpa dibantu. Apabila pasien tidak dibantu dalam pembukaan rahang maka ukurannya mencapai <40 mm dan apabila dibantu maka pembukaan maksimum yang dapat dicapai bertambah sebanyak ≥5 mm.38,46

2.3.2.2 Dislokasi Diskus

Dislokasi diskus merupakan gangguan artikular yang paling sering dijumpai. Dislokasi diskus atau yang biasa disebut internal derangement didefinisikan sebagai gangguan anatomis yang terdapat pada hubungan diskus dan kondilus yang menghalangi pergerakan dari sendi dan menyebabkan kondilus terhenti, kliking, popping atau terkunci.35,36


(40)

Ketika diskus artikularis pindah ke anterior, maka terjadi regangan yang berlebihan dari jaringan retrodiscal yang berada di belakang diskus artikularis. Jaringan retrodiscal akan mengambil tempat dimana diskus berada dan jaringan ini akan mendapat beban yang berulang yang dihasilkan oleh kondilus mandibula. Jaringan ini mempunyai kapasitas untuk beradaptasi pada tekanan yang diberikan dan dapat berubah menjadi “pseudodisc”. Ketika kondilus bergerak secara translasi, maka akan terjadi suara kliking. Bunyi kliking merupakan bunyi tunggal dalam waktu yang singkat. Bunyi itu relatif kuat terdengar. Kliking tunggal (single clicking) adalah bunyi yang terdengar pada saat membuka mulut, saat kondilus bergerak melewati posterior border masuk ke zona intermediat diskus. Sedangkan kliking ganda (double clicking) adalah bunyi kliking kedua saat menutup mulut setelah kliking tunggal terdengar pada waktu membuka mulut. Bunyi ini dihasilkan saat kondilus bergerak dari zona intermediat diskus ke posterior border. Tanda dari kelainan ini adalah adanya suara kliking pada saat membuka dan menutup mulut lebih kurang 5 mm.35,36,38,40

b) Dislokasi diskus tanpa reduksi, disertai keterbatasan pembukaan mulut Dislokasi diskus tanpa reduksi atau gigitan terkunci mempunyai tanda klinis yang berbeda dari dislokasi diskus dengan reduksi karena perpindahan kondilus secara translasi ke anterior dihalangi oleh diskus artikularis yang terletak di anterior. Kondilus dalam kondisi ini hanya dapat bergerak secara rotasi. Pasien dengan kondisi akut atau subakut dilaporkan mengalami nyeri secara mendadak dan tidak dapat membuka mulut lebih besar dari 20–30 mm. Secara klinis akan terlihat deviasi pada mandibula ke sisi yang terkena ketika pembukaan rahang. Tanda dari kelainan ini berupa pembukaan maksimum tanpa dibantu ≤35 mm dan tidak terdapat suara kliking.35,36,38,40,47

c) Dislokasi diskus tanpa reduksi, tidak disertai keterbatasan pembukaan mulut

Pada umumnya dislokasi diskus tanpa reduksi disertai keterbatasan pembukaan mulut sama dengan dislokasi diskus tanpa reduksi yang tidak disertai keterbatasan pembukaan mulut, hanya saja yang berbeda adalah pembukaan


(41)

maksimum rahang tanpa dibantu ≥35 mm, regangan pasif akan menambah pembukaan rahang ≥ 5mm.38

Gambar 7. Dislokasi diskus 35

2.3.2.3Tulang Artikular

a) Arthralgia

Arthralgia merupakan kondisi dimana sakit pada kapsul sendi atau sinovial lining pada STM. Tanda dari kelainan ini adalah sakit pada satu atau kedua sisi sendi, sakit pada sendi ketika pembukaan rahang.38

b) Osteoarthritis

Osteoarthritis merupakan suatu kondisi inflamasi pada sendi temporomandibula yang diakibatkan oleh kondisi degeneratif pada struktur sendi. Penyakit degeneratif pada struktur sendi atau degenerative joint disease (DJD) merupakan suatu kelainan pada tulang rawan dari artikular dan tulang subchondral, disertai dengan inflamasi pada membran sinovial. DJD biasanya asimtomatik dan muncul pada pasien yang berusia diatas 50 tahun. DJD dapat disebabkan oleh trauma, displasia kongenital dan penyakit metabolik. Pasien dengan kelainan DJD yang simtomatik biasanya mengalami sakit pada kondilus di satu sisi, terhalangnya


(42)

c) Osteoarthrosis

Osteoarthrosis adalah kelainan sendi degeneratif dimana bentuk dan struktur dari sendi temporomandibula itu sendiri abnormal. Osteoarthrosis juga merupakan kelainan sendi non inflamasi dimana terdapat kerusakan sendi diikuti oleh proliferasi tulang. Kerusakan dari sendi akan menyebabkan kehilangan tulang rawan artikular dan terkikisnya tulang. Proliferasi dari tulang akan membentuk formasi tulang yang baru pada pinggiran sendi dan subchondral. Etiologi dari osteoarthrosis masih belum jelas diketahui, tetapi beberapa studi mengemukakan bahwa trauma dan internal dearangements merupakan faktor etiologi yang berperan saat ini. Tanda dari kelainan ini seperti sakit yang terlokalisasi pada regio STM, pembukaan rahang yang terbatas, krepitus, sakit ketika STM dipalpasi.38,40

2.3.3 Etiologi Gangguan STM

Gangguan STM merupakan suatu kelainan yang terjadi pada sendi temporomandibula dan otot mastikasi. Hal ini dapat terjadi dikarenakan multifaktorial, yaitu usia, jenis kelamin, kebiasaan buruk, dukungan oklusal, maloklusi, faktor psikologis, trauma, pemakaian protesa yang lama.

2.3.3.1 Usia

Pembagian kelompok usia menurut WHO dibedakan atas 45–59 tahun, 60–74 tahun, diatas 75 tahun. Usia dapat mempengaruhi terjadinya gangguan STM pada satu individu. Prevalensi terjadinya gangguan STM pada wanita lansia lebih rendah daripada wanita di usia muda. Hal ini dikarenakan hormon reproduktif pada wanita yang berpengaruh pada rasa sakit yang ditimbulkan.14,24

Banyak penelitian yang mengaitkan bahwa terjadinya gangguan STM berkurang seiring usia bertambah. Hal ini didukung oleh penelitian Mundt T dkk (2005), subyek yang berusia 45–84 tahun lebih sedikit mengalami sakit pada otot mastikasi. Menurut hasil penelitian yang dilakukan oleh Himawan LS dkk (2007),


(43)

prevalensi terjadinya gangguan STM pada lansia adalah rendah. Namun hasil penelitian Rutkiewizs (2006) pada populasi orang dewasa (30–80 tahun) terdapat lebih banyak tanda klinis terjadinya gangguan STM pada usia yang lebih tua dibandingkan usia yang lebih muda.5,8,48

2.3.3.2 Jenis Kelamin

Menjadi seorang wanita atau pria merupakan salah satu prediktor yang sangat penting terhadap kesehatan seseorang. Kasus gangguan STM lebih sering terjadi pada wanita dibandingkan pria. Beberapa studi mengemukakan terjadinya gangguan STM pada wanita dikarenakan sensitivitas biologi pada wanita lebih tinggi dan hormon pada wanita juga berpengaruh dalam terjadinya gangguan STM. Terjadinya gangguan STM pada wanita 1,5–2 kali lebih besar dibandingkan pria dan 80% dari kasus gangguan STM yang ditangani adalah pada wanita. Hal ini didukung oleh penelitian Casanova-Rosado JF dkk (2005), prevalensi terjadinya gangguan STM lebih tinggi pada wanita dibandingkan pria (52,9:37,9). Menurut penelitian Bagis B dkk (2012), wanita lebih banyak menderita gangguan STM daripada pria (2.3:1). Hasil penelitian Mundt T dkk (2005) dan Shet RGK dkk (2013) juga melaporkan prevalensi terjadinya gangguan STM lebih tinggi pada wanita.4,5,9,16

Mekanisme dari terjadinya gangguan sendi pada wanita lebih banyak dibandingkan pria belum jelas. Hal ini mungkin dapat disebabkan perbedaan pada tulang rawan artikular di sendi wanita, sensitivitas biologi lebih tinggi dan hormon pada wanita juga berpengaruh dalam terjadinya gangguan sendi temporomandibula. Selain itu diduga karena reseptor estrogen di persendian temporomandibula pada wanita memodulasi metabolik sehingga menyebabkan kelemahan dari ligamen dan estrogen dianggap meningkatkan rasa nyeri.15,35,49 Namun hasil penelitian Himawan LS dkk (2007), pria lebih banyak menderita gangguan STM dibandingkan wanita.6

2.3.3.3 Kebiasaan Buruk


(44)

kondisi dimana seseorang menggertakkan gigi secara tidak sadar dan hal ini dapat terjadi pada waktu kapanpun. Hubungan antara bruxism dan gangguan STM dibuktikan oleh penelitian Casanova-Rosado JF dkk (2005), subyek yang mempunyai kebiasaan buruk seperti bruxism dan mengunyah sebelah sisi cenderung mengalami gangguan STM dibandingkan subyek yang normal. Menurut penelitian Saheeb BDO (2005), bahwa 47,1% pasien yang memiliki kebiasaan buruk seperti bruxism akan memberi tekanan yang besar pada sendi temporomandibula dan dapat menyebabkan gangguan STM. Hasil penelitian Sato F dkk (2006), sebanyak 50,3% pasien yang menderita gangguan STM mempunyai kebiasaan buruk yaitu bruxism. Hasil yang sama juga dilaporkan oleh penelitian yang dilakukan oleh Mundt T dkk (2005) dan Bagis B dkk (2012).4,9,16,21,22

Terjadinya gangguan sendi temporomandibula dikarenakan beban yang diberikan pada sendi terlalu berlebih sehingga mengubah mekanisme dari lubrikasi pada struktur artikular yang kemudian akan menyebabkan gangguan sendi dikarenakan fleksibilitas pada sendi menjadi menurun. Selain itu menurut Rugh, seberapa ringan kontak pada gigi dapat meningkatkan aktivitas otot masseter dan kemudian akan berkembang menjadi sakit pada otot yang terdapat pada sendi temporomandibula. Pada otot terjadi hipertonus sebagai reaksi dari hiperfungsi sistem muskuloskeletal yang dapat menyebabkan terjadinya kelemahan otot dan inflamasi yang dapat menimbulkan nyeri. Ligamen yang berhubungan dengan sendi temporomandibula juga akan mengalami kekakuan sebagai dampak dari penekanan akibat kontraksi otot sehingga fleksibilitas dari ligamen menjadi menurun yang berakibat terjadinya ruptur dan timbulnya rasa nyeri. Pada saraf akan terjadi sensasi nyeri yang ditimbulkan iskemia lokal akibat dari hiperfungsi kontraksi otot yang kuat dan terus-menerus atau mikrosirkulasi yang tidak adekuat karena disregulasi sistem simpatik.50 Namun hasil penelitian Himawan LS dkk (2007) melaporkan bahwa kebiasaan buruk seperti bruxism dan mengunyah sebelah sisi tidak dapat dikatakan sebagai faktor risiko terjadinya gangguan STM.6


(45)

2.3.3.4 Dukungan Oklusal

Pada penelitian ini, peneliti menggunakan Indeks Eichner untuk mengkategorikan kehilangan dukungan oklusal. Indeks Eichner terdiri dari 5 kelas yaitu, A (terdiri dari 4 zona dukungan oklusal), B1 (terdiri dari 3 zona dukungan oklusal), B2 (terdiri dari 2 zona dukungan oklusal), B3 ( terdiri dari 1 zona dukungan oklusal), B4 (kontak gigi hanya pada anterior saja), dan C (tidak terdapat kontak pada gigi).9

Kehilangan dari dukungan oklusal yaitu gigi posterior telah ramai dibahas sebagai faktor risiko terjadinya gangguan STM. Hal ini didukung oleh penelitian yang dilakukan oleh Mundt T dkk (2005), adanya hubungan antara kehilangan dukungan oklusal dengan terjadinya gangguan STM pada pria. Hal ini disebabkan oleh besarnya kekuatan gigit pada pria. Menurut penelitian Ciangcaglini dkk, sebanyak 60,2% pasien yang kehilangan dukungan oklusal menderita gangguan STM. Hasil penelitian oleh Hatim NA dkk (2011) menunjukkan bahwa terdapat gangguan STM pada pasien yang mengalami kehilangan dukungan oklusal. Hasil yang sama juga didapat oleh penelitian Shet RGK dkk (2013) bahwa terdapat hubungan antara kehilangan dukungan oklusal dengan terjadinya gangguan STM.

5,9,20

Keparahan dari simtom gangguan sendi temporomandibula akan meningkat seiring berkurangnya dukungan oklusal karena kondilus mandibula akan mencari posisi yang nyaman pada saat menutup mulut dan memicu perubahan letak kondilus pada fosa glenoidalis atau overclosure pada mandibula yang kemudian menyebabkan gangguan sendi temporomandibula. Berkurangnya dukungan oklusal juga dapat menyebabkan gangguan pada sistem mastikasi dan perubahan awal pada pola neuromuscular dari aktivitas otot rahang. Mekanisme neuromuskular akan membentuk pola pergerakan baru rahang bawah untuk mengompensasi posisi gigi yang baru akibat ketidak serasian dengan gigi lainnya dalam fungsi mulut. Sisa gigi yang ada akan mencoba beradaptasi dengan pola pergerakan yang baru tersebut dengan kemungkinan akan menimbulkan ketidakharmonisan dalam pergerakan.


(46)

menyebabkan kontak prematur. Perubahan tersebut menyebabkan kurva oklusal berubah bentuk, lengkung menjadi bergelombang sehingga gerakan artikulasi menjadi tidak lancar. Dengan adanya kontak prematur akan menyebabkan benturan pada saat mandibula bergerak ke posisi oklusi sentrik dan tanpa disadari pasien akan merubah lintasan dalam hal membuka dan menutup mulut atau menarik mandibula ke posisi yang dirasa nyaman. Perubahan lintasan ini menyebabkan posisi mandibula bergeser dari sentrik dan keseimbangan otot berubah menjadi ada yang aktif dan sebagian menjadi kurang aktif. Secara bertahap apabila toleransi fisiologis otot terlampaui, maka akan timbul kelelahan pada otot dan menimbulkan spasme sehingga pasien merasa nyeri pada otot. Begitu juga halnya dengan kondilus, ketidakseimbangan ini menyebabkan posisi mandibula menjadi sedikit terungkit sehingga posisi kondilus berubah, yang satu di posisi superior dan yang lain berada di posisi inferior. Akibat dari perubahan posisi kondilus ini akan terjadi disfungsi sendi temporomandibula.17,18,21,51,52


(47)

2.3.3.5 Maloklusi

Hubungan antara maloklusi seperti maloklusi Angle, gigitan silang, gigitan terbuka, traumatik oklusi, overjet dan overbite yang tidak normal, diskrepansi midline telah dihubungkan dengan terjadinya gangguan STM sebagai faktor predisposisi. Maloklusi dari gigi dapat menyebabkan kliking karena adanya perbedaan oklusi sentrik dan relasi sentrik. Kliking sendi sering dihubungkan dengan maloklusi. Adanya perubahan oklusi selalu menghasilkan suatu perubahan koordinasi otot–otot. Permukaan oklusal yang tidak sesuai dengan aksi otot dan sendi temporomandibula dapat menyebabkan hiperaktivitas otot dan terjadi perubahan posisi diskus. Kehilangan gigi anterior terutama kaninus menyebabkan pola oklusal menjadi lebih datar karena berkurangnya tinggi tonjolan. Hal tersebut akan berdampak pada penurunan dimensi vertikal. Penurunan dimensi vertikal kemudian akan menyebabkan dislokasi diskus ke anterior. Traumatik oklusi juga dapat menyebabkan gangguan STM dikarenakan adanya benturan antara gigi atas dan gigi bawah saat mandibula bergerak fungsional dan non–fungsional. Benturan ini kemudian dapat menimbulkan disintegrasi dalam sistem kondi–diskus, sehingga timbul gejala kliking.7,19

Namun hal ini tidak sesuai dengan penelitian Hirsch dkk (2005) yang melakukan penelitian pada 3033 subyek, menyimpulkan bahwa overjet dan overbite yang besar atau kecil tidak menimbulkan suara pada sendi (kliking dan krepitasi). Penelitian oleh Basafa dkk (2006) terhadap 435 pasien dengan rentang usia 19-32 tahun juga menunjukkan tidak ada hubungan yang signifikan antara maloklusi dengan gangguan STM . Hasil yang sama juga ditunjukkan oleh penelitian Mohlin B dkk (2007) dan Belotte-Laupie dkk (2011).7,54-56

2.3.3.6 Faktor Psikologis

Faktor psikologis seperti stress dan cemas dapat memicu terjadi gangguan STM. Hal ini belum jelas hubungannya. Pasien dengan gangguan STM biasanya menderita penyakit yang dihubungkan dengan stress, seperti migrain, sakit punggung,


(48)

yang mempunyai gangguan STM seperti sakit pada saat menggerakkan mandibula disebabkan oleh otot mastikasi yang tegang. Daniel Laskin juga menyatakan bahwa stress dapat menjadi faktor risiko gangguan STM dikarenakan stress dapat memicu hiperaktivitas pada otot. Kelelahan pada otot yang disebabkan oleh hiperaktivitas dapat menyebabkan spasme pada otot. Hal ini didukung oleh laporan penelitian dari Casanova Rosado dkk (2005) bahwa stress dan cemas dapat menyebabkan terjadinya gangguan STM. Selain itu orang yang cemas akan mengalami gangguan STM 1,58 kali lebih besar dibandingkan dengan orang yang tidak cemas.4,7,45

2.3.3.7 Trauma

Trauma pada struktur fasial dapat menyebabkan gangguan mastikasi. Trauma mempunyai dampak yang besar terhadap intrakapsular dibandingkan dengan otot. Trauma terbagi 2, yaitu makrotrauma dan mikrotrauma. Makrotrauma merupakan tekanan yang terjadi secara tiba–tiba pada sendi dan menyebabkan perubahan struktur. Makrotrauma contohnya pukulan ke dagu dapat menyebabkan kelainan intrakapsular. Apabila trauma ini terjadi pada saat mulut terbuka, kondilus dapat berubah tempat dari fosa. Pergerakan kondilus dari fosa secara tiba–tiba akan ditahan oleh ligamen dan apabila kekuatan pukulan pada dagu di atas batas limit, maka ligamen akan menjadi elongasi yang akan mempengaruh mekanisme normal dari kondilus–diskus. Ligamen kemudian akan menjadi longgar dan tidak dapat menahan diskus pada tempatnya sehingga diskus akan berpindah. Pukulan pada dagu juga dapat menyebabkan fraktur dari kepala kondilus. Makrotrauma bisa juga disebabkan oleh iatrogenik, contohnya pada saat odontektomi atau prosedur dental yang membutuhkan waktu pembukaan mulut yang lama dapat menyebabkan elongasi dari ligamen diskus.37,38,45

Whiplash juga dapat menyebabkan gangguan STM. Penelitian oleh Klobas dkk membandingkan antara 2 subyek yang pernah mengalami whiplash dan subyek yang belum pernah mengalami whiplash menunjukkan perbedaan yang signifikan pada tingkat keparahan dari gejala gangguan STM yang dialami (89%:18%). Pembukaan mulut lebih kecil (54 mm:48 mm) dan sakit pada saat palpasi di otot


(49)

umum terjadi pada subyek yang mengalami whiplash. Hasil yang sama juga ditunjukkan oleh penelitian Sale dkk (2007) bahwa subyek yang mengalami whiplash lebih banyak mengalami gangguan STM (34%) dibandingkan subyek yang tidak mengalami whiplash (7%). Kesimpulannya adalah 1 dari 3 orang yang mengalami whiplash berisiko untuk menderita gangguan STM di kemudian hari.7,57

Mikrotrauma adalah gaya kecil yang terjadi secara berulang pada struktur sendi dalam jangka waktu yang lama dan menyebabkan perubahan sendi. Contoh dari mikrotrauma adalah bruxism. Bruxism diketahui mempunyai hubungan dengan gangguan STM yaitu dapat mengakibatkan sakit pada otot mastikasi dikarenakan hiperaktivitas pada otot.37,45

2.3.3.8 Pemakaian Gigitiruan yang Lama

Pemakaian gigitiruan yang lama juga dapat menyebabkan gangguan STM. Hasil penelitian oleh Al-Shumailan dkk (2010), krepitus dan sakit pada otot mastikasi pada pemakai gigitiruan penuh lebih tinggi dibandingkan individu yang bergigi. Sebanyak 14,3% satu atau lebih dari gejala gangguan STM ditemukan pada individu yang memakai gigitiruan penuh. Pergerakan vertikal yang menurun juga merupakan salah satu tanda dari gejala gangguan STM. Nilai rata–rata dari pembukaan maksimum mandibula pada individu yang memakai gigitiruan penuh lebih kecil (39,7 mm) dibandingkan individu yang bergigi (45,6 mm). Menurut penelitian Dallanora dkk (2011) melaporkan bahwa terdapat hubungan positif antara waktu pemakaian dari gigitiruan penuh dengan gangguan STM. Apabila individu yang sama memakai gigitiruan penuh selama lebih dari 10 tahun, maka prevalensi dari gejala gangguan STM akan meningkat.8,10


(50)

(51)

(52)

BAB 3

METODE PENELITIAN

3.1 Rancangan Penelitian

Penelitian ini menggunakan rancangan penelitian deskriptif melalui metoda pemeriksaan, pengamatan dan wawancara secara langsung untuk mencari prevalensi gangguan sendi temporomandibula pada lansia berdasarkan jenis kelamin, kebiasaan buruk, dan dukungan oklusal.

3.2 Populasi Penelitian

Populasi penelitian adalah golongan lansia yang tidak memakai gigitiruan di Panti Jompo Karya Kasih Medan.

3.3 Sampel Penelitian

Sampel penelitian diambil dengan menggunakan total sampling yaitu keseluruhan penghuni Panti Jompo Karya Kasih Medan yang sesuai dengan kriteria inklusi. Jumlah sampel yang digunakan dalam penelitian ini adalah 71 orang.

3.3.1 Kriteria Inklusi

Kriteria sampel inklusi adalah karakteristik umum subjek penelitian yang memenuhi kriteria penelitian. Kriteria inklusi pada penelitian ini adalah :

1. Lansia yang berusia di atas 45 tahun 2. Lansia yang tidak menggunakan gigitiruan

3. Lansia yang bersedia diwawancarai, diperiksa dan menandatangani informed consent

3.3.2 Kriteria Eksklusi

Kriteria sampel eklusi adalah karakteristik umum subjek penelitian yang tidak memenuhi kriteria penelitian. Sampel eksklusi pada penelitian ini yaitu :


(53)

1. Lansia yang menggunakan piranti ortodonti cekat

2. Lansia yang pernah mengalami trauma pada leher, dagu, dan wajah.

3.4 Variabel Penelitian 3.4.1 Variabel Bebas

Variabel bebas dalam penelitian ini adalah : 1. Jenis kelamin

2. Kebiasaan buruk 3. Dukungan oklusal

3.4.2 Variabel Terikat

Gangguan sendi temporomandibula.

3.4.3 Variabel Terkendali

Peneliti dan alat ukur yang sama

3.4.4 Variabel Tidak Terkendali

Kejujuran dan keakuratan responden dalam menjawab pertanyaan

3.5 Definisi Operasional

Tabel 2. Definisi operasional variabel bebas

Variabel Bebas Definisi Operasional Cara Pengukuran Hasil Pengukuran Skala Pengukuran Jenis Kelamin

Terdiri dari dua kelompok, yaitu pria dan wanita

Pengamatan 1. Pria

2. Wanita Kebiasaan

Buruk

Perilaku yang sering

dilakukan sehari-hari, baik

disengaja maupun tidak

Wawancara dan Pemeriksaan


(54)

sehingga menghasilkan akibat yang tidak baik. Dalam hal ini

kebiasaan buruk yang

dimaksud adalah mengunyah sebelah sisi atau bruxism.58

Ada atau Tidak ada

Dukungan Oklusal

Kontak oklusal gigi rahang atas dengan rahang bawah. Dinilai dengan menggunakan index Eichner dengan melihat

jumlah zona dukungan

oklusal, yaitu berkontaknya 1 atau 2 gigi di regio premolar kanan dan kiri, regio molar kanan dan kiri. Index Eichner terbagi atas 6 kelas yaitu :58 A: terdapat 4 zona dukungan oklusal

B1: terdapat 3 zona dukungan oklusal

B2: terdapat 2 zona dukungan oklusal

B3: terdapat 1 zona dukungan oklusal

B4: kontak gigi hanya pada bagian anterior

C: tidak terdapat kontak gigi

Pemeriksaan 1: A

2: B1 3: B2 4: B3 5: B4 6: C


(55)

Tabel 3. Definisi operasional variabel terikat Variabel

Terikat Definisi Operasional

Cara Pengukuran Hasil Pengukuran Skala Pengukuran Gangguan STM

Kondisi sendi

temporomandibula yang

mempunyai fungsi abnormal atau terganggu. Terdapat

gangguan STM apabila

mempunyai satu atau lebih tanda sebagai berikut6, 36,58 :

a. Sakit ketika mandibula berfungsi

b. Sakit pada saat otot

mastikasi dipalpasi c. Terdapat suara kliking

d. Terdapat kesulitan

pembukaan mulut (<40 mm)

e. Terjadi deviasi rahang

Pemeriksaan dan Pengamatan

Ada/Tidak ada -

Tabel 4. Definisi operasional variabel terkendali Variabel

Terkendali Definisi Operasional

Cara Pengukuran Hasil Pengukuran Skala Pengukuran Peneliti dan

alat ukur yang sama

Melakukan kalibrasi terhadap peneliti dan alat yang

digunakan dalam penelitian


(56)

Tabel 5. Definisi operasional variabel tidak terkendali Variabel

Tidak Terkendali

Definisi Operasional Cara Pengukuran

Hasil Pengukuran

Skala Pengukuran

Kejujuran dan keakuratan responden

Jawaban yang diberikan

responden dalam menjawab

kuesioner harus sesuai

dengan keadaan yang

dialami responden

- - -

3.6 Lokasi dan Waktu Penelitian

Penelitian ini dilakukan di Panti Jompo Karya Kasih Medan yang terletak di Jalan Mongonsidi Ujung. Penelitian dilakukan pada bulan April 2015 – Mei 2015.

3.7 Prosedur Penelitian

3.7.1 Alat dan Bahan Penelitian 3.7.1.1 Alat Penelitian

1. Alat tulis 2. Kaliper digital

3. Alat pengolah data yaitu komputer 4. Masker

5. Sarung tangan 6. Kaca mulut 7. Stetoskop

3.7.1.2 Bahan Penelitian


(57)

3.7.2 Informed Consent

Seluruh sampel penelitian yang memenuhi kriteria akan diberikan lembar penjelasan tentang penelitian yang akan dilakukan. Bagi subjek penelitian yang bersedia, wajib menandatangani surat pernyataan persetujuan subjek penelitian (informed consent).

3.7.3 Cara Penelitian

1. Peneliti mengurus surat pengantar untuk izin survei pendahuluan dari Departemen Prostodonsia ke bagian Pendidikan Fakultas Kedokteran Gigi USU.

2. Peneliti mengurus surat pengantar untuk izin survei pendahuluan dari bagian Pendidikan Fakultas Kedokteran Gigi USU untuk ke Panti Jompo Karya Kasih Medan.

3. Setelah mendapat surat pengantar, peneliti mengunjungi Panti Jompo Karya Kasih Medan kemudian memperoleh data para lansia.

4. Peneliti mengurus surat pengantar untuk memperoleh persetujuan komisi etik tentang pelaksanaan penelitian bidang kesehatan.

5. Peneliti mengurus surat pengantar untuk izin penelitian dari Departemen Prostodonsia untuk ke bagian Pendidikan Fakultas Kedokteran Gigi USU.

6. Peneliti mengurus surat pengantar untuk izin penelitian dari bagian Pendidikan Fakultas Kedokteran Gigi USU untuk ke Panti Jompo Karya Kasih Medan.

7. Peneliti mengunjungi Panti Jompo Karya Kasih Medan dan memulai penelitian.

8. Sebelum memulai penelitian, peneliti menjelaskan mengenai penelitian yang akan dilakukan kepada responden, kemudian membagikan surat pernyataan kesediaan menjadi subyek penelitian (informed consent) kepada responden.

9. Peneliti melakukan pemantauan data subyek penelitian untuk keselamatan subyek penelitian secara terus menerus, perlakuan subyek penelitian diberikan secara adil, dan terdapat pengamanan tambahan terhadap subyek penelitian yang berisiko


(58)

10. Peneliti tidak menggunakan foto STM dalam memeriksa adanya gangguan atau tidak dikarenakan dalam prosedur pemeriksaan TMD/RDC tidak dibutuhkan foto STM.59

11. Peneliti mengumpulkan data kebiasaan buruk dan gangguan sendi temporomandibula dengan dua cara, yaitu wawancara dan pemeriksaan obyektif. Apabila hasil dari wawancara dengan pemeriksaan obyektif tidak sesuai, maka peneliti menggunakan jawaban dari pemeriksaan obyektif.

12. Peneliti mencatat identitas responden (nama, umur dan jenis kelamin) kemudian dilanjutkan pemeriksaan dengan menggunakan kaca mulut untuk mengetahui status dukungan oklusal responden. Setelah itu dilakukan wawancara dengan kuesioner dan pemeriksaan dengan kaca mulut untuk mengetahui ada atau tidaknya kebiasaan buruk pada responden. (Gambar 9c)

13. Setelah itu peneliti melakukan wawancara dengan responden untuk mengetahui ada atau tidaknya rasa sakit pada bagian wajah dan lokasi sakit. Kemudian peneliti melakukan pemeriksaan terhadap sendi temporomandibula responden. Responden diposisikan duduk tegak, lalu diminta untuk membuka mulut, membuka mulut semaksimal mungkin dan membuka mulut semaksimal mungkin dengan bantuan operator (membantu membuka mulut responden dengan meletakkan ibu jari di gigi insisivus maksila dan jari telunjuk di gigi insisivus mandibula) untuk melihat adanya deviasi atau tidak, lalu diukur derajat pembukaan mulut dengan menggunakan kaliper digital (Gambar 9b), dan melihat ada atau tidaknya rasa sakit yang timbul pada sendi atau otot. Lalu responden diminta untuk membuka mulut dan menutup mulut. Apabila terdengar bunyi pada sendi dengan menggunakan stetoskop yang diletakkan di depan meatus external auditori (Gambar 9a), maka diukur pada derajat pembukaan berapa bunyi tersebut terdengar dan bunyi tersebut dibedakan atas kliking dan krepitus. Selanjutnya responden diminta untuk membuka mulut sambil memajukan rahang bawah ke depan dan dilihat apakah terdapat bunyi pada sendi atau tidak. Kemudian responden diminta untuk mengoklusikan gigi rahang atas dan gigi rahang bawah lalu diukur overlap vertikal insisal.6,59


(59)

Gambar 9. Cara penelitian. (a) Pemeriksaan sendi (b) Pemeriksaan pembukaan mulut (c) Pemeriksaan dukungan oklusal dan kebiasaan buruk

14. Peneliti menginstruksikan responden untuk menggerakkan rahang bawah ke arah lateral kiri, lateral kanan, dan protusif untuk melihat ada atau tidaknya rasa sakit pada otot atau sendi dan bunyi kliking atau krepitus. Kemudian responden diminta untuk mengoklusikan gigi dan dilihat apakah terdapat deviasi midline atau

a b


(60)

tidak. Jika ada, diukur berapa milimeter deviasi terjadi dan arah deviasi midline tersebut.59

15. Peneliti melakukan palpasi pada otot intraoral dan ekstraoral serta sendi responden untuk melihat adanya rasa sakit atau tidak dengan cara meminta responden untuk santai menutup mulut dan gigi dalam keadaan tidak oklusi, lalu peneliti meletakkan jari telunjuk dan jari tengah pada daerah yang tepat kemudian lakukan penekanan ringan pada daerah dan sekitar daerah tersebut. Daerah yang harus diberi penekanan antara lain :59

a.Temporalis posterior : daerah ini terletak di belakang telinga hingga mencapai daerah di atas telinga

b. Temporalis bagian tengah : daerah ini terletak di 4-5 cm dari cekungan pelipis hingga ke perbatasan lateral alis.

c. Temporalis anterior : daerah ini terletak di atas prosesus zigomatikus d. Maseter superior : daerah ini letaknya 1cm ke depan dari sendi temporomandibula hingga tepat berada dibawah prosesus zigomatikus.

e. Maseter tengah : daerah ini terletak tepat dibawah prosesus zigomatikus lalu kebelakang hingga mencapai sudut dari mandibula.

f. Maseter inferior : daerah ini terletak 1cm di atas dan di depan dari sudut mandibula.

g. Regio mandibula bagian posterior : daerah ini terletak di antara tempat masuknya otot sternocleidomastoideus dan batas posterior dari mandibula.

h. Regio submandibula : daerah ini terletak di bawah mandibula tepatnya 2 cm di depan dari sudut mandibula.

i. Lateral pole : daerah ini terletak di anterior dari tragus dan dapat diraba ketika responden membuka mulut.

j. Perlekatan posterior : daerah ini terletak di dalam telinga dan diperiksa dengan cara meletakkan jari kelingking kiri ke dalam lubang telinga kanan responden dan jari kelingking kanan ke dalam lubang telinga kiri kemudian jari kelingking peneliti diarahkan menghadap peneliti dan responden diminta untuk membuka mulut


(1)

sekali pada setiap subyek penelitian dan Bapak/Ibu tidak akan dikenakan biaya (gratis).

Penelitian ini dilakukan mulai bulan April 2015 – Mei 2015. Untuk keperluan tersebut saya mengharapkan kesediaan Bapak/Ibu untuk berpartisipasi dalam penelitian ini. Jika Bapak/Ibu bersedia, saya mohon kesediaan Bapak/Ibu untuk menjawab pertanyaan dengan jujur dan bersedia,menandatangani lembar persetujuan ini sebagai bukti kesukarelaan Bapak/Ibu. Imbalan yang akan diberikan kepada Bapak/Ibu berupa sarapan.

Jika selama menjalankan penelitian ini ada pertanyaan yang kurang jelas, maka Bapak/Ibu dapat menanyakan kepada saya secara langsung di bagian mana yang kurang dimengerti.

Partisipasi Bapak/Ibu dalam penelitian ini bersifat sukarela, sehingga Bapak/Ibu bebas untuk menolak tanpa ada sanksi apapun. Semua informasi yang Bapak/Ibu berikan akan dirahasiakan dan hanya akan dipergunakan dalam penelitian ini.

Demikian informasi ini saya sampaikan. Atas bantuan, partisipasi dan kesediaan waktu Bapak/Ibu sekalian, saya ucapkan terima kasih.

Peneliti


(2)

Lampiran 2

LEMBAR PERSETUJUAN SUBYEK PENELITIAN (INFORMED CONSENT)

Saya yang bertanda tangan dibawah ini :

Nama :

Umur :

Jenis Kelamin : Pria/Wanita*)

Setelah mendapat keterangan dan penjelasan secara lengkap, maka dengan penuh kesadaran dan tanpa paksaan saya menandatangani dan menyatakan bersedia berpartisipasi pada penelitian ini.

Medan, 2015 Mahasiswa Peneliti Peserta Penelitian

(Michiko) ( )


(3)

Lampiran 3

KUESIONER PENELITIAN

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA FAKULTAS KEDOKTERAN GIGI DEPARTEMEN PROSTODONSIA

No. Responden : Tanggal :

Nama pasien :

Umur : Tahun

Jenis Kelamin : 1. Pria 2. Wanita

1. Dukungan Oklusal : 1. A 4. B3 2. B1 5. B4 3. B2 6. C

2. Apakah Anda sering menggertakkan gigi secara sadar maupun tidak sadar ? a. Ya b. Tidak

3. Apakah Anda mempunyai kebiasaan mengunyah sebelah sisi ? a. Ya b. Tidak

PREVALENSI GANGGUAN SENDI TEMPOROMANDIBULA PADA LANSIA BERDASARKAN JENIS KELAMIN, KEBIASAAN BURUK,


(4)

Lembar Pemeriksaan Klinis TMD/RDC

1. Sakit pada daerah wajah bagian kiri atau kanan a. Ya (kiri) c. Ya (kiri dan kanan) b. Ya (kanan) b. Tidak

2. Posisi daerah sakit pada wajah

a. Kanan (Tidak ada / sendi / otot / keduanya) b. Kiri (Tidak ada / sendi / otot / keduanya)

3. Pola pembukaan rahang a. Lurus

b. Deviasi lateral kanan (uncorrected)

c. Deviasi berbentuk S sebelah kanan ( corrected) d. Deviasi lateral kiri (uncorrected)

e. Deviasi berbentuk S sebelah kiri (corrected)

4. Derajat pembukaan mulut

a. Pembukaan mulut tanpa disertai sakit ___ mm

b. Pembukaan mulut maksimum ___ mm (sakit pada otot kanan / kiri) (sakit pada sendi kanan / kiri)

c. Pembukaan mulut maksimum dengan bantuan ___ mm (sakit pada otot kanan/kiri) ( sakit pada sendi kanan/kiri)

d. Overlap vertikal insisal __ mm

5. Bunyi sendi

a. Membuka mulut ___ mm (sendi kanan / kiri) (klik / krepitus) b. Menutup mulut ___ mm (sendi kanan / kiri) (klik / krepitus)


(5)

6. Sakit pada otot/ sendi saat dilakukan ekskursi

a. Ekskursi lateral kanan ___ mm (sakit pada otot kanan / kiri / keduanya / tidak ada) (sakit pada sendi kanan / kiri / keduanya / tidak ada)

b. Ekskursi lateral kiri ___ mm (sakit pada otot kanan / kiri / keduanya / tidak ada) (sakit pada sendi kanan / kiri / keduanya / tidak ada)

c. Protrusi ___ mm (sakit pada otot kanan / kiri / keduanya / tidak ada) (sakit pada sendi kanan / kiri / keduanya / tidak ada)

d. Deviasi midline ___ mm (kanan / kiri / tidak ada)

7. Terdapat bunyi pada sendi ketika dilakukan ekskursi lateral

a. Sendi kiri (ekskursi kiri / ekskursi kanan / protrusi) (klik / krepitus) b. Sendi kanan ( ekskursi kiri/ ekskursi kanan/ protusi) (klik / krepitus) c. Tidak terdapat bunyi klik/krepitus pada sendi kiri

d. Tidak terdapat bunyi klik/krepitus pada sendi kanan

8. Sakit ketika otot ekstraoral dipalpasi

a. Temporalis posterior (kanan / kiri / tidak ada) b. Temporalis bagian tengah (kanan / kiri / tidak ada) c. Temporalis anterior (kanan / kiri / tidak ada) d. Maseter superior (kanan / kiri / tidak ada) e. Maseter tengah (kanan / kiri / tidak ada) f. Maseter inferior (kanan / kiri / tidak ada)

g. Region mandibula bagian posterior (kanan / kiri / tidak ada) h. Region submandibula (kanan / kiri / tidak ada)

9. Sakit pada sendi ketika dipalpasi

a. Ya , sebelah kanan (lateral pole / perlekatan posterior) b. Ya, sebelah kiri (lateral pole / perlekatan posterior) c. Tidak, pada sebelah kiri


(6)

10. Sakit ketika otot intraoral dipalpasi a. Area lateral pterigoideus (kanan / kiri) b. Tendon temporalis (kanan / kiri)

c. Tidak merasa sakit pada area lateral pterigoideus (kanan / kiri) d. Tidak merasa sakit pada areal tendon temporalis (kanan / kiri)